DIABETES MELITUS
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Berdasarkan konsensus PERKENI 2015, kriteria diagnosis diabetes mellitus adalah sebagai berikut:
Gula darah puasa (tidak terdapat asupan kalori selama minimal 8 jam) ≥ 126 mg/dL
ATAU
Pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) menggunakan 75 gram glukosa setelah 2 jam ≥ 200 mg/dL
ATAU
Gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dL DAN terdapat keluhan klasik DM
ATAU
Pemeriksaan HbA1C ≥ 6,5% dengan pemeriksaan standar NGSP
Catatan:
Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi
yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis
maupun evaluasi
Klasifikasi DM:
a. DM tipe 1 (destruksi sel , umumnya diikuti defisiensi insulin absolut): Immune-mediated atau Idiopatik, biasa pada
usia muda
b. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari yang: predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif – predominan
defek sekretorik dengan resistensi insulin): biasa pada usia dewasa
c. DM gestasional (DM yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan)
d. Tipe spesifik lain: Defek genetik pada fungsi sel ; Defek genetik pada kerja insulin; Penyakit eksokrin pancreas;
Endokrinopati; Diinduksi obat atau zat kimia; Infeksi; Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM; Sindrom genetik
lain, yang kadang berkaitan dengan DM
Manifestasi klinis untuk Diabetes Melitus adalah Keluhan klasik DM (3P): poliuria, polidipsia, polifagia dan keluhan tidak
khas DM: lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, pruritus vulvae pada wanita yang terjadi pada
pasien dengan faktor risiko DM tipe 2 yaitu Usia > 45 tahun, Berat badan lebih: > 110 % BB idaman atau IMT > 23 kg/m2,
Hipertensi ( TD ≥ 140/90 mmHg ), Riwayat DM dalam garis keturunan, Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat,
atau BB lahir bayi > 4.000 gram, Riwayat DM gestasional, Riwayat TGT atau GDPT, Penderita penyakit jantung koroner,
tuberkulosis, hipertiroidisme, Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dL.
Prediabetes
Jika hasil pemeriksaan tidak masuk kriteria DM, namun memenuhi seperti berikut, dimasukkan ke dalam kondisi
prediabetes
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
o GDP 100-125 mg/dl, dan TTGO <140 mg
Toleransi glukosa terganggu (TGT)
o TTGO 140-199 mg/dl, dan GDP <100 mg/dl
HbA1C antara 5.7% sampai 6.4%
Kondisi tersebut memerlukan tatalaksana pencegahan agar tidak menjadi DM
Tatalaksana
Untuk mencapai tujuan tatalaksana DM perlu dilakukan Pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan
profil lipid. Dengan pelaksanaan sebagai berikut:
a. Edukasi gaya hidup sehat dan perawatan kaki
menurunkan kejadian
CVD
Penghambat Acarbose Menghambat Tidak menyebabkan Efektivitas penurunan HbA1C
alfa absorpsi glukosa hipoglikemia, sedang, efek samping
glukosidase menurunkan gula darah gastrointestinal, penyesuaian
postprandial, dosis harus sering dilakukan
menurunkan kejadian
CVD
Penghambat Sitagliptin, Meningkatkan Tidak menyebabkan Angioedema, urtica, efek
DPP-4 vildagliptin, sekresi insulin, hipoglikemia, toleransi dermatologis lain dimediasi
saxagliptin, linagliptin menghambat sekresi baik imun, pankreatitis akut,
glukagon hospitalisasi akibat gagal
jantung
Penghambat Dapaglifozin, Menghambat Tidak menyebabkan Infeksi urogenital, poliuria,
SGLT-2 canaglifozin, penyerapan kembali hipoglikemia, BB turun, hipovolemi/hipotensi, pusing,
empaglifozin glukosa di tubulus TD turun, efektif untuk LDL naik, kreatinin naik
distal ginjal semua fase DM
Agonis Liraglutide, Meningkatkan Tidak menyebabkan Efek samping GI,
reseptor GLP- exanatide, sekresi insulin, hipoglikemia, meningkatkan heart rate,
1 albiglutide, menghambat sekresi menurunkan GDPP, hiperplasia c-cell, pankreatitis
lixisenatide, glukagon menurunkan beberapa akut, bentuk injeksi
dulaglutide risiko CV
Insulin Rapid acting (lispro, Menekan produksi Respon universal, efektif Hipoglikemia, BB naik, efek
aspart, glulisine) gluksoa hati, menurunkan GD, mitogenik?, sediaan injeksi,
Short acting (human stimulasi menurunkan komplikasi Tidak nyaman, perlu
reguler) pemanfaatan glukosa mikrovaskuler pelatihan pasien
Intermediate acting
(human NPH)
Basal insulin analogs
(glagine, detemir,
degludec)
Premixed
Tata Laksana Kombinasi: Pemberian AHO maupun insulin mulai dengan dosis rendah, kemudian dinaikkan secara
bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Jika tidak memuaskan dapat ditingkatkan dengan kombinasi dua
bahkan tiga AHO atau dengan insulin.
Komplikasi
a. Akut: Ketoasidosis diabetic, Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia
b. Kronik:
1. Makroangiopati:Pembuluh koroner, Vaskular perifer, Vaskular otak
2. Mikroangiopati:Kapiler retina (dot blot hemorrhage, cotton wool spot), Kapiler renal (microalbuminuria
proteinuria sindrom nefrotik gagal ginjal), Neuropati
3. Gabungan: Kardiopati: PJK, kardiomiopati, Rentan infeksi, Kaki diabetic, Disfungsi ereksi
Target tatalaksana
a. HbA1C setiap 3–6bln, < 7% untuk semua pasien, bila pemeriksaan HbA1C tidak tersedia: target GDP 80-130 mg/dL,
GD2PP <180 mg/dL
b. Skrining Mikroalbuminuria setiap thn dengan perbandingan microalbumin/Cr ratio, target <30 mg/g
c. TD <130/80; LDL <100,TG <150, HDL >40; terbukti lebih baik jika diberi statin; ASA jika usia>50 (Lk) atau 60 (Pr) atau
dengan faktor resiko jantung
d. Periksa funduskopi dan pemeriksaan kaki setiap tahun.
Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang
tinggi (300-600mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+).
Faktor Pencetus (6 I) : Insulin defisiensi (lupa menggunakan insulin) ; Iatrogenik (glucocorticoids), Infeksi (pneumonia, ISK)
atau Inflamasi (pankreatitis, kolesistitis) serta Iskemia atau Infark (jantung, otak, usus) ; Intoksikasi (alkohol, obat)
Kriteria diagnosis
a. Kadar glukosa > 250 mg/dL;
b. PH< 7,3; HCO3- rendah; dengan Anion gap tinggi, tapi bisa jadi noanion gap karena hilangnya keton & pasca resusitasi
dgn NaCl
c. Keton serum, atau ketonuria (acetoacetate bisa positif pd pengguna nitroprusside, tapi keton yang dominan adalah
OH-butyrate; keton urin dapat + pd pasien normal yang puasa)
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan cito: ↑Gula darah, Elektrolit, ↑Ureum, ↑kreatinin, Aseton darah +, Urine rutin, Analisa gas darah, EKG
b. Pemantauan: Gula darah: tiap jam, Elektrolit: tiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya sesuai keadaan, Analisa gas darah:
bila pH < 7 saat masuk diperiksa setiap 6 jam s/d pH > 7,1.Selanjutnya setiap hari sampai stabil.
c. Pemeriksaan lain (sesuai indikasi):Kultur darah, Kultur urin, Kultur pus
Tatalaksana KAD dan HHS berdasarkan Konsensus Terapi Insulin (Perkeni, 2015)
Hipoglikemia
Berdasarkan PERKENI 2015 hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya gejala
otonom. Kadar glukosa darah< 70 mg/dL. Whipple triad: terdapat gejala hipoglikemia, kadar glukosa darah rendah, gejala
berkurang dengan pengobatan.
Tanda dan Gejala Hipoglikemia:
a. Autonomik: lapar, berkeringat, gelisah, paresthesia, palpitasi, tremulousness, pucat, takikardia, tekanan nadi melebar.
b. Neuroglikopenik: Lemah, lesu, dizziness, pusing, confusion, perubahan sikap, gangguan kognitif, pandangan kabur,
diplopia, cortical-blindness, hipotermia, kejang, koma.
Klasifikasi hipoglikemia:
1. Hipoglikemia berat: pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk administrasi karbohidrat, glukagon, atau
resusitasi lainnya.
2. Hipoglikemia simtomatik: GDS<70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
3. Hipoglikemia asimtomatik: GDS<70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
4. Hipoglikemia relatif: GDS>70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
5. Probable hipoglikemia: gejala hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS.
Tatalaksana
a. Hipoglikemia ringan
1. Berikan glukosa 15-30 gram (2-3 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau
gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat
2. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer setelah 15 menit, jika masih hipoglikemia pengobatan diulang
kembali.
3. Jika hasil normal pasien diminta untuk makan atau konsumsi snack untuk mengegah hipoglikemia berulang.
b. Hipoglikemia berat:
1. Jika terdapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral dengan dextrose 20% sebanyak 50cc atau dextrose 40%
sebanyak 25cc, diikuti dengan infus D5% atau D10%.
2. Periksa gula darah 15 menit setelah pemberian IV, bila gula darah belum mencapai target dapat diberikan ulang
dextrose 20%.
3. Selanjutnya lakukan monitoring gula darah setiap 1-2 jam, jika hipoglikemia masih berulang pemberian dextrose
20% dapat diulang.
4. Evaluasi pemicu hipoglikemia.
DIABETES GESTASIONAL
Dikenal 2 jenis diabetes dalam kehamilan: diabetes pragestasional (overt diabetes atau preexisting) dan diabetes
gestasional. Keduanya memiliki patofisiologi dan kriteria diagnosis yang berbeda.
Pada diabetes gestasional, Adaptasi maternal selama ibu hamil menunjukkan ciri-ciri yang khas yakni terjadinya
hipoglikemia puasa, hiperglikemia postprandial, dan resistensi insulin. Patofisiologi pada Diabetes Gestasi (DMG): resistensi
insulin oleh karena efek diabetogenik dari kehamilan (dari hormon-hormon kehamilan), tidak bisa diimbangi oleh
kompensasi sel beta Langerhans.
Hipertiroid
Merupakan kumpulan gejala akibat kelebihan hormon tiroid, disebut juga tirotoksikosis. Sebetulnya, istilah hipertiroid lebih
tepat dipakai jika disebabkan oleh produksi hormon tiroid yang berlebihan.
Berdasarkan etiologi letak gangguannya dapat dibedakan menjadi:
a. Hipertiroid Primer gangguan terletak pada kelenjar tiroid sehingga terjadi peningkatan hormon free T4 dengan
pemeriksaan kadar TSH yang rendah ataupun normal. Keadaan ini terjadi pada kasus sbb:
1. Graves’ disease merupakan penyebab kasus hipertiroid yang paling banyak dengan prevalensi Pr:Lk5–10:1 dan
terjadi pada usia terbanyak 40 - 60 thn. Pada pemeriksaan akan terdapat Antibodi tiroid (+): TSI atauTBII (+pada
80%), anti-TPO, antithyroglobulin; ANA. Manifestasi klinis yaitu gejala hipertiroid ditambah:
a) goiter: diffusa, tdk nyeri, terdengar bruit
b) ophthalmopati(NEJM 2009;360:994): 90% kasus. edema periorbital, retraksi kelopak, proptosis, konjunctivitis,
diplopia
c) myxedema pretibial (3%): edema di tungkai bawah akibat dermopati infiltrative
2. Struma nodosa toksik atau multinodosa/plummer disease
3. Adenoma Toksik
b. Sekunder akibat tumor yang mensekresi TSH atau adanya resistensi hipofisis terhadap mekanisme umpan balik tiroid
sehingga terjadi peningkatan kadar TSH dan free T4
c. Lain-lain: thyrotoxicosis factitia, struma ovarii (3% daritumor & teratoma dermoid ovari), tumor pensekresi hCG (cth:
choriocarcinoma), deposit metastasis ca tiroid tipe follicular
Pemeriksaan penunjang
a. Peningkatan kadar FT4 &FT3; ↓TSH
(Pada hipertiroid sekunder akan
terjadi peningkatan FSH)
b. Radioaktive iodine upatake scan utk
menentukan penyebab dan
membedakan dengan tiroiditis fase
tirotoksikosis
Berani Sepenuh Hati 13 | O p t i m a p r e p
MASTER UKMPPD
c. Autoantibodi diperiksa pada kasus pasien hipertiroid dengan pembesaran tiroid difus tanpa gejala Grave's yang khas
d. Dapat terjadi hipercalciuria, hipercalcemia, anemia
e. Indeks Wayne
1. Skor >19 hipertiroid
2. Skor <11eutiroid
3. Antara 11-19 equivocal
Tatalaksana
a. Methimazole: dosis awal 20 – 30 mg/hari (terutama jika fT4 meningkat 2-3x normal). 70% rekuren setelah 1 thn; ES:
pruritus, rash, arthralgia, demam, &agranulocytosis pd 0.5% kasus. Merupakan obat pilihan pertama
b. PTU: (resiko ↑nekrosis hepatosellular; efek lebih lambat), dosis awal 300 – 600 mg/ hari, dosis maksimal 2.000 mg/hari.
Evaluasi fungsi hepar, DPL, dan TSH sebelum terapi dan saat follow-up. Obat pilihan untuk ibu hamil pada trimester
pertama.
c. Awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan: memantau klinis,
FT4/T4/T3 dan TSHs. Obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan
keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi (Dikatakan remisi apabila setelah
1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid)
d. β-blocker: propanolol dosis 40 – 200 mg dalam 4 dosis, mengontrol takikardia (propranolol juga↓ konversi T4 T3)
e. Radioactive iodine (RAI): alternatif tx medikamentosa (di luar negeri merupakan terapi utama bersama dengan obat
pada hipertiroid berat), premedikasi psn dgn obat antitiroid utk mencegah tirotoksikosis, hentikan 3 hari sebelum terapi
agar RAIbisa di uptake; 75% pasisen setelah terapi radioaktif menjadi hipotiroid dan siap operasi
f. Tindakan bedah: usia muda dengan struma besar tidak respons dengan antitiroid, hamil trimester kedua yang
memerlukan obat dosis tinggi, alergi antitiroid dan tidak dapat menerima yodium radioaktif, hipertiroid dengan
koeksistensi nodul curiga ganas, pasien dengan ophthalmopathy grave's sedang-berat
g. Radiofrekuensi ablasi: ≥35 tahun, yang kambuh setelah dioperasi, gagal remisi, Tidak mampu atau tidak mau obat
antitiroid, Adenoma toksik, struma multinodosa toksik
h. Tata laksana Krisis tiroid
1. Perawatan suportif:
a) Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
b) Memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit: infus D 5 % & NaCl 0,9 %,
c) Mengatasi gagal jantung: O2, diuretik, digitalis
d) Blokade produksi hormon tiroid: Propiltiourasil (PTU) loading dose 500-1000 mg dilanjutkan dosis 200-250 mg
tiap 4 PO. Alternatif: Metimazol 20 mg tiap 4-6 jam PO. Pada keadaan sangat berat: dapat per NGT
e) Blokade ekskresi hormon tiroid: saturated solutions of potassium iodide (SSKI) 5 drops setiap 6 jam atau
Solutio Lugol 10 tetes tiap 8 jam, 1 jam SETELAH pemberian PTU
f) β-blocker: Propanolol 60-80 mg tiap 4-6 jam PO, dosis disesuaikan respons (target: frekuensi jantung < 90
x/m).
g) Glukokortikoid: Hidrokortison 100 mg IV tiap 8 jam.
h) Bile acid sequestrant: cholestyramine 4 x 4 gr (prevent reabsorption of free thyroid hormone in the gut
(released from conjugated thyroid hormone metabolites secreted into bile through the enterohepatic
circulation)
i) Bila refrakter terhadap Tata Laksana di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal.
2. Pengobatan terhadap faktor pencetus: antibiotik, dll. Pada ophthalmopathy: bisa memburuk setelah RAI, cegah
dengan prednisone pada pasien beresiko tinggi; terapi dengan radiasi dan atau dekompresi bedah
Hipertiroid Subklinis merupakan keadaan dimana terjadi penurunan TSH ringan & free T4 normal, tanpa gejala klinis. Pada
15% kasus akan menjadi hipertiroid dlm 2 thn dan berisiko resiko AF & osteoporosis
Hipotiroid
Merupakan kumpulan gejala akibat kekurangan hormon tiroid
Berdasarkan letak masalahnya dapat dibagi menjadi:
a. Primer: Permasalahan terletak pada kelenjar tiroid yang tidak dapat menghasilkan hormone tiroksin (90%; ↓free T4, ↑
TSH). Terjadi pada kasus berikut:
1. Goiter/struma: tiroiditis, yang tersering ialah Hashimoto’s thyroiditis akibat kerusakan akibat Autoimmun dengan
gambaran patchy lymphocytic infiltration dan antithyroid pada pemeriksaan terdapat peroxidase (anti-TPO) &
antithyroglobulin (anti-Tg) Abs, pada 90% kasus, penyembuhan pasca thyroiditis, defisiensi iodin, Lithium,
amiodarone
2. Nongoiter: destruksi post op, pasca pemberian radioactive iodine
b. Sekunder/sentral kerusakan pada hipofisis atau hipotalamus yang mengakibatkan kelenjar tiroid tidak mampu untuk
menghasilkan hormone tiroksin (↓ free T4, ↓ TSH):
Pemeriksaan Penunjang
a. ↓FT4; ↑TSH pada hipothyroid primer; antithyroid Ab (+) pada Hashimoto’s thyroiditis
b. Dapat terjadi hiponatremia, hipoglikemia, anemia, ↑ LDL, ↓ HDL, and ↑CK
c. Skrining sangat dianjurkan untuk wanita hamil
Tatalaksana
a. Levothyroxine (1.5–1.7 µg/kg/hari), periksa ulang TSH q4–6minggu & titrasi hingga euthyroid; gejala klinis butuh waktu
bulanan utk resolusi; turunkan dosis awal jika beresiko PJK (0.3–0.5 µg/kg/d); ↑dosis jika dibutuhkan: kehamilan
(↑30% pd minggu ke 8), sindrom nefrotik, BB ↑> 10%
b. Koma Myxedema: loading 5–8 µg/kg T4 IV, kemudian 50–100 µg IV qhari; karena konversi T4T3 di perifer terganggu
berikan 5–10 µg T3 IV q8jam;
Hipotiroid Subklinis (NEJM 2001;345:260) adalah keadaan dimana terjadi peningkatan TSH & free T3-T4 normal dengan
gejala ringan atau tanpa gejala
Tiroiditis
Berdasarkan onsetnya dapat dibagi menjadi:
a. Akut akibat infeksi bakteri yang biasa terjadi pada post operasi
b. Subakut tirotoksikosis transient merupakan keadaan hipotiroid transient dan selanjutnya fgs tiroid normal.
Berdasarkan gejala yang muncul dapat dibagi menjadi:
1. Nyeri (viral, granulomatosa, atau de Quervain’s): demam, ↑LED; terapi denganNSAID,ASA, steroid
2. Silent(postpartum, autoimun, atau lymphocytic): tidak nyeri, +TPO Abs; pada kasus postpartum, dpt terjadi
rekurensi pd kehamilan berikutnya
3. Lain2: amiodarone, thyroiditis palpasi, pasca radiasi
c. Kronik : Hashimoto’s (hipotiroid), Riedel’s (fibrosis idiopathic)
Nodul Tiroid
Merupakan pembesaran kelenjar tiroid, dengan fungsi tiroid yang besifat eutiroid/ nontoksik ataupun dengan gangguan
fungsi tiroid. Berikut adalah pembagiannya:
1) Nodul yang eutiroid/non toksik: ca tiroid, struma nodosa nontoksik, kista tiroid, (5–10% dari semua kasus tiroid 5%
keganasan).
a) Curiga ganas: usia < 20 atau >70 thn, laki-laki, riw rontgen leher, massa keras dan terfiksir, tdk menyerap iodium
(cold nodul), ukuran besar, temuan USG (hipoechoic, solid, batas tdk tegas, mikrokalsifikasi, aliran darah sentral),
pembesaran KGB leher.
b) Jinak: riw keluarga dengan kelainan tiroid selain kanker, ada gejala hipo atau hipertiroid, ada nyeri tekan
2) Nodul yang toksik. Biasanya terjadi keadaan hipertiroid contoh Toxic Multi Nodular Goiter.
Berani Sepenuh Hati 15 | O p t i m a p r e p
MASTER UKMPPD
Sindrom Cushing
Cushing’s syndrome adalah keadaan hiperkortisol yang
disebabkan oleh kondisi eksogen dan endogen. Penyebab
eksogen adalah akibat pengobatan steroid. Sedangkan
Cushing’s disease, merupakan bagian dari Cushing syndrome
adalah keadaan hiperkoritisol sekunder karena hipersekresi
ACTH akibat adenoma hipofisis. Etiologi eksogen Cushing’s
syndrome adalah penggunaan glukokortikoid eksogen
sedangkan pada penyebab endogenous Cushing syndrome
sebanyak 60–70% disebabkan adenoma hipofisis (biasanya
mikroadenoma), (15–25%) adenoma atau karsinoma pada
adrenal dan (5–10%) akibat ACTH ektopik yaitu Squamous Cell
Lung Carcinoma, karsinoid, tumor islet cell, ca tiroid medullar,
pheochromocytoma
Manifestasi klinis
1. Keadaan intoleransi glukosa yaitu gejala DM, HT, obes,
oligomenorrhea, osteoporosis, obes sentral dg atrofi (DST = dexamethasone
ekstremitas, punuk cervical (buffalo hump), moon face, suppression test)
hipokalemia, depresi, insomnia, psikosis, gangguan kognitif,
acne, hirsutism, hiperpigmentasi, infeksi
jamur kulit, nephrolithiasis, polyuria
2. Memar spontan, miopati proksimal, striae
merupakan gejala yang sugestif ke arah
Sindrom Cushing
Diagnosis
Alur diagnosis Sindrom Cushing, bisa dilihat
pada bagan di samping.
Tatalaksana
a. Reseksi bedah jika penyebabnya adenoma
atau tumor adrenal
b. Jika bedah transsphenoidal (TSS) tidak
berhasil adrenalectomydgn operasi atau
dgn obat mitotane, ketoconazole (±
metyrapone) utk ↓ kortisol
c. Glucocorticoid replacement therapy yaitu 6–
36 bulan pasca TSS atau seumur hidup jika
pasca adrenalectomy
Hiposekresi Adrenal
Berdasarkan letak gangguannya dapat dibedakan menjadi gangguan:
a. Primer gangguan adrenokorteks yaitu Addison’s disease yang disebabkan oleh autoimun, infeksi: TB, CMV,
histoplasmosis, masalah vascular akibat perdarahan, trombosis, trauma, metastasis, adanya deposit: hemochromatosis,
amyloidosis, sarcoidosis dan obat obatan yaitu: ketoconazole, etomidate, rifampin, antikejang
b. Sekunder akibat kegagalan hipofisis mensekresi ACTH (tapi aldosteron tidak terganggu karena masih ada poros RAA)
c. Supresi glukokortikoid, megestrol yaitu hormon progestin dengan efek supresi glucocorticoid.
Manifestasi klinis
a. Primer atau sekunder: mudah lelah (99%), anorexia (99%), hipotensiorthostatic (90%), mual (86%), muntah (75%),
hiponatremia (88%)
b. Primer: hipotensi orthostatic, hiperpigmentasi, hiperkalemia
c. Sekunder: terdapat gejala penurunan hormon hipofisis lainnya
d. Komplikasi: Krisis adrenal
Pemeriksaan penunjang
a. Pengukuran kortisol pagi: <3 µg/dL memastikan diagnostic hipoadrenal; jika ≥18 µg/dL menyingkirkan diagnosis
b. Kelainan lainnya: hipoglikemia, eosinophilia, lymphocytosis, ± neutropenia
c. ACTH: ↑pada kelainan primer, ↓ atau normal pada kelainan sekunder
d. Pemeriksaan radiologi: MRI hipofisis, CT adrenal
3. Infuse 2 to 3 liters of isotonic saline or 5% dextrose in isotonic saline as quickly as possible. Frequent hemodynamic
monitoring and measurement of serum electrolytes should be performed to avoid iatrogenic fluid overload.
4. Give hydrocortisone (100 mg intravenous bolus), followed by 50 mg intravenously every 6 hours (or 200 mg/24 hours as a
continuous intravenous infusion for the first 24 hours). If hydrocortisone is unavailable, alternatives include prednisolone,
prednisone, and dexamethasone.
5. Use supportive measures as needed (Electrolyte abnormalities may include hyponatremia, hyperkalemia or rarely
hypercalcemia. Hyponatremia is rapidly corrected by cortisol and volume repletion)
Subacute measures after stabilization of the patient
1. Continue intravenous isotonic saline at a slower rate for next 24 to 48 hours.
2. Search for and treat possible infectious precipitating causes of the adrenal crisis.
3. Perform a short ACTH stimulation test to confirm the diagnosis of adrenal insufficiency, if patient does not have known
adrenal insufficiency.
4. Determine the type of adrenal insufficiency and its cause if not already known.
5. Taper parenteral glucocorticoid over 1 to 3 days, if precipitating or complicating illness permits, to oral glucocorticoid
maintenance dose.
6. Begin mineralocorticoid replacement with fludrocortisone, 0.1 mg by mouth daily, when saline infusion is stopped.
Hiperparatiroidisme
• Hiperparatiroidisme primer paling sering disebabkan oleh adanya adenoma di kelenjar paratiroid.
• Hiperparatiroidisme sekunder disebabkan karena adanya hipokalsemia. Untuk menjaga kalsium tetap normal, maka
hormone paratiroid disekresikan lebih banyak. Kondisi ini paling sering terjadi pada kasus defisiensi vitamin D dan CKD.
• Hiperparatiroidisme tersier terjadi akibat hiperparatiroidisme sekunder yang berkepanjangan kelenjar paratiroid
secara autonomic mengeluarkan hormon terus menerus.
Hipoparatiroidisme
DIABETES INSIPIDUS
Fisiologi ADH
Antidiuretic hormone (ADH) atau vasopressin merupakan hormon yang dikeluarkan oleh hipofisis posterior, berfungsi agar
ginjal meretensi air. Kekurangan ADH menyebabkan ginjal tak dapat meretensi air, sehingga air dikeluarkan melalui urine
dalam jumlah banyak.
Ingat: Harus juga dibedakan dengan polidipsi psikogenik, yaitu perilaku minum air dalam jumlah berlebihan tanpa adanya
stimulus dari otak untuk minum. Biasanya kondisi ini berkaitan dengan gangguan psikiatri, seperti skizofrenia dan
skizoafektif.
DISLIPIDEMIA
Kelainan fraksi lipid dimana terjadi peningkatan kolesterol total, peningkatan trigliserid serta penurunan kadar kolesterol
HDL. Sindrom Metabolik (≥3 kriteria): lingkar lengan atas ≥40” pada laki atau ≥35” pada perempuan ;TG ≥150; HDL<40
mg/dL pada laki laki atau <50 mg/dL pada perempuan; TD ≥130/85 mm Hg; GDP ≥100 mg/dL (Circ 2009;120:1640)
a. Klasifikasi kadar kolesterol
LDL Klasifikasi
< 100 mg/dL Optimal
100 – 129 mg/dL Mendekati optimal
130 – 159 mg/dL Batas tinggi
160 – 189 mg/dL Tinggi
190 mg/dL Sangat tinggi
Kolesterol Total Klasifikasi
< 200 mg/dL Yang diinginkan
200 – 239 mg/dL Batas tinggi
240 mg/dL Tinggi
HDL Klasifikasi
< 40 mg/dL Rendah
60 mg/dL Tinggi
b. Klasifikasi trigliserida
Trigliserida Klasifikasi
< 150 mg/dL Normal
Berani Sepenuh Hati 19 | O p t i m a p r e p
MASTER UKMPPD
Faktor Resiko
a. Faktor risiko positif: Merokok, Umur (pria 45 tahun, wanita 55 tahun), Kolesterol HDL rendah, Hipertensi ( TD
140/90 atau dalam Tata Laksana antihipertensi), Riwayat PJK dini dalam keluarga (first degree: pria < 55 tahun, wanita
< 65 tahun)
b. Faktor risiko negatif: Kolesterol HDL tinggi mengurangi 1 faktor risiko dari perhitungan total
c. ATP III Framingham Risk Score (FRS) untuk risiko PJK pada pasien dengan 2 faktor risiko, meliputi: umur, kadar
kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi. Penjumlahan skor FRS angka persentase risiko
PJK dalam 10 tahun.
Pemeriksaan Penunjang
a. Profil lipid, glukosa darah, Tes fungsi hati, Urine lengkap , Tes fungsi ginjal, TSH, EKG
b. Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia ≥ 20 tahun, setiap 5 tahun sekali
Tatalaksana
a. Modifikasi gaya hidup
1. Diet, dengan komposisi: Lemak jenuh < 7%; PUFA 10%; MUFA 10%; Lemak total 25 – 35%; Karbohidrat 50 – 60%;
Protein 15%; Serat 20 – 30 g/hari; Kolesterol< 200 mg/hari
2. Latihan jasmani dan Penurunan berat badan bagi yang gemuk
3. Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alcohol
b. Farmakologis
1. Golongan statin: Simvastatin 5 – 40 mg/hr (↓kolest; ES: mialgia, ↑SGOT/PT; KI: kehamilan)
2. Golongan resin: Kolestiramin 4 – 16 g/hr (kombinasi dgn statin ↓kolest)
3. Golongan asam nikotinat: Lepas cepat 1,5 – 3 g, Lepas lambat 1 – 2 g (kombinasi dgn statin ↓kolest & TG;
Interaksi dgn Aspirin; ES: gout, ↑glukosa)
4. Golongan asam fibrat: Gemfibrazil 2 x 600 atau1x900 mg/hr (↓TG; jgn kombinasi dgn statin ↑resiko ES miopathy)
5. Penghambat absorpsi kolesterol: Ezetimibe 10 mg/hr
Hipertrigliseridemia
a. Tujuan utama tatalaksana adalah mencapai target kolesterol LDL; jika TGA sangat tinggi > 500, harus mencegah
komplikasi akut berupa pankreatitis (turunkan TG terlebih dahulu tanpa memandang konsentrasi LDL)
b. Penggunaan obat untuk menurunkan TG dipertimbangkan pada TGA> 200 mg/dL yang tidak turun dengan modifikasi
gaya hidup dengan risiko KV tinggi.
c. Konsentrasi kolesterol non-HDL digunakan untuk menentukan inisiasi terapi dan mengukur keberhasilan terapi TG.
Konsentrasi kolesterol non-HDL ≥30 mg/dL di atas target terapi kolesterol LDL dipakai sebagai nilai ambang memulai
terapi penurunan TG. Target terapi kolesterol non-HDL maksimal 30 mg/dL di atas target terapi kolesterol LDL
Target Tatalaksana
• Estimasi risiko kardiovaskular total bagi pasien tanpa keluhan atau gejala PJK klinis maupun keadaan yang setara
dengan PJK dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai risk chart seperti Framingham atau SCORE.
• Pedoman Tatalaksana Dislipidemia PERKI menganjurkan penggunaan SCORE risk chart.
Tinggi • faktor risiko tunggal yang berat seperti dislipidemia familial ˂100 mg/dL
atau hipertensi berat
• sindrom metabolik
• angka SCORE 5 sampai ˂10%
SINDROM METABOLIK
HDL cholesterol <40 mg/dL (men); <50 mg/dL (women) or drug treatment for low HDL
Goals
Lifestyle risk factors
Abdominal obesity Year 1: Reduce body weight 7 to 10 percent
Continue weight loss thereafter with ultimate goal BMI <25 kg/m 2
Physical inactivity At least 30 min (and preferably ≥60 min) continuous or intermittent
moderate intensity exercise 5 times per week, but preferably daily
Atherogenic diet Reduced intake saturate fat, trans fat, cholesterol
Metabolic risk factors
Dyslipidemia
High risk*: <100 mg/dL; optional <70 mg/dL
Primary target elevated
Moderate risk: <130 mg/dL
LDL cholesterol
Lower risk: <160 mg/dL
High risk*: <130 mg/dL; optional <100 mg/dL
Secondary target elevated
Moderate risk: <160 mg/dL
non-HDL cholesterol
Lower risk: <190 mg/dL
Tertiary target reduced
Raise to extent possible with weight reduction and exercise
HDL cholesterol
Elevated blood pressure Reduce to at least <140/90 (<130/80 if diabetic)
Elevated glucose For IFG, encourage weight reduction and exercise
For type 2 DM, target A1C <7 percent
Prothrombotic state Low-dose aspirin for high-risk patients
Proinflammatory state Lifestyle therapies; no specific interventions