Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


“Jika saya dalam vak saya – saya adalah makelar kopi dan tinggal di
Lauriergracht Nomor 37 memberikan keterangan kepada seorang principal –
seorang principal ialah orang-orang yang menjual kopi – dalam keterangan
mana kedapatan sebagian kecil saja dari kebohongan-kebohongan yang anda
temukan dalam sajak-sajak dan roman-roman, sudah pasti ia segera pndah
kepada Busselinch & Waterman. Yang disebut kemudian inipun adalah
makelar kopi, tapi alamatnya tak usah anda tau. Karena itu, saya tidak akan
menulis roman atau memberikak keterangan palsu lainnya.”
Kutipan di aats berasal dari roman karya Multatuli “Max Havelar”, disitir
dari ungkapan tokoh dalam cerita, Betavus Droogstoppel (Multatuli, 1860;
terjemahan Indonesia oleh H. B. Jasin; 1972: 1). Ungkapan itu menunjukkan
pegangan hidup yang harus dianut oleh seorang pedagang (makelar).
Kebenaran dan pikiran sehat. Di dalamnya terkandung sifat kejujuran. Itulah
adat pedagang yang baik (good koopmmans gebruik). Adat pedagang yang
baik adalah konsepsi normatif semacam etika. Dasarnya kepercayaan
masyarakat.
Tak ada aturan tertulis, tetapi orang mematuhinya. Jika kepercayaan itu
luntur, peranannya akan diganti dengan standar atau aturan yang menjabarkan
ide menjadi rentetan tulisan. Agar jelas dan tegas. Agar orang tak meraba
dalam gelap, mana yang boleh dan mana yang tidak. Namun, yang kurang
disadari adalah bahwa tulisan tidak selamanya dapat menjabarkan ide secara
lengkap. Yang terjadi kemudian adalah penilaian atas benar-salah tanpa harus
memandang pada kaidah baik buruk.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pandangan tentang bisnis?
1.2.2 Jelaskan mengenai skandal bisnis!
1.2.3 Jelaskan mengenai etika dalam bisnis!
1.2.4 Mengapa kita perlu beretika?
1.2.5 Bagaimana kita beretika?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mengetahui tentang pandangan bisnis.
1.3.2 Mengetahui tentang skandal bisnis.
1.3.3 Mengetahui tentang etika dalam bisnis.
1.3.4 Mengetahui tentang alasan beretika.
1.3.5 Mengetahui tentang bagaimana beretika.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pandangan Tentang Bisnis


Pelaksanaan bisnis yang beretika sebenarnya telah menyebar sejak lama.
Roman karya Multatuli “Max Havelaar” menggambarkan adat pedagang yang
baik pada sekitar abad ke-19. Pemahaman tentang adat pedagang yang baik
diperlukan karena pekerjaan sebagai pedagang dianggap kurang bermartabat di
mata masyarakat. Pernyataan tersebut, pada dasarnya, ingin membangun
kredibilitas. Bertens (2013: 41-52) berbicara tentang faktor sejarah dan budaya
dalam etika bisnis
Plato (427-347 SM) menyatakan bahwa warga negara (Yunani) yang
bebas seharusnya mencurahkan perhatian dan waktunya untuk kesenian dan
ilmu pengetahuan (filsafat) selain membantu kepengurusan dan membela
negara. Perdagangan sebaiknya diserahkan kepada orang asing dan pendatang.
Pandangan ini dikuatkan oleh Aristoteles (384-322 SM). Dewa Yunani yang
dianggap sebagai pelindung para pedagang adalah Hermes. Namun, Hermes
juga dihormati sebagai pelindung para pencuri.
Dalam agama Kristen, perdagangan tidak ditolak sebagai sesuatu yang
kurang etis, walaupun tetap dipandang dengan syak wasangka. Pandangan
yang lebih positif tentang perdagangan terjadi setelah munculnya
Protestanisme sehingga Vogel (1991: 101-120) menganggap bahwa etika
bisnis, pada dasarnya baru dimulai sejak masa itu. Pandangan ini ditentang
oleh Mc Mahon (1991: 211-222) yang menyatakan bahwa sebelum reformasi
pun, kegiatan bisnis bukan sesuatu yang bertentangan dengan agama Kristen.
Weber (1864-1929) dalam Bertens (2013: 46) menyatakan bahwa timbulnya
kapitalisme dipengaruhi dan didorong oleh etos kerja Protestanisme, khususnya
Calvinisme yang mengutamakan nilai-nilai seperti bekerja keras dan hidup
asketis. Sukses dalam usaha dilihat sebagai pahala dari Tuhan.
Agama lslam tidak mempunyai pandangan negatif terhadap perdagangan.
Nabi Muhammad sendiri adalah seorang pedagang. Namun, perdagangan

3
dengan cara curang tidak diperkenankan. Perdagangan harus dilakukan dengan
cara, barang, dan jasa yang halal. Perdagangan terhadap uang (riba), misalnya,
termasuk yang diharamkan. Pemupukan kekayaan juga diperkenankan dalam
lslam. Namun, penggunaannya harus selalu memperhatikan kaidah-kaidah
agama. Sebagian dari kekayaan yang dimiliki harus dibagikan sebagai zakat
karena terkandung dalam kekayan tersebut adalah hak orang miskin. Selain itu
kekayaan tidak boleh digunakan untuk berfoya-foya (hedonistik) dan
berkehidupan yang boros. Oleh karena itu, ada konsep puasa sehingga
kehidupan dalam kekurangan dapat dipahami dan dihayati.
Dari sudut budaya, pandangan berbagai suku tentang perdagangan
bervariasi. Orang Minang gemar berdagang dan terkenal sebagai perantau yang
tangguh. Bagi orang Jawa, kegiatan sebagai pedagang kurang memperoleh
tempat. Clifford Geertz (dalam Bertens, 2013:49) mengklasifikasikan
masyarakat di sebuah kota di Jawa timur (disamarkan dengan nama Mojokuto)
menjadi golongan priyayi, pedagang pribumi, buruh, petani, dan pedagang
asing (orang Tionghoa). Kelompok priyayi dianggap lebih terhormat daripada
para saudagar (pedagang). Kegiatan pedagang selalu dicurigai dengan
anggapan bahwa kekayaan mereka diperoleh melalui bantuan makhluk halus
(tuyul).
Sistem ekonomi pasar mengubah pandangan masyarakat terhadap bisnis.
Dengan hak kepemilikan pribadi dan berlakunya mekanisme pasar,
kemakmuran dapat tercipta. Tidak saja kemakmuran individu, tetapi juga
negara. Pedagang atau pebisnis tidak lagi dipandang sebagai suatu kedudukan
yang kurang bermartabat. Pengusaha, dewasa ini, bahkan memperoleh
kedudukan yang terhormat di mata masyarakat karena mereka mendatangkan
lapangan pekerjan. Pengusaha juga menjadi dambaan pemerintah untuk
menggerakkan roda perekonomian dan membantunya dalam melepaskan beban
pengangguran. Pengusaha menjadi mitra yang harus dirangkul. Dihadapkan
pada kondisi korupsi yang melanda aparat birokrasi, bekerja di perusahaan
swasta, dan berwirausaha dianggap lebih mendatangkan kebanggaan diri.

4
Walaupun dalam strata sosial, pedagang masih dianggap lebih rendah
dibandingkan dengan penguasa atau aparat birokrasi, tetapi kehidupan ekonomi
para penguasa atau aparat birokrasi tersebut banyak yang ditopang oleh para
pedagang. Yang terjadi kemudian, seperti dikatakan oleh Clifford Geertz,
adalah kolaborasi antara penjaja (pedagang) dan raja (penguasa). Banyak
pengusaha memanfatkan penguasa untuk proteksi dan memperoleh sewa
ekonomi (economic rent) dalam bisnisnya. Sementara, penguasa menggunakan
pengusaha untuk memuluskan kehidupan pribadinya. Dalam keadaan
demikian, suasana korupsi telah melanda ke dunia usaha dan bisnis tidak lagi
beretika.

2.2 Skandal Bisnis


Revolusi industri dan inovasi-inovasi yang diciptakan oleh para ilmuwan
membuat semakin bervariasinya barang dan jasa yang diperlukan oleh manusia
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Barang dan jasa yang
memudahkan, menyamankan dan meningkatkan martabat kehidupan semakin
banyak yang diproduksi dan diperdagangkan karena munculnya permintaan.
Namuun, perkembangan bisnis yang menggembirakan tersebut tidak selalu
diikuti dengan praktik usaha yang baik, terutama pada awal berkembangannya
revolusi industri. Bahkan, dapat dikatakan bahwa sampai saat inipun kegiatan
bisnis masih banyak yang diwarnai oleh penipuan dan kecurangan. Itulah
memang sifat manusia.
Semangat mencari kesejahteraan dalam kehidupan bebas, membuat para
pebisnis melupakan cara yang bermartabat dalam mencapai tujuan tersebut.
Ekploitasi buruh, termasuk tenaga kerja anak dan perempuan mewarnai
kegiatan produksi dipabrik pasca revolusi industri, bahkan mungkin sampai
sekarang. Penipuan konsumen merupakan fenomena lain dari pelanggaran
etika bisnis. Salah satu contoh dari bentuk penipuan konsumen adalah skema
Ponzi yang diciptakan oleh Charles Ponzi. Skema ini merupakan bentuk
penipuan dalam penjualan produk (keuangan) kepada konsumen. Kasus
penjualan Ford Pinto adalah bentuk lain dari penipuan karena produk yang

5
dijual tidak memperhatikan keamanan konsumen. (Brooks dan Dunn, 2012:
219)
Kasus pabrik sepatu nike merupakan salah satu contoh dimana
kepentingan pemasok kurang diperhitungkan. Penggunaan tenaga kerja anak
pada pabrik-pabrik pembuat sepatu tersebut, terutama di negara-negara
berkembang, dianggap sebagai tanggung jawab dari prinsipielnya (Bertens,
2013 :12 ). Penyalahgunaan pinjaman yang diperoleh dari bank merupakan
salah satu bentuk penipuan atau kecurangan kepada kreditur. Pinjaman tidak
digunakan sesuai dengan proyek yang telah disetujui (side streaming) dalam
perjanjian kredit.
Perusakan lingkungan merupakan aspek lain dari tindakan bisnis yang
merugikan alam atau masyarakat. Bertens (2013: 333-339) menyebutkan
bentuk kerusakan lingkungan hidup yang dapat berupa akumulasi bahan
beracun, efek rumah kaca, perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforentasi,
penggurunan, dan penurunan keanekaan hayati. Kerusakan lingkungan hidup
tersebut di atas berakibat buruk terhadap berbagai aspek kehidupan, misalnya,
kesuburan, cuaca, kesehatan, dan lain sebagainya. Secara langsung atau tidak
langsung, dalam kegiatan usahanya, perusahaan menyumbang kerusakan
lingkungan tersebut, misalnya, melalui polusi. Oleh karena itu, lingkungan
hidup dianggap sebagai salah satu pemegang kepentingan (stakeholder) yang
kepentingannya perlu diperhatikan.
Pemisahan tugas antara pemegang saham dan manajemen, akibat
perkembangan bisnis dan kepemilikan perusahaan mengakibatkan munculnya
penipuan dan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Kasus Enron dan
Worldcom merupakan contoh dari kasus kecurangan dalam pelaporan
keuangan. Kecurangan dalam laporan keuangan (fraudulent financial
reporting) merupakan bentuk pelanggaran etika bisnis yang paling banyak
terjadi dewasa ini. Pihak yang dirugikan tidak hanya pemegang saham atau
secara umum disebut investor, tetapi banyak pihak lain yang kepentingannya
terganggu, misalnya karyawan , kreditur, dan pemerintah.

6
2.3 Etika dalam Bisnis
Judul makalah ini adalah "Bisnis Beretika". Oleh karena itu, subjek utama
adalah "bisnis" atau lebih spesifk lagi "kegiatan bisnis". Kata "beretika"
mengandung arti mempunyai etika. Bisnis beretika, membahas tentang
kegiatan bisnis yang telah memperhatikan etika. Richard De George dalam
"The Status of Business Ethics, Past, and Future" (Journal of Business Ethics,
Vol. 6 Nomor 3, April 1987: 201-211) membedakan istilah etika dalam bisnis
(ethics in business) dengan etika bisnis (business ethics).
Etika dalam bisnis memandang etika sebagai praksis (Bertens, 2013: 30)
yang berarti nilai-nilai, norma, atau prinsip moral sejauh dipraktikkan atau
justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya dipraktikkan dalam bisnis.
Etika sebagai refleksi berbicara tentang pemikiran moral, tentang apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan, setelah melalui kajan ilmiah.
Jika bisnis harus beretika, lalu apa saja yang harus diperhatikan? Apa
cakupan dari etika bisnis? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Kebaikan
mencakup hal yang sangat luas. Pihak yang berhak memperoleh kebaikan juga
beragam. Sementara itu, perusahaan bukanlah pemerintah yang mempunyai
kekuasaan dan kekuatan untuk mengatur perekonomian negara dan mempunyai
kewajiban untuk memikirkan seluruh warganya. Pandangan ini mendorong
perusahaan untuk membatasi diri dalam penerapan etika. Selain itu, etika
seharusnya bukanlah sesuatu yang bersitat generik sehingga nantinya sulit
untuk diukur karena bisnis adalah kegiatan yang dasar rasionalitasnya kuat.
Pada dasarnya, pertanyaan tersebut mengacu pada identifikasi tentang siapa,
apa, bagaimana, dan barangkali juga mengapa.
Siapa
Konsep utama yang harus dipahami tentang etika bisnis adalah bahwa
perusahaan adalah makhluk sosial. Ia tidak hidup sendiri dalam kehidupan ini.
Bahkan, walaupun didasar atas kepentingan diri sendiri, perusahaan harus tetap
berhubungan dengan pihak pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan
bisnis. misalnya karyawan, konsumen, pemasok. dan kreditur.

7
Perusahaan tidak bisa hidup tanpa perlindungan pemerintah juga,
perusahaan pada umumnya, berlokasi di tengah masyarakat. Sesuai dengan
pandangan yang berlaku, bahwa jika memperoleh kesulitan, tetanggalah yang
pertama kali akan membantu atau dimintai bantuannya, perusahaan tentu
sangat berkepentingan terhadap masyarakat sekitarnya. Bahkan, keberadan
peusahaan sering kali tidak hanya menjangkau masyarakat sekitar.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan gaung
kcberadan perusalhaan, dengan segala kebaikan dan keburukannya, dapat
tersebar ke masyarakat yang sangat luas tanpa dapat diketahui reaksinya.
Bagi perusahaan, jawaban untuk pertanyan siapa yang perlu diperhatikan
hak dan kepentingannya sudah jelas, yaitu para stakeholder. Perusahaan boleh
saja menambahkan daftar yang ingin dimasukkan sebagai stakeholder
sepanjang hal tersebut akan menunjang keberadaan dan keberlanjutan
perusahaan.
Apa
Pertanyaan tentang "apa", banyak berkaitan dengan hak dan kepentingan
para stakeholder tersebut. Prinsip etika adalah menghormati kepentingan dan
hak pihak lain, tidak saja saat melakukan hubungan ekonomi, tetapi
kemungkinan besar mencakup hubungan sosial. Keduanya dapat berkaitan satu
sama lain. Penghormatan terhadap kepentingan dan hak orang lain harus
diartikan dalam kaitannya dengan kedua bentuk hubungan ini.
Dalam hal hubungan, pihak lain dapat dikategorikan sebagai pihak yang
hanya mempunyai hubungan ekonomi dan pihak yang hanya mempunyai
hubungan sosial. Pihak-pihak tertentu dapat mempunyai kedua jenis hubungan
tersebut, terutama jika definsi dari pihak tertentu diperluas, misalnya termasuk
keluarga dari pihak tersebut. Perusahaan perlu mengidentifikasi pihak-pihak
lain tersebut dengan cermat. Konsep stakeholder dapat digunakan sebagai
acuan. Perluasan cakupan pihak lain di luar stakeholder menjadi diskresi
perusahaan.
Masalah utama yang berkaitan dengan hubungan ekonomi adalah
dicapainya keadilan (justice) dan kewajaran (fairness) dalam pengaturan

8
hubungan tersebut. Tentu masalah ini akan di lihat dari sudut pandang yang
berbeda antara pihak-pihak yang melakukan hubungan ekonomi. Asas biaya
(cost) dan manfaat (benefit) akan menjadi tumpuan dalam mempertimbangkan
hubungan tersebut. Namun, sifat-sifat keutamaan seperti jujur (honesty),
bertanggung jawab (responsible), integritas (integrity), adil (fairness) dan
menepati janji (promise keeping) harus selalu dijadikan pedoman. Perlu
disadari bahwa hubungan ekonomi adalah hubungan timbal balik yang harus
selalu menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu, kecurangan dan
penipuan perdu dihindari.
Hubungan sosial mungkin juga berkaitan dengan masalah keadilan,
kewajaran, dan biaya manfat, tetapi cakupannya lebih luas, misalnya
sekelompok orang, masyarakat, atau lingkungan. Tidak hanya sekadar pihak-
pihak yang melakukan transaksi. Bahkan, untuk hubungan sosial, atas biaya
manfaat bagi perusahaan perlu agak dikesampingkan. Sifat-sifat keutamaan
yang perlu ditonjolkan adalah kepedullan (caring), kesetian (loyalty), dan ingin
bertindak sehagai warga negara yang bertanggung jawab (responsible
citizenship).
Hak dan kepentingan orang lain (yang telah didentifkasikan) dapat
dikelompokkan menjadi hak dan kepentingan yang telah dicantumkan dalam
kontrak (contractual) yang telah diatur oleh pemerintah (regulated) dan yang
tidak diatur dalam kontrak maupun peraturan (non-contractual). Hak dan
kepentingan yang telah diatur dalam kontrak mencakup hubungan ekonomi. Di
dalamnya sudah memperhatikan hak dan kepentingan masing-masing pihak.
Hak dan kepentingan yang telah diatur pemerintah juga telah jelas. Perusahaan
tinggal mematuhinya. Hak dan kepentingan pihak lain yang belum diatur
dalam kontrak atau regulasi, misalnya tentang tanggung jawab sosial,
merupakan diskresi perusahan untuk menetapkannya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa inti dari bisnis (usaha) yang
beretika (ethical business) adalah apabila dalam mencapai tujuannya, niat dan
perbuatan yang dilakukan selalu mengacu pada perlindungan terhadap hak dan
kepentingan para stakeholder khususnya, masyarakat, dan lingkungan pada

9
umumnya. Tataran etika berada pada level perusahaan, walaupun
pelaksanaannya akan melibatkan individu. Sebagai entitas terpisah, dengan
sekumpulan individu perusahaan perlu mengembangkan norma, prinsip moral,
dan nilainya sendiri sehingga dapat digunakan sebagai penunjuk arah,
pedoman, dan perekat bagi individu-individu di dalamnya.
Sebuah lembaga nirlaba di amerika serikat, yang berusaha
mengembangkan perilaku etis untuk profesi di bidang pemerintahan, hukum,
kedokteran, bisnis, akuntansi dan jurnalisme. Josephson Institute for the
Advancement of Ethics (Hayes dkk., 2005: 75) menjelaskan bahwa perilaku etis
(ethical behaviour) di tandai oleh sifat-sifat dasar sebagai berikut:
1. Jujur (honesty)
2. Berintegritas (integrity)
3. Menepati janji (promise keeping)
4. Kesetiaan (loyalty)
5. Bertindak adil (fairness)
6. Peduli dan hormat pada orang lain (caring and respect to others)
7. Warga Negara yang bertanggung jawab (responsible citizenship)

Sifat-sifat dasar tersebut tidak menunjukan urutan prioritas pada dasarnya,


sifat-sifat dasar itu mempunyai kedudukan yang sama.

Masih banyak karakteristik-karakteristik yang dapat di anggap sebagai


sifat dasar manusia untuk berprilaku di dalam masyarakat. Contohnya adalah
sifat-sifat dasar, yaitu bisnis di dalam akuntansi. Dalam agama kristen,
misalnya, di uraikan tujuh dosa (seven sins) yang tidak terampuni. Budaya
jawa yang mengadopsi ajaran Islam mengenai larangan untuk melakukan mo-
limo (lima-ma) yaitu madat (narkoba), main (judi), madon (berzina), maling
(mencuri) dan mabuk (minum-minuman keras). Pada dasarnya dosa larangan
tersebut merupakan norma yang mencerminkan etika.

10
2.4 Mengapa Beretika
Harus diakui bahwa pelaksanaan etika bisnis adalah kegiatan yang
memerlukan pengorbanan. Ujung drai pengorbanan adalah biaya.
Penghormatan terhadap hak dan kepentingan pihak lain akan mengurangi laba
perusahaan. Pertanyaanya kemudian adalah mengapa perusahaan perlu
menjalankan bisnis beretika? Apa manfaatnya bagi perusahaan ? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut perlu dijawab agar perusahaan memperoleh justifikasi yang
kuat dalam melaksanakan hal tersebut.
Sebagian besar dari pertanyaan tentang mengapa dapat dijawab dengan
sederhana, yaitu karena keharusan untuk mematuhi undang-undang, mematuhi
peraturan, dan tuntutan yang semakin gencar dari masyarakat. Brooks & Dunn
(2012: 2-22) menjelaskan secara rinci tentang perkembangan lingkungan bisnis
dan jawaban terhadap tantangan-tantangan tersebut. Perhatian (concern)
masyarakat semakin meningkat terhadap masalah-masalah kerusakan
lingkungan, kesejahteraan manusia, dan moralitas. Selain itu, tindakan-
tindakan penipuan dan kecurangan yang dilakukan perusahaan dalam
melakukan bisnis telah merugikan banyak pihak sehingga memperoleh
tentangan yang luas di masyarakat.
Kedua hal tersebut mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan-
peraturan yang berisi proteksi terhadap pihak-pihak yang dipengaruhi oleh
keberadaan perusahaan. Peraturan-peraturan itu merupakan jawaban atas
lingkungan perusahaan yang berkaitan dengan etika. Apabila bisnis tidak dapat
mengatur sendiri etika yang harus diterapkan, fungsinya akan diambil alih oleh
pemerintah melalui regulasi. Di lain pihak, turun tangannya pemerintah,
umumnya, juga dipicu oleh tuntutan masyarakat akibat skandal-skandal bisnis,
yang merugikan mereka.
Pelaksanaan bisnis beretika tidak hanya disebabkan oleh keharusan untuk
menaati peraturan perusahaan itu sendiri akan memperoleh manfaat jika ia
menjalankan bisnisnya secara beretika. Manfaat ini pada gilirannya akan
menaikkan nilai perusahaan melalui peningkatan reputasi perusahaan.
Pelaksanaan bisnis yang beretika akan meningkatkan reputasi perusahaan.

11
Kemudian melalui loyalitas pelanggan, basis penjualan akan semakin meluas.
Laba perusahaan meningkat sehingga harga saham yang disebabkan oleh factor
fundamental akan naik. Ini adalah logika peningkatan nilai perusahaan yang
disebabkan oleh pelaksanaan bisnis beretika. Bisnis beretika akan meperkuat
dan memperluas basis usaha.
Charles fomburn (1996) dari Reputation Institute dalam Brooks & Dunn
(2012: 17) menjelaskan 4 (empat) faktor yang menentukan reputasi:

Kredibilitas Reliabilitas

Reputasi
Perusahaan

Tanggung
Kepercayaan
Jawab
J

Perhatikan bahwa fsktor-faktor penentu reputasi, dapat dikategorikan sebagai


sifat-sifat keutamaan seperti yang terdapat dalam paham virtuisme.

2.5 Bagaimana Beretika


Jika cakupan tentang etika telah ditentukan, tahap selanjutnya adalah
menjabarkan dan mengakomodasikannya dalam organisasi perusahaan. Istilah
yang barangkali tepat adalah pengorganisasian etika bisnis (organizing
business ethics). Walaupun etika bisnis harus tertanam dalam hati sanubari
setiap orang dalam perusahaan, tetapi bukan berarti bahwa organisasi
perusahaan harus disusun sesuai tujuan beretika. Organisasi bisnis harus ditata
sesuai dengan tujuan ekonomi dari bisnis.

12
Pengorganisasian etika bisnis adalah pengaturan dan penjabaran konsep
pemikiran bisnis beretika ke dalam struktur organisasi perusahaan. Dari sinilah,
kemudian, muncul konsep organisasi beretika (ethical organization). Etika
akan dijalankan oleh orang-orang dalam perusahaan (pimpinan maupun
karyawan). Orang-orang dalam perusahaan bekerja dalam struktur yang disebut
organisasi. Oleh karena itu, etika harus tertanam (embedded) dalam organisasi
perusahaan.

Struktur

Organisasi beretika (ethical organization) dapat dijelaskan seperti terlihat


dalam gambar. Gambar ini menunjukkan pola pengembangan organisasi yang
didasarkan atas niat dan perbuatan yang etis. Pengembangan organisasi
beretika menjadi tanggung jawab manajemen, termasuk direksi dalam sistem
dua dewan (two board system). Untuk kebijakan yang bersifat strategis
persetujuan dari dewan komisi (board of commissioner) bahkan persetujuan
dari pemegang saham masih di perlukan.

Seperti terlihat dalam gambar, niat berbuat etis dicerminkan dalam


pernyataan visi dan misi (vision and mission statements) dan budaya
perusahaan (corporate culture).

13
Budaya perusahaan dijabarkan lebih lanjut dalam sistem nilai (value
system) yang dianut dan kode etik yang dijadikan pedoman bertindak. Niat juga
tercermin dalam tujuan (goals), strategi (strategy), kebijakan (policies), dan
prosedur (procedures) yang berkaitan dengan proteksi kepentingan dan hak
para stakeholder. Kebijakan dapat bersifat strategis, taktis, atau operasional.
Prosedur adalah langkah-langkah yang harus dilalui dalam menjalankan suatu
kegiatan.

Kebijakan dan Prosedur

Kebijakan menyatakan posisi (sikap) perusahaan terhadap suatu peristiwa


(situasi) atau transaksi. Prosedur mengatur uraian tugas dan urutan untuk
mengerjakan suatu kegiatan yang terkait dengan peristiwa atau transaksi.
Dalam kaitannya dengan etika, kebijakan dan prosedur diarahkan untuk
memproteksi kepentingan para stakeholder. Sesuai dengan klasifikasi yang
dilakukan oleh Brooks & Dunn (2012: 240) perlindungan kepentingan dan hak
dilakukan terhadap pihak-pihak berikut.

1. Pemegang saham (shareholder)


2. Kreditur (creditor)
3. Karyawan (employees)
4. Pelanggan (customer)
5. Pemasok (supplier)
6. Pemerintah (government)
7. Aktivis lingkungan dan masyarakat
8. Pesaing (competitor)

Kebijakan dan prosedur dilakukan melalui pengambilan keputusan


beretika (ethical decision making), yaitu pengambilan keputrusan yang telah
memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan atau hak para stakeholder.

Kebijakan dan prosedur tersebut dijabarkan dalam aktivitas. Pada tahap


pelaksanaan, kegiatan bisnis tercermin dalam aktivitas ini. Dialah penggerak

14
roda bisnis. Pelaksanaannya tersebar di unit bisnis, divisi, departemen, bagian
yang dibentuk sesuai dengan struktur organisasi perusahaan. Pada akhirnya,
pelaksanaan keputusan dan aktivitas beretika dilakukan oleh semua orang
yang menjadi bagian dari organisasi perusahaan, baik pimpinan, staf, maupun
karyawan bisnis. Aktivitas merupakan denyut nadi perusahaan. Dari denyut
nadi ini dapat diketahui nuansa kehidupan perusahaan.

Tata Kelola

Bisnis beretika, termasuk pengembangan organisasinya, dilakukan dalam


kerangka tata kelola perusahaan. Tata kelola berhubungan dengan wewenang
dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam organisasi perusahaan.
Tujuannya adalah memperoleh keseimbangan kekuasan dalam pengelolaan
sehingga diperoleh check & balance dalam pencapaian tujuan, yaitu penciptaan
nilai. Tata kelola perusahaan yang baik mendorong dapat dijalankannya bisnis
beretika dengan baik. Dalam bisnis beretika, transformasi niat keperbuatan
bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Sering terjadi, pernyataan visi, misi,
nilai dan kode etik hanya menjadi pajangan di ruang-ruang kantor perusahaan.
Penetapan tujuan dan strategi hanya merupakan ritual periodik yang setelahnya
di masukkan ke dalam laci. Kebijakan dan presedur dibuat untuk memenuhi
syarat peraturan. Semua itu menunjukkan tidak terjadinya kesesuaian antara
niat dan perbuatan. Penyebab utamanya adalah masih menonjolnya
kepentingan pribadi individu. Juga karena karakter bawaan. Perusahaan perlu
menyediakan istrumen untuk memonitor pelaksanaan etika dan mempunyai
sistem hadiah/hukuman bagi kepatuhan dan pelanggaran etika.

Pengambilan Keputusan

Organisasi beretika merupakan dasar bagi pengambilan keputusan


beretika. Sementara itu, keputusan beretika akan menentukan aktivitas yang
beretika. Hasil aktivitas menentukan kinerja beretika. Penilaian masyarakat
yang tercermin dalam persepsi mereka terhadap hasil kinerja beretika akan
memunculkan sikap empati kepada perusahaan.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pedagang dulunya di anggap sebagai pekerjaan yang kurang
bermartabat. Hal ini dikarenakan oleh banyak pandangan. Namun
demikian, seiring berjalannya waktu, sistem ekonomi pasar mengubah
pandangan masyarakat terhadap bisnis. Dengan adanya pedagang atau
pebisnis, kemakmuran dapat tercipta dalam suatu Negara.
Semakin berkembangnya pekerjaan sebagai pedagang membuat
banyak ilmuwan yang mengembangkan product-product, baik dalam
bentuk barang maupun jasa sesuai dengan kebutuhan manusia di era
revolusi industri ini. Namun, hal ini menyebabkan banyaknya juga
menyebar praktik bisnis yang berisikan penipuan dan juga kecurangan.
Dalam dunia bisnis, khususnya bagi perusahaan, yang perlu
diperhatikan hak dan kepentingannya adalah para stakeholder. Inti dari
bisnis yang beretika adalah apabila dalam mencapai tujuannya, niat dan
perbuatan yang dilakukan selalu mengacu pada perlindungan terhadap hak
dan kepentingan para stakeholder khususnya, masyarakat dan lingkungan
pada umumnya.
Alasan mengapa perusahaan perlu menjalankan bisnis yang beretika
secara sederhana adalah untuk mematuhi peraturan dan undang-undang
serta mematuhi tuntutan dari masyarakat. Perusahaan perlu menjabarkan
dan mengakomodasikan cakupan tentang etika dalam organisasi
perusahaan, yang disebut dengan istilah pengorganisasian etika bisnis
(organizing business ethics).

16
3.2 Saran
Apabila kita berada dalam suatu perusahaan atau menjalankan
perusahaan maupun bisnis sendiri kelak, kita perlu melakukan
pengorganisasian etika bisnis. Namun, hal ini tidak berarti organisasi
disusun berdasarkan tujuan beretika. Namun, organisasi bisnis harus
disusun sesuai dengan tujuan ekonomi dari bisnis.

17

Anda mungkin juga menyukai