Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala merupakan terjadinya gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak (Price, 2012). Secara umum cedera kepala diklasifikasifan menurut skala Gasglow
Coma Scale (GCS) dikelompokkan menjadi tiga : (1) Cedera Kepala Ringan (GCS 13-15)
dapat terjadinya kehilangan kesadaran atau amnesia selama kurang dari 30 menit, tidak ada
kontusio tengkorak, tidak adanya fraktur serebral, hematoma (2) Cedera Kepala Sedang
(GCS 9-12) hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit namun kurang dari
waktu 24 jam, bisa mengalami terjadinya fraktur tengkorak, (3) Cedera Kepala Berat (GCS 3-
8) dapat kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia apabila lebih dari 24 jam meliputi
kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial (Amien & Hardhi, 2016).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2013) 50% kematian akibat kecelakaan lalu
lintas mengalami cedera kepala. Cedera kepala merupakan masuk dalam 3 penyakit penyebab
kematian terbanyak di Indonesia juga masuk kedalam 5 penyakit terbanyak dirawat di rumah
sakit di Indonesia (Depkes RI, 2007). Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013 prevalansi cedera
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2007 dari 7,5% menjadi 8,2 % (Riskesdas
Indonesia, 2013). Advance Life Trauma Support (ATLS) tahun 2004 menunjukkan dari
500.000 kasus pasien cedera setiap tahunnya sebanyak 80% mengalami CKS dan 20% lagi
mengalami CKS dan CKB. Menurut Riset Kesehatan Dasar Provinsi Bali angka cedera
tertinggi yaitu tertinggi di Kabupaten Bangli yaitu 13,4% disusul oleh kabupaten Klungkung
dan Badung masing-masing sebanyak 12,6% dan 11,7% (Riskesdas Bali, 2013).
Di Indonesia penyebab CKS terbayak karena kecelakaan lalu lintas berkisar 17,63-42,20
% yang menduduki urutan tertinggi kemudian disusul yang kedua yaitu cedera ekstremitas
mencapai 11,8 % (Slamet, 2012). Data kecelakaan di Indonesia yang berasal dari kepolisian
yang menyebutkan pada tahun 2007, jumlah korban meninggal sebanyak 16,548 jiwa.
Dominan terjadinya kecelakaan lalu lintas adalah dialami oleh pengemudi sepeda serta cedera
kepala yang dialami merupakan urutan pertama disemua jenis cedera yang dialami korban
kecelakaan lalu lintas. Hal yang sering dilaporkan oleh pasien CKS adalah nyeri pada bagian
kepala. Menurut penelitian sebanyak 82 % pasien CKS mengalami nyeri akut dengan skala
nyeri ringan sampai nyeri berat (Wijayasakti, 2010) Nyeri kepala pada pasien CKS
disebabkan oleh perubahan neurokimia yang terdiri dari depolarisasi saraf , pengeluaran asam
amino pada neurotransmiter yang berlebihan,serotogenik, gangguan opiate endogen.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep cedera kepala ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala ?

1.3 Tujuan penulisan


 Untuk mengetahui apa saja konsep cedera kepala
 Untuk mengetahui pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala

1
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep cedera kepala


A.Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan kepala atau otak (Borley & Grace, 2006).
Cidera kepala merupakan trauma yang terjadi pada otak yang disebabkan kekuatan atau
tenaga dari luar yang menimbulkan berkurang atau berubahnya kesedaran, kemampuan
kognitf, kemampuan fisik, perilaku, ataupun kemampuan emosi (Ignatavicius, 2009).
Jadi kesimpulannya cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi
secara langsung atau tidak langsung atau efek sekunder yang menyebabkan atau berpengaruh
berubahnya fungsi neurologis, kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.
B.Etiologi
Menurut Borley & Grace (2006) cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal
diantaranya adalah :
1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi
yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding
yang berlawanan (contrecoup injury)
2. Rotasi / deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang
titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi yang
hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak,
menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral
3. Tabrakan
4. Peluru
Cenderung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan
otak merupakan masalah akibat disrupsi. Terngkorak yang secara otomatis akan menekan
otak
5. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak
6. Trauma saat lahir misalnya sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum;
7. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak;
8. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.

2
C.Patofiologis
Cedera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada funsi otak dan seluruh sistem dalam tubuh. Bila
trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga terjadi hipoksia. Akibat
hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan peningkatan volume darah di otak sehingga
tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
menyebabkan fraktur yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan perdarahan pada otak,
kondisi ini dapat menyebabkan cidera intra kranial sehingga dapat meningkatkan tekanan
intra kranial, dampak peningkatan tekanan intra kranial antaralain terjadi kerusakan jaringan
otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang
mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley & Grace, 2006).
D.Klasifikasi
1. Berdasarkan keadaan pasca trauma

 Tertutup, merupakan hasil dari trauma accelerasi/decelarasi. Trauma ini melibatkan


struktur dalam kepala seperti substansi otak, CSF dan seluruh pembuluh darah.
Selama proses akselerasi/deelarasi akan menimbulkan kerusakan dibeberapa tempat.
Saat terjadi benturan otak bergerak, hal ini menyebabkan adanya luka pada jaringan
otak, kerusakan pembuluh darah dan syaraf yang memungkinkan akan terjadi
perputaran otak.
 Terbuka, keadaan ini terjadi apabila kepala berbenturan dengan benda tajam seperti
pisau, sehingga luka menghubungkan anatara udara luar dengan isi rongga kepala.
Kerusakan yang terjadi tergantung pada kecepatan objek yang menembus tulang
tengkorak dan lokasi otak yang terkena objek. Jika kecepataan objek tinggi maka
akan menghasilkan tenaga perusak yang lebih besar.
2. Berdasarkan Glascow Coma Scale (GCS)

 Cedera Kepala Ringan (CKR), GCS 13-15, terjadi kehilangan kesadaran (pinsan)
kurang dari 30 mnit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusio cerebral maupun hematoman.
 Cedera Kepala Sedang (CKS), GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia
retrograde lebih dari 30 menit tetapi kurang 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
 Cedera Kepala Berat (CKB), GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan
kesadaran lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hemotoma intracranial.

3.Berdasarkan morfologi pencitraan atau radiologi

 Cedera akson difus, yaitu keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan
inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi) maupun serabut

3
yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang
menghungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami keusakan.
 Kontusio cerebri, yaitu keusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya
akselerasi dan deselerasi. Lokasi khasnya adalah kerusakan jaringan parenkim otak
yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepla.
 Edema cerebri, terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema
cerbri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan
hebat pada daerah yang mengalami edema.
 Iskemia cerbri, terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau
berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama dan disebabkan karena penyait
degenartif pembuluh darah otak.

E. Manifestasi Klinik

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera otak.

1. Cedera kepala ringan

 Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.


 Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
 Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
 Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau lebih
lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.

2. Cedera kepala sedang

 Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau hahkan
koma.
 Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.

3. Cedera kepala berat

 Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya
penurunan kesehatan.
 Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
 Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
 Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.

4
F. Penatalaksanaan

Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan pada klien dengan cidera kepala antara lain:

a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai


dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g. Pembedahan

G. Komplikasi

Cedera kepala yang tidak teratasi dengan segera atau tidak optimal dalam terapi maka
dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu

1. Edema paru

Edema paru terjadi akibat refleks chusing yang disebabkan peningaktan tekanan intra
kranial yang berakibat terjadinya peningkatan respon simpatis. Peningkatan vasokonstriksi
tubuh secara umum akan lebih banyak darah yang dialirkan ke paru. Perubahan permeabilitas
pembuluh darah paru berperan dalam berpindahnya cairan ke aleolus. Kerusakan difusi
oksigen dan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial
lebih lanjut.

2.Kebocoran cairan serebrospinal

Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen yang terjadi pada 2-6% pasien
dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah
beberapa hari. Drainase lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien memiliki
resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumokok). Otorea atau rinorea cairan
serebrospinal yang menetap atau meningitis yang berulang merupakan indikasi operasi
reparatif (Rosjidi & Nurhidayat, 2007).

3.Fistel karotis-kavernosus

Ditandai oleh trias gejala yaitu eksolftamos, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul
segera atau beberapa hari setelah cidera.

4.Diabetes insipidus

5
Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormon anti diuretik. Pasien mensekresikan sejumlah volume urine yang
encer, menimbulkan hipernatremia dan depresi volume (Mansjoer, 2000).

5. Perdarahan intra kranial

 Hematoma epidural, merupakan suatu akibat serius dari cedera kepala. Hematoma
epidural paling sering terjadi pada daerah peritotemporal akibat robekan arterio
meningea media. Pengobatan secara dini dapat mengurangi defisit neurologik.
 Hematoma subdural, Hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria,
hematoma subdural berasal dari vena yang ruptur yang terjadi di ruang subdural.
Hematoma subduraldibedakan menjadi akut dan kronik.
1) Subduralis haematoma akut, yaitu Kejadian akut hematoma di antara durameter
dan korteks, dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi
perdarahan atau jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan
lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan
otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter
dan korteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan
dalam jaringan otak). Pada kejadian akut hematoma, lucidum intervalum akan
terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis
di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater.
Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat uga terjadi tanpa Fraktur
kranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di korteks terluka. Pasien segera
pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang
pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus
ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga
mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi
2) Hematoma subdural kronik, seringkali disebut “peniru” karena tanda dan
gejalanya tidak spesifik, tidak terokalisasi, dan dapat disebabkan oleh penyakit
lain. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Tanda dan gejala yang lain khas
adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadarantermasuk apati, letargi, dan
berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan untuk menggunakan
kecakapan kognitif lebih tinggi
 Subrachnoidalis Hematoma, Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah
otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan
berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan
otak, karena bawaan lahir aneurysna Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh
darah otak.

6. Gangguan Intestinal

Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan
saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang
mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi pada
lambung.

6
2.2 Asuhan Keperawatan
A.Pengkajian
1. Umum
a. Airway

 Pertahankan jalan nafas


 Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk mencegah
penekanan pada vena jugularis
 Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing

 Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, dan kedalaman


 Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
c. Circulation

 Kaji keadaan perfusi jaringan perifer (akral, nadi capillary raffill, sianosis pada
kuku, bibir)
 Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap cahaya
 Monitor Tanda-tanda vital
 Pemberian cairan dan elektrolit
 Monitor intake dan output
d. Pemeriksaan 6B
1) Breathing, nafas berbunyi,stridor, ronchi, wheezing (kemungkinan karena
aspirasi), bisa beruoa cheyne stoke atau ataxia brething. Cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan nafas.
2) Blood, denyut nadi melambat, merupakan peningkatan tekanan intracranial.
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia)
3) Brain, Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas. Bila
pendarahan hebat/luas dan mengenai batang otak maka akan terjadi gangguan
pada nervus cranialis, maka terjadi perubahan status mental, perubahan dalam
penglihatan, perubahan pupil,terjadi penurunan keseimbangan tubuh, sering
cekukan dan gangguan nervus hipoglosus.
4) Blader, pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontenesia
urin dan ketidakmampuan menahan miksi.
5) Bowel, terjadi penurunan fungsi pencernaan : bising usus lemah, mual, muntah
(kemungkinan proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera, disfagia
dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6) Bone, dapat terjadi kontaktur dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya
hubungan antara pusat saraf diotak dengan reflek pada spinal dan dapat terjadi
penurunan tonus otot

7
2.Kebutuhan sehari-hari
a) Aktivitas/istirahat
Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, kehilangan tonus otot dan
perubahan kesadaran.
b) Sirkulasi
Perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang
diselingi dengan bradikardi)
c) Integritas ego
Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang/dramatis)
d) Eliminasi
Inkontinensia kandung kemih/usus
e) Makanan/cairan
Maual, muntah proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur keluar dan disfagia) dan
perubahan nafsu makan.
f) Neurosensori
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadia, vertigo, sinkope, tinnitus,
perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia dan baal pada
ekstremitas.
g) Gangguan pengecapan dan penciuman
Respon terhadap cahaya, perubahan pupil, deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti objek, ganggaman lemah, reflek tendon lemah/tidak ada, apraksia,
hemiparese dan kejang
h) Kenyamanan/nyeri
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama, wajah
menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat dan merintih.
i) Pernafasan
Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, tersedak, ronchi dan mengi positif
j) Keamanan
Fraktur/dislokasi dan gangguan penglihatan
k) Kulit
Laserasi, abrasi, perubahan warna seperti “raccoon eye”. Tanda battle disekitar telinga
(tanda adanya trauma), adanya cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS)
l) Gangguan kognitif
Kekuatan secara umum mengalami paralysis, tonus otot hilang, demam dan gangguan
regulasi suhu tubuh.
m) Interaksi social
Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartris dan
anomia.
B. Diagnosa Keperawaran
1) Resiko perdarahan
2) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
3) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

8
C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa NOC NIC


1. Resiko Perdarahan 1. Blood lose severenty Bleeding Precautions
2. Blood koagulation  Monitor tanda
Kriteria hasil : perdarahan
1) Tidak ada hematuria  Catat nilai Hb & HT
& hematemis sebelum dan
2) Kehilangan darah sesudah terjadinya
yang terlihat pendarahan
3) Tekanan darah dalam  Pertahankan bedrest
batas normal selama pendarahan
4) Tidak ada pendarahan aktif
pervagina  Lindungi pasien dari
5) Tidak ada distensi trauma yang
abdominal menyebabkan
6) Hb & hematokrit pendarahan
dalam batas normal Bleeding Reduction
 Indefikasi penyebab
pendarahan
 Monitor TD & CVP
 Monitor status
cairan
 Monitor oksigen ke
jaringan
 Monitor nadi distal
2. Resiko 1. Circulation status dari area pendarahan
ketidakefektifan 2. Tissue Perfusion
perfusi jaringan otak cerebral Peripheal sensation
Kriteria hasil : Management
Mendemontrasikan status  Monitor adanya
sirkulasi yang ditandai daerah tertentu yang
dengan : hanya peka tehadap
1) Tekanan sistol dan panas/dingin
diastole dalam rentang  Monitor adanya
yang diharapkan paratese
2) Tidak ada ortostatik  Intsruksikan
hipertensi keluarga untuk
3) Tidak ada tanda-tanda mengobservasikan
PTIK kulit jika ada
Mendemostrasikan laserasi
kemampuam kognitif yang  Batasi gerakan pada
ditandai dengan : kepala, leher dan
1) Berkomunikasi punggung
dengan jelas dan  Monitor
sesuai kemampuan BAB
2) Menunjukkan  Kolaborasi
perhatian, konsentrasi pemberian analgetik
dan orientasi  Monitor adanya

9
3) Memproses informasi tromboplebitis
4) Membuat keputusan
dengan benar
5) Menunjukkan fungsi
sensori dan motorik
cranial yang utuh :
tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan involunter

Airway suction
3. Ketidakefektifan 1. Respiratory status :  Pastikan kebutuhan
bersihan jalan nafas ventilation oral/tracheal
2. Respiratory status : suctioning
airway patency  Auskultasi sebelum
Kriteria hasil : dan sesudah
1) Mendemostrasikan suctioning
batuk efektif dan  Berikan O2 dengan
suara nafas yang menggunakan nasal
bersih, tidak ada untuk memfasiliatsi
sianosis dan dyspnea suction nasotrakeal
2) Menunjukkan jalan  Gunakan alat yang
nafas yang paten steril
(tidak merasa tecekik,  Monitor status
irama nafas, frekuensi oksigen
permafasan normal)  Hentikan suction
3) Mampu dan berikan oksigen
mengidentifikasikan apabila pasien
dan mencegah factor menunjukkan
yang dapat bradikardia
menghambat jalan Airway Management
nafas
 Buka jalan nafas,
gunakan teknik lift
atau jaw trust
 Posisikan klien
pemasangan untuk
memaksimalkan
ventilasi
 Identifikasi pasien
perlunya
pemasangan alat
jalan nafas buatan
 Lakukan fisoterapi
dada bila perlu
 Auskultasi suara
nafas
 Monitor respirasi
dan status O2.

10
D. Implementasi
Pelaksanaan disesuaikan dengan intervensi yang telah ditentukan.
E.Evaluasi
Evaluasi disesuaikan dengan intervensi yang telah ditentukan

BAB III

11
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cedera kepala merupakan terjadinya gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa pendarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak (Price, 2012). Secara umum cedera kepala diklasifikasifan menurut skala
Gasglow Coma Scale (GCS) dikelompokkan menjadi tiga : (1) Cedera Kepala Ringan (GCS
13-15) dapat terjadinya kehilangan kesadaran atau amnesia selama kurang dari 30 menit,
tidak ada kontusio tengkorak, tidak adanya fraktur serebral, hematoma (2) Cedera Kepala
Sedang (GCS 9-12) hilangnya kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit namun kurang
dari waktu 24 jam, bisa mengalami terjadinya fraktur tengkorak, (3) Cedera Kepala Berat
(GCS 3-8) dapat kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia apabila lebih dari 24 jam
meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.
Cedera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti terjatuh, dipukul,
kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat mengenai kepala dan otak sehingga
mengakibatkan terjadinya gangguan pada funsi otak dan seluruh sistem dalam tubuh. Bila
trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Penyebab cedera ada beberapa diantaranya
ialah karena pukulan, tabrakan dan peluru.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat baik bagi pembaca untuk menambah
wawasanya mengenai konsep dan asuhan keperawatan tentang cedera kepala. Semoga
kedepannya perawat bisa memberikan layanan asuhan keperawatan terkait keperawatan kritis
yang lebih baik dan sesuai SOP. Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih ada
kesalahan dan belum maksimal, oleh karenanay kami mohon kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

12
Brunner dan Suddart.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Volume II.
Edisi 8.Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC.
Batticaca,Fransisca,B.2008.Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Grace,P,A & Borley,N,R.2007. At a Glace Ilmu Bedah.Jakarta: Penerbit Erlangga
Hardhi, Kusuma. 2013. Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC-NOC.Yogyakarta: Medication
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta : Salemba Medika
Mc.Closkey dan Buleccheck,2000. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. Mosby
Smeltzer, Suzanne C.2010.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta:EGC

13

Anda mungkin juga menyukai