Anda di halaman 1dari 164

Bab 1

Impian, Kebebasan, Dan Batas

Di bawah terik matahari, awak kapal berkulit gelap menurunkan tangga ke dermaga.
Ginzy, kapten Mantis-go , berdiri di dermaga dengan sombongnya sembari bersedekap.
Ketika Haruhiro melambai, Ginzy mengangkat rahangnya, kemudian mengerutkan wajah
ikannya.
Apakah dia sedang tersenyum? Atau nyengir, mungkin? Sulit dibedakan.
Perjalanan sudah memakan waktu selama lima hari, termasuk keberangkatan dan kedatangan,
namun sampai sekarang pun, Haruhiro masih tidak suka manusia ikan itu. Tentu saja, sejak
awal dia juga tidak punya niatan berteman dengannya, jadi dia tidak merasa kecewa jika tidak
begitu mengenal Sahuagin itu.
Meskipun Ginzy berpangkat kapten, awak-awak kapalnya juga membencinya. Mereka
sepertinya menyembunyikan kejengkelan pada orang itu. Dia sama sekali tidak bijak sebagai
pemimpin, dan kurang sopan pada bawahannya. Mengapa PT. Bajak Laut K&K memilih
Sahuagin sialan itu sebagai kapten Mantis-go ?
Ginzy dan pendiri K&K, yang bernama Kisaragi, adalah teman baik, jadi mungkin saja dia
mendapatkan pangkatnya dengan nepotisme. Padahal, untuk memilih seorang pemimpin, kau
harus benar-benar mempertimbangkan kemampuannya, tanpa mempedulikan seberapa dekat
orang itu denganmu.
Yahh..harusnya sih begitu.
Sembari menghadap tangga di depannya, Haruhiro melihat wajah teman-temannya satu per
satu.
Kuzaku ada di sana. Seperti biasa, si jangkung itu selalu tampak mencolok di manapun dia
berada. Bahkan, mungkin saja tubuhnya akan semakin tinggi di masa depan.
Shihoru terlihat tidak sehat karena masih saja bermasalah dengan mabuk laut selama
perjalanan. Di dekatnya, Mary memandangnya dengan wajah gelisah.
Setora juga ada di sana. Nyaa kelabu, Kiichi, pun bersamanya.
Yahh, itu saja. Mereka telah memutuskan meninggalkan Yume bersama Momohina, sang
KMW, untuk sementara waktu.
KMW adalah kependekan dari “Kung-fu master Mage Wanita,”… atau apalah itu. Nama yang
cukup konyol bukan?
Sehingga, mereka tidak bisa memutuskan hubungan dengan PT. Bajak Laut K&K, yahh…
setidaknya sampai Yume kembali.
Namun, sejujurnya mereka masih berat meninggalkan Yume bersama orang-orang seperti
mereka.
Aku ingin menjadi lebih kuat, kurang-lebih seperti itulah hal yang diinginkan Yume sebelum
meninggalkan Party Haruhiro.

1
Haruhiro pun memahaminya, dia juga ingin menjadi lebih kuat bila mampu. Namun, Haruhiro
tidak punya semangat sebesar Yume, dia lebih suka meningkatkan level tim daripada dirinya
sendiri. Sebaliknya, Yume merasa cukup yakin bahwa kemampuannya akan semakin baik bila
berlatih bersama Momohina.
Mungkin Yume merasa bahwa dia belum memaksimalkan semua potensi dirinya. Haruhiro pun
setuju dia masih punya banyak kesempatan untuk menjadi lebih baik. Namun…..apakah
sekarang saat yang tepat untuk meninggalkan Party?
Yume adalah seorang Hunter, lalu apakah dia harus merubah statusnya menjadi Master Kung-
gu?
Lagian, apa sih Master Kung-fu itu?
Apapun alasannya, Haruhiro berharap setidaknya Yume membicarakan semuanya terlebih
dahulu. Toh Yume sudah yakin ingin tinggal, maka Haruhiro tidak bisa melarangnya. Tapi,
bagaimanapun juga ini terlalu mendadak, Haruhiro perlu waktu untuk mempersiapkan diri
kehilangan salah satu rekannya.
Selama perjalanan di kapal, Haruhiro terus memikirkan bagaimana formasi tim jika Yume
sudah tidak ada, semakin banyak dia memikirkannya, dia pun semakin gelisah. Yume
meninggalkan peran yang begitu penting pada formasi tim, sehingga sulit dicari penggantinya.
Yume bukanlah orang yang bisa menyusun strategi secara logis, namun dia punya insting
setajam hewan yang selalu bisa diandalkan untuk memprediksi apa yang akan terjadi
selanjutnya. Mungkin dia sudah merasa bahwa teman-temannya akan kesulitan bila dia
meninggalkan Party, itulah kenapa dia tidak pernah menyatakan niatnya sebelumnya, bahkan
pada teman terdekatnya, Shihoru. Setelah berulang kali memikirkan kembali keputusannya,
akhirnya dia pun meninggalkan tim. Yahh…memang seperti itulah Yume.
Haruhiro tidak ingin menyalahkan siapapun, namun tetap saja dia kehilangan rekan sebaik
Yume. Sebagai pemimpin, dia tidak bisa menunjukkan kekecewaan itu pada rekan-rekannya,
itu hanya akan membuat suasana semakin buruk.
Dia berharap segera melupakan Yume, bagaikan orang yang bangun dari mimpinya.
‘Melupakan Yume, bagaikan terbangun dari Yume[1].’
Itu kalimat yang aneh…. tapi memang begitulah arti nama Yume.
Sekarang mereka tidak bisa kembali ke Kepulauan Permata untuk menjemputnya lagi, jadi
satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan saat ini hanyalah menerima kenyataan bahwa Yume
sudah tidak lagi bersama Party ini.
Untungnya, Yume tidak berniat meninggalkan Party ini selama-lamanya. Dia berjanji bahwa
suatu hari nanti akan kembali bersama mereka, dan Haruhiro tahu Yume selalu menepati
janjinya. Biasanya Haruhiro akan berpikiran pesimis dalam hal seperti ini, namun kali ini tidak.
Dia hanya perlu menunggu dengan sabar selama setengan tahun sampai Yume menyelesaikan
semua latihannya. Pokoknya, mereka harus bertahan selama itu.
... Yahh, setidaknya itulah yang dia harapkan.
Tidak peduli apapun yang terjadi, mereka harus bertahan sampai Yume kembali bersama tim.
Begitu Haruhiro menuruni tangga dari kapal menuju ke dermaga, seketika dia merasakan
perubahan suasana, meski dia tidak yakin apakah yang berbeda.
"Ahh, mungkin hanya perasaanku saja ..." gumamnya, sambil melihat sekeliling.

2
Di hadapannya, terhampar Kota Bebas Vele yang terkenal itu, dan Haruhiro terus saja
memandangi kota itu dengan takjub. Kota Pelabuhan Roronea sangatlah sibuk, bahkan setelah
menderita kerusakan parah pasca serangan naga, kota itu bisa kembali ramai seperti sedia kala.
Tetapi keramaian di Roronea sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Vele. Perbedaannya
terlalu jauh.
Berapa banyak dermaga yang dimiliki kota ini, dan berapa banyak jumlah kapal yang tertambat
padanya? Jumlahnya terlalu banyak, sampai-sampai kau tidak akan bisa menghitungnya.
Terlihat sejumlah besar pekerja yang sibuk mengangkut kargo naik-turun dari kapal-kapal
mereka di setiap dermaga, bahkan para bajak laut juga bekerja seakan tanpa akhir. Terdengar
teriakan-teriakan dan tawa pekerja di setiap arah.
Di sana-sini terlihat juga beberapa pria dan wanita berpakaian mewah yang naik semacam
becak dan tandu, siapakah mereka? Tampaknya orang penting.
Tentu saja, ada juga beberapa orang yang berpenampilan seperti Haruhiro dan Party-nya,
begitu pun dengan Orc kekar berkulit hijau. Tidak ketinggalan, Elf bertelinga runcing, Dwarf
cebol berjanggut lebat, Undead yang selalu saja terlihat pesakitan, Goblin, dan juga Kobold.
"Hei, itu kan ..." mata Setora terbelalak saat melihat salah seorang pekerja itu.
Tiba-tiba, Kiichi bersembunyi pada bahu Setora — atau lebih tepatnya, dia melilitkan tubuhnya
di leher Setora. Sebetulnya Nyaa itu cukup pemberani, namun sepertinya dia terganggu dengan
semua keramaian ini.
Pekerja yang ditunjuk Setora memikul begitu banyak barang di punggungnya. Namun,
sebenarnya itu tidak tepat disebut punggung. Pria itu memiliki empat kaki. Bagian atasnya
manusia, tetapi bagian bawahnya kuda. Dia bahkan punya ekor.
"Centaur," bisik Mary.
"Ohh, jadi itu ya Centaur ..." tanggap Haruhiro.
Dia hanya pernah mendengar makhluk itu dari orang sebelumnya. Setengah manusia, setengah
kuda. Kalau tidak salah, seharusnya Centaur adalah penduduk asli Dataran Quickwind.
Mungkin ini pertama kalinya Haruhiro melihat makhluk itu secara langsung.
“Dia besar juga. Aku yakin tenaganya juga sebesar kuda.” Kuzaku nyengir. "Karena memang
dia kuda…. Ehehe."
"Gak lucu." Setora segera mencerca guyonan itu.
Kuzaku tampak kecewa setelah leluconnya ditolak mentah-mentah oleh Setora. "Duh….gak
lucu ya..”
"Kau sama sekali tidak punya selera humor."
"Kau juga tidak berhak mengatakan itu, Setora-san.”
"Maksudnya!??" tanyanya dengan marah.
Ketika mereka turun di pelabuhan, seketika mereka terpukau dengan keanggunan Kota Bebas
Vele.
Altana hanya memiliki bangunan-bangunan yang sederhana dan tidak modis,
yahh…setidaknya cukup kuat, sih. Biasanya hanya dibuat dari kayu atau batu tanpa dihias
dengan cat-cat berwarna lainnya.

3
Tapi di Vele, standar bangunan di sini adalah berwarna putih, dan atapnya berwarna lebih
cerah. Ada banyak pilar dan pintu yang dipahat, bahkan jendela dan kusen terlihat begitu
bervariasi. Kaca jendela juga tampak tak biasa.
Banyak orang yang mondar-mandir di sekitar mereka, mungkin karena ini jalan utama.
"Waw…. Vele sangat canggih," kata Kuzaku sambil menghela nafas di tengah-tengah
keramaian kota.
"Eek ...!" Shihoru hampir tersandung setelah tertabrak oleh seseorang.
Kuzaku berkata, "Hei, tunggu!" dia coba menegur orang itu.
Pria itu berhenti, kemudian berbalik. Leher dan lengannya begitu tebal, sedangkan bahunya
begitu kekar. Dia bahkan terlihat lebih tinggi daripada si jangkung, Kuzaku.
Orang ini sungguh berwarna hijau, pikir Haruhiro.
Dia jarang melihat humanoid berkulit sehijau itu. Tapi, yang jelas pria itu adalah seorang Orc.
"Wazza. Danaggwa!” Orc itu berteriak balik pada mereka.
"...Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, oke?"
Kuzaku melanjutkan perdebatannya dengan om Orc yang hampir membuat Shihoru terjungkal.
Anehnya, Kuzaku yang biasanya kalem, bisa sangat agresif saat teman-temannya terganggu.
Dengan lembut, Haruhiro meletakkan tangannya di pinggang Kuzaku. “Buat apa cari masalah
dengannya? Cepat minta maaf. Toh, Shihoru juga tidak apa-apa.”
"Tapi, si bongsor ini hampir saja mencelakai Shihoru."
"Um ... Kuzaku-kun." Shihoru mencoba tersenyum sementara Mary memapahnya. “Ini
salahku….aku kurang memperhatikan jalan."
"Baiklah, kalau kau sudah ikhlas….baiklah ..." gumam Kuzaku.
“Ganna! Nndegan!” Orc itu mendekati Kuzaku, lalu meludah padanya.
"Hei!" dengan wajah basah penuh ludah, Kuzaku membentaknya. "Kan sudah kubilang!! Aku
tidak mengerti bahasamu!! Bicaralah yang benar!!”
"Persetan! Kamu! ”
"Whoa, bung….kau cari masalah, ya?!" bentak Kuzaku. "Aku akan meladenimu dengan senang
hati!"
"Wah! Kubilang, hentikan!” Haruhiro segera menyelipkan tubuhnya di antara kedua orang itu
untuk melerai. Dia tidak mengerti bahasa Orc, namun setelah dia menjelaskan situasinya
dengan dibantu gerakan-gerakan tubuh, akhirnya Orc itu mau mengalah dan pergi.
Yahh….syukurlah dia mau mengerti.
Namun anehnya, keributan ini sama sekali tidak menarik perhatian orang-orang di sekitarnya,
yang artinya mereka sudah terbiasa dengan hal seperti ini di Vele. Atau mungkin, Orc itu tidak
begitu marah.
"Jangan membuatku khawatir seperti itu," bentak Haruhiro, sembari menatap Kuzaku.
"Maaf."

4
Haruhiro tidak mempermasalahkan permohonan maaf yang diucapkan Kuzaku begitu cepat,
tetapi kenapa dia mengatakannya sembari tersenyum masam?
Aku tahu kau sama sekali tidak menyesal, bung, kata Haruhiro dalam hati. Kalau sampai ini
terjadi lagi, aku akan lebih tegas menghukummu. Santai saja, bukan hukuman fisik, kok ......
mungkin hanya sedikit omelan….
"Kenapa kau begitu marah, jangkung?" tanya Setora. "Kau ini bego atau apa?"
Tampaknya Setora tidak semurah hati Haruhiro, dia jelas-jelas terlihat jengkel pada kelakuan
Kuzaku, bahkan memandangnya dengan jijik.
Akhirnya, Kuzaku terlihat menyesal, dia pun menggaruk-garuk kepalanya sembari membuat
alasan. "Yahh….kau kan tahu, dia itu Orc, jadi… aku selalu melihatnya sebagai musuh."
"Bahkan ada lebih banyak Orc di Roronea tempo hari, kau sendiri kan tahu." Setora
membalasnya dengan dingin.
"Ya, kau benar ... Aku tahu itu, tapi ... tetap saja aku merasa risih pada mereka." Kuzaku masih
tidak terima.
Sebelumnya, mereka bertualang ke Dusk Realm melalui Wonder Hole, lalu tersesat di
Darunggar, dan menghabiskan lebih dari 200 hari di sana. Setelah bersusah payah kembali ke
Grimgar, mereka harus kembali tersesat di Lembah Ribuan, kemudian ditawan di Jessie Land,
berurusan dengan naga-naga di Roronea, sampai akhirnya tiba di Vele…sayangnya, setelah
melalui semua cobaan itu, jalan kembali menuju Altana masihlah jauh.
Terlalu banyak hal terjadi selama perjalanan itu, namun mereka selalu bisa menyelesaikan
berbagai masalah, sampai akhirnya tiba di Vele, itu merupakan perjalanan yang begitu panjang.
Kalau dipikir-pikir lagi, mustahil rasanya bisa melewati semua tempat itu hanya dalam waktu
kurang dari setahun. Tapi nyatanya, belum genap setahun sejak mereka meninggalkan Altana
waktu itu.
Apakah itu berarti mereka sudah berkembang semakin baik? Harusnya sih ya, mereka sudah
banyak berkembang, baik secara fisik maupun mental. Pengalaman mereka semakin
meningkat, dan banyak pula hal baru yang mereka pelajari. Mereka pun sudah mengetahui hal-
hal yang sebenarnya tidak perlu mereka pahami, ataupun hal-hal yang lebih baik tidak mereka
ketahui.
Memang benar bahwa Orc adalah musuh manusia. Ungkapan itu sudah tertanam begitu lama
di benak manusia, namun Haruhiro telah mengetahui sesuatu yang merubah persepsinya
terhadap kaum Orc.
Meskipun mereka musuh manusia, namun Orc jugalah makhluk hidup seperti Haruhiro dan
yang lainnya. Jika manusia dan Orc saling mempelajari bahasa masing-masing, maka bukanlah
mustahil mereka bisa berkomunikasi dengan baik, bahkan saling memahami perasaan satu
sama lain.
Undead sekalipun, yang sebelumnya mereka kira tidak lebih dari mayat hidup yang dapat
berbicara, ternyata bisa memiliki kecerdasan yang begitu tinggi, contohnya Jimmy si Kepala
Seksi dari PT. Bajak Laut K&K. Bahkan mereka bisa berteman begitu rukun dengan Jimmy.
Saat ini, mereka belum menemukan Orc seramah Jimmy, namun bukannya tidak mungkin bila
suatu hari nanti mereka mendapatinya.
Tentu saja, jika Orc-orc itu mengancam nyawa mereka, Haruhiro tidak akan segan-segan
membunuhnya, namun itu tidak hanya berlaku pada Orc, manusia pun sama. Sebelumnya,

5
Haruhiro telah mengotori tangannya dengan darah musuhnya, jadi sekarang bukan saatnya
berbicara tentang dosa ataupun kebajikan. Jika dia memang perlu membunuh seseorang, maka
lakukan saja tanpa ragu.
Tetapi apakah itu benar-benar perlu?
Apakah mereka benar-benar musuh yang harus dibasmi?
Dunia ini tidaklah begitu luas, jadi mereka harus saling bunuh untuk mendapatkan tempat
hidup. Sebelumnya, itulah yang diyakinin Haruhiro, yang mana…..ungkapan itu belum tentu
benar.

6
Bab 2
Jarak Dari Tempat Kami Berada Saat Ini

Yang jelas, pertama-tama mereka harus kembali ke Altana.


Jarak lurus dari Vele ke Altana setidaknya sejauh 500 km. Dan itu tidaklah dekat.
Jika dipertimbangkan faktor topografi yang berliku, maka tidak mungkin mereka bergerak
lurus tanpa hambatan menuju Altana. Setidaknya, jarak tempuhnya akan bertambah menjadi
600-700 km. Anggaplah saja 600 km, jika mereka bisa berjalan sekitar 30 km/hari, maka akan
diperlukan waktu selama 20 hari untuk mencapai tempat tujuan.
Itu masihlah sangat jauh.
Daerah utara Vele berada di bawah kendali Orc dan Undead, tetapi Altana berada di barat daya,
jadi mereka tidak perlu melintasi wilayah musuh. Namun, mereka sama sekali tidak tahu
keadaan sekitar, bahkan tidak tahu rute untuk kembali, jadi bukanlah hal yang mudah pulang
ke Altana tanpa bantuan siapapun.
Mereka punya uang. Mereka memiliki 100 koin platinum yang diterima dari PT. Bajak Laut
K&K atas imbalan menghalau gangguan naga. Jumlah itu setara dengan 1000 koin emas. Jujur
saja, sampai sekarang pun Haruhiro dan yang lainnya masih tidak percaya mempunyai uang
sebanyak itu.
Namun itulah faktanya, bahkan mereka pegang sendiri uangnya. Party Haruhiro bisa saja
menyewa pemandu, namun tampaknya mereka hanya akan dimanfaatkan. Akan tetapi, 1000
koin emas adalah jumlah yang terlalu banyak, meskipun mereka diperas, uang itu tidak akan
banyak berkurang. Tapi tetap saja, mereka harus menemukan orang yang bisa dipercayai.
Jika mereka memamerkan kekayaannya, maka akan datang begitu banyak orang yang berniat
membantu, dan itu justru beresiko. Maka, pilihan terbaik adalah berpura-pura miskin, jadi
mereka bisa lebih berhati-hati.
Tampaknya, ada banyak pedagang yang bepergian antara Vele dan Altana. Kalau mereka
mencari dengan seksama, pastinya ada karavan pedagang yang memerlukan pengawal selama
perjalanan. Setidaknya, itulah yang Haruhiro harapkan.
"Mungkinkah….aku terlalu optimis?" gumam Haruhiro.
Kemudian, Haruhiro dan Party-nya mengumpulkan informasi dari para pemilik kios,
pelanggan warung, dan orang-orang di sekitar mereka yang mau dimintai keterangan, sampai
akhirnya mereka dibawa ke Jalan Winged Ogrefish.
Jalan itu cukup besar, namun seluruh bagiannya tertutup oleh pasar, bahkan hampir tidak ada
toko-toko beretalase. Ini adalah tempat utama bagi para pedagang berniaga, jadi banyak pula
terlihat petugas-petugas dari Guild Pedagang dan perusahaan dagang.
Ternyata, ada juga beberapa karavan yang akan pergi ke Altana. Namun, ketika Haruhiro
menawarkan jasa pengawal kepada mereka, responnya tidak ramah.
"Pengawal, katamu?" seorang pedagang gemuk berkumis begitu tebal tertawa sengau. "Kau
kira aku ini bodoh apa? Menurutmu aku mau mempekerjakan orang yang benar-benar tidak

7
kukenal? Kalau ada pedagang sebodoh itu, beritahu aku!! Biar kutertawakan sembari minum-
minum bersama temanku!”
Itu sungguh tidak sopan.
Kuzaku hampir saja kehilangan kesabaran, namun alasan pedagang itu cukup masuk akal.
Mereka pun sama, mereka tidak akan begitu saja mempekerjakan pemandu yang tidak dikenal.
Kalau dilihat lebih seksama, ada banyak pedagang yang bepergian bersama pria atau wanita
yang bersenjatakan lengkap dan kereta karavan. Sepertinya mereka adalah para pedagang dan
pengawal sewaannya.
Bukanlah pekerjaan mudah mendapatkan pedagang yang mau bekerjasama dengan
kelompokmu, namun jangan terlalu terburu.
Mereka punya uang, itu adalah faktor terpenting yang bisa memberikan mereka banyak pilihan.
Sebelum matahari terbenam, Haruhiro berhasil mendapatkan penginapan yang cukup bagus
untuk Party-nya, setelah menaruh barang bawaan di kamar masing-masing, mereka pun
kembali untuk makan malam bersama.
"Ayo pergi ke Restoran Stormy Petrel," usulnya.
Saat mengumpulkan informasi, mereka mendengar bahwa restoran itu punya menu yang lezat.
Setibanya di Petrel Stormy, mereka mendapati bahwa itu adalah pujasera terbuka yang
menyiapkan ratusan meja, tapi anehnya tidak satu pun kursi terlihat.
Tampaknya para pelanggan harus membeli makanan dan minuman di kios-kios terdekat,
kemudian menikmatinya di manapun mereka suka. Ada berbagai macam hidangan yang
tersedia, dan mereka bisa juga memesan minuman beralkohol.
Suasananya sangat sibuk, karena matahari belum terbenam, dan hampir tidak tersisa satu pun
meja.
Kuzaku dan Setora ditugaskan untuk membeli makanan, sementara Haruhiro, Shihoru, dan
Mary mencari meja yang masih tersedia dan menjaganya agar tidak diambil orang. Kiichi ikut
mereka.
Jarak antar meja cukup berdekatan, dan gaduh, jadi agaknya sulit bersantai di tempat seperti
ini.
"Haruskah kita pergi ke tempat lain?" Mary bertanya dengan santai.
"Hmm." Haruhiro menggaruk kepalanya. "Sepertinya begitu. Tapi, sebenarnya kita bisa makan
di restoran yang lebih mewah dari biasanya, karena uang kita cukup banyak. Yahh…. tapi,
mungkin lebih baik kita memilih tempat yang lebih tenang?”
Shihoru menunduk sedikit sambil tersenyum masam. “Aku juga merasa tidak nyaman di sini
... "
"Ya. Aku juga tidak nyaman. Kita akan tenggelam dalam keramaian ini."
"Jadi, tempat ini tidak pantas bagi Sang Penunggang Naga, ya?" tanya Mary sambil tersenyum
menggoda.
"Kumohon, jangan sebut julukan itu lagi ..."
"Tapi, julukan itu yang membuat kita jadi kaya, lho?"

8
“Itu hanya kebetulan. Aku bahkan tidak menunggangi naga itu, oke? Aku hanya menempel
padanya. Dan herannya……..aku tidak jatuh.”
"Hmph—" Mary menggembungkan pipinya hampir mirip seperti Yume. Tapi hanya sebentar.
Dia segera mengempiskannya lagi. Namun, pemandangan indah itu sudah cukup membuat
Haruhiro bersyukur atas kenikmatan surgawi yang dianugerahkan Tuhan.
Apa itu kenikmatan surgawi? Apakah Tuhan itu ada? Dia tidak begitu tahu. Tapi yang jelas,
wajah itu begitu indah baginya, bagaikan berkah dari langit.
"Harusnya kau senang dengan julukan itu," kata Mary dengan kesal.
"... Maafkan aku." Haruhiro hanya bisa menundukkan kepalanya.
Jadi, harusnya dia senang? Dengan kata lain, dia kurang bersyukur? Apakah Mary ingin
Haruhiro lebih menghargai prestasinya sendiri? Dia tidak tahu.
"Hei, maafkan aku!" tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras, lalu seseorang membanting
gelas pada meja yang sudah ditempati Haruhiro dan yang lainnya.
Bukan Kuzaku ataupun Setora yang melakukannya, bukan pula Kiichi. Di sana ada seorang
pria yang berambut kaku. Dia memakai kacamata, dan membawa ransel yang besar.
Pakaiannya usang seperti musafir, dan sepatu botnya juga kotor. Sepertinya dia ras manusia.
"... Hah?" Shihoru tampak ketakutan. Mungkin karena dia tidak mengenal om itu.
Yahh, tentu saja tidak kenal, andaikan ini Altana, mungkin dia masih mengenal beberapa orang,
namun sekarang mereka berada di Vele, yaitu kota yang benar-benar asing bagi mereka.
Mary menarik Shihoru lebih dekat untuk melindunginya, lalu dia hujam pria itu dengan tatapan
tajamnya.
"Hm? Ada apa nona?” pria itu berkedip di balik kacamatanya. Hidungnya pesek, dan raut
wajahnya khas, namun Haruhiro sama sekali tidak mengenalnya.
"Um ... Siapa Anda?" dengan ragu, akhirnya Haruhiro bertanya padanya.
Pria itu mengangkat gelasnya, menenggak minuman alkohol berbusa, lalu menghela napas
puas. "Aku?"
"Yah, kami hanya berbicara pada Anda ..."
"Wahahaha! Memang benar! Memang benar! Kau tahu…aku adalah seorang pedagang
sederhana bernama Kejiman. Aku tidak menemukan tempat duduk lain, dan sepertinya Party
kalian tidak begitu besar, jadi….kupikir kalian tidak akan keberatan jika berbagi meja
denganku. Aku tidak bawa teman, kok. Jadi, aku tidak mengganggu, kan?”
"Yahh, sebenarnya kau cukup meng ..."
"Terimakasih atas pengertiannya!" Kejiman tertawa lagi, lalu meneguk minumannya.
Tawanya cukup menjengkelkan. Di sisi mulutnya merembes busa yang menjijikkan. Harusnya
Haruhiro menyuruh pria itu untuk menyekanya, namun dia tidak ingin terlalu akrab dengan
orang ini.
"Sebetulnya, ada teman kami yang masih memesan makanan," kata Mary dengan dingin.
Tapi, dengan begitu ceria, Kejiman meyakinkan gadis itu bahwa semuanya akan baik-baik saja,
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa, wahahahah!"

9
Kalau dia sama sekali tidak terganggu oleh tatapan mata Mary yang sedingin es, maka pria ini
tangguh juga. Mental pria ini sungguh kuat. Ataukah, dia hanya tidak peka?
"Temanmu yang masih memesan makanan itu, jumlahnya tidak sampai 20an orang, kan?
Ahahah” tanyanya. “Kalau begitu, tidak masalah kan aku bergabung dengan kalian. Maksudku,
lihatlah meja ini. Setidaknya muat sampai 7 atau 8 orang, bahkan mungkin cukup untuk 10
orang jika kita saling berdesakan. Jadi, berapa temanmu yang belum bergabung bersama kita?
Seorang? Dua orang? Tiga orang, mungkin? Ohh, dua ya! Gak masalah kalau begitu!”
Gawat nih. Haruhiro mulai kehilangan kesabaran. Kuzaku dan Setora mana sih…. Keduanya
belum kembali. Pokoknya, Haruhiro harus mengusir om ini.
….Tapi tunggu dulu…..
"... Pedagang, katamu?" dia bertanya dengan hati-hati.
"Ya. Memangnya kenapa?” kata Kejiman dengan mulut yang masih berbusa.
Sial, pikir Haruhiro.
"Um ... Ada busa di bibir atasmu."
"Whoooooooops!" Kejiman menyeka mulut dengan punggung tangannya. Dia mengenakan
sarung tangan tanpa pembungkus jari. Wajahnya pun berubah merah karena malu.
Jadi, kau masih punya malu? "Whoops"-mu panjang juga. Jadi, kau benar-benar terkejut??
"Maaf, maaf," kata Kejiman. "Oh iya…sampai mana kita tadi? Ah, aku pedagang. Memangnya
kenapa kalau aku pedagang? Kalau dilihat dari penampilannya, kalian adalah prajurit relawan
dari Altana, benar kan?”
"Yah, kau benar."
"Ya. Ya. Mataku masih jeli. Atau mungkin karena kacamataku? Ini bukan kacamata biasa lho,
di sinilah rahasianya. Lalu….apakah kalian tertarik berbisnis denganku?”
"Tidak juga..."
"Oh…aku tahu. Yahh, terkadang memang mantan prajurit relawan ingin banting setir menjadi
pebisnis sepertiku. Cukup banyak orang seperti itu, namun mereka hanyalah amatiran. Mereka
tidak akan pernah berhasil! Kasihan mereka! Ahahahah!”
"Kau terlalu berlebihan…."
"Maaf, maaf! Aku tidak bisa menahannya! Terkadang aku tidak bisa menyembunyikan
kebencian terhadap mereka.”
Perlahan, Haruhiro bertanya, "Apakah kamu pernah ke Altana?"
"Pernah, pernah. Hey…ini rahasia ya, aku akan pergi lagi ke sana!!”
"Hah?"
“Ah!! Kenapa aku harus merahasiakannya!? Toh, aku dapat banyak uang dengan berdagang ke
Altana!”
"Dengan teriakan sekeras itu, kau sama sekali tidak merahasiakannya, bung…."
“Maaf, maaf! Terkadang aku suka mengatakan, ‘kenapa aku harus merahasiakannya’,
menurutku itu ungkapan yang bagus. Begitulah para pedagang, kami akan merasa puas saat

10
mengatakan hal seperti itu. Aku ini pedagang yang cukup hebat, lho! Akulah Kejiman yang
kaya raya! Aku bisa menghasilkan banyak uang dari barang yang begitu langka! Wahahaha!”

11
Bab 3
Cara Hidup

Mungkin gadis itu hanya khawatir. Dia selalu berpikir bahwa segalanya akan memburuk dan
semakin buruk. Terutama ketika menyangkut dirinya sendiri, dia selalu saja berpikiran negatif.
Hanya itu yang bisa dia pikirkan.
Sebenarnya, nasibnya tidak selalu jelek. Kadang-kadang dia sial, namun kadang-kadang juga
mujur. Semuanya berjalan dengan seimbang. Namun, hanya nasib buruk yang lebih dia ingat
ketimbang yang baik. Seolah-olah, kesialan itu terus melekat pada dirinya, tanpa bisa lepas
sampai kapanpun.
Kalau diingat-ingat kembali perjalanannya selama ini, dia pun menyadari bahwa tidak semua
pengalaman itu menyedihkan. Dia tahu betul akan hal itu. Akan tetapi, kenangan-kenangan
buruk itu lebih berkesan daripada yang baik.
Saat ini, dia hanya bisa tertunduk.
Setetes air jatuh dari rambutnya, lalu mendarat di pangkuannya.
"Shihoru."
Mendengar namanya dipanggil, Shihoru akhirnya mengangkat kepalanya.
Cahaya lembut lentera menerangi ruangan. Dia berada di sebuah penginapan yang tampak
seperti kastil kecil, dan saat pertama kali menginjakkan kaki di ruangan ini, dia pun
penasaran….apakah pernah ada seorang putri yang tinggal di sini?
Tentu saja ini bukan kamar putri, karena ada 4 ranjang yang berjajar di sini. Tidak banyak
terdapat furnitur di ruangan ini, dan kalau dilihat lebih seksama, sprei-sprei yang menutupi
ranjang juga tidak begitu mewah. Tapi yang jelas, ruangan ini didisain dengan teliti, dirawat
secara berkala, dan dibersihkan secara teratur. Ranjang yang diduduki Shihoru terasa lembut,
dan tercium wewangian yang samar.
Apakah dia pernah tinggal di tempat seperti ini sebelumnya? Mungkin belum pernah.
Mary berdiri di depan Shihoru, sembari menawarkan handuk di tangannya.
"Rambutmu, masih basah," katanya.
"... Oh." Shihoru menyentuh rambutnya. Terasa sedikit lembab.
Mary duduk di sebelahnya, lalu mengusapkan handuk itu di kepala Shihoru. Seperti biasanya,
gerakan Mary selalu lembut dan penuh perasaan.
Kau tidak perlu melakukannya, Shihoru berniat mengatakan itu, tapi dia telan bulat-bulat
kalimat tersebut. Lebih sulit bagi Shihoru untuk menerima kebaikan seseorang daripada
menolaknya. Mungkin itu hanya tabiatnya saja. Namun, dia sudah banyak belajar berinteraksi
dengan orang lain. Meskipun kau tidak begitu membutuhkannya, jika seseorang ingin
membahagiakanmu, maka terimalah saja.
Sebaliknya, Yume adalah gadis yang tidak pernah menyembunyikan perasaannya. Dia selalu
apa adanya. Dan Shihoru adalah kebalikannya.

12
Shihoru tidak akan pernah bisa meniru Yume, meskipun dia sangat menginginkannya. Saat
Yume meringkuk padanya untuk mencari kehangatan, Shihoru dengan senang hati akan
memberikan pelukan. Saat Yume mengatakan, ‘Aku menyukaimu.’ Shihoru pasti akan
menjawab, ‘Aku juga.’
Jadi, meskipun Shihoru tidak tahu bagaimana cara meyakinkan seseorang bahwa dia sangat
penting baginya, dia tetap saja memberikan kasih sayang padanya.
"Terima kasih ... Mary," katanya perlahan.
Mary sedikit tersenyum sembari terus mengusap kepala gadis itu dengan handuk.
Shihoru merindukan keceriaan Yume. Sekarang dia hanya sendirian bersama Mary, kedua
gadis ini tidak banyak bicara, jadi mereka jarang berkomunikasi satu sama lain.
Bukannya Shihoru tidak merasa nyaman dengan keheningan ini. Dia hanya khawatir, apakah
tidak masalah membiarkan kesunyian ini terus berlangsung, dan bagaimanakah perasaan
Mary? Mary adalah tipe gadis yang hanya akan bicara jika dia menginginkannya, sedangkan
Shihoru adalah orang yang tidak ingin memaksakan diri untuk memulai percakapan yang tidak
begitu penting. Jadi, saat kedua gadis pendiam ini bertemu, mereka tidak merasa canggung
meskipun suasananya sangat hening. Mereka hanya akan bicara saat ada yang ingin dibahas,
dan saat seseorang sedang bercerita, yang lainnya akan mendengarkan dengan tenang.
"Sepi banget ya," tiba-tiba Mary ingin membahas sesuatu.
"... Ya." Shihoru mengangguk. Dadanya mulai terasa sesak.
Mary pun merasakan hal yang sama. Dia tahu itu.
"Benar-benar terasa ... sepi," kata Shihoru dengan sedih.
"Kurasa ... Yume selalu menyelamatkanku," desah Mary.
"Aku juga. Bahkan dia lebih sering menyelamatkanku daripada kau, Mary."
"Ketika dia kembali nanti, kita harus menyambutnya dengan senyuman di wajah kita."
"Kalau aku sih ...mungkin akan menangis"
"Itu boleh-boleh saja, kan?"
"Jujur saja, aku merasa….sedikit kesal." Shihoru berusaha merahasiakan itu, namun kalimat
itu terselip keluar begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dia tahan.
Mary meletakkan handuk itu di pangkuannya, kemudian dia peluk Shihoru.
Dekapan Yume cukup kuat, namun Mary begitu lembut. Sampai-sampai, Shihoru mengira
bahwa Mary ragu-ragu memeluknya, namun ternyata itu tidak benar. Memang seperti inilah
kelembutan tangan Mary yang membedakannya dengan Yume.
"Saat Yume memutuskan untuk tinggal, aku begitu tercengang," kata Mary. “Awalnya aku
berpikir, ‘ah, Yume pasti hanya bercanda’, namun akhirnya aku menyadari keteguhan niatnya.”
"Dia memang suka bercanda….dan itulah yang kusuka dari dirinya.”
Air mata Shihoru sudah siap mengalir, namun belum menetes sedikit pun. Mungkin itu karena
Mary bersamanya.
"Tidak pernah terpikirkan olehku dia ingin pergi ..." ratap Shihoru. "Aku sangat ketakutan ...
salah satu sifat burukku adalah, aku terlalu cepat mengandalkan orang lain.”

13
"Shihoru, Yume meninggalkanmu karena dia percaya padamu…." kata Mary dengan tenang.
"Dia yakin kau akan baik-baik saja, itulah sebabnya dia memutuskan untuk pergi."
"Menurutmu, apakah Yume pernah meragukan teman-temannya?" Shihoru memberanikan diri
untuk menanyakan itu.
"Kurasa tidak," jawab Mary segera, lalu dia tertawa.
Shihoru juga balas tertawa. "Pastinya…."
"Yume tetaplah Yume, tak peduli menjadi sekuat apa dia kelak. Itulah yang kupikirkan."
"Tapi, mungkin saja dia akan berubah, lho..."
"Meskipun dia berubah, sifat dasarnya tidak akan pernah hilang. Namun, tak peduli apakah dia
akan berubah atau tidak, aku tetap menerimanya sebagai teman. Selama Yume baik-baik
saja…..itu sudah cukup bagiku.”
Mary meletakkan tangan kanannya pada pinggul Shihoru. Sedangkan tangan kirinya
memainkan handuk di pangkuannya.
"Kurasa ... kamu benar."
Shihoru mengulurkan tangan kanannya, meraih tangan kiri Mary.
Sepertinya Mary tidak menduga itu, tubuhnya sedikit mengejang karena terkejut. Tapi dia tidak
coba melepaskannya, Shihoru pun terus menggenggam tangan gadis itu.
"Selama kau menemaniku seperti ini, aku akan baik-baik saja," kata Shihoru.
"Aku tidak akan kemana-mana."
Mary menundukkan kepalanya, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Namun, tak peduli sedekat apapun hubungan persahabatan seseorang, selalu saja ada jarak
yang memisahkan mereka. Contohnya adalah, Shihoru yang sama sekali tidak menyadari niat
Yume untuk berpisah sementara dengan Party-nya. Begitu pun dengan Mary, dia hanya bisa
menerka-nerka apa yang gadis itu pikirkan.
Tapi, itu tidak akan menghentikannya memahami perasaan teman-temannya.
Meskipun Shihoru tidak memahami apapun, setidaknya dia tahu bahwa Mary sedang
mengkhawatirkan sesuatu, dan ada hal yang menyiksa batinnya.
Shihoru tidak bisa membantu Mary menyelesaikan masalahnya. Dia pun bukan orang yang
pandai memberikan saran yang bermanfaat. Keberadaan Shihoru tidak akan banyak membantu
Mary.
Tapi…….
Aku di sini, pikir Shihoru. Meskipun kau mengatakan tidak membutuhkanku, aku tidak akan
membencimu. Tak peduli apapun yang terjadi, aku tidak akan berhenti. Aku hanyalah gadis
lemah yang cuma bisa merepotkan orang lain. Yahh, mau bagaimana lagi. Memang seperti
itulah diriku.
"Aku bahagia," bisik Mary sembari memegang tangan Shihoru.
Apa yang membuatnya bahagia? Pertanyaan itu muncul di benak Shihoru, namun dia memilih
untuk tidak mengungkapkannya.

14
Aku harus memahami perasaannya lebih dalam lagi, pikirnya. Akan tetapi, dia tidak akan
melakukan hal yang tidak dia bisa. Dia punya batas, dan dia tidak bisa meniru orang lain yang
lebih baik darinya.
Ketika pertama kali datang ke Grimgar, dia bahkan tidak bisa mengukur langkahnya sendiri.
Tapi sedikit demi sedikit, dengan terhuyung-huyung, dia bisa berjalan dengan kakinya sendiri.
Itulah yang dirasakan Shihoru.
Jujur saja, dia khawatir pada Mary, karena terkadang gadis itu terlihat seolah lepas kendali.
Yang bisa Shihoru lakukan hanyalah menggenggam tangannya seperti ini.
Orang yang bisa menyelamatkannya bukanlah aku, pikir Shihoru. Mungkin Haruhiro-kun
orangnya….... ya, hanya dia yang bisa melakukannya. Apa kamu memahaminya, Mary?
Tiba-tiba pintu terbuka, dan Shihoru pun panik. Mary juga sedikit tersentak. Namun, Shihoru
segera menyadari bahwa dia tidak perlu kelabakan seperti itu, karena orang yang masuk adalah
rekannya sendiri, yakni Setora.
Hebatnya, penginapan ini memiliki fasilitas mandi begitu besar yang memisahkan laki-laki dan
perempuan. Tapi, tetap saja kau tidak bisa meninggalkan kamar dalam kondisi kosong. Begitu
Shihoru dan Mary pergi mandi, Setora lah yang bertugas menjaga kamar. Setelah keduanya
selesai, maka giliran Setora mandi. Dan sekarang, dia pun sudah selesai.
"K-kau ... cepat sekali mandinya," kata Shihoru.
"Oh. Benarkah?” Setora menyeka rambutnya dengan handuk, sembari berjalan menuju ranjang
yang kosong. Lalu, dia duduk sendirian di sana.
Mereka semua telah bersalin mengenakan pakaian katun yang dibeli dari pasar Vele. Itu adalah
pakaian sederhana yang bagian depannya terbuka, jika mereka tidak mengikatnya dengan kain
di pinggang, pakaian itu akan lepas dengan mudahnya. Panjangnya hanya sampai lutut, jadi
bisa dikatakan pakaian itu cukup terbuka. Shihoru tidak akan pernah menggunakan pakaian
seperti ini saat berjalan-jalan di luar.
Setora berbaring di tempat tidur, sambil menatap langit-langit. Dia menghela napas panjang.
Sepertinya Shihoru tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu, meskipun belum tentu
tebakannya benar.
Pasti ada hal yang membuatnya gelisah.
Selalu ada dinding tebal yang memisahkan mereka dengan Setora. Penginapan bernama
Golden Goatfish ini, adalah penginapan yang cukup mewah, harganya mungkin lima perak
semalam. Yahh, saat ini mereka punya cukup uang untuk tinggal di tempat yang lebih layak
dari biasanya. Namun, mereka tidak mau menghambur-hamburkan uang dengan menyewa
kamar pribadi per orang. Mereka hanya menyewa 2 kamar agar laki-laki dan perempuan tidur
terpisah. Shihoru tidak masalah dengan hal itu, namun tampaknya Setora butuh privasi lebih
banyak.
"Asal tahu saja, ya…." Setora membuka mulutnya. "Mungkin sampai sekarang pun aku tidak
bisa berteman akrab dengan kalian, dan aku terkesan tidak mempedulikannya….. namun
sebenarnya tidak demikian.”
Mary sedikit menjerit, "... Eh?" lalu memiringkan kepalanya ke samping, tampak bingung.
Shihoru perlu waktu beberapa saat untuk mencerna perkataan Setora.

15
Lalu, Setora mengangkat kakinya. Itu membuat pakaiannya tersingkap, dan terlihatlah kakinya
yang semampai. Apa yang dia lakukan? Perlahan-lahan, dia angkat dan turunkan setiap
kakinya. Apakah dia sedang latihan atau semacamnya?
"Aku memang tidak pandai bergaul dengan orang lain," kata Setora. "Apakah kalian masih
belum paham maksudku? Aku hampir tidak pernah memperdalam hubungan dengan siapapun.
Berbeda dengan Golem dan Nyaa, makhluk yang disebut manusia jauh lebih sulit ditangani
daripada mereka. Yahh, mungkin tidak tepat jika aku membandingkan mereka. Tapi itulah
yang kurasakan. Aku pun kurang bisa menjaga perkataanku..."
Shihoru bingung, apa yang harus dia katakan untuk menanggapi Setora. Apakah dia harus
memberitahunya bahwa menjaga perkataan berarti mengungkapkan sesuatu yang berlainan
dengan isi hatinya? Dia tidak yakin, tapi selama ini itulah yang Shihoru lakukan bila
berkomunikasi dengan orang lain. Dia jarang mengungkapkan perasaannya secara terang-
terangan. Tampaknya Setora sudah berusaha keras menjaga perkataannya, meskipun itu tidak
begitu berhasil.
"Um ..." kata Shihoru dengan ragu. "Oh iya…. di mana Nyaa-mu?”
"Kiichi? Kurasa dia sedang berjalan-jalan mengelilingi kota. Dia selalu saja ingin tahu berbagai
hal. Jarang ada Nyaa seperti itu. Pada dasarnya, Nyaa adalah hewan yang enggan keluar dari
wilayah kekuasaannya sendiri.”
"Mereka gak suka keluyuran?" tanya Mary.
Setora berhenti memainkan kakinya. "...Tidak. Harusnya sih tidak. Nyaa yang dibesarkan oleh
orang-orang dari desaku sudah terbiasa keluyuran, tapi mereka masihlah tidur di tempat yang
sama setiap hari, bahkan mereka menandai tempat itu dengan aroma tubuhnya. Sepertinya,
mereka hanya bisa tidur nyenyak di rumahnya sendiri.”
Mary mengangguk puas setelah mendengar jawaban itu. Tampaknya Mary berusaha
memikirkan pertanyaan lain, namun tidak menemukan satu pun. Shihoru pun begitu.
Setora kembali memainkan kakinya sebentar, lalu tiba-tiba berhenti lagi. Dia terdiam sembari
melihat langit-langit, dengan kaki kiri terangkat ke atas.
Keheningan melingkupi ruangan ini cukup lama. Tapi, mungkin itu hanya perasaan Shihoru
saja, sebenarnya tidak begitu lama.
“Dengan egois, aku membawa Nya-nya itu keluar dari desa, dan membiarkan sebagian
besarnya mati saat bertarung melawan Forgan." Setora menutupi wajahnya dengan kedua
tangan, lalu menghela nafas. “Aku seorang pawang yang buruk. Aku bahkan membiarkan Enba
hancur. Aku tidak yakin apakah bisa memperbaikinya. Aku pun tidak berniat kembali lagi ke
desa, jadi hampir dipastikan aku tidak akan bisa memperbaikinya.”
Shihoru dan Mary saling memandang.
Gimana nih…? Shihoru bertanya-tanya. Menurutmu apa yang harus kita lakukan sekarang?
Andaikan saja Yume ada di sini, dia pasti sudah menghibur Setora. Yume selalu bisa bergaul
dengan siapapun, tak peduli lawan atau kawan, ras manusia atau bukan. Dia sangat bersimpati
pada orang lain, dan jika ada masalah, dia akan segera menyelesaikannya.
Shihoru dan Mary tidak bisa mencurahkan kasih sayangnya pada setiap orang, seperti Yume.
"Sedangkan manusia ..." apakah Setora mulai menangis? Tapi, suaranya tidak gemetaran,
wajahnya pun masih tanpa ekspresi seperti biasanya. "... manusia selalu saja bermuka ganda.

16
Mereka tidak pernah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Mereka suka berbohong
dengan begitu mudahnya. Bahkan mereka tidak jujur pada dirinya sendiri. Kurasa, tidak
masalah jika anak kecil berbuat seperti itu, namun tidak untuk orang dewasa. Setiap orang
memiliki hal yang ingin dia sembunyikan, dan itu sungguh menyebalkan bagiku. Aku tidak
bisa bergaul dengan orang seperti itu. Dan aku sama sekali tidak tertarik pada mereka. Memiliki
Enba dan Nyaa sudah cukup bagiku. Yahh…seharusnya sih cukup. Namun, kenapa aku masih
merasa ada yang kurang? Apakah aku telah melakukan suatu kesalahan? Ahh, aku tidak tahu
lagi.”
Setora berhenti sejenak.
“Awalnya aku tidak menyadarinya, tetapi begitu meninggalkan desa, aku merasakan
senangnya bisa hidup bebas. Saat masih tinggal di desa, mulanya aku tidak pernah berpikir
akan meninggalkan tempat itu. Sekarang, aku baru menyadari bahwa itu hal yang aneh.
Kenapa…. kenapa dulu aku tidak pernah berpikir meninggalkan desa? Apakah karena aku
takut? Atau aku ragu-ragu? ... Apapun itu, yang jelas sekarang aku sudah meninggalkan desa.
Aku tidak lagi ingin kembali ke sana. Tapi, jika tidak kembali, itu berarti aku tidak bisa
menciptakan Enba lagi. Tetap saja, aku tidak ingin kembali. Aku merasa bersalah atas
hancurnya Enba, tapi….. ahh, gimana ya bilangnya? Yang jelas, aku sudah nyaman dengan
hidupku sekarang. Sebelumnya, aku tidak pernah merasa sehidup ini.”
"Apakah kau bahagia?" tanya Mary, kemudian Setora melepas tangan yang menutupi
wajahnya.
"... Bahagia ya…mungkin iya, mungkin tidak. Meskipun aku telah kehilangan Enba dan
banyak Nyaa, aku tidak begitu merasa sedih. Namun, aku masihlah merasa bersalah."
"Adakah….hal lain yang kau rasakan?" Shihoru bertanya dengan ragu-ragu.
Setora terus mengungkapkan semua perasaannya, sedangkan Mary dan Shihoru hanya duduk
mendengarkan, sembari sesekali bertanya untuk meminta kejelasan. Mungkin cara
berkomunikasi seperti ini sangatlah canggung, namun hanya ini yang bisa mereka lakukan
sekarang.
"... Ya," kata Setora. “Hal lain yang kurasakan…..emm, sebut saja ‘kesendirian’. Jujur saja,
sesekali aku merasa terkucilkan. Kurasa, aku memang orang yang eksklusif. Aku pun dijauhi
oleh orang-orang dari desaku, jadi aku sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Sejak kecil,
aku sudah terbiasa menentang kemauan keluarga. Aku tahu apa akibatnya, namun aku tidak
pernah sudi menjadi budak orang tua dan desaku. Sekarang ... aku tidak keras kepala seperti
dulu lagi. Meskipun begitu, aku tidak berharap belas kasihan dari kalian. Begitupun dengan
Haru, aku suka padanya, namun aku tidak berharap dia menyukaiku. Itu bukanlah hubungan
yang baik. Meskipun aku memaksanya untuk menuruti apapun kemauanku, aku tahu tidak akan
bisa memenangkan hatinya. Aku pun demikian, meskipun orang-orang dari desa memaksaku
untuk mengikuti tradisi, aku tidak akan menuruti kemauan mereka. Yahh…mungkin itu karena,
Haru…. suka padamu, Mary.”
Kenapa kau mengatakan hal seperti itu sekarang! jerit Shihoru dalam hati, sembari melirik
Mary di sampingnya.
Tubuh Mary mengaku bagaikan patung.
Bukannya Shihoru tidak tahu hal ini, dia pun merasakan hal yang sama. Namun, mungkin saja
Mary adalah cewek yang lebih bebal daripada Yume dalam urusan percintaan. Jadi, Shihoru
ingin menghindari pembicaraan seperti ini dengannya.

17
Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus berkata, ‘Hey, Haruhiro-kun juga menyukaimu,
lho…’ tapi jika kukatakan itu, lantas bagaimana perasaan Mary? Mungkin dia akan
mengatakan, ‘B-Benarkah itu?’ dengan wajah terkejut.
Saat mereka bersama, Shihoru jarang sekali membahas percintaan, namun faktanya Mary
adalah seorang gadis cantik yang membuat pria manapun kesulitan mendekatinya. Dia juga
baik dan jujur, terkadang Shihoru pun dibuat iri padanya. Namun, semua kelebihannya itu pasti
akan mengundang masalah lain.
Sepertinya Mary tidak punya banyak pengalaman dalam percintaan, atau mungkin dia malah
tidak tertarik pada hal seperti itu karena dia begitu bebal. Haruhiro-kun juga begitu. Apakah
selama ini Haruhiro memang tidak punya pengalaman dalam percintaan? Atau, dia hanya takut
mengungkapkan perasaannya?
Apakah itu berarti mereka berdua belum cukup dewasa untuk saling mencintai?
Shihoru khawatir bila mereka berdua dibiarkan seperti itu, mungkin hubungan mereka tidak
akan pernah berkembang.
Haruskah aku melakukan sesuatu? Apakah aku harus mencoba menengahi mereka?
Shihoru sendiri bukanlah seseorang yang begitu berpengalaman dalam percintaan. Selama ini
dia hanya terjebak dalam cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan angan-angan kosong, jadi
mungkin dia tidak akan banyak membantu.
Setora menghela nafas, lalu bergumam pada dirinya sendiri, "... ahh, sudahlah….."
"A-aku mengerti perasaanmu, Setora-san." tiba-tiba Shihoru membalasnya, sembari melihat
Mary yang masih saja membeku.
Mungkin bantuanku ini tidak akan berguna. Mungkin usahaku ini akan sia-sia saja. Ini
bagaikan berjalan pada seutas tali yang membentang seakan tanpa ujung. Tapi…. aku akan
tetap mencobanya.
Ada banyak hal yang tidak bisa Shihoru ungkapkan. Namun, dia memiliki teman-teman begitu
berharga yang tidak ingin dia tinggalkan. Jika dia tidak menjaga teman-temannya, mungkin dia
akan kehilangan mereka.
Yume memiliki cara hidupnya sendiri, jadi aku harus mengikhlaskan kepergiannya. pikir
Shihoru. Aku kangen padamu, Yume. Meskipun kita baru saja berpisah, namun aku sangat
kangen padamu.
“Yahh….terserah kau lah, tapi intinya, kita memiliki masalah pribadi masing-masing. Jadi,
hanya kita yang bisa menyelesaikan masalah itu.” kata Setora, sembari tersenyum sedikit.
Dalam hati, Shihoru menambahkan:
Ya — tapi yang penting….kita harus terus menjalani hidup ini…

18
Bab 4
Apa Yang Pria Itu Katakan Tempo Hari

"Maksudku, ada sesuatu yang aneh dengannya, kan?" tanya Kuzaku.


“Pria bernama Kejiman itu, kan. Aku pikir juga begitu.”
Setelah mematikan lentera, ruangan ini begitu gelap, namun Kuzaku dan Haruhiro terus
ngobrol seolah tidak peduli. Ah tidak juga… sebenarnya Kuzaku yang terus mengoceh,
sedangkan Haruhiro hanya mendengarkannya sembari sesekali menimpali dan mengangguk.
Tampaknya dia sudah lelah.
"Ya…," kata Haruhiro.
"Ah coba saja dia tidak seaneh itu, mungkin kita bisa lebih akrab dengannya.”
"Kau benar."
“Seolah-olah dia tidak memperdulikan kita. Pokoknya, dia sungguh aneh.”
"Ya…," kata Haruhiro.
"Tapi… hei, mungkin dia hanya berpura-pura. Sepertinya dia menginginkan sesuatu dari kita.”
"Ya….kita harus lebih berhati-hati, kan."
"Awasi dia, Haruhiro. Kuserahkan semuanya padamu. Tapi, jika dia mulai merugikan kita,
maka biar aku yang mengurusnya.”
"Ya, ya….."
"Zzz ..."
"Kuzaku?"
"Zzzzzzzzzzz ..."
"Astaga, padahal barusan saja ngoceh ..."
Yahh…terserah lah…. Haruhiro membalik tubuhnya di ranjang.
Jendela kamar masih terbuka. Angin sepoi-sepoi bertiup dari sana. Meskipun begitu, hawanya
masih cukup panas, jadi dia hanya menutupi perutnya dengan selimut yang tipis.
Bahkan saat berlayar di kapal, Haruhiro tidak merasa gelisah, namun entah kenapa dia merasa
tidak nyaman saat menginap di tempat yang terbilang mewah seperti ini.
Dia menyembunyikan seribu keping emas di balik ranjangnya. Apa yang harus dia lakukan
dengan uang sebanyak itu? Jika dia membawanya kemana-mana, dia khawatir seseorang akan
mencurinya, atau mungkin orang-orang aneh akan mengerumuni mereka.
Uang sebanyak itu justru membuatnya gelisah, Haruhiro ingin sekali melupakannya, namun
dia tidak bisa. Lalu, apakah dia harus menghabiskannya? Bagaimana cara membelanjakan uang
sebanyak itu?

19
Meskipun dia membelikan satu set armor lengkap untuk Kuzaku, paling-paling itu hanya
seharga 100 keping emas. Dengan seribu keping emas, dia bahkan dapat membeli rumah dan
masih bisa berfoya-foya dengan sisanya. Mereka bahkan dapat membeli kapal.
Namun, rumah dan kapal tidak ada artinya bagi seorang prajurit relawan. Mereka tidak akan
bisa merawatnya sendirian, bahkan diperlukan uang yang tidak sedikit untuk biaya
pemeliharaannya.
"... Kita bisa berhenti menjadi prajurit relawan. Itu mungkin saja terjadi.” dia membisikkan itu
pada dirinya sendiri.
Kuzaku mendengkur pelan saat terlelap.
Sekarang mereka punya seribu keping emas, jika dibagi rata termasuk jatah Yume, setidaknya
setiap orang mendapatkan 166 keping emas. Apakah dia akan berfoya-foya dengan uang
sebanyak itu? Jika Haruhiro pintar mengatur uang, setidaknya dia bisa hidup layak selama 10
atau 20 tahun ke depan.
Ah, mungkin 10 – 20 tahun terlalu lama, tapi yang jelas mereka bisa hidup berkecukupan
sampai tahun depan. Kenapa tak seorang pun menyarankan begitu?
Enam bulan lagi, mereka berjanji untuk bertemu Yume kembali di Altana.
Tapi, itu bukan berarti mereka harus tetap berprofesi sebagai prajurit relawan.
Mereka harus tiba di Altana enam bulan lagi untuk bertemu Yume, lalu mereka bebas
melakukan apapun. Mereka bisa menikmati istirahat panjang setelahnya.
Sejak awal mereka tidak pernah berniat menjadi prajurit relawan, jadi mungkin sudah saatnya
untuk pensiun. Sepertinya itu bukan ide yang buruk. Mungkin, mereka harus mulai memikirkan
pekerjaan lain. Akan tetapi, tampaknya tak seorang pun pada Party ini, termasuk Haruhiro,
memikirkan kemungkinan itu.
Ya, Haruhiro pun tidak pernah berencana pensiun menjadi prajurit relawan. Dia hanya
menjalani pekerjaannya tanpa banyak pertimbangan. Mungkin untuk sementara waktu, mereka
akan terus menekuni profesi ini seperti biasanya.
Tapi berapa lama mereka bisa mempertahankan pekerjaan ini?
Kalau tidak salah, Akira-san yang merupakan prajurit relawan legendaris, sudah menekuni
profesinya selama 20 tahun, atau 2 dekade penuh.
Sudah berapa tahun berlalu semenjak Bri menawari mereka pekerjaan sebagai prajurit relawan
di kantor Crimson Moon? Lima tahun? Enam tahun? Rasanya sudah lama sekali, namun
sebenarnya peristiwa itu barusan terjadi kurang dari 2 tahun yang lalu. Dua tahun saja sudah
terasa begitu lama, lantas bagaimana dengan sepuluh kali lipatnya?
Kurang 18 tahun lagi ya….
Jujur saja, Haruhiro merasa tidak sanggup menjalaninya. Apakah prajurit relawan adalah
pekerjaan yang aman? Tentu saja tidak. Mereka bisa mati kapanpun. Bahkan Haruhiro sudah
berkali-kali hampir mati.
Berapa kali tepatnya? Dia tidak menghitungnya.
Sudah terlalu sering dia hampir mati, sampai-sampai dia semakin peka terhadap bahaya,
sehingga bisa menghindarinya lebih dini. Yahh, harusnya sih begitu….tapi buktinya,
belakangan ini lagi-lagi dia hampir mati.

20
Setidaknya, pengalaman berbahaya seperti itu tidak lagi membuatnya merinding, karena dia
sudah terlalu sering mengalaminya. Namun tetap saja, nyawa hanya satu. Sekali saja dia
ceroboh, maka habislah semuanya. Jangan harap ada orang seperti Jessie lagi, yang bisa
menghidupkan kembali mayat.
Sesekali Haruhiro kepikiran, apakah akhir hayatnya sudah dekat?
Mungkin juga tidak, toh orang seperti Akira-san bisa hidup sampai detik ini. Tapi, sebaiknya
dia tidak membandingkan nasibnya dengan seseorang yang sangat beruntung sepertinya.
Bukannya dia sudah siap mati muda. Namun, jika dia benar-benar ingin hidup dengan damai,
maka salah satu caranya adalah berhenti menjadi prajurit relawan.
Akira-san bukanlah seorang jenius seperti Soma. Rekannya sendiri, Gogh, yang mengatakan
itu pada Haruhiro. Dia bukanlah orang yang berbakat. Hanya saja, Akira-san selalu selamat
dari mara bahaya.
Bisa diakatakan, dia orang yang cukup beruntung, itulah yang membuat Akira-san bisa
bertahan sampai saat ini. Dan itulah yang membuat dia semakin kuat.
Tapi pada dasarnya, dia menjadi kuat bukan karena bakatnya. Dia menjadi kuat karena
keberuntungannya.
"Tapi…belum tentu begitu, kan," gumam Haruhiro. "Akira-san mungkin saja hanya merendah.
Orang sukses bebas mengatakan apapun.”
Meskipun Haruhiro selalu selamat dari mara bahaya, bisakah dia berkembang menjadi sekuat
Akira-san? Haruhiro selalu berjuang keras untuk bertahan hidup, itulah sebabnya dia tahu
alasannya. Di dunia ini, tak ada seorang pun yang sama. Selalu ada bakat, potensi, bawaan,
atau apapun namanya, yang membedakan kemampuan setiap orang. Tak peduli dilihat dari
manapun, Akira-san tetaplah seorang yang luar biasa, sedangkan Haruhiro hanyalah bocah
biasa.
Bukan berarti orang biasa sepertinya tidak bisa bertahan menjadi pasukan relawan selama 20
tahun. Yah, setidaknya dia masih punya peluang. Tetapi, jangan pernah bermimpi menjadi
seorang legenda seperti Akira-san. Tak mungkin itu terjadi padanya.
Tapi, Haruhiro memang tak pernah ingin menjadi legenda.
Haruhiro pun tidak ingin menjadi kaya atau terkenal. Sebenarnya dia bukanlah orang yang
tanpa ambisi atau tujuan hidup, tapi dia tidak akan mengejar semua itu. Kalau pun ambisi dan
tujuan hidupnya tidak pernah dia raih, tidak masalah bagi Haruhiro.
Dia lebih mementingkan keselamatan teman-temannya, itulah sebabnya dia ingin terus hidup.
Kuzaku yang sedang terlelap di sampingnya, mungkin saja esok hari akan menghembuskan
napas terakhir.
Tampaknya semua pemikiran itu mengganggunya, sehingga dia tidak bisa tidur. Haruhiro pun
bangkit dari ranjangnya. Tempat tidurnya berderik sedikit, namun Kuzaku masih terlelap.
Haruhiro mengenakan sepatunya, lalu meninggalkan kamar dengan diam-diam.
Penginapan sudah gelap. Tapi masih ada lentera yang bersinar di dekat tangga, sehingga dia
bisa melihat langkahnya.
Tempat mereka menginap, yaitu Penginapan Golden Goatfish, adalah bangunan berlantai
empat. Lantai kedua hingga keempat dipenuhi dengan kamar-kamar sewaan. Di lantai dua
terdapat kamar yang cukup untuk berempat, lantai ketiga terdiri dari kamar untuk berdua,

21
sedangkan lantai keempat terdiri dari kamar luas yang terdapat ruangan-ruangan kecil di
dalamnya.
Tidak seperti di Altana, Kota Bebas Vele dipenuhi dengan bangunan-bangunan tingkat tinggi.
Haruhiro menuruni tangga ke lantai dua. Tanpa maksud apapun, dia melirik pintu kamar yang
disewa para gadis. Apakah mereka semua sudah tidur? Ataukah mereka ngobrol sampai larut
malam?
Shihoru dan Mary pasti akur-akur saja, tapi bagaimana dengan Setora?
Tapi, Shihoru dan Mary sama-sama pendiam. Benarkah mereka berdua ngobrol sampai larut
malam?
"Kalau saja Yume masih bersama kami ..." gumamnya.
Haruhiro melewati kamar para gadis tanpa suara, lalu membuka pintu di pertigaan ujung
lorong. Kemudian dia melewati balkon yang terbuat dari kayu. Dia merasakan kehadiran
seseorang di sana, namun ternyata tidak ada siapa-siapa.
"Memangnya siapa yang bangun jam segini?" katanya pada dirinya sendiri sembari tertawa
pelan. Lalu dia menghela nafas.
Penginapan Golden Goatfish berada di daerah yang tenang dan elegan. Dari sana, Haruhiro
bisa melihat cahaya lentera para penjaga yang masih berpatroli. Keamanan yang ketat adalah
salah satu kelebihan penginapan di daerah ini. Itulah kenapa harga sewa kamarnya pun mahal.
Haruhiro mengistirahatkan sikunya di pagar, lalu menyangga wajahnya. Dia mulai
merenungkan berbagai hal yang mendasar.
Di kota sebesar ini, pasti ada para perampok yang profesional. Mungkin malam ini terjadi
perampokan bersenjata, atau bahkan pembunuhan. Detik ini pun, pasti ada orang yang mati
karena berbagai alasan. Mungkin terbunuh, atau karena penyakit yang mematikan.
Meskipun kau sudah bersiaga penuh, atau menjaga kesehatan sebaik mungkin, tetap saja kau
akan mati jika tempat tinggalmu dilanda bencana alam. Artinya, kematian bisa terjadi pada
siapapun. Meskipun seseorang tidak berprofesi sebagai prajurit relawan, dia pun akan mati jika
ajalnya tiba. Itulah kenapa manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta agar tidak mati
dalam keadaan yang kurang layak.
Tak seorang prajurit relawan pun mau mati, tapi mereka harus terus berurusan dengan
pekerjaan berbahaya yang mengancam nyawa mereka.
Karena nyawanya sudah sering terancam, lama-kelamaan Haruhiro tidak lagi merasakan
ketakutan berlebih saat menghadapi bahaya.
Kalau dipikir-pikir lagi, dia sekarang sudah jauh lebih pemberani, jika dibandingkan dengan
pertama kali bekerja sebagai prajurit relawan. Dulu, dia bahkan takut pada Goblin lumpur tak
bersenjata.
"Hidup kita dipertaruhkan di sini!" kurang-lebih, seperti itulah Manato pernah berseru.
Sekarang ... Haruhiro benar-benar telah melupakannya. Mungkin karena hidupnya sudah
terlalu sering dipertaruhkan.
"Ini memang tidak mudah ... ya ..." gumamnya.

22
Tidak ada satu pun makhluk hidup yang mau mati di dunia ini, ucap Manato. Meskipun dia
berkata begitu, nyatanya dia lah yang pertama kali mati di Party ini. Mulai saat itulah, Haruhiro
dan yang lainnya berjuang begitu serius untuk bertahan hidup.
Sudah berapa jauh perjuangan mereka untuk bertahan hidup?
"Tidak, ini belum apa-apa ..." gumamnya.
Sebenarnya mereka tidak mengalami kemajuan sama sekali.
Mereka hanya punya satu nyawa, dan jika mereka kehilangan itu, maka habislah semua. Prinsip
dasar itu tidak akan berubah sampai kapanpun, meskipun Jessie pernah menyalahinya.
Meskipun mereka sudah meningkatkan skill mereka, namun tidak ada yang berubah. Meskipun
mereka telah melawan banyak musuh yang semakin kuat, namun tidak ada yang berubah.
Sejatinya, mereka hanyalah makhluk yang bertahan hidup dengan membunuh makhluk
lainnya, kemudian memanfatkan apapun dari sisa-sisa jasad buruannya untuk makan dan
melanjutkan hidup.
Jika mereka menganggap itu sebagai dosa, maka seharusnya mereka sudah berhenti dari profesi
ini sejak awal.
Setidaknya, Haruhiro bukanlah orang yang menikmati membunuh lawan-lawannya, lalu
menginjak-injak jasadnya sampai puas. Akan tetapi, meskipun tidak melakukan itu, Haruhiro
tetap saja tidak bisa membenarkan apa yang telah dia perbuat selama ini.
Dia mencabut satu-satunya nyawa yang dimiliki lawannya, tanpa merasa bertanggung jawab
ataupun bersalah. Awalnya dia masih merasa berdosa setelah menghabisi nyawa lawannya,
namun belakangan ini….. tidak lagi.
Yahh….kami masih sama seperti yang dulu, Manato. Hanya keberuntungan lah yang selama
ini menyelamatkan kami dari bahaya. Jika kami kalah, maka kami akan mati. Jadi, ini
hanyalah masalah dibunuh atau membunuh.
Ada suatu hal egois yang dipikirkan Haruhiro, ’Kita semua hanya memiliki satu nyawa, jadi
jangan salahkan aku jika mengambil nyawamu untuk terus bertahan hidup.’
"Tapi ..." Haruhiro menyandarkan kepalanya ke pagar.
Tetapi bagaimana jika itu tidak benar?

23
Bab 5
Mengukur Kemurnian Sesuatu

... Terkadang, aku tidak tahu-menahu. Terkadang? Bukannya itu selalu terjadi? Mungkin ini
bukan masalah terkadang atau selalu terjadi.
Kau tidak perlu memikirkannya terlalu dalam. Lama-kelamaan kau pasti akan terbiasa.
Lakukan saja berulang-ulang, maka kau akan segera terbiasa.
Diam!
Diam!
Diam!
Hentikan!
Apa? Menghentikan apa? Aku tidak melakukan apa-apa, kok.
Tidak….kau telah melakukan sesuatu.
Jangan ngawur. Aku sungguh tidak melakukan apa-apa. Serius. Aku tidak akan
mengganggumu. Karena aku mengerti apa yang kau pikirkan. Aku pun pernah mengalaminya.
Baiklah….. kau harus coba menenangkan diri terlebih dahulu. Ambil napas dalam-dalam.
Lepaskan dengan perlahan.
Aku tidak bisa mengontrol denyut nadiku. Tak peduli cepat atau lambat, aku tidak bisa
mengendalikannya. Itu diluar kendaliku.
Tapi setidaknya aku bisa mengendalikan napasku. Hirup. Hembuskan. Hirup. Hembuskan.
Hirup. Hembuskan. Hirup. Hembuskan. Hirup. Hembuskan. Hirup. Hembuskan.
Berhenti.
Bagus!! Berhenti….yak…yak…seperti itu! Tahan…tahan…Apakah sakit? Kau tidak apa-apa,
kok. Kau akan baik-baik saja. Kau tidak akan mati. Ah bukan… ‘mati’ bukanlah kata yang
tepat. Kau tidak akan mati. Hidupmu seperti denyut nadimu. Jadi, kau tidak bisa
mengontrolnya. Tak lama lagi, perlahan-lahan kau akan mengerti. Kau penasaran dengan ini
semua, kan? Tenang saja, lama-kelamaan kau akan terbiasa, selama masih kau hidup.
Hidup.
Janganlah terlalu serius memikirkannya. Semua orang juga merasakan hal yang sama
denganmu. Hanya orang bodoh yang mengulang-ulangi hal yang sama. Itu hanya buang-
buang waktu. Tapi, kurasa beberapa orang tidak masalah jika dia membuang-buang waktu.
Hentikan.
Kan sudah kubilang….aku tidak melakukan apa-apa.
Hentikan.
Sudahlah….jangan khawatir.
Hentikan.
Seperti yang kuumpamakan tadi, ini bagaikan denyut nadi yang tidak bisa kau kendalikan.

24
Hentikan.
Hentikan.
Masih banyak waktu, kok. Kau harus membiasakan diri. Kau bisa menerima ini. Karena kau
tidak punya pilihan lain. Sebenarnya ada cara yang lebih mudah. Mungkin kau bisa
memilihnya. Kalau kau mau, aku bisa mengajarimu.
Apa?
Cara apa itu?
Yahh…sebenarnya aku tidak merekomendasikannya, sih.
Tapi cara itu memang lebih mudah.
Sekarang…. hirup napas.
Hembuskan.
Hirup.
Hembuskan.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.

25
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Hirup.
Apakah sakit? Kalau sakit, ya berhenti saja.
Menyerahlah.
Kau tidak perlu mengontrolnya.
Kau sudah boleh melepaskannya.
Apanya?
Apanya yang bisa kulepas?
Kau sendiri tahu, kan?

26
Ya dirimu sendiri.
Diriku sendiri?
Ya.
Tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa.
Ya tentu saja tidak. Kau bahkan tidak akan bisa merasakan hal-hal buruk lagi.
Pokoknya mudah. Kau akan terbebas.
Kau menderita karena kau selalu memikirkannya, kan. Kalau terus-terusan begitu, pikiranmu
akan lelah, kan.
Kenapa kau selalu membebani pikiranmu sendiri.
Itu seperti menusuk-nusuk dirimu sendiri dengan jarum.
Jleb, jleb, jleb.
Tapi jarumnya sangat tipis, jadi sulit dipegang.
Mungkin saja jarum itu akan jatuh, lalu hilang. Itu karena dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.

27
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.

28
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.

29
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.

30
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Dirimu.
Atau mungkin, tanpa sengaja jarum itu akan menusuk punggung tanganmu. Tidak perlu terlalu
serius, lah. Itu menyusahkan, kan?
Kalau lelah, ya istirahat saja.
Jangan memaksakan dirimu, istirahat lah.
Istirahat.
Sekarang juga.
Ayolah, istirahat.
Hentikan!
Kubuka mataku. Meskipun gelap, aku masih bisa melihat. Hirup napas. Hembuskan.
Hirup.
Hembuskan.
Hirup.
Hembuskan.
Hirup.
Hembuskan.
Meskipun aku tidak bisa mengendalikan denyut nadiku, tapi aku bisa mengontrol napasku. Aku
bisa merasakannya. Bahwa aku di sini. Yang mengendalikan napasaku adalah diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.

31
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.

32
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.

33
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.

34
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Diriku.
Tapi aku merasakan keberadaanku sendiri. Aku ada di sini. Aku merasakan sakit. Aku
merasakan tusukan jarum itu.
Aku ada di sini.
Di sini.
Di sini.
Seseorang menatapku. Mendengarkan suaraku.
Merasakan keberadaanku.
Memegangku.
Kumohon.
Terkadang, aku tidak tahu. Terkadang? Bukankah selalu? Ah, ini bukan masalah terkadang
atau selalu. Apakah itu penting? Jangan dipikirkan terlalu dalam. Karena aku akan segera
terbiasa. Aku akan terbiasa dengan apapun. Kalau mengulanginya terus-menerus seperti ini,
aku akan terbiasa.
Jadi lihatlah aku. Dengarkan suaraku. Rasakan keberadaanku. Peganglah aku. Kumohon.
Tapi aku tidak ingin melakukan itu padamu.
Karena aku tidak murni.

35
Bab 6
Jika Kau Ingin Pergi

Namanya adalah Zapp.


Ada satu tanduk yang sangat mencolok di kepalanya yang keras. Wajahnya besar dan
berbentuk ovel. Matanya yang sipit terlihat menyejukkan hati, tetapi….benarkah begitu?
Gerakannya lemah lembut. Dia berbulu, tapi rambutnya yang coklat dan kasar tidaklah begitu
panjang.
Tubuhnya besar. Lebih tinggi dari Kuzaku. Tapi, Zapp bahkan belum berdiri.
Dia adalah makhluk berkaki empat yang biasa disebut Ganaro. Tentu saja dia tidak biasa berdiri
seperti manusia pada umumnya, namun dia masihlah begitu besar.
Ganaro banyak dipelihara di seluruh wilayah Grimgar sebagai hewan ternak.
Sudah lama manusia, Orc, dan ras-ras lainnya mengembang-biakkan Ganaro.
Mereka memanfaatkan daging, susu, dan tenaganya untuk bekerja. Ganaro adalah hewan yang
umum di Grimgar, begitu pun Zapp.
Zapp adalah Ganaro yang cukup besar. Awalnya mereka mengira dia laki-laki, tapi ternyata
perempuan.
Sembari tersenyum lebar, Kejiman membelai lehernya yang kuat dan memperkenalkannya
kepada Party Haruhiro.
“Inilah temanku. Hubungan kami sangat dekat, bagaikan suami-istri. Wahahaha!"
Apakah dia hanya melawak? Tidak jelas…. tetapi Haruhiro tidak akan tertawa dengan guyonan
kotor seperti itu.
Zapp menarik gerobak kotak beroda empat, ukurannya cukup kecil, namun ada sistem pegas
di rodanya. Gerobak itu dinamainya Vestargis-go.
Sepertinya kau bisa menjejalkan tiga orang di kursi pengemudi, namun Kejiman bilang hanya
satu orang yang boleh duduk di sana.
Selain Zapp, Kejiman membawa seekor burung bernama Nipp. Nipp adalah burung besar yang
tidak bisa terbang, biasanya orang-orang menyebutnya Storuch.
Storuch liar banyak hidup di Dataran Quickwind, tetapi mereka tidak terbiasa dengan Orc atau
manusia. Namun setelah melalui proses penjinakan yang sulit dan selektif, mereka akhirnya
memperbolehkan manusia atau Orc menungganginya.
Namun, sejinak apapun Storuch, lebih baik kau tidak berdiri di belakangnya. Karena mereka
bisa saja melambungkanmu dengan tendangan yang teramat kuat.
"Nipp juga temanku," kata Kejiman sambil nyengir. “Dia lah satu-satunya teman yang
kubutuhkan. Wahahaha!"
Dia sengaja berdiri di belakang Nipp, dan benar saja… burung itu segera melepaskan
tendangannya. Tapi, Kejiman mampu menghindar dengan mulus, rupanya dia mau
memamerkan tekniknya itu.

36
“Yahh…dia masih sering melakukan itu, sih. Lebih baik kau tidak berdiri di belakangnya,
karena dia akan melepaskan tendangan-tendangan lainnya. Kalau kau terkena dua kali
tendangan kerasnya, kau bisa sekarat. Aku sudah pernah mengalaminya, lho. Wahahaha!"
Dengan demikian, maka tugas Party Haruhiro sekarang adalah mengawal karavan pedagang
yang terdiri dari Kejiman, Ganaro bernama Zapp, Storuch bernama Nipp, dan kereta beroda
empat yang dinamai Vestargis-go. Mereka akan berjalan selama kurang-lebih 25 hari menuju
Altana.
Makanan dan air sudah disediakan, dan Kejiman akan membayar mereka 30 perak per orang.
Oh ya, Kiichi tidak termasuk.
Awalnya, Kejiman ingin menggaji mereka 1 perak per hari, jadi totalnya 25 perak. Namun
upah itu terlalu sedikit, sehingga Haruhiro meminta lebih. Sebenarnya mereka tidak
mempermasalahkan seberapa besar gajinya, toh mereka sudah kaya sekarang. Namun, Party
Haruhiro sedang menyamar sebagai prajurit relawan biasa, sehingga agaknya aneh jika mereka
menerima gaji sekecil itu tanpa protes.
"Hey dengarkan…. hidupku adalah berdagang," Kejiman memperingatkan mereka. "Aku
selalu memperhitungkan semuanya dengan teliti, termasuk masalah gaji."
Setelah negosiasi yang alot, akhirnya Kejiman bersedia menggaji mereka 30 perak per orang,
dan tidak bisa lebih tinggi lagi, karena dia tidak punya uang.
“Aku sudah menginvestasikan semua uang yang kumiliki. Jadi, aku tidak punya banyak uang
untuk menggaji kalian. Jika aku tidak bertemu dengan kalian, mungkin aku akan pergi
sendirian. Aku tidak punya pilihan selain pergi sendirian. Lantas, apa yang akan kalian
lakukan? Jadi ikut denganku, atau tidak? Semuanya terserah pada kalian. Pokoknya, aku hanya
bisa membayar kalian 30 perak per orang, titik!”
Pria ini memang aneh. Kejiman agak gugup saat bernegosiasi dengan Haruhiro, tapi dia tidak
ingin dimanfaatkan. Haruhiro terus meminta lebih, dan Kejiman bersikeras menolaknya.
Namun akhirnya, dia setuju jika barang-barang dagangannya laku terjual di Altana nanti,
mereka akan mendapatkan bonus tambahan.
Gerbang Dewa Laut di Vele dibuka pada pukul setengah enam pagi. Mereka berangkat tidak
lama kemudian, menuju ke barat daya. Sayangnya, rute yang hendak mereka lewati belum
terpetakan.
Kejiman duduk di kursi pengemudi Vestargis-go, dan Nipp mengikuti dari belakang dengan
patuh, meskipun lehernya tidak diikat.
Haruhiro dan Party-nya berjalan kaki. Mereka terus berjalan, sembari berhati-hati tidak
mendekat di belakang Nipp.
Kelompok pedagang Kejiman yang sederhana siap meninggalkan Vele untuk menuju ke
Altana. Mereka meninggalkan jalan halus beraspal dengan batu keputihan, yang biasa disebut
Jalan Putih. Mereka akan menuju ke barat daya dengan melewati ladang, hutan, dan perbukitan.
Bagi Party Haruhiro, tentu saja medan perjalanan ini lebih baik daripada Darunggar, Lembah
Ribuan, atau Pegunungan Kuaron. Tugas mereka hanyalah berjalan kaki selama 25 hari ke
depan, sembari menjaga keamanan tuannya. Ini adalah misi yang relatif mudah untuk mereka,
ketimbang mencari telur naga.
"Ya ampun, tidak ada apa-apa di sini ..." Kuzaku bergumam pada dirinya sendiri, lalu Kejiman
tertawa sengau.

37
"Kalau ada apa-apa malah jadi masalah, ahaha. Aku sengaja mengambil jalan yang jarang
dilewati orang. Tampaknya kalian tidak begitu peka, jadi sekarang dengarkan apa yang akan
kukatakan. Ada ratusan perampok di daerah ini. Meskipun kukatakan ratusan, namun
sebenarnya jumlahnya tidak sebanyak itu. Tapi, mereka benar-benar ada. Aku sendiri pernah
bertemu dengan mereka.”
Tampaknya Shihoru, Mary, dan Setora, yang menggendong Kiichi, sama-sama mengabaikan
omongan Kejiman, kecuali hal yang penting. Mereka tidak banyak menanggapi omongan
pedagang aneh itu.
Haruhiro tahu bagaimana perasaan mereka. Pria itu memang agak ... menyebalkan. Haruhiro
lebih suka tidak mendengarkan ocehan Kejiman, namun saat ini dia tetaplah tuan mereka, jadi
mengabaikan semua omongannya bukanlah hal yang sopan.
“Oh, jadi itu sebabnya kau mengambil rute yang sepi," tanggap Haruhiro.
"Betul. Light, Raiders, Crush Underdogs, Dashbal ... itu adalah nama-nama kelompok
perampok yang terkenal di sekitar sini. Jika mereka tahu kau memiliki benda berharga, maka
habislah semuanya.”
"Light ..." gumam Haruhiro.
“Light adalah sekelompok mantan prajurit relawan. Mereka hanyalah sampah masyarakat.
Bagiku, orang-orang seperti itu bahkan lebih berbahaya daripada Orc ataupun Undead.”
"...Oh ya? Begitukah?”
"Menurutku, para Orc lebih berhati baik daripada mereka," kata Kejiman. "Meskipun orang-
orang menganggapnya sebagai musuh manusia, terkadang Orc justru lebih berperikemanusiaan
daripada manusia itu sendiri. Kalau Undead….hmm, agak sulit menerka apa yang mereka
pikirkan, namun yang jelas Undead tidak akan melakukan perbuatan kejam tanpa alasan.
Sedangkan, manusia yang sudah mati hatinya, bahkan lebih buruk daripada kedua ras itu.”
"Kau benar..."
“Namun, orang-orang seburuk Light pun tidak bodoh. Mereka tidak akan muncul sembarangan
untuk membunuh, memperkosa, ataupun menjarah."
"...Ya."
"Ha! Datar sekali jawabanmu! Ayolah! Ngobrol lah denganku! Aku sudah ngoceh panjang-
lebar, dan hanya itu tanggapanmu??”
Aku tidak ingin ngobrol denganmu karena tidak tertarik pada apa yang kau omongkan.
Haruhiro ingin mengatakan itu, tapi tidak bisa. Akan lebih puas jika dia mengungkapkan isi
hatinya, tapi itu akan menimbulkan masalah.
"... Apakah mereka pernah mengancammu?" Haruhiro akhirnya mulai bertanya.
"Pernah lah. Hey…rupanya kau mulai tertarik ya…”
"Begitukah?"
"Tentu saja!”
"...yahh….."
“Mereka sudah biasa mengancam mangsanya. ’Kalau kau tidak membayar uang sebanyak ini,
maka kami akan menyerangmu.’ seperti itulah ancaman mereka. Namun, aku yakin pedagang

38
yang lebih kaya sanggup menyewa pengawal yang kuat, sehingga mereka tidak akan takut pada
ancaman seperti itu. Itulah sebabnya, para perampok tidak akan menyerang karavan yang besar.
Bahkan para perampok pun menyayangi nyawa mereka. Hanya pedagang kecil dan menengah
saja yang mereka rampok. Itulah kenapa, para pedagang individu sepertiku harus kuat nyali
dan mental. Oh ya…ngomong-ngomong aku sedang mencari istri untuk menemaniku
berdagang!!”
"...Aku paham."
“Maksudku, benar-benar seorang istri! Bukannya Ganaro!! Aku sungguh-sungguh
mencarinya! Bagaimana?? Adakah yang tertarik!? Lihatlah, kursi di sampingku masih
kosong!” Kejiman menepuk-nepuk tempat duduk di sampingnya.
Para gadis langsung terdiam seketika.
"Wahahaha! Baiklah…baiklah…aku mengerti. Maafkan aku ya, aku hanyalah seorang pria
lugu yang beridealisme tinggi. Biasanya kaum wanita tidak akan memahami pria sepertiku.
Tidak apa-apa… tidak apa-apa. Kalau sudah punya uang banyak nanti, aku tinggal membeli
wanita.”
"Kau memang sampah," Kuzaku tidak lagi bisa menahan umpatannya.
Kejiman segera naik pitam, lalu dia membentaknya dari kursi pengemudi.
"Hei kau! Siapa yang kau panggil sampah, dasar bajingan tampan?! Hanya karena wajahmu
lumayan dan tubuhmu tinggi, jangan sombong ya!”
"Yahh ... aku tidak sombong, kok."
"Dasar kau!! Asal tahu saja ya, aku tidak pernah sekalipun populer di mata para wanita!!
Bahkan aku tidak pernah kencan dengan wanita manapun! Tapi, itu semua bisa diselesaikan
dengan uang! Selama aku bisa membayar mereka, maka semuanya bisa kudapatkan! Inilah
kenyataannya! Meskipun mereka tidak mencintaiku, setidaknya mereka berpura-pura
menurutiku! Oleh karena itu, yang terpenting di dunia ini hanyalah uang!"
"... Erm. Baiklah…aku minta maaf."
"Apakah kau kasihan padaku?! Bahkan ayahku sendiri tidak pernah mengasihaniku!"
Dua puluh lima hari ke depan akan terasa begitu lama. Haruhiro bahkan tidak mau
membayangkannya.
Yahh, bukannya mereka tidak menghargai orang seperti Kejiman, tapi dia memang sangat
menyebalkan. Toh, setelah tiba di Altana, mereka akan segera berpisah. Jadi, bayangkan saja
perpisahan dengan pria ini, maka bebanmu akan berkurang.
Pada hari pertama, setelah berjalan selama setengah hari, dan menempuh 25 – 26 km, akhirnya
mereka beristirahat dengan mendirikan kemah di pegunungan.
Bahkan saat tidur, Kejiman masih duduk di kursi pengemudi. Haruhiro dan yang lainnya
berjaga secara bergiliran setelah mendirikan tenda. Mereka mendengarkan pekikan hewan
malam, dan merasakan kehadiran mereka, namun untungnya tidak terjadi apapun sampai pagi
menyingsing.
Hari kedua pun berjalan dengan lancar, kecuali Kejiman yang masih saja menyebalkan. Begitu
juga dengan hari ketiga. Namun, jika perjalanannya berjalan begitu lancar, maka ini justru
mencurigakan.

39
Malamnya, Haruhiro tidur dengan tenang saat tidak mendapat giliran jaga. Paginya, dia
bermimpi pendek. Entah kenapa, tiba-tiba Yume muncul di mimpinya, dan dia menginginkan
Haruhiro untuk menjadi target tembakan panah.
Baiklah…baiklah…kalau kau memaksa… akhirnya Haruhiro setuju menjadi target. Yume
membidik, lalu melepaskan panah padanya, tapi meleset tipis.
Yahh…gak kena, ya? Yume tertawa.
Tentu saja tidak. Haruhiro juga tertawa.
Baiklah…yang berikutnya pasti kena, Yume menarik anak panah, dan melengkungkan
busurnya.
Saat Haruhiro berpikir, Oh…yang ini pasti kena….
Dia pun terbangun dari mimpinya.
Apa-apa’an mimpi itu ...
Pada hari keempat, mereka meneruskan perjalanan dengan melintasi ladang, memanjat bukit
yang tidak terlalu curam, dan berjalan melalui hutan yang tenang. Perjalanan ini benar-benar
lancar.
Akhirnya, mereka mendapatkan sedikit masalah. Di tepi hutan, perjalanan mereka terhambat
dengan sungai.
Kejiman melompat dari kursi pengemudi, lalu berlari ke depan “Yahooooooo! Inilaaaahh!
Irotoooooo ...!”
"Ini ..." Haruhiro mengusap pipi dan dagunya. Jenggotnya sedikit tumbuh. Tapi cukup tipis.
Dia harus mencukurnya nanti.
"Besar juga ..." gumam Shihoru.
Shihoru menyipitkan matanya, mungkin karena permukaan air itu terlalu berkilauan. Ah tidak
juga, hari ini sedang mendung, jadi tidak ada sinar matahari yang terpantul di permukaan air.
Mungkin dia punya alasan lain.
"Aku penasaran, seberapa lebar sungai itu ..." Kuzaku yang kebingungan, memiringkan
kepalanya ke samping.
Mungkin Yume bisa memprediksinya dengan akurat, tetapi Haruhiro bukanlah seorang Hunter,
jadi dia hanya bisa menebaknya.
"Dua ratus sampai ... tiga ratus meter ... atau mungkin lebih," katanya dengan ragu. "Atau bisa
jadi empat ratus sampai lima ratus meter."
Jika mereka menuju ke Altana lewat jalur darat, tentu saja mereka akan terhadang sungai.
Sebelumnya mereka juga melalui beberapa sungai, namun dalamnya hanya sepinggang
Haruhiro, dan arusnya tidak cepat.
Sebelumnya Kejiman telah memperingatkan bahwa mereka akan melewati sungai hari ini, tapi
dia tidak menyebutkan bahwa Sungai Iroto ternyata sebesar ini.
Nipp mendekat ke tepi sungai, lalu meminum air sepuasnya. Zapp tampak iri melihat rekannya
itu, namun dia masih terikat pada Vestargis-go jauh di tepi sungai.
Kejiman sedang iseng melemparkan batu pipih di permukaan sungai, sampai memantul
beberapa kali.

40
"Apa-apa’an pria itu?" gumam Setora. “Apakah dia idiot? Sepertinya begitu."
Dengan lancar, Setora melepas tali yang menambatkan Zapp pada Vestargis-go. Sekarang Zapp
bisa bergerak dengan bebas.
Zapp berteriak pada Setora, "Bumo!" kemudian mendekat ke tepi sungai. Dia memasukkan
wajahnya ke dalam air, lalu minum sampai puas. Dia terus meneguk air di sana.
Di sampingnya, Kiichi membasahi tangan dan mengusap wajahnya, juga dengan air sungai.
Mary tersenyum saat melihat itu. Yahh, Nyaa yang sedang membasuh wajahnya seperti itu
memang tampak menggemaskan. Kau pun pasti akan tersenyum saat melihatnya.
Kemudian….
Shihoru memberi isyarat dengan dagunya. "Orang itu ...," katanya,
Yang dia maksud adalah Kejiman. "Aku tidak percaya bahwa sungai ini tidak dapat kita
sebrangi, jadi….menurut kalian apa yang bisa kita lakukan?”
"Wow, 35 kali pantulan!" Kejiman mengangkat tangannya dengan gembira. Sepertinya, batu
pipih yang barusan dia lempar, memantul sampai 35 kali di permukaan air.
"Sial," kata Kuzaku sembari mendecakkan lidahnya. “Aku jadi ingin ikutan mencobanya."
"Coba saja," kata Haruhiro. "Kalau kau memang ingin….."
"Hentikan, Haruhiro! Jika kau mengatakannya, aku jadi benar-benar ingin melakukan hal
konyol itu!”
"Lakukan saja, bung."
"Tapi jika aku melakukannya, aku akan terlihat sama konyolnya dengan orang itu.”
"Tidak…tidak…santai saja."
“Baiklah, aku akan melakukannya! Aku serius. Aku tidak ragu lagi. Tapi kumohon jangan
samakan aku dengan orang tolol itu!”
"Sudah kubilang, jangan khawatir ..."
"Ya, baiklah!"
"Wow, kali ini 37 kali ...!" seru Kejiman.
Kejiman terus melemparkan batu-batunya, tampaknya dia semakin senang saat rekor barunya
terpecahkan.
Kenapa dia terus bermain-main seperti itu? Haruhiro bertanya-tanya. Tapi, kelihatannya
menyenangkan sekali. Aku ... ah tidak, aku tidak ingin menirunya. Aku tidak akan pernah
meniru perbuatan bodoh seperti itu.
"Umm ..." Haruhiro mulai mendekati pria itu untuk meminta perhatiannya.
"Tunggu!" teriak Kejiman sambil menarik lengannya, lalu dia melempar batu lainnya. Batu itu
melompati permukaan air beberapa kali, seolah-olah meluncur, sampai akhirnya melambat,
semakin lambat, dan tenggelam.
"Yessssssssssssssssss!" Kejiman berteriak sambil mengangkat lengannya dengan girang. Kali
ini 39 pantulan! Aku menang! Zeeeeeeeeeeeed ...!”

41
"Zed ...?" Haruhiro mengulangi perkataannya dengan penasaran. Haruhiro tahu bahwa
sebaiknya dia tidak mengatakan itu, tapi…..
Kejiman menoleh padanya, lalu menggunakan jari tengah tangan kanannya untuk
membenarkan gagang kacamatanya. "Aku! Aku menang melawan rekorku sendiri!”
"Tidak, bukan itu yang kumaksud. Apa itu Zed ...?"
"Heheheheh ..." tiba-tiba Kejiman tertawa terbahak-bahak.
"Wahahahahahahahahahaha!"
Dia tertawa begitu keras. Seperti orang idiot. Apa ada yang salah dengan otaknya? Sejak awal
Haruhiro sudah tahu bahwa pria ini aneh, tapi kian hari, makin aneh saja tingkahnya.
Sepertinya Haruhiro harus menyusun rencana B, seperti meninggalkan Kejiman, lalu kabur
bersama teman-temannya mungkin? Apakah masih terlalu dini untuk rencana B? Lagi-lagi dia
kebingungan mengambil keputusan.
Saat menoleh pada Zapp, dia mendapati Setora dan Kiichi sedang menunggangi punggungnya.
"Um ... Er ..." Haruhiro mulai bicara lagi.
"Hm? Ada apa?"
"Tidak, tidak ada apa-apa ..."
“Oi, oi, oi, oi, oi?! Zapp bukan tunggangan!" teriak Kejiman saat melihat Setora dan Kiichi.
Dia terlihat geram, tapi tampaknya Setora mengabaikannya.
“Dia adalah binatang kepercayaanku! Jadi, kau tidak boleh menungganginya!"
"Lah….kau sendiri menungganginya!? Lalu, apa bedanya!?"
"Kalau kau boleh, maka aku juga boleh kan," kata Setora. "Apakah aku salah?"
"Pokoknya tidak boleh, zeeeed!”
Lagi-lagi dia menyebut nama yang Haruhiro pertanyakan.
“Oh ya… aku harus mengatakan ini. Sepertinya…. kita tidak bisa menyebrangi sungai ini.
Sayang sekali ya!!”
Shihoru tercengang sembari berkedip beberapa kali.
Wajah Mary menegang sejenak, lalu dia tersenyum menakutkan.
"Apa maksudmu?" tanya Kuzaku, lalu matanya melotot saat memahami apa yang dikatakan
Kejiman. "Hah?! J-j-jadi….kau membuat kami menunggu di sini untuk hal yang sia-sia!? J-j-
jadi, sejak awal kita memang tidak mungkin melintasi sungai itu!!?”
"Kalian terlalu kaget ..." Haruhiro menghela nafas.
Namun, dia mulai pusing.
"Aku sudah menduganya, itulah kenapa kau malah bermain-main lempar batu," kata Haruhiro.
"Sejak awal aku sudah menduga ada yang aneh ... ”
"Yah, maaf." Kejiman menundukkan kepalanya dengan senyum berseri-seri.
Kalau mau minta maaf, harusnya wajahnya terlihat lebih menyesal. Mengapa orang ini
membuat bawahannya salah sangka? Itu sulit dimengerti.

42
"Jadi, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Setora masih menunggangi Zapp. Meskipun
Kejiman memaksanya turun dengan geram, tampaknya Setora tidak akan mendengarnya.
Lagi-lagi Kejiman mengambil batu pipih, kemudian melemparkannya ke sungai. Tapi, kali ini
dia melambungkannya ke atas, sehingga batunya langsung tenggelam saat menyentuh
permukaan air.
"Yah….itulah masalahnya..."

43
Bab 7
Waktunya Berhenti

Apapun yang terjadi, mereka hanya bisa mengandalkan Kejiman yang sudah berpengalaman
pergi bolak-balik ke Altana. Ternyata, pria aneh itu kenal dengan salah seorang suku lokal yang
bernama Suku Kyuchapigyurya. Sudah lama mereka tinggal di sepanjang Sungai Iroto.
Kichipigira. Ah, bukan… yang benar Kyuchapigyurya, kan? Itu adalah nama yang tidak mudah
diucapkan, dan terkesan dibuat-buat. Apapun itu, yang jelas mata pencaharian mereka adalah
memancing. Mereka menyeberangi sungai dengan perahu, menebarkan perangkap, jaring,
bahkan menggunakan tombak untuk menangkap ikan, buaya, dan kura-kura.
Namun, semua keterangan itu mereka dengar dari Kejiman, jadi mungkin saja itu hanya bualan.
Sayangnya, sungai sebesar Iroto adalah rumah bagi kura-kura ganas yang panjangnya bisa lebih
dari 2 meter, dan ada juga buaya pemakan manusia. Memancing di tempat berbahaya seperti
ini sama saja dengan mempertaruhkan nyawamu.
Kyachupiginya — maaf, Kyuchipiryagya — bukan…bukan, Kyuchapigyurya — katanya
tinggal di sekitar sungai ini, dan Kejiman mengaku telah 2 kali menyeberangi Sungai Iroto
dengan kapal mereka. Katanya, mereka akan mengangkut Nipp, Zapp, dan Vestargis-go di atas
kapal mereka.
Katanya, suku ini suka sekali minum alkohol, namun mereka hanya bisa membuat alkohol
dengan cara tradisional yang mereka kembangkan sendiri. Jadi, ketika ada seseorang yang
memberi mereka alkohol bermerk dari luar, mereka akan senang sekali. Dan mereka akan
membantunya menyeberangi sungai tanpa dipungut biaya sepeser pun.
“Itulah kenapa aku susah-susah membawa alkohol ke sini!! Gimana, aku hebat kan!?” Kejiman
mengeluarkan sebotol minuman keras dari Vestargis-go , lalu mengangkatnya tinggi-tinggi
agar mereka bisa melihatnya.
Dia bertingkah begitu lebay, seakan-akan dibuat-buat. Namun, sekarang tidak penting lagi
apakah dia berbohong atau tidak, kita lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya.
Katanya, suku Kyu-apalah ini sudah lama tinggal di Sungai Iroto. Tapi, tidak ada tanda-tanda
kehidupan di sini, jadi pada siapakah mereka akan meminta bantuan?
Yang jelas, mereka tidak akan mencoba berenang melintasi sungai yang dipenuhi oleh kura-
kura sepanjang 2 meter dan buaya pemakan manusia. Vestargis-gopun akan tenggelam.
Duduk berdiam diri menunggu keajaiban juga tidak ada gunanya. Jadi, Haruhiro dan Party-nya
mulai berdiskusi tentang apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Kejiman berhenti
bermain-main lempar batu, lalu dia menjulurkan kepalanya mengintip Party Haruhiro yang
sedang berdiskusi.
“Hulu atau hilir? Menurutmu ke mana kita harus pergi? Haruskah kita memutuskannya dengan
batu-kertas-gunting? Atau mencabut undian sedotan? Atau beradu lempar batu denganku?
Silahkan lakukan apa saja! Aku akan meladeni kalian!”
Pria ini semakin menjengkelkan, namun tidaklah sopan bila mereka menyuruh si bos bungkam,
jadi Haruhiro bertanya padanya dengan baik, "Bisakah kau diam sebentar? Kami perlu
ketenangan dalam berdiskusi.”

44
“Jadi ini salahku?! Ha!? Maksudmu ini salahku?!”
"Ya," balas Setora. "Ini semua salahmu."
Setora masih menunggangi Zapp, dan Kiichi sedang beristirahat di antara tanduknya.
Sepertinya itu tempat yang nyaman bagi Kiichi. Zapp juga tidak keberatan.
Kejiman meneteskan air mata. “Aku tidak pernah merasa sangat terhina seperti ini! Kalau
begitu, caci aku lebih banyak!! Lakukan saja! Aku siap mendengarnya!! Lakukan!! Ayo!”
“Orang ini memang sampah. Kenapa dia terus menghina dirinya sendiri? Kau ini maso atau
apa?” gumam Setora.
“Gwogh?! Terimakasih atas pujiannya!! Akan kutulis itu pada lubuk hatiku yang terdalam!!”
"Ayo ke hulu," saran Haruhiro. "Karena kalau kita ke hilir, mungkin kita akan sampai di
lautan.”
Tak seorang pun keberatan pada saran Haruhiro.
Kejiman benar-benar orang yang aneh, dan mereka merasa stress karena perjalanan ini semakin
tidak jelas. Namun setidaknya, mereka tidak menghadapi bahaya selama perjalanan ini.
Mereka telah memutuskan bahwa Setora dan Kiichi akan duduk di kursi pengemudi Vestargis-
go, sedangkan Kejiman akan berjalan. Secara teknis, Kejiman masihlah bos mereka, jadi
awalnya Haruhiro ragu akan keputusan ini, namun tampaknya Setora lebih berkuasa daripada
Kejiman, jadi dia pun tidak protes.
Di bawah kendali Setora, Zapp menarik Vestargis-go dengan mantap, sepertinya semuanya
akan baik-baik saja. Setora bahkan tau cara mengendalikan Ganaro, dia memang serba bisa ...
Karavan Setora menuju hulu Sungai Iroto. Oh salah, maksudnya karavan Kejiman. Pria aneh
itu berjalan dengan riang di samping Zapp yang menarik Vestargis-go, tak peduli dilihat dari
manapun, bos ini lebih mirip seperti bawahan.
Jika Setora mengatakan, “Kau adalah bawahanku sekarang, jadi jangan banyak protes."
mungkin Kejiman akan segera menjawab dengan semangat, "Tentu saja, tuan!"
Beneran nih gak papa?.....ahh, gak tahu lah Haruhiro hanya bisa pasrah.
Akhirnya, terlihat hutan lebat di pinggiran sungai. Pepohonan menghalangi gerak Vestargis-go
, tapi sepertinya tidak masalah.
"Sebelah sini!" seru Kejiman. "Sebelah sini, Setora-san!"
Setiap kali Vestargis-go terhenti karena kehilangan arah, Kejiman menemukan jalan baru yang
bisa mereka lewati.
Setiap kali Kejiman menunjukkan arah, Setora langsung memujinya dengan nada datar,
“Bagus….bagus sekali.”
“Ya, Setora-san! Aku akan melakukan apapun untukmu, Setora-san!” seru Kejiman.
Andaikan saja Kejiman punya ekor, maka sempurnalah dia sebagai hewan peliharaan Setora.
Apakah dia menggunakan teknik yang sama saat menjinakkan Nyaa pada Kejiman? Setora
memang mengerikan. Haruhiro tak pernah menyangka teknik itu juga bisa diterapkan pada
manusia. Tapi, mungkin satu-satunya alasan yang membuat Kejiman begitu menurut padanya
adalah, dia mulai menyukai Setora.

45
Pada hari keempat, mereka mendirikan kemah di atas bukit kecil. Untuk jaga-jaga, Haruhiro
dan Kiichi memeriksa daerah sekitarnya, namun sepertinya aman-aman saja.
Sejauh ini, urusan memasak dikerjakan oleh Party Haruhiro, namun kali ini Kejiman
berserikeras untuk mencoba memasak, maka mereka pun membiarkannya.
"Aku ingin Setora-san memakan masakanku," kata Kejiman. "Ah tidak… aku ingin Setora-san
memintaku memasakkan sesuatu untuknya. Itu adalah sebuah kehormatan bagiku. Apakah kau
mengerti, Setora-san? Bolehkah aku melayanimu?"
"Tidak, aku tidak mengerti sama sekali."
“Kau tega sekali, Setora-san! Tapi, justru itu yang kusuka darimu! Kau memang yang terbaik,
Setora-san! Aku memujamu!”
Hebatnya, ternyata masakan Kejiman cukup enak, dan tidak menjijikkan sama sekali.
"Bagaimana, Setora-san?!" tanya Kejiman, dengan mata berkilauan.
"Tidak buruk," jawab Setora singkat.
Kejiman berguling-guling dengan girang. Dia sangat senang. Baru kali ini Haruhiro melihat
seorang idiot sebahagia itu.
Jujur saja, pria ini menyeramkan, tapi tergantung bagaimana kamu menilainya. Setidaknya
orang ini bisa mengespresikan kegembiraannya dengan begitu liar, dan itu bukanlah hal yang
buruk.
Ah, tapi Haruhiro sama sekali tidak iri padanya.
Mereka sudah setuju bahwa saat malam tiba, kelima anggota Party akan jaga, sedangkan
Kejiman dibebastugaskan. Namun, Kejiman sendiri yang menyalahi aturan itu, dan dia pun
bersikeras untuk ikutan jaga.
Jelas sekali dia ingin jaga bersama Setora. Tentu saja Setora tidak mau.
Kejiman patah hati, lalu dia pun segera tidur sambil tersedu-sedu.
"Wah, hari ini panjang sekali," Kuzaku menguap. "Aku capek banget..."
"Ya," kata Setora dengan ketus. "Hari ini sangat melelahkan."
"Ya…" Shihoru menyetujuinya. "Benar-benar melelahkan ..."
Kuzaku, Setora, dan Shihoru meminta jadwal jaganya ditunda setelah mereka tidur sebentar.
Itu artinya, hanya Haruhiro dan Mary yang jaga sekarang.
Tentu saja dia malu. Haruhiro ingin sekali bertingkah biasa saja, namun dia tidak bisa. Ataukah,
hanya Haruhiro yang salah tingkah? Sedangkan Mary biasa saja? Kalau memang benar begitu,
itu sungguh memalukan.
Sekarang, dia harus fokus pada tugasnya menjaga, dan hilangkan semua prasangka buruk.
Sepertinya Mary tidak terganggu sama sekali.
Keduanya duduk berhadapan di depan api unggun, sembari saling memandang. Mereka sengaja
melakukan itu untuk saling menjaga. Dengan begini, mereka bisa mengawasi sekelilingnya
tanpa melewatkan satu celah pun.

46
Kalau boleh jujur, sebenarnya Haruhiro ingin menghindari saling pandang seperti ini dengan
Mary. Karena ketika menghadapi Mary, pandangannya hanya terfokus pada gadis itu, sehingga
dia tidak konsen mengawasi sekitarnya.
Sulit baginya memalingkan pandangan dari wajah Mary yang tersinari cahaya redup dari api
unggun. Begitu Haruhiro menatapnya, dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Dia sungguh
terpesona pada kecantikan gadis itu.
Aneh sekali, mengapa dia begitu terganggu dengan wajah rekannya sendiri. Kalau begitu, ya
jangan melihatnya. Namun, dia tidak bisa melakukannya. Haruhiro pun bingung apa yang harus
dia lakukan.
Ini sungguh mengganggunya.
Apakah Mary juga terganggu oleh tingkah Haruhiro? Gawat, harusnya dia tidak boleh
merepotkan gadis itu.
Seperti biasanya, mereka berdua selalu kesulitan menemukan bahan pembicaraan. Saat
menemukan hal yang bisa mereka bahas, paling-paling mereka hanya ngobrol sebentar,
kemudian terdiam lagi. Saat itu terjadi, Haruhiro kesulitan menemukan bahan pembicaraan
lainnya.
Kalau keheningan berlangsung terlalu lama, suasana bisa menjadi canggung. Dia berusaha
mencegahnya. Namun, bagi Haruhiro dan Mary, keheningan seperti ini tidak buruk juga.
Apakah itu hanya alasan, ataukah hanya pembenaran? Apapun jawabannya, mereka tidak
peduli.
"Oh iya….kata orang….tubuh yang kuat berawal dari jiwa yang sehat ..." akhirnya Haruhiro
memberanikan diri untuk membahas sesuatu.
Mengapa tiba-tiba membahas itu? Apa hubungannya dengan mereka? Haruhiro sendiri tidak
paham.
"Itu benar ..." Mary membalasnya sembari melihat jauh ke angkasa.
Apakah Haruhiro membahas hal yang salah? Salahnya dimana? Dia tidak tahu.
Mary tersenyum sedikit.
"Tapi….kita kuat karena bantuan dari yang lainnya.” tungkas Mary.
"Oh ya? ...Ya, memang itulah tugas tim.”
Mary mengangguk tanpa kata.
Bagaimanapu juga, kita adalah kawan. Haruhiro memikirkan itu. Kita kawan, kan?
Kita….hanya kawan. Begitupun dengan yang lainnya.
Tapi…..aku ragu perasaanku pada Mary hanya sebatas kawan. Harusnya lebih dari itu, kan?
Kenapa aku begitu resah. Lihatlah yang lainnya, mereka santai-santai saja, kan? Mereka
bahkan sudah tidur dengan pulas. Apakah hanya aku yang salah tingkah di sini? Oh, itu
memalukan sekali. Oke, harus kuakui bahwa aku tidak bisa tenang di hadapan Mary. Tapi
mengapa harus begitu? Tidak akan terjadi apa-apa di antara kita, kan?
"Kurasa, aku mau memeriksa ke sana,” kata Haruhiro sembari berdiri dari tempat duduknya.
“Kau mau ke sana sendirian?”

47
“Ah…uhhh…ummm, ya sendirian…. kau kan harus menjaga tempat ini. Kita tidak boleh
meninggalkan pos ini.”
Haruhiro ingin berpatroli sendirian. Apakah dia benar-benar perlu melakukan itu? Ataukah dia
hanya ingin menghindar dari Mary?
Jaga bersama Mary ...
Kenapa aku harus menghindar? Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Mengapa dadaku
terasa begitu sesak? Sakit sekali rasanya. Aku juga merasa resah.
"Baiklah, aku akan tetap jaga di sini," jawab Mary. "Hati-hati, ya…."
Sejenak Haruhiro berpikir, Apakah dia marah?
Saat dia melirik Mary, gadis itu tersenyum. Sepertinya dia baik-baik saja. Syukurlah.
Haruhiro berdiri, lalu menjauh dari api unggun.
Namun, kakinya tidak mau bergerak.
Ada apa ini?
Dia menggaruk kepalanya, lalu duduk kembali.
Lalu, berdiri lagi.
"Kau ini kenapa?" tanya Mary.
"Anu ..." Haruhiro duduk lagi. "Kayaknya, aku di sini saja deh ..."
"Baiklah."
"... Ya." dia menghela nafas.
Beneran gak jadi patroli, nih? tanyanya dalam hati. Jadi, aku hanya perlu duduk-duduk di sini?
Yakin nih?
"Hey….sekarang Yume sedang apa ya….?" dia memberanikan diri membuka percakapan baru.
"Mungkin sedang tidur."
"Oh, ya ... memang sudah malam ya."
"Apakah kau mengkhawatirkannya?"
“Yah, sepertinya begitu. Tapi, aku yakin dia baik-baik saja. Yume selalu saja begitu.”
"Yahh….kalau kita, sih ... " Mary mengatakan sesuatu, lalu berhenti seketika.
Kita…? Kita apa? pikir Haruhiro.
Haruhiro ingin tahu kelanjutan kalimat itu, namun dia tidak berani menanyakannya.
Haruhiro mendengus, kemudian dia melihat api dengan menyipitkan matanya. Mungkin
jawabannya ada di dalam api. Hah… apa-apa’an itu, jangan konyol. Dia hanya berusaha
mengalihkan pandangan pada hal lain.
"Duh…aku selalu saja kebingungan ..." Haruhiro bergumam dengan suara yang begitu kecil.
Dia tidak berharap Mary mendengarkannya. Benarkah begitu? Mungkin dia berharap
sebaliknya, namun tidak punya nyali mengatakannya dengan jelas.

48
"Haru. Apakah kau barusan mengatakan sesuatu?"
"Oh ... tidak ..." katanya gelagapan.
Aku memang payah, bisa-bisanya aku berpura-pura tidak mengatakan apapun? dia
menyesalinya. Aku tidak masalah sih berpura-pura di hadapan Mary, tapi kenapa tubuhku
begitu gemetaran?
"Tidak…kurasa…aku bukanlah orang yang tegas…." dia mengatakannya dengan gemetaran.
"Karena kau pria yang baik, Haru."
"Benarkah begitu?" dia segera menanyainya.
Tampaknya itu pertanyaan yang sulit, karena Mary menundukkan kepalanya, seolah sedang
berpikir.
Haruhiro mengusap alis kirinya. Bagian dalam mulutnya terasa sangat kering.
Wow. Mulutnya sungguh terasa kering tanpa kelembapan sedikit pun.
"Padahal….kurasa, diriku bukanlah orang yang baik ...," akhirnya dia mengatakan sesuatu.
"Kurasa….aku selalu saja berusaha menghindari masalah. Dan itu bukanlah hal yang bagus
sebagai pemimpin.”
"Tapi, tak seorang pun mau mendapat masalah, kan. Jika semuanya sudah berjalan dengan
baik, maka kau tidak perlu merubahnya dengan mencari-cari masalah.”
Aku mengerti, pikir Haruhiro. Singkatnya, Mary sudah puas dengan semua ini, dan dia tidak
ingin apapun berubah saat ini. Apakah itu juga berlaku untuk hubungan kami?
Ya, harusnya sih begitu. Itulah yang terbaik bagi kami saat ini. Jika aku boleh menebak,
mungkin yang tersimpan di dalam hatinya adalah, "Jangan mendekatiku lebih jauh.", atau
“Sadarilah posisimu”….yahh, semacam itu lah. Mungkin beberapa saat yang lalu kami pernah
begitu dekat, namun itu hanyalah suatu kebetulan, jadi lebih baik jangan berharap lebih.
"Lupakan saja semua itu”…ya, itulah yang ingin dia katakan padaku. Bukankah begitu, Mary?
Ya.
Aku pun setuju denganmu.
Fyuhhh.
Benarkah ini yang terbaik bagi kami? Aku tidak ingin terjadi kesalahpahaman di antara kami.
Itu benar-benar berbahaya. Hampir saja hubungan pertemanan kami rusak. Kalau itu sampai
terjadi, maka aku akan benar-benar malu. Jika aku tidak bisa mengendalikan diri, maka
hubungan kami akan rusak. Tapi, nyatanya aku tidak yakin bisa menahan diri di depan gadis
ini.
Haruhiro berdiri. Anehnya, tubuhnya terasa ringan. Mungkin karena kakinya lemas, dan
pandangannya tampak kabur.
"Baiklah….aku pergi dulu. Aku ingin berpatroli sebentar."
"...Hah? Kukira gak jadi?”
Haruhiro tersenyum samar padanya. Kenapa dia tersenyum? Bahkan dia sendiri tidak tahu.
Bertahanlah, diriku. Aku hanya perlu berjalan menjauhinya, semuanya akan kembali normal,
pikiranku akan kembali jernih, dan keresahanku akan sirna, pikirnya. Aku pasti bisa

49
melaluinya. Aku masih muda. Masih banyak hal yang bisa kulakukan. Aku yakin bisa berubah
...
Sekarang, saatnya untuk berhenti memikirkan hal-hal yang tidak penting. Ada hal lebih
berguna yang harus kulakukan. Fokuslah pada hal-hal itu. Tapi, apakah itu? Sebenarnya aku
tidak tahu.
Lagipula…apakah saat ini aku benar-benar harus berpatroli keliling? Tidak adakah tugas lain
yang lebih penting? Lalu, apa yang seharusnya aku lakukan? Lagi-lagi aku kebingungan….
ohh, ini sungguh payah.
Haruhiro berjalan menjauhi api unggun. Tidak terdengar derap langkah kakinya. Tak satu pun
anggota tubuhnya membuat suara. Bahkan napasnya terdengar begitu tipis.
Dia lenyap ke dalam kegelapan. Membaur menjadi satu. Terasa nyaman. Skill Stealth-nya
aktif. Seolah-olah dia menjadi penguasa malam.
Apa itu penguasa malam? Entahlah. Itu tidak pernah ada.
Hm? Suara apa ini?
Malam ini angin hampir tidak berhembus. Namun, suara derik serangga terdengar jelas.
Burung-burung malam sesekali juga membuat suara. Mereka berkemah di tempat yang cukup
jauh dari Sungai Iroto, tapi dia bisa mendengar gemericik airnya.
Akan tetapi, ada suara lain yang mengganggunya.
Suara apa ini?
Haruhiro menuruni bukit tempat mereka mendirikan kemah. Sekarang, jarak mereka terpaut
200 – 300 m. Dia mendengarkan suara-suara yang tidak berasal dari arah Sungai Iroto, malahan
sebaliknya.
Seolah-olah kakinya mengantarkan Haruhiro menuju sumber suara itu. Dia setengah tidak
sadar, tapi Haruhiro tahu benar mengapa dia melakukan ini.
Dia tertarik oleh suara misterius itu.
Suara ini sulit dideskripsikan, bahkan sulit dibandingkan dengan suara-suara lainnya. Namun,
Haruhiro merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya.
Mungkinkah ini suara musik?
Instrumen apa ini? Instrumen?
Apakah ada instrumen di tempat seperti ini?
Mungkin…. ini berbahaya, ya….?
Haruhiro mulai merasakan firasat buruk. Apakah dia harus kembali?
Dia tidak pernah ragu menyelidiki sesuatu sendirian. Namun, dia tidak bisa begitu saja
mengabaikan tugasnya menjaga karavan, dan dia sedang patroli sekarang.
Apakah itu benar-benar berbahaya? Seberapa bahaya? Dia harus mencaritahu, sehingga
mendapatkan informasi yang lengkap. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang pemimpin,
meskipun bukan pemimpin yang baik. Setidaknya, Haruhiro punya tanggung jawab yang harus
dia emban.
Sembari dipandu oleh arah datangnya suara, dia berjalan menembus gelapnya malam.

50
Selama beberapa saat, entah kenapa dia tidak bisa mengaktifkan skill Stealth-nya, tampaknya
ada sesuatu yang salah dalam dirinya. Apakah karena dia masih memikirkan Mary ...
Ada apa ini? dia bertanya-tanya. Apakah pikiranku masih terganggu oleh Mary? Gawat,
jangan memikirkan yang tidak-tidak pada saat seperti ini. Aku bisa celaka. Lupakan dia!
Yahh…maksudku untuk saat ini saja. Aku bisa melakukannya! Aku harus mencari informasi
selengkap mungkin! Lakukan!
Ah….ada secercah cahaya di depan.
Apakah itu cahaya bulan? Apakah ada tanah lapang di sana? Suaranya berasal dari sana.
Aku harus berhati-hati, tapi jangan sampai terbawa suasana.
Haruhiro terus bergerak maju.
Bukan….bukan tanah lapang. Ada sebuah dataran rendah di sana.
Di tepi dataran rendah itu, Haruhiro berhenti. Dia pun terkesima dengan apa yang dia lihat.
Ada tenda.
Tenda itu berbentuk bundar dan besar. Dia belum pernah melihat tenda sebesar itu. Ada
beberapa pintu masuk pada tenda tersebut, masing-masing ditutupi oleh tirai, dan Haruhiro bisa
melihat secercah cahaya dari dalam.
Ada semacam mata air di sana. Beberapa hewan terlihat sedang meminum air dari sana, apakah
itu kuda? Ukurannya sih seperti kuda. Tapi mungkin bukan kuda. Jumlahnya ada beberapa
ekor. Agak jauh dari mata air itu, Haruhiro bisa melihat beberapa hewan lainnya yang sedang
makan rumput.
Sumber suara berasal dari dalam tenda itu. Apakah itu suara instrumen musik? Tampaknya,
seseorang sedang memainkan musik.
Gawat nih… dia mulai kebingungan. Atau mungkin tidak….
Aku harap tidak terjadi apa-apa.

51
Bab 8
Misteri Leslie

Haruhiro segera kembali, lalu dia membangunkan semuanya, dan memberitahu apa yang telah
dilihatnya.
Kejiman tampak ketakutan dengan tubuh gemetaran. “K-k-k-k-k-k-k-k-k-kau! Jadi, kau tidak
tahu apa itu?! Kau tidak tahu, kan?! Kau terlihat tenang saja karena kau tidak tahu apa yang
telah kau lihat! Luar biasa! Kau ini waras atau tidak? Atau, kau hanya bego!? Ya, kau pasti
bego!”
"... Tapi aku belum melakukan apapun yang menarik perhatian mereka."
“Tenda besar yang muncul di malam hari! Musik misterius! Cerita ini sudah terkenal, lho!
Semua orang sudah tahu, kecuali orang yang hidup di dalam gua, atau orang bego sepertimu!"
"Maaf, aku benar-benar tidak tahu ..."
“Itu karena kau memang bego! Sudahlah, tidak ada bedanya apakah kau hidup di dalam gua
atau orang bego…. yang penting, sekarang kita harus segera pergi!”
Saat Kejiman hendak bergerak, Setora segera mencengkram kerah bajunya.
"Tahan."
"L-Lepaskan!" jerit Kejiman. “Kau mencekikku! Sakit sekali! Aku bisa mati kehabisan udara!
Aku mulai lemas!"
"Ya matilah…."
“Tidaaaaaaaak, jangan! Masih banyak hal yang ingin kulakukan! Aku tidak boleh mati sebelum
melihat Kamp Leslie dengan mata-kepalaku sendiri! Kalau tidak, aku tidak akan pernah bisa
beristirahat dengan tenang!”
"Kamp Leslie?" Kuzaku memiringkan kepalanya kebingungan. "Apa itu?"
“L-L-L-Luar Biasa! Jadi kalian benar-benar tidak tahu?! Aku tidak percaya ini! Semua orang
tahu Kamp Leslie! Kalau tidak, mungkian kalian benar-benar orang goa!"
Sepertinya Kejiman membicarakan sesuatu yang begitu luar biasa, bagaikan legenda, namun
Setora belum pernah mendengarnya, tentu saja Shihoru dan Haruhiro juga tidak tahu.
Bagaimana dengan Mary? Haruhiro tidak tahu apakah gadis itu mengerti maksud Kejiman.
Reaksi Mary agak aneh ketika mendengar nama itu disebut.
"Apakah kau pernah mendengarnya ...Mary?" Shihoru mewakili Haruhiro untuk menanyakan
itu pada Mary.
Mary ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Aku hanya pernah mendengar
namanya," jawabnya singkat.
"Ohh," kata Kuzaku dengan anggukan santai. "Mary-san, rupanya wawasanmu lebih luas.
Mungkin itu karena kau lebih lama menjadi prajurit relawan daripada kami.”
Oh ya.

52
Itu benar juga.
Pada dasarnya, Mary adalah senior mereka — dia lebih lama menjadi prajurit relawan jika
dibandingkan rekan-rekannya.
Kamp Leslie. Kalau dilihat dari ekspresi Kejiman saat mengatakannya, tampaknya itu bukanlah
hal sepele. Tidak aneh jika Mary mengetahuinya. Sedangkan Haruhiro dan yang lainnya tidak
tahu menahu.
Yahh, sejauh itulah perbedaan wawasan di antara mereka.
"Aku juga ingin melihatnya, tapi tidak berbahaya, kan?" Haruhiro bertanya dengan hati-hati.
"Tidak berbahaya katamu?!" seru Kejiman. "Jadi, kau lebih suka hidup damai tanpa sedikit pun
tantangan ya?? Apakah kau mengejar sesuatu hanya karena itu tidak beresiko? Nyaman sekali
hidupmu!! Pernahkah kau berpikir bahwa ada hal yang jauh lebih menarik daripada itu?”
Dengan ocehannya, Kejiman menjelaskan apa itu Kamp Leslie. Kamp tersebut sering terlihat
pada berbagai tempat di Grimgar, biasanya muncul pada malam hari. Kemunculannya terjadi
secara tiba-tiba, bahkan tidak ada tanda-tanda orang membangun tenda di siang hari,
Seperti namanya, ada orang bernama Leslie yang berhubungan langsung dengan kamp itu.
Nama lengkapnya adalah Ainrand Leslie. Dia lah pemimpin Kamp Leslie.
Beberapa orang mengatakan bahwa dia manusia, namun ada juga yang bilang dia Undead.
Profesinya adalah pedagang, dan namanya sudah tersohor di berbagai tempat selama 50 tahun
terakhir.
Itu artinya, dia bukanlah pedagang biasa. Ainrand Leslie mendapatkan berbagai benda unik
yang belum pernah dilihat siapapun sebelumnya, terkadang dia menjualnya dengan harga yang
begitu mahal. Dia pun bersedia menukarnya dengan emas, atau benda-benda berharga lainnya.
Bahkan, seorang pria kaya raya dari Vele pernah menyerahkan istri dan putrinya yang cantik
pada Ainrand Leslie, tanpa penyesalan sedikit pun. Dia menukarnya dengan cincin yang belum
pernah dilihat oleh siapapun di dunia ini, yang memiliki kemampuan memanggil badai.
Namun, orang itu tidak tahu bagaimana caranya memanggil badai. Saat dia meminta tolong
pada Ainrand Leslie untuk diajari tekniknya, dia pun menjawab:
"Aku mau saja mengajarimu, tapi berikanlah istri barumu padaku.”
Pria kaya itu memang punya istri baru yang lebih muda. Sebelumnya, dia telah memberikan
istri lamanya yang sudah tua, dan juga putrinya yang sulit diatur. Bagi orang kaya sepertinya,
keluarganya bukanlah harta yang berharga. Bahkan, dia sengaja menjual mereka untuk
mendapatkan cincin langka, dan istri baru yang lebih muda. Ini seperti menjatuhkan tiga ekor
burung dengan sekali lempar batu.
Tapi kalau harus menyerahkan istri barunya…..
"Mana mungkin aku memberimu istri baruku!" bentak pria kaya itu sembari membuang
cincinnya ke tanah.
Saat itu juga, badai mulai muncul, dan awan gelap terbentuk di hadapan orang-orang yang
menyaksikan. Vele pun dihantam badai besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Rumah-rumah roboh, dan banyak kapal tenggelam. Ainrand Leslie menghilang, dan orang
kaya itu binasa di dalam rumahnya yang hancur.

53
Masih banyak lagi cerita tentang Ainrand Leslie yang tak terhitung jumlahnya. Katanya, dia
bukanlah orang yang sudah hidup sejak ratusa tahun yang lalu, jadi agaknya dia belum pantas
disebut legenda.
Menurut Kejiman, tidak sedikit orang yang pernah bertemu Ainrand Leslie. Di Vele, ada
banyak orang yang menjual berbagai informasi tentang Ainrand Leslie, bahkan mereka
mengaku telah mendapatkan barang-barang aneh darinya.
Namun, mungkin saja mereka hanya membual, karena tidak pernah ada bukti kuat yang
menyatakan bahwa Ainrand Leslie pernah mengunjungi Vele. Bahkan, kisah tentang pria kaya
yang termakan badai itu terkesan seperti bualan orang-orang yang minum di bar.
Meski begitu, tak seorang pun meragukan keberadaan Ainrand Leslie.
Bahkan, ada kisah lainnya yang cukup populer.
Seorang gadis muda lari dari rumah, kemudian dia berkeliaran di hutan yang bahkan tidak
berjarak 10 km dari Vele. Lalu, gadis itu tertarik pada suatu suara yang aneh. Setelah
mengikutinya, dia pun mendapati tenda besar, bundar, dengan makhluk seperti kuda yang
berkumpul di sekitarnya. Dia langsung lari ketakutan kembali ke hutan. Dan untungnya, dia
bisa menemukan jalan kembali pulang.
Gadis itu memberitahu siapapun yang dia kenal tentang apa yang telah dia lihat di hutan.
Seseorang menduga bahwa tenda itu mungkin Kamp Leslie. Rumor demi rumor terus
berkembang, sampai akhirnya memancing kegaduhan di Vele.
Hanya dalam 10 hari, ratusan orang — tidak, ribuan, atau mungkin puluhan ribu orang —
memasuki hutan untuk mencari Kamp Leslie.
Namun pada akhirnya, tak seorang pun menemukan kamp itu. Katanya, peristiwa ini terjadi
lima tahun lalu, jadi sebagian besar orang di Vele masih mengingatnya dengan jelas.
Para petualang yang penasaran, mantan prajurit relawan yang masih haus tantangan, pedagang
yang berambisi mengeruk keuntungan sebesar mungkin…. semuanya berlomba-lomba
mencari Kamp Leslie, namun tak seorang pun menemukannya. Kalau kamp itu bisa ditemukan
dengan mencari, maka pasti sudah banyak orang yang menemukannya. Bahkan sudah
terbentuk komunitas bernama Lesliemaniak yang saling bertukar informasi tentang keberadaan
kamp tersebut. Tapi konon katanya, semakin kau mencari Kamp Leslie, semakin jauh kau
darinya.
Tapi satu hal yang pasti, Kamp Leslie adalah tempat dimana Ainrand Leslie berada. Dia adalah
salah satu dari sedikit kolektor di Grimgar.
Mungkin cincin pemanggil badai itu hanyalah isapan jempol belaka, dan dia tidak pernah
memilikinya. Tapi konon katanya, dia memiliki beberapa harta yang sangat terkenal, yaitu
permata merah yang seharga negara, emas padat milik Enad George sang pendiri Kerajaan
Aravakia, mahkota kerajaan yang hilang dari Kerajaan Nananka, Kalung Nigelink milik Puteri
Titiha dari Kerajaan Ishmar yang hilang setelah dipakainya sampai akhir hayat, Tongkat Fajar,
atau Pedang Ulgis yang sangat berharga.
Jika ada orang yang ingin membeli benda-benda berharga itu, Ainrand Leslie pasti meminta
sesuatu yang begitu mahal. Namun, meskipun mereka tidak dapat memilikinya, setidaknya
melihat bentuknya saja sudah bisa menjadi suatu cerita yang mereka sampaikan pada anak-
cucunya.

54
Ada juga cerita yang menyebutkan bahwa Ainrand Leslie bisa mengabulkan keinginan
siapapun yang berhasil bertemu dengannya. Yahh…..mungkin itu terdengar seperti dongengan
anak kecil, sehingga sedikit sekali orang yang mempercayainya.
Ada pun teori lain yang mengatakan bahwa Ainrand Leslie bukanlah manusia atau Undead,
melainkan makhluk yang mirip peri atau roh. Dia bisa memberikan berkah pada orang di
sekitarnya dengan kekuatan misterius.
Jarang sekali ada orang yang pernah melihat wajahnya secara langsung, sehingga itu dihubung-
hubungkan dengan teori tersebut. Bahkan orang-orang yang katanya menjadi kaya karena
bantuan Ainrand Leslie, akan terus menyimpan rahasia itu sampai ke liang lahat. Memang
seperti itulah keberuntungan, hanya sedikit orang yang bisa merasakannya. Jika banyak orang
mendapatkannya, maka namanya bukan lagi keberuntungan. Itulah sebabnya mereka lebih
memilih dikubur bersama rahasianya tentang Ainrand Leslie. Itu adalah sebuah kebanggaan
tersendiri bagi mereka.
Lalu, apakah Kamp Leslie itu benar-benar ada? Kalau cuma berdasarkan informasi dari
Kejiman sih, rasanya kamp itu hanyalah sebuah kebohongan.
Apapun yang dikatakan orang itu sungguh meragukan.
Namun, faktanya Haruhiro sudah melihat tenda bundar besar itu dengan mata-kepalanya
sendiri.
Dia sungguh yakin tidak sedang mengigau saat melihat tenda itu ...
Meskipun Haruhiro tidak begitu tertarik dengan cerita ini, dia tetap membawa rekan-rekannya
bersama Kejiman ke tempat tenda itu berada.
Mereka pun segera tiba di dataran rendah itu.
Jika saja tenda itu sudah tidak berada di tempatnya, maka dia tidak akan kecewa. Meskipun dia
telah melewatkan Kamp Leslie yang tersohor itu, Haruhiro tidak masalah. Bahkan kalau bisa,
Haruhiro tidak ingin melihat kamp itu, karena pasti akan menimbulkan masalah…. tapi,
ternyata tenda itu masih di sana.
Mungkin dia telah melihat hal yang begitu langka, namun Haruhiro sama sekali tidak merasa
senang.
"I-i-i-i-i-i-i-i-i-i-i-i-ini….!" Kejiman berdiri di tepi dataran rendah sembari menjambak
rambutnya sendiri. Dia mengguncang kepalanya dengan begitu keras, sampai-sampai
kacamatanya terjatuh. "Ohhh! K-Kacamataku! Di mana, di mana, di mana kacamataku?!
Kacamataku...!"
"... Ini." Shihoru mengambil kacamata itu, lalu mengembalikannya.
Kejiman segera berlari menuruni dataran rendah itu dengan begitu histeris. “Ohhhhhhhhhh!
Leslie….Kamp….ku!!"
"Senang sekali dia…." tanya Kuzaku. "Hei….tunggu-"
Dia melirik Haruhiro seolah hendak berkata, Apakah kita harus mengejarnya?
Haruhiro pun kebingungan. Mungkin mereka tidak perlu melakukannya? Sepertinya bukan
hanya Haruhiro yang berpikir begitu, karena Shihoru, Mary, Setora, dan Kiichi si Nyaa kelabu
sama sekali tidak bergerak dari pinggir dataran rendah.

55
Haruhiro dan Party-nya hanya disewa sebagai pengawal. Mereka bukan orang tuanya Kejiman.
Jadi, mereka tidak perlu bertanggung jawab atas semua tingkah konyolnya Kejiman.
"Pria itu memang tidak berguna, mungkin sudah saatnya kita berpisah dengannya.” kata Setora
dengan tenang.
Setora benar juga. Meskipun status mereka saat ini adalah pengawal Kejiman, namun tujuan
mereka yang sebenarnya adalah kembali ke Altana.
"Heyyyy ..." dengan ragu, Haruhiro memanggil orang konyol itu dari kejauhan.
Entah mendengarnya atau tidak, Kejiman terus saja berlari tanpa menghiraukan panggilan
Haruhiro. Dia bahkan tidak menoleh sedikit pun. Ya ampun, ada apa sih dengan pria itu?
Dia benar-benar histeris.
Yahh….apa yang bisa kulakukan. Toh dia sudah cukup jauh. Aku tidak akan bisa mencapainya
tak peduli sekencang apapun aku berlari.
Haruhiro berdiam diri di tempatnya, sembari mengamati apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika
sesuatu yang buruk terjadi, maka mereka akan lari meninggalkan Kejiman.
Sampai jumpa, Kejiman. Sampai bertemu lagi.
"Ahh ..." erang Kuzaku sejenak, lalu dia segera menutup mulutnya. Rupanya dia mulai
khawatir pada Kejiman yang berusaha merangkak pada salah satu pintu tenda itu.
Ternyata kau khawatir juga ya, Kuzaku… pikir Haruhiro. Meskipun tubuhmu besar,
perasaanmu lembek. Tidak apa-apa, justru itu yang membuatmu menjadi pria yang
menyenangkan. Tapi, aku pun khawatir pada sisi baikmu itu. Meskipun seharusnya itu bukan
urusanku.
Kejiman sudah mendekat sekitar 10 meter dari pintu masuk tenda itu.
"Suara ini…" bisik Shihoru. "Apakah ini suara akordeon?"
"Itu dia!" Haruhiro menyadari sesuatu.
Akhirnya dia bisa membayangkan bentuk instrumen musik itu. Wujudnya seperti ular, namun
di kedua sisinya ada keyboard yang bisa dimainkan. Akan tetapi sesaat berikutnya, bayangan
alat musik itu lenyap begitu saja dari kepalanya. Dia berusaha sekeras mungkin mengingat
kembali bentuk akordeon, namun gagal.
Lagi-lagi dia lupa. Itu membuatnya cukup frustasi.
Tenang…tenang…kurasa sekarang bukan saatnya marah ...
Kejiman akhirnya mencapai pintu tenda itu. Harusnya Kejiman berhati-hati saat mendekati
tenda misterius itu, namun dia menyibak tirai pintu itu begitu saja.
Haruskah kita lari meninggalkannya sekarang juga? Selama beberapa detik, Haruhiro benar-
benar berniat lari.
"Ainrand ..." kata seseorang dengan suara kecil.
Tidak, bukan seseorang.
Secara refleks, Haruhiro memandang Mary yang berada tepat di sebelahnya. Mary membuka
matanya lebar-lebar seakan sedang melihat sesuatu yang luar biasa.

56
Haruhiro tidak ragu lagi…. dengan gerakan yang begitu pelan, dia menoleh ke arah yang dilihat
Mary. Jujur saja, sebenarnya dia tidak ingin melihat ini, namun ini bukan saatnya berpura-pura
tidak menyaksikan apa-apa.
Kejiman menjulurkan kepalanya ke tenda. Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Akhirnya, dia melambaikan tangannya. ’Ke sinilah!’ sepertinya itulah yang diisyaratkan
Kejiman kepada Party Haruhiro.
Kuzaku menoleh pada rekan-rekannya yang lain dengan kebingungan. "... Apakah kita harus
mengikutinya?"

57
Bab 9
Apakah Ini Saatnya Tertawa?

Saat mengintip dengan ragu-ragu ke dalam tenda, yang Haruhiro dapati hanyalah Kejiman di
sana.
Ya, tampaknya Kejiman tidak sabar menunggu Haruhiro dan yang lainnya, sehingga di masuk
terlebih dahulu.
Di dalam tenda, terdapat ruangan yang tidak begitu lebar. Mungkin ukurannya hanya 3x3
meter. Setiap ruangan tidak dipisahkan oleh dinding, melainkan tirai berwarna ungu tua yang
gemerlapan. Di lantai terhampar karpet berwarna merah. Seratnya cukup panjang. Ada meja
yang diletakkan di sudut ruangan, di atasnya berdiri lentera yang terlihat cukup berkelas.
Mungkin masih ada ruangan lainnya bisa mereka menyibak tirai-tirai itu.
Namun, tidak terlihat instrumen musik yang mengeluarkan suara yang barusan mereka
dengarkan.
Haruhiro menyuruh rekan-rekannya menunggu di luar, lalu dia masuk terlebih dahulu.
Kuzaku memegang pintu masuk yang terbuka dari luar.
"Ini benar-benar yang kucari selama ini," kata Kejiman. Lalu dia mulai tertawa. "Heh heh heh
heh!”
"Begini, um ... bisakah kamu diam?" tanya Haruhiro.
"Untuk apa?!"
"Apakah harus kujelaskan dengan rinci?"
“Kita sedang berada di tempatnya Ainrand Leslie, lho! Kalau dia ingin melakukan sesuatu pada
kita, pasti sudah terjadi saat ini juga!”
"Sebenarnya kau tidak tahu apa-apa tentang dia… bukankah begitu Kejiman-san? Bahkan kita
tidak pernah tahu apakah dia manusia atau bukan ... "
“Taaaaaaaaaapi! Aku percaya pada kabar apapun yang menceritakan tentang Ainrand Leslie!
Akulah fans Leslie nomor satu di dunia ini!! Baik…baik…mungkin itu terlalu berlebihan. Tapi
yang jelas, aku tahu banyak hal tentangnya.”
"Bukankah semua kabar yang kau dengar tentangnya itu belum tentu kebenarannya ...?"
"Ruangan iniiii!" Kejiman berdiri sembari sedikit menekuk lututnya, lalu dia menunjuk sudut
ruangan secara diagonal dengan jari telunjuknya.
"Pose apa itu?" Haruhiro menghela nafas. Dia bingung kenapa pria ini begitu lebay.
"Ruangan ini aaadalah ...!" seru Kejiman.
Dia benar-benar mengabaikan perkataan Haruhiro.
"... Ruangaaaaaaan Violet!" seru Kejiman melengkapi kalimatnya. “Aku mendengar bahwa
Kamp Leslie berwarna viiiioleeeet! Dengan kata laiiiinnnn! Ini adalah labirin tirai ungu tua!
Labirin ini benar-benar ada!"

58
"Ah, sudah lah, aku capek mendengarnya ..." gumam Haruhiro.
"Oke, oke, tenang saja."
Kejiman memukul dadanya dua kali, menghela napas, lalu berdeham.
Ya ampun….ini buruk.
Haruhiro sudah terbiasa menghadapi orang seperti ini. Mantan rekannya yang berambut acak-
acakan itulah yang membuat kesabarannya semakin teruji. Tapi, lama-lama capek juga
menghadapi orang seperti ini. Si rambut berantakan itu memang menyebalkan, tapi mungkin
Kejiman jauh lebih parah.
"Sekarang, masuklah, teman-teman." Kejiman menunjuk ke dalam dengan tangannya.
Kuzaku mengikuti mereka masuk ke dalam Ruang Violet.
Haruhiro menekankan tangannya ke dahi sembari berkata. "Kenapa kau menuruti omongannya,
bung."
"Ah! Maaf, aku hanya ... "
"Sudahlah, masuk saja… kalian tak punya pilihan lain." Kejiman membenarkan posisi
kacamata dengan mendorong gagang tengahnya, sembari tertawa sedikit.
"Kenapa kita harus menuruti maunya?" Setora menanyakan itu sembari menyibak tirai.
Kejiman berkata dengan suara pelan, seperti seseorang yang hendak mengungkap suatu rahasia
besar, "Masalahnya adalah ... konon katanya, ’kau tidak akan bisa memasuki tenda Kamp
Leslie’.”
"Omong kosong."
Setora melewati tirai, kemudian nyelonong begitu saja ke dalam Ruang Violet.
Tiba-tiba, tirai di belakangnya kembali tertutup. Setora pun kaget, seolah ingin segera
meninggalkan ruangan ini.
"Apa ...?"
Dia masih berada di dekat pintu keluar. Jika dia mengulurkan tangannya sedikit saja, harusnya
dia bisa menyibak tirai itu lagi, lalu keluar dari ruangan ini. Namun, dia tidak melakukannya….
"Aneh sekali," gumam Setora.
"Ada apa?" tanya Kuzaku.
Setora menggelengkan kepalanya seolah dia tidak paham. "Gak tahu."
“Ho-hoh! Wah, wah!” Kejiman berusaha lari ke pintu keluar, tapi tiba-tiba tubuhnya membeku
di tempat. Beberapa saat berselang, dia kembali bergerak perlahan-lahan. “Nnnnngh ...! A-a-
a-a-a-a-a-a-a-a-apaaaa iniiiiiiii ...?!”
"Hah? Kau ingin keluar? Padahal tadi kau yang paling semangat masuk ke sini.” Kuzaku
tertawa sembari mendekati pintu keluar. Dia berjalan selangkah-dua langkah dengan normal,
namun ketika semakin mendekati pintu keluar, gerakannya pun terhenti. "Apa ini? Kok aneh
... "
Mungkin Kejiman hanya bercanda, namun kalau Setora dan Kuzaku sampai terganggu, maka
ini bukanlah lelucon. Haruhiro tidak perlu mendekati pintu keluar untuk memeriksa apa yang
terjadi, karena dia sudah tahu ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini.

59
Shihoru, Mary, dan Kiichi masih di luar.
Ada dua pilihan. Haruhiro bisa meminta mereka bertiga menjauh dari tenda, lalu dia berusaha
mencari jalan keluar dari dalam tenda bersama Kuzaku, Setora, dan Kejiman, atau……
Tidak. Haruhiro menggelengkan kepalanya. Memisahkan Party bukanlah pilihan yang baik.
"Shihoru!" panggilnya. "Mary dan Kiichi, juga ... masuklah."
Mereka pun memasuki tirai tenda. Mary tidak mengatakan apa-apa, wajahnya terlihat sedikit
masam dan pucat.
Mungkin Kiichi merasakan sesuatu, karena dia segera melompat ke pelukan Setora ketika
memasuki tenda. Shihoru juga tampak gelisah.
"Apa ... yang terjadi?" tanya Shihoru.
"Yah, begini—" Kuzaku mulai menjelaskan apa yang telah terjadi, tetapi kalimatnya disela
oleh seseorang.
"Helloooo. Apa kabar? Selamat dataaaaaaaaaaang di Kamp Leslie."
"Nhah?!" Kejiman menjerit aneh sembari menoleh ke kiri-kanan.
"Barusan saja ... apakah ada seseorang yang mengatakan Kamp Leslie?" tanya Shihoru.
Ya, Haruhiro jelas-jelas mendengarkan suara itu. Apakah tempat ini benar-benat Kamp Leslie?
Apa artinya itu? Namun, suara itu ...
Itu suara wanita.
Mungkin hanya perasaannya saja….tapi, bukankah dia pernah mengenal suara itu sebelumnya?
"Kalian manusia, kan? Itu berarti kalian mengerti bahasa ini, kan? Apakah kalian— "
"Di sana!" Kejiman menoleh ke tirai kiri, lalu segera menariknya dengan kasar. Saat tirainya
tersibak, terlihat ada ruangan serupa yang dikelilingi gorden. Tapi, tak ada seorang pun di
dalam. "... Urgh! Aku yakin suara itu berasal dari sini, tapi kenapa tak ada seorang pun….?”
"Wah, wah, wah, wah," kata suara itu. “Kita kedatangan tamu yang sangat bersemangat
rupanya. Bahkan, terlalu bersemangat. Hati-hati saja ya…. kalau kau terlalu bersemangat, bisa-
bisa umurmu pendek.”
"D-dimana kau?! Keluarlah! Kumohon keluarlah! Suaramu itu mirip gadis muda yang cantik!"
"Kyaaaa," kata suara itu. “Bagaimana bisa kau tahu aku seorang gadis muda yang cantik? Kau
menilainya dari suaraku saja? Apakah suara ini terlalu imut, sehingga aku tidak bisa
menyembunyikan identitasku? Ah…kurasa tidak.”
"Kenapa ‘kyaaaa’?!"
"Wahai para petualang…." tiba-tiba suara imut itu terdengar lebih berwibawa. "Mengembara
dan bertualang. Jika memang itu tujuan hidupmu, maka suatu hari nanti kau akan mendapatkan
suatu pencapaian. Ijinkan aku menyambut kalian sekali lagi, wahai para petualang, selamat
datang di gudang reliks-reliks yang telah dikumpulkan oleh tuanku, Ainrand Leslie."
Suara itu terhenti seketika.
Haruhiro dan Kuzaku dengan cepat bertukar pandangan. Haruhiro segera bergerak ke depan,
sedangkan Kuzaku ke kanan. Kemudian, mereka berdua menarik tirai terdekat secara
bersamaan.

60
Munculah dua ruangan lainnya. Ruangan di depan terlihat identik dengan ruangan ini, namun
tidak demikian dengan ruangan di sebelah kanan. Ada pintu kayu di sana.
Kalau dilihat sekilas, pintu itu terkesan aneh.
Biasanya, pintu dibangun pada dinding. Namun, pintu ini menempel pada sebuah tirai.
Dari depan sudah terlihat bahwa jika pintu itu dibuka, maka akan terdapat tirai lagi di baliknya.
"Ohhhhh!" tiba-tiba, Kejiman bergegas mendekati pintu itu, lalu meraih kenopnya. Untungnya,
reaksi cepat Haruhiro menghentikan Kejiman menarik kenop pintunya. Terlambat sedikit saja,
pintu itu pasti akan terbuka.
Itulah skill Spider.
Haruhiro tidak berencana membunuhnya, dia hanya mengunci lengan Kejiman di
punggungnya.
"T-Tunggu dulu!" seru Haruhiro sembari menghentikan pria aneh itu.
"Argh, lepaskan! Aku bosmu! Apa-apa’an kau ini!”
"Kita tidak tahu apa yang menunggu kita dari balik pintu itu!"
"Kau takut ada raja iblis atau dewa kegelapan di balik pintu itu!? Kita harus coba
membukanya!”
"Aku punya firasat buruk!”
"Lepaskan! Lepaskan, lepaskan, lepaskan! Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak,
tidak!"
"Kenapa kau merengek seperti anak kecil ...?"
Haruhiro menyerahkan Kejiman, yang masih tersungkur di lantai, pada Kuzaku. Sementara ini
keadaan bisa dikendalikan, tapi apa yang harus dia lakukan selanjutnya?
"Kita tidak bisa keluar dari pintu depan," Haruhiro mengonfirmasi situasinya. "Jadi kita harus
cari jalan lain ... "
"Belum tentu kita bisa keluar dari sini." kata Setora sembari mengelus-elus leher Kiichi.
Mungkin dia berusaha menenangkan hewan peliharaannya. “Menurut wanita itu, tempat ini
adalah gudangnya reliks yang telah dikumpulkan oleh Ainrand Leslie. Mungkin saja, di tempat
ini ada benda yang bisa digunakan untuk menciptakan roh buatan, dan membentuk jasad
Golem. Meskipun tidak semua benda memiliki kekuatan seperti itu, tapi aku yakin beberapa
diantaranya bukanlah reliks biasa. Pokoknya, ada banyak benda berharga di tempat ini.”
"Iya, tentu saja adaaaa! Lihatlah!! Banyak sekali jumlahnya!! Bahkan pintu ini bukanlah pintu
sembarangan, ini pasti salah satu reliks yang menyimpan kekuatan khusus!” teriak Kejiman.
Kuzaku masih menahan Kejiman dengan kuat. Tapi dia masih leluasa berteriak kencang.
Setora menatap Kejiman dengan begitu tajam. “Berisik sekali dia, biar aku yang
menenangkannya.”
"K-Kau mau membunuhku?! B-baiklah, aku akan d-diam ... ”
"Tutup mulutmu sampai kuperbolehkan bicara. Kau membuat kesabaranku habis.”
Kejiman mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

61
"Ya, pintu ini memang reliks ..." Shihoru hanya memeluk tongkatnya, sembari menatap pintu
itu dengan gugup, tanpa mendekatinya seinchi pun.
Mary terdiam. Dia hanya menunduk sembari mengerutkan alisnya. Apakah dia baik-baik saja?
Tapi….bukan hanya Mary saja. Mereka semua pasti gugup.
"Bagaimana kalau kita buka saja pintu itu, dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya ...?"
tanya Kuzaku.
Sarannya layak dipertimbangkan. Mereka bisa coba membukanya sedikit, kalau terjadi sesuatu
yang berbahaya, segera tutup kembali pintunya.
"Tidak," kata Haruhiro. "Tapi, hmm, aku tidak yakin ..."
Seperti yang dikatakan Kejiman, mereka harus coba membuka pintu itu untuk mengetahui apa
yang menunggu di baliknya. Tapi jujur saja, sebenarnya Haruhiro takut melakukan itu.
Namun, dia coba sekuat tenaga mengenyahkan rasa takut itu.
Memiliki rasa takut bukanlah hal yang buruk. Itu membuatnya semakin waspada. Tapi jika
berlebihan, maka dia sendiri akan dirugikan.
Dia selalu mengkhawatirkan keselamatan rekan-rekannya, meskipun terkadang kekhawatiran
itu tidak beralasan.
“Begini saja… bagaimana kalau kita memeriksa ruangan lain? Tentu saja kita harus
melakukannya sewaspada mungkin.” dengan pura-pura tenang, Haruhiro menyarankan itu
pada teman-temannya.
Tak seorang pun keberatan.

62
Bab 10
RUANGAN

Fisik dan mental Haruhiro menegang setiap kali dia menyibak tirai demi tirai.
Sebisa mungkin dia berpikiran positif bahwa tidak akan terjadi apa-apa, namun kenyataan
sering kali berkebalikan dengan harapan.
"Ada sebuah kotak di sini ..." gumamnya.
Di ruangan ini, selain meja yang di atasnya terdapat lentera, ada juga kotak yang ukurannya
cukup besar. Sampai-sampai, dia perlu memeluk kotak itu untuk mengangkatnya. Sepertinya
kotak itu tidak terbuat dari kayu, melainkan logam.
Kejiman berusaha menyentuhnya, tetapi Setora berteriak, "Hei!" padanya.
"Eek! Maafkan aku!"
Mereka sudah biasa seperti itu.
Sebetulnya masih tidak jelas apakah pintu itu ataupun kotak ini adalah reliks milik Leslie, tapi
yang jelas mereka tidak boleh sembarangan menyentuhnya. Sebelumnya mereka mengalami
suatu keanehan yang mencegahnya keluar dari tenda ini, dan itu sudah cukup membuat mereka
semakin berhati-hati.
Haruhiro mencurigai bahwa suara gadis itu juga salah satu fenomena yang disebabkan oleh
reliks.
Tidak penting apakah kecurigaannya itu benar atau salah, yang pasti mereka sekarang harus
mencari jalan keluar dari tenda ini.
Sejauh ini, Haruhiro dan Party-nya sudah menyelidiki 12 ruangan. Keduabelas ruangan itu
hampir identik, ukurannya pun sama-sama 3 m2 dan hanya dipisahkan oleh tirai. Di setiap
ruangan juga selalu ada meja yang di atasnya terdapat lentera.
Ada beberapa benda yang berbeda, namun sepertinya itu hanya masalah variasi dekorasi saja.
Agar lebih mudah, mari kita sebut ruangan yang hanya terdapat meja dan lentera sebagai
”ruangan kosong”, semuanya ada 7 ruangan. Sedangkan lima sisanya terdapat benda-benda
lain sebagai berikut.
Ada ruangan yang terdapat pintu kayu, kita sebut saja ”ruangan pintu”.
Ada ruangan yang terdapat patung telanjang (tidak jelas jenis kelaminnya wanita atau pria),
kita sebut saja ”ruangan patung”.
Ada ruangan yang terdapat sebundel kunci, kita sebut saja ”ruangan kunci”.
Ada ruangan yang terdapat kotak, kita sebut saja ”ruangan kotak”.
Ada 2 ruangan kotak, dan mereka sekarang berada di ruangan kotak yang kedua.
Kotak yang mereka dapati di ruangan pertama, memiliki bentuk, ukuran, dan material yang
sama dengan kotak di ruangan ini, tapi warnanya berbeda. Kotak di ruangan pertama berwarna
hitam keemasan, sedangkan kotak di ruangan ini berwarna mirip tembaga.

63
Shihoru dengan ragu mengangkat tangannya.
"Ada sesuatu yang menggangguku ..." dia mulai membahas sesuatu, kemudian menunjukkan
sketsa tata letak setiap ruangan yang telah digambarnya. “Kita masuk dari pintu ini…. maka
seharusnya pintu itu terhubung langsung dengan luar tenda., tapi….”
Haruhiro dan Party-nya masuk melalui pintu itu, maka sebut saja ruangan pertama mereka
sebagai ”ruangan awal”. Lalu, mereka memasuki ruangan di sebelah kiri dan kanan titik awal
tersebut. Mereka melanjutkan pencarian pada 5 ruangan dari sebelah kiri ruangan awal, dan 5
ruangan lagi dari sebelah kanan ruangan awal.
“Mungkin ini terdengar aneh, tapi aku tidak yakin pintu pertama itu akan membawa kita keluar
tenda…” lanjutnya.
Kuzaku yang kebingungan memiringkan kepalanya ke samping. "Hah? Bukankah logikanya
pintu pertama akan membawa kita keluar tenda?”
Setora menyilangkan tangannya dan bergumam pada dirinya sendiri, "Harusnya sih begitu."
Kiichi hanya duduk manis di dekat kakinya, sembari mendongak ke atas.
"Ya," Mary setuju.
"Ya, harusnya sih begitu ..." gumam Haruhiro.
Betul, jika tidak begitu….maka pasti ada yang salah.
Haruhiro mencoba kembali ke ruang pintu, yang terletak tepat di sebelah kanan ruang awal.
"Harusnya, salah satu tirai ini bisa membawa kita ke luar, kan?" tanyanya.
Terdapat empat tirai di setiap sisi ruang pintu. Sedangkan pintu kayu tersebut berhadap-
hadapan dengan pintu masuk yang mereka lewati pertama kali. Jika ruangan pintu terletak tepat
di sebelah kanan ruangan awal, maka tirai yang menghadap pintu kayu itu harusnya juga
mengarah ke luar, karena terletak tepat di samping pintu awal.
Haruhiro menghadap tepat di depan tirai yang harusnya mengarahkan mereka keluar tenda.
Tenda itu sendiri berwarna keputihan. Jika dia menarik gorden berwarna ungu tua itu, harusnya
terlihat kain putih yang memisahkan bagian dalam dan luar tenda. Dia tidak begitu menyadari
akan hal itu, sehingga dia belum mencoba menyibak tirai tersebut.
Mungkinkah mereka bisa keluar tanpa melewati pintu awal?
"Tunggu, Haruhiro," kata Kuzaku. "Biar aku saja."
Ketika Kuzaku hendak menyentuh tirai, Kejiman menjerit aneh, "Zumoy!" kemudian dia
melesat mendahuluinya. Dia pun menarik tirai itu dengan penuh semangat.
Kejiman berseru, “Nnnnnnnnnnnnnnnngh! Apa yang kau lakukaaaaaaaaaaaaaannnnnn ...?!”
Haruhiro sudah punya firasat bahwa si tolol itu akan melakukan sesuatu, jadi dia tidak begitu
terkejut.
Ah tidak juga…meskipun dia sudah menduganya, tapi saat Kejiman benar-benar melakukan
kebodohan itu, dia pun panik.
Jika tirai itu dibuka, harusnya mereka akan mendapati kain putih pembungkus tenda, atau
mungkin jalan keluar lainnya. Tapi sayangnya, yang mereka lihat hanyalah ruang identik lain,
yang terdapat meja dan lentera, beserta empat tirai lagi di setiap sisi ruangannya.

64
Ruangan lagi…ruangan lagi.
Mungkin ini adalah ruangan kosong ke delapan.
"Uh, ya, jadi sebenarnya ..."
Haruhiro pura-pura berpikir keras, namun sebenarnya dia tidak bisa mencari solusi apapun.
Apa-apa’an ini?
"Heh heh!" Kejiman terkekeh. "Kau masih belum paham, ya?"
Kejiman tampak tenang. Perlahan-lahan dia memasuki ruangan baru itu sembari masih
memegang tirai dan menoleh pada Party Haruhiro.
Lalu dia berhenti. "A-a-aduh…celaka nih. Apa yang terjadi sebenarnya? Ini mengerikan… s-
s-s-s-sungguh mengerikan! K-k-k-k-kita harus segera pulang!!” dia pun panik.
"Dengar, kau lah yang membawa kami ke sini, jadi ini semua salahmu ..." gumam Haruhiro.
"Kalian kan bawahanku, jadi lakukan sesuatu, sialan!"
"Siapa yang kau panggil sialan?" Setora bertanya dengan dingin. "Jaga mulutmu, dasar orang
rendahan.”
Setelah Setora menghardiknya, Kejiman mulai menangis. Ingusnya yang menjijikkan mengalir
tanpa henti. "Maafkan aku, ratuku, dewiku, pujaanku….. Aku tidak tahu kalau akhirnya jadi
seperti ini..."
Andaikan saja rasa penasaran Kejiman tidak memaksa mereka memasuki tenda ini. Harusnya
mereka ingatkan Kejiman sebelum memulai kecerobohannya, tapi belum tentu dia mau
mendengarnya.
Haruhiro benar-benar ingin mengomeli pria aneh itu.
Tetapi, di situasi seperti ini dia harus bersabar. Sudah sering dia mengalami hal seperti ini.
Sejujurnya, si kampret jauh lebih menyebalkan daripada Kejiman. Oleh karena itulah, dia
masih bisa mentolelir kecerobohan Kejiman.
Benarkah begitu ...?
Sebenarnya ketololan pedagang ini sudah kelewat batas.
"Mungkin……kita berada di dunia lain…." kata Mary, lalu dia segera melengkapi kalimatnya,
seolah membuat alasan, "….tapi, itu hanya dugaanku saja.”
"D-dunia lain, ya?!" ini bukanlah kali pertama Haruhiro tersesat di dunia lain, tapi dia masih
saja panik. "Hmm, y-y-ya….dunia lain, ya….m-m-masuk akal juga. Dunia lain…dunia
lain….” gumamnya. Kekhawatiran tak berujung segera memenuhi kepalanya.
Kalau mereka benar-benar berada di dunia lain….bukankah itu gawat?
"Hah ...?" gumamnya. "Jadi, kita berada di dunia seperti Dusk Realm atau Darunggar?"
"Dunia lain ..." Kejiman membenarkan posisi kecamata dengan mendorong gagang tengahnya.
"Bolehkah aku pergi ke sana...?"
"Ya pergilah…." Setora menunjuk ke bawah dengan jari telunjuknya. "…pergilah selama
mungkin, dan jangan kembali.”

65
“Maaf! Aku hanya bercanda! Sebenarnya bukan itu yang kuinginkan! Tapi…. sepertinya kalian
sudah pernah pergi ke sana, kan?!”
"Aku belum pernah, tapi Haru dan yang lainnya sudah," kata Setora.
“Woooow! Kereeeeeeeeeeennnnn!” Kejiman membuka lebar-lebar matanya yang bersinar.
Ada apa dengan pria ini? Dia sungguh menjijikkan.
"Dunia lain! Aku selalu ingin pergi ke sana! Sebelum mati, setidaknya aku ingin pergi ke sana
sekali! Oh! Seperti apakah dunia lain itu?! Bukankah sangat menyenangkan? Akankah cita-
citaku ini terwujud!?”
"Ampun deh nih orang," kata Kuzaku dengan wajah pasrah.
Sayang sekali, dunia lain tidaklah menyenangkan seperti bayanganmu. pikir Haruhiro.
"Reliks, ya ..." gumam Haruhiro.
Dia tidak begitu paham tentang reliks, tapi setidaknya dia punya satu benda seperti itu.
Namanya adalah Receiver, dan dia mendapatkannya dari Soma. Sepertinya sih sudah rusak,
tapi……
Oh iya, sudah lama dia tidak memberikan laporan pada Soma. Sial, harusnya dia memberi
kabar pada mereka. Namun….sayangnya ini bukan saat yang tepat.
Kalau tidak salah, rekan Soma yang bernama Shimam pernah berkata padanya, bahwa “reliks”
adalah istilah untuk menyebut benda kuno yang teknologinya tidak dapat ditiru oleh manusia
zaman sekarang. Pada dasarnya, “reliks” adalah benda yang berisi kekuatan yang tidak bisa
dinalar oleh manusia. Sedangkan, disain dan asal-muasalnya pun masih belum dipahami oleh
manusia zaman sekarang.
Haruhiro penasaran, apakah suara gadis itu menghipnotis mereka, sehingga tidak bisa
menemukan jalan keluar dari tenda ini. Atau mungkin, suara instrumen musik itu juga memiliki
kekuatan serupa. Kemudian, ada reliks lain di dalam tenda ini yang berfungsi sebagai portal
penghubung ke dunia lain, seperti yang dikatakan Mary. Mungkin ada semacam gerbang yang
mengantarkan mereka ke dunia lain, dengan suatu perjalanan searah.
Namun, semua itu tidak lebih dari sekedar perkiraan.
Dia hampir menyerah pada keputusasaan. Mungkin saat ini, dia hanya perlu melakukan apapun
yang dia bisa. Maju saja terus, tanpa berhenti. Meskipun harus menemui jalan buntu.
Haruhiro berdeham. Dia menghela nafas, dan melemaskan bahunya. Ini bukanlah situasi yang
normal, dia tahu itu. Tapi, seberapa bahayakah situasi saat ini? Apakah nyawa mereka
terancam?
Jawabannya adalah tidak. Mereka masih punya peluang.
Jadi, prioritas pertama yang harus mereka usahakan adalah menghindari bahaya sedini
mungkin. Oleh karena itu, mereka harus segera keluar dari Kamp Leslie.
Dia takut bertindak ceroboh karena panik. Dia harus tetap tenang. Terus berusahalah tanpa
menyerah. Selama terus berusaha, orang lemah seperti Haruhiro pun masih punya peluang
untuk menyelesaikan masalah ini.
"Baiklah, rencana kita tidak berubah," katanya. "Kita lanjutkan mencari pintu keluar pada tiap
ruangan.”

66
Bab 11
Tak Pernah Menyadarinya

Tidak bisa kembali.


Sepertinya itulah yang terjadi di sini. Atau setidaknya, dia menganggap demikian.
Bagaimana bisa tirai yang seharusnya mengantar mereka keluar, malah membawanya ke
ruangan lainnya.
Dua puluh tiga kotak, dengan ukuran, bentuk, warna, dan material yang berbeda-beda.
Tujuh buku, diletakkan pada laci.
Lima patung, dengan desain yang beragam.
Tiga rak, lengkap dengan laci dan barang-barang di dalamnya.
Satu pintu
Satu bundel kunci yang diletakkan di atas kursi.
Satu tempat lilin, juga diletakkan di atas kursi.
Delapan benda lainnya yang asing bagi mereka.
Dua ratus lima belas ruangan kosong, masing-masing hanya berisi meja dan lentera.
Itulah yang mereka temukan setelah mencari pada 260 ruangan.
Dengan menggunakan ruangan awal sebagai titik mula pencarian, Party Haruhiro terus
menyelidiki Kamp Leslie. Sekarang mereka kembali berada di ruangan awal. Mereka pun
kelelahan, sampai-sampai tersungkur di lantai.
Sedangkan Kejiman, dia terbaring di karpet, dan mulai mendengkur.
"Menurutmu sudah berapa lama kita berputar-putar di tempat ini?" kata Kuzaku sembari duduk
bersila, punggungnya membungkuk, dan kepalanya tertunduk lesu. Suaranya bahkan hampir
habis.
"Sepertinya ... kesadaranku sudah mulai buram…" gumam Shihoru.
Dia duduk saling bersandar punggung dengan Mary.
Setora masih tampak cukup energik. Dia membuka buku catatannya, dan terus mencoret-coret
denah Kamp Leslie yang dibuatnya sendiri. Kiichi meringkuk bagai bola di sebelahnya, dia
terlihat jelas mengantuk.
"Ini tidak ada habisnya," kata Setora dengan cepat. “Apakah saatnya kita memeriksa reliks-
reliks itu? Ataukah kita coba saja membuka pintu itu?"
Sebenarnya, Haruhiro juga telah memikirkan ide yang sama. Bagaimanapun juga, tampaknya
satu-satunya jalan yang tidak berujung pada ruangan lainnya hanyalah pintu kayu itu. Jika kau
melihat satu-satunya pintu di antara ratusan ruangan, maka akan muncul rasa penasaran kuat
di dalam hatimu untuk membukanya. Cukup sulit baginya menahan rasa penasaran itu.

67
Haruhiro juga begitu ingin membuka kotak-kotak itu. Bundelan kunci itu juga tampak
mencurigakan, mungkin kunci-kunci itu bisa digunakan untuk membuka kotak. Tapi
sayangnya, kalau dilihat lagi, tak satu pun dari kotak-kotak itu mempunyai lubang kunci.
Atau…apakah kotak-kotak itu sudah terbuka? Dia belum mencobanya. Lebih baik dia segera
memeriksanya, apakah kotak itu benar-benar bisa dibuka, atau tidak. Apakah itu ide buruk?
Ya, sepertinya itu ide buruk.
Tunggu……
Dia tidak tahu apa-apa. Kemampuannya mengambil keputusan semakin lemah. Dia menyadari
itu, jadi dia tidak punya banyak pilihan saat ini. Sekarang, kepalanya dipenuhi kekhawatiran
bahwa apapun keputusan yang diambilnya akan berakhir pada kesalahan. Dan bundelan kunci
itu terus mengganggunya.
Pintu. Jika mereka membukanya, apakah yang akan terjadi?
Kotak-kotak. Reliks ...
"Kita masih punya air ..." Mary menggeledah ranselnya. "Tapi kita hampir kehabisan
makanan."
Mereka semua meninggalkan perbekalan di tenda. Haruhiro hanya membawa peralatan
seadanya. Dia pun menyesalinya sekarang. Haruhiro tidak pernah menyangka ini akan terjadi.
Dia ceroboh kali ini.
"Seribu keping emas," kata Kuzaku tiba-tiba.
"Hah ...?" Haruhiro memandang Kuzaku. Mereka saling menatap selama beberapa saat.
Lalu, Kuzaku terlebih dahulu yang memalingkan wajahnya. "...Ah tidak…tidak… lupakan saja
kataku tadi.”
"Lupakan ...?" selama beberapa detik, Haruhiro linglung.
Setiap keping koin platinum beratnya sekitar 30 gr. Jumlahnya setarus keping. Jadi, total
beratnya 3 kg. Mereka tidak perlu membawa benda seberat itu kemana-mana, namun tas berisi
seratus keping platinum yang ditinggalkan tanpa penjagaan di tenda lebih membebani pikiran
mereka. Mereka menyimpan uang itu di dalam tas yang tebal, awet, dan tahan lama. Pasti
seseorang tidak akan bisa mengangkat tas itu dengan mudah, karena cukup berat.
Saat dalam perjalanan, Kuzaku lah yang bertugas menggendong tas itu, karena fisiknya lah
yang terkuat di Party Haruhiro. Dia pun selalu berada di dekatnya saat tidur. Namun, saat ini
dia tidak membawanya.
Hah? Di mana tasnya? Apakah dia benar-benar meninggalkannya di tenda? pikir Haruhiro.
"Yah, sepertinya ..." kata Haruhiro. "….tak seorang pun menduga ini bakal terjadi, kan?"
Mereka baru saja bangun. Kemudian, Haruhiro membawa mereka ke tempat yang diduga
Kamp Leslie yang fenomenal itu. Namun, tak seorang pun mengira mereka akan terjebak di
dalam kamp tersebut.
Kuzaku terisak, lalu dengan nada pasrah dia merengek, "... Maaf ya….." jarang sekali dia
merengek seperti itu.
Haruhiro bertukar pandang dengan Shihoru, yang wajahnya seakan mengatakan, ’Oh….jadi
begitu ya….’

68
Tampaknya Mary sudah memahami apa yang terjadi, lalu dia memandang dengan cemas pada
Kuzaku.
Setora hampir tidak bereaksi, dia hanya menatap buku catatannya sembari menggumamkan
sesuatu dengan pelan.
Kiichi rupanya sudah tidur.
Dengkuran keras Kejiman cukup mengganggu.
Yah….gak papa sih, Haruhiro berpikir sambil menghela nafas, toh, itu hanya uang, kan?
Tapi, jumlahnya banyak juga ya. Lagipula, belum tentu tasnya hilang, kan? Kuzaku hanya lupa
membawanya. Selama kita bisa kembali ke tenda, kita bisa mengamankannya kembali. Yahh….
mudah-mudahan saja kita bisa kembali.
Bisakah kita keluar dari tempat ini? Itulah masalahnya. Ini bukan waktunya mengkhawatirkan
uang tersebut. Cobalah berpikiran positif, jika kita bisa kembali, maka semuanya akan baik-
baik saja. Tapi yang terpenting, kita harus keluar terlebih dahulu dari tempat aneh ini.
Uang itu bukanlah masalah. Lupakan. Lupakan saja. Aduh….tapi, semakin aku mencoba
melupakannya, mengapa aku semakin khawatir? Aku bahkan semakin mengingatnya.
Baiklah, kalau begitu begini saja. Anggap saja kita tidak pernah mendapatkan uang itu. Tidak
ada seratus koin platinum pada ransel itu. Uang itu tidak pernah ada. Uang itu hanyalah
khayalan.
Ya….anggap saja begitu. Ya. Aku merasa lebih baik ... Duh, tapi sayang sekali ya….
Tidak, tidak, tidak. Kami pasti akan kembali. Tidak peduli apapun yang terjadi, kami akan
kembali. Bukan untuk uang, tetapi karena itulah tujuan kami. Kami akan keluar dari Kamp
Leslie. Lebih baik fokuskan pikiran pada masalah yang tengah dihadapi saat ini.
Dia hanya mengambil hikmah dari masalah yang belum terpecahkan, tapi setidaknya itu
membuatnya kembali bersemangat. Kepalanya harus tetap dingin. Dia harus berpikir dengan
tenang. Haruhiro sudah terbiasa bangkit dari keterpurukan.
Meski begitu, nyatanya mereka saat ini mendapati jalan buntu. Jika terus seperti ini, bukannya
tidak mungkin rekan-rekannya akan patah arang.
Haruhiro berdiri. "Ayo kita periksa pintunya. Kita hanya perlu ke ruangan sebelah.”
Pintu kayu itu ada di ruangan sebelah mereka, jadi jaraknya cukup dekat.
Kejiman masih saja mendengkur, dia tidak bangun bahkan setelah mereka meneriakkan
namanya, dan Setora menendang badannya. Jadi, mereka pun meninggalkan pria aneh itu.
Party Haruhiro berpindah ke ruangan pintu, lalu mulai mengamati bagian luar pintu.
"Kuncinya ..." Haruhiro berjongkok dan mendekatkan wajahnya pada gagang pintu. Pintu itu
terbuat dari kayu, tapi kenop dan platnya terbuat dari logam. Ada lubang di atas dan di bawah
kenopnya yang tampak seperti lubang kunci. “Baru kali ini aku melihat pintu dengan 2 lubang
kunci….”
"Ya. Memang aneh.” Kuzaku berjongkok di sebelah Haruhiro. "Tapi, toh kita tidak tahu apakah
pintu ini terkunci atau sudah terbuka sejak awal.”

69
Tampaknya Kuzaku sudah kembali bersemangat setelah terlihat begitu sedih karena tidak
membawa tas itu bersamanya. Dia bukanlah tipe orang yang terus berlarut-larut dalam
kesedihan. Itulah salah satu sifat positif Kuzaku yang Haruhiro sukai.
"Ya ..." Haruhiro menyetujuinya. "Jadi, pertama-tama yang perlu kita lakukan adalah coba
memutar kenopnya.”
"Atau….bisakah kau melihat apa yang ada di balik pintu ini melalui lubang kunci itu?”
"Kenapa tidak kau coba saja?"
"Beneran nih?"
"Ya, tentu saja. Tapi, jangan menyentuhnya.”
"Baiklah. Kau jangan mendorongku, oke?”
"Buat apa aku lakukan itu ..."
"Itu guyonan jadul yang gak lucu…" Kuzaku menutup mata kiri, lalu mendekatkan mata
kanannya pada lubang kunci.
Entah kenapa, Haruhiro jadi ingin mendorong Kuzaku saat mengintip ke dalam lubang. Yahh,
tentu saja dia tidak akan melakukannya.
"Bagaimana?" tanya Setora.
"Tidak. Aku tidak bisa melihat apa-apa.” Kuzaku pun menjauh dari pintu.
Tentu saja dia tidak bisa melihat apa-apa. Bagaimanapun juga, lubang kunci dan lubang intip
bukanlah hal yang sama.
Tiba-tiba, Shihoru menelan ludah. "Kunci..."
"Ya, dari tadi aku juga berpikir begitu." Haruhiro menjilat bibirnya.
Kotak-kotak itu, maupun laci di rak sama-sama tidak memiliki lubang kunci. Satu-satunya
benda yang terdapat lubang kunci di tenda ini hanyalah pintu kayu itu. Jika pintu tersebut benar-
benar terkunci, maka dimanakah kuncinya?
Ada beberapa kunci yang dibundel oleh logam berbentuk cincin yang tergeletak di kursi.
"Aku punya alat, mungkin aku bisa membukannya dengan skill Picking," kata Haruhiro. "Atau
mungkin, pintu itu bahkan tidak terkunci sejak awal ..."
Dia mengatakan itu sembari melihat wajah Mary. Si gadis Priest juga sedang memandang
Haruhiro, tapi mulutnya sedikit terbuka dan terengah-engah. Tampaknya dia kelelahan.
Setora mengambil Kiichi, yang terus-terusan menggosokkan badan pada kakinya. Rupanya si
kucing sudah bangun.
Pintu. Kunci. Seolah-olah kita diarahkan untuk membuka pintu itu, aku tidak suka kita
dikendalikan seperti itu. Ataukah hanya aku saja yang terlalu khawatir? Mengkhawatirkan
berbagai hal bisa membuatmu semakin waspada, namun kalau begini terus, kita tidak akan
bisa keluar dari tempat ini. Jadi, untuk saat ini, lebih baik kita ambil resiko, tak peduli apapun
yang akan terjadi selanjutnya.
"Semuanya, mundur," katanya.
Dia menunggu sampai rekan-rekannya mundur, lalu meraih gagang pintu.

70
Dia menyipitkan matanya. Dia berkosentrasi pada indra peraba di jarinya, dan juga indra
pendengarannya.
Saat dia sudah memutuskan untuk melakukannya, harusnya dia tidak boleh ragu. Keraguan
hanya akan mengganggu kosentrasinya.
Kenop pintu itu tidak berputar.
Tak peduli sekeras apapun dia putar, kenop itu tidak kunjung bergeming.
Maka jelaslah bahwa pintu itu terkunci.
Haruhiro melepaskan kenopnya. Dia menunduk, lalu menghela napas sejenak. Keringat
dinginnya mengucur deras.
"Tidak mau terbuka," katanya. "Ayo kita ambil kuncinya."
Ruang kunci berada tak jauh dari ruang pintu.
Saat mereka memasuki ruang itu, terlihat bahwa bundelan kunci masih tergeletak di atas kursi.
Cincin logam itu berwarna kehitaman dan tidak begitu mengkilat. Terdapat berbagai bentuk
kunci pada bundelan itu, semuanya berjumlah sembilan.
Haruhiro melihat-lihat sejenak, lalu mengambilnya. Kunci-kunci itu tidak berat, dan mirip
seperti kunci pada umumnya.
Kemudian dia berdiri di depan pintu, memegang bundelan kunci, sementara Kuzaku dan yang
lainnya melangkah mundur.
"... Oke, ayo kita coba," kata Haruhiro.
Ada sembilan kunci. Ada dua lubang kunci, satu di atas kenop, satu di bawah.
Haruhiro mengambil kunci secara acak, lalu mencobanya di lubang kunci atas terlebih dahulu.
Kuncinya masuk tanpa dentingan suara.
Kunci itu terjepit erat pada lubangnya, mungkin Haruhiro tidak bisa menariknya kembali.
Dia coba menariknya, dan benar saja…..kunci itu tidak bergerak seinchi pun.
"... Apa-apa’an ini?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Sepertinya teman-temannya tidak mendengarkan bisikan itu.
Jangan panik, Haruhiro meyakinkan dirinya sendiri, menarik napas panjang, lalu
menghembuskannya.
Apakah bundelan kunci itu juga reliks? Jika iya, maka kekuatan macam apa yang tersimpan di
dalamnya?
Karena tidak bisa ditarik, maka Haruhiro coba memutar kuncinya. *klik*…. suara dentingan
pelan itu menandakan bahwa pintu sudah terbuka.
Kemudian, terjadi sesuatu.
Kuncinya lenyap, seolah menguap menjadi asap. Sementara dia masih keheranan, kunci itu
pun akhirnya hilang.
Saat kunci yang tertempel di lubang pintu itu lenyap, bundelan yang dia pegang jatuh ke bawah.
"Haru?" Setora memanggil namanya.

71
Haruhiro mengambil bundelan kunci, lalu membalas panggilan gadis itu dengan linglung.
"... Uh, yahh….."
Dia mencoba menghitung kunci yang tersisa.
Delapan. Sekarang jumlahnya hanya ada delapan. Ada satu yang hilang.
Haruhiro berbalik dan menunjukkan bundelan kunci itu pada teman-temannya. "Ketika aku
memutar kuncinya, malah lenyap."
"Hah?" tanya Kuzaku. "Tunggu, tapi harusnya kuncinya masih tergantung di sana ..."
"Tidak, kuncinya benar-benar lenyap, dan ..." dia kembali tenang saat menjelaskan semuanya
pada Kuzaku. "Yahh, sepertinya kunci ini juga reliks. Aku tidak begitu paham sih…. tapi,
sepertinya ini kunci serbaguna. Dan hanya sekali pakai.”
"Berikan itu padaku!" Kejiman mengulurkan kedua tangan, dan mengatupkannya seperti
mangkuk. "Ingat, kalian adalah bawahanku! Akulah bosnya, jika kalian menemukan reliks,
maka itu adalah milikku! Sekarang, berikan padaku!”
"Gak mau."
Balasan pendek dari Setora itu sudah cukup untuk menenangkan Kejiman. “A-aku hanya
bercanda. Ya ampun. Kau tahu sendiri lah aku suka bercanda. Hee hee ... "
Yahh, mungkin dia hanya berpura-pura. Namun, menurut dugaan Haruhiro, mereka hanya bisa
membuka pintu 8 kali dengan 8 kunci yang tersisa. Dia bisa saja menggunakan skill Picking
untuk membobol pintu, namun itu dipengaruhi oleh pengalaman, dan belum tentu berhasil. Dia
pun memerlukan waktu lama untuk menggunakan skill itu. Jenis lubang kunci juga
mempengaruhi tingkat keberhasilannya, pokoknya skill Picking tidaklah begitu efektif.
Sedangkan, dia sekarang memiliki kunci serbaguna yang bisa digunakan kapan saja.
Tapi, dia tidak bisa menggunakannya terus-menerus, karena bundelan kunci itu tinggal
delapan. Setiap kali pintu terbuka, maka akan lenyap satu kunci. Itu berarti, mereka hanya
punya 8 kesempatan.
Haruhiro membuka lubang kunci di bawah kenop dengan kunci lainnya. Dan seperti yang
terjadi sebelumnya, kunci itu pun lenyap, sehingga hanya menyisakan 7 kunci lagi.
Nah…harusnya sekarang pintu itu sudah terbuka.
"Bagaimana kalau aku saja yang membukanya?" Kuzaku menawarkan bantuan.
Dia mungkin mengkhawatirkan keselamatan Haruhiro, tetapi jika ada perangkap atau jebakan
lainnya, Kuzaku akan celaka.
Haruhiro hendak menolaknya, tapi kemudian Setora menawarkan usulan lain.
“Bagaimana kalau kita suruh bos saja yang membukanya. Kita kan hanya bawahan….."
"Aku?! T-Tidak, tapi... "
"Apa? Dimanakah semangatmu yang menggebu-gebu tadi? Apakah semua itu hanya omong
kosong belaka? Kau sungguh membosankan.”
“Aku tidak membosankan! Tidak mungkin! Aku adalah pria yang menarik! Tapi entah kenapa
setiap wanita selalu menolakku!! Baiklah, aku akan melakukannya untukmu!!”

72
Begitu Kejiman selesai mengoceh, dia mendorong Haruhiro ke samping, meraih kenop, lalu
menarik pintu dengan begitu kencang.
"Hei, tunggu dulu!" jerit Haruhiro.
“Ada apakah di balik pintu ini!? Raja iblis?? Dewa Kejahatan?? Majulah kalian semua, aku
tidak takut!!” Kejiman pun membuka pintu itu.
Yahh…terlanjur, deh… pikir Haruhiro.
"Ap-Ap-Ap ...!" Kejiman membungkuk ke belakang karena terkejut, sampai terjungkal. "Apa-
apa’an iniiiiiiiiiiiiiiiiii?!"
Tidak heran mengapa dia berteriak begitu keras.
Karena di balik pintu itu hanya ada tirai berwarna ungu.
Apa maksudnya ini?
Mungkin pintu itu sengaja ditempatkan begitu khusus, sehingga Haruhiro dan yang lainnya
mengira ada sesuatu yang berbeda di baliknya.
Namun ternyata tidak ada apa-apa. Itu hanyalah pintu biasa yang mengarahkan mereka ke
ruangan lainnya.
"Aduh, kalau tahu begini, buat apa pintu itu dikunci segala….." Kuzaku berjongkok, lalu
menghela nafas panjang.
Setora meletakkan tangannya pada bahu Kuzaku. Sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang
telah dilihatnya, sehingga dia memerlukan bantuan orang lain untuk meyakinkan bahwa ini
bukan khayalan.
"Yah, begitulah ..." Haruhiro menghela nafas.
"Ah, ternyata ... tidak terjadi apa-apa ..." Shihoru tertawa lemas dan canggung.
Haruhiro tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dia merasa cukup menyesal. Seperti yang
Shihoru katakan, setidaknya mereka masih aman-aman saja. Tidak terjadi sesuatu yang
menakutkan setelah pintu itu terbuka. Namun, mengorbankan dua kunci untuk membuka pintu
yang tidak membawa mereka kemana-mana, itu sungguh mengecewakan.
Mary masih menatap pintu itu. Apakah dia begitu terpukul akan kenyataan ini? Sepertinya
tidak begitu. Ekspresi wajahnya terlihat kaku. Matanya mengatakan bahwa ada sesuatu yang
dicurigainya.
Haruhiro juga menatap pintu itu. Kemudian, terjadi sesuatu lagi.
"Sialan!!!" teriak Kejiman.
Dia tidak terima. Sepertinya dia hendak menyibak tirai pada pintu itu.
Biarkan saja dia melakukan itu. Haruhiro tidak menghentikannya.
Lalu...
Oh, aku tahu…...
"Dia..."
Dia? Dia apa? Apakah kelanjutannya? Apakah yang terjadi selanjutnya?
Tidak jelas apa yang terjadi selanjutnya, namun yang pasti…….
73
"... Dia hilang?" tanya Kuzaku.
Ya. Dia lenyap begitu saja, seperti kunci-kunci itu.
"Ke mana dia pergi ...?" bisik Setora.
"Dia lenyap." Mary tampak terkejut. Otot wajahnya berkedut.
Entah kenapa, Haruhiro malah merasa lega. Tidak…. ini bukan waktunya untuk merasa lega.
Bos mereka menghilang tanpa jejak.
Mata Shihoru terbelalak, dan dia menggelengkan kepalanya berulang kali seakan tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya.
Pintunya masih terbuka. Tirai di dalamnya pun tidak bergerak sama sekali. Kejiman baru saja
meluncur pada tirai itu. Dia bahkan belum sempat menyentuh tirai itu….. lantas dia hilang
begitu saja?
"Itu aneh ... kan?" Kuzaku mendekati pintu lalu menempelkan tangan kanan padanya.
"Tunggu, tunggu!" seru Mary, tampaknya dia cukup khawatir.
Tapi, siku kanan Kuzaku menghilang saat mendekati tirai itu. "...Hah?"
"Ap—"
”Apa yang terjadi…” itulah kalimat yang gagal Kuzaku selesaikan. Secepat kilat, Haruhiro
langsung bergerak menarik kembali lengan kanan Kuzaku. Dia memeluknya, dan coba
menariknya menjauh dari tirai.
“Owowowowow?! Ha-Haruhiro, a-aku merasakan ada sesuatu di balik tirai itu ... ”
"Apaaaa?!" pekik Haruhiro.
Gawat. Ternyata tidak hanya lengan Kuzaku yang terjebak pada tirai itu, tumitnya juga. Dia
berusaha sekuat tenaga mencabutnya, namun tidak bisa.
Kuzaku kesakitan, dan mulai panik. "Oh sial! Oh sial! Aku juga merasakan ada sesuatu yang
menarikku dari balik tirai!”
"B-bertahanlah!"
"Tunggu dulu…. sepertinya aku hanya perlu….”
Tidak jelas apa yang coba Kuzaku lakukan, namun dia menjulurkan tangan kirinya pada tirai
itu lagi. Seperti yang sudah terjadi sebelumnya, tangan kirinya pun hilang sampai pergelangan.
Itu tidak masuk akal. Akan tetapi, itulah yang terjadi. Jadi… mereka akan lenyap jika
memasuki tirai itu? Seperti itukah mekanismenya?
“S-Sepertinya tangan kiriku masih utuh! A-Aku bisa merasakannya! Sekarang, ada sesuatu
yang menarik tangan kiriku! Tapi… jika aku masuk, apakah bisa keluar kembali??”
"Tidak mungkin!" Haruhiro tak tahu harus berkata apa lagi. Namun, dia terus menarik Kuzaku
menjauh dari tirai itu.
"Sialan! Maaf, Haruhiro, semuanya, sepertinya aku harus masuk ke dalam tirai ini. Kalian tidak
perlu mengikutiku. Aku pun tidak tahu kemana tirai ini akan berujung ... aku benar-benar minta
maaf!"

74
Lengan kiri Kuzaku, kaki kirinya, dan kaki kanannya bergerak melewati tirai. Sedikit demi
sedikit, beberapa bagian tubuhnya lenyap. Itu sungguh aneh.
"Uwah ...!" teriak Kuzaku.
Dia seakan tersedot ke dalam tirai. Atau lebih tepatnya, dia ditarik dari balik tirai. Haruhiro
masih memeganginya. Bukan hanya lengan kanannya, sekarang dia memegangi kedua tangan
Kuzaku dengan sungguh erat.
"Ha-Haruhiro, lepaskan. Aku akan baik-baik saja. Pokoknya, aku pasti bisa bertahan. Lagian,
tanganku mulai terasa sakit ... "
"Kenapa kau malah tersenyum, bung!?" jerit Haruhiro.
"Lalu, apakah aku harus menangis??"
"Ya, lebih baik kau menangis sambil meronta-ronta ..." Haruhiro mulai melonggarkan
cengkeramannya.
Kuzaku pun lepas dari tangan Haruhiro.
Kemudian, dia tertelan sepenuhnya oleh tirai.
"Haruhiro-kun ..." bisik Shihoru.
Haruhiro tidak menoleh pada gadis itu. "Maaf. Aku tahu kita belum membicarakannya… tapi,
aku sudah memutuskannya.”
Apapun keputusan Haruhiro, Shihoru dan Mary tidak akan keberatan.
Nyaaa, si Kiichi mengeong.
"Ya ampun ..." Setora tampak jengkel, tetapi juga geli. "….selalu saja terjadi hal yang menarik
bersama kalian."

75
Bab 12
Ketakutan Abnormal

Saat tiba di suatu tempat baru, kau mengalami berbagai hal yang berbeda.
Mungkin ada yang seperti ini.
Ketika mereka melewati pintu, ada angin yang berhembus melewatinya, kemudian udara di
sana terasa berbeda.
"... Manisnya," gumam Haruhiro.
Apakah yang dia maksud rasa manis? Atau aroma manis? Hanya dia yang tahu. Tapi yang
jelas, dia merasakan sesuatu yang manis.
Cahayanya cukup terang, tapi tidak menyilaukan.
Pemandangannya aneh.
Tanahnya putih. Apakah itu pasir? Ukuran butiran pasirnya beragam, dan terasa cukup kasar.
Ada beberapa jenis tanaman yang tumbuh sampai ketinggian 3 atau 4 meter. Warnanya pink
cerah, mungkin itu hanya karang.
Tapi di sini, dia bisa bernapas dengan lancar.
Langit berwarna putih seperti susu, dan ada titik-titik biru di sana-sini. Titik-titik itu tersebar
di seluruh bagian langit, apakah itu bintang? Padahal hari masih siang? Ataukah sebenarnya
sudah malam? Tak sorang pun tahu, karena matahari tidak terlihat di manapun. Langitnya
cerah, jadi sepertinya lebih pas disebut siang hari.
Sembari tergeletak di tanah putih, Kejiman memeluk erat Kuzaku.
"Haruhiro ..." kata Kuzaku.
"Kalian berdua manis sekali ..." kata Haruhiro sambil menepuk jidatnya.
Kuzaku tersedot ke dalam tirai, atau lebih tepatnya… ditarik oleh seseorang dari dalam tirai.
Siapa yang melakukannya? Setelah semuanya masuk ke dalam tirai, maka jelaslah siapa
pelakunya.
"B-bukannya kami, uhh ..." Kuzaku mulai panik. Kejiman terus saja menempel padanya. "I-ini
hanya salah paham, oke? Tiba-tiba aku terlempar ke tempat ini! Aku kesepian, jadi aku butuh
teman! Kalau aku mati gimana?”
"Ayolah ... lepaskan aku. Kau mencekikku. Ini sungguh menjijikkan.”
“Jangan bilang menjijikkan! Aku hanya butuh teman, Kuzaku-kun!"
"Kita tidak punya hubungan khusus… oke ... ? Jadi lepaskan aku sekarang juga, aku tidak
main-main."
Tak lama berselang, Setora, Kiichi, Shihoru, dan Mary datang secara berurutan.
"Ini ..." Shihoru bernapas berat, sembari mengamati sekelilingnya dengan hati-hati.
Ekspresi Setora tidak berbeda dari biasanya, tapi tangannya memegang Kiichi dengan erat,
mungkin dia sedikit khawatir.

76
Mary tertunduk sembari menutup mulutnya dengan rapat, sepertinya dia sedang berusaha keras
mengingat sesuatu.
Setora mengendus-endus. "Baunya harum."
Haruhiro mengangguk. Udara di sini baunya harum….tapi terasa kotor.
"Ah ..." Shihoru menunjuk. "Benda itu ... semakin besar?"
"Wah! Biehhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!” Kejiman mulai berteriak sembari terus mendekap
Kuzaku.
Kuzaku juga mulai membuat keributan. "Hah? Hah? Hah? Apa? Apa itu? Apa itu?! A-A-A-
Aaaa?!”
"Bintang ...?" bisik Mary.
"Bintang jatuh?" Setora masih relatif tenang, namun mungkin dia sedikit panik dalam situasi
ini.
Beberapa titik di langit berubah bentuk seiring berjalannya waktu.
Ada yang menyusut sampai tidak terlihat, mungkin itulah akhir dari titik tersebut. Tapi, ada
juga yang semakin membesar dan mendekat pada mereka, sehingga tidak bisa diabaikan.
Titik itu seperti bintang jatuh yang semakin dekat ke tanah. Sepertinya kecepatannya tinggi
juga.
"Ka ..." Haruhiro mulai berkata, Kabur! itulah yang ingin dikatakannya, namun dia ragu.
Bintang itu semakin membesar seukuran kepala orang dewasa. Gawatnya, tampaknya bintang
itu langsung jatuh kepada mereka. Meskipun mereka coba melarikan diri, bukankah itu
percuma saja? Mereka mulai panik saat bintang itu semakin besar dan terus membesar. Namun,
perbesaran itu terjadi karena bintang semakin dekat dengan permukaan tanah.
"B ... Bukankah seharusnya kita lari ...?" saran Shihoru membuat Haruhiro kembali tersadar.
Itu benar. Andaikan saja rekan-rekannya tidak di sini, mungkin Haruhiro bisa sedikit tenang.
Namun, mereka sedang bersama. Bagaimana bisa dia menyerah pada saat-saat seperti ini?
"Lari, tapi jangan berpisah! Ayo, lari kataku!”
Haruhiro menendang Kejiman, yang masih saja memeluk pantat Kuzaku.
"Hhhhhh?!"
Kejiman terpental seperti tembakan peluru, dan Kuzaku yang sudah terbebas, segera lari
menjauh. Setora dan Kiichi juga mulai berlari, Mary dan Shihoru mengikuti setelahnya.
Mereka saling bergandengan tangan. Haruhiro menyusul dari urutan terbelakang.
Saat menoleh ke belakang, dia melihat bintang itu semakin besar. Baru kali ini dia melihat
benda seperti itu. Apakah ada benda lain sebesar itu? Sudah berapa dekat jaraknya dari tanah?
Apakah hanya beberapa ratus meter lagi? Tapi, ini sedikit aneh. Bukankah bintang jatuh
biasanya membara? Karena gaya gesekan dengan udara? Bintang itu tidak terlihat terbakar.
Bahkan tidak panas. Tidak juga mengeluarkan suara apapun. Tapi yang pasti, itu semakin
mendekat.
Belum pernah dia melihat obyek sebesar dan seterang itu, namun pengalaman pertama ini
mungkin akan menjadi yang terakhir. Kalau bintang itu tidak jatuh ke arahnya, mungkin dia

77
tidak akan pernah melihat benda sebesar itu. Sungguh luar biasa. Bintang itu tidak memiliki
warna tertentu, tapi yang dia lihat hanyalah cahaya terang.
"Semuanya—" hanya sepenggal kalimat itu yang bisa dia ucapkan, selanjutnya yang keluar
hanyalah teriakan yang dibarengi pekikan-pekikan dari teman-temannya.
Mereka pun dilumatkan, seolah-olah tubuh mereka ditekan dengan begitu kerasnya.
Habis sudah semuanya, pikirnya. Namun, karena dia bisa memikirkan itu, berarti dia masih
hidup.
Dhuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrr!! Sesuatu muncul. Haruhiro terlempar ke udara,
kemudian berguling-guling. Wajahnya tertutupi pasir, matanya silau, dan telinganya
berdegung.
Tapi tubuhnya utuh, jadi dia masih hidup. Ledakan apa itu tadi?
Haruhiro menyeka pasir di wajahnya sembari berusaha berdiri. “Kuzaku! Shihoru! Mary!
Setora! Kalian baik-baik saja...?!"
Suaranya sendiri terdengar menggema begitu jauh.
"A-aku baik-baik saja!" teriak Kuzaku. "Dimana kalian?! Aku tidak bisa melihat apapun!”
"Aku baik-baik saja!" balas Shihoru. "Mary juga ada di sini ..."
"Ya, kami tidak apa-apa ..." balas Mary.
"Apa itu tadi?! Kiichi?! Dimana kau??” teriak Setora.
"Nyaa!"
“U-untungnya aku masih hidup! I-Ini adalah suatu keajaiban!!” teriak Kejiman.
Sepertinya rekan-rekannya masih lengkap, ditambah seorang bos yang menyedihkan.
Haruhiro berkedip, menggosok-gosok matanya, dan menunggu sampai penglihatannya
kembali normal.
Masih sedikit buram, namun dia sudah bisa melihat. Perlahan-lahan, matanya pun kembali
normal.
"Ini..."
Ada sesuatu yang menyerupai hujan salju. Ketika benda itu jatuh di telapak tangannya,
langsung lenyap.
Rasanya tidak dingin. Sehingga itu bukan salju. Lalu, apakah gerangan benda itu? Bentuknya
menyerupai sesuatu yang dia tahu.
Kuzaku mengulurkan tangan panjangnya, dan meraup sejumlah benda mirip salju itu.
"...Apa ini? Bentuknya seperti buih sabun."
"Ah, itu dia ..." Haruhiro menatap titik-titik di langit sekali lagi.
Mungkin benda mirip buih sabun ini merupakan serpihan-serpihan dari bintang jatuh yang
barusan saja menghantam tanah. Artinya, benda yang barusan jatuh itu bukanlah bintang. Lalu
apakah itu? Haruhiro tidak mungkin tahu.
Dia menghela nafas sejenak.

78
"Untunglah kita selamat—"
"Augh?!"
Pekikan dari Kejiman menyela kalimat Haruhiro. Dia tahu ada sesuatu yang tidak beres,
sehingga dia enggan menoleh padanya, tapi Haruhiro tidak punya pilihan lain.
Saat Haruhiro mengalihkan pandangannya pada Kejiman, pria aneh itu jatuh pada benda
berbentuk seperti karang berwarna pink. Lagi-lagi dia bertingkah konyol?? Tidak, sepertinya
dia tidak sedang bercanda kali ini.
"B-b-b-b-b-b-b-bantu aku ...!" Kejiman terus terseret pada karang itu.
Bongkahan karang berwarna pink itu hidup seperti tumbuhan.
"Eek!" jerit Shihoru.
Ada sesuatu di dalam karang itu.
"Oh, sial ..." bukannya takut, Kuzaku lebih terlihat jengkel, dan begitupun Haruhiro.
Ada makhluk mirip laba-laba dari dalam karang, Namun, itu bukanlah laba-laba, bentuknya
saja yang mirip…..
Jika dilihat dengan seksama, jelaslah bahwa makhluk itu bukan laba-laba, bahkan kakinya pun
berbeda, karena bentuknya lebih mirip seperti tentakel gurita.
Kalau begitu, makhluk itu gurita dong? Bukan juga. Yahh, cukup sulit mendeskripsikannya,
maka sebut saja makhluk itu laba-laba setengah gurita.
Wajahnya tidak hanya pucat, melainkan putih bersih. Matanya berwarna hitam, sedangkan
pupilnya keemasan. Sulit untuk membedakan apakah makhluk itu jantan atau betina. Dan
kepalanya plontos.
Makhluk itu menangkap kaki Kejiman. Pria itu pun menjerit aneh, "Afwaih?!" dan tubuhnya
terus terseret ke dalam karang.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dia tidak lagi melihat Kejiman, bahkan suaranya pun tidak
terdengar.
Makhluk itu masih berada di kerumunan karang. Mulutnya megap-megap seperti ikan koi. Dia
menatap ke suatu arah dengan matanya yang tidak fokus.
Haruhiro menekuk lutut dan membungkukan badannya ke depan. Dia bersiap lari
meninggalkan tempat ini, tetapi Kejiman masihlah bos mereka. Lagipula, Haruhiro bukanlah
orang sekejam itu.
Dia harus menolongnya.
Dia mencoba melangkah maju.
Pada saat itu, makhluk tersebut mulai mundur. Dengan kaki-kakinya yang mirip tentakel gurita,
dia bergerak mundur dengan kecepatan penuh.
"Haru!"
Siapakah yang memanggilnya? Mary atau Setora? Ataukah keduanya? Sulit untuk
membedakannya di saat-saat seperti ini.
Haruhiro menarik belatinya.

79
Tiba-tiba sebuah benda hitam legam muncul begitu saja dari pasir, lalu terbang ke arahnya.
Bentuknya seperti tangan.
Jika Haruhiro tidak segera menarik kaki kanannya, mungkin benda hitam mirip tangan itu akan
segera mencengkram pergelangan kakinya.
Tubuh utama tangan hitam itu segera merangkak keluar dari pasir.
Haruhiro melompat mundur.
Apakah itu manusia? Apa pun itu, warnanya hitam legam. Bukan hanya tangan. Bahu, kepala,
leher, dada, dan tubuhnya….semuanya hitam.
Namun, dia tidak memiliki kaki. Sebagai gantinya, ada benda berbentuk mirip anemon laut
yang menjalar keluar dari bawah tubuhnya. Tidak terlihat hidung atau mata di wajahnya, hanya
ada semacam sobekan vertikal di sana. Mungkin itu adalah mulutnya? Dari sobekan itu,
mengintip gigi-gigi tipis mirip duri. Seluruh tubuhnya berwarna hitam legam, namun bagian
dalam mulutnya berwarna kuning cerah, mirip lemon.
Monster hitam setengah anemon ini tidak sendirian. Teman-temannya mulai bermunculan dari
dalam pasir putih. Jumlahnya cukup banyak.
Apakah rekan-rekan Haruhiro lainnya aman? Sekilas, nampaknya mareka aman-aman saja,
monster itu belum menangkapnya. Setidaknya untuk saat ini.
"Makhluk macam apa itu?!" seru Kuzaku.
Si jangkung menghunus lalu mengayunkan Katana besarnya. Dia berhasil memotong lengan
salah satu makhluk anemon jadi-jadian itu.
Apakah Mary dan Setora juga bertarung melawan mereka? Bagaimana dengan Shihoru?
Haruhiro ingin melihat keadaan mereka, tapi dia sibuk. Beberapa makhluk hitam itu merangkak
ke arahnya.
Haruhiro menari-nari untuk menghindari serangan tangan-tangan dan gigitan mereka. Yahh,
sebenarnya dia tidak sedang menari, sih. Dia bukan seorang penari, dan tidak suka menari. Dia
hanya menghindar sekuat tenaga dari serangan-serangan monster itu, sehingga gerakannya
terlihat seperti tarian yang aneh. Wah….ini sungguh gila.
"Ke karang ...!" teriak Haruhiro. Dia berusaha memperingatkannya rekan-rekannya untuk
berlindung di karang-karang berwarna pink itu, namun kalimatnya terputus.
Banyak kerumunan karang pink yang terlihat seperti semak belukar di sekitarnya. Seolah-olah
mereka dikelilingi oleh semak yang rimbun. Haruhiro merasakan ada yang aneh di
belakangnya, dan benar saja…. monster lainnya muncul dari sana.
"Wah ...!" teriaknya.
Kali ini wujudnya seperti lipan yang cukup besar. Lipan itu seukuran bayi manusia. Anehnya,
kaki-kaki putihnya terlihat seperti kaki manusia. Gerakannya pun terlihat mengerikan.
Kali ini Haruhiro tidak sanggup menghindar, sehingga monster itu pun merobohkannya. Dua
puluh hingga tiga puluh tangan-tangan kecil makhluk itu terus menggeliat. Karena ukurannya
tidak begitu besar, maka tangan-tangan itu tidak melukai Haruhiro saat merayapi tubuhnya.
Namun itu cukup membuatnya merasa jijik.
"Oh, astaga!" Haruhiro segera mendorongnya menjauh.

80
Saat itu, tanpa sengaja dia melihat bagian bawah makhluk itu. Sisi atasnya keras seperti kulit
lipan, sedangkan bagian bawahnya tidak rata. Kalau diumpamakan, mungkin Haruhiro akan
menyebutnya mirip telur ikan yang belum menetas.
Ya, seperti telur ikan. Ataukah……..itu benar-benar telur? Apakah makhluk itu sedang
mengerami telurnya? Apakah telur-telur itu akan menetas? Itu berarti, bukankah jumlah
mereka akan semakin banyak?
"Sialan!"
Haruhiro melompat. Dia tidak tahan lagi.
Tempat ini sungguh gila. Banyak makhluk tidak normal di sini.
Karang berwarna pink mirip semak-semak, monster gurita setengah laba-laba, monster anemon
laut hitam legam, monster lipan yang sedang mengerami telurnya, bintang jatuh yang
menghamburkan buih mirip sabun, titik-titik polkadot di langit…. tempat macam apa ini??
Dan sekarang….ada makhluk lain yang sedang terbang mendekati mereka.
Apakah itu burung? Sepertinya tidak. Burung tidaklah selonjong itu. Makhluk itu terlalu
lonjong untuk seukuran burung. Kalau boleh diumpamakan, makhluk itu seperti usus terbang
yang memiliki beberapa pasang sayap. Mana mungkin ada usus seperti itu? Mustahil, kan?
Mungkin Haruhiro sudah tidak waras. Semuanya di sini aneh. Sungguh aneh, dan tidak masuk
akal. Namun sayangnya, dia yakin bahwa ini bukanlah mimpi, atau bahkan mimpi buruk.
Haruhiro hampir sepenuhnya mengandalkan refleks untuk menghindari serangan monster
lipan, kemudian dia juga menendang monster anemon agar menjauh darinya.
Dia terus memikirkan keselamatan rekan-rekannya, terutama para gadis. Namun, tidak hanya
berpikir, dia juga harus segera bertindak.
"Kalau begini terus ...!" Mary mulai mengatakan sesuatu.
’….keadaannya akan semakin gawat…’ mungkin itulah kelanjutan kalimat yang ingin
dikatakan Mary. Mereka harus segera meninggalkan tempat ini. Mereka harus bergerak. Akan
tetapi, jika tidak bergerak bersama-sama, mereka bisa terpisah. Sebisa mungkin, Haruhiro ingin
Party ini tetap bersama, meskipun situasinya semakin gawat. Lalu, apakah mereka harus tetap
berada di sini, dan melawan monster-monster aneh ini? Apakah itu pilihan terbaiknya?
Bagaimana jika monster-monster itu terus bermunculan.
"Urkh?!" pekik Haruhiro.
Benda mirip tentakel melilit pergelangan kakinya. Apakah itu si makhluk laba-laba setengah
gurita?
Monster itu menariknya ke bawah, bahkan sebelum dia sempat berteriak, Oh, sial!
Haruhiro coba membalik badan, lalu dia tancapkan belatinya ke permukaan tanah.
Namun serangan itu tidak berhenti, sepertinya belatinya tidak mengenai tubuh lawannya yang
tersembunyi di balik pasir.
Haruhiro pun terseret oleh tentakel itu di sepanjang permukaan tanah. Dia coba menghentikan
lajunya dengan menancapkan belati di tanah, namun percuma saja.
"Hahhhh!" teriak Kuzaku.

81
Akhirnya, Kuzaku berhasil menghentikannya dengan memotong tentakel itu menggunakan
Katana besarnya. Jika dia tidak melakukan itu, entah kemana Haruhiro akan dibawa oleh
monster laba-laba setengah gurita itu.
"Bangunlah!" Kuzaku meraih pergelangan tangan Haruhiro, lalu menariknya.
Tidak ada waktu untuk mengucapkan terima kasih.
Muncul lagi monster-monster anemon laut hitam, mereka merayap pada Kuzaku dan Haruhiro.
Monster lipan juga melompat pada mereka. Monster laba-laba setengah gurita mengulurkan
tentakel lainnya untuk meraih kaki mereka lagi. Bahkan usus terbang bersayap itu mulai
menukik turun untuk memburu mereka.
Haruhiro menyiku monster lipan, menendang monster anemone, dan memotong usus bersayap
itu dengan belatinya. Terasa licin saat dia merobek usus itu, dan muncratlah benda mirip gel
yang berwarna-warni dari dalam.
Uap juga mengepul dari gel itu karena panas.
Selain gel, dari dalam tubuhnya juga muncul makhluk-makhluk seukuran kepalan tangan
manusia…. ah tidak, lebih kecil dari itu, mereka melompat-lompat seperti katak? Benarkah itu
katak? Tubuhnya berwarna biru, merah, dan kuning, dilengkapi dengan garis-garis hitam atau
hijau. Tetapi….kenapa kepalanya mirip manusia? Bahkan ada rambutnya banyak sekali!!
Whoah, mengerikan sekali dunia ini!
Haruhiro tersandung oleh monster anemone, lalu jatuh. Dari pasir putih di sekitarnya muncul
lagi makhluk-makhluk aneh. Mereka berbulu dan tidak punya mata. Wujudnya mirip seperti
tikus tanah, Namun, mereka bisa membuka mulutnya ke lima arah seperti bintang laut, dan ada
bola mata di dalamnya.
"Eek!" Haruhiro menjerit tanpa sadar, dia mencoba bangkit, namun sekumpulan monster lipan
mengerumuninya. Dia bisa merasakan sisi bawah monster lipan yang bergelombang seperti
telur ikan. Itu sungguh menjijikkan.
"Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh?!"
Dia tidak tahan lagi, monster lipan itu terlalu menjijikkan, terlebih lagi tubuh bagian bawahnya.
Haruhiro meronta-ronta. Bukan hanya tangan dan kakinya…. seluruh tubuhnya bergerak
dengan liar.
Dia ingin melarikan diri dari kenyataan ini. Benjolan-benjolan mirip telur ikan itu sungguh
menjijikkan, dia tidak tahan lagi.
Berapa banyak monster lipan itu? Apakah semuanya punya benjolan seperti itu?
Ini tidak nyata, ini hanyalah mimpi buruk.
Dia merasa seperti akan pingsan. Dia berharap bisa pingsan. Mungkin kalau pingsan, dia akan
kembali ke kenyataan.
Saat bangun nanti, dia ingin mengatakan, ’Aku pulang’, kemudian seseorang menanggapi
’Selamat datang kembali’. Tak peduli siapapun yang mengatakan itu, yang penting dia terbebas
dari benjolan-benjolan itu.
Ada sesuatu yang melilit pergelangan kaki kirinya. Apakah itu tentakel monster gurita setengah
laba-laba?

82
Dia tidak bisa melihatnya, jadi dia tidak tahu. Benjolan-benjolan monster lipan itu terus
mengganggunya. Ini semua salah lipan-lipan itu, sungguh terkutuk mereka.
"Obuhobuhobuh!" sembari mengerang, akhirnya dia bisa melepaskan kakinya dari jeratan
tentakel itu dengan menendangnya. Kalau dia membiarkan tentakel itu menariknya, maka
habislah semua.
"Tidak, ini aku Haruhiro… ini aku!"
Dia tidak bisa melihat karena pandangannya terhadang kerumunan monster lipan, tapi dia bisa
mendengar suara tersebut. Itu adalah suara si jangkung, Kuzaku. Jadi, lilitan di kakinya bukan
dari tentakel? Apakah Kuzaku yang menariknya? Ataukah, jangan-jangan monster gurita
setengah laba-laba itu bisa meniru suara Kuzaku, sehingga dia tertipu? Apapun mungkin terjadi
dalam situasi seperti ini.
Dia tidak bisa berpikir dengan tenang karena benjolan-benjolan lipan itu sungguh menjijikkan.
Kalau ini hanyalah mimpi buruk, maka apakah suara mirip Kuzaku itu juga tidak nyata?
Kalau itu benar-benar monster yang meniru suara Kuzaku, maka celakalah dia. Tapi entah
kenapa, dia tidak sanggup lagi menahan tarikan di kakinya itu. Mungkin ini akibat gangguan
dari monster lipan itu.
Perlahan-lahan, Haruhiro membiarkan dirinya tertarik.
Wah, hiah, kwah, oh, eah, gwana, nia, zwahh! kerumunan monster lipan mengeluarkan suara
yang mengganggu. Suaranya cukup kecil, namun terdengar seperti bisikan-bisikan yang aneh
di telinganya. Dan itu sangat mengerikan. Mungkin efek suara itu juga disebabkan oleh
benjolan-benjolan mirip telur ikan itu.
Mungkin aku belum pernah merasakan takut sebesar ini, Haruhiro hanya bisa pasrah. Inikah
yang disebut ketakukan yang sebenarnya? Hanya karena benjolan? Ah, terserah lah, aku tidak
peduli lagi. Aku ingin melepaskan diri sejauh mungkin dari benjolan ini. Kumohon, lepaskan
aku. Aku tidak ingin lagi merasakan sensasi ini. Kalau terus-terusan seperti ini, aku bisa gila.
Tiba-tiba pergelangan kaki kirinya dilepaskan oleh tarikan itu.
Haruhiro tidak lagi diseret, tapi bagaimana dengan monster-monster lipan itu?
Hah…. Apa yang terjadi… kumohon, tolong aku….
"Haruhiro! Bertahanlah!"
Ya.
Aku akan coba bertahan.
Haruhiro menggunakan sisa-sisa kekuatannya untuk bertahan.
Kemudian, benjolan-benjolan itu terlepas dari tubuh Haruhiro satu per satu. Wajahnya
dibersihkan terlebih dahulu agar dia merasa lebih baik.
Ternyata, itu benar-benar suara Kuzaku. Syukurlah.
Kuzaku tidak hanya membersihkan monster-monster lipan itu dari tubuh Haruhiro, tapi dia
juga menyeretnya ke karang terdekat, lalu memberikan pertolongan pertama. Dia membuang
lipan-lipan itu, menginjaknya, dan menusuk yang berusaha kembali mendekat dengan Katana-
nya.
Tak lama berselang, lipan-lipan itu sudah bersih dari tubuh Haruhiro.

83
Andaikan saja Kuzaku tidak datang menolong, apa yang akan terjadi padanya? Sebenarnya
lipan-lipan itu tidak melakukan hal yang berbahaya, mereka hanya mengerumuni Haruhiro,
mendesaknya dengan benjolan-benjolan mirip telur ikan, dan mengeluarkan kebisingan yang
mengganggu. Sejauh ini sih, hanya itu yang mereka lakukan. Tapi itu sudah cukup membuat
Haruhiro tersiksa. Dia bahkan hampir gila.
Kuzaku adalah penyelamatnya. Dia bersyukur. Sangat bersyukur. Dengan cara apa dia harus
mengucapkan terimakasih? Apapun itu, tidak akan cukup.
"Haruhiro!" Kuzaku melompat padanya dengan wajah begitu menyeramkan seperti iblis. Lalu,
sia memeluknya erat-erat. "Kau baik-baik saja, kan?! Haruhiro! Haruhiro! Haruhiro?!”
Haruhiro coba mengangguk. Tapi, apakah dia bisa melakukannya? Dia sendiri tidak yakin,
karena tenaganya terkuras begitu banyak. Yahh, setidaknya dia sudah mencobanya. Tapi
sepertinya, rahangnya bergerak naik-turun. Pandangannya segera memburam.
"Haruhiro?! Bertahanlah?! Kenapa kau menangis?! Apakah ada yang sakit?”
Bukan. Dia menangis bukan karena terluka parah, namun air matanya tidak berhenti meluap.
Haruhiro coba mengusap air matanya. Tangannya gemetaran. Apakah dia dalam keadaan syok?
Seluruhnya badan terasa lemas.
"... Semuanya?" bisiknya.
"Oh! Iya! Haruhiro, bisakah kau berdiri?!”
Dengan bantuan Kuzaku, Haruhiro coba mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk bangkit.
Tubuhnya terasa agak mati rasa. Kakinya gemetaran. Kepalanya pusing, dan air mata tidak
kunjung berhenti mengucur. Namun, kelopak matanya tidak mau terbuka. Mungkin itu karena
dia trauma oleh sensasi lipan-lipan itu yang sangat menjijikkan.
Shihoru.
Mary.
Setora.
Dan Kiichi. Dimana mereka semua?
"Uh oh, kita terpisah cukup jauh!" teriak Kuzaku.
Tampaknya Kuzaku tahu posisi rekan-rekan lainnya, dan mereka tidak berada di dekat sini.
Haruhiro masih belum mengetahui apapun.
Apa ini? Rasanya menyakitkan. Aneh. Aku tidak bisa bernapas dengan benar. Seolah-olah aku
tidak bisa menghirup udara. Jantungku berdegup kencang. Apakah aku akan mati? Tidak,
tidak, jangan sekarang. Aku tidak boleh mati sekarang.
Dia berhasil memaksakan kalimat terucap dari mulutnya, "Pergi ... Kuzaku ... pergilah ... cari
mereka…… cari Shihoru ... dan yang lainnya..."
"Tidak, tapi Haruhiro, kau sepertinya ..."
"Pergi! Cepat! Aku akan mengikutimu!!"
“Baiklah kalau begitu, kau harus tetap bersamaku, oke?”
Kuzaku mulai berlari. Haruhiro coba mengikuti. Tetapi dia masih kesulitan berjalan. Napasnya
juga tidak lancar. Kakinya tidak stabil, jalannya sempoyongan.

84
Atur napasmu… katanya dalam hati. Hirup….lepaskan…
Hirup…
Lepaskan….
Baunya wangi. Ohh ...
Kenapa baunya wangi?
Dia harus bergerak maju. Bagaimana dengan Kuzaku? Dimana dia? Dia tidak tahu
Belatinya. Di mana belatiinya? Di sana. Dia menjatuhkannya.
Haruhiro pun mengambilnya, kemudian apa? Bergerak maju? Dia merasa bergerak.
Akhirnya dia tiba di karang mirip semak-semak berwarna pink, di sini ada monster-monster
yang melompat padanya. Haruhiro segera menampiknya, kemudian terus melangkah maju….
tidak, mungkin hanya setengah langkah maju.
Lagi-lagi dia mencium aroma wangi.
Wangi sekali, bahkan terlalu wangi….aku jadi ngantuk.
Dia sangat ingin tidur.
Aku tidak boleh tidur. Apa yang akan terjadi jika aku tidur? Aku harus terus bergerak maju.
Kemana? Untuk apa aku bergerak maju? Aduh, ngantuk sekali. Apa yang aku lakukan?
Baunya wangi. Wangi sekali. Aku lelah.
Tanpa Haruhiro sadari, tiba-tiba dia jatuh telungkup. Dia harus bangun kembali.
Oh…tapi aku sangat mengantu….

Aku tidak bisa melihat wajah orang itu.


Tapi, sepertinya dia lelaki.
Postur tubuhnya seperti pria.
Aku di belakang pria itu.
Meskipun hanya melihat punggungnya, aku tahu apa yang dia lakukan.
Apakah di sana gelap? Sepertinya tidak begitu terang. Tapi juga tidak begitu gelap. Ini
seperti….entahlah…. sepia tone[2] mungkin? Sepertinya itu disebabkan oleh pencahayaan yang
kurang baik.
Pria itu berjalan.
Langkah kakinya tidak bersuara, seolah-olah dia menggunakan skill Sneaking.
Dia mengenakan pakaian tua seperti mantel berbulu, dan tubuhnya cukup besar.
Di tangan kanannya, yang terbungkus oleh sarung tangan wol, dia memegang sesuatu.
Sebilah pisau.
Itu terlihat seperti pisau yang biasa dibuat untuk mengukir. Atau, pisau penjagal daging.

85
Aku tahu ini di dalam rumah. Aku pun mengenal rumah ini.
Pria itu berjalan masuk sembari masih mengenakan sepatu kotornya. Tanpa memperhatikan
pintu di kanan, kiri, atau di kejauhan, dia terus menuju pintu di akhir lorong.
Mungkinkah ini rumahnya?
Tidak, sepertinya bukan ... tapi aku pernah melihat rumah ini sebelumnya.
Ya, aku tahu rumah ini.
Pria itu pun membuka pintu tersebut.
Bahkan ketika membuka pintu, dia sedikit sekali membuat suara.
Pria itu sangat berhati-hati, seperti seorang profesional.
Ketika pintu terbuka, aku mendengar suara.
Aku juga mengenal suara ini.
Kres, kres, kres, kres, kres! Itu suara seseorang sedang memotong sesuatu, mungkin sayuran.
Ya, benar juga…. itu suara seseorang sedang memotong sayuran dengan pisau.
Rumah ini memiliki dapur, ruang tamu, dan ruang makan yang saling terhubung.
Di ruang tamu, ada sofa yang tidak lagi baru, meja yang biasanya digunakan menjadi Kotatsu
[3]
di musim dingin, TV, tempat TV, dan lemari.
Ada mainan-mainan karakter, mangkuk bergambar, dan sejumlah foto yang dipajang di sana-
sini. Semuanya foto lama.
Sedangkan di ruangan makan ada meja makan, empat kursi, dan almari. Ruangan itu tidak
besar. Malahan, cukup kecil. Ada juga vas bunga di sudut ruangan makan. Bunganya sudah
tidak segar, dan kering. Kalau tidak salah, itu adalah Bunga Poinsettias [4].
Dapur menghadap ke ruang makan, di sana ada seorang wanita mengenakan celemek sedang
memasak. Mungkin dia sedang memasak makan malam, meskipun sudah agak larut.
Wanita itu belum memperhatikan kedatangan si pria.
Cepat.
Lihat dia.
Cepat.
Gawat. Jika kau tidak menyadari kedatangannya, mungkin sesuatu yang mengerikan akan
terjadi.
Aku ingin memperingatkannya. Aku akan melakukannya jika aku bisa. Tetapi aku tidak bisa.
Aku hanya bisa menonton.
Gerakan pisau wanita itu berhenti. Dia meletakkan pisau, kemudian berbalik.
Dia membuka kulkas, mengambil sesuatu dari dalam, lalu meletakkannya di meja makan.
Meskipun aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang dia ambil, tapi aku tahu bahwa
bentuknya seperti panci, kemudian dia pun membuka tutup panci itu.
Wanita itu akhirnya menyadari sesuatu, seolah berpikir, ’Oh, ternyata ada orang ya….’
Pria itu sudah memasuki ruang makan.

86
Saat melihatnya, wanita itu menjerit, "Ah!!" dia kaget dan ketakutan. Ya tentu saja kaget.
Pria itu sangat besar, tubuhnya bagai raksasa. Meskipun aku belum melihat wajahnya, aku ragu
dia seorang yang tampan. Wajahnya pasti juga mengerikan.
Terlebih lagi, pria itu memegang pisau penjagal daging di tangannya. Dia mengangkat
senjatanya sampai setinggi dada, dan siap menusukkannya kapan pun dia mau.
"Tidaaaak, tidaaaaaaaaaaaak!" teriak wanita itu.
Si wanita kebingungan, lalu dia bergerak mundur sembari menjatuhkan apapun di belakangnya,
seperti rice cooker, mixer, dan alat penyeduh kopi.
Si pria sama sekali tidak terganggu dengan barang-barang yang berjatuhan itu, dan terus
bergerak mendekati si wanita.
Wanita malang itu coba melarikan diri.
Tak lama berselang, dia terpojok di sudut dapur, dekat kulkas.
Dan benar saja, pria itu melakukan hal-hal yang mengerikan pada wanita yang sudah tidak
berdaya itu.
Dia menggunakan pisaunya untuk me*******nya, lalu dia ikat wanitu itu dengan ****** pada
lehernya.
Tapi, wanita itu masih bernafas. Bagaimana bisa? Mungkin kau penasaran. Itu karena si pria
menyiksa wanita itu dengan begitu hati-hati untuk memastikan dia masih hidup.
Setiap kali wanita itu berteriak, dia mengatakan, Ssst, sst! seolah-olah ingin membungkamnya.
Diam.
Diam.
Diam lah.
Jika kau berisik, pekerjaanku akan semakin sulit.
Kau mengerti, kan? Diam lah. Jangan membuat keributan.
Harusnya wanita itu tidak punya alasan untuk mematuhi peringatan si pria. Dia boleh saja
berteriak setiap kali pria itu menegurnya dengan berkata, Shh, shh! Namun, desisan mulut pria
itu sudah cukup membungkam si wanita dan membuatnya mengangguk dengan patuh.
Siksaan pria itu membuatnya merasakan sakit yang luar biasa, sampai-sampai dia tidak tahan
melepaskan jeritan. Namun, lagi-lagi ketika si pria menyuruhnya diam dengan mendesis, shh,
shh, wanita itu pun menaatinya. Wanita itu bagaikan mesin yang mentaati apapun perintah
pemrogramnya, hanya dengan mengirimkan sinyal saja.
Saat hendak teriak lagi, dia langsung menutupi mulutnya sendiri, sembari mengangguk dengan
patuh. Akhirnya dia pingsan, entah karena kehabisan darah, atau tidak kuasa menahan sakit.
Itu membuat pekerjaan si pria semakin mudah. Akhirnya, dia menusuk jantung wanita itu untuk
memastikan dia tidak pernah siuman.
Apa-apa’an yang dilakukan pria itu? Siapakah dia? Orang sekejam itu tidak layak disebut
manusia. Namun, penampilannya juga tidak layak disebut manusia. Lihatlah …. dia memakai
sarung tangan wol, membawa pisau penjagal, otot-otot bisepnya tidak wajar, dadanya begitu
kekar…. sungguh aneh pria ini.

87
Aku tidak bisa melihat wajah pria itu. Tapi aku yakin sangat aneh.
Aku mulai merasa mual.
Bisa-bisanya dia membunuh wanita itu?
Aku kenal wanita itu. Sekarang jasadnya sudah berbuah menjadi potongan-potongan daging.
Meskipun begitu, aku masih mengenalinya. Dia terbaring bersimbah kolam darah, dan
dikelilingi oleh serpihan-serpihan daging segar.
Aku kenal dia dan aku tahu rumah ini.
Pria itu membunuhnya.
Tapi kenapa dia harus melakukan hal sebrutal itu? Tidak bisakah dia membunuhnya dengan
wajar saja?
Pria itu menyeka pisau jagalnya dengan mantel yang bernodakan darah, lalu meninggalkan
dapur. Seperti saat datang, dia berjalan hampir tanpa suara, namun dia masih sempat
bersenandung dengan riang.
Dia menyanyikan lagu yang kutahu.
Aku pernah mendengarnya sekali, atau mungkin beberapa kali. Aku pernah mendengarnya
dulu sekali…. tidak di sini.
Aku tidak tahu judulnya, dan aku hampir tidak ingat liriknya. Mungkin itu lagu jadul yang
sempat populer. Apapun itu, nada-nadanya terus menempel di kepalaku, dan sangat sulit
kulupakan.
Pria itu mengulang-ulang lagunya berkali-kali, dia bersenandung sendiri sembari keluar dari
ruang makan menuju ke ruang tamu. Lalu, dia lewat pintu yang masih terbuka, dan berjalan
melintasi lorong.
Pria itu berhenti.
Dengan mengendap-endap, dia membuka pintu di sebelah kanannya. Darah menempel pada
gagang pintu itu.
Saat pintu itu dibuka, dia mendapati sebuah kamar yang gelap di dalamnya. Ada ranjang,
cermin, dan rak buku. Itu adalah ruangan tidur. Tidak ada seorang pun di sana.
Pria itu sedikit menutup pintu, dan membiarkan sedikit terbuka. Lalu, dia pergi begitu saja.
...Tidak.
Ada pintu lain di sebelah kanan.
... tidak.
Lorong ini.
Ruang tamu ini.
Ruang makan ini.
Dan dapur….
Aku mengenal semuanya.
Pria itu berhenti bersenandung, lalu meraih gagang pintu.

88
...berhenti.
Dia memutar kenop pintu.
... kumohon, berhentilah.
Terdengar suara klik, dan kenop pintu pun berputar. Perlahan-lahan, dia buka pintunya.
Lampu menyala. Ada banyak benda di dalam ruangan itu, namun tidak begitu rapih. Ada
almari, meja, kursi, dan ranjang yang berisikan: handuk, pakaian, potongan-potongan kertas,
dan buku catatan berserakan secara acak. Ini adalah kamar seorang gadis yang kukenal. Tak
banyak orang yang pernah memasuki kamar ini, antara lain keluarganya, dan ibunya, yaitu si
wanita yang barusan dibunuh dengan brutal.
"Ibuku selalu mengomeliku untuk bersih-bersih," gadis itu pernah berkata demikian padaku,
saat aku mampir ke sini untuk mengembalikan barang yang kupinjam.
"Yah, aku mengerti kok…. toh, ruangan ini memang berantakan…" aku ingat pernah
menjawab begitu.
"Maksudmu kotor, kan?" tanyanya.
"Yahh, aku hanya bilang berantakan."
"Tapi itulah yang kau maksud."
"Yahh….begitulah."
"Aku akan membersihkannya dengan cepat," katanya, sembari menyibak, memindahkan, lalu
menumpuk berbagai barang ke sudut ruangan.
Dia hanya menyisihkan benda-benda itu. Kalau kau lihat ke sudut ruangan, maka tempat ini
tidak bisa dibilang bersih.
"Lihat….bersih, kan. Aku bisa melakukannya kalau aku mencoba dengan sungguh-
sungguh…" katanya dengan sedikit bangga.
Itu konyol sekali, aku tidak bisa menahan tawa.
Dia pun marah. "Apa?" katanya, kemudian dia memukul bahuku dengan ringan.
Saat ini, gadis itu sedang terbaring di ranjang dengan sedikit meringkuk.
Matanya terbuka.
Dia tidak tidur, tapi dia belum memperhatikan ada pria mengerikan yang menyusup ke
kamarnya.
Mungkin itu karena dia sedang memakai earphone peredam kebisingan, sembari menonton
video di smartphone-nya.
Hentikan……
Kumohon…..
Hentikan…..
Pria itu diam-diam merayap ke arahnya.
Aku bisa mendengar sedikit suara dari earphone-nya.

89
Akhirnya, gadis itu menyadari kedatangan si pria, namun dia tidak terlalu memperhatikannya,
mungkin dia hanya melihat kakinya saja yang mendekat. Dia menelan ludahnya, dan tubuhnya
mulai gemetaran. Dia melompat berdiri, sembari melepas earphone dari telinganya. Matanya
melotot tajam saat melihat pria itu.
"Apa?!"
Sepertinya si gadis hendak berteriak sekencang-kencangnya, namun pria itu segera
membungkam mulutnya dengan sarung tangan wol yang masih bayah kuyup oleh darah ibunya.
Pria itu memiliki tangan yang besar. Sarung tangan wol sebesar itu pasti sulit didapatkan di
toko, jadi mungkin dia menenunnya sendiri. Dia pun membungkam mulut gadis itu dengan
begitu mudah.
Sarung tangan kiri pria itu yang berlumuran darah begitu pas mencakup bagian bawah wajah
si gadis malang. Kepalanya sangat kecil jika dibandingkan dengan telapak tangan pria itu.
Sampai-sampai, gadis itu terlihat seperti boneka mainan.
...Hentikan.
Kalau mood-nya sedang buruk, mungkin pria itu tidak akan repot-repot membunuh si gadis.
Remukkan saja kepalanya, maka tamatlah riwayat si gadis. Dan itu bukanlah hal yang mustahil.
...Tidak.
Si gadis meneriakkan sesuatu, dan menangis.
Sst, sst! Pria itu menyuruhnya diam seperti sebelumnya.
Namun tidak seperti ibunya, gadis itu tidak berhenti meronta.
Mudah membayangkan apa yang akan dilakukan pria itu. Aku ingin sekali menghentikannya.
Ingin kurangkul kakinya, lalu memohon padanya untuk mengampuni kami.
Kumohon…jangan bunuh dia….kumohon.
Aku masih ingat nama gadis kecil itu.
Dia lah Choco.
Choco menggunakan kedua tangannya untuk coba melepaskan tangan kiri pria itu dari
kepalanya, tetapi dia bahkan tidak bergerak seinchi pun. Dia terlalu kuat.
Tidak...
Tidak.
Tidak.
Tidak.
Tidak.
Tidak.
Tidak.
Tidak.
Shh, shh, pria itu memerintahkan Choco untuk membungkam mulutnya sendiri, kemudian dia
mengangkat pisau penjagal, lalu mengayunkannya turun.

90
Pisau itu menembus bahu kiri Choco dengan begitu mudahnya, seperti memotong mentega.
Pakaiannya pun terbelah, beserta kulit, daging, bahkan tulang selangka. Semuanya tertembus
dengan begitu lembutnya oleh pisau itu.
Kepanikan dan tangisan Choco semakin menjadi. Lagi-lagi pria itu menyumpali mulutnya
dengan tangan besarnya yang terbungkus sarung tangan wol bersimbah darah.
’SAKIIT!! SAKIIT!! SAKIIT!! SAKIIT!! SAKIIT!! SAKIIT!! SAKIIT!! SAKIIT!!
SAKIIT!! SAKIIT!! SAKIIT!! SAKIIT!!’ pekik Choco.
Hentikan.
Hentikan.
Hantikan.
Hentikan.
Pria itu menoleh ke samping.
Dia tidak akan berhenti.
Dia tidak akan berhenti.
Dia tidak akan berhenti.
Dia tidak akan berhenti.
Tidak mungkin dia berhenti.
Sst, sst! sembari mendesiskan itu, dia menarik pisau penjagal dari tubuh Choco yang sudah
hampir terbelah. Tapi itu hanya sementara. Kemudian dia menebaskan pisaunya sekali lagi
secara horizontal pada gadis kecil itu.
Choco menjerit dan memekik kesakitan.
Saat dia menarik pisau penjagal itu lagi, sesuatu yang mirip selang terhambur keluar dari perut
Choco. Nampaknya itu jerohannya. Tersembur juga darah dari luka di pundak kiri Choco,
matanya melotot, dan pupilnya bergulir ke atas.
Sst, sst! lagi-lagi pria itu menyuruhnya diam. Namun, aku bisa membaca kalimat yang ingin
dikatakan pria itu, seperti: ’Hei, hei, jangan pingsan dulu…bertahanlah…aku belum selesai,
nih….’ Dan benar saja, dia menarik pisaunya, lalu menghujamkannya lagi dan lagi. Dia
melakukan itu sembari menyumpal mulut, dan mencengkram kepala Choco agat tetap diam di
tempat.
Jika dia tidak melakukan itu, mungkin Choco sudah terkapar di lantai.
Akhirnya Choco sudah tidak sanggup lagi berdiri, dia merosot jatuh ke ranjangnya, yang
dipenuhi darah dan serpihan jerohannya. Namun pria itu belum puas, dengan tangan kirinya
dia angkat kepala Choco seperti seorang pemancing yang memamerkan ikan tangkapannya.
Dengan posisi seperti itu, dia cincang Choco. Dia potong dagingnya sebanyak yang dia mau.
Ini sungguh biadab.
Kau bukan manusia. Kau monster. Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu pada seorang
gadis kecil tak berdaya?
Hentikan. Hentikan.

91
Tapi sudah terlambat. Sangat terlambat.
Choco sudah ...
Choco?
Choco siapa?
Siapa kau?
Kau ini apa?
Pria itu berbalik.
Akhirnya, aku bisa melihat wajahnya.
Pria itu….
Dia adalah….
Aku.
Wajah pria itu mirip denganku.

92
Bab 13
Jalan Lain

"Ungh ..."
Haruhiro terbangun dengan rasa sakit yang begitu dalam di kepala, seakan terkena benturan
keras…. ah tidak juga, tubuhnya pun nyeri semua seperti habis terbanting dari suatu tempat
yang tinggi.
Apakah dia barusan tidur? Ya, beberapa saat yang lalu dia terbaring pada pasir putih.
Sepertinya dia barusan mengalami mimpi buruk.
Atau lebih tepatnya, mimpi yang mengerikan.
Namun, dia tidak bisa mengingat apapun dari mimpi itu. Lagipula, ada hal lebih penting yang
harus diingatnya daripada memikirkan mimpi mengerikan itu.
Ada kaki seseorang yang muncul tepat di depan hidung Haruhiro yang masih tergeletak di pasir
putih. Orang itu mengenakan sepatu bot panjang, dan pakaiannya menyerupai jas hujan.
Mungkin jas hujan itu awalnya berwarna merah, namun sekarang begitu kotor, sehingga
terdapat pola bintik-bintik berwarna coklat muda dan coklat tua padanya. Secara umum,
warnanya berubah menjadi merah tua.
Orang itu memegang alat yang tampak seperti sekop. Pegangannya agak panjang, dan ada mata
pisau yang berbentuk mirip sendok di ujungnya. Warnanya gelap, dan sudah penyok-penyok.
Tetapi, Haruhiro cukup yakin bahwa alat itu biasa disebut sekop.
"Kuh!" orang itu mengayunkan sekop dengan kekuatan yang luar biasa.
Duk! orang berjas hujan itu mengetuk sesuatu dengan sekopnya.
"Ah ..." kata Haruhiro secara refleks.
Orang itu memandang Haruhiro dengan tatapan setajam pisau. "Minggir!"
Kerudung jas hujan menutupi wajah bagian atas, dan ada semacam kain hitam yang melilit
wajah bawahnya. Sehingga, hampir mustahil bagi Haruhiro mengetahui seperti apakah wajah
orang itu. Namun, jika dinilai dari suaranya barusan, sepertinya orang ini bukanlah om-om
kekar berwajah sangar. Malahan, mungkin saja dia wanita.
Apapun itu, lebih baik sekarang Haruhiro menuruti apa yang diminta oleh orang itu.
Sebut saja di Si Jas Hujan.
Si Jas Hujan tidak berdiri di sana sendirian.
Ada seorang pria besar di depan Si Jas Hujan, tubuhnya begitu tinggi menjulang.
"Tidak mungkin….." selama beberapa saat, Haruhiro kehabisan kata.
Pria itu mengenakan mantel yang tidak kalah kotor dari Si Jas Hujan. Dia mengenakan sarung
tangan wol, dan memegang sebilah pisau berbahaya yang tampaknya biasa digunakan untuk
menjagal daging. Dia mengayunkan pisau penjagal itu dengan keras pada Si Jas Hujan.
Haruhiro melompat dengan sempoyongan.

93
"Kuh!" namun Si Jas Hujan segera menangkis pisau penjagal itu dengan sekopnya.
Itu membuat Haruhiro mundur selangkah-dua langkah karena kaget. Bagaimana bisa orang
sekecil itu menangkis serangan om-om yang mungkin saja badannya bahkan lebih besar
daripada Kuzaku.
Tidak hanya postur tubuhnya yang tinggi menjulang… dada, bahu, dan lengan pria itu pun
begitu tebal. Badan seorang manusia tidak akan tumbuh sebesar itu, tak peduli sekeras apapun
dia berlatih. Dia jelas-jelas bukan manusia normal, atau mungkin…. dia berasal ras lain, atau
makhluk humanoid?
Apakah dia Orc atau semacamnya?
Haruhiro begitu terganggu dengan keberadaan pria itu. Namun anehnya, Haruhiro sendiri tidak
tahu mengapa dia begitu resah.
Akhirnya, dia mendapatkan sudut yang pas untuk melihat wajah pria besar itu.
Saat Haruhiro mengintipnya…
Sulit dipercaya…..
Tidak jelas apakah karena tipuan mata, atau otaknya yang belum berfungsi dengan benar….
tapi yang jelas, dia mengenali pria itu.
Haruhiro pernah melihat pria itu. Bahkan melihatnya setiap hari.
"... Kenapa dia…mirip denganku?" bisik Haruhiro.
Sebenarnya pria itu tidak punya rambut, atau dengan kata lain botak. Dia juga tidak punya alis,
dan wajahnya sepucat mayat. Sehingga, pada saat pertama kali Haruhiro meliriknya, dia sempat
merasa ragu mengenali pria itu. Namun, tak peduli dilihat berapa kali pun, raut wajah pria besar
itu tidak berbeda dengan wajahnya sendiri.
"Itu karena ...!" Si Jas Hujan mengangkat sekopnya sembari berteriak. Lalu, dia mengayunkan
sekopnya secara diagonal pada pria raksasa itu. Gerakannya cukup cepat. "... kau barusan saja
memimpikannya!!”
Pria berwajah mirip Haruhiro itu mendadak terkejut, dia tidak bisa menghindari tebasan sekop
itu, sehingga terpaksa harus menahannya dengan tangan kiri.
Namun dia gagal. Lengan kiri pria itu terpotong begitu telak sampai sebatas siku.
Lengan sebesar itu terpotong dengan begitu mudahnya?? Serius, nih? Setajam apakah bilah
sekop itu? Sebanyak apa Si Jas Hujan itu mengasah sekopnya?
Lengan kiri pria raksasa itu jatuh ke tanah berpasir. Potongan tangan kirinya menggeliat. Darah
merah segar mengucur dari lengan kirinya yang masih tersisa.
Pria raksasa itu mundur.
Si Jas Hujan memegang sekopnya dengan sigap, lalu menoleh pada Haruhiro. "Pria itu adalah
monster yang kau ciptakan dengan mimpimu sendiri. Insting-mu boleh juga.”
"Aku sama sekali tidak paham apa yang kau katakan."
"Tentu saja tidak paham. Sepertinya kau orang baru.”
Sementara mereka berdua berbicara, pria besar itu mundur perlahan, lalu pergi begitu saja.
Si Jas Hujan tidak mengejarnya. "Lari, ya? Yah, terserahlah….”

94
Dia memanggul sekopnya, sembari mendesah.
Lengan kiri pria raksasa itu masih menggeliat di tanah.
Sebelum Haruhiro tertidur, ada banyak monster yang mengerumuninya. Kemana kah mereka
sekarang?
Mereka sudah pergi. Di sini sangat sunyi.
Ada makhluk kecil yang bergerak-gerak dari balik karang-karang pink yang mirip semak
belukar itu. Sekilas, sosoknya terlihat putih. Dia tidak merasakan keberadaan makhluk lainnya.
Angin pun tidak berhembus di sini.
Akhirnya, Haruhiro menyadari bahwa dia tidak lagi mencium aroma wangi seperti sebelumnya.
Si Jas Hujan mulai melangkah.
"... U-Um!" Haruhiro segera memanggilnya.
Si Jas Hujan terus berjalan beberapa langkah tanpa mempedulikan panggilannya. Saat Haruhiro
berpikir, Kau mengabaikanku, ya? tiba-tiba dia berbalik, seakan terganggu oleh keberadaan
Haruhiro.
"Apa?"
"Uh ... yahh….gak ada apa-apa, sih…. tapi… dimanakah aku berada?”
"Parano."
"Itukah ... nama tempat ini?"
"Aku juga tidak tahu. Tapi mereka menyebutnya Parano."
“Apakah ini dunia semacam Grimgar, Darunggar, atau Dusk Realm? Apakah ini dunia lain?"
"Aku sungguh tidak tahu, tapi sepertinya kau benar. Ya…anggap saja kau sedang berada di
dunia lain.”
"Dunia lain ..."
Hal pertama yang terlintas di pikiran Haruhiro saat mendengar istilah itu adalah akherat.
Apa itu akherat?
Oh iya.
Dunia orang yang sudah mati.
"...Hah? Jadi aku sudah mati ...?”
"Mungkin." Si Jas Hujan tertawa sengau. "Kalau begitu, mungkin semua orang di sini sudah
mati. Akhirat, ya? Hmm….bisa jadi…bisa jadi.”
"... Apakah hanya aku yang terlempar ke sini?" dia memberanikan diri menanyakan itu.
“Bagaimana dengan rekan-rekanku? Oh iya. Ummm, aku tidak sendirian ... Kuzaku, Shihoru,
Mary, dan Setora. Kurasa, aku bersama keempat orang itu sebelumnya. Oh, seharusnya ada
juga seekor Nyaa. Apakah kau tahu dimanakah mereka berada?"
"Mereka mungkin sudah di sini. Mungkin juga tidak. Ada bintang jatuh, kemudian terjadi
keributan besar. Mungkin mereka dilahap oleh monster mimpi. Tapi mungkin juga mereka
sudah melarikan diri. Aku tidak tahu."

95
"Hey, aku bertanya dengan serius ..."
"Lalu? Aku wajib memberikan jawaban yang serius pula? Mengapa? Berikan alasannya."
"Alasannya adalah ... Oke, mungkin kau tidak harus menanggapiku dengan serius, tapi ..."
Haruhiro menundukkan kepalanya.
Lengan kiri pria raksasa itu masih belum berhenti menggeliat. Apakah masih hidup?
Mengerikan… bagaimana bisa pria itu berwajah sama dengannya.
Belati Haruhiro terbaring di tanah berpasir. Dia mengambilnya, kemudian menguji seberapa
erat cengkeramannya. Itu adalah belati buatan Dwarf.
Mungkin tempat ini bukanlah akhirat yang dia maksud.
"Tidak," gumamnya. "….tidak apa-apa ..."
"Hei, kau," kata Si Jas Hujan.
"Uh ... ya?"
"Sini."
Tentu saja nama orang ini bukanlah Si Jas Hujan. Itu hanyalah nama karangan Haruhiro agar
lebih mudah memanggilnya.
Orang itu mengeluarkan sesuatu, kemudian melemparkannya dengan ringan pada Haruhiro.
Benda itu jatuh tepat di dekat Haruhiro. Itu adalah kain kehitaman, yang disambung dengan
seutas tali.
"Masker?" tanya Haruhiro.
"Ya. Sebaiknya kau pakai itu. Jika tidak, kau akan tertidur setiap kali angin berhembus.”
"Tertidur ... ketika angin berhembus?"
“Angin Parano yang wangi. Jika kau terlalu banyak menghirup angin wangi itu, kau akan
mengantuk. Dan jika kau tertidur, maka kau akan bermimpi. Asal tahu saja, setiap mimpi yang
kau lihat di Parano akan menjadi nyata."
Sementara masih diragukan oleh perkataan Si Jas Hujan, Haruhiro menyarungkan belatinya,
lalu berjongkok untuk mengambil masker itu. Masker itu terbuat dari jahitan kain yang ternyata
lebih tebal daripada yang dia duga sebelumnya. Pasti itu masker buatan tangan.
"Pria besar yang tadi itu…." katanya dengan ragu-ragu. "Aku melihatnya di mimpiku ... kau
bilang dia adalah monster mimpi, iya kan?”
“Sebelum bintang jatuh, angin selalu berhembus. Orang-orang sepertimu sering muncul
dimana bintang jatuh.”
"Bintang ..." Haruhiro coba memakai masker itu. Dan benar saja, kain tebal masker itu
membuatnya susah bernapas.
"Sesak ya…nanti juga terbiasa," kata Si Jas Hujan, seolah membaca pikirannya.
Haruhiro menundukkan kepalanya. "Terima kasih."
Si Jas Hujan melambaikan tangan padanya, yang menandakan bahwa dia tidak memerlukan
ucapan terimakasih dari Haruhiro.
Haruhiro melanjutkan, "Erm ..."

96
"Apa?" Si Jas Hujan merespons tanpa menoleh padanya.
"Kau….juga bukan orang sini, kan?"
"Bukan."
"Jadi…sudah berapa lama kau di sini?"
"Gak tahu."
"Gak tahu?"
“Di Parano, kau tidak perlu tidur. Bahkan kau tidak merasa ngantuk. Kecuali kau menghirup
angin wangi itu.”
"Tidak perlu tidur?" tanya Haruhiro.
"Kau masih merasakan lapar dan haus, tapi meskipun tidak makan dan minum, kau tidak akan
mati.”
"Tunggu ... kita masih merasakan lapar, tapi tidak perlu makan? Itu berarti…..”
"Kau akan tahu nanti."
"Bagaimana dengan pagi dan malam hari?"
“Bisa dibilang ada, bisa juga tidak. Pokoknya, sangat sulit menentukan waktu di sini.
Sepertinya kita tidak pernah menua di Parano.”
"Tidak pernah….menua?"
"Aku sudah tidak lagi merasakan kepekaan waktu di sini. Jadi, sebenarnya aku tidak begitu
paham, apakah kita benar-benar tidak menua.”
Mungkin aku sudah mati, Haruhiro mulai berpikir demikian. Setidaknya, aku yakin kita tidak
sedang berada di Grimgar. Namun, tempat ini terlalu berbeda dari dunia lain yang selama ini
pernah kukunjungi. Apakah ini benar-benar dunia lain?
Si Jas Hujan memanggul sekopnya, sembari terus berjalan dengan langkah yang halus. Sekop
itu tampak tua. Mata pisaunya sungguh tajam, namun tidak hanya bagian itu yang terbuat dari
logam, pegangannya juga. Terlihat banyak bercak-bercak karat di sana-sini. Hampir seluruh
bagiannya menghitam dan kasar.
Kalau diamati lebih dekat, terlihat retakan-retakan pada gagang maupun bilahnya. Jauh di
dalam retakan itu, terlihat ada zat merah mengkilap yang mengintip. Sudah pasti itu bukan
logam, mungkin itu adalah daging binatang atau semacamnya. Lalu, apakah benda itu benar-
benar sekop?
Lagipula, mengapa dia terus memakai jas hujannya?
Si Jas Hujan tampaknya sudah tidak asing dengan Parano, dan dia tahu bagaimana cara
bertahan hidup di sini. Cara bicara orang itu tidak begitu sopan, namun dia telah berbaik hati
dengan memberikan masker itu pada Haruhiro, agar melindunginya dari angin yang wangi.
Tampaknya, Haruhiro akan baik-baik saja selama dia ikut bersama Si Jas Hujan ini.
Bagaimana dengan yang lainnya. seketika, dia memikirkan nasib teman-temannya. Haruskah
dia kembali untuk mencari mereka?
Saat berjalan, tiba-tiba dia berbalik. Lalu, Haruhiro menjerit aneh, "Wuh!"
Lengan pria raksasa itu masih di sana.

97
Akhirnya dia menyadari sesuatu….mengapa lengan itu masih saja menggeliat, padahal si pria
raksasa telah melarikan diri? Tidak hanya menggeliat, bahkan potongan lengan itu merangkak
mendekati Haruhiro dan Si Jas Hujan. Bagaimana bisa lengan yang sudah terpotong bisa
bergerak dengan sendirinya?
"A-Apa ..."
... apa yang harus kita lakukan sekarang?
Mengabaikan Haruhiro yang bingung, Si Jas Hujan berbalik, kemudian menginjak lengan pria
raksasa itu begitu saja. Lengan kiri itu menggeliat seperti ikan yang barusan mentas dari
perairan. "Yah, kau sungguh bersemangat. Mungkin aku bisa mencuri Insting-mu.”
"Mencuri ... Insting?"
"Ayo kita coba."
Si Jas Hujan membalikkan mata pisau sekopnya ke bawah, dan menggenggam pegangan
dengan tangan kanannya. Dia mengangkat sekop itu, lalu menghujamkannya pada tangan kiri
pria raksasa yang masih menggeliat di tanah.
Jleb, jleb, jleb, jleb! dia menusuk-nusuknya beberapa kali.
Itu hanyalah lengan kiri yang sudah terputus dari badannya, namun Haruhiro tidak tega melihat
apa yang dilakukan Si Jas Hujan padanya. Mungkinkah karena lengan itu milik seseorang yang
wajahnya mirip dengannya? Ada hubungan apa Haruhiro dengan orang itu? Ataukah
sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa? Yahh…mungkin saja ada, walaupun hanya sedikit.
Lengan kiri pria raksasa itu akhirnya berhenti menggeliat. Dengan daging dan tulang yang
sudah terkoyak semua, tidak mungkin lengan itu bisa bergerak lagi.
"Hmm ..." kata Si Jas Hujan. "Mungkin Insting-ku sudah sedikit bertambah. Aku sendiri tidak
yakin.”
"Um, Jas Hujan-san?"
"'Jas hujan'?"
“... Eh, maaf. Aku tidak tahu namamu ... Aku Haruhiro.”
"Aku Alice C," kata Alice, sembari menyebut dirinya sendiri dengan maskulin. [5]
"C?" Haruhiro mengulanginya.
“Mereka menyebutku begitu. Panggil saja aku Alice."
"Alice ..." Haruhiro memiringkan kepalanya ke samping dengan bingung.
Alice? Kenapa seperti nama cewek? Jadi, orang ini perempuan? Suaranya sih seperti suara
cewek.
Ada sesuatu yang aneh dengan nama itu. Pokoknya, ada yang tidak benar.
Alice menggunakan kata yang maskulin untuk menyebut dirinya. Apakah Haruhiro telah salah
sangka? Jadi, Si Jas Hujan ini adalah pria?
Haruhiro mengamati wajah Alice. Mungkin itu tidak sopan, namun dia tidak lagi bisa menahan
rasa penasarannya. Tudung jas hujan menutupi kepala Alice, dan masker membungkus bagian
bawah wajahnya. Haruhiro hanya bisa melihat matanya, yang mana membuatnya ragu bahwa

98
orang ini bergender pria. Bahunya ramping, dan mungkin dia lebih pendek 10 cm daripada
Haruhiro. Kepalanya pun kecil. Pokoknya, orang ini mungil sekali.
"Eh ... maaf," kata Haruhiro. "Sejak awal, kurasa kau adalah wanita, tapi ... "
"Oh. Tidak masalah."
"Tidak, tapi ... Ah, baiklah kalau begitu ..."
"Pria, wanita, apa sih bedanya?"
"Yah, kurasa ... kau benar juga ...?"
"Haruhiro," kata Alice.
"...Hah?"
"Selamat datang di Parano." mata Alice menyipit. Mungkin dia sedang tersenyum.
Haruhiro sungguh ragu.
Mungkin ini benar-benar mimpi ...?

99
Bab 14
Kesamaran Diriku Dan Dirimu

Setelah meninggalkan area di mana karang-karang merah muda berkerumun seperti semak
belukar, mereka sampai ke kaki Bukit Kaca.
Bukit Kaca, sesuai namanya, bukit itu tersusun oleh tumpukan batu keras yang tembus
pandang. Menurut Alice, batu-batu mirip kaca itu keras namun rapuh. Jika salah pijak, bisa-
bisa kau terperosok ke dalamnya. Dan jika bebatuan tersebut meruntuhimu, itu juga berbahaya,
karena tidak ringan. Setidaknya mereka bisa menderita luka parah, atau bahkan kematian.
Mereka hanya berjalan menyisir di pinggiran Bukit Kaca. Rasanya mereka telah berjalan cukup
lama, namun tidak ada yang pasti di tempat ini, bahkan kau sudah tidak bisa membedakan
waktu.
Langkah kaki Alice membekas di tanah berpasir. Haruhiro berusaha tidak menginjak jejak itu.
Kalau tidak, jejak langkah kakinya akan tertumpuk dengan milik Alice. Dia lebih suka
meninggalkan dua pasang jejak langkah kaki, untuk menandakan beberapa orang pernah
melewati tempat ini.
Sesekali dia mendengarkan suara pekikan hewan liar, dan saat dia mendongak pada langit
berpola polkadot, terlihat monster berbentuk aneh yang beterbangan seperti burung.
Sudah berapa lama dia berjalan? Ada juga bulan sabit raksasa berwarna ungu yang
mengambang di langit. Seakan-akan jika Haruhiro ulurkan tangannya, dia bisa menggapai
bulan sabit itu. Dia melihatnya dengan tatapan kosong.
"Jangan melihatnya," kata Alice padanya. "Jika kau melihat bulan Parano secara langsung, kau
akan terkena kutukan."
"Jadi…ini ya bulannya.”
"Tentu saja itu bulannya. Kau pikir apa?"
“Tadinya kupikir bulan itu salah satu wujud makhluk yang barusan kau usir…. Umm, kalau
tidak salah, kau menyebutnya monster mimpi, ya?”
"Monster mimpi bukanlah makhluk. Mereka tidak hidup, karena tidak punya ego.”
Jujur saja, dia masih belum paham apa yang dikatakan Alice. Saat Haruhiro bertanya lebih
jauh, kadang-kadang dia menjawabnya, kadang-kadang juga tidak.
Haruhiro pun bingung harus berbuat apa. Bahkan dia meragukan orang bernama Alice ini
nyata. Jangan-jangan dia hanyalah makhluk fana yang diciptakan oleh imajinasi Haruhiro.
Ah tidak, dia benar-benar nyata. Buktinya adalah jejak langkah kaki itu. Setiap kali Haruhiro
melihat ke depan, Alice tetap di sana.
Akan tetapi, mungkin saja Haruhiro tertipu oleh indra dan ingatannya sendiri.
Sepanjang mata memandang, dia hanya bisa melihat gunungan batu kaca yang gemerlapan
bagaikan mahkota. Permukaan tanah di kaki bukit cukup datar, namun akan semakin curam
saat kau mendakinya. Bukit itu cukup indah, namun lama-kelamaan biasa saja.

100
Di perbatasan antara Bukit Kaca dan tanah berpasir, terdapat percampuran antara pasir putih
dan batu transparan. Batu-batu kaca itu tidak sebagus pasir putih, dan rasanya sangat berbeda
saat diinjak.
Kerumunan karang pink sudah tidak lagi terlihat. Sejak kapan? Dia tidak tahu.
Mulai terlihat ada kabut berwarna putih susu. Bukan…tampaknya itu bukan kabut, melainkan
hanya asap biasa.
Apakah Haruhiro benar-benar sedang berjalan? Ataukah dia hanya bermimpi sedang berjalan?
Sedangkan, jasadnya tergeletak pada suatu tempat, entah di mana. Ketika membuka mata, dia
akan berada di tempat yang benar-benar berbeda. Mungkin mereka masih berada di depan pintu
Kamp Leslie?
Atau mungkin, dia sedang berada di suatu tempat antah-berantah. Di manakah tempat antah-
berantah itu? Bagaimana bisa dia tersesat di sana?
Ini semakin konyol saja. Dia masih bisa merasakan dan memikirkan sesuatu… sudah cukupkah
itu menjadi bukti bahwa Haruhiro benar-benar berada di tempat ini? Harusnya mimpi tidak
mungkin selama ini. Aneh sekali jika dia tidak kunjung terbangun dari mimpinya.
Di mana Kuzaku ... Shihoru ... Mary ... Setora? Apakah mereka aman? Kenapa dia tidak pergi
mencari teman-temannya?
Ini aneh. Di tempat ini dia tidak bisa berpikir dengan logis. Jika ini benar-benar mimpi, maka
itu wajar, karena semua hal bisa saja terjadi di dalam mimpi.
Lalu kapan mimpi ini dimulai? Sejak kapan dia tertidur?
Hei, Manato, pikir Haruhiro. Apakah selama ini aku hanya bermimpi? Kalau begitu,
kematianmu juga hanya mimpi, kan…
Jika semua kehidupannya di Grimgar selama ini hanyalah mimpi, maka itu tidak masalah.
Karena saat membuka matanya nanti, dia akan sadar bahwa semua ini tidaklah nyata. Dia akan
segera melupakan semuanya, tanpa harus mengkhawatirkan apapun.
Mungkin ini hanya mimpi, mungkin ini hanya mimpi ...
Mungkin...
Benar juga…. mungkin semua ini hanyalah mimpi. itu berarti, semuanya akan lenyap bagaikan
abu saat dia terbangun nanti.
"Aku lapar ..." gumam Haruhiro. "Tenggorokanku juga kering ..."
Alice tidak menanggapinya, entah karena tidak dengar, atau tidak ingin dengar. Orang bernama
Alice C itu masih berjalan di depannya, namun eksistensinya begitu buram. Terkadang
Haruhiro merasakan keberadaan Alice, terkadang juga tidak.
Beberapa kali, Haruhiro ingin beristirahat sebentar. Namun jika dia berhenti, dan Alice terus
berjalan, bisa-bisa dia meninggalkannya. Gawat kalau dia ditinggal sendirian di tempat seperti
ini.
Kenapa dia tidak meminta Alice berhenti sejenak? Apakah dia takut? Apakah dia tidak ingin
ditinggal? Apakah itu penting? Dia bahkan tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak.
"Um, kita mau pergi ke mana?" tanya Haruhiro. "Hei! Aku berbicara padamu! Aku sedang
bertanya padamu, lho? Kenapa kau tidak menjawab? Jangan abaikan aku. Ya ampun. Apa
apaan kau ini? Kau dengar suaraku, kan? Sebenarnya, pertama-tama aku ingin menanyakan ...

101
mengapa ini semua terjadi? Apakah aku telah melakukan sesuatu yang salah….? Ah, betul
juga. Aku sih selalu melakukan kesalahan.”
Haruhiro menarik napas dalam-dalam.
"Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi aku merasa seperti mengulangi beberapa hal yang
sama. Apakah kau setuju denganku? Aku sudah tidak lagi mempercayai ingatanku. Lagipula
... yahh, aku tidak pernah ingat apapun yang terjadi padaku sebelum tiba di Grimgar. Itu
sungguh aneh. Secara teknis, umurku baru menginjak 2 atau 3 tahun. Namun, aku yakin sudah
cukup dewasa sebelumnya. Kalau tidak, aku tidak akan bisa memahami semua ini. Aneh kan?
Itu sungguh aneh. Bahkan aku tidak yakin bahwa seluruh kehidupanku selama ini nyata.”
Haruhiro terus berlogika.
"Itu artinya ... mungkin saja tempat ini tidak nyata. Ini hanyalah mimpi. Ya, mimpi. Semuanya
hanyalah mimpi. Manato. Mogzo. Ranta. Shihoru. Yume. Mary. Kuzaku. Setora. Semuanya...
mereka tidaklah nyata. Semuanya hanya khayalan. Aku hanya menciptakan semua itu melalui
pikiranku….atau mimpiku… Mereka hanyalah perwujudan dari imajinasiku. Semua yang
terjadi di Grimgar, Dusk Realm, Darunggar, dan dunia ini… umm, kalau tidak salah namanya
Parano, ya…. semuanya hanyalah khayalan. Astaga… kalau memang benar demikian, maka
aku hebat sekali ya…Kekuatan imajinasiku sungguh luar biasa. Ini tidak buruk, kan? Hah? Ini
sungguh gila ... Hah? Lalu bagaimana dengan diriku sendiri? Apakah aku juga khayalan ...
Apakah aku hanyalah imajinasi? Apakah ada seseorang yang bisa menjawab pertanyaanku ini?
... Jangan-jangan ada suatu makhluk lain, yang membuat semua ini dengan imajinasinya?”
Dia mulai meragukan segala hal.
“Tidak, tidak mungkin. Itu terlalu mustahil. Tapi bagaimana aku bisa membuktikannya? Sial
... lalu kapan aku bisa bangun dari mimpi ini? Apakah aku tidak akan pernah bangun kembali?
Kalau begitu, aku sudah mati, dong? Kematian seperti apa? Apakah jika aku mati, maka aku
terbangun dari mimpi ini? Kalau begitu, Manato, Mogzo, dan Choco….mereka semua sudah
terbangun dari mimpi, kan? Ya, mungkin itulah yang terjadi pada mereka. Saat seseorang
meninggalkan dunia ini, maka dia akan terbangun dari mimpinya, karena dunia ini hanyalah
khayalan ... mereka akan pulang ke dunia asli. Tapi ... itu pun juga aneh. Maksudku, apakah…
ini benar-benar mimpiku? Aku tidak sedang dimimpikan oleh orang lain?”
Haruhiro kehabisan akal.
"Apakah dunia ini terbentuk dari mimpi-mimpi sejumlah orang yang disatukan bersama? Itu
aneh sekali. Berarti dunia ini hanyalah omong kosong belaka, karena tidak nyata ... Tapi,
apakah mimpi ini bisa berakhir? Bagaimana kalau setelah aku mati, ternyata tidak terjadi apa-
apa? Aku masih terjebak di dalam dunia khayalan ini tanpa bisa keluar. Lalu, apa yang bisa
kulakukan untuk mengakhiri semua ini? Ahhh!! Aku semakin bingung!! Kepalaku semakin
pusing!! Perutku juga semakin lapar!!”
Dia merobek masker, lalu membuangnya. Dia juga ingin merobek jubah dan pakaiannya.
Angin itu langsung berhembus. Aromanya wangi sekali. Dia menghirup angin itu sebanyak-
banyaknya, bahkan sampai tersedak. Aroma wangi ini pernah dia cium sebelumnya. Baunya
seperti….
Ya, seperti vanila. Ini seperti aroma vanila.
Dia menghirup anginnya. Lalu, menghembuskannya. Hirup. Hembuskan. Hirup. Hembuskan.
Hirup. Hirup. Hirup sedalam-dalamnya.

102
Sangat wangi. Dia seperti kecanduan. Semakin dia hirup, semakin sulit dihentikan.
"Hei!" tiba-tiba sesorang mencengkram kerah bajunya, lalu mengguncangnya dengan keras.
Itu Alice. Tepat di depan matanya.
Persetan dengan Alice C. Dia tidak lagi peduli.
"Jangan menghirup angin itu! Kalau sampai tertidur, kau bisa menciptakan monster lainnya!”
"Aku tidak peduli."
"Egomu sudah sangat lemah," bentak Alice. “Kalau begini terus, kau bisa gila. Kau kira bisa
keluar dari sini dengan tertidur? Kau hanya akan memperbanyak monster-monster mimpi itu!
Apakah kau mau tenggelam ke dalam kegelapan, dan menjadi Trickster?”
"Aku tidak paham apa yang kau omongkan."
“Salah seorang temanku telah jatuh ke dalam kegelapan. Dan dia tidak pernah kembali lagi.
Aku juga tidak bisa mengembalikanmu. Nui telah ... "
"... Nui?"
"Dengarkan aku!"
Alice menyematkan Haruhiro ke tanah. Saat punggungnya membentur tanah, dia kembali
tersadar. Aroma wangi yang mengisi paru-parunya membuatnya mual.
Alice mengambil masker itu, lalu melemparkannya ke wajah Haruhiro. "Pakailah! Aku tidak
bisa menyelamatkanmu jika kau sudah jatuh ke dalam kegelapan.”
Haruhiro mencoba mengenakan masker. Jari-jarinya gemetar, dan tidak bisa bergerak dengan
normal.
Saat itu juga, Alice menusukkan sekop ke dalam tanah, berlutut, dan menyambar masker dari
tangan Haruhiro. "Dengar, Haruhiro. ‘Jangan tidur, kau bisa mati’, mungkin beberapa kali kau
pernah mendengar kalimat itu. Di sini, ungkapan itu sangatlah penting.”
Alice memasangkan masker pada mulut Haruhiro. Dia tidak bergerak sedikitpun. Mungkin
karena terlalu tegang.
“Kalau belum tahu apa itu Ego? Ego adalah kemampuan untuk mengenali diri kita sendiri.
Selama kau masih punya Ego, maka kau tidak akan berubah menjadi apapun. Ego tidak bisa
diukur dengan angka, namun di Parano kau bisa mengetahui apakah Ego-mu masih kuat atau
sudah melemah. Kau tidak bisa melihatnya. Ego seperti rasa atau aroma. Jika kau ingin tetap
menjadi diri sendiri, maka Ego-mu tidak boleh habis. Namun, jika Ego-mu kosong, kau akan
mulai berubah menjadi makhluk lain. Maksudku bukan berbuah secara metamorfosis. Tapi,
kau akan berubah menjadi sesuatu yang disebut Trickster.”
"Trickster?"
Alice berdiri, lalu menarik sekop dari tanah. "Jika aku meninggalkanmu sendirian, mungkin
kau sudah berubah menjadi Trickster."
Haruhiro melihat sekelilingnya. Di sebelah kanannya, ada Bukit Kaca yang menjulang tinggi
ke langit, pasir putih yang bercampur bebatuan kaca, dan juga asap seputih susu yang
mengepul.
Seperti sebelumnya, semakin dia melihat itu semua, semakin melemah kesadarannya.

103
"Lalu…kau mau pergi kemana?” dia kembali menanyakan itu dengan ragu-ragu.
"Ke tempat aku tinggal."
"Rumah?"
"Kau akan mengerti nanti. Jadi, ikut saja denganku!” kata Alice dengan kasar, lalu dia
memanggul sekop, dan mulai kembali berjalan.
"Aku harus menjadi diriku sendiri ..." Haruhiro bergumam pada dirinya sendiri sembari
mengikuti langkah Alice.
Aku ... menjadi diri sendiri ... apakah itu artinya aku harus bertingkah layaknya diriku sendiri?
Apa maksudnya itu?
Aku ini apa?
Jika aku punya cermin, aku bisa melihat wajahku sendiri. itulah aku. Tapi sayangnya di sini
tidak ada cermin. Yahh, bukannya aku ingin bersolek. Lagian aku memang jarang bercermin.
Jadi...
Aku sendiri tidak begitu ingat bagaimanakah penampilanku biasanya. Meskipun penampilanku
di cermin sedikit berubah, mungkin aku tidak akan menyadarinya.
Namun, aku masih bisa merasakan langkah kakiku yang memijak pasir putih bercampur batu
kaca. Jadi, aku masih sadar. Aku pun bisa merasakan berat badanku, lapar, dan juga haus.
Aku masih normal.
Aku masih di sini. Kalau aku tidak di sini, maka aku tidak akan merasakan apapun.
Hmm, bukankah logika itu sangat sederhana?
Aku masih bisa mendengar, mencium, merasakan, berpikir, dan merenung. Bahkan, aku masih
bisa membedakan diriku dan bukan diriku. Selama aku masih bisa melihat, mendengar,
mencium, meraba… maka, aku masih bisa mengenali diri sendiri, meskipun aku telah berubah
menjadi makhluk lain yang berbeda dari manusia normal.
Alice berjalan sembari memikul sekopnya. Mereka terpisah dengan jarak sekitar 10 m.
Sambil berjalan, Haruhiro melihat ke bawah pada telapak tangan kanannya. "...Hah?"
Apakah tanganku memang seperti ini? Berbulu, besar, panjang, dan bercakar>
Tidak.
"Ini bukan tanganku."
Sebelum sempat berpikir, Apa yang harus kulakukan? tangan kirinya sudah menarik belati api
buatan Dwarf.
Aku harus memotongnya. Maksudku, ini bukan tangan kananku. Aku harus memotongnya
dengan belati api. Tapi…. tanganku yang memegang belati juga terasa aneh. Hah? Tangan
kiriku juga berbulu?
"Sialan! Oboaba! Bugegagobuda! Udebagazo! Nndebanba! Doga!"
Seseorang meneriakkan sesuatu. Itu bukan suaraku. Tak mungkin suaraku seperti itu. Bahasa
apa itu… fiong rong gigazuzu. Badagu dota obada godoga ganbaze gotoga? Onto furebure
tobagonda guzoda bugo, oada?
"Haruhiro!" teriak Alice.

104
"Nnaka?!"
"Lihat! Lihat aku!"
"Li ... hat ..."
Li….hat
Lihat.
Dia melihat.
Alice ada di sana.
Alice sedang memegang tangannya.
Dia bisa melihat mata Alice yang pucat. Mungkin awalnya mata itu berwarna coklat muda,
namun kini berwarna pucat, seakan darah tersedot keluar darinya. Akhirnya Alice membuka
tudung jas hujannya, sehingga dia bisa melihat rambutnya.
Warna rambut Alice juga sama pucatnya. Jika dilihat lebih dekat, alis dan bulu matanya juga
berwarna sama. Begitupun dengan kulitnya ... kata "putih" tidak cukup untuk
menggambarkannya. Tampak hampir transparan, seolah-olah kau bisa melihat isinya.
"Kuasai dirimu," kata Alice.
Alice berbicara kepadanya.
Haruhiro mengangguk, kemudian melihat tangannya sendiri.
Tangannya sudah tidak berbulu, tidak besar, dan tidak bercakar. Tangannya kembali normal.
"Rasanya ... aku bukan lagi diriku ..."
"Ini ulah Dazzler."
Alice mendorong Haruhiro menjauh, kemudian dia menarik sekopnya, dan menusukkannya ke
tanah di dekat Haruhiro. Rupanya, ada sesuatu di kiri-belakang Haruhiro.
Alice melompat, lalu mengayunkan sekopnya lagi.
Bilah sekop itu menghantam tanah yang berpasir.
Tepat sesaat sebelumnya, Haruhiro sepertinya melihat makhluk mirip ikan besar yang
menjulurkan kepalanya keluar dari tanah. Atau, mungkin itu hanya imajinasinya saja? Apapun
itu, pada saat Alice sudah menghujamkan sekopnya ke tanah, makhluk itu tidak lagi terlihat.
Apakah ikan itu masuk ke dalam tanah tepat sebelum Alice menancapkan sekopnya?
"Hey, jangan pergi!" Alice mencengkeram sekopnya dengan kedua tangan.
Hah? Apa? Sebenarnya benda apa yang dipegang Alice itu? Itu sekop, kan? Sekilas, tampaknya
benda itu hanyalah sekop berkarat biasa.
Namun ternyata, bagiannya yang berkarat adalah kulit, dan mulai terkelupas. Bagian dalamnya
mengintip melalui celah-celah kulit. Seolah-olah, ada daging makhluk hidup yang terbungkus
di dalam sekop itu. Kulitnya belum sepenuhnya terkelupas, dan bilah sekopnya masih
menempel di ujung. Namun, sedikit demi sedikit bagian luarnya lepas, dan tercerai menjadi
serat-serat mirip sabuk…. yang mulai menggeliat.
Serat-serat itu mungkin setebal jari manusia, dan terlihat seperti ular berwarna hitam atau
coklat tua.

105
Beberapa serat itu melilit tubuh Alice, dan ada juga yang masih menjerat gagang sekop. Alice
terus menggali lebih dalam dengan sekopnya yang sudah berubah wujud itu.
Apakah sekop itu hidup? Ataukah benda itu sama sekali bukan sekop?
Tidak mungkin ada sekop seperti itu. Kalau bukan sekop, lalu apakah itu? Haruhiro tidak
pernah melihat benda seperti itu sebelumnya, jadi satu-satunya nama yang bisa dia pikirkan
hanyalah sekop.
Saat Alice menarik sekopnya, ada sesuatu yang menyangkut.
Apakah serat-serat mirip ular itu yang mengaitnya?
Makhluk itu adalah humanoid yang memiliki tangan dan kaki, kurang-lebih bentuknya mirip
Sahuagin. Mata dan mulutnya mirip ikan. Kulitnya berwarna pucat seperti buah persik, dan
terlihat sangat mulus. Haruhiro yakin benar makhluk itu bersembunyi di dalam pasir, namun
anehnya tidak ada sebutir pasir pun yang menempel pada kulitnya.
"Sudah kuduga ini ulah Dazzler," kata Alice.
Dazzler. Jadi, makhluk ini namanya Dazzler?
"Kelihatannya seperti Axolotl, ya," gumam Alice, kemudian serat mirip ular yang membelit
Dazzler itu mulai menyusut.
Dazzler pun bebas, lalu dia segera lompat kembali ke tanah.
Dia kabur dari Alice.
Tapi sayangnya, Alice langsung saja membelah makhluk mirip ikan itu.
Alice sedikit melangkah maju, dan menusukkan sekopnya. Mata pisau sekop itu menembus
Dazzler melalui punggungnya.
Setelah bajinya tertancap, Alice mengayunkan sekopnya, sehingga makhluk itu terbelah dari
dada sampai kepalanya.
Tidak ada percikan darah. Yang merembes keluar dari tubuh Dazzler adalah substansi pekat
mirip minyak bekas.
Dazzler itu pun menyudahi perlawanannya.
"Akhirnya aku paham."
Jleb, jleb, jleb, jleb. Alice menggunakan sekop untuk menusuk dan memotong-motong tubuh
Dazzler, lalu dia mendengus. Alice terlihat senang telah membunuh makhluk mirip Sahuagin
itu, dan dia juga menikmati saat mencincangnya.
"Yang ini bukanlah monster mimpi. Yahh, sebut saja ’setengah monster’. Saat manusia
dikuasai oleh mimpinya, maka dia akan berubah menjadi makhluk seperti Dazzler ini.”
"Di…kuasai..."
“Kebanyakan monster mimpi menyerang dan memakan manusia. Namun, ada beberapa
pengecualian. Aku penasaran pada monster mimpi yang kau ciptakan. Oh iya, berbeda dengan
monster mimpi yang hanya terdiri dari Insting, makhluk seperti Dazzler masih mempunyai
Ego. Tapi tidak banyak. Jika kau membunuhnya, maka kau bisa mengambil setengah dari Ego
mereka. Makhluk setengah monster seperti Dazzler sangatlah langka, jadi mereka berharga.”
Bahu Alice terangkat saat dia tertawa.

106
Tiba-tiba, sebuah pemikiran terlintas di benak Haruhiro. Alice terlihat seperti manusia, tapi
benarkah dia bukan monster?
Hanya karena penampilannya mirip manusia, belum tentu dia bukan monster. Dunia ini
sungguh aneh, ada berbagai macam bentuk makhluk di sini. Haruhiro tidak tahu apa-apa
tentang monster mimpi ataupun makhluk setengah monster. Mungkin saja ada makhluk-
makhluk lainnya yang belum dia temui.
Haruhiro mundur beberapa langkah. Berbahaya mempercayai Alice. Tapi Alice telah
menyelamatkannya. Alice bahkan bersedia membawa Haruhiro ke tempat tinggalnya. Untuk
apa dia melakukan itu? Apakah hanya karena kebaikan hati? Ataukah ada niatan tersembunyi
di balik kebaikannya itu?
Mungkin ini jebakan.
Tangan Alice berhenti. Haruhiro sempat khawatir Alice akan menyerangnya.
Dia mulai paranoid. Alice tampaknya baru menyadari bahwa tudung jas hujannya terbuka,
walaupun itu sudah terlambat.
Kemudian, Alice menutup kepalanya, dan kembali melanjutkan perjalanan.

107
Bab 15
Kejujuran

Setelah beberapa jam, atau setengah hari, atau bahkan lebih lama dari itu — yahh, pokoknya
cukup lama, lah — Haruhiro memperhatikan sesuatu yang dia lewatkan sejak awal. Padahal,
sudah lama mereka berjalan menyusuri perbatasan antara kaki Bukit Gelas dan tanah berpasir
putih.
Dia baru menyadari bahwa pasirnya mengalir dengan perlahan.
Terlebih lagi, pasirnya mengalir pada arah yang tidak menentu. Ada yang bergerak menuju
kaki bukit. Ada juga yang bergerak mendekati mereka. Bahkan ada yang bergerak ke arah yang
sedang mereka tuju. Itu mempermudah mereka menentukan arah.
Namun, jika dilihat dengan seksama, bebatuan transparan di kaki bukit tidaklah bergerak
seperti halnya pasir putih itu. Dan jika didengarkan lebih teliti, ada suatu suara pelan
mengiringi langkah mereka.
Kling, kling, kling, kling, kling, kling, kling….
Mungkin tidak tertangkap oleh mata, tapi yang pasti ada suatu gerakan halus di sekitar mereka.
"Topografi Parano bisa berubah," kata Alice. "Tidak ada yang tidak berubah. Itu bukan masalah
bagimu, kan?”
Yahh, seperti itulah menurut Alice C, pikir Haruhiro.
Tetapi, sejak kapan dia mendengarnya? Apa yang membuat Alice mengatakan itu padanya?
Haruhiro berpikir untuk mencari jawabannya, namun tidak ketemu.
Sejauh mata memandang hanya ada tanah berpasir yang mengepulkan asap seputih susu,
namun akhirnya dari kejauhan terlihat suatu bayangan yang berbeda. Apakah itu hutan? Hanya
terlihat garis-garis lurus yang menjulang ke langit, tampaknya pohon tidaklah setegap itu.
Mungkin itu bangunan? Tidak hanya satu. Ada beberapa bangunan yang saling berhimpitan.
Apakah itu sebuah kota?
"Di situkah kau ...?" Haruhiro belum menyelesaikan pertanyaannya, namun Alice langsung
menjawab….
"Ya."
"Masih jauh kah?"
"Tergantung."
"Hah...?"
"Tergantung dirimu. Kalau kubilang dekat, belum tentu kau sependapat denganku. Persepsi
setiap orang berbeda-beda."
Di Parano ada konsep waktu dan ruang, namun tampaknya penghuninya tidak bisa
membedakannya.
Tadi Alice bilang bahwa dia akan membawa Haruhiro ke tempat tinggalnya. Namun, dia tidak
tahu kapankah “tadi” itu.

108
Terdapat bintang dan bulan di langit Parano. Namun tidak ada matahari.
Itu berarti kau tidak bisa menentukan waktu dengan patokan terbit dan tenggelamnya matahari.
Maka Alice memutuskan untuk menggunakan teknik jam air[6].
Alice berusaha membuat alat seperti itu, meskipun tidak bisa mengukur waktu dengan tepat.
Namun setidaknya kau bisa menghitung bilangan waktu secara kasar. Pembuatan jam air cukup
sederhana, pertama-tama carilah wadah yang mengerucut ke bawah. Kemudian tuangkan air
dari atas, sehingga menetes melalui bawah wadah. Lamanya tetesan sampai air di wadah habis
digunakan untuk menyatakan suatu bilangan waktu.
Namun, saat Alice benar-benar mempraktekkannya, banyak kendala terjadi.
Misalnya, wadahnya. Meskipun dia sudah menemukan wadah yang mengerucut, ternyata air
tidak bisa menetes sesuai yang diharapkan.
Mungkin lubangnya terlalu kecil, karena saat wadah masih penuh, air bisa menetes dengan
lancar. Namun ketika airnya mulai berkurang, tetesannya semakin melambat, bahkan
terhambat. Dengan kata lain, waktu tetesan berubah-ubah berdasarkan volume air di dalam
wadah. Kau tidak bisa menentukan bilangan waktu dengan pengukuran yang tidak konstan
seperti itu.
Bahkan jika masalah itu sudah diselesaikan, muncul kendala lain. Melalui cara coba-coba,
Alice memperbesar wadahnya sampai seukuran tandon, sehingga air yang dibutuhkan juga
tidak sedikit. Akhirnya Alice pun menyerah, lalu dia hancurkan wadah yang sudah dibuatnya
dengan susah payah karena kesal.
Sembari bekerja, Alice menceritakan banyak hal. Haruhiro mendengarkan semuanya, namun
dia tidak langsung mempercayainya. Apakah cerita itu benar adanya? Apakah cerita itu hanya
dibuat-buat?
Alice terus menceritakannya panjang-lebar. Darimana dia dengar cerita itu? Apakah dari orang
lain? Ataukah pengalamannya sendiri?
Ternyata, Alice Si Jas Hujan adalah orang yang suka berbicara. Awalnya, Haruhiro tidak
menyangka bahwa dia adalah orang seperti itu. Toh, Haruhiro tidak tahu apa-apa sejak awal.
Wah….kacau nih.
Semuanya kacau.
Termasuk aku.
Saat hendak tiba di kota, uap keputihan itu semakin hilang. Tidak ada lagi uap putih yang
mengepul dari tanah berpasir. Mulai dari sana, tanah kembali normal. Sejak kapan uap mirip
kabut itu hilang? Haruhiro sama sekali tidak memperhatikan perubahannya.
Ada rumput dan pohon yang tumbuh. Batangnya cokelat, dan daunnya hijau. Haruhiro pikir itu
hanyalah tanaman biasa, namun saat menginjaknya, tanaman itu hancur berkeping-keping,
bahkan tanpa bekas sedikit pun. Tanaman itu seperti halusinasi saja. Atau…apakah tanaman
itu benar-benar halusinasi?
Bangunan di kota itu cukup tinggi. Seperti pilar batu raksasa. Ada lubang berbentuk persegi
panjang yang berjajar rapih di permukaannya. Lubang-lubang itu pasti jendela, namun tidak
ada kaca, ataupun kusen kayu yang membingkainya. Tidak ada juga daun jendela. Dari
kejauhan, bangunan itu jadi tampak seperti sarang.

109
Kebanyakan bangunan itu berdiri tinggi menjulang ke langit, namun tidak semua. Ada
beberapa yang miring, bahkan sudah hancur.
Haruhiro menatap kosong pada bangunan-bangunan itu. Akhirnya dia tersadar bahwa Alice
sudah berjalan menjauh di depannya. Lalu, dia pun mengejar orang itu.
"Um, tempat apa ini?"
"Reruntuhan No. 6," katanya. “Katanya, dulu tempat ini sempat bernama Asoka."
"Asoka ..."
"Tapi aku hanya mendengarnya dari seseorang."
"Apakah ada ... orang di sini? Emm ... maksudku selain kamu. ”
"Banyak…tapi tidak ada yang waras," kata Alice sambil tertawa kecil.
“Bukannya kau juga tidak waras, Tuan Putri?" tiba-tiba terdengar suara lain yang parau. Itu
jelas-jelas bukan suara Alice.
Saat Haruhiro mendongak, dia melihat seseorang bersandar pada jendela yang tampaknya
berada di lantai ketiga dari suatu bangunan di sebelah kiri mereka. Dia menggunakan jubah
hijau lebar, dan juga sepatu bot. Dari penampilannya, dia tampak seperti seorang pria dari ras
manusia. Dia memiliki rambut hitam panjang, bergelombang, dan jenggot pendek.
"... Ahiru." Alice memelototi pria itu, sembari menurunkan sekop dari bahunya. Sepertinya dia
siap mengupas kulit sekopnya lagi, seperti saat dia membunuh Dazzler tadi.
Pria itu memiringkan kepalanya ke samping, lalu nyengir. "Jangan menunjukkan wajah
mengerikan seperti itu padaku, Tuan Putri.”
"Kalau begitu, jangan panggil aku dengan sebutan itu."
“Tapi kau memang seorang putri, kan?”
"Kamu ingin mati, Ahiru?"
"Tentu saja tidak, itulah kenapa aku tidak langsung melawanmu."
"Jangan bercanda denganku."
"Kembalilah ke raja," kata Ahiru. "Jika kau kembali, aku bersumpah tidak akan menampakkan
diriku di hadapanmu lagi.”
"Tidak mungkin aku kembali."
“Kalau kau tidak pulang, raja akan marah. Dan kami akan dapat masalah."
"Itu urusanmu. Tidak ada hubungannya denganku."
"Bagaimana dengannya?"
"Maksudmu Yonaki Uguisu?"
Saat Alice menyebutkan nama itu, kaki kanan Ahiru mulai gemetaran. Lututnya bergerak naik-
turun, seolah memainkan ritme. Meskipun wajahnya sedikit tersenyum, tampaknya dia sedang
memendam amarah.
Alice menusukkan sekopnya ke tanah 2 – 3 kali. "Berani sekali kau, Ahiru."
Angin bertiup. Meskipun Haruhiro memakai masker, aroma wangi itu masih tercium sedikit.

110
Ahiru menekankan lengan bajunya ke mulut. "Pria itu," katanya, sembari menatap Haruhiro.
"Dia orang baru, kan? Apa yang akan kau lakukan padanya, Tuan Putri? Merebus lalu
memakannya? Atau enaknya dipanggang saja?"
"Aku bukan monster mimpi. Aku tidak makan manusia."
"Jika kau memakan manusia, kau bisa meningkatkan Ego-mu dengan cepat. Bukankah kau
ingin menjadi lebih kuat, Tuan Putri? Kalau begitu, makan saja orang itu."
“Diam, Ahiru. Kali ini pasti akan kubunuh kau….”
"Dadah, tuan putri…..aku akan kembali lagi nanti." Ahiru pun menghilang ke dalam jendela
setelah mengucapkan salam perpisahan.
Sepertinya, tidak ada pintu masuk atau keluar pada bangunan itu selain jendela. Alice coba
menghampiri bangunan itu, namun tak lama berselang, dia langsung menghentikan
langkahnya, lalu memiringkan kepala ke samping.
Haruhiro juga merasakan ada yang aneh. Suaranya tidak keras, namun ada getaran di tanah.
Haruhiro berbalik. Bangunan di seberang bangunan tempat Ahiru menunjukkan diri terlihat
rusak parah. Retakan menjalar di seluruh tempat, bagaikan jaring laba-laba, dan sepertinya
bangunan itu juga sudah miring ke samping.
Tidak lama kemudian, terdengar suara keras seperti retakan yang besar, dan tanah terus
bergoyang. Jangan-jangan….
Suara ini bukan dari tanah?
Apakah suara retakan itu datang dari bangunan?
"Lari!" Alice berlari sebelum kata itu selesai diteriakkannya.
Haruhiro juga berlari.
Di belakang mereka, bangunan itu runtuh dengan cepat. Haruhiro sama sekali tidak menoleh
ke belakang untuk memeriksa keadaannya. Terdengar suara benturan yang luar biasa, dan asap
pun mengepul tebal. Dia tidak perlu memeriksanya. Dia tidak punya waktu untuk melakukan
itu.
Terdapat begitu banyak bangunan di tempat bernama Reruntuhan No. 6 ini. Sepanjang mata
memandang, di hadapan mereka hanya ada bangunan yang menjulang tinggi. Alice dan
Haruhiro sedang bergerak menyusuri jalan antara bangunan-bangunan tersebut. Celakanya,
bukan hanya bangunan di belakang mereka saja yang runtuh. Beberapa bangunan lain juga
mulai hancur berantakan.
"Sialan kau, Ahiru!" umpat Alice.
Alice tidak berlari lurus ke depan, dia sesekali bergerak ke kiri dan kanan. Dia melakukan itu
secara spontan karena bangunan-bangunan di depan ataupun sampingnya terus berguguran.
"Alice ...!" teriak Haruhiro.
“Jangan rewel! Diam dan ikuti saja aku!"
Tentu saja dia tidak punya pilihan selain mengikutinya. Haruhiro sama sekali tidak mengenal
tempat ini. Dia bisa saja keluar dari Reruntuhan No. 6 jika menyusuri jalan sebaliknya, namun
tentu saja puing-puing bangunan telah memblokir jalan tersebut. Dia tidak tahu jalan mana
yang bisa membawanya pergi dari bangunan-bangunan yang terus berjatuhan ini.

111
Saat mereka berbelok ke kanan, bangunan di depan mereka mulai runtuh layaknya es yang
meleleh. Ketika mereka berbelok ke kiri kemudian berlari beberapa meter ke depan, dua
bangunan di kedua sisi mereka runtuh dan saling bersinggungan.
Satu-satunya pilihan mereka adalah berlari sekuat tenaga menembus celah-celah di antara
kedua bangunan yang runtuh itu, sembari berharap mereka masih punya waktu melewatinya.
Semua ini membuat Haruhiro gila, dan rasanya pikirannya semakin tidak waras.
Dia merasa bahwa kondisi mentalnya akan terganggu bila terus-terusan berada di tempat ini.
Haruhiro bermandikan keringat, seluruh tubuhnya terasa dingin, dan perutnya sakit melilit.
Saat ini, hanya satu keinginannya, yaitu segera meninggalkan tempat ini. Sudah berapa lama
dia berlarian seperti ini? Akankah dia bisa bertahan?
Apa-apa’an ini…yang benar saja…. dia meronta di dalam hati.
Dia ingin ini segera berakhir. Namun, tak peduli sebanyak apapun dia memohon, keinginannya
tidak mungkin terkabulkan begitu saja. Tanpa berusaha keras, dia tidak akan bisa melewati
saat-saat krisis seperti ini.
Namun, bukankah Parano berbeda dengan dunia nyata?
Di sini, makhluk yang muncul di dalam mimpimu bisa menjadi nyata.
Lalu, apakah ada jalan keluar ajaib yang bisa dia temukan dalam keadaan genting seperti saat
ini?
Yang perlu dia lakukan hanyalah mencoba.
Haruhiro tidak bisa melihat jalan keluar ajaib seperti itu, namun dia bisa merasakannya. Jalan
keluar itu selalu berada di tempat yang tidak dia sadari sebelumnya.
Mungkin saja jalan keluar itu berada tepat di belakangnya. Jika dia membalikkan badan, maka
dia akan menemukannya. Tentu saja, itu bukan berarti secara harfiah, namun jalan keluar
tersebut pasti ada.
Seolah-olah, jalan keluar itu memanggil-manggil nama Haruhiro.
Ayo, katanya. Datanglah padaku.
Jangan ragu. Itu tidak baik bagimu.
Serahkan saja semuanya padaku ...
Tentu saja…. pikirnya. Dia harus percaya pada keajaiban itu, agar semua keraguannya lenyap.
Tapi, dia tahu bahwa jalan keluar itu tidak bisa ditemukan begitu mudah. Mungkin sudah dekat,
namun belum tentu dia bisa melihatnya.
Mana mungkin jalan keluar berbicara layaknya manusia. Lagipula, bagaimana bentuknya
jalan keluar itu?
Apakah benar berada tepat di belakangnya? Mustahil. Tidak mungkin semudah itu.
Meskipun Parano adalah dunia bagaikan fantasi, namun masalah tidak akan selesai semudah
membalikkan telapak tangan.
Haruhiro berhenti. Dia pun sudah lelah. Dia tidak mau berlari lagi.
Kurasa…usahaku sudah maksimal….

112
Begitukah?
Ya… aku sudah melakukan yang terbaik….
Yahh….mungkin saja.
Ini hanya soal waktu….
"Ahh ..."
Haruhiro berhenti berlari. Dia buka kedua kakinya selebar mungkin, sembari mendongak ke
atas.
Ada potongan puing bangunan seukuran 10 kali pria dewasa yang sedang meluncur turun ke
arahnya.
"Ahaha!" entah kenapa dia tertawa. Apakah dia sudah tidak waras?
Reruntuhan itu meluncur padanya. Mengapa tertawa? Apanya yang lucu? Apakah itu bentuk
keputusasaan? Lalu, apa yang harus dia lakukan saat ini? Tetap membuka mata, atau
memejamkannya? Sayang sekali melewatkan saat-saat seperti ini, jadi mengapa tidak kita lihat
saja sampai akhir?
Dia menjulurkan tangannya ke atas, sampai hampir menyentuh reruntuhan itu.
"Hahh ...!" Alice bergegas kembali, dia hendak memberikan bantuan, namun Haruhiro tidak
menginginkannya. Sekopnya kembali terkelupas seperti tadi, dan munculah serat-serat hitam
seperti ular. Serat-serat itu menembus reruntuhan yang hendak menghantam Haruhiro, dan
merubahnya menjadi serpihan.
Reruntuhan pun hancur menjadi seperti hujan es. Bongkahan besar itu berubah menjadi
seukuran kepalan tangan saja, namun itu tetap saja bisa melukai Haruhiro.
"Aduh! Aduh, aduh, aduh, aduh ... ”
Serpihan besar bangunan menghujani bahu kiri, lengan kanan, dan kepalanya. Dia pun roboh.
Dia jatuh telungkup dan mengerang kesakitan. Lalu, kakinya ditarik dengan paksa oleh Alice.
"Apa-apa’an kau?! Ayolah!"
Lagi-lagi Alice menyelamatkannya.
"Kenapa kau menolongku?! Tinggalkan saja aku sendirian!!" Haruhiro meratap.
Meskipun berkata begitu, kakinya tetap membawanya menjauh dari reruntuhan itu dengan
langkah sempoyongan.
Bukankah tidak ada gunanya lari? Ada begitu banyak bangunan runtuh di sekitarnya. Kepulan
debu memperburuk jarak pandang. Sekujur tubuhnya pun terluka.
Habislah mereka. Tidak mungkin mereka selamat. Segalanya pasti berakhir. Mungkin, inilah
akhir bagi mereka.
Cukup sudah, pikirnya.
Dia menyesal. Tapi, dia pun sudah pasrah.
“Terkutuk kau, Ahiru! Brengsek dia! Haruhiro, ayolah ...!”
Alice mencengkram dan menarik lengannya. Haruhiro sudah pasrah, dia biarkan Alice
melakukan apapun padanya.
113
Semuanya sudah tidak berarti.
Tak ada lagi yang membuatnya tertarik.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Alice memeluknya erat-erat, kemudian dia buka lagi kulit sekopnya. Serat-serat mirip ular
hitam mulai menjalar, namun kali ini jumlahnya begitu banyak. Semuanya saling berpilin dan
membentuk semacam payung…. atau, lebih tepatnya kubah. Tak lama berselang, Haruhiro dan
Alice terbungkus oleh kubah itu.
Apa yang terjadi di luar kubah? Kurang-lebih, Haruhiro bisa membayangkannya. Mungkin
semua bangunan sudah runtuh, dan puing-puingnya melumatkan segalanya sampai menjadi
kolam lumpur.
Mereka berdiri di tengah-tengahnya, terlindungi oleh kubah.
Gelap. Hampir tanpa cahaya. Tapi dia bisa melihat sedikit.
Sekop yang sudah terkelupas itu bersinar redup. Itulah yang menyebabkan di sini terang.
Alice membungkuk, sembari memeluk Haruhiro dan mencengkram sekopnya erat-erat.
Seolah-olah mereka berdesak-desakan di dalam tenda yang begitu sempit.
Gemuruh suara di luar begitu keras. Seakan-akan sedang terjadi badai. Bukan badai biasa. Itu
adalah badai puing-puing bangunan. Yahh, tentu saja…karena tidak terjadi hujan sekarang.
Terdengar suara hantaman, gesekan, tubrukan, dan desingan. Suaranya sungguh intens. Serat-
serat sekop ini pasti menahan beban yang begitu besar dari luar. Anehnya kubah ini sama sekali
tidak bergeming, namun masihlah terasa menegerikan di dalam sini.
Tadi Haruhiro sudah pasrah pada nasibnya, namun dia ingin bertanya….
"Apakah kita bisa bertahan?"
"Tentu saja. Kau pikir aku ini siapa?”
Apakah kubah yang dibentuk Alice dari serat-serat sekopnya ini sungguh kuat? Sepertinya
tidak begitu.
"Aku tidak tahu…." tiba-tiba kalimat itu terselip keluar dari mulut Haruhiro. “…aku benar-
benar tidak tahu siapakah dirimu.”
"Tentu saja," kata Alice sambil tertawa. “kau bahkan tidak tahu siapa dirimu sendiri.”
"Itu tidak benar."
“Haruhiro, si brengsek Ahiru itu bertanya mengapa aku tidak memakanmu. Dengarkan ini….
aku bukanlah pemakan manusia. Itu sungguh menjijikkan. Jika aku terpaksa harus memakan
manusia, itu bukanlah dirimu. Meskipun memakanmu, aku tidak akan mendapatkan apa-apa.
Ego-mu terlalu lemah. Untuk memperkuat sihirku, aku memerlukan Insting dan Ego yang lebih
banyak.”
"...Sihir? Kau adalah seorang ... Mage?"
“Di Parano, siapa pun bisa menggunakan sihir. Sihir ada di mana-mana. Dan inilah sihirku…”
dengan kencang, Alice mencengkeram sekopnya yang sudah terkelupas. "Ini Philia."

114
Haruhiro masih kebingungan. Jadi, sihir Alice berbentuk sekop? Oh iya, sebenarnya “sekop”
hanyalah istilah yang dibuat Haruhiro untuk mempermudah menyebut benda itu, karena
bentuknya memang mirip sekop. Namun, sebenarnya dia tidak tahu apa-apa tentang benda itu.
Apa-apaan kau ini? tanya Haruhiro dalam hati. Kau menamai sekopmu Philia, atau
semacamnya? Saat kulitnya terkelupas, sekop itu sungguh mengerikan. Ego-ku lemah? Yahh,
mungkin kau benar juga. Tapi, memangnya kenapa? Apakah itu salah?
Ini semua cuma mimpi. Aku hanya sedang bermimpi buruk. Aku sedang tertidur di suatu tempat
sekarang.
Yahh, setidaknya… itulah yang kuharapkan ...
Tapi… kenapa semua ini terasa begitu nyata…. benarkah ini mimpi?
Kejam.
Ini sungguh kejam.
Apanya yang kejam? Ahh…. sudahlah, aku tidak tahu lagi. Aku tidak ingin memikirkannya
lagi.
Dimana teman-temanku?
Sebisa mungkin, aku berpikir positif bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang selamat
dari Party-ku.
Jangan….
Jangan pernah berpikir begitu.
Mereka pasti masih hidup….
Entah dimana….
Tapi… jika kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi….
Aku…aku….
Aku mungkin akan tenggelam dalam keputusasaan…..
Ya… keputusasaan yang begitu dalam….
Dan ketika aku sampai pada dasarnya….
Mungkin aku tidak akan bisa bernapas lagi….
Inilah dasar neraka yang terdalam….
"Haruhiro."
"...Apa?"
"Apakah kamu menangis?"
"Tidak."
"Tidak apa-apa." Alice dengan ringan menepuk punggung Haruhiro, seperti ibu yang
menenangkan anaknya.
Untuk apa Alice melakukan itu? Yahh, rasanya cukup nyaman, sih….

115
Alice mungkin benar. Jika kau ingin menangis, maka lepaskan saja. Jangan pernah
menahannya. Itu lebih baik bagimu.
"Menangislah," kata Alice. "Aku tidak masalah. Tapi jangan berlarut-larut dalam kesedihan.
Memangnya, apa yang kau tangiskan? Tidak baik menangis tanpa alasan. Lihatlah dirimu, kau
berantakan sekali. Kau harus menjalani semuanya dengan tegar, bung. Lihatlah lurus ke depan.
Meskipun ada hal yang tidak ingin kau lihat, tetaplah tegakkan kepalamu.”
"Aku..."
"Hm?"
"Aku..."
Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Ahh, ini ...
Ini benar-benar wajahnya. Dia merasakannya sendiri dengan kedua tangannya.
Namun dia tidak bisa melihat wajahnya.
"Aku…." gumamnya. "Aku merasa seolah-olah diriku tidak nyata… aku merasa begitu
fana…mungkinkah, diriku yang asli sedang terbaring di suatu tempat…. tapi dimanakah itu?”
"Kau di sini, Haruhiro. Di dekatku. Kau tidak kemana-mana."
"Tetapi aku..."
“Perlahan-lahan, kau akan terbiasa dengan semua ini. Atau jangan-jangan…. ada hal berharga
yang hilang dari dirimu?”
"Berharga..."
Kuzaku.
Shihoru.
Yume.
Mary.
Setora ...
Dia mengkhawatirkan teman-temannya.
Kiichi juga…
Dan…..
……ada seorang lagi.
Ranta.
Sial. Si kampret Ranta. Ketika kau tidak di sini…. entah kenapa, terasa begitu hambar.
"Aku benci ini," bisik Haruhiro. "Semuanya..."
Semuanya membutuhkanku ...
Semuanya bersamaku ...
Aku selalu bersama mereka ...

116
Mereka...
"Aku takut," bisiknya.
Tanpa mereka, aku hanyalah…….
"Aku sangat khawatir ... aku tidak tahan lagi ..." bisiknya. "Kawan-kawanku…semuanya
lenyap. Aku tidak tahu apakah mereka selamat. Aku berusaha berpikir positif bahwa mereka
baik-baik saja….tapi rasa khawatir itu terus saja muncul. Aku tidak sanggup lagi. Harusnya
aku tidak boleh berpikir begini….. tapi…. apakah aku sendirian sekarang?”
"Ada aku, kan?" tanya Alice.
"Ya, kau benar. Tapi…. aku bahkan tidak yakin apakah kau orang baik atau tidak.”
"Yahh…anggap saja, aku bisa jadi orang baik, bisa juga jadi orang buruk.”
Untuk saat ini, sepertinya jawaban itu cukup memuaskan Haruhiro.
Kekhawatiran masih menyesakkan hatinya, namun…. dengan adanya Alice di sini, dia merasa
sedikit lega.
Tapi…. siapakah sebenarnya Alice C ini?

117
Bab 16
Berkepribadian Ganda

Aku punya nama lain, lho. Orang tuaku telah memberikannya padaku. Tapi, aku selalu saja
dipanggil Alice.
Aku sering dibully. Pembully-an yang begitu kejam.
Ini semua salah buku yang pernah kubaca, sehingga aku dipanggil Alice. Yahh, sebenarnya
tidak adil jika kukatakan “salah” buku tersebut. Buku tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi tetap
saja, aku benci dipanggil Alice.
"Alice!"
"Namaku bukan Alice."
"Aaaalice!"
"Namaku bukan Alice."
"Aaaaliiiice!"
"Sudah kubilang, namaku bukan Alice!"
"Aliiiice!"
"Kenapa kalian terus memanggilku dengan nama itu!? Terserah lah kalian mau bicara apa! Aku
sudah lelah melayani kalian!”
"Kalau begitu, tidak apa-apa kan kupanggil Alice?”
"Aaaalice!"
"Aaaaliiiice!"
"Alice!"
"Aliiiice!"
"Alice!"
Aku masih ingat, “izin” itulah yang membuat mereka terus memanggilku Alice. Mereka terus
saja menyebut namaku Alice, Alice, Alice, Alice, Alice, Alice, Alice, Alice, dan Alice.
Mereka sering menyembunyikan barang-barangku, mencorat-coretnya, bahkan terkadang
merusaknya. Mereka juga sering melempariku dengan berbagai benda.
Aku pun masih ingat dengan jelas bahwa mereka pernah mengadakan “Permainan Minta
Maaf”. Seperti ini permainannya, mereka mengerumuniku di taman, sehingga aku tidak bisa
pergi. Lalu, aku meminta mereka untuk membukakan jalan, agar bisa lewat. Tapi tentu saja
mereka tidak menurutinya. Lama-kelamaan aku semakin kesal, sehingga kudorong salah satu
dari mereka. Mereka berpura-pura terjatuh, mengerang kesakitan, lalu menuduhku telah
melakukan kekejaman seperti mematahkan tulang, menyebabkan pendarahan, atau omong
kosong lainnya.
"Minta maaf! Minta maaf!” kemudian, yang lainnya meneriakkan itu padaku. Mereka tidak
akan membiarkanku pergi sampai aku meminta maaf pada anak yang terjatuh itu.

118
Meskipun aku meminta maaf, mereka juga tidak akan melepaskanku. Mereka beralasan seperti,
‘Kau kurang tulus minta maafnya!’, ‘Mohon maaflah dengan sungguh-sungguh!’, atau
semacamnya. Intinya, mereka menuntut banyak hal dariku.
Aku tahu, aku kalah jumlah.
Mereka terus meneriakiku, sehingga aku tidak punya pilihan selain menuruti tuntutan mereka.
Selanjutnya, yang mereka lakukan adalah…. ahh, pikirkan saja sendiri.
Saat kuingat kembali perbuatan mereka, rasanya kepalaku mau mendidih karena amarah yang
berkobar-kobar.
Aku tahu mereka tidak melakukan kejahatan. Itu hanyalah kenakalan anak kecil. Harusnya aku
abaikan saja mereka. Namun ironisnya, aku bersedia menuruti perkataan mereka. Itulah yang
membuatku benci pada diriku sendiri.
Sampai akhirnya aku pun bingung, apakah semua ini salahku karena terlalu lemah? Aku
sungguh tidak berguna, rasanya ingin mati saja. Namun, dengan kemalangan seperti itu, aku
terus melanjutkan hidup.
Setiap kali orang menyebutku Alice, rasanya begitu sakit seakan luka lamaku terbuka lagi.
Itu adalah luka yang begitu lebar, bernanah, dan busuk.
Terkadang, aku tidak bisa mentolelir rasa benci terhadap diriku sendiri. Aku membenci
segalanya pada diriku, aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri yang tidak berdaya di hadapan
mereka.
Setidaknya…. itulah yang kurasakan saat itu.
Aku mengutuk semuanya.
Semuanya yang ada di dunia ini sungguh terkutuk.
Namun, segalanya berubah saat aku pertama kali datang ke Parano.
Saat itu, diriku yang membenci dunia ini, tiba-tiba menemukan sesuatu yang berharga dan
sangat kucintai.
Sebelumnya, aku membenci apapun yang melekat pada diriku, termasuk penampilanku.
Namun saat itu, entah kenapa aku mencari cermin untuk berkaca. Lalu aku mengamati diriku
sendiri dari dekat.
Saat berkaca, aku pun berpikir, Ohh, dari sisi ini aku terlihat begitu buruk…. ohh, dari sisi ini
aku terlihat imut juga…
Akan tetapi, aku tidak mengakuinya. Jika seseorang bertanya padaku, ’Mengapa belakangan
ini kau sering bercermin?’ aku akan langsung membantahnya, ’Tidak kok!!’ Namun, tentu saja
itu hanya alasanku saja.
Penampilanku cukup aneh, tapi tidak jelek juga. Aku tidaklah seburuk itu. Biasanya, orang-
orang mempermasalahkan bentuk fisik seperti dagu sumbing, hidung pesek, bibir tebal, perut
buncit, atau semacamnya. Namun jika dilihat secara positif, sebetulnya kekurangan itu imut
juga.
Aku membenci diriku sendiri, tapi akhirnya aku menemukan hal yang kusuka.
Sebenarnya, aku membenci diriku sendiri karena tidak sanggup berbuat apa-apa pada orang-
orang yang membully-ku. Dengan kata lain, aku terpaksa membenci diriku sendiri.

119
Jika itu tidak pernah terjadi, sebenarnya aku masih bisa melihat sisi positif pada diriku sendiri.
Sampai akhirnya aku menyadari bahwa nama Alice….. sebenarnya tidak buruk juga, sih.
Bahkan, aku mulai berpikir bahwa nama Alice lebih cocok daripada nama pemberian orang
tuaku.
Berawal dari orang yang membenci segalanya, sampai akhirnya mulai menemukan hal positif
pada diri sendiri....apakah itu berarti aku orang yang baik? Atau buruk? Kurasa, jawabannya
adalah keduanya.
Aku juga mulai menyadari hal-hal positif pada orang-orang yang dulu selalu membullyku.
Pernah aku melihat mereka menolong kucing buangan yang hampir mati. Pernah aku melihat
mereka menolong keluarga dan teman yang sedang kesulitan. Jadi, mereka bukanlah orang
jahat selamanya. Mereka juga bisa berubah.
Saat melakukan Permainan Minta Maaf, mungkin hati kecil mereka pernah berkata, ’Whoaa,
kasihan juga si Alice. Sepertinya kita terlalu berlebihan.’
Bahkan ada beberapa anak yang akhirnya menuliskan surat permintamaafan padaku, meskipun
dia tidak mencantumkan namanya.
Aku pun tidak luput dari dosa. Saat hatiku sakit karena terus-terusan dibully, aku pernah
melampiaskan kekesalanku pada seekor serangga. Kurobek sayapnya, sehingga serangga itu
tidak bisa terbang. Itu membuatku merasa lebih baik. Namun, akhirnya aku berpikir,
’Sepertinya sudah saatnya kuakhiri penderitaanmu.’, lalu kubunuh serangga itu.
Aku pernah berpikir untuk menyiksa hewan yang lebih besar. Namun akhirnya, kuurungkan
niatku. Bukan karena aku merasa kasihan pada hewan-hewan itu. Hanya saja, aku tidak ingin
direpotkan jika mereka memberikan perlawanan. Andaikan saja aku terus menyiksa binatang-
binatang mulai saat itu, mungkin sekarang aku sudah menjadi pembunuh berantai. Menyiksa
akan membuatmu semakin ketagihan. Kemarin hanya serangga, hari ini hewan yang lebih
besar, dan besok mungkin saja………. manusia.
Andaikan saja pembully-an itu tidak pernah terjadi, mungkin aku tidak akan pernah menyiksa
serangga itu. Namun, aku pun tidak yakin bahwa aku bukanlah orang yang kejam.
Sebagai contoh, bayangkan ada suatu permainan bertahan hidup. Beberapa orang, termasuk
dirimu, terkunci dalam suatu ruangan, dan hanya satu yang bisa keluar dengan selamat.
Apakah kau akan membunuh orang-orang lainnya untuk bertahan hidup?
Ataukah, kau akan membiarkan dirimu terbunuh karena kau terlalu berpegang pada prinsip
bahwa membunuh itu dosa?
Atau jangan-jangan, kau akan bunuh diri?
Mungkin kondisi itu terlalu ekstrim, namun hal seperti itu bisa kau gunakan untuk mengajukan
pertanyaan yang begitu mendasar pada dirimu sendiri. Sehingga, tampaknya sifat aslimu yang
sesungguhnya.
Toh, semua hal bisa terjadi. Jadi, kondisi ekstrim seperti itu bukannya mustahil. Terlebih lagi,
di tempat seperti Parano ini. Kau mengerti, kan?
Aku tidak tahu kau berasal dari mana, dan bagaimana caramu tiba di Parano. Namun, aku
sampai ke tempat ini setelah menelusuri suatu gua di dekat pantai yang terletak bersebelahan
dengan sekolahku.

120
Waktu itu, aku sudah mengerti caranya berurusan dengan para pembully setelah beberapa
kejadian yang tidak terduga. Namun, jika aku gagal, maka aku akan kembali menjadi diriku
yang dulu.
Saat itu, beberapa teman mengajakku untuk menjelajah gua itu. Sehingga, aku tidak punya
alasan untuk menolaknya.
Kami memasuki gua gelap itu, semakin dalam, dan dalam.
Tiba-tiba, ada kabut yang muncul di dalam gua. Jarak pandangnya semakin buruk, dan kurasa
kami sedang berada dalam masalah. Hanya itu yang kuingat. Setelahnya, tahu-tahu aku sudah
tiba di tempat ini.
Tanpa diduga, kami tiba di Parano.
Kami tidak pernah menyangka hal segila itu terjadi.
Jika seseorang berani membunuh orang lain karena tidak punya pilihan, maka sebenarnya
orang itu memang mampu membunuh. Itu semua masalah situasi, jika dia tidak punya
kesempatan, maka dia tidak akan pernah membunuh orang lain seumur hidupnya.
Sedangkan aku…..ya, aku mampu membunuh orang lain.
Kalau keadaan memaksaku untuk menghabisi nyawa orang lain, maka aku akan melakukannya
dengan tanganku sendiri. Aku tidak akan menyesalinya, karena aku memang harus
melakukannya.
Tapi setidaknya, aku masih punya emosi. Jadi, aku bukanlah mesin pembunuh yang bisa
menghabisi nyawa orang lain tanpa pikir panjang.
Saat itu, ada sebuah bintang jatuh. Berdasarkan pengalaman, aku tahu bahwa bintang jatuh
adalah pertanda kedatangan seseorang ke Parano, jadi aku pergi untuk memeriksanya. Dan
itulah yang mempertemukanku denganmu. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, jadi aku
menyelamatkanmu.
Kau bukan temanku, sahabatku, saudaraku, atau apapun itu. Kau hanyalah orang asing bagiku.
Tapi, aku tahu bahwa kau lebih waras daripada kebanyakan orang di Parano. Jadi, aku cukup
merindukan kedatangan orang sepertimu.
Aku tahu kau begitu mengkhawatirkan rekan-rekanmu. Kau adalah tipe orang yang mau
berkorban demi teman-temanmu. Itulah yang membuatku selalu ingin berbicara denganmu.
Yahh, itu saja sih…
Aku telah mencapai tujuanku, jadi aku cukup puas.
Boleh saja aku meninggalkanmu dengan tak acuh. Tapi, seperti yang sudah kubilang, aku bisa
juga menjadi orang yang baik. Aku merasa senang saat berbuat baik pada orang lain. Namun,
bisa juga merasa muak.
Bukan berarti aku tidak bisa membencimu, bahkan membunuhmu. Aku tidak berpikir begitu,
mungkin aku masih bisa memanfaatkanmu. Atau menipumu. Yahh, mengapa tidak?
Tentu saja aku akan merahasiakannya. Kau tidak bisa menipu orang yang sudah tahu akan
tertipu, kan?
Dasar bodoh. Tapi tenang saja, akan kuberitahu bahwa aku menipumu, saat kau sudah jatuh ke
dalam perangkapku.

121
Lalu, apa yang ingin kau lakukan?
Apakah kau butuh bantuanku?

122
Bab 17
Yang Bisa Berubah Dan Tidak

Seberapa lama mereka terkubur hidup-hidup di dalam kubah? Tidak ada gunanya memikirkan
itu. Karena Parano tidak mengenal konsep waktu. Meskipun Haruhiro punya jam mekanik,
mungkin benda itu sudah tidak lagi bekerja, atau mungkin jamnya berputar sebaliknya, atau
mungkin jamnya bergerak tanpa arah, atau mungkin detiknya tidak stabil, atau mungkin…. ah,
terserahlah, yang jelas dia tidak bisa mengukur waktu di dunia ini.
Setelah mendekam cukup lama, akhirnya Alice C menggunakan sekop sihirnya untuk menggali
lubang ke permukaan reruntuhan gedung.
Begitu mereka keluar, kota ini sudah berubah menjadi tumpukan puing. Sangat sedikit
bangunan yang tersisa — lebih tepatnya, hanya enam yang tersisa — namun sudah setengah
hancur, dan terkubur puing.
"Sepertinya, inilah akhir dari tempat persembunyianku," kata Alice. “Sialan kau, Ahiru. Kalau
kita bertemu lagi, aku pasti akan membunuhmu.”
"Jadi, semua ini ulah Ahiru?" tanya Haruhiro.
"Kan sudah kubilang. Di Parano, siapa pun bisa menggunakan sihir. Sihir Ahiru adalah tipe
yang sama dengan milikku."
"Sama? Maksudmu, sihir yang kau sebut Philia itu, kan?”
"Ya," mata Alice menyipit seolah sedang tertawa.
Haruhiro masih belum melihat wajah Alice tanpa masker. Seperti apakah paras aslinya?
"Secara umum, sihir di Parano bisa dibagi menjadi tiga jenis ... ah tidak, sebut saja empat. Tapi
aku belum pernah melihat yang keempat. Ada Philia, Narci, dan Doppel. Kebanyakan orang
menggunakan salah satu dari ketiga jenis sihir itu.”
Kemudian, Alice menjelaskan secara detail masing-masing sihir itu.
Philia adalah cinta. Cinta memberikan kekuatan yang ditanamkan pada benda tertentu,
misalnya peralatan yang biasa digunakan sehari-hari, atau senjata untuk melindungi seseorang.
Benda seperti itu biasa disebut azimat.
"Sumber kekuatan Philia adalah cinta," kata Alice sambil mengangkat sekopnya. "Semakin
besar cintanya, maka semakin besar pula kekuatan sihirnya. Sebaliknya, jika cinta semakin
redup, maka semakin lemah juga kekuatan sihirnya, dan akhirnya benda itu tidak bisa lagi
digunakan. Aku telah banyak membunuh monster mimpi dengan sekop ini. Sehingga, rasanya
aneh jika bertarung tanpa benda ini. Sebenarnya, aku menemukan benda ini tanpa sengaja. Aku
tidak tahu alasannya, tapi aku ingin saja memegangnya. Dan sekop ini pun mengijinkanku
untuk menjadi pemiliknya. Mungkin kami sudah ditakdirkan bersama. Singkat cerita, sekop ini
telah banyak menyelamatkanku.”
"Jadi ... sekop itu adalah azimat?" Haruhiro bertanya dengan suara pelan.
"Haruhiro, kau pasti senjata seperti punya pisau atau semacamnya, kan?" tanya Alice.
"Mungkin senjata itu bisa menjadi azimatmu. Mungkin juga tidak. Sedangkan, azimat Ahiru
adalah sabuk, yang terikat di pinggangnya."

123
"Bagaimana dia bisa menumbangkan begitu banyak bangunan hanya dengan seikat sabuk?”
"Sudah berapa kali kuulangi? Di sini semua orang bisa menggunakan sihir. Tentu saja sabuk
itu bukanlah sabuk biasa. Dia telah mempersiapkan segalanya. Dia menghancurkan semua ini
untuk mencariku.”
"Sepertinya, dia berusaha keras sekali."
“Tak peduli berusaha sekeras apapun, dia tidak akan bisa mengalahkanku. Aku lebih kuat
darinya. Tapi, dia punya tujuan, dan pantang menyerah sampai meraihnya. Karena tidak
mampu mengalahkanku, dia cari cara lain dengan memprovokasiku. Dia pun mencoba
membawaku kembali ke istana kerajaan.”
"Kerajaan?" Haruhiro mengulangi kata itu.
Namun Alice mengabaikannya. Sepertinya Alice tidak bersedia menjawab pertanyaan yang
tidak diinginkannya.
Bangunan di sekitar mereka luluh lantah, hampir tidak ada satu pun yang masih tegak berdiri.
Mereka berjalan melewati puing-puing bangunan yang berserakan tidak teratur. Sesekali
mereka harus memanjat, melompat, bahkan membuang puing-puing bangunan yang
menghalang.
Awalnya, Alice berjalan di depan, sedangkan Haruhiro hanya mengikuti di belakang tanpa
mengucap apapun. Namun, akhirnya Alice perlahan berhenti untuk menghela nafas, lalu
mengayunkan sekopnya ke segala arah dengan kesal. Tampaknya dia mulai muak dengan
semua puing-puing bangunan yang menghalangi ini. Sepertinya ini tidak efisien.
Akhirnya, gantian Haruhiro yang berjalan memimpin di depan, sedangkan Alice tetap
menunjukkan arahnya.
"Kau sudah terbiasa menjadi pemandu?" tanya Alice.
"Uh ... Yah, begitulah," kata Haruhiro. "Cukup terbiasa."
"Hmm. Bagaimana hidupmu selama ini? Apakah sulit?"
"Panjang ceritanya."
"Kan sudah kubilang, di sini kita tidak mengenal konsep waktu. Jadi, tidak ada bedanya apakah
ceritamu panjang atau tidak.”
Maka, Haruhiro pun menceritakan berbagai hal tentang dirinya, termasuk rekan-rekannya.
Mereka terus ngobrol sembari mencari pijakan pada puing-puing bangunan yang bisa dilewati.
Haruhiro tidak memulai kisahnya dari awal, yaitu saat dia dibangkitkan di Grimgar pada suatu
menara, lebih dari satu setengah tahun yang lalu. Dia pun tidak menceritakan kisahnya secara
berurutan. Dia lewati beberapa cerita. Haruhiro tahu, dirinya tidak pandai dalam bercerita pada
orang lain. Atau mungkin, dia sengaja melakukannya karena faktor waktu tidaklah penting di
Parano.
Akhirnya mereka meninggalkan Reruntuhan No. 6, kemudian langsung disambut oleh perairan
yang membentang setelah daratan berpasir putih. Airnya tidak mengalir, apakah itu danau?
Lagi-lagi terlihat kepulan asap seputih susu dari kejauhan.
"Kita berada di mana?" tanya Haruhiro, tapi Alice hanya membalasnya dengan mengangkat
bahu.

124
"Kayaknya sih aku belum pernah ke sini sebelumnya. Di Parano, kebanyakan tempat selalu
berubah-ubah. Sepengetahuanku, hanya ada Reruntuhan No. 1 hingga No. 7, yang merupakan
sisa-sisa tujuh kota dan sekitarnya. Ada juga Bukit Kaca, Menara Besi Langit, Lembah
Keinginan Dunia dan Sungai Sanzu."
"Jadi, hanya tempat-tempat itu saja yang tidak mengalami perubahan?"
"Ya, jika kau mengingat letak tempat-tempat yang tidak berubah itu, maka kau tidak akan
tersesat.”
"Berarti, Reruntuhan No. 6 juga tidak berubah ya…" Haruhiro merenung. "Itu sebabnya kau
tinggal di sana?"
"Yahh, tapi si bajingan Ahiru itu benar-benar merepotkanku sekarang."
"Apakah dia juga terkubur oleh puing-puing bangunan?"
“Tidak, dia cukup ulet, aku yakin dia masih hidup. Lagian, aku ingin membunuhnya hidup-
hidup. Kau jangan mati dulu… Ahiru.”
Alice berjalan ke permukaan air dengan begitu santainya. Apakah dia mau berenang?
Ketika kaki kanan Alice menyentuh permukaan air, riak menyebar ke segala arah. Namun, dia
tidak tenggelam.
Apakah itu bukan air? Permukaannya terlihat bening, dan bisa memantulkan cahaya layaknya
cermin. Terlebih lagi, ketika disentuh permukaan itu menghasilkan riak seperti air pada
umumnya.
Meskipun permukaannya bening, namun dasarnya tidak kelihatan.
Haruhiro coba mengikuti apa yang dilakukan Alice. Saat dia menginjak permukaannya, riak
pun muncul. Riaknya saling bersinggungan dengan riak yang dihasilkan oleh langkah kaki
Alice, sehingga saling meniadakan. Jika tidak, mungkin riak itu akan menyebar selamanya.
"Pertama, kita perlu menemukan tempat tinggal," kata Alice, sembari membuat banyak riak
dengan pijakan kakinya.
"Aku ingin mencari rekan-rekanku," kata Haruhiro.
"Aku tahu. Kau ingin aku membantumu, kan? Yaahh, maaf saja, sepertinya mereka tidak
selamat. Mencari orang di Parano bukanlah hal yang mudah.”
"Aku akan tetap mencarinya, Alice. Ini masalah usaha.”
“Rekan-rekanku….teman-temanku….anggota Party-ku…. itu saja yang kau omongkan. Kalau
ternyata mereka benar-benar sudah mati, lalu apa yang akan kau lakukan?”
"Yah….Aku hanya bisa menerimanya dengan lapang dada."
"Mudah ngomongnya, tapi sulit dilakukan. Aku ragu kau bisa menerima kenyataan itu dengan
ikhlas.”
"Aku tahu itu, tapi aku akan berusaha menerimanya.”
"Jika aku membantumu, apa untungnya untukku?" tuntut Alice.
“Kau bilang Ahiru hendak melakukan sesuatu padamu, kan? Aku bisa membantumu untuk
mengalahkannya. Lagipula, bukankah kau ingin menjadi lebih kuat?”
Haruhiro diabaikan lagi. Alice mungkin tidak mau menjawab pertanyaan itu.

125
"Tentu saja aku juga akan membantumu, Alice. Agar kita impas." kata Haruhiro.
"Kau mau membantuku?" kemudian Alice tertawa terbahak-bahak.
Namun, itu bahkan tidak menyinggung perasaan Haruhiro.
Alice mengatakan bahwa siapa pun bisa menggunakan sihir di Parano. Tapi Haruhiro belum
menemukan sihirnya. Mungkin itulah yang membuat Alice meragukan kemampuannya. Dia
mungkin berpikir, ’Lihatlah dirimu….kau bisa apa?’
"Apakah aku berguna untukmu, ataukah tidak… semua tergantung padamu, Alice." jawab
Haruhiro.
"Tidak…kurasa kau masih bisa berguna untukku. Kau adalah seorang Thief, kan? Kau seperti
karakter dari permainan video game saja…. tapi kau masih bisa menggunakan skill-mu, kan?”
"Video game?"
“Bukankah kau mirip karakter dari Game RPG? Thief yang itu lho… mereka cepat, dan bisa
mencuri Item. Yahh, aku tidak begitu suka bermain Game, sih… tapi bukannya aku tidak
pernah menyentuhnya.”
"Aku sungguh ... tidak tahu. Tapi… apakah menurutmu skill-ku bisa digunakan untuk
mengalahkan monster-monster mimpi itu?”
"Aku tidak tahu, tapi yang pasti cara paling efektif mengalahkan monster mimpi adalah dengan
menggunakan sihir. Jika sihirmu hanya bisa mengalahkan monster mimpi biasa, maka kau
tidak akan menang melawan pria gila itu.”
‘Pria gila’ yang mana?
Riak demi riak terus memenuhi permukaan bening mirip danau ini.
Di kejauhan, meskipun tertutupi oleh asap putih, Haruhiro bisa melihat bangunan mirip tower
yang menjulang tinggi ke langit berpola polkadot.
"Itukah ... Menara Besi Langit?" tanyanya perlahan.
"Ya. Anggap saja itu pusar Parano. Jika kau menggunakan Menara Besi Langit sebagai titik
acuan, maka kau bisa menentukan arah mana yang ingin kau tuju. Pokoknya, menara itu bisa
digunakan sebagai penanda arah.”
Berapa lama lagi mereka harus berjalan menuju Menara Besi Langit? Haruhiro ingin
menanyakan itu, tapi dia mengurungkan niatnya. Kira-kira dia sudah tahu jawabannya. Karena
di Parano, pertanyaan ‘berapa lama lagi’ tidaklah relevan.
"Jadi, monster mimpi bukanlah makhluk yang biasa kita jumpai?" tanyanya.
"Tidak juga… tapi saat aku mendekat, monster-monster mimpi yang lemah kabur. Namun,
semuanya berubah saat terjadi bintang jatuh. Seakan, mereka semakin menggila.”
"Mereka kabur karenamu? Apakah kau begitu menakutkan bagi mereka?" tanya Haruhiro.
Alice mengangkat bahu. "Entahlah, tapi aku yakin monster-monster mimpi itu bisa merasakan
Ego. Mereka sendiri tidak punya Ego, dan tidak akan pernah bisa memilikinya. Namun, mereka
begitu menginginkan Ego, itulah kenapa mereka menyerang manusia. Saat Ego seseorang
terlalu kuat, mereka pun ketakutan.”
"Saat kau membunuh monster mimpi ... kamu bisa mencuri Ego mereka?" lanjut Haruhiro.

126
"Kan sudah kubilang mereka tidak punya Ego. Apakah kau mendengar penjelasanku dengan
baik? Adapun, yang bisa kuambil adalah Insting."
"Oh…maaf….maaf… jika kau mencuri Insting mereka, kau akan bertambah kuat?"
“Lebih tepatnya, sihirmu yang menguat.”
Tampaknya, Ego dan Insting saling mengimbangi satu sama lain.
Jika Alice memiliki Ego sebanyak 100, maka Insting-nya juka sekitar 100. Begitu pun
sebaliknya. Jika Alice membunuh monster mimpi yang memiliki 10 Insting, maka miliknya
akan bertambah menjadi 110. Dan secara otomatis, Ego-nya juga akan meningkat sampai 110.
Tidak akan meningkat seketika, namun bertahap.
"Jika Ego-ku sebanyak ... katakanlah 10, apakah Insting-ku juga sebanyak itu?" tanya Haruhiro.
"Ya, kurang-lebih segitu."
“Lalu, jika aku membunuh monster bernilai 10 Isnting, maka jumlah total Insting-ku akan
meningkat menjadi 20, sehingga Ego-ku juga ikut meningkat mendekatinya?”
"Maunya sih begitu."
Alice tidak memberikan jawaban yang pasti. Apakah Ego dan Insting tidak bisa dihitung secara
matematis? Sepengetahuan Haruhiro, 10 + 10 = 20, namun perhitungannya belum tentu
demikan di Parano.
Setelah melewati perairan itu, mereka tiba pada suatu tempat berpasir yang berwarna biru
bersih. Di beberapa tempat tumbuh benda mirip jamur payung berwarna kuning. Benarkah itu
jamur?
Saat semakin didekati, ternyata benda itu lebarnya sekitar 2 meter. Bentuknya juga mirip
seperti cangkang kura-kura, namun sama sekali tidak bergerak. Saat disentuh, kerasnya seperti
batu.
Bentuknya sungguh aneh, tapi…. apa yang tidak aneh di dunia ini? Inilah Parano, tempatnya
banyak makhluk dan benda aneh.
"Aku harus menemukan sihirku ..." gumam Haruhiro.
"Aku bisa bertahan di Parano karena memiliki sekop ini," kata Alice. "Hap!"
Alice pun melompat pada salah satu benda mirip jamur kuning itu.
“Pada saat-saat genting, hanya sekop ini yang bisa kuandalkan. Jika kau punya benda yang
sangat bisa kau andalkan seperti sekop ini, mungkin itulah sihirmu….”
"... sepertinya aku tidak punya…” tungkas Haruhiro.
“Oh iya, menurutmu mengapa monster mimpi yang kau buat berbentuk seperti pria raksasa?”
"Aku tak tahu…. sepertinya aku bermimpi buruk sebelumnya, tapi aku sudah tidak begitu
mengingatnya.”
"Aku mengerti… kau pasti sudah melihat pria itu di dalam mimpimu, namun rasanya sulit
sekali diingat kembali.”
Mereka berdua terus menyusuri tanah berpasir biru, dimana jamur-jamur kuning tersebar di
berbagai tempat.

127
Mereka seakan berada di negeri dongeng. Semua yang terjadi di Parano begitu aneh. Meskipun
Haruhiro tahu bahwa ini semua nyata, namun logikanya tetap saja tidak bisa menerimanya.
Meskipun Haruhiro selamat, jika orang yang bernama Alice C itu tidak menolongnya, mungkin
dia bisa gila karena mentalnya tidak sanggup menerima semua ini. Bahkan dia mungkin akan
kehilangan ingatannya.
Setelah berjalan beberapa saat, benda-benda mirip jamur itu semakin banyak, bahkan sampai
menutupi tanah berpasir biru.
Mereka tidak punya pilihan selain menginjak jamur jadi-jadian itu, namun bagian atasnya
begitu licin. Mereka berdua harus berhati-hati. Perhatikan langkahmu, dan injak jamur itu lebih
kuat agar tidak terpeleset.
Tiba-tiba, Haruhiro merasa lapar. Dia begitu ingin mencari makanan.
Meskipun begitu, perutnya tidak keroncongan.
Tenggorokannya kering. Dia ingin minum. Kepalanya juga terasa sakit, namun dia tidak tahu
apa penyebabnya.
"Air……" Haruhiro meratap. "Makanan......."
“Kan sudah kubilang…. di Parano, meskipun kau tidak makan atau minum, kau tidak akan
mati. Aku juga sudah lama tidak makan.”
"Tapi, rasa lapar dan haus ini membuatku gila.”
"Kenapa tidak minum ludahmu sendiri?"
Haruhiro memutuskan untuk mencobanya. Tapi itu tidak membuatnya puas. Jika rasa lapar dan
haus ini berkelanjutan, maka dia akan semakin tersiksa.
Entah sejak kapan, tiba-tiba jamur jadi-jadian itu lenyap, dan digantikan oleh bebatuan abu-
abu yang kasar. Bebatuan itu sungguh banyak jumlahnya, dan ada benda mirip ekor kuda yang
terhubung di belakangnya. Bisa dimakan gak ya?
Haruhiro mengambil satu, lalu hendak memasukkannya ke dalam mulut, namun dia segera
mengentikan itu saat menyadari Alice sedang menatapnya.
Saat benda mirip ekor kuda itu diremas, cairan kuning keemasan merembes keluar, dan baunya
sungguh busuk. Namun ironisnya, dia masih punya keinginan menjilati cairan itu. Mungkin itu
karena rasa haus yang begitu parah.
Haruhiro dan Alice terus berjalan, namun keadaan alam di sekitarnya semakin aneh saja.
Beberapa kali ada tanjakan, dan turunan. Saat menurun, bebatuan itu malah menggelinding ke
atas, dan begitupun sebaliknya.
Saat Haruhiro mendongak ke atas, dia tidak melihat langit. Namun, saat menoleh ke kanan, dia
malah melihatnya. Seolah-olah dia sedang berjalan di permukaan dinding, namun tidak
terjatuh. Dunia ini semakin gila saja, semuanya terbalik-balik.
Beberapa saat kemudian, lagi-lagi kondisi alamnya berubah. Kali ini mereka berjalan di suatu
bidang yang membentuk spiral halus. Letak langit pun semakin berubah-ubah. Terkadang di
atas, terkadang di bawah, terkadang di kanan, dan terkadang di kiri.
Rasa lapar dan hausnya pun kembali. Haruhiro tak habis pikir, bagaimana cara Alice mengatasi
lapar dan haus separah ini.

128
Itu semakin membuatnya frustasi. Dia coba menahan amarahnya sekuat tenaga, namun
terkadang tidak bisa.
Akhirnya dia bisa melihat Menara Besi Langit dengan jelas.
"Itu seperti menara radio, kan?" kata Alice. "Namun lebih besar dan tinggi, sih.”
Sepertinya Haruhiro tahu apa yang dimaksud Alice dengan ‘menara radio’, namun dia tidak
bisa mengingatnya. Seperti namanya, Menara Besi Langit terbuat dari besi, dan begitu tinggi
menjulang ke langit.
Saat dilihat dari jalan spiral, ternyata tidak hanya menara itu yang terbuat dari besi. Di
sekitarnya terdapat lautan dinding besi berkarat sepanjang puluhan, atau bahkan ratusan meter.
Rupanya area itu dibatasi oleh dinding besi yang berlapis-lapis. Mereka melewati gerbang pada
dinding besi pertama, kemudian mendapati dinding besi kedua. Setelah melewati gerbang pada
lapisan dinding yang kedua, ada yang ketiga.
Begitu seterusnya selama beberapa lapis.
"Mudah-mudahan aku masih ingat jalannya, karena kalau tidak, kita akan tersesat,” kata Alice.
"Yang pasti, ada banyak jalan buntu di sini."
"Tempat ini sungguh mirip labirin."
“Untungnya, area ini adalah salah satu dari sedikit tempat yang tidak pernah berubah. Kalau
tidak, maka setiap kali melewatinya, kita harus coba-coba menemukan jalur yang benar.”
Perlahan tapi pasti, Haruhiro mulai bisa mengatasi rasa lapar dan dahaganya. Namun,
kekhawatirannya pada teman-temannya masih belum bisa dia atasi.
Setiap kali dia tidak sanggup menahan beban mentalnya, dia meminta ijin pada Alice untuk
menjauh sedikit, kemudian Haruhrio menjerit-jerit seperti orang gila sembari berguling-guling
di tanah. Itu membuatnya sedikit lebih baik.
Toh, Alice tidak mencercanya seperti, ‘Kau ini bodoh, ya?’ atau ’Apa-apa’an yang kau lakukan
itu?’ atau semacamnya.
Setelah berhasil melewati labirin besi, akhirnya mereka mendapati tumpukan potongan besi
tua yang menggunung. Dan di atasnya, terdapatlah Menara Besi Langit.
Ada tangga yang terdapat pada Menara Besi Langit. Namun, sebenarnya itu hanyalah susunan
batangan besi berukuran semeteran, tanpa pegangan. Jadi, kalau kau takut ketinggian, agaknya
sulit menaiki tangga itu.
Anak tangganya terbuat dari lempengan besi yang cukup tipis, sehingga akan melengkung bila
kau injak keras-keras. Bahkan, seluruh bagian tangga akan bergoyang jika kau tidak
memijaknya dengan hati-hati.
Ketika mereka sudah naik sekitar 100 meter, tangganya terputus. Bukan berarti tidak ada
kelanjutannya, karena mereka mendapati tangga lainnya. Namun itu adalah tangga panjat.
Setidaknya panjangnya sekitar 50 meter.
Tiupan angin begitu kencang, dan masih berbau wangi meskipun Haruhiro sudah menutupi
setengah wajahnya dengan masker. Haruhiro cukup takut, tapi akhirnya dia berhasil memanjat
tangga itu, dan terus naik ke atas.
Mereka berdua naik terus, terus, terus, dan terus ke atas.

129
Akhirnya mereka mendapati pijakan, dan Alice pun berhenti sejenak.
Namun, ada suatu patung yang duduk pada pijakan tersebut. Itu aneh.
Apakah patung itu juga terbuat dari besi? Harusnya sih begitu, karena patung itu sudah sangat
berkarat.
Patung itu berbentuk seorang pria yang berbadan sedang. Mungkin usianya 20-an atau 30-an
tahun. Tangannya diletakkan di paha, dan dia memandang pada kejauhan.
Brakk! Alice memukul patung itu tepat di kepalanya.
"Yahh, inilah yang terjadi jika berada di sini terlalu lama.”
"Apa maksudmu?" Haruhiro bertanya dengan ragu-ragu.
“Di dunia ini, manusia juga bisa berkarat.”
"Jadi, patung ini ..."
"Ya, sebelumnya dia adalah manusia sama seperti kita.”
"Apakah kau mengenalnya?"
"Dia sudah di sini jauh sebelum aku datang, sih. Waktu itu, dia sudah sedikit berkarat. Aku
telah memperingatkannya, namun dia bersikeras semuanya baik-baik saja, lalu….. yahh, inilah
hasil dari teguranku.”
Tentu saja pria itu tidak bergerak sama sekali. Apakah dia masih hidup? Sepertinya tidak. Tapi,
ini Parano. Meskipun seluruh tubuhnya sudah berkarat, mungkin saja dia masih hidup.
"Kita tidak bisa berlama-lama di sini," kata Alice. "Tapi, kalau kau mau berkarat seperti dia,
ya tinggal saja di sini.”
"Maksudmu, kita akan segera berkarat?”
"Tentu saja. Itulah yang terjadi kalau kelamaan di sini. Sebelumnya aku pernah memanjat lebih
tinggi, dan tidak terjadi apa-apa padaku.”
"Tapi… bukankah katamu Parano tidak mengenal konsep waktu?”
“Memang tidak. Tapi faktanya, pria itu berubah menjadi karat, kan?" kata Alice, sambil
menepuk kepala pria itu. Lalu Alice menunjuk ke arah yang dilihat si pria.
Kabut seputih susu menghalangi pemandangan. Bagaikan lautan awan. Namun, masih ada
beberapa tempat yang terlihat.
Saat Haruhiro memandang ke arah yang ditunjuk Alice, dia melihat…..bunga?
Ada banyak bunga yang bermekaran dengan berbagai warna.
"Itu adalah Reruntuhan No. 2," kata Alice. "Atau yang dulu dikenal dengan, Taman Bayard.
Selanjutnya, aku akan pergi ke sana untuk bermain.”
Alice mulai menuruni tangga dengan langkah ringan.
Sebelum mengejarnya, Haruhiro coba menyentuh pipi pria berkarat itu. Dingin sekali.
Tangannya pun ternodai oleh karat.
Sembari membersihkan tangan dengan menggosok-gosokkannya ke baju, Haruhiro berguman
beberapa kali, “Aku akan menemukan teman-temanku.”

130
Untuk mewujudkan tujuannya itu, dia membutuhkan bantuan Alice. Itu sebabnya dia masih
setia mengikutinya.
Apakah Haruhiro hanya membuang-buang waktu? Apakah Haruhiro takut mencari teman-
temannya? Bukankah dia terlalu takut jika ternyata teman-temannya tidak ada yang selamat?
Dia hanya berusaha berpikiran positif, kan? Dia tidak pernah tahu, kan…. seburuk apa
kenyataan yang sudah menantinya.
Lagipula, tak peduli selama apapun dia mencari, hasilnya nihil.
Dia merasa lututnya mulai lemas. Dia hampir berjongkok.
Alice sedang menuruni tangga. Dia semakin jauh, dan terus menjauh.
Ironisnya, sekilas munculah suatu keinginan dari dalam hati kecil Haruhiro untuk meniru apa
yang dilakukan pria berkarat itu. Dia ingin duduk beristirahat di sini selamanya. Dia sudah
terlalu lelah.
Tidak….tidak boleh…. dia tidak boleh menyerah.
Setidaknya untuk saat ini.

131
Bab 18
Sihir

Di sana ada bukit yang terselimuti oleh hamparan bunga dari berbagai ukuran.
Di area puncak bukit, ada bunga yang bermekaran kemerahan. Sedangkan di area lereng,
terdapat percampuran bunga oranye dan kuning. Ada juga yang ungu, biru, putih, dan pink.
Terlihat juga reruntuhan bangunan yang menyembul keluar di antara lautan bunga. Sebagian
besar reruntuhan itu hanya terdiri dari serpihan dinding atau pilar, yang sudah ditutupi lumut
ataupun tanaman rambat.
"Saat kotanya masih ada, kalau tidak salah namanya adalah Imagi," kata Alice. “Sepertinya,
aku ingat nama itu."
Alice telah memperingatkan Haruhiro agar tidak menginjak sekuntum bunga pun.
Bunga-bunga di sini tidak tumbuh dengan sendirinya. Ada orang yang mengumpulkan bibit-
bibitnya dari berbagai tempat, lalu menanam, memelihara, merawat, dan menatanya
sedemikian rupa.
Mungkin dari kejauhan tidak terlihat, namun saat didekati, ada jalan setapak selebar 50 cm
yang dibuat di sela-sela lautan bunga ini. Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak itu
untuk melintasi bukit.
"Um ... kalau aku tidak sengaja menginjak bunga, memangnya apa yang akan terjadi?" tanya
Haruhiro.
"Dia akan marah."
"Dia?"
"Orang yang akan kita temui."
Reruntuhan No. 2 yang biasa disebut Taman Bayard ini adalah tempat yang tidak pernah
berubah. Bukit ini pun demikian. Yahh, harusnya sih begitu.
Sejauh ini mereka sudah melintasi tujuh bukit yang dipenuhi bunga…. atau mungkin delapan?
Ah tidak, mungkin saja sembilan?
Awalnya Haruhiro terkesima oleh keindahan bunga-bunga ini, namun akhirnya biasa-biasa
saja.
Bunga… bukit… apakah itu penting?
"Alice," panggilnya.
"Apa?"
"Ummm…. aku tidak tahu sejak kapan ini terjadi…. sepertinya aku mulai melupakan nama-
nama temanku. Tapi, aku masih bisa mengingat wajahnya.”
"Kalau begitu, bayangkan saja wajahnya, lalu ucapkan semua kata yang mungkin mengawali
nama mereka, bagaimana? Seperti….. A, i, u, e, o, ka, ki, ku, ke, ko, dan seterusnya.”
"A, i, u, e, o ..."

132
Dia terus mengurutnya sampai "wa, wo, dan n," namun dia masih saja kesulitan mengingat
nama teman-temannya.
"Aneh," katanya. "Harusnya aku tidak mungkin melupakannya.”
"Tak ada satu pun di dunia ini yang tidak bisa kau lupakan," kata Alice padanya. "Aku bahkan
sudah melupakan nama dan wajah orang tuaku.”
"Tapi, sejak awal tiba di Grimgar, aku memang tidak pernah mengingat orang tuaku ..."
“Oh, maksudmu…. kau tidak mengingat apapun tentang kehidupanmu sebelum tiba di
Grimgar, kan? Yahh, kalau begitu jangan heran bila kau melupakan nama teman-temanmu.”
"Tapi… jika aku melupakan mereka, seolah-olah mereka tidak pernah ada bagiku.”
“Shihoru. Kuzaku. Mary. Setora? Oh, dan ada satu lagi? Kiichi, ya? Yume. Umm, ada juga
Ranta? Lalu Manato. Mogzo?"
Haruhiro menatap Alice. "Kenapa kau tahu nama-nama mereka?"
"Bukankah kau sendiri yang telah menceritakannya padaku, ingat? Yahh, kalau aku tidak salah
ingat sih.”
"Mereka pasti baik-baik saja," kata Haruhiro perlahan. "Pasti. Aku akan menemukan mereka
semua."
Untung saja Haruhiro sadar bahwa dia hampir melupakan teman-temannya. Karena kalai tidak
sadar, dia bahkan tidak akan mengingat pernah kenal mereka.
Pokoknya, mereka adalah kawan-kawan yang tidak tergantikan bagi Haruhiro, jadi bagaiman
bisa dia melupakan nama teman-temannya yang begitu berharga?
Haruhiro berusaha keras mencari mereka, namun di sisi lain dia hampir melupakannya. Kalau
begitu, lebih baik tidak perlu diingat, bukankah itu lebih mudah?
Tidak… tidak bisa begitu…, pikirnya. Namun, mungkin keinginan seperti itu muncul di
benaknya tanpa dia sadari.
Di Grimgar, dia tidak akan semudah itu melupakan nama teman-temannya yang sangat
berharga. Tapi di Parano, kau mungkin saja melupakan sesuatu yang sebelumnya terpatri kuat
di dalam ingatanmu.
"Simpan baik-baik hal yang penting di otakmu, kalau tidak kau akan segera kehilangannya,"
kata Alice padanya. “Di dunia ini tidak ada perbedaan antara sesaat dan selamanya. Yang ada
hanyalah ‘sekarang’. Jika konsep waktu tidak ada, maka selamanya dan sesaat tidaklah
berbeda. Haruhiro, jika kau benar-benar tidak akan bertemu lagi dengan teman-temanmu, maka
apa yang akan kau lakukan?”
Saat mereka berjalan melintasi perbukitan yang dipenuhi bunga, terlihat ada burung kuning
bertengger di tengah jalan setapak yang sempit. Di kepalanya ada bulu yang panjang. Apakah
itu semacam jambul? Pipinya bulat, merah, dan manis sekali.
"Itu burung beo? Atau parkit mungkin?” Haruhiro bertanya-tanya. "Apa yang sedang dilakukan
burung seperti itu di sini...?"
"Suzuki-san," kata Alice pada burung itu.
"Hei, Alice." hebatnya, burung mungil itu ternyata bisa berbicara bahasa manusia dengan
begitu fasih. Ingatlah, ini Parano. Jadi hal seperti ini bukanlah mustahil. Mungkin saja burung

133
itu sebenarnya adalah seorang yang lebih tua dari mereka. Karena suaranya terdengar jelas
lebih dewasa. "Apakah kau datang ke sini untuk menemui Haname, si perawat bunga?”
"Yah… begitulah," kata Alice. "Kau sedang bersantai seperti biasanya, Suzuki-san?"
"Ya, karena tempat ini sungguh nyaman." Suzuki-san berkicau dan sesekali memiringkan
kepalanya ke samping saat berbicara. Mulutnya bergerak dengan begitu cepat, sehingga sulit
untuk mengetahui apa yang dia bicarakan. "Semuanya akan baik-baik saja, kecuali jika kau
ganggu Haname.”
"Sepertinya, aku akan memaksanya melakukan sesuatu untukku."
"Oh ya… sepertinya kau sedang bersama orang baru," kata Suzuki. “Jangan buat masalah, ya.
Aku ini pecinta damai, lho.”
"Kalau begitu, menjauhlah dariku.”
“Ah tidak…. aku kan hanya mau menyapamu. Kau sendiri tahu bahwa aku adalah orang yang
sopan.” kemudian Suzuki-san mengepakkan sayapnya, dan terbang ke tempat lain.
"Apakah dia setengah monster?" tanya Haruhiro. "Atau makhluk lainnya? Sepertinya dia bukan
monster mimpi. Atau mungkin dia Trickster?"
"Suzuki-san adalah manusia. Itu hanya Doppel-nya."
"Bukankah Doppel merupakan salah satu jenis sihir?”
"Ya. Doppel adalah kebalikan dari kebanggan. Jika seseorang tidak memiliki harga diri, atau
bahkan membenci dirinya sendiri, maka mereka akan mendapatkan kemampuan yang disebut
Doppel. Sebaliknya, jika seseorang terlalu membanggakan diri sendiri, maka dia akan
mendapatkan sihir yang disebut Narci. Itu adalah sihir yang paling membosankan. Pada
dasarnya, sihir selalu merepresentasikan sifatmu yang tampak maupun tidak tampak.”
"Kalau begitu, Haname adalah ..."
"Dia adalah Trickster," kata Alice. "Dia lah penjaga Taman Bayard ini."
"Um, er ... Trickster? Akhirnya kita bertemu dengan Trickster?”
"Tenang saja, dia adalah orang yang pendiam dan menyenangkan. Kurasa semuanya akan baik-
baik saja.”
Haruhiro mulai tampak ragu saat melangkah mengikuti Alice. Menurut Alice, semuanya akan
baik-baik saja, namun Suzuki-san berkata sebaliknya. ’Jangan pernah ganggu dia’, kalau tidak
salah begitulah saran si burung mungil. Jadi, lebih baik dia waspada.
"Sebenarnya, aku ingin secepat mungkin menemukan teman-temanku," kata Haruhiro sembari
menghela nafas.
"Kalau kau terburu-buru, mangapa tidak pergi saja sendiri?”
"Tapi kan…. aku tidak tahu arah….”
"Kau sudah tahu lokasi Menara Besi Langit, jadi kau bisa pergi kemanapun tanpa tersesat.”
"Jadi itulah sebabnya kamu membawaku ke sana?"
"Aku bisa berbuat baik juga, lho."
Haruhiro berhenti. Dia berbalik, lalu berpikir, mungkin aku harus lakukan ini sendiri.

134
Jika Haruhiro mengatakan, ’Baiklah… kalau begitu, aku pergi dulu….’, mungkin Alice akan
menghentikannya. Mungkin Alice punya suatu rencana tertentu sehingga dia ingin Haruhiro
terus mengikutinya. Setidaknya, itulah yang Haruhiro harapkan.
Mengapa Haruhiro tidak berani mengambil resiko dengan mencari teman-temannya sendirian?
Apakah dia semakin lemah? Ah, tidak juga…. memang selalu seperti inilah Haruhiro. Saat
masih magang menjadi prajurit relawan pun, dia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan
Manato.
Andaikan saja saat itu dia berusaha lebih keras melindungi teman-temannya, apakah Manato
bisa selamat?
Haruhiro masih terhenti, dan bingung hendak melakukan apa, namun Alice kembali
melanjutkan langkahnya.
"Alice," panggilnya, namun dia tidak berniat menghentikan Si Jas Hujan itu. "Alice C."
Dia sudah membelakangi Alice. Tidak tidak mendengar langkah kaki Alice, apakah
panggilannya itu membuatnya berhenti?
Tanpa berbalik, Haruhiro berkata, "Aku akan pergi. Aku harus menemukan teman-temanku.”
"Oh ya?"
"Oh…. mungkin aku juga harus menemukan sihirku."
"Yahh, semoga berhasil."
Jika berpisah di sini, mungkin mereka tidak akan pernah bertemu kembali. Haruhiro tahu itu.
Dia pun merasa agak kesepian, tapi sekarang bukanlah saatnya bimbang.
Alasan dia tidak berbalik adalah, dia takut tekadnya akan kembali melemah. Dia ragu-ragu.
Namun, Haruhiro harus memantapkan pilihannya, atau tujuannya tidak akan pernah bisa
terwujud. Jadi, dia meyakinkan diri untuk tidak ragu-ragu.
Haruhiro menyentuh masker yang menutupi mulutnya. "Terima kasih untuk maskernya."
"Itu bukan apa-apa."
Dia hendak mengatakan, ’Sampai jumpa,’ tapi Haruhiro menelan bulat-bulat kalimat itu, dan
langsung melangkah maju.
Namun dia tidak bisa. Andaikan saja kakinya bisa bergerak, dia ingin melangkah sejauh
mungkin.
Dia terlalu takut. Dia akan sendirian di dunia yang serba aneh ini.
Dadanya terasa sesak.
Dia harus melampaui rasa takut ini, jika berhasil, maka Haruhiro bisa pergi ke manapun dia
mau. Tiba-tiba, muncul keinginan di dalam hatinya untuk memanggil lagi nama teman-
temannya. Dia tidak mungkin melupakan nama-nama itu untuk yang kedua kalinya, kan?
Semuanya akan baik-baik saja, dia meyakinkan dirinya sendiri. Aku tahu sifat mereka….
mereka tidak akan menyerah semudah itu. Seberapa jauh aku harus melangkah untuk
meninggalkan Taman Bayard? Apakah sebaiknya aku berlari saja agar lebih cepat?
Akhirnya kakinya bergerak.
Dia sedikit mempercepat langkahnya, namun tidak sampai berlari.

135
Tiba-tiba terjadi sesuatu….
Ada yang bergerak pada puncak bukit di depannya. Jaraknya beberapa ratus meter di depan,
atau bahkan lebih, sehingga Haruhiro kesulitan melihatnya. Tapi setidaknya, dia tahu bahwa
sosok itu sedang berjalan menyusuri jalan setapak.
Apakah itu manusia? Awalnya dia menduga bahwa itu Ahiru. Tapi ternyata bukan. Dari
bentuknya, sosok itu tidak mirip manusia. Mungkin itu monster mimpi?
Bukankah Alice masih berada di dekatnya? Harusnya monster itu takut pada Alice. Berarti itu
adalah setengah monster, atau manusia yang sudah diserap oleh monster mimpi, ya? Atau
mungkil Doppel milik seseorang?
Haruhiro menarik belatinya dalam posisi siaga.
Itu — laba-laba. Tapi kakinya mirip gurita. Itu monster laba-laba jadi-jadian yang pernah
dilawannya sebelumnya.
Pergerakannya tidak lambat, bahkan cukup cepat. Mungkin saat ini jarak mereka hanya terpaut,
40 – 50 meter.
Tubuhnya lebih besar daripada orang dewasa, dan kaki-kakinya begitu kekar. Dengan gerakan
kaki yang lincah, secepat kilat dia melintasi jalan setapak yang hanya selebar 50 cm.
"Ahahahahahah! Ahahahahahahahahahah! Ahahahahah! Ahahahahahahahahahah!”
Tampaknya makhluk itu sedang tertawa terbahak-bahak. Kepalanya terlihat seperti manusia.
Jadi, tidak aneh bila suaranya juga mirip manusia.
Sepertinya Haruhiro mengenal suara itu.
"Tunggu dulu ...?" Haruhiro sudah bisa melihat mata dan hidung laba-laba jadi-jadian itu.
Rambutnya kaku. Dia mengenakan kacamata. Hidungnya pesek. Wajah sedikit miring. Dan
suara itu.
“Ahihihiiii! Heehah! Ehihiohohohohohohoh! Gyahahahahbyohohogyuheheeh!”
"... Kejiman?"
"Doppooooooooooooooooooooooooooooooo ...!" dia ulurkan kaki guritanya, sembari
melompat lebar-lebar. Benarkah itu Kejiman?
Atau mungkin bukan? Wajahnya sih mirip Kejiman. Bahkan begitu identik. Tingkahnya pun
mirip Kejiman.
Makhluk itu melompat jauh ke arah Haruhiro. Dan terus meluncur mendekatinya. Kalau
diteruskan, bisa-bisa mereka saling bertabrakan.
Tentu saja, Haruhiro tidak hanya menatap kosong pada makhluk itu, tanpa melakukan apa-apa.
Dia sudah bisa memperkirakan titik jatuh makhluk laba-laba jadi-jadian berkepala mirip
Kejiaman itu, sehingga Haruhiro bisa menghindarinya dengan mudah.
Bukannya mundur, dia malah bergerak maju. Jika saja dia boleh bergerak bebas di tempat ini,
mungkin Haruhiro sudah berguling ke suatu sisi, namun Alice melarangnya menginjak satu
bunga pun di taman ini. Maka, dia bergerak di sepanjang jalan setapak, sembari
membungkukkan badannya.
Kejiman melayang di atas kepala Haruhiro.

136
Ah tidak…. belum tentu makhluk jadi-jadian itu Kejiman.
Makhluk itu mendarat di belakangnya dengan suara dentuman yang aneh. Haruhiro dan laba-
laba jadi-jadian mirip Kejiman itu menoleh pada saat yang hampir bersamaan, dan dia juga
melihat Alice sedang menatap mereka.
"Hei, jangan menginjak bunga!" bentak Alice.
Mungkin Alice tidak mengatakan itu pada Haruhiro, melainkan si monster. Haruhiro ragu
apakah monster itu paham apa yang dikatakan Alice, namun tampaknya sudah terlambat.
Monster itu mengeluarkan suara seperti, "Shaaaaaaaa ..." lalu berbalik padanya. Kaki-kakinya
yang mirip gurita melangkah keluar jalan setapak, sehingga menginjak bunga-bunga di
sekitarnya.
“Haruharuharuharuharuharuharuharuhirororororororororororooooooo...."
"Ya, ampun ..." gumam Haruhiro.
Dia semakin yakin bahwa makhluk ini adalah Kejiman. Atau, setidaknya…. pernah menjadi
Kejiman.
Haruhiro ingin menangis. Tak banyak pria yang bisa bertahan di dunia segila ini, lho.
Lidah makhluk itu menggeliat sembari bersuara, "Rorororororororororo" dan itu sangat
menjijikkan.
Tunggu dulu…. dia benar-benar menginjak bunga, wah….gawat nih, apa yang akan terjadi
selanjutnya?
"Hey, beraninya kau ...!" Alice melompat ke arah monster itu.
Sekop telah terkelupas, sehingga puluhan serat mirip ular langsung menjerat badan monster
itu. Serat-serat itu sebenarnya bukanlah kulit sekop. Itu bahkan bisa melindungi Haruhiro dan
Alice dari hamburan bangunan-bangunan yang berjatuhan. Serat-serat itu sungguh keras, dan
juga tajam.
Puluhan serat itu mencincang monster Kejiman sampai menjadi bubur.
"Uwah ..." Haruhiro bergerak mundur secara refleks.
Monster itu berkepala mirip Kejiman, berbadan mirip laba-laba, dan berkaki mirip gurita.
Senjata Alice mencincang tubuhnya, namun masih menyisakan kepala Kejiman. Tidak hanya
mencincang, serat-serat itu juga melumatkan tubuh si monster tanpa belas kasihan sedikit pun.
Tak lama lagi, kepala Kejiman pasti akan lepas dari badannya.
Tapi, tepat sebelum itu terjadi ...
... Kejiman melepaskan diri dari tubuh si monster.
Dia keluar begitu saja, bagaikan siput yang lepas dari cangkangnya.
"Eek! Eeeeeeeek!” teriak Kejiman.
Setelah jatuh di jalan sempit, pria itu merangkak mendekati Haruhiro.
Haruhiro mundur semakin jauh. Pria itu telanjang. Tubuhnya bermandikan lendir yang lengket
dan licin. Sejak awal Haruhiro memang enggan dekat-dekat dengan pria ini, apalagi kalau
dipenuhi lendir menjijikkan seperti itu.
"Haruhirororororo!" ratap Kejiman.

137
“Haruhirorororororororoooo! Rororororororororororo! ”
"Tidak! Menjauhlah dariku!”
"Kau tega sekaliiiiiiii ..."
Kejiman berdiri. Sedangkan monster laba-laba itu sudah hancur berkeping-keping, dan
serpihan tubuhnya tersebar kemana-mana.
Alice melompati sisa-sisa jasad monster itu, sembari menyiapkan sekopnya. "Seorang manusia
yang keluar dari tubuh monster mimpi? Siapa dia? Haruhiro, apakah dia temanmu?”
"Tidak, dia bukan temanku ..."
"Kalau bukan teman, lalu kau sebut apa hubungan kita, Haruhiro?" rengek Kejiman.
"Ayolaaah, kau tahu namaku, kan?”
"Kau Kejiman, kan?"
“Kejimananan? Whuhwhawhawhawhawha? Whawhawhawhawhahwahwhawhawha."
Lidahnya menjulur-julur dengan begitu cepat. Matanya pun bergulir-gulir dengan cepat.
Pembuluh darahnya menebal, dan berdenyut kencang. Pasti terjadi sesuatu padanya. Dia tidak
normal. Jangan-jangan dia akan mati.
Sepertinya mereka harus menghabisi nyawa pria ini…yahh, mungkin itu terlalu kejam, tapi apa
boleh buat. Apakah dia sudah menjadi monster mimpi? Ataukah hanya setengah monster?
Haruhiro tidak tahu, tapi yang jelas, Kejiman sudah bersatu dengan monster itu.
Tapi, apakah Haruhiro tega membunuhnya? Dia sendiri tidak yakin.
"A-Alice ..."
Haruhiro kasihan padanya, tapi dia harus menyerahkan pekerjaan ini pada Alice. Meskipun
Haruhiro tidak memintanya, Alice sepertinya sudah siap mencincang orang ini sekali lagi.
Selamat tinggal, Kejiman, pikirnya. Mungkin kita tidak akan pernah bertemu lagi. Andaikan
sejak awal kita tidak pernah bertemu, mungkin nasibmu tidak akan senaas ini.
"ΩΩΩΩχχχχχχχχΩΩΩχχχχχχχΩΩχχχχχχχχΩΩΩχχχχχχχχχΩΩΩχχχχχχχχχΩΩχχχχχχχχχΩΩΩ
χχχχχχχΩΩχχχχχχχχχχχΩΩΩΩΩχχχχχχχΩΩΩΩχχχχχχχχ ...!”
Haruhiro terhuyung. Suara apakah itu? Seperti getaran ultrasonik atau semacamnya.
Telinganya terasa sakit, keseimbangan tubuhnya terganggu, sehingga dia berjalan
sempoyongan.
Bukan hanya Haruhiro. Kejiman yang telanjang itu memegangi kepalanya, bahkan Alice
gemetar ketakutan.
Alice berteriak "... name!" atau semacamnya.
...name...
...name...
Maksudnya Haname, kan? Dia lah Trickster penjaga Taman Bayard ini.
Kau tidak boleh menginjak bunga di sini, Haruhiro tiba-tiba mengingat larangan itu.
Kejiman telah melanggar larangan itu. Dia membuat Haname marah. Apakah ini akibatnya?

138
Dari seberang cakrawala, perlahan-lahan ada sesuatu yang membentang di langit. Semakin
besar dan terus membesar, melikupi langit berpola polkadot. Warnanya sulit dideskripsikan,
bahkan berubah-ubah setiap saat. Cahaya memancar darinya, bagaikan aurora. Namun, itu
bukanlah aurora. Wujudnya seperti zat padat.
Apakah itu benda? Tapi itu bergerak…. jadi, apakah itu makhluk hidup? Ukurannya juga begitu
besar.
Perlahan-lahan sosoknya semakin jelas terlihat. Itu… seperti… burung? Atau mungkin kupu-
kupu? Atau mungkin ngengat? Sayap raksasanya membentang, seolah hendak menyapu langit.
Mungkinkah ... itu Haname?
"... Haname?" bisik Haruhiro.
Tidak…tidak mungkin… makhluk itu terlalu besar untuk seukuran penjaga kebun. Mungkin
makhluk itu adalah sesuatu yang dipanggil oleh kekuatannya Haname. Ya… sepertinya begitu.
Namun, ukuran makhluk itu sungguh luar biasa, sampai-sampai Haruhiro ingin berdoa bahwa
ini semua tidaklah nyata. Lalu, apa yang akan terjadi sekarang? Dia tidak bisa
membayangkannya. Kemudian, makhluk yang mungkin diciptakan oleh kekuatannya Haname
itu, mengepakkan sayapnya untuk menciptakan gelombang di langit. Ya, itulah yang coba
dilakukan makhluk itu, mengingat wujudnya mirip kupu-kupu atau ngengat.
Haruhiro mulai merasakan hembusan angin kencang. Namun, anginnya tidak berbau wangi.
Perlahan-lahan, atmosfer tersedot oleh makhluk itu.
"Uh oh! Uh oh! Uh oh! Uhohoh! Uhohohohohoh!" Kejiman merangkak di tanah dengan kedua
tangan dan kakinya.
"Ah!" tubuh Haruhiro mulai terangkat.
Oh sial.
Dia terbang.
Mereka terangkat menjauh dari tanah.
Bunga.
Sejumlah besar bunga di Taman Bayard tersapu…. tak peduli yang berwarna merah, kuning,
oranye, ungu, biru, putih, dan pink… semuanya tersapu bersih.
"Tidak! Tunggu?!” dengan panik Haruhiro mengayun-ayunkan tangannya, mencoba kembali
menggapai tanah.
Tapi dia terus terangkat.
Haruhiro sudah mengambang di udara.
Mungkin, dia hanya bisa pasrah…..
"Haruhiro!" namun, tepat di bawahnya, Alice sedang menusukkan sekopnya ke dalam tanah.
Sekali lagi sekop itu terkupas, sehingga munculah serat-serat hitam yang segera meraih
Haruhiro di udara. Mungkin Alice berusaha menyelamatkannya. Tapi, bukankah serat-serat itu
sangat tajam? Apakah tubuhnya akan terpotong?
Namun ternyata, serat-serat itu melilit dan membungkus tubuh Haruhiro dengan lembut.
Setelah menarik Haruhiro ke bawah, Alice menyematkannya ke tanah.

139
"Kyaaaaaaaa!" Kejiman meratap. “Kyuuuuuuuuu! Kyoooooooooooo ...?!”
Kejiman yang telanjang itu terhisap ke langit. Tunggu, bukankah dia sedang berenang? Kenapa
dia bisa melakukan hal seperti itu di udara? Tak peduli manusia atau monster, harusnya
mustahil dia bisa melakukan hal seperti itu. Dia hanya menggerak-gerakkan tangan dan
kakinya, lalu dia berenang layaknya di kolam.
Lagi-lagi, Alice membentuk serat-serat sekopnya menjadi kubah. Dalam waktu singkat, serat-
serat hitam itu saling merajut dan berpilin menjadi kubah tanpa celah. Kemudian, Alice
menyegelnya sehingga terbentuk perlindungan total terhadap hisapan angin. Di luar, angin
ribut mengamuk, namun dari dalam hanya terdengar suaranya.
"Mudah-mudahan ini cukup untuk menahan amarahnya," kata Alice. "Tapi, aku sendiri juga
tidak yakin."
"Jangan-jangan…." kata Haruhiro sambil menelan ludah. "…makhluk raksasa itu benar-benar
Haname?"
“Ya, tapi dia tidak selalu seperti itu. Biasanya, sosoknya terlihat seperti wanita cantik,
meskipun tanpa wajah.”
"Oh ... begitu, tidak punya wajah, ya ..."
"Semua ini karena monster menjijikkan itu menginjak bunga."
"Tapi… lihatlah taman ini sekarang ... bukankah Haname sendiri yang merusaknya??"
"Saat marah dia kehilangan kendali, tapi untuk seukuran Trickster, perbuatannya ini masih
tergolong baik…”
Masih tergolong baik.
Inikah yang dia sebut “baik”?
Yang benar saja? Trickster sungguh menakutkan. Haruhiro tidak tahu harus berbuat apa untuk
mengatasi amukan makhluk ini.
"Haruhiro," kata Alice.
"...Ya?"
"Aku yakin kau masih bingung mengapa aku mau susah payah pergi ke tempatnya Haname.”
"Yah ... aku ingin tahu alasannya."
"Aku tahu dia orang yang mengerikan, namun meminta bantuan padanya jauh lebih baik
daripada tidak sama sekali.” kata Alice. "Jika kau pikir bisa hidup di dunia ini tanpa bantuan
orang lain, maka kau salah besar.”
Tiba-tiba, wajah Ranta terlintas di benaknya. Meskipun dia sangat membencinya, tapi jika ada
bocah itu di sini, maka setidaknya…… setidaknya….. urusan akan menjadi lebih mudah.
Haruhiro ingin mencari teman-temannya, namun terkadang tekad itu tergoyahkan oleh
beratnya cobaan-cobaan yang menghadangnya.
Bagaimana cara dia mengukuhkan tekadnya? Ataukah sebaiknya dibiarkan begitu saja?
Ketika bersama teman-temannya, Haruhiro tahu betul peran yang harus dia jalankan. Dia pun
tahu bagaimana harus menentukan tujuan, sehingga dia hanya perlu fokus pada tujuan tersebut.
Namun saat sendirian, dia seakan kehilangan arah. Dia tidak tahu keputusan apa yang harus
diambilnya, dan tekadnya semakin memudar.

140
"Tapi sepertinya, memang begitulah sifatmu. Kau suka menanggung semuanya sendirian."
tiba-tiba Alice berbisik. Dengan tangan kanan masih memegang sekop yang sudah terkelupas,
Alice meraih kerah baju Haruhiro menggunakan tangan kirinya. “Berdirilah.”
"Hah?"
Haruhiro ragu, namun dia masih bersedia mengikuti perintah Alice. Dia pun terkejut saat Alice
merangkul pinggangnya.
"...Hah? A-a-a-apa yang kau lakukan….?”
“Aku pikir ada yang aneh. Aku bisa merasakannya,” kata Alice. "Menggunakan sihir bisa
menguras stamina seseorang, namun saat berada di dekatmu, entah kenapa rasanya tubuhku
lebih ringan. Kenapa sihirku semakin menguat…..”
Sekop telanjang itu berkedip dengan cahaya merah yang redup.
Alice mendekatkan tubuhnya begitu rapat dengan Haruhiro.
Mulai muncul keinginan di benak Haruhiro untuk melucuti masker Alice. Dari jarak sedekat
ini, dia semakin penasaran dengan wajah Alice yang sesungguhnya.
"Tidak apa-apa," kata Alice dengan berbisik. "Kau boleh melepaskan maskerku semaumu. Kau
ingin melihat wajahku secara penuh, kan?” Seolah-olah Alice tahu apa yang sedang dipikirkan
Haruhiro.
Tangan Haruhiro gemetaran, namun dia tidak ragu-ragu. Akhirnya, Haruhiro menggeser
masker Alice sampai ke bawah dagunya.
"Wajahku normal, kan?" kata Alice. "Ataukah ada sesuatu yang membuatmu kecewa?"
"... ahhh."
Ternyata Si Jas Hujan ini benar-benar wanita.
"Akan kubantu kau mencari teman-temanmu," kata Alice padanya. “Asalkan, kau mau
membantuku dengan sihirmu.”
"... sihirku?"
“Ada empat jenis sihir. Aku sudah mengatakan itu sebelumnya, kan?”
"Philia, Narci, Doppel ... sepertinya kau hanya memberitahuku 3 jenis."
“Itu karena aku belum pernah melihat yang keempat. Namun hari ini, aku melihatnya. Inilah
Resonance.”
"... itukah sihirku?"
"Ya. Resonance bisa memperkuat sihir seseorang. Hanya itulah efeknya.”
"Jadi… cuma itu kemampuanku? Pada dasarnya, aku hanya bisa memperkuat sihir orang lain?”
"Itu cocok sekali untukmu.” kata Alice sembari tersenyum tipis.
Jantung Haruhiro berpacu kencang selama beberapa saat. Dia tidak ingin menunjukkan itu, tapi
sepertinya Alice sudah tahu.
’Aku tidak jelek, kan.’ seolah-olah itu yang ingin dikatakan Alice padanya.
Ya, tentu saja tidak jelek. Bahkan, ‘jelek’ adalah kata yang sangat tidak sopan untuk
membandingkan wajah gadis itu.
141
Ada seorang Elf perempuan bernama Lilia di Party Souma, yaitu sang pemimpin Daybreakers.
Pada umumnya, ras Elf memiliki paras rupawan. Itu karena struktur wajahnya berbeda dengan
manusia biasa.
Jika Haruhiro harus membandingkannya, mungkin wajah Alice mirip Lilia. Kecantikannya
berbeda dengan wanita ras manusia pada umumnya. Hidung, mata, bibir ... semuanya begitu
sempurna, sampai-sampai dia tidak percaya ada gadis secantik ini di Parano, yaitu dunia aneh
yang berisikan monster-monster buruk rupa.
Seolah-olah, saat menciptakan Alice, Tuhan telah mengukur detailnya dengan begitu
sempurna, sampai ke satuan milimeter terkecil. Setiap pias wajahnya begitu seimbang dan
proporsional, tidak ada yang terlalu besar, ataupun terlalu kecil.
Alice pernah bercerita bahwa dia sering dibully sewaktu kecil, baik secara fisik maupun mental.
Haruhiro sama sekali tidak paham, kenapa berandalan-berandalan cilik itu membully gadis
secantik ini.
Andaikan Haruhiro mengenal Alice saat kecil, mungkin dia tidak akan berani mendekatinya.
Setiap hari akan dia habiskan dengan mengintip Alice dari kejauhan, sembari mengagumi
parasnya yang luar biasa cantik.
Apakah Alice benar-benar nyata?
Apakah ini mimpi?
Haruhiro masih saja berpikiran seperti itu.
’Andaikan saja ini mimpi.’ harapnya dalam hati.

142
Bab 19
Air Matanya Yang Tampak Indah

Mungkin ini sedikit tidak masuk akal, namun ternyata Kuzaku baik-baik saja. Dia masih segar
bugar, dan penuh energi. Bahkan, tidaklah berlebihan menyebutnya berada dalam kondisi
prima.
Otot-ototnya mengeras, sehingga membuat armornya terasa sempit. Yahh, meskipun agak
sesak, namun dia merasa begitu fokus. Dia tidak pernah merasa sefokus ini sebelumnya, tapi….
Dia berseru untuk memanggil nama rekannya. "Shihoru-san!"
Suaranya begitu lantang, bahkan itu membuat Kuzaku sendiri terkejut. Saat ini dia sedang
berada di suatu hutan yang tanah, pepohonan, semak, dan apapun di sekitarnya berwarna hitam
legam. Warna hutan ini memang hitam, dan bukan karena matahari yang sudah tenggelam. Dia
menatap rekannya sembari membawa Katana besar di tangannya.
"Bangunlah! Kau bukan gadis mesum kan, Shihoru-san!”
"Kenapaaaaa?" Shihoru meratap.
Tubuh gadis itu terlilit oleh benda yang tampak seperti jaring laba-laba berkilauan. Dalam
keadaan telanjang bulat.
Kuzaku tidak bisa melihat tubuh gadis itu dengan jelas, karena terbalut jaring laba-laba.
Tapi…. yahh, kurang-lebih gadis itu tidak mengenakan busana.
Tunggu dulu… sejak kapan rambut Shihoru sepanjang itu? Bibirnya terlihat lembut dan seksi.
Sedangkan matanya terlihat sayu, seperti orang mengantuk.
Apa-apa’an ini? Apa yang telah terjadi dengan mereka?
Sayangnya, Kuzaku hanya bisa menjawab: ’Panjang ceritanya’
Meskipun banyak hal telah terjadi, bukan berarti Kuzaku memahaminya. Kuzaku bisa saja
menceritakan semuanya, namun dia tidak begitu mengerti, bahkan mendeskripsikannya pun
sulit.
"Aku bukan gadis mesum?" rengek Shihoru. “Mesum katamu, Kuzaku-kun? Hah? Bagaimana
bisa kau berpikir seperti itu?"
"Ah tidak, tapi yang jelas ... Shihoru-san, kau adalah rekanku! Sudah banyak hal kita lalui
bersama! Susah dan senang kita jalani bersama! Tapi, kenapa sekarang kau terlihat... "
"Terlihat apa?"
Dia mulai membelai dadanya sendiri, sembari mendesah-desah.
Whoa, whoa, whoa, a-apa yang sedang dia lakukan? Kuzaku coba memalingkan wajahnya,
namun dia malah menatapnya.
Apakah dia memang ingin melihatnya? Jika Kuzaku menjawab ‘tidak’, mungkin itu adalah
suatu kebohongan besar. Ah …. sebenarnya, ini bukan masalah ingin melihat atau tidak.
"Ini gila, Shihoru-san!" serunya. "Kau sudah gila!"

143
"Sepertinya begitu. Aku memang merasa seperti orang gila.”
“Tidak, bukan itu maksudku! Sial! Yang harus kita lakukan saat ini adalah mencari Haruhiro,
Mary-san, Setora-san, dan Kiichi….. tapi aku bahkan tidak bisa berkomunikasi denganmu!”
"Lupakan saja," kata Shihoru. "Aku sudah tidak peduli dengan semua itu."
Entah sejak kapan, tiba-tiba gadis itu menangis. Namun, bukan air mata yang mengalir dari
matanya, melainkan sesuatu mirip jaring laba-laba. Benda itu jugalah yang membungkus
tubuhnya. Jadi…. jaring itu berasal dari tangisannya.
Shihoru terlihat begitu menggoda saat menangis, namun Kuzaku tidak bisa hanya duduk diam
sembari menikmati pemandangan indah ini.
Jaring laba-laba itu terus meluap dari matanya seakan tanpa henti. Jaringnya pun semakin
panjang, dan terus membungkus tubuhnya, sehingga dia terlihat tambah mempesona bagaikan
permata. Kemudian, jaring berkilauan itu jatuh berserakan di sekitar kakinya.
"Ya ampun, apa yang terjadi denganmu?!" sembari masih menggenggam Katana-nya, Kuzaku
membungkuk pada gadis itu.
Kuzaku tampak begitu segar. Entah kenapa, sepertinya dia semakin kuat. Seberapa banyak dia
telah membunuh monster-monster aneh itu?
Semakin banyak monster yang dia bunuh, maka semakin kekar pula ototnya, dan kemampuan
berpedangnya pun semakin tajam. Otot-ototnya terlihat lebih sehat, kuat, kencang, dan segar….
itu membuat Kuzaku tampak lebih jantan. Dengan fisik sehebat itu, sepertinya dia telah
membunuh begitu banyak monster.
“Pokoknya, aku tidak peduli dengan mereka." sambil menangis, Shihoru mengangkat kedua
lengannya. Jaring laba-laba berkilauan itu terus menumpuk di kakinya, dan beberapa
beterbangan ke arah Kuzaku. Gawat nih.
"Nuwahhh ...!" sekuat tenaga, Kuzaku menebas jaring-jaring itu dengan Katana-nya. Namun,
tak peduli sekeras apapun ayunannya, jaring laba-laba itu tidak bisa putus. Dia pun coba
menghalau jaring itu dengan hembusan angin dari tebasan pedangnya.
Akhirnya, jaring-jaring itu terhempas dan berjatuhan di pepohonan dan tanah yang hitam
legam. Kemudian, benda itu bersinar terang, sebelum akhirnya hancur.
Benda apa itu sebenarnya? Benarkah itu jaring laba-laba? Mengerikan sekali. Apa yang
sebenarnya terjadi di sini? Kuzaku sendiri tidak tahu.
"Apa yang terjadi padamu, Shihoru-san?!" teriaknya.
Si gadis masih menangis dalam kesedihan. Jaring-jaring lainnya kembali bermunculan, dan
bergerak mendekati Kuzaku.
Kuzaku mundur selangkah-dua langkah, kemudian mengayunkan pedangnya untuk menangkis
jaring itu. Namun anehnya, dia tidak bisa menahannya.
Kekuatan benda mirip jaring laba-laba itu…. tidak normal, kan?
Apakah kami sedang bermimpi buruk? tanyanya dalam hati.
Terlepas dari keanehan apapun yang terjadi di sini, dia masih berharap bahwa ini semua
hanyalah mimpi.

144
Kata Penutup

Nah, Hai To Gensho No Grimgar sudah mencapai jilid ke 13 sekarang.


Saat menulis cerita ini, terkadang aku berpikir, ’Oh, aku paham, itu akan terjadi,’ tapi aku
sendiri penasaran, bagaimanakah kelanjutannya.
Hal seperti itu tidak akan kuketahui sampai aku benar-benar menulisnya. Aku pun berharap
bahwa kelanjutannya tidaklah terlalu jelek, karena apapun yang terjadi, akulah si penulisnya.
Ngomong-ngomong, ada edisi spesial jilid ini disertai dengan Drama CD, yang dirilis pada
waktu bersamaan. Aku sendiri yang menulis ceritanya.
Sejak awal, aku ingin Direktur Ryosuke Nakamura, yang pernah bekerja pada proyek Anime
Hai To Gensho No Grimgar, menjadi pengarah audio-nya. Dan akhirnya, aku membuat cerita
dengan pertimbangan versi Anime dan Light Novel-nya sekaligus.
Sutradara Nakamura benar-benar menyaring esensi dari serial Grimgar ini, sehingga ketika
menontonnya, aku langsung bisa merasakan bahwa inilah Grimgar, meskipun ada beberapa
bagian yang berbeda dengan versiku.
Sutradara Nakamura memiliki kepekaan, teknik, dan bakat yang tidak kupunyai. Dia bisa
membawakan Grimgar yang tidak pernah kudapatkan di versi Anime-nya.
Dengan memanfaatkan semua itu, aku ingin menulis suatu naskah yang baik. Jujur saja, aku
sungguh ingin mendengarkan Drama CD yang pembuatannya diarahkan langsung oleh
Direktur Nakamura, dan juga staff-staff dari Anime.
Saat menulis kata penutup ini, aku belum mendengarkan hasil akhirnya dari Drama CD
tersebut. Namun, aku pernah menghadiri proses pembuatannya, jadi kurang-lebih aku tahu
bagaimanakah hasil akhirnya. Tentu saja, ini akan menjadi produk yang luar biasa. Para Seiyuu
memainkan perannya dengan nyaman, dan mereka juga memuji naskahku yang bagus.
Kurasa, itu merupakan pendapat jujur dari mereka, dan bukan hanya sekedar ramah-tamah
terhadapku. Jika kalian tertarik, silahkan mendengarnya. Khususnya untuk para penggemar
versi Anime, kalian tidak boleh melewatkan produk yang satu ini.
Sejak terlibat dalam produksi Anime, aku mendapatkan lebih banyak peluang bekerja sama
dengan orang lain, untuk menciptakan sesuatu yang hebat. Aku menikmati pekerjaanku sebagai
seorang novelis, dimana aku bisa menciptakan suatu karya hanya dengan kedua tanganku
sendiri. Namun, proyek Anime ini menunjukkan bahwa aku tidak akan bisa meneruskan ini
semua tanpa bantuan dari para staff.
Dengan bantuan orang-orang hebat ini, aku bahkan sanggup mendaki gunung yang tidak akan
pernah bisa kutakhlukkan sebelumnya. Setelah sampai di puncaknya, aku bisa melihat
pemandangan yang begitu luar biasa.
Kurasa, aku bisa menggunakan pengalaman ini pada profesi utamaku sebagai seorang penulis.
Jadi, nantikan jilid berikutnya, ketika Haruhiro dan teman-temannya semakin menggila di
dunia lain ... atau mungkin tidak.
Kepada editorku, Harada-san, pada Eiri Shirai-san, pada para desainer dari KOMEWORKS
sekalian, pada semua orang yang terlibat dalam produksi dan penjualan novel ini, dan akhirnya
pada kalian semua yang sedang memegang buku ini sekarang, kuucapkan segenap rasa
terimakasihku dari lubuk hati terdalam. Sekarang, aku akan meletakkan penaku untuk hari ini.
145
Kuharap kita akan bertemu lagi.
-Ao Jyumonji

146
Bonus Cerita Pendek

Adegan #8: Si Rambut Berantakan dan Si Rambut Perak


Sembari meletakkan kepalanya di atas meja, Ranja menghela napas panjang. "Aku tidak
tahu..."
"A-Ada apa, Ranta-kun?" tanya Mogzo yang duduk di sampingnya, tapi Ranta hanya terdiam
sesaat.
Mogzo mulai bergumam. "U-Umm ..."
Bosan terdiam, akhirnya Ranta menoleh ke arah Mogzo. "Dengarkan ini, bung..."
"Hah? Uh, tentu. "
"Mau kah kau melakukan sesuatu untukku?"
"A-Apa?"
"Misalnya, menceritakan kisah yang menarik, atau ucapan yang bermanfaat. Atau mungkin,
kita bisa bermain Tsukkomi bersama, kau menjadi si bodoh, sedangkan aku yang pintar.”
"Oh, tidak ... aku tidak pandai melakukan hal seperti itu ..."
“Yahh, sudah kuduga. Kau memang membosankan, bung. Tapi kau pria yang baik. Aku merasa
jengkel setelah melihat sepupu, adik perempuan, dan teman masa kecilmu ternyata adalah
gadis-gadis yang manis.”
"Hm? Hmmm, yahh, itu karena aku tidak mirip seperti adik perempuanku. Jadi, tentu saja dia
manis.”
"Sekarang kamu mulai membual?"
"Hah? Tidak…tidak… dia memang adik perempuanku, kok. Yahh, setidaknya itulah sisi positif
dari wajah kami yang tidak terlihat sama.”
"Mungkin kau benar. Menurutku dia cukup manis. Tapi, bukankah dia akan semakin cantik
bila tumbuh dewasa nanti? Maksudku, Oppai-nya akan semakin besar.”
"...jangan macam-macam."
"Hah?"
"Jika kau macam-macam pada adikku, tak peduli teman atau lawan, akan kubunuh kau!”
Mogzo berteriak sangat keras. Wajahnya pun terlihat berang.
Seketika, seisi kelas terdiam. Sepertinya mereka terkejut dengan sikap Mogzo. Tentu saja,
karena selama ini Mogzo dianggap sebagai lelaki pendiam. Ranta juga terkejut. Dia mengenal
Mogzo sebagai si besar berhati lembut, meskipun terkadang-kadang dia sangat bersemangat
saat melihat makanan.
Tak seorang pun tahu si pendiam ini akan begitu mengerikan saat marah.
Ranta menelan ludah. "Kau membuatku ketakutan, bung."
“O-Ohhh! M-Maaf. A-aku tidak bisa mengendalikan diri jika seseorang berkata jelek pada
adikku.”

147
"Kau sungguh mengerikan! Sampai-sampai aku kencing di celana.”
"Apa…. jadi, kau ngompol?"
"Hanya sedikit, kok."
"O-Oh ... kau bawa celana dalam cadangan, kan?”
“Sudah kubilang, hanya sedikit! Hanya beberapa tetes kok, sumpah! Lihatlah, sekarang seisi
kelas memandangi kita seperti seorang idiot! Ini semua salamu, Mogzo!”
"M-Maaf ..." Mogzo meringkuk, seolah-olah berusaha menyusutkan tubuh besarnya menjadi
sekecil mungkin. Tapi, tentu saja itu tidak mungkin terjadi.
"Pfft ..." tiba-tiba Ranta tertawa terbahak-bahak.
"Hah?! A-ada apa, Ranta-kun?”
"Tidak… tidak ada apa-apa.”
"T-Tapi kau barusan tertawa ..."
“Ada sedikit kekonyolan yang membuatku tidak bisa menahan tawa. Hey, dengarkan aku,
bung. Daripada menjadi orang yang menyeramkan seperti itu, mengapa kita tidak berusaha
melucu saja?”
"M-melucu? Seperti seorang komedian?”
"Itu dia. Itulah yang kumau. Oke? Belakangan ini aku berpikir ingin menjalani hidup sebahagia
mungkin. Jika kita bisa membuat orang lain tertawa, maka kita akan populer. Kita akan
terkenal, seperti selebriti! Kemudian, gadis-gadis akan datang dengan sendirinya pada kita!”
"Benarkah……itu?"
“Kuncinya adalah popularitas. Selama kau menjadi orang yang terkenal, kau bisa mendapatkan
apapun yang kau mau. Aku serius!”
"Uh, ya ... Yah, kurasa ... kau benar juga ..."
"Tapi, sepertinya kau tidak berbakat melawak. Kau tidak cocok menjadi si bodoh ataupun si
pintar dalam permainan Tsukkomi sekalipun. Maksudku, aku jelas-jelas lebih cocok menjadi
si pintar. Jadi, aku membutuhkan seorang partner untuk berperan menjadi si bodoh. Dia
haruslah seseorang yang sudah tolol sejak lahir, aneh, nyeleneh, tidak pandai bergaul…. atau,
mungkin tidak harus begitu. Orang cerdas juga boleh sih, tapi dia harus pandai bersandiwara
menjadi si bego….. Duh, sepertinya aku harus pergi ke toilet sebentar. Aku harus memeriksa
sempakku, karena rasanya sudah mulai tidak nyaman.”
"Oh. Sampai nanti, Ranta-kun ... ”
Ranta meninggalkan ruang kelas untuk menuju toilet. Dia terus memperhatikan
selangkangannya saat berjalan, sehingga hampir menabrak seseorang.
"Whoa, ma—af…" dia coba meminta maaf. Tapi, saat melihat orang yang hendak ditabraknya,
Ranta langsung terkejut. Pria itu tinggi dan berambut perak. "Eep!"
"Hah?" tanya pria itu.
“Ohhhh, tidak, tidak, tidak! T-t-t-t-t-t-t-t-t-t-tidak apa-apa! Maafkan aku!"
Ranta hendak melakukan Kowtow, tapi dia punya firasat jika bersujud di depan pria berambut
perak itu, kepalanya akan diinjak sampai gepeng. Maka, dia lebih memilih untuk lari.

148
“I-Itu Renji! Sial, dia sungguh menakutkan!”
Mengapa aku harus bertemu dengan Tanaka Renji, si pria paling menakutkan di sekolahan
ini!?? benarkah pria itu seumuran dengannya? Dengan aura mengerikan seperti itu, harusnya
Renji berusia jauh lebih tua daripada mereka, mungkin sekitar 20-an lah. Dia lebih mirip seperti
om-om Yakuza dariapda siswa sekolah.
"Ah, sial. Sepertinya aku ngompol lagi!”
Yahh, akan tetapi…. siapa yang bisa menebak jalannya hidup? Meskipun Ranta begitu
menakutinya, siapa tahu suatu saat nanti mereka bisa membentuk duo-komedian, “Si Rambut
Berantakan Dan Si Rambut Perak”.
Adegan #9: Perjalanan Pria.
Ini terjadi pada suatu hari sepulang sekolah, tak lama setelah mereka bertemu untuk yang
pertama kalinya.
"Hei, tunggu, Tanaka," guru wali kelas memanggilnya, sepertinya hendak membicarakan
sesuatu.
Renji merasa tidak nyaman dipanggil begitu. Tapi dia tidak bisa membentak gurunya. Dia pun
membalas pria itu dengan nada kasar, "Ya!? Ada apa?"
"Uh ... tidak ... tidak ada apa-apa ... Maafkan aku." bahkan si guru terlihat begitu ragu berbicara
dengan Renji. Akhirnya, pria itu pun pergi meninggalkannya. Dia kalah.
Seisi kelas seketika menjadi senyap. Saat Renji menoleh pada mereka, semuanya terlihat
tegang, sembari memalingkan wajah darinya. Renji tidak nyaman dengan situasi ini. Dia mulai
merasa kesal.
Apa-apa’an mereka? pikirnya. Tanpa sadar, dia mendecakkan lidahnya dengan ekspresi wajah
begitu menyeramkan, sampai-sampai seorang gadis mulai menangis.
Sebenarnya, jauh di dalam hatinya Renji begitu terkejut, Apa yang salah denganku? itulah yang
dia pikirkan. Dia merasa tidak melakukan sesuatu yang pantas membuatnya minta maaf. Maka,
Renji pun pergi keluar kelas.
Mulai saat itu (yahh… sebenarnya sejak awal, sih) Tanaka Renji selalu sendirian.
Bukannya Renji suka menyendiri, namun dia masih bisa menanggungnya. Dia membenci
orang-orang bodoh itu. Dia bahkan lebih membenci orang-orang yang menghalangi jalannya.
Dia tidak ingin memaksakan dirinya berbaur dengan orang-orang itu, dia lebih suka menjadi
diri sendiri.
Renji bukanlah orang yang suka mengintimidasi orang lain. Namun, dia juga tidak suka
memaksakan diri bergaul dengan orang-orang yang membencinya. Itulah yang membuatnya
selalu sendiri.
Toh, dia tidak begitu membenci kesendirian.
Namun…. dia tahu hatinya terasa sakit.
Kenapa hal seperti ini membuatku sedih? pikirnya.
Jika dia melampiaskan amarahnya pada sesuatu, mungkin itu akan sedikit menenangkannya,
namun orang-orang pasti akan semakin takut padanya. Kebodohan itu akan terus menghantui
dan menyiksa jiwa Renji.

149
Renji yang frustasi berjalan di lorong sekolahan. Tak seorang pun berani menghalanginya,
mereka malah membukakan jalan untuk mempersilahkan Renji lewat.
"Kenapa jadi mirip Nabi Musa ...?"[7] bisiknya.
Kalimat itu membuatnya geli, bahkan dia ingin tertawa terbahak-bahak pada dirinya sendiri.
Renji terus memikirkannya di setiap tempat, dan selalu membuatnya ingin tertawa.
Sial, sebenarnya ini sangat menyebalkan. Kalau tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak di tengah
jalannya kelas karena teringat sesuatu yang konyol, pasti murid-murid lain akan
menganggapnya gila. Dia masih bisa menahannya, tapi akhirnya dia tertawa juga saat sendirian
di dalam kamarnya.
Dia tertawa begitu keras, sampai bermandikan air mata dan ingus, bahkan perutnya serasa mau
meledak.
Saat tawanya mulai mereda, dia merasa lebih baik dari sebelumnya.
"Inikah….?" dia bertanya-tanya. "….inikah yang selalu kucari selama ini?"
Tawa.
Tidak…. lebih tepatnya, komedi.
Sejak hari itu, dia menghabiskan banyak waktu mencari web tentang komedi Manzai dan
sandiwara komedi. Dia pun menonton semua program komedi di TV. Jika dia tahu komedian
favoritnya mau mengadakan pertunjukan langsung, tanpa ragu dia akan segera pergi ke tempat
itu, untuk membeli tiket dan menghadiri acaranya. Dia bahkan berusaha keras kerja paruh
waktu untuk membiayai hobi barunya ini. Jika dia mendapati suatu hal yang konyol, dia akan
mencatatnya, kemudian membacanya berkali-kali sampai bosan. Dia juga meniru lawakan-
lawakan favoritnya.
"Apakah aku bisa menulis lawakanku sendiri?" Renji penasaran.
Renji begitu menghormati para komedian yang bisa membuatnya tertawa lepas. Dia tidak
pernah berpikir bisa membuat lawakan yang lebih lucu dari itu. Namun, lama-kelamaan dia
tidak ingin hanya duduk manis sebagai penonton, dia ingin menganalisa lawakan-lawakan itu
untuk membuat karya serupa. Mengapa itu begitu lucu? Dan bagaimana caranya? Sembari
belajar, akhirnya dia menemukan teori lawakannya sendiri. Kalau sudah begitu, maka dia harus
mempraktekkan teori itu, kan?
Renji menulis berbagai materi, mulai dari drama dan Manzai. Dia begitu serius, sampai
menghabiskan seharian di depan kertasnya, bahkan sampai begadang.
Mungkin dia tidak akan pernah menyamai komedian favortinya, namun dia yakin tulisannya
tidaklah buruk. Setidaknya, dia sendiri tahu bahwa lawakannya cukup lucu. Saat dia coba
mempraktekkan lawakannya sendiri, dia pun tertawa lepas. Akankah orang lain juga tertawa
saat melihat lawakannya? Dia ingin mencobanya. Tapi bagaimana caranya? Apakah dia harus
berpentas di jalanan? Itu sungguh memalukan. Sangat-sangat memalukan. Tapi……
Aku ingin mencobanya.
Dia tidak bisa menyangkal hasrat itu. Mungkin dia harus pindah ke kota lain, dimana tidak ada
seorang pun yang mengenalnya. Di sana, dia bisa memulai segalanya dari awal.
Tapi, ada satu masalah.

150
Hampir semua komedian favoritnya memiliki pasangan, bahkan semua materi lawakan Renji
dibuat untuk ditampilkan bersama seorang partner. Tidak mungkin dia bermain Tsukkomi
tanpa si bodoh dan si pintar.
"Partner ...," gumamnya.
Perjalanan Renji Tanaka baru saja dimulai.

151
KETERANGAN

1. Yume berarti mimpi dalam Bahasa Indonesia


2. Sepia tone adalah warna hitam-putih agak kusam, seperti yang sering kita jumpai pada
foto-foto jadul.
3. Kotatsu adalah meja yang dibungkus dengan selimut, untuk menghangatkan badan di kala
musim dingin tiba.
4. Nama lainnya adalah Kastuba
5. Dalam Bahasa Jepang, sebutan maskulin adalah “Ore”, “Boku”, atau mungkin
“Watashiwa”. Sedangkan, wanita biasanya menggunakan “Atashiwa”. Artinya sama-sama
“Aku”, dalam Bahasa Indonesia, namun penggunaannya berbeda di Bahasa Jepang.
6. Jam air pernah digunakan di jaman kuno dengan meneteskan air untuk mengukur waktu.
Bentuk alatnya bermacam-macam, mulai dari berupa cawan kerucut, sampai labu yang
dilengkapi selang.
7. Peristiwa membelah lautan.

152
STAFF

Penerjemah : Ciu-ciu

Like & share FP kami via facebook → https://www.facebook.com/bakatsukiupdateindo/

153

Anda mungkin juga menyukai