Anda di halaman 1dari 15

“Kapan Perempuan Berbicara”

(Tinjauan dari Budaya Adat dan Alkitabiah)

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Perubahan zaman menjadi salah satu faktor besar dalam perkembangan peranan atau
kiprah perempuan pada masa kini. Laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang
diciptakan oleh Tuhan. Keduanya tentu memiliki persamaan dan perbedaan, baik itu dari segi
karakternya. Dimana laki-laki itu berkarakter kuat, pemberani dan tegas. Sedangkan
perempuan itu anggun dan lemah lembut. Dalam perkembangan sejarah manusia tersebut
menyebabkan perbedaan status, pranata kehidupan berbudaya dan status sosial mereka. Kaum
perempuan itu memiliki kedudukan yang sangat kecil atau orang yang paling lemah ditengah-
tengah bermasyarakat. Sedangkan laki-laki itu memiliki kedudukan yang tertinggi ditengah-
tengah keluarganya. Jadi hal ini mengarah kepada ketaraan Gender. Dimana Arti gender
sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin
meskipun secara etimologis artinya sama dengan seks, yaitu jenis kelamin. Akan tetapi,
secara terminologisnya, gender bisa dipandang sebagai suatu konsep kultural yang dipakai
untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi laki-laki maupun
perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan1. Namun pada akhirnya
perbedaan Gender sering melahirkan ketidakadilan gender dan sering mengalami penghinaan,
pengesampingan, eksploitas dan penindasan. Meskipun perempuan bekerja lebih lama dari
laki-laki, namun pekerjaan mereka tetap kurang dihargai. itu sebabnya sering terdengar
bahwa laki-laki merupakan Tulang punggung keluarga dan pekerjaan perempuan hanya
merupakan pendukung ekonomi keluarga saja.2
Hal demikian lah yang membuat penulis semakin penasaran dan tertarik untuk membahas
apa sebenarnya hak perempuan, kapan, dimana sebenarnya kebebasan perempuan dalam hal
berbicara serta mengungkapkan pendapatnya. Karena di Perjanjian Lama “Kaum wanita

1
Alfian Rokhmansyah, S.S., M.Hum, “Pengantar Gender dan Feminisme” (Yogyakarta:Garudhawaca, 2016), 1
2
Mansoer Fakih, Analisa Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 147-149
dianggap bagian integral dari umat perjanjian itu sehingga ‘laki-laki, perempuan dan anak-
anak’ berkumpul untuk bersama-sama mendengar pembacaan Taurat di hadapan umum dan
mengambil bagian dalam ibadah (Ul. 31:12). Dan didalam Perjanjian Baru, Alkitab juga
menceritakan bahwa Allah memakai kaum wanita dalam sejarah dan rencana keselamatan
yang Dia berikan melalui Yesus, dimana “Yesus datang dengan kegenapan waktu, lahir dari
seorang perempuan (Gal. 4:4). Jadi,laki-laki dan perempuan itu memiliki hak yang sama,
semua manusia memiliki hak yang sama. Tidak bisa kita batasi kebebasannya itu.
1.2 Rumusan Masalah

 Apakah sebenarnya landasan yang membuat kaum perempuan itu sangat terbatas
dalam kebebasannya, khususnya berbicara maupun mengungkapkan pendapatnya di
Budaya Batak dan alkitab.
 Dimana perempuan itu berhak berbicara dan mengeluarkan pendapatnya.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan yang dipakai oleh penulis yaitu dengan melakukan studi literatur.

II. Pembahasan
2.1 Perempuan Dalam Budaya Batak
Soerojono Soekanto, mengatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut. 3 Berdasarkan
pandangan ini maka dapat dipahami bahwa kebudayaan/budaya memiliki peran yang
sangat menentukan dalam membentuk pola pikir, perilaku, tatanan serta hukum dalam
sebuah masyarakat. Hal itu dapat mempengaruhi setiap orang yang menjadi anggota
masyarakat dengan kebudayaan tertentu yang berlaku di masyarakat itu. Hal itu juga yang
terjadi dengan Paulus. Meskipun dia sudah menjadi seorang kristen, sudah menerima nilai-
nilai baru di dalam kekristenan, namun pola pikir dan perilaku hidupnya masih tetap
dipengaruhi budaya patriarkhalnya, yaitu pengaruh budaya Yahudi dan Yunani yang telah
melatarbelakangi hidupnya untuk waktu yang cukup lama. Itu sebabnya meskipun secara
teologi dia telah menerima kesetaraan laki-laki dan perempuan, akhirnya Paulus
membatasi kepemimpinan perempuan dalam Jemaat.
Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi Paulus, tetapi juga banyak orang Kristen,
termasuk Kristen Batak. Budaya Batak masih mempengaruhi orang Kristen Batak dalam

3
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 187
pola pikir, perilaku, serta keputusan-keputusan lain dalam hidupnya. 4 Dalam hal ini
Falsafah Dalihan Na Tolu (DNT) dapat menjelaskan dan menggambarkan status dan posisi
perempuan dalam budaya Batak. Struktur patriarkhal dalam hubungan kekerabatan orang
Batak, sangat mewarnai hampir seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan budaya Batak.
Dan sadar atau tidak sadar struktur patriarkhal lah yang menjadi penyebab ketidakadilan
gender dalam budaya Batak.
”Dalihan Na Tolu” merupakan prinsip yang dimiliki oleh masyarakat Batak Toba.
Dalihan Na Tolu itu sendiri mengandung makna yaitu ”Somba mar hula hula”, “Elek
marboru” dan ”Manat mar dongan tubu”. Di “Dalihan Na Tolu” ada terdapat perbedaan
struktural dan bahkan perbedaan prinsip (pendapat). Meskipun terdapat perbedaan
struktural dan juga perbedaan prinsip, akan tetapi melalui peran “Dalihan Natolu” seluruh
aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang terbaik. Dalihan Na Tolu mempunyai
kedudukan dan fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial
hukum (adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak. Berdasarkan
unsur-unsur "Dalihan Na Tolu" yang selalu diberlakukan didalam setiap permusyawaratan
Adat Batak adalah bukti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam Adat Batak tidak
5
pernah berubah hingga saat ini. Dalam budaya Batak, perempuan itu dianggap lebih
rendah dari pada laki-laki dan perempuan bukan individu yang bebas da otonom.
Berdasarkan hal inilah terlihat jelas kalau dalam pesta-pesta suku batak, perempuan tidak
pernah duduk dibarisan paling depan apalagi dalam hal berbicara dan mengambil
keputusan dalam pesta tersebut.6
Perempuan dalam budaya Batak juga mempunyai tempat tertinggi dalam dalihan na
tolu yaitu sebagai Boru (tanpa boru ndang singkop DNT itu). Karena budaya itu wujud
dari logika, etika, estetika dan praktika kehidupan maka fokus utama adalah tujuan
bersama. Dalam sisi teologis perempuan ezer kenegdo penolong yang sepadan bagi laki-
laki. Maka ada umpasa hulinghuling tali pasa, holiholi sakkalia. Hormat ma langka ni
ama, molo rap dohot angka ina. Dalam pandangan hidup orang Batak, hubungan
kekerabatan dalam DNT terbentuk melalui prinsip: dongan tubu, hulahula dan boru

4
Dalam menjelaskan topik mengenai status dan posisi perempuan dalam budaya Batak, maka penulis
memakai kata "budaya" dan "adat" secara bergantian, untuk menggambarkan segala sesuatu yang terkait
dengan budaya Batak. Meski memiliki perbedaan, namun kedua kata ini memiliki kesamaa, karena
mengandung unsur kontinuitas dan dilakukan secara berulang-ulang serta bersifat turun-temurun. Budaya
Batak berhubungan dengan masalah aturan, hukum, kebiasaan, kepercayaan agama dan lain-lain
5
S. Sagala, Majalah Budaya Batak, (Medan:Yayasan Budaya Batak,1996), hlm.46
6
Herien siawai, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realia di Indonesia, (Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2012),
114
mempunyai hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan kedudukan dan posisinya.
Dengan pola seperti itu diharapkan ada keharmonisan dalam hubungan kekerabatan.7
DNT menjadi metapor yang menggambarkan kemandirian yang berhubungan dan
saling menopang dalam bentuk kerja sama. Melalui kerjasama yang baik maka masing-
masing unsur kekerabatan dalam DNT dapat menjalankan fungsinya masing-masing dan
memberi manfaat kepada orang lain. Namun uraian yang demikian bagus ternyata sering
tidak menajadi kenyataan. Karena dalam pelaksanaannya, fungsi dan peranan yang ada
tidak berfokus pada perempuan, melainkan tetap menekankan peranan laki-laki yang
mendominasi pelaksanaan fungsi dan peranan dalam DNT. Seperti hal memberi suara atau
pendapat dan yang berhak menerima jambar serta yang berhak mengambil keputusan
tetapnya laki-laki. Sementara kehadiran kaum perempuan dalam pelaksanaan budaya
Batak hanya sebagai pelayan yang menyediakan kebutuhan dalam acara budaya yang
sedang berlangsung atau hanya sebagai pendengar.
Memang dalam perkembangan terakhir sudah ada sedikit perubahan. Dalam beberapa
acara adat, para perempuan sudah diizinkan berbicara untuk menyampaikan kata nasihat,
ucapan selamat, umpasa batak dan lain-lain. Namun biasanya kesempatan yang diberi itu
hanya untuk melengkapi saja, atau bahkan hanya formalitas saja dan tidak benar-benar
dibutuhkan. Jadi masih laki-laki yang mengambil alih secara keseluruhan dalam adat
batak. Misalnya dalam acara ria raja atau tonggo raja setelah membicarakan konsep tata
laksana, terkadang perempuan diberi kesempatan untuk berbicara menyampaikan sepatah-
dua kata. Namun mereka terkadang menolak dan langsung mengembalikan kepada kaum
laki-laki. Ada beberapa alasan yang membuat para perempuan tidak memanfaatkan
kesempatan itu dengan baik. Pertama, Agar acara tersebut cepat selesai, untuk
mempersingkat waktu mereka akan memutuskan untuk tidak bersuara. Kedua, Budaya
Malu, ada perasaan tidak pantas (tidak layak) menyampaikan sesuatu di hadapan publik.
Bahkan diruang domestik (di tengah-tengah keluarga di rumah tangganya) masih banyak
perempuan Batak yang tidak bisa bicara, hal itupun semakin memperkecil peluangnya
untuk bisa berbicara di hadapan publik.

2.2 Perempuan dalam Alkitab

Dalam bahasa Ibrani ‘isysya (Yunani gunê). Perempuan dan lelaki dijadikan ‘dalam
gambar Allah” (Kej 1:27), dan perempuan adalah ‘penolong yang sepadan’ bagi laki-laki

7
Dj. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suka batak (Medan: CV. Armada, 1992), 52-54
(Kej 2:20).8 Laki-laki dan perempuan berbeda bukan dalam arti perempuan adalah
mahluk yang lemah dan selalu dilindungi. Pada saat Tuhan membentuk perempuan dari
tulang rusuk Adam dipakai kata kerja bana yang sering dipakai dalam konteks membuat
sesuatu yang keras seperti kota, menara, mezbah, dan benteng.9
Dalam kehidupan masyarakat Yahudi, perempuan dan anak-anak itu tidak pernah
diperhitungkan. Jika kita memperhatikan kisah-kisah dalam Alkitab adanya diskriminasi
terhadap perempuan dan anak-anak. Dalam Yudaisme hubungan antara laki-laki dan
perempuan dipahami dalam konsep: laki-laki sebagai figur yang superior dan perempuan
sebagai inferior, laki-laki sebagai pembuat keputusan dan perempuan harus taat pada
keputusan laki-laki.10 Jadi konsep ini dengan jelas menyataka dominasi laki-laki terhadap
perempuan, dan perempuan itu adalah figur yang kurang penting. Pandangan-pandangan
negatif terhadap perempuan terus berlangsung bahkan sampai masa reformasi. Pada masa
reformasi memang citra perempuan jauh lebih baik karena pada saa itu perempuan diberi
kebebasan dalam memilih calon suaminya. Luther mengatakan bahwa perempuan itu
lemah dan bodoh sehingga wajar ditundukkan laki-laki. Demikian juga Calvin mengatakan
bahwa perempuan itu tidak diizinkan meninggalkan suaminya karena itu hanya dianggap
sebagai salib yang harus ditanggungnya itulah tindak kekerasan itu. 11 Eksistensi wanita
dalam konteks budaya masyarakat Israel. Isu utama dalam pembahasan ini adalah adanya
dugaan yang kuat bahwa budaya atau sistem patriarkhal dalam masyarakat Israel
memberikan belenggu bagi keberadaan dan keterlibatan kaum wanita Israel pada masa
tersebut dalam berbagai bidang.

Perkembangan pemahaman mengenai peranan dan keterlibatan kaum wanita di masa


kini, tentunya tidak terlepas dari perspektif, pemahaman, sikap dan perlakuan masyarakat
terhadap eksistensi wanita di masa lampau. Di Indonesia, keberadaan wanita dan
peranannya dalam posisi-posisi yang strategis, terutama yang bersentuhan langsung
dengan kaum pria, menghadapi banyak tantangan dan tentangan, mengingat budaya
paternalistis yang mengakar sangat kuat dalam pikiran dan budaya masyarakat Indonesia.
Pandangan yang demikian juga terjadi dalam konteks kekristenan. Perspektif terhadap
eksistensi wanita, khususnya dalam peranan-peranan tertentu, tidak bisa lepas dari
interpretasi dan pemahaman terhadap eksistensi wanita di masa lampau, khususnya dari

8
MB/BS/HAO, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih 2002), 240
9
A. A. Yewangoe, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2005), 48
10
Paul K. Jewet, MAN: As Male and Female (Grand Rapids, Michigan: WB. Eerdamans Publishing Company,
1975), 93
11
Trijnie Plattje, “Benarkah Budaya Patriarkhi Didukung oleh Alkitab?, (Gita Abadi, 1993), 3-4
sudut pandang Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam dua kitab
suci Agama Islam dan Krisen juga memuat tentang bagaimana menghargai perempuan,
jadi disatu sisi ada teks yang merendahkan kaum perempuan da disisi lain ada yang
menjunjung tinggi perempuan. Kondisi yang ambivalen ini sering membingungkan
tentunya.12
“Patriakhal,” dalam Holman Bible Handbook menjelaskan bahwa: “Secara sosial,
hukum dan keagamaan, para perempuan di Israel dianggap lebih rendah dari laki-laki.” 13
Bahkan Gerda Lerner, seorang Feminis di awal abad dua puluh satu memberikan definisi
tentang patri arkhal, demikian: “Sistem patriark merupakan dominasi pria atas perempuan
dan anak-anak dalam keluarga dan merupakan perluasan dominasi pria atas wanita dalam
masyrakat.”14 Budaya patriarkhal memiliki prinsip yaitu setiap laki-laki berkuasa dalam
segala hal dibandingkan perempuan, dalam budaya ini perempuan harus patuh kepada
laki-laki. Bahkan perkembangan budaya ini memicu munculnya ideologi patriaki yang
menekankan kekuasaan kaum pria, seperti yang dituliskan oleh Wijaya: Ideologi patriarki
merupakan suatu ideologi yang menekankan kekuasaan bapak (kaum pria). Ideologi ini
pun merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan membenarkan predominasi
kaum laki-laki yang mengakibatkan kontrol dan subordinasi perempuan, serta
menciptakan ketimpangan atau ketidakadilan gender. Hal ini merupakan dominasi atau
kontrol laki-laki atas perempuan, tubuhnya, seksualitasnya dan pekerjaannya, baik dalam
keluarga maupun masyarakat. Budaya patriarki memiliki dampak positif dan negatif bagi
masyarakat. Dampak negatifnya yaitu, perempuan mendapatkan perlakuan yang semena-
mena dari laki-laki karena mereka merasa bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada
perempuan, sedangkan dampak positif dari budaya ini adalah perempuan tidak menyalahi
kodrat kaum lakilaki sebagai seorang pemimpin dan perempuan juga tetap harus menaruh
hormat kepada laki-laki sebagai makhluk sosial. Selain itu perempuan juga lebih bisa
menghargai kaum laki-laki yang memang diciptakan untuk melindungi perempuan.
Dalam Perjanjian Baru budaya patriarki juga masih dipegang kuat oleh orang-orang
pada masa itu, khususnya oleh orang-orang Farisi. Injil Yohanes menuliskan kisah tentang
seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Pada kasus ini yang dibawa ke hadapan
Yesus oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat untuk diadili hanyalah perempuannya
saja, sedangkan laki-laki yang bersama dengan perempuan tersebut tidak ikut diadili (Yoh.
12
Lihat artikel Risnawaty Sinulingga, Status Perempuan Dalam Perjanjian Lama Forum Biblika, (1999), 15-24
13
David S. Dockery, peny. Holman Bible Handbook Nashville (Tennessee: Holman Bible Publisher 1992), 42.
14
Gerda Lerner. The Creation of Patriarchy: Women and History 1. (New York: Oxford University Press 1986),
239
8:1-11). Penulis melihat adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam kasus ini.
Kemudian ketika Tuhan Yesus memberi makan lima ribu orang, yang dihitung hanyalah
kaum laki-laki. Penghitungan seperti ini sudah ada sejak Perjanjian Lama ketika bangsa
Israel dihitung untuk pertama kali pada saat ke luar dari Mesir. Dalam 1 Korintus 14:34-35
” Sama seperti dalam semua Jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus
berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan Jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan
untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh hukum
Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada
suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan
Jemaat.
Pada masa itu memang belum ada emansipasi wanita, sehingga hal yang berlaku di
masyarakat adalah wanita sebagai masyarakat kelas dua atau lebih rendah. Terlebih pada
masa itu wanita tidak mengenyam pendidikan, maka wajar Paulus melarang wanita
berbicara dalam pertemuan jemaat. Tapi hal ini berlaku hanya pada masa itu saja. Kalau
kita melihat zaman sekarang, karena sudah ada emansipasi wanita sudah terjadi, pria dan
wanita itu sederajat sehingga pria dan wanita tidak perlu mengikuti larangan tersebut.
Perjumpaan Kekristenan dengan budaya perempuan selalu dianggap atas dasar kecurigaan
terhadap hierarki gereja Patriaralis. Catatan yang minim tentang perempuan di Gereja awal
dipertahankan, dan kebanyakan dari mereka adalah wanita martir, seolah-olah perempuan
hanya bisa diizinkan untuk "berbicara" jika mereka telah meninggal. Kemudian dalam
dunia Kristen, wanita radikal dan tidak beraturan dibakar sebagai penyihir, dan visi
keagamaan dan tulisan mistik wanita dianggap kurang penting. Mengangkat sifat
multivokal dari tradisi Asia dan memulai baris baru terhadap penyelidikan teologi dengan
re-artikulasi teologi dengan membebaskan mitos, cerita dan ritual terhadap perempuan.
Maka teolog feminis Asia tidak dapat menikmati nasionalisme yang sempit, politik
identitas dan separatisme etnis, yang menciptakan persaingan antara laki-laki dan
perempuan.15
2.3 Perempuan Dalam Gereja
Sejak awal kekeristenan di tanah Batak (Tapanuli), para missionaris telah melihat
bermacam-macam ketidakadilan yang dialami oleh Perempuan. Bagi masyarakat Batak
pada waktu itu, perempuan dianggap kurang berharga dan tidak mempunyai hak, seperti
memilih calon suamminya dan perempuan tidak berhak berbicaraa serta mengambil
keputusan dalam perteuan-pertemuan budaya. Untuk itu para missionaris berusaha
15
Kwok Pui Lan, Introducing Asian Feminist Theology. (England: Sheffield Academic Press Ltd, 2000).hlm 34-36
menolong perempuan batak, secara khusus melalui pelayanan di bidang pendidikan,
seperti mengajar firman Tuhan, diajari menulis, membaca, menyulam dan lain sebagainya.
Sehingga menghasilkan guru-guru perempuan Batak yang diakui oleh pemerintah. 16
Dalam perjuangan untuk memperbaiki status perempuan Batak, maka JSH bersama teman-
temannya mendirikanlah WPK (Wanita Parki), disamping menjadi pengurus PWKI, JSH
juga aktif melayani perempuan digereja dan menyelaraskan program kerja ina HKBP
dengan PWKI. Dia ingin mengangkat derajat dan status perempuan dalam masyarakat,
gereja dan keluarga. Semua usaha dilakukan hingga status perempuan Batak dalam
masyarakat dan Gereja sudah mulai banyak perubahan dan perbaikan hingga Perempuan
juga diberi tempat dalam pelayanan di HKBP. Secara khusus penahbisan Pendeta
perempuan Batak sudah diterima di HKBP. Dimana setelah penahbisan pertama Pendeta
perempuan, yaitu kepada Pdt. Nortje Lumbantoruan. Dan HKBP secara resmi telah
menerima dan mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan, setelah perjuangan yang
cukup panjang

2.4 Perempuan Dalam Peribadatan

Perundangan-undangan setelah pembuangan meletakkan lebih banyak larangan atas


perempuan. Mereka tidak lagi diizinkan untuk beribadah bersama dengan laki-laki, tetapi
dalam Bait Allah kedua mereka dipindahkan ke halaman luar. Kesaksian mereka tidak
diterima di pengadilan dan mereka tidak boleh mengajarkan Torah. Perempuan sering
sekali mendapatkan posisi kedudukan yang cukup rendah dalam peribadatan, sebab hukum
kultis yang menyatakan wanita sebagai mahluk yang najis. Sistem masyarakat yang
menggunakan sistem patriarkhal yang tidak mengijinkan perempuan memegang peranan
dalam kehidupan sosial. Kaum perempuan tidak diperbolehkan membaca Torah dan tidak
dihitung sebagai hadirin pada waktu dilakukan ibadah.

Berhubungan dengan di Bait Allah, perempuan tidak diberikan pelataran yang khusus,
yang jauh dari Bait Allah. 17 Masyarakat Yahudi sering beranggapan bahwa perempuanlah
yang menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa, dan beranggapan bahwa kaum Adam
lebih unggul dibandingkan dengan kaum Hawa. Dalam Agama Yahudi penyingkiran
perempuan dari pembentukan tradisi dan penanganan terhadap objek-objek suci tampak
sangat menonjol. Kaum perempuan, sudah tentu telah menjadi peserta ibadah tetapi
terutama sebagai penerima ajaran agama secara pasif; mereka tidak diizinkan mengajar
16
J.R. Hutauruk, Tuhan Menyertai Umatnya, (Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986), 118-120
17
Henk ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi, BPK-Gunung Mulia, Jakarta 2006: hlm. 42
atau bahkan belajar pada tingkat ilmiah.18 Kaum perempuan disisihkan dari imamat dan
dilarang menyentuh benda-benda peribadahan yang suci dalam Yudaisme. Yudaisme
Rabinik dan kekristenan historis juga telah menghalangi kaum perempuan memasuki
sekolah-sekolah teolog dan menjadi guru-guru tradisi tersebut.

2.5 Sikap Yesus

Dalam pemberitaan dan perbuatan Yesus, Ia membantah pendapat yang menganggap


perempuan lebih rendah kedudukan jika dibandingkan dengan laki-laki. Panggilan Yesus
dialamatkan, baik buat laki-laki maupun perempuan; selain dari pemungut cukai, pelacur
pun dicari. Yesus bertolak dari pendirian bahwa karunia Allah tidak mungkin dibagi-bagi,
Yesus juga bergaul dengan perempuan.19 Yesus mengatakan bahwa pernikahan adalah
sesuatu yang bersifat hanya sementara. Memperioritaskan seksualitas, nikah atau keluarga
melebihi Allah tidak mungkin dilakukan. Apapun jenis kelamin seseorang itu semua
adalah merupakan kehendak Allah, karena itu sifat seksualitas tidak mungkin dipisahkan
dari keberadaan manusia dan itu merupakan anugrah yang berasal dari Allah. Pernikahan
dipandang sebagai anugrah yang berasal dari Allah.

Dalam kalangan Yahudi laki-laki baru dianggap berzinah apabila ia bercabul dengan
istri atau tunangan orang lain. Yesus mengatakan bahwa siapapun yang menceraikan
istrinya dan menikah dengan orang lain, ia telah berzinah dan dengan demikian telah
melanggar hukum Allah. Oleh karena suami juga harus setia kepada istrinya walaupun
dalam pernikahan Yahudi istri adalah milik suami, karena telah dibeli dengan pembayaran
Mahar. Bagi Yesus laki-laki dan perempuan adalah sama berharga di hadapan-Nya,
beberapa hal dapat disebutkan berkaitan dengan itu:

1. Di samping para murid, Yesus juga ditemani sekelompok perempuan yang


disembuhkan-Nya dan melayani Dia dan rombongan itu dari kekayaan mereka (Luk
8:1).
2. Yesus melanggar aturan tradisi dan adat istiadat Yahudi yang merendahkan kaum
perempuan. Yesus berbicara dengan seorang perempuan berdosa di sumur Yakub
(Yoh 4:7), mengijinkan seorang pelacur membasuh kaki-Nya. Dalam peristiwa-
peristiwa ini Yesus menyambut perempuan berdosa di hadapan khalayak, yang

18
Jhon Hick & Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2001), 220
19
Op. cit Henk ten Napel, 43
dilarang di dalam tradisi Yahudi. Yesus menghargai dan mengasihi orang berdosa
serta mengharapkannya kembali ke jalan yang benar.
3. Yesus juga mengutus para perempuan sebagai saksi kebangkitan-Nya. Artinya, misi
adalah tugas panggilan bersama baik laki-laki maupun perempuan.
4. Yesus tidak membedakan manusia berdasarkan latar belakang politik, sosial, budaya
dan agama. Yesus menggunakan analogi pengutusan Elia yang diutus bukan kepada
salah seorang dari banyak janda di Israel, melainkan kepada seorang janda di Sarfat,
di tanah Sidon (non-Yahudi).
Kemunculan Teologi feminis muncul pada abad ke-20, akhir tahun 1960-an di
Amerika Utara. Teologi ini muncul karena ada banyak perempuan yang ingin
disetarakan peranannya dengan laki-laki baik dalam masyarakat, gereja, dan
pendidikan, mereka juga ingin mendapatkan kebebasan dari penindasan sebagai
akibat dari sistem patriarkat. Menurut Sian, “teologi feminis bisa disebut sebagai
usaha untuk menjelaskan kembali iman Kristen dari prespektif wanita sebagai
kelompok yang tertindas”.20 Teologi feminis sangat menentang budaya patriarkhal,
karena budaya ini dianggap sebagai budaya yang menindas para kaum perempuan.
Pada masa itu perempuan tidak mendapat kebebasan untuk mengambil keputusan,
pergerakan perempuan juga terbatasi, mereka tidak diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapat mereka, dan sangat jarang ditemui seorang perempuan
menjadi pemimpin, bisa jadi tidak ada sama sekali pemimpin perempuan pada masa
itu. Di kehidupan beragama, ada beberapa gereja tertentu yang melarang perempuan
untuk menjadi seorang pemimpin bahkan perempuan tidak mendapatkan kesempatan
untuk berkhotbah dalam ibadah-ibadah besar di gereja. Dalam bukunya, Drewes dan
Mojau mengatakan, Mengapa perempuan tidak bisa menjadi pendeta atau imam di
gereja-gereja terntentu? Mereka juga mempersoalkan isi Alkitab yang disusun dalam
konteks budaya patriakal, yang menekankan kekuasaan kaum laki-laki, juga mengenai
sifat Allah di samping sebagai Bapa, apa Allah juga memiliki sifat keibuan?21

III. Analisis Etis

20
Sian, L. I. (2003). Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminisme Kristen. Veritas: Jurnal Teologi dan
Pelayanan, 4(2), 269
21
Drewes, B. F., & Mojau, J, Apa itu teologi?: pengantar ke dalam ilmu teologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2003), 60
Beberapa aspek dan bagian dalam budaya batak tersebut memberi gambaran
mengenai ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyaraka batak. Budaya batak
memposisikan laki-laki sebagai figur yang utama dan berkuasa dalam keluarga dan
sekitarnya. Sedangkan perempuan hanya figur pelengkap bagi kehidupan laki-laki.
Ketidakadilan juga sering tidak diakui oleh orang batak, dengan mengatakan bahwa tidak
ada diskriminasi gender di dalam budaya batak. Ternyata kondisi ini tidak hanya terjadi
dalam kehidupan keluarga, namun juga berkembang dalam kehidupan gereja dan
masyarakat juga. Jadi dalam kehidupan rumah tangga dan gereja, perempuan kelihatannya
masih banyak berperan sebagai pelaksana keputusan laki-laki dan sebagai tenaga kerja,
tetapi tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan penting. Namun harus diakui ada
sedikit mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan tersebut terjadi karena
perkembangan zaman dan pengaruh kekristenan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun sudah ada perubahan yang
diterima para perempuan batak, namun nilai-nilai patriarkhal masih begitu kuat dalam
budaya batak dan nilai-nilai patriarkhal itu tetap membuka ruang yang besar bagi
perempuan untuk mengalami berbagai bentuk ketidakadilan dalam hidupnya. Oleh karena
itu perlu dilakukan sikap kritis untuk menggali dan mengevaluasi aspek-aspek patriarkhal
yang merusak dan unsur-unsur yang menindas dalam budaya batak. Hal ini perlu
dilakukan, karena budaya Batak sangat kuat mempengaruhi kehidupan bergereja di
HKBP, sementara budaya itu sendiri mengandung nilai-niai ketidakadilan bagi
perempuan. Diperlukan usaha yang lebih komprehensif, sehingga budaya batak dapat
menawarkan nilai-nilai yang semakin baik dalam menata pola hidup masyarakat Batak di
mana pun mereka berada.
Perempuan diciptakan secara sempurna sebagai gambar Allah. Sama seperti laki-laki
perempuan juga memiliki hak dan kewajiban. Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk
Adam sebagai penolong. Kej 1:27 kodrat perempuan sebagai gambar Allah yang sama
derajat dengan Adam, sekarang yang menjadi fokus utama adalah peran dari masing-
masing. Laki-laki dan perempuan harus saling mengasihi, di dalam kekurangan dan
kelebihannya masing-masing harus saling melengkapi.
Secara struktural, perempuan berada dalam posisi lemah dan ini jauh dari kehendak
Tuhan pada saat perempuan diciptakan. Posisi dan martabat perempuan dalam kehidupan
masyarakat harus diperjuangkan. Anggapan bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah
merupakan anggapan yang sangat keliru, untuk itu sangat bertentangan dengan hukum
Tuhan apabila terjadi kekerasan terhadap perempuan. Laki-laki dan perempuan dalam
perbedaan seksnya adalah semartabat dan berdiri sama tinggi konsep berpikir seperti ini
harus dimasyarakatkan. Konsep berpikir bahwa perempuan adalah mahluk kelas dua
adalah anggapan yang sangat keliru.
Problem kesetaraan jender bersifat struktural dan solusinya juga harus lewat
pendekatan struktural. Pendekatan yang struktural yang harus dilakukan adalah dengan
memberi kesempatan kerja yang lebih luas dan kesempatan ekonomi yang sama pada
perempuan. Di dalam kehidupan gereja pendekatan sruktural yang harus dilakukan adalah
memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menduduki posisi ketua panitia (posisi
yang biasanya dijabat pria dibagi kepada perempuan secara bergiliran). Jika terdapat
kebijakan-kebijakan organisatoris yang diskriminatif terhadap partisipasi perempuan,
seperti larangan bagi rohaniawan perempuan untuk berkhotbah di mimbar atau ditahbiskan
menjadi pendeta sudah waktunya untuk ditinjau ulang.
Segala bentuk pendikriminasian terhadap perempuan harus dihapuskan. Tugas gereja
adalah melakukan berbagai pembinaan terhadap perempuan. Generasi gereja yang akan
datang harus tumbuh dengan citra yang benar mengenai perempuan, karena itu peran laki-
laki dan perempuan dalam gereja perlu diseimbangkan sejak dini. Dengan demikian,
kerjasama antara laki-laki maupun perempuan perlu ditingkatkan, baik dalam rumah
maupun luar rumah, di gereja dan masyarakat. Untuk itu laki-laki maupun perempuan
harus menerima kehadiran pihak lain sebagai mitra sejajar merupakan langkah terbaik dan
mendesak untuk dinyatakan.

IV. Kesimpulan
Perempuan diciptakan secara sempurna sebagai gambar Allah. Sama seperti laki-laki
perempuan juga memiliki hak dan kewajiban. Laki-laki maupun perempuan memiliki
kedudukan yang sama, namun fungsinyanya berbeda.
Kesetaraan gender menjadikan laki-laki dan perempuan menjadi mitra sejajar dengan
tanggungjawab yang setingkat pula. Dengan mengakui perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Adanya gerakan feminisme bukan agar perempuan dapat mendominasi kaum
laki-laki tetapi untuk mewujudkan hubungan yang dinamis, kritis dan kreatif. Hendaknya
hak perempuan disetarakan dan dihormati dalam menunjukkan sebuah kebersamaan dalam
hubungan timbal balik. Sangat diharapkan adanya sebuah kebersamaan yang bersifat
terbuka, agar bakat dan hikmat dari semua pihak dapat dikembangakan untuk kepentingan
bersama. Dan juga diperlukan sikap yang konsisten dari semua pihak untuk bersama-sama
memperjuangkan keadilan gender ditengah-tengah keluarga, gereja dan masyarakat.
Sehingga tercipta tatanan kehidupan yang lebih baik bagi semua orang.
Daftar Pustaka

A. A. Yewangoe, 2005, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-Gunung


Mulia
Alfian Rokhmansyah, 2016, S.S., M.Hum, “Pengantar Gender dan Feminisme”
Yogyakarta:Garudhawaca
David S. Dockery, peny. 1992, Holman Bible Handbook Nashville, Tennessee: Holman Bible
Publisher
Dj. Gultom Rajamarpodang, 1992, Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suka batak, Medan: CV.
Armada

Drewes, B. F., & Mojau, J. 2003. Apa itu teologi?: pengantar ke dalam ilmu teologi. Jakarta:
BPK Gunung Mulia
Gerda Lerner. 1986, The Creation of Patriarchy: Women and History 1, New York: Oxford
University Press
Henk ten Napel, 2006, Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Jakarta: BPK- Gunung Mulia
Herien siawai, 2012, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realia di Indonesia, Bogor: PT
Penerbit IPB Press
J.R. Hutauruk, 1986, Tuhan Menyertai Umatnya, Tarutung: Kantor Pusat HKBP
Jhon Hick & Paul F. Knitter, 2001, Mitos Keunikan Agama Kristen, Jakarta: BPK-Gunung
Mulia
Kwok Pui Lan, 2000, Introducing Asian Feminist Theology. (Sheffield Academic Press Ltd :
England
Lihat artikel Risnawaty Sinulingga, 1999, Status Perempuan Dalam Perjanjian Lama Forum
Biblika
Mansoer Fakih, 2003, Analisa Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
MB/BS/HAO, 2002, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Bina Kasih
Paul K. Jewet, 1975, MAN: As Male and Female, Grand Rapids, Michigan: WB. Eerdamans
Publishing Company
S. Sagala, 1996, Majalah Budaya Batak, Medan:Yayasan Budaya Batak

Sian, L.I.2003. Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminisme Kristen. Veritas: Jurnal
Teologi dan Pelayanan
Soerjono Soekanto, 1995, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Trijnie Plattje, 1993, “Benarkah Budaya Patriarkhi Didukung oleh Alkitab?, Gita Abadi,

Anda mungkin juga menyukai