Anda di halaman 1dari 16

ADMINISTRASI PERBANKAN ISLAM

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Administrasi Lembaga Islam
Indonesia

Dosen Pengampu:
Dr. H. Ahmad Khumaedi,M.Ag.,M.Si.

KELOMPOK 10:

Kelas B Semester III

Deri Kurnia 118880100

Dinda Ayu cantika 11888010048

Fadila Khaerunnisa 11888010062

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
A. Pengertian Perbankan Syariah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan
dengan prinsip-prinsip syariah1.
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan
Unit Usaha Syaria, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.2
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan lainnya yang dinyatakan
dengan syariah.3
Istilah bank syariah merupakan fenomena baru dalam dunia ekonomi modern.
Kemunculannya berawal dari upaya gencar yang dilakukan oleh para pakar Islam dalam
mendukung sistem ekonomi Islam. Disebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Sama halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga merupakan lembaga yang
melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan
melayani jasa lalu lintas pengiriman uang.4

Perkembangan perbankan syariah telah memberi pengaruh luas terhadap perbaikan


ekonomi umat dan kesadaran baru untuk mengadopsi lembaga-lembaga keuangan Islam.
Dalam rangka ekspansi perbankan syariah, pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR RI
telah mengganti Undang-undang Perbankan Nomor 14 Tahun 1967 dengan Undang-undang
Perbankan Nomor 7 Tahun 1992, dengan esensi diperbolehkannya operasional perbankan
dengan sistem bagi hasil selain dari sistem bunga. Melihat perkembangan yang ada, maka
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 disempurnakan lagi dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998, yang memperkenalkan dual banking system. Dual Banking System atau Double

1
Heri Sudarsono (2003 : 27)
2
UU RI NO.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Bab 1 Pasal 1
3
Menurut UU No. 10 Tahun 1998 dalam buku Sofyan S. Harahap, dkk (2005 : 3)
4
Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Windows System adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah)
secara berdampingan dalam melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur
dalam berbagai peraturan yang berlaku tanpa harus memiliki Unit Usaha Syariah (UUS).
Perkembangan paling mutakhir adalah lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Sehingga semakin memperkokoh eksistensi perbankan syariah
dalam lalu lintas perekonomian.

B. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia


Ide untuk mendirikan Bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul sejak
1970-an. Pada 1974 diadakan seminar nasional Indonesia dengan Timur Tengah tentang
pendirian bank syari’ah. Pada 1976 diadakan seminar internasional yang dilaksanakan oleh
Lembaga Study Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika.

Setelah diadakan penelitian yang mendalam, usaha untuk mendirikan bank syariah sedikit
ada kendala, yaitu tidak ada payung hukum yang mengatur tentang bank yang operasionalnya
yang memakai prinsip bagi hasil. Kalau tetap dioperasikan bank syariah itu, maka tidak
sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokokpokok perbankan yang
berlaku pada waktu itu. Selain hambatan ini lahirnya bank syariah ini dianggap sementara
oleh pihak ada keterkaitan dengan faktor idiologi yang dianggapnya bagian dari konsep
negara Islam.

Pada tanggal 18-19 Agustus 1990 MUI menyelenggarakan Lokakarya bunga bank dan
perbankan di Cisarua Bogor Jawa Barat. 22-25 Agustus 1990 diadakan Musyawarah nasonal
IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya dalam rangka menindaklanjuti hasil
lokakarya. Hasil musyawarah tersebut adalah dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan
bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 1 November 1991 didirikan Bank Muamalat Indonesia
Pada tahun 1992 tepatnya tanggal 1 Mei Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah
pertama resmi beroperasi sebelum lahirnya undang-undang atau peraturan tentang bank
syariah.

Pada tahun 1992 dibuat undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang “bank berdasarkan
prinsip bagi hasil”, yang secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan
yang memililiki dasar operasional bagi hasil. Tetapi dalam UU ini tidak terdapat rincian
landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Ketentuan perundang-undangan tersebut telah dijadikan sebagai dasar hukum
beroperasinya bank syariah di Indonesia yang menandai dimu-lainya era sistem perbankan
ganda (dual banking system) di Indonesia. Pada tahun 1998 (era Reformasi) ini dikeluarkan
UU No. 10 tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992. Dikeluarkannya
sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia.
Peraturan - peraturan tersebut memberikan kesempatan yang luasuntuk mengembangkan
jaringan perbankan syariah antara lain melalui ijin pembukaan kantor cabang syariah (KCS)
oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank umum dapat menjalankan dua kegiatan
usaha, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.

Bank Indonesia juga menerbitkan peraturan Bank Indonesia No. 471/PBI/2002 tentang
perubahan kegiatan usaha bank umum konvensional menjadi bank umum berdasarkan prinsip
syariah dan pembukaan kantor bank berdasarkan prinsip syariah oleh bank umum
konvensional. Tahun 1999 dikeluarkannya UU No. 23 tahun 1999 tentang bank Indonesia
yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan
tugasnya berdasarkan prinsip syariah. UU tersebut digunakan sebagai landasan hukum yang
lebih kuat tentang perbankan.

Perkembangan Bank Muamalat Indonesia masih tergolong stagnan pada tahun 1992
hingga 1999. Namun sejak adanya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahuan 1997
dan 1998, maka para bankir melihat banwa Bank Muamalat Indonesia (BMI) tidak terlalu
terkena dampak krisis moneter. Para bankir berpikir bahwa BMI, satu-satunya bank syariah
di Indonesia yang tahan terhadap krisis moneter. Pada tahun 1999, berdirilah Bank Syariah
Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti. Bank Susila Bakti tersebut
merupakan bank konvensional yang dibeli oleh Bank Dagang Negara, yang kemudian
dikonversi jadi Bank Syariah Mandiri, bank syariah kedua Indonesia. Pendirian Bank Syariah
Mandiri (BSM) menjadi pertaruhan bagi bankir syariah. Bila Bank Syariah Mandiri berhasil,
maka bank syariah di Indonesia dapat berkembang Sebaliknya, bila Bank Syariah Mandiri
gagal maka besar kemungkinan bank syariah di Indonesia akan gagal. Hal ini disebabkan
karena Bank Syariah Mandiri merupakan bank syariah yang didirikan oleh BUMN milik
pemerintah. Ternyata Bank Syariah Mandiri dengan cepat mengalami perkembangan.
Dengan pendirian Bank Syariah Mandiri ini kemudian diikuti oleh pendirian beberapa bank
syariah atau unit usaha syariah lainnya.5

5
Ismail, Perbankan Syariah, , (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2013) hal. 45
Hingga Maret 2013 BMI sudah memiliki 79 kantor cabang, 158 kantor cabang pembantu,
121 kantor kas yang tersebar diseluruh Indonesia. Selain tujuan dibentuknya bank syariah
sebagaimana tersebut diatas, juga diharapkan melalui bank syariah dapat meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan industri perbankan, terutama dalam
bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat yang masih enggan
berhubungan dengan bank, sebab bank dianggap mempraktikan riba dalam transaksi yang
dilakukannya, padahal riba itu haram hukumnya dalam syariat Islam.6

C. Prinsip-Prinsip Dasar Bank Syariah7


Dalam operasinya, bank Syariah mengikuti aturan-aturan dan norma-norma Islam, seperti
yang disebutkan dalam pengertian di atas, yaitu:
1) Bebas dari bunga (riba);
2) Bebas dari kegiatan spekulatif yang non produktif seperti perjudian (maysir);
3) Bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan meragukan (gharar);
4) Bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil); dan
5) Hanya membiayai kegiatan usaha yang halal.
Secara singkat empat prinsip pertama biasa disebut anti MAGHRIB (maysir, gharar, riba,
dan bathil).
 Pelarangan Riba
Bank Syariah beroperasi tidak berdasarkan bunga, sebagaimana yang lazim dilakukan
oleh bank konvensional, karena bunga mengandung unsur riba yang jelas-jelas dilarang
dalam Al Qur’an. Riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara
bathil (Saeed, 1996). Dikatakan bathil karena pemilik dana mewajibkan peminjam untuk
membayar lebih dari yang dipinjam tanpa memperhatikan apakah peminjam mendapat
keuntungan atau mengalami kerugian.
Alternatif yang ditawarkan oleh Islam sebagai pengganti riba/bunga yang utama adalah
praktek bagi hasil, ketika peminjam dan yang meminjamkan berbagi dalam risiko dan
keuntungan dengan pembagian sesuai kesepakatan. Dalam hal ini tidak ada pihak yang
ditindas (dizalimi) oleh yang lain.
 Pelarangan Maysir

6
Abdul Manan, Hukum ekonomi Syari’ah, , (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2017) hal. 206
7
Ascarya dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, Jakarta, PPSK Bank Indonesia, 2005, hal.4
Dalam Islam, maysir yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang
mengandung unsur judi, taruhan, atau permainan berrisiko. Judi dalam segala bentuknya
dilarang dalam syariat Islam secara bertahap. Tahap pertama, judi merupakan kejahatan
yang memiliki mudharat (dosa) lebih besar dari pada manfaatnya (QS 2: 219). Tahap
berikutnya, judi dan taruhan dengan segala bentuknya dilarang dan dianggap sebagai
perbuatan zalim dan sangat dibenci (QS 5: 90-91). Selain mengharamkan bentuk-bentuk
judi dan taruhan yang jelas, hukum Islam juga mengharamkan setiap aktivitas bisnis yang
mengandung unsur judi (Shiddiqi, 1985).
 Pelarangan Gharar
Dalam Islam, yang termasuk gharar adalah semua transaksi ekonomi yang
melibatkan unsur ketidakjelasan, penipuan atau kejahatan. Dalam dunia bisnis, gharar
artinya menjalankan suatu usaha secara buta tanpa memiliki pengetahuan yang cukup, atau
menjalankan suatu transaksi yang risikonya berlebihan tanpa mengetahui dengan pasti apa
akibatnya atau memasuki kancah risiko tanpa memikirkan konsekuensinya, meskipun
unsur ketidakpastian, yang tidak besar, boleh saja ada kalau memang tidak bisa
ditinggalkan. Afzal-ur-Rahman (1990) membagi konsep gharar menjadi dua:
a). Gharar karena adanya unsur risiko yang mengandung keraguan, probabilitas,
dan ketidakpastian secara dominan; dan
b). Gharar karena adanya unsur yang meragukan yang dikaitkan dengan penipuan
atau kejahatan oleh salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

D. Produk-Produk Perbankan Syariah


Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Produk Penyaluran
Dana; Produk Penghimpunan Dana, dan Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan
perbankan kepada nasabahnya.
1. Produk Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, produk pembiayaan syariah terbagi
ke dalam empat kategori yaitu :8
a. Prinsip Jual Beli (Bay’)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan
kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Prinsip ini dapat dibagi sebagai
berikut:

8
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 98
 Pembiayaan Murabahah
Menurut Muhammad Ibn Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd bahwa
pengertian murabahah yaitu: Bahwa pada dasarnya murabahah tersebut adalah
jual beli dengan kesepakatan pemberian keuntungan bagi si penjual dengan
memperhatikan dan memperhitungkannya dari modal awal si penjual.9
 Pembiayaan Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan
belum ada.
 Pembiayaan Istisna
Produk Istisna menyerupai produk salam, tapi dalam Istisna
pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin)
pembayaran.

b. Prinsip Sewa (Ijarah)


Transaksi Ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya
prinsip Ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun perbedaanya terletak pada
objek traksaksinya bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada
Ijarah objek transaksinya adalah jasa.
c. Prinsip Bagi Hasil (Shirkah)
 Pembiayaan Musharakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah Musharakah (shirkah atau
sharikah atau serikat atau kongsi). Dalam artian semua modal disatukan untuk
dijadikan modal proyek Musharakah dan dikelola bersama-sama.10
 Pembiayaan Mudharabah.
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana
pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada
pengelola (mudarib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.

d. Akad Pelengkap
 Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Tujuan fasilitas Hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal
tunai agar dapat melanjutkan produksinya.

9
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan…., hal. 99
10
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), hal. 99
 Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali
kepada bank dalam memberikan pembiayaan.11
 Qard (Pinjaman Uang)
Qard adalah pinjaman uang. Aplikasi qard dalam perbankan biasanya dalam
empat hal, yaitu: pertama, sebagai pinjaman talangan haji, kedua, sebagai
pinjaman tunai (cash advanced), ketiga, sebagai pinjaman kepada pengusaha
kecil, keempat, sebagai pinjaman kepada pengurus bank.
 Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa
kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti
inkasi dan transfer uang.
 Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran
suatu kewajiban pembayaran12
2. Produk Penghimpunan Dana
Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana
masyarakat adalah prinsip Wadiah dan Mudharabah.
3. Produk Jasa
a. Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus
dilakukan pada waktu yang sama (spot).
b. Ijarah (Sewa)
Menurut bahasa ijarah adalah (menjual mafaat). Sedangkan menurut
istilah syarak menurut pendapat ulama Hanafiyah: Ijarah adalah akad atas
suatu kemanfaatan dengan pengganti.

Rivai, dan Veithsal, Islac Financial Manajement, Teori, Konsep dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga
11

Keuangan, Nasabah, Praktisi dan Mahasiswa (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 90

12
Moh. Zuhri, Terjemah Fiqh Empat Madzab, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), Hal. 169.
E. Mekanisme Pembiayaan Di Bank Syariah
a. Pengertian Pembiyaan
Dalam kegiatan penyaluran dana, lembaga keuangan baik bank maupun non-bank
dengan cara melakukan pembiayaan. Pembiayaan yang dilakukan lembaga keuangan
baik bank maupun non-bank karena berhubungan dengan rencana untuk memperoleh
pendapatan. Pembiayaan dalam perbankan syariah atau istilah teknisnya aktiva
produktif, menurut ketentuan Bank Indonesia adalah penanaman dana bank syariah
baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat
berharga syariah, penyertaan modal sementara dan kontijensi pada rekening
administrasi serta sertifikat wadiah Bank Indonesia.13
Menurut UU No. 7 Tahun 1992 yang dimaksud pembiayaan adalah “Penyediaan
uang atau tagihan atau dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan tujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu ditambah dengan
jumlah bunga, imbalan atau bagi hasil.
Perbedaan mendasar antara pembiayaan yang diberikan oleh bank konvensional
dengan pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah adalah terletak pada keuntungan
yang diharapkan. Pada bank konvensional keuntungan yang diperoleh yaitu melalui
bunga, sedangkan bagi bank syariah keuntungan yang diperoleh berupa imbalan atau
bagi hasil.14
b. Tujuan pembiayaan
Secara umum tujuan pembiayaan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: tujuan
pembiayaan untuk tingkat makro, dan tujuan pembiayaan untuk tingkat mikro.
Secara makro dijelaskan bahwa pembiayaan bertujuan :
(1) Peningkatan ekonomi umat,
(2) Meningkatkan produktivitas,
(3) Membuka laangan kerja baru,
(4) Terjadinya distribusi pendapatan,15
Adapun secara mikro, pembiayaan bertujuan untuk:
(1) Upaya memaksimalkan laba, artinya setiap usaha yang dibuka memiliki tujuan
tertinggi, yaitu menghasilkan laba usaha.

13
Alaudin Al-Kasani, Badai’ash-Shanai’fi Tartib Asy-Syara’i, IV: 174
14
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Bandung,, 2005), hal.17.
15
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). (Yogyakarta: UII Press, 2004). hal. 163.
(1) Upaya meminimalkan risiko,artinya usaha yang dilakukan agar mampu
menghasilkan laba maksimal.
(2) Pendayagunaan sumber ekonomi,artinya sumber daya ekonomi dapat
dikembangkan dengan melakukan mixing antara sumber daya alam dengan
sumber daya manusia sertaa sumber daya modal.
(3) Penyaluran kelebihan dana, artinya : dalam kehidupan masyarakat ada pihak yang
kelebihan dana, sementara ada pihak yang kekurangan dana.16
c. Pembiayaan Investasi Syariah
Investasi adalah penanaman dana dengan maksud untuk memperoleh
imbalan/manfaat/keuntungan di kemudian hari, mencakup hal-hal antara lain:
(1) Imbalan yang diharapkan dari investasi adalah berupa keuntungan dalam bentuk
financial atau uang (financial benefit).
(2) Badan usaha umumnya bertujuan untuk memperoleh keuntungan beruapa uang,
sedangkan badan sosial dan badan-badan pemerintah lainnnya lebih bertujuan
untuk memberikan manfaat sosial (social benefit) dibandingkan dengan
keuntungan finansialnya.
(3) Badan-badan usaha yang mendapatkan pembiayaan investasi dari Bank harus
mampu memperoleh keuntungan financial (financial benefit) agar dapat hidup
dan berkembang serta memenuhi kewajibannnya kepada Bank.
Investasi dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori ; yaitu :
(1) Investasi pada masing-masing komponen aktiva lancar
(2) Investasi pada aktiva tetap atau proyek
(3) Investasi dalam efek atau surat berharga (Securities)
Pembiayaan investasi adalah pembiayaan jangka menengah atau jangka panjang
untuk pembelian barang-barang modal yang diperlukan untuk17 :
(1) Pendirian proyek baru,
(2) Rehabilitas,
(3) Modernisasi,
(4) Ekspansi,
(5) Relokasi proyek yang sudah ada.

16
Rivai, dan Veithsal, Islac Financial Manajement, Teori, Konsep dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga
Keuangan, Nasabah, Praktisi dan Mahasiswa (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 6
17
Rivai, dan Veithsal, Islac Financial Manajement, Teori, Konsep dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga
Keuangan, Nasabah, Praktisi dan Mahasiswa (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 69
d. Pembiayaan Konsumtif Syariah
Pembiayaan konsumtif yang diberikan untuk tujuan di luar usaha dan umumnya
bersifat perorangan.25 Menurut jenis akadnya dalam produk pembiayaan syariah,
pembiayaan konsumtif dapat dibagi menjadi lima bagian :
(1) Pembiayaan konsumen akad Murabahah
(2) Pembiayaan komsumen akad Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
(3) Pembiayaan konsumen akad Ijarah
(4) Pembiayaan komsumen akad Istish’na
(5) Pembiayaan konsumen akad Qard + Ijarah18

F. Tujuan Didirikannya Bank Syariah19


Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak
lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
yang dinyatakan sesuai dengan syariah. Sehingga Bank Syariah ialah badan usaha yang
bergerak dalam bidang perbankan yang sistem operasionalnya didasarkan pada prinsipprinsip
syariat Islam.
Sedangkan tujuan didirikannya Bank Syariah adalah meningkatkan usaha menuju
kesejahteraan umat dengan mengaitkan pembangunan ekonomi dan sosial serta
menyelamatkan umat Islam dari membayar dan menerima bunga yang termasuk perbuatan
riba serta dampak sampingnya yang tidak dikehendaki oleh Islam.
Menurut Syafi’i Antonio dalam bukukunya Bank Syariah: Dari Teori dan Praktik; tujuan
utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan syariah ini adalah sebagai upaya kaum
muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Quran dan
As-Sunnah.

G. Fungsi dan Peran Bank Syariah20


Fungsi dan peran bank syariah yang diantaranya tercantum dalam pembukuan standar
akuntansi yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for
Islamic Financial Institution), sebagai berikut:
1) Manajer investasi, bank syariah dapat mengelolah dana nasabah

18
Rivai, dan Veithsal, Islac Financial Manajement, Teori, Konsep dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga
Keuangan, Nasabah, Praktisi dan Mahasiswa (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 90
19
Fatikul Himami, Perbankan Syariah, http://digilib.uinsby.ac.id/20258/1/Perbankan%20Syariah.pdf, 2014
20
Muchtar Ali, Buku Saku Perbankan Syariah, Jakarta, Kemenag RI, 2013, hal.45
2) Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dan
nasabah yang dipercayakan kepadanya
3) Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan
kegitan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya.
4) Pelaksanaan kegiatan social, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah,
bank islam juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola zakat serta
dana-dana social.

H. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional


I. Kelembagaan Perbankan Syariah di Indonesia21
Perbankan syariah memiliki kelembagaan yang agak berbeda dengan perbankan
konvensional. Dalam perbankan syariah, bank terbagi menjadi bank umum syariah, unit
usaha syariah, dan BPR syariah. Di luar bank terdapat Dewan Syariah Nasional, Dewan
Pengawas Syariah, Badan Arbitrase Syariah Nasional, dan Bank Indonesia.
 Bank Syariah
Secara kelembagaan, bank syariah di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga kelompok,
yaitu Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS). BUS memiliki bentuk kelembagaan seperti bank umum
konvensional, sedangkan BPRS memiliki bentuk kelembagaan seperti BPR konvensional.
Badan hukum BUS dan BPRS dapat berbentuk Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,
atau Koperasi. Sementara itu, UUS bukan merupakan badan hukum tersendiri, tetapi
merupakan unit atau bagian dari suatu bank umum konvensional.
 Bank Umum Syariah
Bank Umum Syariah (BUS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
BUS merupakan badan usaha yang setara dengan bank umum konvensional dengan
bentuk hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau Koperasi. Seperti halnya
bank umum konvensional, BUS dapat berusaha sebagai bank devisa atau bank nondevisa.
 Unit Usaha Syariah
Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja di kantor pusat bank umum konvensional
yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah dan atau unit syariah.
Dalam struktur organisasi, UUS berada satu tingkat di bawah direksi bank umum
konvensional yang bersangkutan. UUS dapat berusaha sebagai bank devisa atau bank
nondevisa. Sebagai suatu unit kerja khusus, UUS mempunyai tugas untuk 1) mengatur
dan mengawasi seluruh kegiatan kantor cabang syariah, 2) melaksanakan fungsi treasury
dalam rangka pengelolaan dan penempatan dana yang bersumber dari kantor cabang
syariah, 3) menyusun laporan keuangan konsolidasi dari seluruh kantor cabang syariah,
dan 4) melakukan tugas penatausahaan laporan keuangan kantor cabang syariah.
 Bank Perkreditan Rakyat Syariah
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu

21
Ascarya dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, Jakarta, PPSK Bank Indonesia, 2005, hal.68
lintas pembayaran. BPRS merupakan badan usaha yang setara dengan bank perkreditan
rakyat konvensional dengan bentuk hukum Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, atau
Koperasi.
 Dewan Syariah Nasional
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian
antara produk, jasa, dan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah (bank, asuransi,
reksadana, modal ventura, dan sebagainya) dengan prinsip syariah. Ada tiga hal yang
melatarbelakangi pembentukan DSN, yaitu:
1) Mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong
penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai
dengan tuntunan syariat Islam;
2) Efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan
dengan masalah ekonomi/keuangan; dan
3) Mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi dan keuangan.

Fungsi utama DSN adalah mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Untuk itu, DSN membuat guidelines produk
syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Fungsi lain DSN antara lain meneliti
dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syariah.

Sampai saat ini DSN telah mengeluarkan 42 buah fatwa yang berhubungan dengan
produk, jasa, dan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah. DSN juga mempunyai
kewenangan untuk memberikan/mencabut rekomendasi para ulama yang akan/ sedang
ditugaskan sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keuangan syariah.
DSN, setelah menerima laporan dari DPS, dapat memberikan teguran kepada lembaga
keuangan syariah yang produk, jasa, atau kegiatan usahanya menyimpang dari guidelines
yang telah ditetapkan, dan mengusulkan sanksi kepada otoritas yang berwenang apabila
teguran tidak diindahkan.

Saat ini DSN memiliki 52 anggota pengurus. Ketua dan sekretaris DSN dijabat secara ex
officio oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Sementara itu, BPH-DSN, yang
berperan sebagai pelaksana tugas dan fungsi DSN sehari-hari, memiliki 18 anggota yang
terbagi ke dalam tiga kelompok kerja (pokja), yaitu pokja Perbankan dan Pegadaian, pokja
Asuransi dan Lembaga Bisnis Syariah, dan pokja Program Kegiatan dan Pasar Modal. Untuk
mengefektifkan peran DSN pada lembaga keuangan syariah, maka dibentuklah Dewan
Pengawas Syariah sebagai perwakilan DSN pada lembaga keuangan syariah yang
bersangkutan.

 Dewan Pengawas Syariah Dewan

Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan setingkat dewan komisaris yang bersifat
independen, yang dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional dan ditempatkan pada lembaga
keuangan syariah yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dengan tugas
yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional. Tugas utama DPS bank syariah adalah mengawasi
kegiatan operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah,
khususnya yang tertuang dalam guidelines dan fatwa-fatwa DSN. Dari hasil pengawasan
tersebut DPS akan membuat pernyataan secara berkala tentang kesesuaian operasi bank
dengan prinsip syariah, yang biasanya dimuat dalam laporan tahunan bank yang
bersangkutan. Selain itu, DPS juga meneliti dan merekomendasi produk baru dari bank yang
diawasinya dari segi kesesuaian dengan prinsip syariah, terutama dengan guidelines dan
fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.

Secera ringkas, fungsi DPS ada empat, yaitu:

1) Sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, UUS, dan pimpinan kantor cabang
syariah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan syariah;

2) Sebagai pengawas aktif dan pasif dari pelaksanaan fatwa-fatwa DSN serta memberi
pengarahan/pengawasan atas produk/jasa dan kegiatan usaha agar sesuai dengan prinsip
Syariah;

3) Sebagai mediator antara bank dan DSN dalam mengomunikasikan usul dan saran
pengembangan bank syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya setahun
sekali; dan

4) Sebagai perwakilan DSN yang ditempatkan pada bank, dan wajib melaporkan kegiatan
usaha serta perkembangan bank syariah yang diawasinya ke DSN sekurang-kurangnya
setahun sekali.

 Badan Arbitrase Syariah Nasional


Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah lembaga yang menengahi
perselisihan antara bank dan nasabahnya sesuai dengan tata cara dan hukum syariah.
Lembaga ini pertama kali didirikan bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan
Majelis Ulama Indonesia dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia, yang
kemudian diubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional. Apabila terjadi perselisihan
antara bank dan nasabahnya, mereka pertama kali biasanya memilih datang ke
BASYARNAS sebelum ke pengadilan negeri karena cara ini lebih efisien dalam hal biaya
dan waktu.
 Bank Indonesia
Sesuai dengan amanat Undang-undang RI No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 3 tahun 2004,
bahwa dalam rangka pengendalian moneter dengan cara-cara yang termasuk, tetapi tidak
terbatas pada Operasi Pasar Terbuka (OPT), penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan
wajib minimum dan pengaturan kredit atau pembiayaan berlaku juga berdasarkan prinsip
syariah. Peran Bank Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan perbankan syariah
nasional saat ini. Bank Indonesia telah melakukan langka-langkah kebijakan untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif, kompetitif, efisien, dan hati-hati bagi industri
perbankan syariah. Semua ini dilakukan untuk mendukung sektor riil melalui pembiayaan
bagi hasil yang selanjutnya akan memberikan dampak kesejahteraan bagi negara.

Anda mungkin juga menyukai