Anda di halaman 1dari 3

110

Lampiran 4

TES URAIAN

1. Bacalah teks opini di bawah ini.


Tentang Baik dan Benar
Oleh: Agus Sri Danardana

Tak dapat dimungkiri bahwa dalam berbahasa (Indonesia), ukuran baik dan
benar masih sering menjadi perbalahan. Sekalipun mudah didefinisikan, ukuran baik
dan benar itu acap kali bias dalam implementasinya. Mungkin karena secara
terminologis kata baik dan benar itu sudah menyaran pada hal yang sempurna, tanpa
cacat sehingga orang pun tidak segan-segan memaknai slogan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar itu sama dengan bahasa Indonesia baku. Sebagai
akibatnya, tidak jarang orang (Indonesia) merasa tidak memiliki kemampuan untuk
berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bahkan, banyak pula orang yang
kemudian berantipati pada slogan itu karena merasa telah dibelenggunya.
Menganggap bahasa Indonesia yang baik dan benar sama dengan bahasa Indonesia
baku adalah sebuah kekeliruan. Bahasa Indonesia baku sesungguhnya hanyalah
salah satu ragam bahasa Indonesia yang secara kebijakan (policy) ditetapkan sebagai
acuan penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi resmi. Padahal, dalam kehidupan
sehari-hari, kebanyakan orang lebih sering berada dalam situasi tidak resmi sehingga
tuntutan untuk selalu berbahasa Indonesia ragam baku itu memang tidak ada.
Secara sederhana, bahasa yang baik dan benar dapat dijelaskan sebagai
berikut. Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi
pemakaiannya, sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai
dengan kaidah (aturan) bahasa. Karena ditentukan oleh banyak hal (seperti tempat,
topik, dan tujuan pembicaraan serta kawan/lawan bicara), yang dapat memunculkan
banyak ragam bahasa, ukuran bahasa yang baik (sesuai dengan situasi pemakaian
bahasa) sering dipahami secara salah oleh banyak orang. Pada umumnya, orang
cenderung menyederhanakan cakupan pengertian situasi pemakaian bahasa itu,
misalnya, hanya terbatas pada tempat saja. Hal itu diperparah lagi oleh rendahnya
111

penguasaan kaidah bahasa (Indonesia) mereka. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
masyarakat (Indonesia) gemar melanggar aturan, tak terkecuali aturan bahasa yang
meliputi tata bunyi/lafal, tatatulis/ejaan, tatakata, tatakalimat, dan tatamakna itu.
Rupanya, di sinilah letak persoalannya. Banyak orang yang menganggap
bahwa bahasa Indonesia hanya memiliki satu warna/ ragam. Mereka tidak (mau)
menyadari bahwa bahasa Indonesia memiliki banyak ragam, identik dengan
keanekaragaman masyarakat penggunanya. Pada umumnya, karena tidak memiliki
kesadaran itu, mereka hanya menguasai satu ragam bahasa sehingga di mana pun dan
kapan pun selalu menggunakan ragam bahasa yang dikuasainya itu. Ibarat
berpakaian, di mana pun dan kapan pun mereka selalu memakai pakaian yang sama.
Atas dasar itu, sesungguhnya orang tidak perlu berbahasa baku saat tawar-
menawar di pasar atau sedang mengobrol dengan tetangga saat ronda. Dalam situasi
tidak resmi seperti itu, bentuk-bentuk tidak baku, seperti duit alih-alih uang;
awak/aku/ane/gue alih-alih saya; dan biarin alih-alih biarkan, justru layak
digunakan. Bayangkan, betapa lucu dan aneh jika dalam tawar- menawar terjadi
dialog seperti berikut ini.
“Bang, berapakah harga satu kilo daging ini?”
“Satu kilo daging ini saya jual Rp100.000,00, Bu.”
“Apakah tidak boleh ditawar, Bang?”
“Boleh, boleh. Berapa Ibu menawar?”
“Rp90.000,00 saja ya, Bang.”
Pun sebaliknya, sangatlah tidak pantas jika ada orang menggunakan bentuk-
bentuk tidak baku itu dalam sebuah seminar, dengan teman akrabnya sekalipun.
Dalam batas-batas tertentu, pelanggaran atas penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar mungkin masih dapat dimaklumi. Penghilangan imbuhan
(awalan) pada judul tulisan di surat kabar, misalnya, masih dapat dimaklumi karena
surat kabar memiliki keterbatasan ruang. Konon, setiap jengkal ruang (karakter) di
surat kabar bernilai bisnis. Oleh karena itu, permakluman yang sama seharusnya
tidak diberikan kepada penyiar yang membacakan tulisan itu untuk
pendengar/pemirsanya. Mengapa? Karena penyiar tidak terikat oleh ruang. Kalaupun
112

penyiar terikat oleh waktu, sesungguhnya ia tetap memiliki kebebasan untuk


menyiasatinya: dengan mempercepat tempo, misalnya.
Bagaimana dengan bahasa iklan dan sastra? Tidak berbeda dengan ragam
bahasa yang lain, ukuran baik dan benar tetap dapat berbahasa dalam iklan dan sastra
(kalau memang ada) harus dipandang sebagai kreativitas berbahasa
pembuat/pengarang selama tidak bertentangan dengan kaidah bahasa yang berlaku.
Semua orang mungkin sepakat bahwa iklan yang berbunyi: Terus terang, … terang
terus, misalnya, adalah contoh kreativitas berbahasa yang berestetika tinggi. Akan
tetapi, bagaimana dengan iklan yang berbunyi: …melindungi dari kuman? Sebagai
contoh yang baikkah bunyi iklan itu? Tentu tidak. Mengapa? Karena bunyi iklan
yang terakhir itu, di samping tidak mengajari orang berlogika dengan baik, juga
dapat mengecoh dan membodohi konsumen. Betapa tidak, seandainya tangan
konsumen tiba-tiba gatal-gatal atau bahkan melepuh setelah menggunakan produk
yang diiklankan itu, perusahaan pembuat produk itu pun akan dapat lepas tanggung
jawab atas tuntutan konsumen karena bunyi iklannya memang tidak menjanjikan
dapat melindungi apapun, apalagi tangan konsumen.
Keanehan berbahasa, karena sudah berlangsung lama dan
berterima, sering tidak dianggap sebagai kesalahan. Dalam suratmenyurat atau dalam
pidato-pidato, misalnya, kalimat yang berbunyi Atas perhatiannya, diucapkan terima
kasih seolah-olah sudah menjadi baku dan dianggap benar. Padahal, jika ditanya
siapa yang memberi perhatian dan siapa yang memberi ucapan, pasti tidak ditemukan
jawaban yang benar karena –nya dan di- mengacu kepada orang ketiga: bukan orang
pertama dan kedua yang sedang berdialog, baik dalam surat maupun pidato.
Begitulah, berbahasa dengan baik dan benar ternyata tidak hanya dapat
memperlancar komunikasi, tetapi juga dapat meluruskan cara berpikir (berlogika)
dan sekaligus mengajarkan cara bertanggung jawab.

Sumber: Buku siswa kelas XII Kurikulum 2013 (Kemendikbud. 2015. Bahasa
Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Kemendikbud RI)

Anda mungkin juga menyukai