Anda di halaman 1dari 3

Nama : Resli Irianti P

NIM : 1411C1007
TUGAS IMUNOLOGI II
CEDERA HATI AUTOIMUN
STUDI KASUS
Seorang pria berusia 55 tahun datang menemui seorang dokter untuk
melakukan pemeriksaan atas beberapa keluhan yang dirasakannya. Pria tersebut
mengatakan bahwa telah selama seminggu dia mengalami hidung tersumbat, sakit
kepala, menggigil, mual ringan, dan sensasi berkabut (kekaburan penglihatan), serta
merasakan bahwa matanya menguning. Dia juga mengatakan bahwa urinnya lebih
gelap (pekat) dan malaise beberapa hari sebelum kunjungannya ke dokter ini. Dia tidak
merasakan adanya nyeri abdomen (perut), pruritus, muntah, melena atau
hematochezia, dia tidak mengukur suhu badannya namun ia merasakan adanya
demam.Apa yang terjadi dengan pria tersebut???
Pernyataan pasien tentang adanya gejala urin yang gelap dan ikterus skleral,
maka jaundice (penyakit kuning) merupakan diagnosa yang potensial yang patut
dicurigai untuk kondisi ini. Baik itu jaundice obstuktif atau pun
nonobstruktif. Jaundice nonobstruktif umumnya disebabkan oleh sebab-sebab berikut:
 Infeksi, terutama infeksi virus (adanya sumbatan hidung dan sakit kepala
merupakan salah satu gejala kondisi ini)

 Kanker (padat atau hematologi)

 Obat atau racun ( termasuk alkohol dan obat herbal)

 Penyakit autoimun

Sedangkan penyakit obstruktif dapat bersifat lunak/benign (berupa baru atau


striktur) maupun ganas/malignant. 

MEKANISME
kadar enzim aminotransferase meningkat secara nyata, dan tinggi kadar alkali fosfatase
dan bilirubin menunjukan adanya luka hepatoseluler. Level aminotransferase yang lebih
dari 1000 U/liter adalah indikasi khas untuk adanya cedera iskemik, cedera virus,
cedera yang berkaitan dengan penggunaan obat atau keracaunan dan penyakit hati
autoimun.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA


Pengujian pada saat pemeriksaan ini menunjukan tekanan darah 138/73 mm Hg,
denyut jantung 63 kali permenit, suhu badan 36,7 derajat celcius, saturasi oksigen
98% sementara pasien sedang menghirup udara ambien. Ikterus skleral tanpa nyeri
tekan abdomen dengan ujung hati teraba kurang dari lebar 1 jari dibawah kostal. Tidak
ada splenomegali atau ascites yang terdeteksi. Pasien tidak sedang kebingungan dan
tidak memiliki asterixis. Studi laboratorium menunjukan panel metabolisme dasar
normal dan hitung darah lengkap.  Level aspartat aminotransferase 1545 U/liter dan
alanin amino transferase 2655 U/liter, alkali fosfatase 399 U/liter, total bilirubin 5,3
mg/dl, bilirubin direct 4,0 mg/dl dan albumin 3,8 9/dl. Dengan kondisi ini pasien
disarankan untuk datang keunit gawat darurat.

Hasil pemeriksaan laboratorium tersebut menunjukan adanya kerusakan hati yang


parah. Dimana kadar enzim aminotransferase meningkat secara nyata, dan tinggi
kadar alkali fosfatase dan bilirubin menunjukan adanya luka hepatoseluler. Level
aminotransferase yang lebih dari 1000 U/liter adalah indikasi khas untuk adanya
cedera iskemik, cedera virus, cedera yang berkaitan dengan penggunaan obat atau
keracaunan dan penyakit hati autoimun. Meskipun adanya penyakit batu empede akut
yang disertai dengan choledocholithiasis dapat memungkinkan adanya temuan klinis
serupa ini, namun tidak adanya nyeri tekan abdomen telah mengeliminasi
kemungkinan ini. Hepatitis virus akut dan kerusakan hati yang terinduksi obat adalah 2
diagnosa yang paling mungkin dalam hal ini. Informasi lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan apakah pasien memerlukan perawatan di rumah sakit atau tidak. Adanya
ensefalopati dan koagulopati menunjukan adanya gagal hati akut, dan untuk itu pasien
memerlukan evaluasi dan pengobatan lebih lanjut. Dan dalam kasus ini sepanjang
nilai INR tidak meningkat dan pasien tetap terhidrasi dan menjaga nutrisi, maka pasien
tidak sepenuhnya memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Pasien ini kemudian dirawat di unit pelayanan kedokteran umum untuk penanganan
hepatitis akut. Pasien berada dalam kondisi stabil dan tanpa gejala. Hasil uji INR 1,1
dan tes antigen untuk hepatitis B, antibodi permukaan, anti IgM dan antibodi hepatits A
semuanya negatif. Berdasarkan PCR assay virus hepatitis C juga negatif, begitu pun
untuk cytomegalovirus dan uji serologi untuk Epstein–Barr virus. Pengujian kadar
parasetamol dan salisilat serum masih berada dibawah batas referensi, tes etanol
negatif, begitu pun uji obat terlarang dalam urin juga negatif. Level imunoglobulin
kuantitatif yang signifikan yaitu IgG sebesar 1740 mg/dl (kisaran normal 620-1520
mg/dl) dengan tingkat IgA dan IgM normal.

Tidak adanya ensefalopati dan koagulopati menyebabkan dokter lebih yakin bahwa
pasien mengalami cedera hati akut ketimbang gagal hati akut, dan tetap menduga
kuat bahwa penggunaan statin terlibat dalam hal ini.

Pemeriksaan lebih lanjut adalah dengan biopsi hati. Pada pemeriksaan ini terlihat
adanya fibrosis dan steatosis. Penemuan biopsi ini konsisten untuk cedera hati
autoimun, dan fibrosis menunjukan kronisitasnya. Prednison harus diberikan dan
mungkin juga azathioprine. Prognosis untuk remisi biokimia yang sangat baik, pada
sebagian besar pasien dengan hepatitis autoimun akan mengalami peningkatan
biokimia dalam kurun waktu 2 minggu setelah dilakukannya terapi inisiasi
imunosupresif.

3 bulan setelah dimulainya terapi dengan prednison dan azathioprine level enzim hati
kembali normal. Kemudian terapi prednison dihentikan secara bertahap dan
dilanjutkan dengan terapi tunggal azathioprine selama lebih dari setahun.

Anda mungkin juga menyukai