Anda di halaman 1dari 7

PERTUMBUHAN DAN

PERKEMBANGAN STUDI ISLAM


1. Masa Rasulullah
a. Transformasi ilmu dilakukan secara lisan
b. Rasul telah mengembangkan bibit pengembangan studi Islam terutama tafsir dan
ushul fqih.

2. Masa Pasca Rasulullah


a. Mulai pengumpulan Al-Qur’an (masa khulafaur rasyidin)
b. Hadits juga mulai dikumpulkan dan ditulis dalam sebuah kitab (masa dinasti
abasiyyah). Para muhaddisin juga menyusun kriteria ilmiah bagi penerimaan hadits
dengan kategori shahih, hasan dan dha’if.
c. Perkembanggan studi Islam mencapai puncaknya pada masa abasiyyah. Studi Islam
yang dikembangkan hanya meliputi ilmu normatif Islam yang bersumber pada teks
agama.
3. Studi Islam di Dunia Barat
a. Kajian barat terhadap Islam memunculkan orientalisme, yaitu kajian tentang
ketimuran. Kajian awal yang dilakukan orientalisme yang diselenggarakan di
perguruan tinggi dibarat memandang umat Islam sebagai bangsa primitive
b. Kajiannya difokuskan pada Al-Qur’an dan pribadi nabi Muhammad secara ilmiah yang
hasilnya menyudutkan ajaran dan umat Islam.
c. Pendekatan yang digunakan para orientalis bersifat lahiriah (eksternalisasi). Agama
Islam hanya dipandang dari sisi luarnya saja menurut sudut pandang barat.
d. Pada masa selanjutnya muncul karya-karya yang mengoreksi dan merekonstruksi
kajian orientalis lama, Karena adanya anomali (ketidaktepatan) dalam studi Islam.
Tokohnya antara lain:Louis Massingnon, w. Montgomery Watt, dan Wilfred Cantwell
Smith.
e. Islamic studies menjadi salah satu kajian yang dibuka di universitas barat dengan
sarana pendukung yang lengkap. Pendekatan yang digunakan antara lain: filologi,
antropologi, sejarah, sosiologi,psikologi, dsb.
4. Studi Islam di Indonesia
Masa klasik (abad 7-15M)
a. Melalui kontak informal, saluran perdagangan, perkawinan, dan tasawuf
b. Para pedagang (arab, persia dan india) beberapa sebagai mubalighoh
c. Materi pengajaran: kalimat syahadat, rukun iman, rukun Islam Abad 13 muncul
Pendidikan langgar dan pesantren
Masa pra kemerdekaan
a. Tahun 1909 muncul pendidikan madrasah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di
Palembang.
b. Tahun 1910, Syekh Tholib Umar mendirikan madrasah schoot di Batu Sangkar tahun
1923 diganti dengan dini’yah school dan tahun 1931 diganti menjadi aljam’iah al-
Islamiah
c. Tahun 1915, Zainuddin Labib Al-Yunusi mendirikan madrasah diniyah di Padang Panjang
d. Muhammadiyah (berdiri tahun 1912) mendirikan HIS, sekolah guru, SD 5 tahun, dan
madrasah.
e. Al-irsyad (berdiri di Jakarta tahun 1913) mendirikan madrasah awaliyah (3th),
ibtidaiyah (4th), tajhizyah (2th), mualimmin (2th), dan takhassus (2th).
f. Al-jami’ah Al-Wasliyah (berdiri tahun 1930 di Medan), mendirikan: madrasah tajhiziyah
(2th), ibtidaiyah (4th), tsanawiyah (2 th), qismul ali (3 th), dan takhassus (2th).
g. Nidhamul ulama (didirikan tahun 1926). Mendirikan: madrasah awaliyah (2th),
ibtidaiyah (3th),tsanawiyah (3th), mu’alimmin wstha (2 th), mu’alimmin ulya (2 th).
Pasca kemerdekaan
a. Tahun 1952 studi Islam pada tingkat dasar sampai menengah diseragamkan melalui
jenjang: MI (6 th), MTS 3 Th), dan MA (3 th). Pada tahun 1951 didirikan perguruan
tinggi agama Islam negeri (PTAIN) yang kemudian menjadi institut agama Islam negeri
(IAIN) tahun 1960.

5. Studi Islam di negara muslim (Dunia Timur)


Studi Islam sekarang ini berkembang hampir di seluruh negara di dunia baik di negara
Islam maupun bukan negara Islam.Di negara Islam terdapat pusat pusat studi Islam
seperti universitas al azhar di mesir dan universitas ulumul Qur’an di arab saudi. Di
teheran di dirikan universitas teheran.dan di syiria di dirikan universitas damaskus.di
universitas ini studi Islam di lakukan dalam kuliyat asy syariah ( fakultas syariah ) yang
didalamnya terdapat progam studi ushuludin.tasawuf dan sejenisnya.

6. Studi Islam di negara barat


Secara historis, menurut Jean Jacques Waardenburg, Islamic Studies pada paruh
pertama abad ke-20 menjadi bidang studi yang mantap dalam penelitian dan pengajaran
di Eropa dan Amerika Utara. Secara luas berlanjut sepanjang waktu sampai ia
disebarluaskan pada mayoritas universitas sejak akhir abad ke- 19. Islamic Studies
dikombinasikan dengan studi tentang Arab, yang berkembang di Eropa pada abad ke-16
dan dengan studitentang Persi, Ottoman, Turki Modern. Menurut Waarderburg, Islamic
Studies menghadapi problem metodologis yang justru muncul karena faktor-faktor
ideologi dan politik
7. Kajian Islam di Barat
Kajian keIslaman juga tumbuh di kalangan masyarakat akademik Barat. Kajian keIslaman
mulai diminati di Barat setidaknya sejak abad ke-19, yaitu ketika para sarjana Barat mulai
tertarik mempelajari dunia Timur, dan khususnya dunia Islam. Memang, pada mulanya,
kajian Islam di Barat dipelopori oleh para ahli ke-timur-an (orientalis).Bahkan kalau ditarik
lebih jauh lagi ke belakang, sejarah perjumpaan BaratIslam telah mulai sejak abad ke-13,
ketika sebuah universitas di Perancis secara gencar mempelajari karya-karya sarjana Islam.
Universitas yang menjadi cikal-bakal Universitas ParisSorbonne ini, secara intensif
mengkaji karya-karya para filsuf muslim, seperti Ibn Sinā, al-Farabī, dan Ibn Rusyd.
Bahkan, pemikiran-pemikiran Ibn Rusyd sangat digandrungi, sehingga kemudian mereka
membentuk sebuah kelompok studi yang kelak disebut sebagai “Averoisme.
Tentu saja, kajian keIslaman pada pada waktu itu berbeda dengan kajian keIslaman di
masa modern sekarang ini. Dulu, kajian-kajian keIslaman di Barat lebih terfokus,
terutama, pada bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Karenanya, yang dipelajari oleh
akademi Barat pada awal-awal Renaissance (zaman pembaruan di Eropa) adalah karya-
karya para filsuf dan saintis muslim. Karya Ibn Sinā, al–Qānūn fī al–Tibb, misalnya, menjadi
rujukan paling penting ilmu kedokteran di Eropa selama lebih dari tiga abad. Begitu juga
buku penting Ibn Rusyd, Faṣl al–Maqāl, menjadi rujukan kaum tercerahkan di Eropa, untuk
menghadapi dominasi “institusi Gereja”. Ada indikasi, perbedaan mendasar tradisi kajian
Islam di dunia Timur (Islam) dan di Barat terletak pada pendekatan yang digunakan.
Di Timur, pendekatan lebih berorientasi pada penguasaan substansi materi dan penguasaan atas
khazanah keIslaman klasik. Sementara Islamic studies di Barat, kajiannya lebih berorientasi pada
Islam sebagai realitas atau fenomena sosial, yakni Islam yang telah menyejarah, meruang dan
mewaktu. Islam dikaji dan dipelajari hanyalah sebatas Islam sebagai ilmu pengetahuan. Di era
modern ini kita mendapati dunia akademi Barat lebih terbuka pada cabangcabang keilmuan
Islam yang lain. Tidak hanya flsafat dan sains, tapi juga cabang-cabang ilmu keIslaman, seperti
Al-Qur’an, hadits, fkih, dan sejarah Islam. Berkembangnya kajian-kajian terhadap ilmuilmu ini,
merupakan respon dari semakin meningkatnya kajian arkeologis, antropologis, historis, dan
sosiologis di Eropa. Dunia Islam, pada abad ke-19 menjadi salah satu “situs arkeologis” yang
paling eksotis untuk dikajiBagi penulis, maraknya kajian keIslaman di Barat, di satu sisi,
menjadikan kekayaan khazanah Islam didekati secara ilmiah dan kritis. Dan yang lebih penting
serta menguntungkan bagi akademis Islam adalah munculnya perspektif yang “berbeda” ketika
melihat khazanah keilmuan Islam. Kajiankajian tentang Al-Qur’an, hadits, fkih, dan lainnya yang
selama ini—oleh kalangan muslim—diposisikan sebagai serpihan turāṣ yang dimuliakan,—oleh
ilmuan Barat—dikaji secara kritis dan ditinjau dari aspek-aspek humanis yang membentuknya.
Ini, tentu sangat berguna bagi dinamika khazanah keIslaman.
Studi tentang keIslaman di Barat (yang dilakukan para orientalis) berangkat dari paradigma
berfikir bahwa Islam adalah agama yang bisa diteliti dari sudut mana saja dan dengan kebebasan
sedemikian rupa. Tidak mengherankan kalau mereka begitu bebasnya menilai, mengkritik
bahkan melucuti ajaran-ajaran dasar Islam yang bagi kaum muslim tabu untuk dipermasalahkan
Studi yang mereka lakukan meliputi seluruh aspek ajaran Islam seperti sejarah, hukum, teologi,
qur’an, hadits, tasawuf, bahasa, politik, kebudayaan dan pemikiran. Di antara mereka ada yang
mengkaji Islam meliputi seluruh aspek tadi, ada juga yang hanya meneliti satu aspek saja.
Philiph K. Hitti, H. A. R. Gibb, dan Montgomery Watt banyak menfokuskan pengkajian pada
aspek sejarah Islam. Sementara Joseph Schact pada kajian hukum Islam, David Power pada
kajian Qur’an, dan A. J. Arberry pada aspek tasawuf.

Anda mungkin juga menyukai