PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2
C.Patofiologis
Cedera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada funsi otak dan seluruh sistem dalam tubuh. Bila
trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga terjadi hipoksia. Akibat
hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan peningkatan volume darah di otak sehingga
tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan perdarahan pada otak,
kondisi ini dapat menyebabkan cidera intra kranial sehingga dapat meningkatkan tekanan
intra kranial, dampak peningkatan tekanan intra kranial antaralain terjadi kerusakan jaringan
otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley & Grace, 2006).
D.Klasifikasi
1. Berdasarkan keadaan pasca trauma
Cedera Kepala Ringan (CKR), GCS 13-15, terjadi kehilangan kesadaran (pinsan)
kurang dari 30 mnit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusio cerebral maupun hematoman.
Cedera Kepala Sedang (CKS), GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia
retrograde lebih dari 30 menit tetapi kurang 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
Cedera Kepala Berat (CKB), GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan
kesadaran lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hemotoma intracranial.
Cedera akson difus, yaitu keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan
inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi) maupun serabut
3
yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang
menghungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami keusakan.
Kontusio cerebri, yaitu keusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya
akselerasi dan deselerasi. Lokasi khasnya adalah kerusakan jaringan parenkim otak
yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepla.
Edema cerebri, terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema
cerbri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan
hebat pada daerah yang mengalami edema.
Iskemia cerbri, terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama dan disebabkan karena penyait
degenartif pembuluh darah otak.
E. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.
Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma.
Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
4
F. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan pada klien dengan cidera kepala antara lain:
G. Komplikasi
Cedera kepala yang tidak teratasi dengan segera atau tidak optimal dalam terapi maka
dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu
1. Edema paru
Edema paru terjadi akibat refleks chusing yang disebabkan peningaktan tekanan intra
kranial yang berakibat terjadinya peningkatan respon simpatis. Peningkatan vasokonstriksi
tubuh secara umum akan lebih banyak darah yang dialirkan ke paru. Perubahan permeabilitas
pembuluh darah paru berperan dalam berpindahnya cairan ke aleolus. Kerusakan difusi
oksigen dan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial
lebih lanjut.
Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen yang terjadi pada 2-6% pasien
dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah
beberapa hari. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien memiliki
resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok). Otorea atau rinorea cairan
serebrospinal yang menetap atau meningitis yang berulang merupakan indikasi operasi
reparatif (Rosjidi & Nurhidayat, 2007).
3.Fistel karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala yaitu eksolftamos, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cidera.
4.Diabetes insipidus
5
Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormon anti diuretik. Pasien mensekresikan sejumlah volume urine yang
encer, menimbulkan hipernatremia dan depresi volume (Mansjoer, 2000).
Hematoma epidural, merupakan suatu akibat serius dari cedera kepala. Hematoma
epidural paling sering terjadi pada daerah peritotemporal akibat robekan arterio
meningea media. Pengobatan secara dini dapat mengurangi defisit neurologik.
Hematoma subdural, Hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria,
hematoma subdural berasal dari vena yang ruptur yang terjadi di ruang subdural.
Hematoma subduraldibedakan menjadi akut dan kronik.
1) Subduralis haematoma akut, yaitu Kejadian akut hematoma di antara durameter
dan korteks, dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi
perdarahan atau jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan
lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan
otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter
dan korteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan
dalam jaringan otak). Pada kejadian akut hematoma, lucidum intervalum akan
terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis
di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater.
Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat uga terjadi tanpa Fraktur
kranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di korteks terluka. Pasien segera
pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang
pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus
ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga
mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi
2) Hematoma subdural kronik, seringkali disebut “peniru” karena tanda dan
gejalanya tidak spesifik, tidak terokalisasi, dan dapat disebabkan oleh penyakit
lain. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Tanda dan gejala yang lain khas
adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadarantermasuk apati, letargi, dan
berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan untuk menggunakan
kecakapan kognitif lebih tinggi
Subrachnoidalis Hematoma, Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah
otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan
berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan
otak, karena bawaan lahir aneurysna Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh
darah otak.
6. Gangguan Intestinal
Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan
saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang
mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi pada
lambung.
6
2.2 Asuhan Keperawatan
A.Pengkajian
1. Umum
a. Airway
Kaji keadaan perfusi jaringan perifer (akral, nadi capillary raffill, sianosis pada
kuku, bibir)
Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap cahaya
Monitor Tanda-tanda vital
Pemberian cairan dan elektrolit
Monitor intake dan output
d. Pemeriksaan 6B
1) Breathing, nafas berbunyi,stridor, ronchi, wheezing (kemungkinan karena
aspirasi), bisa beruoa cheyne stoke atau ataxia brething. Cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan nafas.
2) Blood, denyut nadi melambat, merupakan peningkatan tekanan intracranial.
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia)
3) Brain, Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas. Bila
pendarahan hebat/luas dan mengenai batang otak maka akan terjadi gangguan
pada nervus cranialis, maka terjadi perubahan status mental, perubahan dalam
penglihatan, perubahan pupil,terjadi penurunan keseimbangan tubuh, sering
cekukan dan gangguan nervus hipoglosus.
4) Blader, pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontenesia
urin dan ketidakmampuan menahan miksi.
5) Bowel, terjadi penurunan fungsi pencernaan : bising usus lemah, mual, muntah
(kemungkinan proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera, disfagia
dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6) Bone, dapat terjadi kontaktur dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya
hubungan antara pusat saraf diotak dengan reflek pada spinal dan dapat terjadi
penurunan tonus otot
7
2.Kebutuhan sehari-hari
a) Aktivitas/istirahat
Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, kehilangan tonus otot dan
perubahan kesadaran.
b) Sirkulasi
Perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang
diselingi dengan bradikardi)
c) Integritas ego
Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang/dramatis)
d) Eliminasi
Inkontinensia kandung kemih/usus
e) Makanan/cairan
Maual, muntah proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur keluar dan disfagia) dan
perubahan nafsu makan.
f) Neurosensori
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadia, vertigo, sinkope, tinnitus,
perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia dan baal pada
ekstremitas.
g) Gangguan pengecapan dan penciuman
Respon terhadap cahaya, perubahan pupil, deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti objek, ganggaman lemah, reflek tendon lemah/tidak ada, apraksia,
hemiparese dan kejang
h) Kenyamanan/nyeri
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama, wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat dan merintih.
i) Pernafasan
Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, tersedak, ronchi dan mengi positif
j) Keamanan
Fraktur/dislokasi dan gangguan penglihatan
k) Kulit
Laserasi, abrasi, perubahan warna seperti “raccoon eye”. Tanda battle disekitar telinga
(tanda adanya trauma), adanya cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS)
l) Gangguan kognitif
Kekuatan secara umum mengalami paralysis, tonus otot hilang, demam dan gangguan
regulasi suhu tubuh.
m) Interaksi social
Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartris dan
anomia.
B. Diagnosa Keperawaran
1) Resiko perdarahan
2) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
8
C. Intervensi Keperawatan
9
3) Memproses informasi tromboplebitis
4) Membuat keputusan
dengan benar
5) Menunjukkan fungsi
sensori dan motorik
cranial yang utuh :
tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan involunter
Airway suction
3. Ketidakefektifan 1. Respiratory status : Pastikan kebutuhan
bersihan jalan nafas ventilation oral/tracheal
2. Respiratory status : suctioning
airway patency Auskultasi sebelum
Kriteria hasil : dan sesudah
1) Mendemostrasikan suctioning
batuk efektif dan Berikan O2 dengan
suara nafas yang menggunakan nasal
bersih, tidak ada untuk memfasiliatsi
sianosis dan dyspnea suction nasotrakeal
2) Menunjukkan jalan Gunakan alat yang
nafas yang paten steril
(tidak merasa tecekik, Monitor status
irama nafas, frekuensi oksigen
permafasan normal) Hentikan suction
3) Mampu dan berikan oksigen
mengidentifikasikan apabila pasien
dan mencegah factor menunjukkan
yang dapat bradikardia
menghambat jalan Airway Management
nafas
Buka jalan nafas,
gunakan teknik lift
atau jaw trust
Posisikan klien
pemasangan untuk
memaksimalkan
ventilasi
Identifikasi pasien
perlunya
pemasangan alat
jalan nafas buatan
Lakukan fisoterapi
dada bila perlu
Auskultasi suara
nafas
Monitor respirasi
dan status O2.
10
D. Implementasi
Pelaksanaan disesuaikan dengan intervensi yang telah ditentukan.
E.Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan intervensi yang telah ditentukan
BAB III
11
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cedera kepala merupakan terjadinya gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Price, 2012). Secara umum cedera kepala diklasifikasifan menurut skala
Gasglow Coma Scale (GCS) dikelompokkan menjadi tiga : (1) Cedera Kepala Ringan (GCS
13-15) dapat terjadinya kehilangan kesadaran atau amnesia selama kurang dari 30 menit,
tidak ada kontusio tengkorak, tidak adanya fraktur serebral, hematoma (2) Cedera Kepala
Sedang (GCS 9-12) hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit namun kurang
dari waktu 24 jam, bisa mengalami terjadinya fraktur tengkorak, (3) Cedera Kepala Berat
(GCS 3-8) dapat kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia apabila lebih dari 24 jam
meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.
Cedera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada funsi otak dan seluruh sistem dalam tubuh. Bila
trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Penyebab cedera ada beberapa diantaranya
ialah karena pukulan, tabrakan dan peluru.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat baik bagi pembaca untuk menambah
wawasanya mengenai konsep dan asuhan keperawatan tentang cedera kepala. Semoga
kedepannya perawat bisa memberikan layanan asuhan keperawatan terkait keperawatan kritis
yang lebih baik dan sesuai SOP. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih ada
kesalahan dan belum maksimal, oleh karenanay kami mohon kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
12
Brunner dan Suddart.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Volume II.
Edisi 8.Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.
Batticaca,Fransisca,B.2008.Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Grace,P,A & Borley,N,R.2007. At a Glace Ilmu Bedah.Jakarta: Penerbit Erlangga
Hardhi, Kusuma. 2013. Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC-NOC.Yogyakarta: Medication
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta : Salemba Medika
Mc.Closkey dan Buleccheck,2000. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. Mosby
Smeltzer, Suzanne C.2010.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta:EGC
13