Nasionalisme merupakan suatu sikap politik atau pemahaman dari masyarakat suatu
bangsa yang memiliki keselarasan kebudayaan dan wilayah. Juga memiliki kesamaan cita-cita
dan tujuan sehingga timbul rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun
eksternal. Kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual
bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas,
kemakmuran, dan kekuatan bangsa.
Sikap dan perilaku nasionalisme yang harus dimiliki warga negara. Itu meliputi harus
mematuhi aturan yang berlaku, mematuhi hukum negara, melestarikan budaya Indonesia. Setiap
warga negara harus memiliki rasa nasionalime kepada bangsanya sendiri. Ini sebagai bentuk
kesadaran dan cinta tanah air yang ditunjukan melalui sikap dan tingkah laku atau masyarakat.
Dalam istilah sosiologi, kebudayaan dianggap memberikan segala yang ascribed, yaitu
apa saja yang menjadi atribut seseorang atau tempat seseorang diperanggotakan, tanpa pilihan
yang aktif, kritis dan sadar dari yang bersangkutan. Seseorang menjadi Jawa, Sunda, Bugis
maupun Minang, bukan karena pilihannya, tetapi semata-mata karena faktor keturunan.
Sebaliknya, nasionalisme lebih diekspresikan sebagai tuntutan politik. Nasionalisme (integrasi
nasional) adalah buah pemikiran, perasaan dan perjuangan yang penuh kesadaran dan pilihan,
yang menuntut usaha sungguh-sungguh dan harus dikelompokkan ke dalam apa yang disebut
sebagai achievement (sebagai lawan dari ascription). Artinya, keterlibatan individu atau
kelompok dalam integrasi nasional (nasionalisme) dianggap mengharuskan adanya pengorbanan
terhadap hal-hal yang bersifat kultural dan primordial (keturunan).
Sebagai contoh, bahasa daerah dianggap kurang penting dibandingkan dengan bahasa
nasional, dan hal itu tercermin dengan jelas dalam pengajaran bahasa di sekolah-sekolah, di
mana (dengan beberapa pengecualian) bahasa daerah tidak diajarkan lagi atau sekadar sampai
pendidikan dasar saja. Demikian pun rasa ke daerahan yang berlebih-lebihan dianggap
membahayakan persatuan nasional. Bahkan sifat provinsialisme dianggap sebagai ancaman dan
bukan unsur yang menguatkan nasionalisme, meski telah ditetapkan adanya otonomi daerah.
Indonesia berada pada varian yang pertama, di mana kesatuan budaya jauh mendahului
kesatuan politik negaranya. Alternatifnya, melakukan sintesa antara kebudayaan dan
nasionalisme dengan menyatakan “kebudayaan nasional”. Istilah ini bukan tidak menimbulkan
permasalahan, tapi juga telah menyisakan dilema. Dalam konteks inilah, istilah kebudayaan
nasional menjadi sesuatu yang penuh kontroversi dan ketidakjelasan. Kita diperhadapkan pada
sebuah dilema akut tentang pemaknaan nasionalisme dan kebudayaan. Sulit bagi kita
menunjukkan secara empiris apa saja yang menjadi unsur-unsur kebudayaan nasional.
Berdasarkan pengalaman selama ini, kebudayaan nasional lebih merupakan gagasan (atau
bahasa retorika) politik, daripada suatu konsep yang dapat diuraikan secara ilmiah. Sehingga
wajar ketika kita temukan berbagai macam kelompok masyarakat seperti, golongan nasionalis,
golongan tradisionalis, golongan ideologis, dan seterusnya. Ini lebih merupakan ekspresi politik
yang berusaha mengaktualisasikan dirinya dalam bentuk kebudayaan nasional. Pertarungan
kelompok-kelompok tersebut melahirkan perdebatan tentang ciri dan model negara. Maka
lahirlah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi ide dominan, yang telah terlebih
dahulu muncul dari semangat nasionalisme yang bersifat anti kolonial.
Sadar maupun tidak, bahwa ide tentang negara kesatuan dan persatuan bangsa ini telah
menggiring pemikiran ke arah kebudayaan nasional, yang dalam bentuk konkretnya berarti
kebudayaan persatuan. Tetapi, persatuan secara budaya bukanlah tanpa soal, kita akan
dihadapkan pada proses dilema, yaitu mengapa kebudayaan-kebudayaan harus dipersatukan, dan
kalau dipersatukan, maka persatuan kebudayaan itu mengikuti pola yang mana? Dalam konteks
inilah terlihat secara jelas sikap yang serba mendua dalam kebudayaan nasional di Indonesia,
yang tentu saja telah muncul dari desakan politik yang ada, yang kemudian harus dijawab secara
pragmatis belaka, tanpa mempertimbangkan implikasi budayanya.
Maka, ketika Indonesia tidak memiliki identitas budaya yang tunggal bukan berarti tidak
memiliki jati diri (budaya nasional), namun dengan keanekaragaman budaya, justru
membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa.
Meskipun jawaban semacam ini hanyalah jawaban apologis dan klaim terhadap realitas, yang
tentunya belum memberikan kepuasan.