Anda di halaman 1dari 7

ISSU TERKINI KEBIDANAN YANG MENYANGKUT AGAMA

TERKAIT IMUNISASI, KB, DAN SUNAT

1. KB

Tahukah Anda, ternyata agama Islam juga mengatur tentang Keluarga Berencana atau KB. Ada
dua kata yang berhubungan dengan Keluarga Berencana atau KB dalam perspektif Islam. Pertama
adalah pembatasan kelahiran atau yang disebut dengan Tahdid an-Nasl dan kedua pengaturan kelahiran
atau Tandzim an-Nasl.
Dalam buku Fondasi Keluarga Sakinah yang diterbitkan oleh Ditjen Bimas Islam Kementerian
Agama RI tahun 2017 dijelaskan bahwa semua ulama melarang pembatasan kelahiran karena cara ini
dianggap permanen dan mencegah kelahiran secara permanen diharamkan dalam Islam.
Sedangkan pengaturan kelahiran diperbolehkan oleh para ulama karena pengaturan kehamilan
dan kelahiran tidak tergolong pembatasan. Apalagi jika program KB yang ditujukanoleh keluarga
untuk kemasalahatan keluarganya agar menjadi keluarga kecil bahagia dan sejahtera yang mendapat
rida Allah SWT.
Pengaturan kelahiran diisyaratkan dalam Al-Quran pada surat Al-Baqarah ayat 223 dan surat
Luqman ayat 14 tentang anjuran menyusui anak selama dua tahun. Sejalan dengan ayat-ayat tersebut,
terdapat anjuran agar ibu yang sedang menyusui tidak hamil, karena hal tersebut akan mengganggu
kesehatan ibu, anak yang sedang disusui, dan janin yang ada di rahimnya.
Untuk memudahkan pemahaman hal ini dapat dijelaskan bahwa ibu yang sedang menyusui dan
hamil, maka asupan makanan ibu akan terbagi kepada dirinya sendiri, bayi yang sedang disusui dan
janin yang dikandungnya.

Dalam Q.S An.Nisa ayat 9 Allah SWT juga berfirman:

‫ض َعافًا خَافُوا َعلَ ْي ِه ْم فَ ْليَتَّقُوا اللَّهَ َو ْليَقُولُوا قَوْ اًل َس ِديدًا‬


ِ ً‫ش الَّ ِذينَ لَوْ ت ََر ُكوا ِم ْن خَ ْلفِ ِه ْم ُذ ِّريَّة‬
َ ‫َو ْليَ ْخ‬

Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Pengertian yang lemah pada ayat di atas mempunyai makna lemah secara fisik biologis, mental
psikologi, mental spiritual, sosial ekonomi, pendidikan dan keterampilan, sosial kemasyarakatan dan
sebagainya. Ayat tersebut sejalan dengan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:

ِ ‫ـويُّ خَ ـ ْي ٌر َوأَ َحبُّ إِلَـى هللاِ ِمنَ ْالـ ُم ْؤ ِم ِن الض َِّعي‬


‫ْف‬ ِ َ‫اَ ْلـ ُم ْؤ ِمنُ ْالق‬

Artinya: Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah (HR
Bukhari).

Menurut Cholil Nafis dalam bukunya yang berjudul Fikih Keluarga, ada banyak alasan yang
mendorong dilakukannya keluarga berencana dalam Islam, namum ada tiga hal yang utama,
diantaranya adalah:
Pertama: Mengkhawatirkan terhadap kehidupan atau kesehatan si ibu apabila hamil atau
melahirkan anak, setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter yang dapat dipercaya. Sebab pada firman
Allah yang artinya:

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik”. (QS. Al-Baqarah: 195)

Kedua: Khawatir akan terjadinya bahaya pada urusan dunia yang kadang-kadang bisa
mempersukar beribadah, sehingga menyebabkan orang mau menerima barang yang haram dan
mengerjakan yang terlarang, justru untuk kepentingan anak-anaknya. Sedang Allah telah berfirman
yang artinya:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Ketiga: Keharusan melakukan azl yang biasa terkenal dalam syara’ ialah karena
mengkhawatirkan kondisi perempuan yang sedang menyusui kalau hamil dan melahirkan anak baru.
Nabi menamakan kehamilan sewaktu perempuan masih menyusui, dengan ghilah atau ghail, karena
penghamilan itu dapat merusak air susu dan melemahkan anak.
Sementara kenapa dinamakannya ghilah atau ghail karena suatu bentuk kriminalitas yang
sangat rahasia terhadap anak yang sedang disusui. Oleh karena itu sikap seperti ini dapat disamakan
dengan pembunuhan misterius (rahasia).
Rasulullah SAW memperingatkan supaya perempuan tidak hamil bila dalam keadaan menyusui
karena sangat membahayakan bagi si anak maupun si ibu. Hal ini tercantum dalam HR. Abu Daud
yang artinya:

“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu secara rahasia, karena ghail (perempuan hamil yang
menyusukan anaknya) itu mengejar penunggang kuda (pendekar) lalu dilemparkan dari kudanya.”

Karenanya Cholil menegaskan, Islam mendukung program KB. Hal ini ditunjukkan oleh
beberapa hadits yang membolehkan azl atau yang kita kenal dengan senggama putus, Moms. Azl
merupakan pencegahan kehamilan dengan cara alami dan sederhana.
Di zaman seperti saat ini, kata Cholil, sudah ada beberapa alat kontrasepsi yang dapat
dipastikan kemaslahatannya dan justru maslahah itulah yang dituju oleh Nabi Muhammad SAW yaitu
melindungi anak yang masih menyusu dari marabahaya termasuk menjauhi masalah yang lain pula,
yaitu: tidak bersetubuh dengan istrinya selama menyusui, di mana hal itu memberatkan sekali.
Namun, ada perbedaan pendapat para ulama pada penggunaan alat atau obat kontrasepsi
modern, terutama yang masih dianggap permanen seperti tubektomi dan vasektomi. Dengan kata lain
jumhur ulama atau mayoritas ulama menyetujui penggunaan alat dan obat kontrasepsi selama hal itu
tidak bersifat permanen seperti kondom, pil, suntik, implan, IUD, dan jelly.
Sebagian ulama juga membolehkan juga membolehkan melakukan vasektomi untuk laki-laki
dan tubektomi untuk perempuan karena penemuan keilmuan dan teknologi kedokteran yang
menyatakan bahwa keduanya bisa disambung kembali saluran sperma atau saluran telur perempuan
yang dikenal dengan rekanalisasi sehingga tidak lagi permanen.
Dengan menggunakan alat kontrasepsi pasangan menjadi aman dan tenang dalam melakukan
hubungan badan dengan istrinya karena tidak ada ketakutan isteri akan hamil saat usia anak masih
sangat kecil. Karena itu, ber-KB tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Dasar kebolehan obat dan alat kontrasepsi modern tersebut dapat ditelusuri dari beberapa hadis
Rasulullah SAW, yang salah satunya adalah:

‫ْز ُل َو ْالقُرْ آنُ يَ ْن ِز ُل‬


ِ ‫ُكنَّا نَع‬

Artinya: “Kami dahulu pernah melakukan ‘azl di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Qur’an turun ketika itu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menunjukkan bahwa melakukan azl yaitu mencabut kemaluan laki-laki dari
vagina saat hampir keluar sperma dan mengeluarkannya di luar vagina istrinya itu diperbolehkan. Jika
azl pada zaman Rasulullah SAW dilarang oleh Allah SWT, maka akan ada ayat yang melarangnya,
Moms. Namun, ternyata ayat tersebut tidak ada.
Dengan demikan, maka melakukan azl tidak dilarang dalam Islam. Kebolehan penggunaan alat
dan obat kontrasepsi dianalogikan kepada praktek azl tersebut karena mempunyai tujuan yang sama,
yaitu menghindari kehamilan.

2. Pro Kontra Hukum Imunisasi dan Vaksinasi

Pro-kontra yang membawa-bawa nama syari’at. Apalagi kami sering mendapat pertanyaan karena
kami pribadi berlatar belakang pendidikan kedokteran. Pro-kontra yang membawa-bawa nama syari’at
inilah yang mengetuk hati kami untuk menelitinya lebih dalam. Karena prinsip seorang muslim adalah
apa yang agama syari’atkan mengenai hal ini dan hal itu. Sebagai seorang muslim, semua jalan keluar
telah diberikan oleh agama islam. Oleh karena itu kami berupaya kembali kepada Allah dan rasul-Nya.

ِ ‫َي ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هّللا ِ َوال َّرس‬


‫ُول‬ ْ ‫فَإِن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي ش‬

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),” [An-Nisa-59]
Sebelumnya kami ingin menyampaikan bahwa imunisasi dan vaksinasi adalah suatu hal yang
berbeda dimana sering terjadi kerancuan.

a. Imunisasi: pemindahan atau transfer antibodi [bahasa awam: daya tahan tubuh] secara pasif.
Antibodi diperoleh dari komponen plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu.

b. Vaksinasi: pemberian vaksin [antigen dari virus/bakteri] yang dapat merangsang imunitas
[antibodi] dari sistem imun di dalam tubuh. Semacam memberi “infeksi ringan”.

Pro-kontra imunisasi dan vaksin, Jika membaca yang pro, kita ada kecendrungan hati mendukung.
Kemudian jika membaca yang kontra, bisa berubah lagi. Berikut kami sajikan pendapat dari masing-
masing pihak dari informasi yang kami kumpulkan.

Pendapat yang kontra:

a. Vaksin haram karena menggunakan media ginjal kera, babi, aborsi bayi, darah orang yang
tertular penyakit infeksi yang notabene pengguna alkohol, obat bius, dan lain-lain. Ini semua
haram dipakai secara syari’at.
b. Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri, thimerosal, aluminium,
benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yg akan memicu autisme, cacat otak, dan
lain-lain.
c. Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya, banyak efek sampingnya.
d. Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana
menjaganya dan bergaya hidup sehat.
e. Konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk memperbodoh dan meracuni negara berkembang
dan negara muslim dengan menghancurkan generasi muda mereka.
f. Bisnis besar di balik program imunisasi bagi mereka yang berkepentingan. Mengambil uang
orang-orang muslim.
g. Menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan dari negara-negara berkembang dan negara
muslim seperti minum madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda.
h. Adanya ilmuwan yang menentang teori imunisasi dan vaksinasi.
i. Adanya beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak di-imunisasi masih tetap sehat, dan
justru lebih sehat dari anak yang di-imunisasi.

Pendapat yang pro:

a. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu hamil membawa virus
Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa
menyebabkan bayi baru lahir langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin.
b. Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah
seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini berkembang virus flu burung yg telah
mewabah. Hal ini menimbulkam keresahan bagi petugas kesahatan yang menangani. Jika tidak
ada, mereka tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar.
c. Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang
notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah. Apalagi pola hidup di zaman modern.
Belum lagi kita tidak bisa menjaga gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar penyakit
infeksi, perlu dilakukan vaksinasi.
d. Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap terhadap kondisi
ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-jenis merk vaksin serta jadwal yang
benar sesuai kondisi setiap orang.
e. Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya vaksinasi MMR
menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih tersistem dan dengan metodologi
yang benar, kasus autis itu ternyata banyak penyebabnya. Penyebab autis itu multifaktor
(banyak faktor yang berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti.
f. Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun terjadi pro-kontra juga.
Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut dan akhirnya diberi kebebasan memilih.
Sampai sekarang negara barat juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan kondisi
lingkungan dan masyarakatnya.
g. Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu atau tidak
sama sekali? Karena standar kesehatan mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih, epidemik
(wabah) penyakit infeksi sudah diberantas, kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi.
Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik. Bandingkan dengan negara berkembang.
Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika tidak bersih dicuci. Makanan dengan zat
pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita
mau masuk ke beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu. Karena
mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara kita.
h. Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan bahwa vaksin halal
karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi bagian vaksinContohnya Fatwa MUI yang
menyatakan halal. Dan jika memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat
keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus segera dicegah
karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan TBC.
i. Terlepas dari itu semua, kami tidak bisa memastikan dan mengklaim 100% pihak mana yang
benar dan pihak mana yang salah. Kami hanya ingin membagi kelegaan hati kami berkaitan
dengan syari’at. Berikut kami sajikan bagaimana proses dari kebingungan kami menuju sebuah
kelegaan karena kami hanya ingin sekedar berbagi.

Kewajiban taat terhadap pemerintah/waliyul ‘amr. Hal ini berkaitan dengan program “wajib”
pemerintah berkaitan dengan imunisasi -yang kita kenal dengan PPI [Program Pengembangan
Imunisasi]- di mana ada lima vaksin yang menjadi imunisasi “wajib”. Sudah menjadi aqidah ahlus
sunnah wal jamaah bahwa kita wajib mentaati pemerintah. Berikut kami sampaikan dalil-dalil yang
ringkas saja.

Allah Ta’ala berfirman,

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu.” [An Nisa’: 59]

Kita wajib taat kepada pemerintah baik dalam hal yang sesuai dengan syari’at maupun yang
mubah, misalnya taat terhadap lampu lalu lintas dan aturan di jalan raya. Jika tidak, maka kita berdosa.
Bahkan jika pemerintah melakukan sesuatu yang mendzalimi kita, kita harus bersabar. Kita tidak boleh
melawan pemerintah dengan melakukan demonstrasi apalagi melakukan kudeta dan pemberontakan
karena lebih besar bahayanya dan juga akan menumpahkan darah sesama kaum muslimin.

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صـنَ ُع‬ْ َ‫ت َك ْيـفَ أ‬ ُ ‫ـال قُ ْل‬


َ َ‫ ق‬.» ‫س‬ ٍ ‫ين فِى ج ُْث َما ِن إِ ْن‬
ِ ‫َاى َوالَ يَ ْستَنُّونَ بِ ُسنَّتِى َو َسيَقُو ُم فِي ِه ْم ِر َجا ٌل قُلُوبُهُ ْم قُلُوبُ ال َّشيَا ِط‬ ‫ُكونُ بَ ْع ِدى أَئِ َّمةٌ الَ يَ ْهتَد َـ‬
َ ‫ُون بِهُد‬
َ ُ‫ب ظَ ْهرُكَ َوأُ ِخ َذ َمال‬
‫ك فَا ْس َم ْع َوأَ ِط ْع‬ َ ‫ُر‬ ِ ‫ك قَا َل « تَ ْس َم ُع َوتُ ِطي ُع لِألَ ِم‬
ِ ‫ير َوإِ ْن ض‬ َ ِ‫ت َذل‬ ُ ‫يَا َرسُو َل هَّللا ِ إِ ْن أَ ْد َر ْك‬

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu) dan tidak
pula melaksanakan sunnahku (dalam amal). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang
hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.“
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan taat kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul punggungmu
dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” [HR. Muslim no. 1847]

Kita baru diperbolehkan untuk tidak taat jika melihat pemerintah berada pada kekufuran yang nyata,
jelas, dan bukan kekufuran yang dicari-cari dan dibuat-buat.

‫ إال أن تروا كفراً بواحا ً عندكم عليه من هللا برهان‬،‫سمعوا وأطيعوا‬

“Mendengar dan taatlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat kekafiran yang
nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Jika ada yang mengatakan bahwa pemerintah sekarang kafir atau bukan negara Islam sehingga
tidak perlu taat, maka kami sarankan untuk banyak menelaah kitab-kitab aqidah para ulama. Karena
bisa jadi tuduhan itu kembali kepada yang menuduh. Kemudian perlu kita bedakan antara pemerintah
yang tidak bisa menjalankan hukum syariat dan masih menganggap baik hukum Islam. Dan di antara
bukti negeri tersebut masih muslim adalah masih membebaskan dijalankan syari’at-syari’at yang
bersifat jama’i seperti adzan, shalat berjama’ah dan shalat ‘ied.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ك إِاَّل َحا َر َعلَ ْي ِه‬ َ ‫َو َم ْن َدعَا َر ُجاًل بِ ْال ُك ْف ِر أَوْ قَا َل َع ُد َّو هَّللا ِ َولَي‬
َ ِ‫ْس َك َذل‬
“Dan barangsiapa yang memanggil seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal
dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh.” [HR. Bukhari no. 3317, 5698, dan
Muslim no. 214.]

Inilah yang agak mengusik hati kami, yaitu jika kita tidak mengikuti program imunisasi maka
akan menyebabkan berdosa, karena pemerintah mengatakan “wajib”.
Walaupun hal ini bisa dibantah bagi mereka yang kontra, karena bahannya yang haram dan bisa
merusak tubuh. Sehingga dalam hal ini pemerintah tidak perlu ditaati. Karena kita dilarang merusak
tubuh kita sendiri.

Allah Ta’ala berfirman,

‫وا بِأ َ ْي ِدي ُك ْم ِإلَى التَّ ْهلُ َك ِة‬


ْ ُ‫َوالَ تُ ْلق‬

“dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” [Al-Baqarah: 195]

Sesuai dengan kaidah dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِ ‫ إِنَّ َما الطَّا َعةُ فِى ْال َم ْعر‬، ‫ْصيَ ٍة‬


‫ُوف‬ ِ ‫الَ طَا َعةَ فِى َمع‬

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara
yang ma’ruf (bukan maksiat).” [HR. Bukhari no. 7257]

Wajib imunisasi bukan wajib secara mutlak


Secara ringkas, wallahu a’lam, yang kami dapatkan bahwa pernyataan “wajib” pemerintah di
sini bukanlah wajib secara mutlak dalam pelaksanaannya. Sebagaimana wajib, ada yang wajib ‘ain dan
wajib kifayah. wajib Karena ada beberapa alasan.

1. Memang ada UU no. 4 tahun 1894 tentang wabah penyakit menular dan secara tidak langsung
imunisasi masuk di sini karena salah satu peran imunisasi adalah memberantas wabah.
2. Belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang khusus yang mengatur secara jelas, tegas,
dan shorih tentang kewajiban imunisasi, hukuman, serta kejelasan penerapan hukuman.
3. Kalaupun mewajibkan lima imunisasi termasuk polio, maka bagaimana dengan daerah yang
terpencil, daerah yang tidak mendapatkan pasokan imunisasi seperti beberapa daerah di Papua?
Apakah mereka dipenjara semua? Atau didenda semua? Haruskah mereka mencari-cari ke
daerah yang ada imunisasi dan vaksin?
4. Sampai sekarang, wallahu a’lam, kami belum pernah mendengar ada kasus orang yang dihukum
penjara atau denda hanya karena anaknya belum atau tidak diimunisasi.
5. Cukup banyak mereka yang kontra imunisasi dan vaksin baik individu, LSM, atau organisai
tertentu mengeluarkan pendapat menolak imunisasi padahal ini sangat bertentangan dengan
pemerintah. Bahkan mereka menghimbau bahkan memprovokasi agar tidak melakukan
imunisasi. Tetapi, wallahu a’lam, kami tidak melihat tindak tegas pemerintah terhadap mereka.

Atau kita bisa menganalogikan dengan program “WAJIB belajar sembilan tahun”. Maka semua orang
tahu bahwa “wajib “ di sini tidak bermakna wajib secara mutlak.

Maka kesimpulan yang kami ambil:


Imunisasi dan vaksin mubah, silahkan jika ingin melakukan imunisasi jika sesuai dengan
keyakinan. Silahkan juga jika menolak imunisasi sesuai dengan keyakinan dan hal ini tidak berdosa
secara syari’at. Silahkan sesuai keyakinan masing-masing. Yang terpenting kita jangan berpecah-belah
hanya karena permasalahan ini dan saling menyalahkan.
Berikut kami sajikan fatwa tentang bolehnya imunisasi dan vaksin serta menunjukkan bahwa
semacam imunisasi sudah ada dalam syari’at. Atau yang dikenal sekarang dengan imunisasi syari’at.

Ketika Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang hal ini,

‫ما هو الحكم في التداوي قبل وقوع الداء كالتطعيم؟‬

“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa penyakit seperti imunisasi?”

Beliau menjawab,
‫ال بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء بسببها فال بأس بتعاطي الدواء لدفع البالء الذي يخشى منــه‬
‫) » وهـذا من بـاب دفـع‬1( ‫ «من تصبح بسبع تمـرات من تمـر المدينـة لم يضـره سـحر وال سـم‬:‫لقول النبي صلى هللا عليه وسلم في الحديث الصحيح‬
‫ كمــا يعــالج المــرض‬،‫البالء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوبــاء الواقــع في البلــد أو في أي مكــان ال بــأس بــذلك من بــاب الــدفاع‬
‫ يعالج بالدواء المرض الذي يخشى منه‬،‫النازل‬.

“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena
adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau
menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi hari, ia
tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”

Ini termasuk tindakan menghindari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan
timbulnya suatu penyakit dan dilakukan immunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu
tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan.
Sebagaimana penyakit yang datang diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan
kemunculannya.

3. Sunat (Khitan)

Khitan adalah ajaran yang sudah dilakukan, terutama sejak zaman Nabi Ibrahim. Dalam tradisi
islam, jumhur ulama berpendapat khitan hukumnya wajib untuk laki-laki. Namun, terdapat perbedaan
pendapat mengenai khitan untuk perempuan.
Khitan termasuk bagian bersuci. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad
bersabda, "Ada lima macam yang termasuk fitrah, yaitu khitan, mencukur rambut yang tumbuh di
sekitar kemaluan, menggunting kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak." (H.R. Bukhari,
Muslim, dan Ahmad).
Sementara dalam riwayat lain, Nabi Muhammad berkata, "Khitan merupakan sunah (ketetapan
Rasul) bagi laki-laki dan makrumah (kemuliaan) bagi perempuan" (H.R. Ahmad)
Terkait hukum khitan bagi perempuan, beberapa kalangan ulama berbeda pendapat. Ada yang
mengatakan wajib, sunah, atau mubah.
Ulama dari Mazhab Syafi'iyah berpendapat bahwa khitan wajib dilakukan baik terhadap laki-laki
maupun perempuan. Mahzab Hanabilah dan sebagian Malikiyah juga berpendapat demikian. Namun,
Imam Ahmad berpendapat bahwa khitan wajib bagi laki-laki, dan keutamaan untuk perempuan.
Sementara itu WHO mengelompokkan Female Genital Mutilation (FGM) ke dalam empat tipe.
Dalam keterangannya, WHO menyebut, "FGM tidak memiliki manfaat kesehatan, dan membahayakan
dalam banyak hal. Tindakan itu berupa menghilangkan dan merusak jaringan genital wanita yang sehat
dan normal, dan mengganggu fungsi alami tubuh perempuan dan anak perempuan."
Dalam Perarutan Menteri Kesehatan (Permenkes) Republik Indonesia Nomor
1636/Menkes/Per/XI/2010 tentang Sunat Perempuan, disebutkan bahwa sunat perempuan adalah
tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris. Sunat ini tidak
sama dengan FGM.
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan sunat perempuan hanya dokter, bidan, dan
perawat yang telah memiliki surat izin praktik, atau surat izin kerja. Selain itu, sunat perempuan tidak
dapat dilakukan pada perempuan yang sedang menderita infeksi genitalia eksterna atau infeksi umum.
Permenkes di atas sudah dicabut dengan munculnya Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa Permenkes tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Mei 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan
terhadap Perempuan, disebutkan bahwa khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah aturan dan syiar
Islam. Oleh karenanya, khitan perempuan adalah makrumah, salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Dalam fatwa tersebut, juga dicantumkan standar khitan terhadap perempuan, yaitu sebagai berikut.
Khitan perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput
(jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris.
Khitan perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris
(insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.
Dalam Keputusan Muktamar ke-32 Nahdatul Ulama (NU) Nomor IV/MNU-32/III/2010, disebutkan
bahwa pelarangan khitan bagi perempuan tidak memiliki dalil syar'i. Dalam hal ini, khitan dilakukan
dengan cara menghilangkan sebagian kulit ari yang menutupi klitoris, bukan membuangnya.
Putusan sidang menukil riwayat Ummu ‘Athiyah al-Anshariyah, tentang seorang perempuan yang
hendak khitan di Madinah. Nabi berkata, "Jangan kamu habiskan dalam memotongnya, sebab sungguh
itu lebih menguntungkan wanita dan lebih menyenangkan suami (H.R. Abu Dawud.)"
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Fuad Thohari pada 26 April 2018,
menyebutkan, tata cara atau batasan sunat pada perempuan penting karena praktik di masyarakat bisa
berbeda.
"Di satu sisi kami mendukung penuh khitan perempuan karena sesuai dengan fitrah Islam. Tapi, di
sini kami tidak menutup mata mengenai penyimpangan praktik yang menimbulkan bahaya," ungkap
Fuad dikutip Liputan6.com.

Anda mungkin juga menyukai