Anda di halaman 1dari 21

PEDOMAN PRAKTIS KLINIS UNTUK DIAGNOSIS DAN

MANAJEMEN TERAPI URTIKARIA


Kanokvalai Kulthanan,1 Papapit Tuchinda,1 Leena Chularojanamontri,1Pattriya Chanyachailert,1 Wiwat
Korkij,2 Amornsri Chunharas,3 Siriwan Wananukul4 Wanida Limpongsanurak,5 Suwat Benjaponpitak,6 Wanee
Wisuthsarewong,7 Kobkul Aunhachoke,8 Vesarat Wessagowit,9 Pantipa Chatchatee,10; Penpun Wattanakrai,11
Orathai Jirapongsananuruk,12 Jettanong Klaewsongkram,13 Nopadon Noppakun,2 Pakit Vichyanond,12 Puan
Suthipinittharm,14 Kiat Ruxrungtham,13 Srisupalak Singalavanija,5 Jarungchit Ngamphaiboon10

Abstrak
Urtikaria adalah kondisi kulit umum yang dapat membahayakan kualitas hidup dan
dapat memengaruhi kinerja seseorang di tempat kerja atau sekolah. Remisi sering terjadi pada
sebagian besar pasien dengan urtikaria akut spontan (ASU); Namun, dalam kasus kronis,
kurang dari 50% mengalami remisi. Angioedema baik sendirian atau dengan urtikaria
dikaitkan dengan tingkat remisi yang jauh lebih rendah. Investigasi dan perawatan yang tepat
sangatlah diperlukan. Pedoman ini, merupakan pengembangan bersama dari Dermatological
Society of Thailand, the Allergy, Asthma, and Immunology Association of Thailand and the
Pediatric, dinilai dan direkomendasikan berdasarkan bukti yang telah dipublikasikan dan
pendapat para ahli. Dengan algoritma sederhana, ini bertujuan untuk membantu membimbing
dokter orang dewasa dan dokter anak untuk mengelola pasien dengan urtikaria yang lebih
baik dengan / tanpa angioedema. Seperti pedoman terbaru lainnya, urtikaria diklasifikasikan
ke dalam tipe spontan dibandingkan yang dapat diinduksi. Pasien datang dengan disertai
angioedema atau angioedema saja, hubungan penggunaab obat harus dikeluarkan, khususnya
acetyl esterase inhibitor (ACEIs) dan obat antiinflamasi non-steroid (NSAID). Investigasi
laboratorium rutin tidak efektif secara biaya untuk urtikaria spontan kronis (CSU), kecuali
pasien memiliki klinis yang menunjukkan penyakit autoimun. Antihistamin H 1 non-sedasi
merupakan pengobatan lini pertama selama 2-4 minggu; jika urtikaria tidak terkontrol,
direkomendasikan untuk meningkatkan dosis hingga 4 kali. Obat sedatif antihistamin
generasi pertama belum terbukti lebih menguntungkan daripada obat non-sedatif. Satu-
satunya rejimen evidence-based alternative yang kuat untuk CSU adalah anti-IgE:
omalizumab; namun biayanya sangat tinggi, dan mungkin tidak dapat diakses di negara-
negara berpenghasilan menengah ke bawah. Sarana non farmakoterapi untuk meminimalkan
kulit yang sangat responsif juga penting dan direkomendasikan, seperti mencegah kulit
kering, menghindari mandi air panas, menggosok, dan terkena paparan sinar matahari yang
berlebihan.

Kata kunci: urtikaria, Thailand, pedoman, diagnosis, manajemen


Pengantar
Pedoman praktik klinis ini dikembangkan atas kerja sama dengan Dermatological Society of
Thailand, the Allergy, Asthma, and Immunology Association of Thailand and the Pediatric.
Tujuan dari upaya ini adalah untuk mengembangkan pedoman yang dapat memberikan saran
yang bermanfaat dan praktis kepada dokter umum dan dokter spesialis mengenai cara
mengelola pasien dengan urtikaria spontan secara efektif.

Definisi
Urtikaria, suatu kelompok penyakit yang heterogen, ditandai oleh wheals dan flare yang
kadang-kadang muncul bersamaan dengan angioedema (edema pada dermis bagian dalam
dan jaringan subkutan). Urtikaria dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk
rangsangan fisik, respons imunologis terhadap makanan, obat-obatan, dan agen infeksi, atau
sebagai bagian dari peradangan atau keganasan. Namun, penyebab paling umum adalah
idiopatik

Tanda dan Gejala


Pruritus adalah gejala yang paling menonjol. Tanda-tanda karakteristik lainnya termasuk
wheals dan flare yang memiliki ukuran bervariasi, wheals tunggal biasanya hilang dalam 24
jam tanpa sisa hiperpigmentasi. Dalam beberapa kasus, urtikaria dapat terjadi bersamaan
dengan angioedema yang biasanya melibatkan dermis bagian dalam dan lemak subkutan,
seperti pada jaringan periorbital, bibir, lidah, dan tangan. Angioedema dapat bertahan hingga
72 jam dan sering disertai dengan sensasi terbakar dan / atau nyeri ringan. Gatal jarang terjadi
pada angioedema. Urtikaria dengan atau tanpa angioedema dapat menjadi manifestasi dari
reaksi anafilaksis. Manifestasi reaksi anafilaksis lainnya termasuk rasa tidak nyaman pada
dada, suara serak, wheezing, nyeri perut, dan diare. Sulit bernapas dan kolapsnya pembuluh
darah pada reaksi anafilaksis dapat menyebabkan syok anafilaksis, yang merupakan kondisi
serius dan mengancam jiwa. Kriteria untuk diagnosis anafilaksis ditunjukkan pada Tabel 1.1
Diagnosis kondisi anafilaksis itegakkan apabila salah satu dari 3 kriteria berikut terpenuhi:
1. Timbulnya gejala akut (dalam beberapa menit atau beberapa jam) pada kulit dan / atau jaringan
mukosa seperti gatal-gatal menyeluruh, pruritus, kemerahan, bengkak pada bibir, lidah, atau uvula
dan setidaknya diikuti salah satu dari gejala berikut:
1.1 Gejala pernapasan, seperti rinitis, suara serak, dispnea, wheezing karena bronkospasme, stridor,
penurunan fungsi paru-paru, seperti penurunan Peak Expiratory Flow (PEF), atau penurunan
kadar oksigen dalam darah
1.2 Penurunan tekanan darah atau kegagalan sistem multi-organ, seperti hipotonia (kolaps), sinkop,
atau inkontinensia

2. Dua atau lebih dari gejala berikut yang muncul setelah kontak dengan alergen yang dicurigai (dalam
beberapa menit atau beberapa jam)
2.1 Keterlibatan kulit dan membran submukosa, seperti gatal-gatal menyeluruh, pruritus, kemerahan,
bengkak pada bibir, lidah, atau uvula
2.2 Gejala pernapasan, seperti rinitis, suara serak, dispnea, wheezing karena bronkospasme, stridor,
penurunan Peak Expiratory Flow (PEF), atau penurunan kadar oksigen darah
2.3 Penurunan tekanan darah atau kegagalan sistem multi-organ, seperti hipotonia (kolaps), sinkop,
atau inkontinensia
2.4 Keterlibatan saluran pencernaan, seperti sakit perut, mual, atau muntah

3. Penurunan tekanan darah yang terjadi setelah kontak dengan alergen yang diketahui (dalam beberapa
menit atau beberapa jam)
3.1 Untuk bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik lebih rendah dari nilai normal sesuai dengan
usia atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 30 persen dari baseline
3,2 Untuk orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah
sistolik lebih dari 30 persen dari tekanan darah awal

Klasifikasi
Urtikaria diklasifikasikan menjadi 2 jenis (Tabel 2): 2,3
1. Urtikaria Spontan, yang diklasifikasikan menurut durasinya menjadi 2 subtipe:
1) Urtikaria Akut (AU) ditandai dengan wheals yang terjadi secara spontan selama
kurang dari 6 minggu.
2) Urtikaria Kronis (CU) ditandai dengan wheals yang terjadi secara spontan setidaknya
2 hari per minggu untuk jangka waktu 6 minggu atau lebih.
2. Urtikaria Terinduksi (juga dikenal sebagai Physical Urticaria) terjadi ketika dipicu oleh
rangsangan fisik tertentu.

Pendekatan Diagnostik Urtikaria


Penelusuran riwayat pasien dan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi penyebab dan
faktor pencetus penting untuk diagnosis. Pendekatan diagnostik untuk urtikaria ditunjukkan
pada Gambar 1.4 Sebagai tambahan, untuk diagnosis dan menilai tingkat keparahan,
peeriksaan laboratorium yang ditunjukkan oleh riwayat pasien dan hasil pemeriksaan fisik
kadang-kadang diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab (Tabel 3).2,5 Perlu dicatat bahwa
bahkan dalam praktek klinis di mana tinjauan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan
penunjang telah dilakukan, penyebab urtikaria akut dan kronis masih sering sulit dipahami.
Wheals spontan pada urtikaria spontan kronis (CSU), sebelumnya disebut urtikaria idiopatik
kronis atau CIU,6 disebabkan oleh berbagai mekanisme, termasuk:
1. Reaksi autoantibodi (IgG) terhadap reseptor IgE afinitas tinggi (FcεRI) atau terhadap
IgE di permukaan sel mast atau basofil, terdapat pada 30-50% pasien dengan CSU
yang dapat menunjukkan suatu urtikaria autoimun.7,8
2. Aktivasi jalur koagulasi terjadi pada beberapa pasien CSU, yang menghasilkan
terjadinya peningkatan kadar D-dimer plasma.9
Pedoman Terapi Pasien Urtikaria (Gambar 2,3)2,10-15
1. Terapi penyebab dasar : Jika penyebabnya dapat diidentifikasi, hilangkan penyebabnya.
Misalnya, pada urtikaria yang diinduksi obat, penghentian obat penyebab akan
menghilangkan gatal-gatal. Hindari faktor yang memberatkan, seperti mengonsumsi
minuman beralkohol.16
2. Terapi non-farmako untuk meminimalisir respon kulit berlebihan
2.1. Pencegahan untuk kulit kering.
Disarankan untuk menggunakan krim atau lotion tanpa parfum secara teratur untuk
menjaga kulit tetap lembab dan mengurangi sensitivitas kulit.
2.2. Menghindari stimulasi pada kulit
Faktor pencetus, seperti menggaruk, mengenakan pakaian ketat, membawa benda
berat, pijatan, gesekan, penguapan dan uap panas, lulur, parfum, paparan sinar
matahari berlebihan, dan paparan suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin harus
dihindari.
3. Terapi Farmakologi
3.1. Antihistamin
antihistamin H1 biasanya digunakan untuk mengurangi gejala urtikaria. Ada 2
generasi antihistamin, yaitu:
A. Generasi kedua (non sedatif) antihistamin (Tabel 4)2,3,17
Antihistamin non-sedasi merupakan obat kerja jangka panjang. Efek samping,
seperti sedasi dan mulut kering, lebih jarang terjadi. Jenis antihistamin ini harus
dipertimbangkan sebagai pengobatan lini pertama, terutama pada pasien yang
bekerja mengendalikan mesin, pengemudi, pelajar, dan manula. Tingkat respons
antihistamin H1 non-sedasi adalah 40-50%, namun, peningkatan dosis (hingga 4
kali lipat) berdasarkan evidence-based drugs, seperti levocetirizine,11,12
desloratadine,11 rupatadine,13 dan bilastine,14 bisa meningkatkan kemanjuran
pengobatan tanpa meningkatkan efek samping. Untuk fexofenadine, peningkatan
dosis hingga 4 kali lipat, tidak ada data uji coba terkontrol secara acak. Namun,
dalam penelitian in vitro, peningkatan konsentrasi fexofenadine dapat membatasi
peradangan kronis eosinofil dengan merangsang jalur apoptosis. 15 Sebuah uji
randomized double-blinded dengan plasebo terkontrol melaporkan pengobatan
dengan fexofenadine 240 mg / hari secara signifikan menurunkan skor skala
analog visual pruritus dan indeks keparahan bila dibandingkan dengan
pengobatan dosis fexofenadine 120 mg / hari.18 Finn et al. melaporkan
penggunaan fexofenadine 480 mg / hari memiliki efek samping yang minimal. 19
Karena itu, peningkatan dosis fexofenadine juga termasuk dalam pedoman
EAACI 2013.2
B. Generasi pertama (sedatif) antihistamin (Tabel 5)2,3,17
Efek samping umum dari generasi antihistamin ini adalah kantuk, sedasi, dan
mulut kering. Dengan demikian, antihistamin ini harus dihindari pada pasien usia
lanjut dan pada pasien dengan kontraindikasi seperti hipertrofi prostat jinak,
glaukoma, atau asma. Berkenaan dengan efek samping, EAACI / GA2LEN DEF /
WAO Guideline 2013 merekomendasikan penggunaan antihistamin generasi
pertama hanya bila antihistamin non sedasi generasi kedua tidak tersedia. Selain
itu, penelitian sebelumnya melaporkan bahwa penggunaan antihistamin sedatif
pada jam tidur dikombinasikan dengan antihistamin non-sedatif tidak
meningkatkan efektifitas pengobatan pada pasien dengan CSU. Bahkan,
kombinasi obat ini pada jam tidur dapat meningkatkan reaksi buruk karena efek
sedasi pada siang harinya.20

3.2 Pengobatan alternatif dengan obat lainnya


a. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral, seperti prednisolon, harus dipertimbangkan dalam kasus AU
berat, severe serum sickness, urtikaria vaskulitis, dan delayed pressure urticaria
yang tidak responsif terhadap pengobatan lain. Perlu dicatat bahwa kortikosteroid
oral tidak mungkin efektif dalam mengobati jenis urtikaria fisik lainnya. Pada
pasien CU, prednisolon tidak boleh diresepkan secara teratur atau dilanjutkan
untuk jangka waktu yang lama. Hanya dapat digunakan pada kasus berat atau
timbulnya eksaserbasi dalam waktu singkat.

b. Kombinasi antihistamin H1 dan H2


Penggunaan antihistamin H2 dalam kombinasi dengan antihistamin H1 memiliki
kualitas bukti yang rendah dan efektifitasnya masih belum jelas. Namun, beberapa
ahli merekomendasikan terapi kombinasi ini karena biayanya yang rendah dan
keamanannya yang tinggi.23 Pengobatan dengan kombinasi ini kemungkinan dapat
membuat gejala lebih baik daripada menggunakan antihistamin H1 saja. Dengan
demikian, terapi kombinasi antihistamin H1 dan H2 dapat dipertimbangkan pada
beberapa pasien CSU yang berat dan tidak merespon dengan baik pada pengobatan
tunggal antihistamin H1.24,25 Penghentian antihistamin H2 harus dipertimbangkan
jika gejala klinis tidak membaik dalam 2-4 minggu setelah inisiasi.26

c. Antagonis reseptor leukotrien


Montelukast dilaporkan bermanfaat dalam pengobatan pasien CU yang tidak
responsif terhadap pengobatan antihistamin awal dan pada pasien urtikaria sensitif
aspirin. Meskipun kualitas bukti yang mendukung kemanjuran montelukast
dikombinasikan dengan antihistamin masih rendah, beberapa pasien merespons
kombinasi ini dengan cukup baik. Jika tidak ada respons setelah menambahkan
montelukast selama 2-4 minggu, obat harus dihentikan.

d. Siklosporin
Dosis optimal adalah 2,5-5 mg / kg / hari. 28,29 siklosporin tidak boleh digunakan
lebih lama dari 3-6 bulan karena efek sampingnya. Tidak ada cukup bukti untuk
mendukung penggunaan siklosporin pada anak di bawah 18 tahun.

e. Omalizumab
Terdapat banyak laporan penemuan dari banyak penelitian yang mendukung
efektivitas omalizumab pada pasien CSU.30,31 Omalizumab telah disetujui oleh Thai
Food and Drug Administration untuk pengobatan pasien CSU berat yang berusia
lebih dari 12 tahun. Namun, biaya omalizumab relatif cukup tinggi dibandingkan
biaya terapi konvensional. Sebaiknya pasien dirujuk ke spesialis jika didapati indikasi
penggunaan omalizumab (Lampiran III. Panduan perawatan Omalizumab).

4. Modalitas terapi lainnya


4.1 Penggunaan Calamine Lotion
Lotion kalamin, bedak dingin, dan refreshing towel dapat dioleskan ke area yang
terkena gatal-gatal untuk menghilangkan gejala gatal.

4.2 Edukasi pasien terkait etiologi, proses penyakit, dan dukungan psikososial
Gejala penyakit dapat menyebabkan tekanan psikologis pada pasien, yang dapat
memperburuk penyakit.32 Sebagai bagian dari pendekatan holistik untuk perawatan
pasien, dukungan psikososial harus dipertimbangkan. Pengetahuan tentang keparahan
penyakit, perjalanan penyakit, dan pengurangan stres harus diberikan kepada pasien
untuk membantu mereka berpartisipasi dalam manajemen penyakit yang efektif.

Rujukan Spesialis
Rujukan ke spesialis direkomendasikan jika gejala penyakit tidak dapat dikontrol dengan
protokol pengobatan yang direkomendasikan dalam pedoman ini.
Prognosis Penyakit
1. Spontan Urtikaria Akut
Mayoritas kasus dapat mengalami regresi spontan dalam waktu 3 minggu.33 Satu studi
berbasis rumah sakit universitas yang dilakukan di Thailand melaporkan bahwa 21% dari
kasus urtikaria spontan akut berkembang menjadi CU.34

2. Spontan Urtikaria Kronis


Dewasa: Sekitar 50% pasien CU dewasa tanpa angioedema mengalami remisi spontan
dalam 1 tahun, dengan 20% mengalami eksaserbasi intermiten selama periode 2 tahun.
Tujuh puluh lima persen pasien dengan angioedema saja atau CU dengan angioedema
secara bersamaan, memiliki penyakit yang bertahan lebih dari 1 tahun, sementara 20%
memiliki penyakit yang bertahan selama 20 tahun.35 Pada pasien CSU di Thailand, 34%
dan 84% mengalami remisi penyakit dalam waktu 1 tahun dan 5 tahun, masing-masing,
dengan durasi remisi rata-rata 390 hari.36 Pasien yang berusia lanjut cenderung memiliki
durasi remisi yang lebih pendek.37

Anak-anak: Sekitar 50% pasien CU anak memiliki penyakit yang bertahan lebih dari 1
tahun (durasi rata-rata 16 bulan)38 dan 19% pasien mengalami remisi penyakit dalam 1
tahun.39

Lampiran 1. Bukti dan kekuatan rekomendasi untuk pedoman praktik klinis ini17
Lampiran II. Uji Laboratorium
Uji laboratorium harus dilakukan secara rutin. Praktek klinis yang dapat dibenarkan untuk
melakukan uji laboratorium, yaitu: (i) anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
penyebab pencetus; dan, (ii) gejala pasien menolak pengobatan antihistamin lini pertama.
(Gambar 4).40,41

1. Investigasi laboratoris2,42,43 (seleksi tes harus dipertimbangkan berdasarkan indikasi klinis


tiap individu).
 Complete blood count (CBC)
 Erythrocyte sedimentation rate
 Stool examination
 Chest X-ray
 Sinus X-ray
 Antinuclear antibodies (ANA)
 D-dimer
 Helicobacter testing
 Gastroscopy
 Antibodi tirroid dan/atau uji fungsi tiroid (harus dilakukan pada dugaan penyakit
tiroid, terutama ketika dicurigai urtikaria autoimun).

2. Skin Prick Test (SPT)


SPT merupakan metode pengujian alergi yang digunakan untuk diagnosis alergi yang
dimediasi IgE. SPT positif menunjukkan IgE spesifik alergen dalam serum; Namun,
alergen positif tidak selalu menjadi penyebab gejala. Untuk alergi makanan, SPT memiliki
nilai prediksi negatif yang sangat andal, yaitu 95%; Namun, akurasi prediksi positif
kurang dari 50%, bila dibandingkan dengan uji tantangan makanan double-blind placebo-
controlled.44 Dengan demikian, hasil SPT positif harus ditafsirkan dan dievaluasi dengan
hati-hati.
Dengan catatan, SPT terbatas pada CU. SPT umumnya digunakan pada kasus yang
dicurigai dan digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis alergi makanan atau obat yang
diidentifikasi oleh reaksi hipersensitivitas yang dimediasi IgE pada pasien AU dengan
alergi.

3. Diagnosis dan Alergi Makanan


Intoleransi makanan dapat berkembang dari reaksi yang dimediasi oleh IgE atau non-
IgE.45 Pada alergi makanan yang dimediasi IgE, baik tes SPT atau serum IgE spesifik
dapat digunakan untuk mendiagnosis, tetapi interpretasinya harus dilakukan dengan hati-
hati. IgG serum spesifik tidak dapat diandalkan atau membantu dalam mendiagnosis alergi
makanan. Uji tantangan makanan double-blind placebo-controlled adalah standar emas
untuk diagnosis alergi makanan.46

4. Serum autoantibodi untuk diagnosis urtikaria autoimun kronis


4.1 Uji In vivo
Autologous Serum Skin Testing. ASST adalah tes skrining yang digunakan untuk
mendeteksi autoreaktivitas. Sensitivitas sekitar 70% dan spesifisitas 80%. ASST
positif ditemukan pada 30-60% pasien CU; Namun, hal tersebut tidak mempengaruhi
manajemen pasien.
4.2 Uji In vitro (Tes ini saat ini tersedia di beberapa negara dan mahal)
 Basophil histamine release assay. Uji pelepasan histamin basofil digunakan
untuk mendeteksi fungsional serum autoantibodi. Diperolehnya basofil segar dari
orang sehat diperlukan untuk pengujian laboratorium yang akurat.
 Direct Immunoassay. Metode laboratorium ini, termasuk Western blotting,
imunopresipitasi, enzym-linked immunosorbent assay, dan flow cytometry (yang
menggunakan garis sel chimeric yang mengekspresikan FcεRI α manusia),
mampu mendeteksi autoantibodi anti-FcεRI yang non-fungsional dan fungsional.

Lampiran III. Pedoman Terapi Omalizumab30,31


Omalizumab adalah obat tambahan yang dapat digunakan untuk mengobati CSU yang
resistan terhadap pengobatan pada orang dewasa atau remaja yang berusia lebih dari 12
tahun. Omalizumab adalah terapi tambahan untuk pengobatan antihistamin H1.
Pasien harus memenuhi semua kriteria berikut untuk dipertimbangkan menjalani pengobatan
omalizumab:
1. Pasien dalam perawatan spesialis, termasuk dokter kulit dan / atau ahli imunologi;
2. Pasien berusia lebih dari 12 tahun;
3. Penyebab urtikaria tidak dapat diidentifikasi dengan investigasi lebih lanjut dan hasil
CBC, ANA, dan urin normal;
4. Pasien didiagnosis oleh spesialis sebagai CSU sedang hingga berat yang tidak
responsif terhadap pengobatan konvensional; dan,
5. Durasi penyakit lebih lama dari 3 bulan dan gejalanya tetap persisten meskipun telah
menggunakan pengobatan berbasis pedoman (Gambar 5).
Dosis dan Evaluasi Omalizumab
Dosis awal omalizumab yang direkomendasikan adalah 150 mg dengan injeksi
subkutan setiap 4 minggu.50 Respon pengobatan akan dievaluasi 4 minggu setelah injeksi
pertama menggunakan skor aktivitas urtikaria mingguan (UAS7). Skor UAS7 akan dicatat
selama 7 hari oleh pasien sebelum tiap kali kunjungan. Jika skor UAS7 berkurang lebih dari
30% dari skor awal, dosis yang sama (150 mg setiap 4 minggu) harus dilanjutkan. Jika tidak
ada perbaikan signifikan yang diamati setelah 4 minggu pengobatan (UAS7 menurun kurang
dari 30% dari skor awal), direkomendasikan untuk meningkatkan dosis hingga 300 mg setiap
4 minggu. Jika tidak ada perbaikan signifikan yang diamati sekali lagi setelah periode 4
minggu kedua, maka penghentian omalizumab harus dipertimbangkan.
Jika pasien merespon dengan baik terhadap pengobatan omalizumab dan mampu
mengurangi obat konvensional lainnya, mengurangi dosis omalizumab atau memperpanjang
interval dosis harus dipertimbangkan. Penghentian omalizumab harus dipertimbangkan setiap
3-6 bulan. Re-administrasi omalizumab setelah penghentian didasarkan pada perubahan
faktor klinis dan kebijaksanaan dokter.

Ucapan Terimakasih
Kiat Ruxrungtham, MD, sebagian didukung oleh Senior Research Scholar, the Thailand
Research Fund.

Konflik pengungkapan kepentingan:


Kiat Ruxrungtham, MD, telah berpartisipasi dalam biro pembicara yang disponsori
perusahaan dari GSK, Merck, dan Novartis. Kanokvalai Kulthanan, MD, telah menjadi
pembicara untuk MSD, GSK, Menarini dan Novartis.
Daftar Pustaka

1. Vichyanond P, Jirapongsananuruk O, Veskitkul J, Chansakulporn S, Direkwatanachai C,


Piromrat K, et al. Clinical practice guidelines for anaphylaxis 2016. the Allergy,
Asthma, and Immunology Association of Thailand. Forthcoming 2016.

2. Zuberbier T, Aberer W, Asero R, Bindslev-Jensen C, Brzoza Z, Canonica GW, et al. The


EAACI/GA(2)LEN/EDF/WAO Guideline for the definition, classification, diagnosis,
and management of urticaria: the 2013 revision and update. Allergy. 2014;69:868-87.

3. Sánchez -Borges M, Asero R, Ansotegui IJ, Baiardini I, Bernstein JA, Canonica GW, et al.
Diagnosis and treatment of urticaria and angioedema: a worldwide perspective. World
Allergy Organ J. 2012;5:125-47.

4. Maurer M, Magerl M, Metz M, Zuberbier T. Revisions to the international guidelines on


the diagnosis and therapy of chronic urticaria. J Dtsch Dermatol Ges. 2013;11:971-7.

5. Zuberbier T, Asero R, Bindslev-Jensen C, Walter Canonica G, Church MK, Gimenez-


Arnau A, et al. EAACI/GA(2)LEN/EDF/WAO guideline: definition, classification and
diagnosis of urticaria. Allergy. 2009;64: 1417-26.

6. Ruxrungtham K. Chronic Inducible Urticaria (CIndU) versus Chronic Spontaneous


Urticaria (CSU): Can new names and new updated information improve our care for
patients with urticaria? Asian Pac J Allergy Immunol. 2016;34:95-7.

7. Sabroe RA, Fiebiger E, Francis DM, Maurer D, Seed PT, Grattan CE, et al. Classification
of anti-FcεRI and anti-IgE autoantibodies in chronic idiopathic urticaria and correlation
with disease severity. J Allergy Clin Immunol. 2002;110:492-9.

8. Hide M, Francis DM, Grattan CE, Hakimi J, Kochan JP, Greaves MW. Autoantibodies
against the high-affinity IgE receptor as a cause of histamine release in chronic
urticaria. N Engl J Med. 1993;328:1599-604.

9. Tedeschi A, Kolkhir P, Asero R, Pogorelov D, Olisova O, Kochergin N, et al. Chronic


urticaria and coagulation: pathophysiological and clinical aspects. Allergy.
2014;69:683-91.

10. Ferrer M, Sastre J, Jáuregui I, Davila I, Montoro J, Cuvillo A, et al. Effect of


antihistamine up-dosing in chronic urticaria. J Investig Allergol Clin Immunol.
2011;21:34-9.

11. Siebenhaar F, Degener F, Zuberbier T, Martus P, Maurer M. High-dose desloratadine


decreases wheal volume and improves cold provocation thresholds compared with
standard-dose treatment in patients with acquired cold urticaria: a randomized, placebo-
controlled, crossover study. J Allergy Clin Immunol. 2009;123:672-9.
12. Staevska M, Popov TA, Kralimarkova T, Lazarova C, Kraeva S, Popova D, et al. The
effectiveness of levocetirizine and desloratadine in up to 4 times conventional doses in
difficult-to-treat urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2010;125:676-82.

13. Dubertret L, Zalupca L, Cristodoulo T, Benea V, Medina I, Fantin S, et al. Once-daily


rupatadine improves the symptoms of chronic idiopathic urticaria: a randomised,
double-blind, placebo-controlled study. Eur J Dermatol. 2007;17:223-8.

14. Krause K, Spohr A, Zuberbier T, Church MK, Maurer M. Up-dosing with bilastine results
in improved effectiveness in cold contact urticaria. Allergy. 2013;68:921-8.

15. Vancheri C, Mastruzzo C, Tomaselli V, Bellistrì G, Pistorio MP, Greco LR, et al. The
effect of fexofenadine on expression of intercellular adhesion molecule 1 and induction
of apoptosis on peripheral eosinophils. Allergy Asthma Proc. 2005;26:292-8.

16. Sticherling M, Brasch J, Bruning H, Christophers E. Urticarial and anaphylactoid


reactions following ethanol intake. Br J Dermatol. 1995;132:464-7.

17. Ring J, Alomar A, Bieber T, Deleuran M, Fink-Wagner A, Gelmetti C, et al. Guidelines


for treatment of atopic eczema (atopic dermatitis) part I. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2012;26:1045-60.
18. Tanizaki H, Nakahigashi K, Miyachi Y, Kabashima K. Comparison of the efficacy of
fexofenadine 120 and 240 mg/day on chronic idiopathic urticaria and histamine-induced
skin responses in Japanese populations. J Dermatolog Treat. 2013;24:477-80.

19. Finn AF Jr, Kaplan AP, Fretwell R, Qu R, Long J. A double-blind, placebo-controlled trial
of fexofenadine HCl in the treatment of chronic idiopathic urticaria. J Allergy Clin
Immunol. 1999;104:1071-8.

20. Staevska M, Gugutkova M, Lazarova C, Kralimarkova T, Dimitrov V, Zuberbier T, et al.


Night-time sedating H1-antihistamine increases daytime somnolence but not treatment
efficacy in chronic spontaneous urticaria: a randomized controlled trial. Br J Dermatol.
2014;171:148-54.

21. Zuberbier T, Iffländer J, Semmler C, Henz BM. Acute urticaria: clinical aspects and
therapeutic responsiveness. Acta Derm Venereol. 1996;76: 295-7.

22. Asero R, Tedeschi A. Usefulness of a short course of oral prednisone in antihistamine-


resistant chronic urticaria: a retrospective analysis. J Investig Allergol Clin Immunol.
2010;20:386-90.

23. Monroe EW, Cohen SH, Kalbfleisch J, Schulz CI. Combined H1 and H2 antihistamine
therapy in chronic urticaria. Arch Dermatol. 1981;117: 404-7.

24. Bleehen SS, Thomas SE, Greaves MW, Newton J, Kennedy CT, Hindley F, et al.
Cimetidine and chlorpheniramine in the treatment of chronic idiopathic urticaria: a multi‐
centre randomized double‐blind study. Br J Dermatol. 1987;117:81-8.
25. Ogawa Y, Ichinokawa Y, Hiruma M, Machida Y, Funakushi N, Sadamasa H, et al.
Retrospective cohort study on combination therapy with the histamine H2-receptor
antagonist lafutidine for antihistamine-resistant chronic urticaria. J Dermatolog Treat.
2013;24:463-5.

26. Simons FE, Sussman GL, Simons KJ. Effect of the H2-antagonist cimetidine on the
pharmacokinetics and pharmacodynamics of the H1-antagonists hydroxyzine and
cetirizine in patients with chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol. 1995;95:685-93.

27. Pacor ML, Di Lorenzo G, Corrocher R. Efficacy of leukotriene receptor antagonist in


chronic urticaria. A double‐blind, placebo‐controlled comparison of treatment with
montelukast and cetirizine in patients with chronic urticaria with intolerance to food
additive and/or acetylsalicylic acid. Clin Exp Allergy. 2001;31:1607-14.

28. Grattan CE, O’Donnell BF, Francis DM, Niimi N, Barlow RJ, Seed PT, et al. Randomized
double-blind study of cyclosporin in chronic ‘idiopathic’ urticaria. Br J Dermatol.
2000;143:365-72.

29. Trojan TD, Khan DA. Calcineurin inhibitors in chronic urticaria. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2012;12:412-20.

30. Metz M, Maurer M. Omalizumab in chronic urticaria. Curr Opin Allergy Clin Immunol.
2012;12:406-11.

31. Maurer M, Rosén K, Hsieh H-J, Saini S, Grattan C, Gimenéz-Arnau A, et al. Omalizumab
for the treatment of chronic idiopathic or spontaneous urticaria. N Engl J Med.
2013;368:924-35.

32. Ben‐Shoshan M, Blinderman I, Raz A. Psychosocial factors and chronic spontaneous


urticaria: a systematic review. Allergy. 2013;68:131-41.

33. Aoki T, Kojima M, Horiko T. Acute urticaria: history and natural course of 50 cases. The J
Dermatol. 1994;21:73-7.

34. Kulthanan K, Chiawsirikajorn Y, Jiamton S. Acute urticaria: etiologies, clinical course and
quality of life. Asian Pac J Allergy Immunol. 2008;26: 1-9.

35. Champion RH, Roberts SO, Carpenter RG, Roger JH. Urticaria and angio-oedema. A
review of 554 patients. Br J Dermatol. 1969;81:588-97.

36. Kulthanan K, Jiamton S, Thumpimukvatana N, Pinkaew S. Chronic idiopathic urticaria:


prevalence and clinical course. J Dermatol. 2007;34:294-301.

37. Chuamanochan M, Kulthanan K, Tuchinda P, Chularojanamontri L, Nuchkull P. Clinical


features of chronic urticaria in aging population. Asian Pac J Allergy Immunol. 2016.

38. Harris A, Twarog FJ, Geha RS. Chronic urticaria in childhood: natural course and etiology.
Ann Allergy. 1983;51:161-5.
39. Chansakulporn S, Pongpreuksa S, Sangacharoenkit P, Pacharn P, Visitsunthorn N,
Vichyanond P, et al. The natural history of chronic urticaria in childhood: a prospective
study. J Am Acad Dermatol. 2014;71:663-8.

40. Wai YC, Sussman GL. Evaluating chronic urticaria patients for allergies, infections, or
autoimmune disorders. Clin Rev Allergy Immunol. 2002;23:185-93.

41. Powell RJ, Leech SC, Till S, Huber PA, Nasser SM, Clark AT. BSACI guideline for the
management of chronic urticaria and angioedema. Clin Exp Allergy. 2015;45:547-65.

42. Bindslev‐Jensen C, Finzi A, Greaves M, Camarasa J, Ortonne JP, Schöpf E, et al. Chronic
urticaria: diagnostic recommendations. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2000;14:175-80.

43. Jirapongsananuruk O, Sangacharoenkit P, Pongpreuksa S, Visitsunthorn N, Vichyanond P.


Is silent sinusitis a cause of chronic urticaria in children?. Asian Pac J Allergy Immunol.
2009;27:103-6.

44. Sampson HA, Albergo R. Comparison of results of skin tests, RAST, and double-blind,
placebo-controlled food challenges in children with atopic dermatitis. J Allergy Clin
Immunol. 1984;74:26-33.

45. Helm RM, Burks AW. Mechanisms of food allergy. Curr Opin Immunol. 2000;12:647-53.

46. Bock SA, Sampson HA, Atkins FM, Zeiger RS, Lehrer S, Sachs M, et al. Double-blind,
placebo-controlled food challenge (DBPCFC) as an office procedure: a manual. J
Allergy Clin Immunol. 1988;82:986-97.

47. Konstantinou GN, Asero R, Maurer M, Sabroe RA, Schmid-Grendelmeier P, Grattan CE.
EAACI/GA(2)LEN task force consensus report: the autologous serum skin test in
urticaria. Allergy. 2009;64:1256-68.

48. Kulthanan K, Jiamton S, Gorvanich T, Pinkaew S. Autologous serum skin test in chronic
idiopathic urticaria: prevalence, correlation and clinical implications. Asian Pac J Allergy
Immunol. 2006;24:201-6.

49. Konstantinou GN, Asero R, Ferrer M, Knol EF, Maurer M, Raap U, et al. EAACI taskforce
position paper: evidence for autoimmune urticaria and proposal for defining diagnostic
criteria. Allergy. 2013;68:27-36.

50. Metz M, Ohanyan T, Church MK, Maurer M. Omalizumab is an effective and rapidly
acting therapy in difficult-to-treat chronic urticaria: a retrospective clinical analysis. J
Dermatol Sci. 2014;73:57-62.

Anda mungkin juga menyukai