Anda di halaman 1dari 65

PENGARUH MIRROR THERAPY TERHADAP KEKUATAN OTOT

PADA KLIEN DENGAN STROKE NON HEMORAGIK


DI RUANG PERAWATAN CAKRA BUANA
RUMAH SAKIT TK.II 03.05.01 DUSTIRA
CIMAHI: LITERATURE REVIEW

Proposal Usulan Penelitian


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan
Program Studi S1 Keperawatan

OLEH :
ANIS MARSELA
213218063

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDRAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2020
PENGESAHAN PROPOSAL

Laporan Tugas Akhir/Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan pada


Seminar Proposal/Ujian tentang:

PENGARUH MIRROR THERAPY TERHADAP KEKUATAN OTOT


PADA KLIEN DENGAN STROKE NON HEMORAGIK
DI RUANG PERAWATAN CAKRA BUANA
RUMAH SAKIT TK.II 03.05.01 DUSTIRA
CIMAHI: LITERATURE REVIEW

Pada Tanggal : Juni 2020


Nama Mahasiswa : Anis Marsela
NPM : 213218063
Program Studi : Ilmu Keperawatan (S1)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani Cimahi

Pembimbing I Pembimbing II

Rini Mulyati, S.Kep., Ns., M.Kep Galih Jatnika, S.Kep., Ns., M.Kep
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
karunianya penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal yang berjudul
“Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan Otot Pada Klien Stroke Non
Hemoragik di Ruang Perawatan Cakra Buana Rumah Sakit Dustira
Cimahi” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mencapai Gelar Sarjana
Keperawatan (S.1) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani
Cimahi.
Penulis menyadari bahwa proposal yang disusun ini belum sempurna. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk sempurnanya
proposal ini. Mudah-mudahan ada nilai yang dapat diambil manfaatnya, khusus
bagi penulis dan wawasan pembaca umumnya.
Dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang
penulis hadapi. Namun Alhamdulillah hambatan dan kesulitan tersebut pada
akhirnya dapat diatasi berkat bantuan dan dorongan moril ataupun spiritual serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
menyatakan rasa hormat dan menyampaikan rasa terima kasih kepada semua
pihak yang dengan tulus hati dan penuh kesabaran telah menyediakan waktu dan
tenaganya serta pikiran untuk menyediakan bimbingan, dorongan, nasihat, dan
petunjuk serta do’a yang sangat berharga dalam penyusunan ini.
Sehubungan dengan itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga kepada yang terhormat sebagai berikut.
1. Kolonel CKM. dr. Agus Ridho Utama, Sp.THT-KL., MARS, selaku Kepala
Rumah Sakit TK. II 03.05.01 Dustira Cimahi
2. Gunawan Irianto, dr., M.Kes (MARS), selaku Ketua STIKES Jenderal
Achmad Yani Cimahi.
3. Achmad Setya Roswendi, S.Kp., MPH, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan (S.1).
4. Rini Mulyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing I, yang telah banyak
membantu dan membimbing penyusunan dalam pembuatan proposal ini.

ii
5. Galih Jatnika, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Pembimbing II, yang telah
membantu dalam memberikan saran dan masukan dalam pembuatan proposal
ini
6. Seluruh staf, dosen, dan beserta karyawan STIKES Jenderal Achmad Yani
Cimahi yang telah membantu dan memberikan ilmunya kepada penulis
sampai menyelesaikan proposal ini.
7. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan do’a dan dorongannya.
8. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan di Program Studi Ilmu
Keperawatan (S.1) STIKES Jenderal Achmad Yani Cimahi.
9. Semua pihak yang memberikan dorongan dan bantuannya baik secara
langsung maupun secara tidak langsung yang tidak sempat penulis sebutkan
satu persatu disini
Semoga amal baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan
yang setimpal dari Allah Yang Maha Pemurah.
Cimahi, Juni 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
PENGESAHAN.....................................................................................
i
KATA PENGANTAR...........................................................................
ii
DAFTAR ISI..........................................................................................
iv
DAFTAR TABEL..................................................................................
............................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
vii
DAFTAR BAGAN.................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................
7
1.3 Tujuan Penenlitian ............................................................
7
1.2.2 Tujuan Umum........................................................
7
1.2.3 Tujuan Khusus.......................................................
8
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................
8

iv
1.4.1 Manfaat Teoritis.....................................................
8
1.4.2 Manfaat Praktis......................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Stroke....................................................................
10
2.1.1 Pengertian Stroke...................................................
10
2.1.2 Klasifikasi .............................................................
11
2.1.3 Etiologi ..................................................................
12
2.1.4 Faktor Risiko .........................................................
15
2.1.5 Patofisiologi ..........................................................
20
2.1.6 Gambaran Klinis dan Diagnosis.............................
21
2.1.7 Upaya Pencegahan Stroke......................................
23
2.1.8 Dampak Stroke ......................................................
25
2.2 Konsep Terapi Cermin (Mirror Therapy) .........................
25
2.2.1 Definisi Terapi Cermin (Mirror Therapy).............
25
2.2.2 Prosedur Mirror Therapy.......................................
28
2.2.3 Gerakan Mirror Theraphy......................................
28

v
2.2.4 Mekanisme Mirror Theraphy...............................
30
2.3 Konsep Kekuatan Otot.......................................................
32
2.3.1 Definisi Kekuatan Otot.........................................
32
2.3.2 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Otot......
32
2.3.3 Sumber energi untuk gerak otot.............................
33
2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kekuatan Otot..........
34
2.3.5 Penilaian Kekuatan Otot.........................................
34
2.3.6 Alat Ukur ...............................................................
35
2.4 Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan Otot..........
35
2.5 Kerangka Teori .................................................................
37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1 Metode Penelitian..............................................................
38
3.1.1 Paradigma Penelitian .............................................
38
3.1.2 Rancangan Penelitian.............................................
39
3.1.3 Variabel Penelitian.................................................
40

vi
3.2 Populasi dan Sampel Penelitian.........................................
42
3.2.1 Populasi..................................................................
42
3.2.2 Sampel....................................................................
42
3.3 Pengumpulan Data.............................................................
43
3.4 Prosedur Penelitian............................................................
44
3.4.1 Persiapan Penelitian...............................................
44
3.4.2 Tahap Pelaksanaan.................................................
44
3.4.3 Tahap Akhir...........................................................
45
3.5 Analisa Data ......................................................................
45
3.6 Etika Penelitian..................................................................
46
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1 Jumlah Klien Stroke Di Ruang Cakra Buana Rumah Sakit
Dustira Periode Nopember 2019 – Januari 2020..................
5
Tabel 2.1 Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Non-Hemoragik.
22

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Non-Hemoragik.


23
Gambar 2.2 Mirror Therapy Ekstremitas Atas........................................
29
Gambar 2.3 Mirror Therapy Ekstremitas Bawah ....................................
30

vii
DAFTAR BAGAN

Halaman
Bagan 2.1 Kerangka Teori.............................................................. 37
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian......................................... 39

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Informed Concent


Lampiran 2 SOP Mirror Therapy
Lampiran 3 Matriks Literatur
Lampiran 5 Lembar Konsul Proposal Skirpsi

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke merupakan masalah kesehatan masyarakat di mana peningkatan

usia dalam masyarakat berdampak terhadap perkembangan pravelesi penyakit

ini. Secara global stroke menempati urutan kedua penyebab kematian

(Pandian, 2017). Stroke merupakan masalah kesehatan yang ada di Indonesia.

Penyakit ini sering menghampiri kalangan atas dan tak jarang terjadi pada

kalangan menengah ke bawah. Stroke adalah penyakit pada otak berupa

gangguan fungsi saraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif,

dan cepat. Gangguan fungsi saraf pada stroke disebabkan oleh gangguan

peredaran darah otak non traumatic (Kemenkes RI, 2013).

Stroke termasuk salah satu dari sepuluh penyakit penyebab kematian

teratas di dunia. Berdasarkan laporan terbaru WHO terdapat 6,7 juta kematian

terjadi akibat stroke dari total kematian yang disebabkan penyakit tidak

menular (WHO, 2014). Pada profil statistik WHO yang diperbaharui pada

Januari 2015, stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan

yang utama di Indonesia.

Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit

utama penyebab kematian setelah jantung dan kanker. Setiap tahun terdapat

laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan

pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa serangan stroke berulang


2

(Sutrisno, 2010). Data lain menunjukkan bahwa 10-16% pasien stroke

memiliki risiko untuk mengalami serangan ulang dan risiko kematian akibat

stroke dua kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum (Sutrisno, 2010).

Di Indonesia data nasional untuk kasus stroke menunjukkan angka

kematian tertinggi, yaitu 15,4% stroke sebagai penyebab kematian pada setiap

tahunnya (Misbach dan Soertidewi 2011). Data di Indonesia juga

menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal

kematian, kejadian, maupun kecacatan. Angka kematian berdasarkan umur

adalah sebesar 15,9% (umur 45–54 tahun), 26,8% (umur 55–64 tahun) dan

23,5% (umur ≥ 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000

penduduk, dan kecacatan didapati 1,6% tidak berubah, serta 4,3% semakin

memberat. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang berpotensi

menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di

kemudian hari (Misbach, 2011).

Prevalensi stroke tertinggi di Indonesia yaitu di Sulawesi Selatan pada

tahun 2013 yaitu 17,9%, diikuti dengan DI Yogyakarta (16,9%), Sulawesi

Tengah (16,6%) dan Jawa Timur (16%) sedangkan di Jawa Barat sendiri

prevalesi kejadian stroke pada tahun 2013 yaitu sebesar 12,0% berada

diperingkat ke 15 tertinggi dari seluruh provinsi di Indonesia (Kemenkes RI,

2013)

Masalah yang sering dialami oleh penderita stroke dan yang paling

ditakuti adalah gangguan gerak. Penderita mengalami kesulitan saat berjalan

karena mengalami gangguan pada kekuatan otot, keseimbangan dan


3

koordinasi gerak. Klien stroke bukan merupakan kasus kelainan

muskuloskeletal, tetapi kondisi stroke merupakan kelainan dari otak sebagai

susunan susunan saraf pusat yang mengontrol dan mencetuskan gerak dari

sistem neuromuskuloskeletal. Secara klinis gejala yang sering muncul adalah

hemiparesis (Irdawati, 2012).

Keadaan hemiparesis merupakan salah satu faktor yang menjadi

penyebab hilangnya mekanisme refleks postural normal, seperti mengontrol

siku untuk bergerak, mengontrol gerak kepala untuk keseimbangan, rotasi

tubuh untuk gerak-gerak fungsional pada ekstremitas. Gerak fungsional

merupakan gerak yang harus distimulasi secara berulang – ulang, supaya

terjadi gerakan yang terkoordinasi secara disadari serta menjadi refleks

secara otomatis berdasarkan ketrampilan aktifitas kehidupan sehari- sehari

(AKS). Pada klien stroke 70 - 80% mengalami hemiparesis (kelemahan pada

salah satu bagian sisi tubuh) dengan 20% mengalami peningkatan fungsi

motorik dan sekitar 50% mengalami gejala sisa berupa gangguan fungsi

motorik / kelemahan otot pada anggota ekstremitas bila tidak mendapatkan

terapi yang baik dalam intervensi keperawatan maupun rehabilitasi pasca

stroke. Penatalaksanaan rehabilitasi yang bisa dilakukan pada klien stroke

dengan kelemahan otot untuk meningkatkan status fungsional pada sensori

motorik yaitu latihan ROM (Range Of Motion) dan latihan gerak dengan

menggunakan media cermin (mirror therapy (Kusgiarti, 2017).

pada korteks serebri yang bermanfaat dalam penyembuhan motorik

diri tangan dan gerak. (Rizzolati dan Arbib dalam Kusgiarti, 2017). Terapi
4

cermin adalah intervensi terapi baru yang difokuskan pada ekstremitas yang

tidak mengalami gangguan (non paretik) dengan media cermin di mana media

ini diakukan pada klien dengan setengah duduk dan mengamati pergerakan

anggota gerak non paretik melalui cermin yang sudah disediakan sehingga

pantulan dari cermin berpengaruh dalam kemampuan pengukuran pada

aktivitas otak (Sengkey, 2014). Hasil penelitian Sengkey (2014)

menyimpulkan bahwa terapi cermin efektif dan menjanjikan dalam

meningkatkan kekuatan otot pada klien dengan stroke yang mengalami

kelemahan anggota gerak. Mutaqin (2012) mengatakan bahwa cara untuk

menentukan penilaian terhadap kekuatan otot adalah dengan pemerikasan

kekuatan otot. Sistem otot dikaji dengan memperlihatakan kemampuan

mengubah posisi, kekuatan otot, koordianasi, dan ukuran masing masing otot.

Kekuatan otot diuji melalui pengkajian kemampuan klien untuk melakukan

fleksi dan ekstensi ekstermitas sambil dilakukan perlahan.

Rumah Sakit Tk.II Dustira Kota Cimahi merupakan salah satu rumah

sakit yang berada di wilayah Kota Cimahi, dan berdasarkan data Infokes

Rumah Sakit Tk.II Dustira dalam 3 bulan terakhir yaitu Nopember 2019-

Januari 2020, jumlah klien stroke non hemoragik yang dirawat di Ruang

Cakra Buana Rumah Sakit Dustira adalah sebanyak 676 dengan rincian

sebagai berikut:
5

Tabel 1.1 Jumlah Klien Stroke Di Ruang Cakra Buana Rumah Sakit
Dustira Periode Nopember 2019 – Januari 2020

No Bulan Jumlah Pasien Stroke


1 November 234
2 Desember 206
3 Januari 236
Total 676
Sumber : Infokes RS. Dustira Cimahi, 2020

Dari kejadian stroke non hemoragik sebanyak 676 kejadian, 70% - 80%

mengalami kelumpuhan atau kelemahan anggota gerak separuh badan

(hemiplagia dan hemiparesis), sehingga klien ketergantungan dengan bantuan

keluarga untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Melalui mirror therapy akan

membuat peningkatan otot pada ekstremitas klien karena mirror therapy

merupakan salah satu terapi yang diberikan pada klien stroke yang berfungsi

untuk meningkatkan kekuatan otot klien selain dari terapi ROM (range of

motion). Mirror theraphy merupakan terapi yang sederhana, murah, mudah

dilakukan dan hanya membutuhkan latihan yang sangat singkat tanpa

membebani klien dalam memperbaiki fungsi motorik (baik ektremitas atas

maupun ekstremitas bawah) sehingga membuat klien stroke lebih mandiri

dalam melakukan kegiatan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Menurut Hardiyanti (2013) beberapa penelitian pada klien stroke yang

dilakukan oleh Sutbeyaz et al (2007), Yavuzer et al (2008), Altschuler et al

(1999), Sathian dan Stoykoy (2003), didapatkan bahwa mirror therapy dapat

membantu pemulihan fungsi motorik pada tangan yang paresis. Mirror

therapy pada klien stroke melibatkan gerakan pada tangan yang sehat sambil

melihat pantulannya di cermin yang diposisikan di depan tangan yang sakit

(tidak terlihat), sehingga menimbulkan ilusi seakan-akan tangan yang sakit


6

yang bergerak. Studi pencitraan fungsional pada otak individu sehat,

menunjukkan adanya eksitabilitas pada korteks motorik primer ipsilateral

terhadap gerakan tangan unilateral, yang difasilitasi dengan melihat pantulan

gerakan tangan di cermin. Ketika tangan kanan digunakan, namun

dipersepsikan sebagai tangan kiri, akan meningkatkan aktivasi di otak kanan

(begitu pula sebaliknya). Aktivasi ketika subjek melakukan gerakan juga

terjadi di area parietal inferior bilateral, area motorik suplementari, dan

korteks premotor.

Lydia et al (2011) memberikan mirror therapy selama 20 menit, 2 kali

dalam satu minggu sebanyak 10 sesi pada 18 klien stroke fase pemulihan,

sebagai tambahan program rehabilitasi standar pada paresis anggota gerak.

Didapatkan peningkatan signifikan skor Brunnstrom dan FIM self care, lebih

tinggi pada kelompok mirror dibanding kontrol. Penilitian yang dilakukan

Lydia dan kawan-kawan (2011) membuktikan bahwa mirror therapy efektif

dalam peningkatan kekuatan otot pada klien stroke dengan hemiparise.

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di ruang Cakra Buana RS.

Dustira Cimahi didapatkan bahwa intervensi pada klien stroke yang

mengalami hemiparise, tindakan yang dilakukan berupa penyuluhan

kesehatan mengenai stroke yang terkadang juga dilakukan oleh mahasiswa

praktik dan untuk intervensi rehabilitasi fisik yang dilakukan adalah latihan

ROM (range of motion) yang dilakukan selama 10 menit yang dilakukan oleh

perawat terkadang juga mahasiswa praktik dengan melibatkan pihak keluarga

untuk melakukan latihan ROM tersebut, dengan harapan agar pihak keuarga
7

agar lebih optimal dalam memberikan dukungan psikologis bagi klien dan

bisa diterapkan jika klien pulang perawatan.

Hasil wawancara dari klien stroke yang dirawat di ruang perawatan

Cakra Buana Rumah Sakit Dustira yang mengalami hemiparesis peneliti

tidak menemukan tindakan terapi cermin dilakukan dengan tujuan untuk

meningkatkan kekuatan otot pada ekstremitas, baik ekstremitas atas maupun

ekstremitas bawah klien. Terapi cermin mudah dilakukan dan hanya

membutuhkan latihan yang singkat tanpa membebani klien. Sesuai dengan

masalah tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh mirror

therapy terhadap kekuatan otot pada klien stroke non hemoragik di ruang

perawatan Cakra Buana Rumah Sakit Dustira Cimahi.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan Otot Pada Klien

Stroke Non Hemoragik di Ruang Perawatan Cakra Buana Rumah Sakit

Dustira Cimahi?.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh mirror therapy terhadap kekuatan otot

pada klien stroke non hemoragik di Ruang Perawatan Cakra Buana

Rumah Sakit Dustira Cimahi.


8

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengidentifkasi kekuatan otot ekstremitas klien sebelum diberikan

mirror therapy.

b. Mengidentifikasi kekuatan otot ekstremitas klien sesudah diberikan

tanpa mirror therapy.

c. Mengidentifikasi perbedaan kekuatan otot ekstremitas klien setelah

diberikan mirror therapy pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Membuktikan teori mirror therapy dapat meningkatkan kekuatan

otot klien stroke .

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Bagi Klien

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman atau masukan

bagi klien untuk menyempatan diri melakukan latihan dengan

gerakan-gerakan tertentu sesuai dengan standar operasional prosedur

pada ekstremitas yang mengalami hemiparesis.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan tambahan pustaka yang dapat melengkapi wawasan dan

ilmu pengetahuan dalam cabang ilmu Keperawatan Klinik terutama


9

dalam peningkatan kekuatan otot pada klien stroke non hemoragik

melalui mirror therapy.

c. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini menjadi bahan kajian mutu Rumah Sakit dalam

program rehabilitasi klien stroke dan menjadikan bahan evaluasi

untuk perbaikan standar prsedur oprasional dalam pelaksanaan

asuhan keperawatan klien stroke dengan hemiparise di Rumah Sakit.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Stroke

2.1.1 Pengertian Stroke

Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang

disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara

mendadak dan menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan

daerah otak yang terganggu (Bustan, 2012). Stroke atau cedera

serebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan

oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak secara tiba-tiba, dan

merupakan keadaan yang timbul karena gangguan peredaran darah di

otak yang menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak sehingga

mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian

(Brunner & Suddarth, 2016)

Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan

penyakit neurologis yang sering di jumpai dan harus ditangani secara

cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul

mendadak yang disebabkan terjadinya gangguan peredaran darah otak

dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Stroke merupakan

penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan

anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat, dan

bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak

(Muttaqin. A, 2018).
11

Dari pendapat di atas maka dapat dijelaskan bahwa stroke adalah

gangguan aliran suplai darah ke otak yang terjadi secara mendadak.

2.1.2 Klasifikasi

Lumbantobing (2010) Stroke umumnya dibagi dalam 3 golongan

besar, yaitu :

a. Stroke iskemik, terbagi atas :

1) Stroke iskemik trombotik (proses terbentuknya thrombus hingga

menjadi gumpalan)

2) Stroke iskemik embolik (tertutupnya pembuluh arteri oleh

bekuan darah)

3) Hipoperfusion sistemik (aliran darah ke seluruh bagian tubuh

berkurang karena adanya gangguan denyut jantung)

b. Stroke hemoragik, terbagi atas :

1) Stroke hemoragik intraserebral (perdarahan yang terjadi di

dalam jaringan otak)

2) Stroke hemoragik subaraknoid (perdarahan yang terjadi pada

ruang subaraknoid atau ruang sempit antara permukaan otak dan

lapisan yang menutupi otak)

c. TIA (Transient Ischemic Attack)


12

2.1.3 Etiologi

Etiologi stroke berdasarkan klasifikasinya adalah sebagai berikut

(Sutrisno, 2010) :

a. Stroke Iskemik

Stroke iskemik sering juga disebut stroke non hemoragik

karena tidak ditandai perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan

oleh penggumpalan darah. Namun, penyebab utamanya adalah

aterosklerosis. Aterosklerosis adalah penumpukan timbunan lemak

dan kolesterol di pembuluh darah. Timbunan itu makin lama makin

menumpuk dan menghambat aliran darah.

Penyebab lain adalah penyumbatan pembuluh darah di jantung.

Pemicunya, denyut jantung yang tak normal, gangguan pada katup

jantung, gelembung udara di pembuluh darah otak. Stroke iskemik

terbagi berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu :

1) Stroke Iskemik Trombotik

Stroke ini terjadi karena adanya penggumpalan pada

pembuluh darah ke otak. Stroke iskemik trombotik ini secara

klinis disebut juga sebagai serebral trombosis. Serebral trombosis

ini pun diuraikan berdasarkan jenis pembuluh darah dan tempat

terjadinya penggumpalan.

Berdasarkan jenis pembuluh darah tempat terjadinya

penggumpalan, dibedakan atas trombosis pembuluh darah besar

dan kecil. Trombosis pembuluh darah besar diakibatkan oleh


13

aterosklerosis yang diikuti oleh terbentuknya gumpalan darah

yang cepat dan tingginya kadar kolesterol jahat (LDL).

Sedangkan trombosis pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran

darah ke pembuluh darah arteri kecil terhalang. Ini terkait dengan

hipertensi dan merupakan indikator penyakit aterosklerosis.

2) Stroke Iskemik Embolik

Terjadi tidak di pembuluh darah otak, melainkan di tempat

lain, seperti di jantung. Penggumpalan darah terjadi di jantung,

sehingga darah tidak bisa mengalirkan oksigen dan nutrisi ke

otak. Kelainan pada jantung ini mengakibatkan curah jantung

berkurang atau tekanan perfusi yang menurun. Biasanya penyakit

stroke jenis ini muncul pada saat pasien menjalani aktivitas fisik,

misalnya berolahraga.

b. Stroke Hemoragik

Stroke ini disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak.

Ini terjadi karena tekanan darah ke otak tiba-tiba meningkat,

sehingga menekan pembuluh darah. Darah yang membawa oksigen

dan nutrisi tidak sampai ke target organ atau sel otak, akibatnya

sebagian otak tidak mendapat suplai makanan.

Selain itu, tekanan yang kuat membuat pecahnya pembuluh

darah juga merusak sel-sel otak di sekelilingnya. Pecahnya

pembuluh darah juga dapat terjadi karena dinding pembuluh darah


14

yang lemah, sehingga mudah rapuh, seperti aneurisma. Stroke

hemoragik terbagi berdasarkan lokasi penggumpalan, yaitu :

1) Stroke Hemoragik Intraserebral

Terjadi di dalam otak dan tergolong membahayakan. Pada

kasus ini, sebagian besar orang mengalaminya bisa menderita

lumpuh dan sulit diobati. Biasanya terjadi di otak kecil, batang

otak dan otak besar. Jika yang terkena di daerah talamus, sering

pasiennya sulit ditolong meskipun dilakukan tindakan operatif

untuk mengevakuasi perdarahannnya.

2) Stroke hemoragik subaraknoid

Terjadi di pembuluh darah di luar otak, tapi masih di daerah

kepala, seperti di selaput otak atau bagian bawah otak. Meski

tidak di dalam otak, perdarahan itu bisa menekan otak. Hal ini

terjadi akibat adanya aneurisma yang pecah. Darah yang keluar

dari pembuluh darah yang bocor bisa bercampur dengan cairan di

selaput otak dan di batang otak, sehingga dapat meningkatkan

tekanan di otak. Selain itu juga pembuluh darah terimpit,

sehingga mengganggu aliran darah. Pasien bisa terkena stroke

iskemik yang berdampingan dengan stroke hemoragik.

c. TIA ( Transient Ischemic Attack)

TIA didefinisikan sebagai suatu gangguan yang akut dari

fungsi local serebral yang disebabkan karena emboli atau trombosit.

TIA merupakan stroke yang ringan, berupa serangan iskemik


15

sementara. Gejalanya seperti stroke, tetapi hanya terjadi dalam

beberapa menit dan tidak sampai berjam-jam. Gejalanya akan

menghilang, namun ada pula kasus pasien serangan iskemik ini

berlangsung selama satu hari. Gejalanya disebabkan oleh gangguan

dari sistem vertebrosiliaris dapat berupa : vertigo dengan atau tanpa

disertai muntah terutama bila disertai dengan dysphagia. Mendadak

tidak stabil sampai drop attack, yaitu keadaan dimana kekuatan

kedua tungkai tiba-tiba menghilang sehingga pasien jatuh. Gejala

lain adalah gangguan visual, motorik atau sensorik.

2.1.4 Faktor Risiko

Menurut Lanny, dkk (2016) faktor risiko dikelompokan menjadi

dua, yaitu :

a. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan

1) Usia

Semakin bertambah umur, semakin tinggi risikonya.

Setelah berusia 55 tahun, risikonya berlipat ganda setiap kurun

waktu sepuluh tahun. Dua pertiga dari semua serangan stroke

terjadi pada orang yang berusia di atas 65 tahun. Tetapi itu

tidak berarti bahwa stroke hanya terjadi pada orang lanjut usia

karena stroke dapat menyerang semua kelompok umur.

2) Jenis kelamin
16

Pria lebih berisiko terkena stroke dari pada wanita, tetapi

penelitian menyimpulkan bahwa justru lebih banyak wanita

yang meninggal karena stroke. Risiko pria 1,25 lebih tinggi

dari pada wanita, tetapi serangan stroke pada pria terjadi di

usia lebih muda sehingga tingkat kelangsungan hidup juga

lebih tinggi. Walau lebih jarang terkena stroke, pada umumnya

wanita terserang pada usia lebih tua, sehingga kemungkinan

meninggal lebih besar.

3) Riwayat stroke dalam keluarga

Stroke terkait dengan keturunan. Faktor genetik yang

sangat berperan antara lain adalah tekanan darah tinggi,

penyakit jantung, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah.

Cacat pada bentuk pembuluh darah (cadasil) mungkin

merupakan faktor genetik yang paling berpengaruh

dibandingkan faktor risiko stroke yang lain.

4) Ras dan etnik

Ada perbedaan risiko stroke di antara kelompok ras dan

etnik. Timbulnya stroke yang menyebabkan kematian di antara

orang Afro-Amerika hampir dua kali lipat dibandingkan orang

Amerika kulit putih. Orang Africa- Amerika lebih cenderung

terpengaruh penyakit genetik, seperti diabetes dan anemia yang

lebih memungkinkan terjadinya serangan stroke.


17

b. Faktor risiko yang dapat dikendalikan

1) Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko utama yang

menyebabkan pengerasan dan penyumbatan arteri. Pasien

hipertensi memiliki faktor risiko stroke empat hingga enam

kali lipat dibandingkan orang yang tanpa hipertensi dan sekitar

40 hingga 90 persen pasien stroke ternyata menderita

hipertensi sebelum terkena stroke.

2) Penyakit jantung

Penyakit jantung terutama yang disebut atrial fibrilation,

yakni penyakit jantung dengan denyut jantung yang tidak

teratur di bilik kiri atas. Denyut jantung di atrium kiri ini

mencapai empat kali lebih cepat dibandingkan di bagian-

bagian lain jantung. Ini menyebabkan aliran darah menjadi

tidak teratur dan terjadi pembentukan gumpalan darah.

Gumpalan-gumpalan inilah yang kemudian dapat mencapai

otak dan menyebabkan stroke.

3) Diabetes

Pasien diabetes memiliki risiko tiga kali lipat terkena

stroke dan mencapai tingkat tertinggi pada usia 50-60 tahun.

Setelah itu, risiko tersebut akan menurun. Namun ada faktor

penyebab lain yang dapat memperbesar risiko stroke karena


18

sekitar 40 persen pasien diabetes pada umumnya juga

mengidap hipertensi.

4) Kadar kolesterol darah

Penelitian menunjukan bahwa makanan kaya lemak jenuh

dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam tubuh dan

berpengaruh pada risiko aterosklerosis dan penebalan

pembuluh darah. Kadar kolesterol dibawah 200 mg/dl

dianggap aman, sedangkan di atas 240 mg/dl sudah berbahaya

dan menempatkan seseorang pada risiko terkena penyakit

jantung dan stroke.

5) Merokok

Merokok merupakan faktor risiko yang sebenarnya paling

mudah diubah. Perokok berat menghadapi risiko lebih besar

dibandingkan perokok ringan. Pada pasien perokok, kerusakan

yang diakibatkan stroke jauh lebih parah karena dinding bagian

dalam (endothelial) pembuluh darah otak (serebrovaskular)

biasanya sudah menjadi lemah. Ini menyebabkan kerusakan

yang lebih besar lagi pada otak sebagai akibat bila terjadi

stroke tahap kedua.

6) Alkohol berlebihan

Secara umum, konsumsi alkohol berlebihan meningkatkan

tekanan darah dan mempengaruhi kekentalan dan

penggumpalan darah sehingga memperbesar risiko stroke, baik


19

iskemik maupun hemoragik. Tetapi konsumsi alkohol yang

tidak berlebihan dapat mengurangi daya penggumpalan platelet

dalam darah.

7) Stress

Stres yang berlebihan akan mempengaruhi peningkatan

kadar hormon epinefrin yang menyebabkan naiknya tekanan

darah dan denyut jantung, sehingga akan mempermudah

kerusakan pembuluh darah. Stres juga akan memicu produksi

hormon adrenalin yang akan menimbulkan penyempitan

pembuluh darah jantung serta peningkatan denyut jantung,

sehingga menyebabkan suplai darah ke jantung mengalami

gangguan (Damayanti, 2011).

8) Obat-obatan terlarang

Penggunaan obat-obat terlarang seperti kokain dan

senyawa lainnya dapat menyebabkan stroke, di samping

memicu faktor risiko yang lain seperti hipertensi, penyakit

jantung, dan penyakit pembuluh darah. Kokain juga

menyebabkan gangguan denyut jantung (arrythmia) atau

denyut jantung jadi lebih cepat. Masing-masing menyebabkan

pembentukan pembuluh darah.


20

9) Cedera kepala dan leher

Cedera pada kepala atau cedera otak traumatik dapat

menyebabkan pendarahan di dalam otak dan menyebabkan

kerusakan yang sama seperti pada stroke hemoragik.

2.1.5 Patofisiologi

Susunan saraf keluar dari otak dan medulla spinalis masuk ke

dalam sel tubuh dan organ-organ pada waktu sel-sel saraf ini mati

karena stroke, maka fungsi-fungi tertentu akan menurun tergantung

area dan luasnya kerusakan otak (Priguna, 2014).

Pada dasarnya otak membutuhkan banyak suplai oksigen yang

didapatkan dari darah. Berat otak hampir 2,5% dari berat badan

seluruhnya, namun oksigen yang dibutuhkan hampir mencapai 20%

dari kebutuhan badan seluruhnya. Otak tidak mempunyai cadangan

oksigen, karena itu sangat tergantung pada kondisi aliran darah. Jika

suplai oksigen terputus lebih dari 6-8 menit kerusakan yang terjadi

tidak akan bisa dipulihkan lagi. Karena itu, jika ada bagian otak yang

terganggu maka fungsinya juga akan terganggu. Apabila stroke

merusak bagian sebelah kanan otak, maka sisi tubuh sebelah kiri akan

terkena pengaruhnya, demikian pula sebaliknya (Priguna, 2014).

Dalam mempertahankan fungsi otak, harus diberikan oksigen

dan glukosa secara memadai. Baik oksigen maupun glukosa dikirim

lewat pembuluh darah dari jantung ke otak melalui dua nadi karotis
21

dan dua nadi vertebralis. Aliran darah dipengaruhi oleh tiga faktor

utama yaitu tekanan perfusi (yang terutama dipengaruhi aliran darah

sistematik), resistensi perifer pembuluh darah setempat dan faktor

komposisi darah (viskositas, koaguabilitas dan biokimia darah).

Timbulnya stroke merupakan manifestasi terganggunya salah satu

komponen aliran darah otak (Priguna, 2014).

2.1.6 Gambaran Klinis dan Diagnosis

a. Gambaran Klinik

Gejala neurologik yang timbul akibat stroke yang sangat

bervariasi tergantung dari tempat, luas dan jenis lesi.

1) Kelumpuhan lokal; hemiparesis.

2) Gangguan bicara/afasia, tidak mampu membaca dan menulis

3) Dimensi (menjadi pelupa), tidak dapat berhitung/kepandaian

menurun.

4) Vertigo (pusing), penglihatan terganggu.

5) TIA (Transient Ischemic Attack), biasanya sebelum ada

serangan kelumpuhan sementara gejala seperti di atas tetap

berlangsung, mulai dari beberapa menit sampai dengan 24 jam

kemudian tidak terasa gejala lagi.

6) Gangguan kesadaran pingsan sampai koma.


22

b. Diagnostik

1) Penemuan klinik : berdasarkan anamnesa atau pemeriksaan

klinis.

2) Pemeriksaan tambahan/laboratorium : Pemeriksaan darah

lengkap, tes darah koagulasi, tes kimia darah, tes lipid darah,

tes darah dalam situasi tertentu.

3) Pemeriksaan scanning : CT-scan, magnetic resonance imaging

(MRI), dan elektrocardiogram (EKG).

Berikut perbedaan gambaran klinis stroke stroke hemoragik dan

stroke non-hemoragik.

Tabel 2.1 Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Non-Hemoragik

Stroke Hemoragik Stroke Non


Gejala Klinis
PIS PSA Hemoragik
1.   Gejala defisit local Berat Ringan Berat/ringan
2.   SIS sebelumnya Amat jarang - +/ biasa
3.   Permulaan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
4.   Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/ tak ada
5.   Muntah pada Sering Sering Tidak, kecuali lesi di
awalnya batang otak
6.   Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali
7.   Kesadaran Bisa hilang Bisa hilang sebentar Dapat hilang
8.   Kaku kuduk Jarang Bisa  ada pada Tidak ada
permulaan
9.   Hemiparesis Sering sejak awal Tidak ada Sering dari awal
10. Deviasi mata Bisa ada Tidak ada mungkin ada
11.  Gangguan bicara Sering Jarang Sering
12. Likuor Sering berdarah Selalu berdarah Jernih
13.  Perdarahan Tak ada Bisa ada Tak ada
Subhialoid
14.  Paresis/gangguan N - Mungkin (+) -
III
Sumber : Priguna Sidharta (2014)
23

Gambar 2.1 Perbedaan Stroke Hemoragik dan Iskemik

Sumber : http://stroke-hemoragik.blogspot.co.id

2.1.7 Upaya Pencegahan Stroke

Menurut Bustan (2012), upaya pencegahan terhadap penyakit

stroke mempunyai pendekatan yang menggabungkan ketiga bentuk

upaya pencegahan dengan 4 faktor utama yang mempengaruhi

penyakit (gaya hidup, lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan).

a. Pencegahan Primer

Ditujukan terutama pada orang yang berisiko tinggi untuk

terkena penyakit stroke, yaitu :

1) Gaya hidup : Reduksi stres, makan rendah garam, lemak dan

kalori, exercise, no smoking, dan vitamin.

2) Lingkungan : Kesadaran atas stres kerja, kemungkinan

gangguan PB (lead).

3) Biologi : Perhatian terhadap faktor risiko biologis (jenis

kelamin, riwayat keluarga), efek aspirin.


24

4) Pelayanan Kesehatan : Health education dan pemeriksaan

tekanan darah.

b. Pencegahan Sekunder

Ditujukan pada orang yang pernah mendapat serangan stroke

dan ingin menghindari serangan stroke berikutnya, yaitu :

1) Gaya hidup : Manajemen stres, makanan rendah garam, stop

smoking, penyesuaian gaya hidup.

2) Lingkungan : Penggantian kerja jika diperlukan, family

counseling.

3) Biologi : Pengobatan yang patuh dan cegah efek samping.

4) Pelayanan Kesehatan : Pendidikan pasien dan evaluasi

penyebab sekunder.

c. Pencegahan Tersier

Proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri

secara maksimal atau usaha mempersiapkan pasien cacat secara

fisik, mental, sosial, untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai

kemampuan yang ada padanya, yaitu:

1) Gaya hidup : Reduksi stres, exercise sedang, stop smoking.

2) Lingkungan : Jaga keamanan dan keselamatan (rumah lantai

pertama, pakai wheel-chair) dan family support.

3) Biologi : Kepatuhan berobat, terapi fisik dan speach therapy.

4) Pelayanan Kesehatan : Emergency medical technic, asuransi.


25

2.1.8 Dampak Stroke

Stroke memberikan pengaruh atau dampak yang tidak baik bagi

pasien yaitu ketergantungan activities of daily living (ADL) yang

sangat tinggi setelah terkena serangan stroke dan penurunan aktivitas

itu terjadi sangat signifikan serta cepat. Menurut data yang diperoleh

setelah terjadi serangan stroke gangguan yang pertama dialami pasien

adalah activities of daily living (ADL) yang terjadi hampir 75%, hanya

57% orang yang dapat selamat dari serangan stroke (Duncan, 2011).

Kelemahan aktivitas fungsional yang terjadi pada pasien stroke

akan terus berlanjut sementara itu perbaikan dari activities of daily

living (ADL) akan bertahap kembali pada bulan satu sampai bulan

keenam pasca serangan stroke, akan tetapi perbaikan itu tidak akan

menjadi baik bila tidak di tunjang dengan penangganan yang baik pula

dan bila diukur dalam index barthel scorenya harus di atas 60 serta

penanganan rehabilitasi sejak dini akan membantu dalam perbaikan

aktivitas yang mengalami kelemahan. Salah satu penanganan yang

baik untuk dilakukan adalah dengan memberikan Range Of Motion

(ROM) pada pasien sesegera mungkin (Duncan, 2011).

2.2 Konsep Terapi Cermin (Mirror Therapy)

2.2.1 Definisi Terapi Cermin (Mirror Therapy)

Terapi cermin adalah intervensi terbaru yang berfokus pada

pergerakan anggota badan yang tidak rusak terapi cermin adalah


26

bentuk gambaran dimana cermin digunakan untuk menyampaikan

rangsangan visual ke otak melalui pengamatan terhadap bagian tubuh

seseorang yang tidak mengalami kelemahan (Sengkey, 2014). Terapi

cermin merupakan salah satu bentuk pengobatan alternatif pada

rehabilitasi stroke yang tergolong relatif baru, prinsip terapi ini adalah

pendekatan sensori motor, yaitu dengan cara melihat dan

menggerakan anggota gerak yang sehat di depan cermin, sedangkan

anggoa gerak yang paresis disembunyikan di belakang cermin,

sehingga seolah olah klien melihat gerakan tersebut dari anggota

gerak yang mengalami hempiparesis, tujuannya untuk menciptakan

ilusi visual pemulihan motorik dari anggota gerak yang mengalami

hemiparesis (Caires et al., 2016). Dengan cara ini otak dirangsang

untuk kembali mengenali rangsangan sensoris, terutama dari visual

(Kim, Lee and Song, 2014).

Ada tiga metode terapi cermin, yang pertama disebut latihan

unilateral (unilateral training), yaitu penderita diminta untuk melihat

anggota gerak yang sehat dalam cermin sambil membayangkan bahwa

benar-benar melihat anggota gerak yang paresis tanpa meggerakanya,

yang kedua, menbayangkan dan menggerakan anggota gerak yang

paresis seeprti yang sehat, latihan ini disebut latihan bilateral

(bilateral training), yang ketiga, membayangkan dan berusaha

menggerakan serta digerakan yang pasif oleh pemeriksa. Dari ketiga

metode tersebut, metode yang paling lebih efektif yaitu bilateral


27

training daripada unilateral training dalam memfasilitasi pemulihan

motorik, agar kedua tangan saat latihan sejuh mungkin tampak serupa,

maka tidak boleh memakai cincin, jam tangan atau gelang tangan

(Kim, Lee and Song, 2014).

Latihan mirror therapy adalah bentuk rehabilitasi/ latihan yang

mengandalkan dan melatih pembayangan/ imajinasi motorik klien

yang sifatnya menginduksi aktivitas saraf korteks sensori motor (Guo

et al, 2016), dimana cermin akan memberikan stimulasi visual kepada

otak (saraf motorik serebral yaitu ipsilateral atau kontralateral untuk

pergerakan anggota tubuh yang hemiparesis) melalui observasi

gerakan tubuh yang akan cenderung ditiru seperti pada cermin pada

tubuh yang mengalami gangguan (Dohle et al,., 2010). Sejumlah

strategi pengobatan yang saat ini banyak dibahas salah satunya mirror

theraphy (Thieme et al,. 2012) sebagai alternatif mirror theraphy

telah diusulkan sebagai potensi yang menguntungkan karena klien

dapat melakukan ini sendiri dan direkomendasikan sebagai aternatif

sederhana dan murah untuk mengobati fungsi motorik (Lin, et al.,

2012). Terapi cermn pada awalnya dikembangkan untuk mengurangi

nyeri tungkai bayangan dalam amputasi. Refleksi dari lengan yang

utuh dalam cermin memberi klien sensasi memiliki yang mampu

bergerak, yang menyebabkan penurunan rasa sakit. Pada tahun 1999,

Altschuler dkk memperkenalkan mirror therapy untuk terapi

hemiparesis pada pasien stroke.


28

1.2.4 Prosedur Mirror Therapy

Prosedur umum mirror therapy adalah klien duduk di depan

cermin yang sejajar dengan garis tengah yang menghalangi pandangan

anggota badan yang mengalami kelemahan otot yang diposisikan

dibelakang cermin. klien melihat ke satu sisi cemin lain, dan melihat

pantulan anggota ggerak yang normal dimana orientasinya sebagai

anggota badan yang mengalami kelemahan. Cara ini cocok untuk

menciptakan ilusi visual dimana pergerakan atau sentuhan ke anggota

tubuh yang nomal dapat dianggap mempengaruhi anggota tubuh yang

mengalami kelemahan. klien melakukan gerakan anggota badan yang

normal dan mengamati pantulan cermin yang ditumpangkan diatas

ektremitas yang tidak terlihat. Gerakan dilakukan selama 30 menit

untuk ekstremitas atas dan bawah 5 kali seminggu (Sengkey, 2014).

1.2.5 Gerakan Mirror Theraphy

Gerakan pada mirror theraphy dibedakan menjadi dua bagian,

yaitu :

1) Ekstremitas Atas

Penderita stroke duduk pada cermin yang sejajar denganya dan

berpotongan dibidang tubuh bagian sagital di daerah dada.

Bagian reflektif cermin menghadap ke sisi yang normal. Pada saat

klien melihat ke cermin, yang mereka lihat hanyalah sisi

ekstremitas yang tidak normal. Klien menatap cermin yang


29

mencerminkan tangan normal. Terapis memberi perintah untuk

menggerakan kedua anggota gerak, baik yang normal maupun

yang mengalami hemiparise. Anggota gerak yang mengalami

hemiparise tidak bergerak tapi refleksi cermin terhadap anggota

gerak yang normal memberikan orientasi bahwa itu adalah

anggota gerak yang mengalami hemiparise.

Gambar 2.2 Mirror Therapy Ekstremitas Atas


30

2) Ekstremitas Bawah

Penderita stroke bisa duduk di kursi. Cermin di tempatkan

diantara kaki pasien untuk membagi tubuh hemiparise dan non

hemiparise. Pasien diinstruksikan untuk melakukan plantar dan

dorsofeksi pada kedua kaki. Anggota gerak yang mengalami

hemiparise tidak bergerak tapi refleksi cermin terhadap anggota

gerak yang normal memberikan orientasi bahwa itu adalah

anggota gerak yang mengalami hemiparise (Sengkey, 2014).

Gambar 2.3 Mirror Therapy Ekstremitas Bawah

1.2.6 Mekanisme Mirror Theraphy

Konsep mirror theraphy telah diperkuat secara neurofisiologis.

Cermin tersebut memberi klien masukan visual yang tepat bahwa

refleki cermin dari lengan normal yang digerakkan terihat seperti

lengan yang mengalami hemiparise bergerak dengan normal. Proses

yang mendasari gambaran motorik serupa dengan gambaran aktif

selama pergerakan. Jaringan syaraf tiruan yang terlibat dalam gambar


31

motorik dan pelaksanaannya saling tumpang tindih, terutama didaerah

premotor, parietal, ganglia basal dan cerebelleum. Penggunaan cermin

dapat merekrut korteks promotor terhadap rehabilitasi motorik.

Kotrkes promotor memiliki fitur yang menunjukkan bahwa, mungkin

merupakan penghubung dari gambaran visual di cermin ke rehabilitasi

motorik. Peran terapi cemin dalam pengaruh gangguan sensorik masih

belum jelas karena masukan visual yang diberikan oleh pantuan cemin

di kombinasikan dengan sensasi tangan pasien tang berubah atau tidak

melalui korpus collosum atau melalui aktivasi neuron cermin

(Sengkey, 2014).

Saraf motorik bekerja untuk mengatur urutan otot berkedut

untuk menghasilkan gerakan terampil sederhana seperti: mencapai

kacang tanah, mendorong batu, atau memasukkan apel ke mulut.

Bagian dari neuron cermin ini juga berfungsi saat orang tersebut

hanya melihat orang lain melakukan gerakan yang sama. Cermin

neuron perlu melibatkan beberapa interaksi antara beberapa modalitas

(penglihatan, perintah motorik, dan propriosepsi) yang menunjukkan

bahwa mereka mungkin terlibat dalam efisiensi terapi cermin pada

stroke. Kelumpuhan stroke sebagian disebabkan oeh kerusakan

permanen yang sebenarnya dalam kapsul internal. Kemungkinan

tambahan adalah lesi selalu tidak lengkap. Mungkin ada sisa neuron

cermin yang berahan namun tidak aktif atau aktivitasnya terhambat

dan tidak mencapai ambang batas. Jadi, terapi cermin merupakan


32

bagian dari efifibilitasnya untuk merangsang neuron ini, sehingga

memberikan masukan visual untuk menghidupkan kembali neuron

motorik (Sengkey, 2014).

2.3 Konsep Kekuatan Otot

2.3.1 Definisi

Kekuatan otot adalah komponen kebugaran yang berhubungan

dengan kinerja saraf dan mekanik otot menghasilkan tegangan dan

tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis.

Kekuatan otot berarti juga kekuatan maksimal otot yang ditunjang

oleh otot merupakan kemampuan otot untuk menahan beban maksimal

pada aksis sendi. Kekuatan otot merupakan kemampuan otot untuk

berkontraksi dan meghasilkan gaya, ini sangat penting untuk

menghasikan kondisi fisik (Croix, 2012).

Kekuatan otot adalah kontraksi maksimal yang dihasilkan otot,

merupakan kemampuan untuk membangkitkan tegangan dalam suatu

tahanan. Menurut Irfan (2012) adalah kemampuan otot menahan

beban baik berupa beban eksternal maupun beban internal.

2.3.2 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Otot

Otot pada tubuh manusia akan mengalami perubahan sesuai

fungsi fungsi yang dibutuhkan, berikut perubahan otot antara lain

(Irawandi, 2018):
33

1. Hipertrofi Otot

Otot memilki masa yang besar akibat peningkatan jumlah filamen

aktin dan filamen miosin dalam setiap serat otot. Ini terjadi karena

respon kontraksi otot yang berlangsung pada kekuatan yang

maksimal.

2. Atropi Otot

Otot mengalami penurunan masa yang di akibatkan otot tidak

digunakan dalam waktu yang cukup lama. Kecepatan

penghancuran protein kontraktil jumlah miofibril berlangsung lebi

cepat dari pada kecepatan penggantinya.

3. Hiperplasia Otot

Hiperplasia terjadi akibbat rangsangan zat karsinogonik atau

bahan kimia yang dapat menimbulkan terjadinya kanker karena

pembesaran otot yang abnormal. Pada proses hipertrofi serat otot

terdapat peningkatan jumlah serat otot.

2.3.3 Sumber energi untuk gerak otot

Adenoshine Tri Phosphat (ATP) merupakan sumber energi

utama untuk kontraksi otot. ATP berasal dari oksidasi karbohidrat dan

lemak. Kontraksi otot merupakan interaksi antara aktin dan miosin

yang memerlukan ATP. Fosfokreatin merupakan persenyawaan fosfat

energi yang terdapat dalam konsentrasi tinggi pada otot. Fosfokreatin

tidak dapat dipakai langsung sebagai sumber energi, tetapi


34

fosfokreatin dapat memberikan energinya kepada ATP (Purslow,

2017).

Pada otot lurik jumlah fosfokreatin lebih dari lima kali jumlah

ATP. Pemecahan ATP dan fosfokreatin untuk menghasilkan energi

tidak memerlukan oksigen bebas. Oleh karena itu, fase kontraksi otot

sering disebut sebagai fase anaerob (Fryer, 2011).

2.3.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kekuatan Otot

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan otot yaitu

(Irawandi, 2018):

1. Jenis kelamin : perbedaan kekuatan otot pada laki-laki dan wanita

rata-rata kekuatan wanita 2/3 dari kekuatan otot laki-laki

disebabkan karena ada perbedaan otot dalam tubuh.

2. Usia : pada usia pubertas kecepatan perkembangan kekuatan otot

laki-laki sama dengan wanita. Baik laki-laki maupun wanita

mencapai kurang dari 25tahun, kemudian menurun 65%-75%

pada usia 65 tahun. Sehingga peningkatan kekuatan otot yang

dilakukan pada usia tua menunjukan hasil yang rendah

dibandingkan pada usia muda.

2.3.5 Penilaian Kekuatan Otot

Menurut Lumbantombing (2013) penilaian kekuatan otot

dinyatakan dengan menggunakan skala dari 0-5, yaitu:


35

Nilai Kekuatan otot


0 Paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada
otot.
1 Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari
tonus otot yang dapat diketahui dengan palpasi dan tidak
dapat menggerakan sendi.
2 Otot hanya mampu menggerakan persendian tetapi
kekuatannya tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.
3 Disamping dapat mengerakkan sendi, otot juga dapat
melawan pengaruh gravitasi tetapi tidak kuat terhadap
tahanan yang diberikan oleh pemeriksa
4 Kekuatan otot seperti pada tingkat 3 disertai dengan
kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan
5 Kekuatan otot normal

2.3.6 Alat Ukur

Pengukuran kekuatan otot biasa menggunakan manual muscle

testing (MMT) yang mengukur kekuatan otot pasien dalam melawan

gravitasi, serta melakukan rentan gerak sesuai dengan instruksi

pemerksa. Hasil dari pengkajian kekuatan otot akan menentukan

intervensi yang aka diberikan seperti, beban berat yang akan

digunakan, gerakan yang akan diinstruksikan.

2.4 Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan Otot

Masalah fisik paling sering terjadi pasien pasca stroke ialah

hemipharase pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Mirror therapy

adalah teknik rehabilitasi yang menggunakan media cermin dengan cara

meletakkan cermin tersebut secara midsagittal terhadap tubuh dengan posisi


36

esktremitas yang sakit berada dibelakang cermin dan tangan yang sehat

berada didepan cermin. Posisi pasien melihat refleksi bayangan yang ada

dicermin dan tangan yang sehat digerakkan secara fleksi, ekstensi, dan rotasi

mencakup pergelangan tangan dan jari-jari (Kim, 2016).

Hasil penelitian yang dilakukan Kusgiarti (2017) menunjukkan hasil

terdapat pengaruh yang signifikan latihan Mirror Therapy terhadap kekuatan

otot pasien stroke non hemoragik. t hitung = -2,428 dengan p value = 0,015.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muslim (2017) juga menunjukkan hasil

terdapat pengaruh mirror therapy terhadap kekuatan otot ekstremitas atas.

Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan dari hasil penelitian yang

dilakukan Setiyawan (2019) bahwa ada pengaruh mirror therapy terhadap

kekuatan otot pada pasien stroke sehingga dapat dipertimbangkan sebagai

salah satu tambahan tindakan keperawatan untuk meningkatkan kekuatan otot

dan memperbaiki fungsi motorik. Menurut Idrawati (2012) latihan

pergerakan khususnya rentang gerak bagi penderita stroke dapat

meningkatkan kemandirian pasien. Hal ini dikarena- kan dengan latihan gerak

maka otot pun akan bermobilisasi. Mobilisasi otot dapat mencegah kekakuan

otot, melancarkan sirkulasi darah, akan meningkatkan massa otot. Apabila hal

ini dilakukan dengan rutin maka toleransi otot untuk melakukan gerakan pun

akan meningkat.

2.5 Kerangka Teori


37

Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Penurunan
kekuatan otot: kekuatan otot
pasien stroke non
1. Jenis Kelamin hemoragik
2. Usia

Teknik Relaksasi
Nafas Dalam

Peningkatan
kekuatan otot
Kekuatan Otot
Tidak terjadi
peningkatan otot

Bagan 2.1 Kerangka Teori


Sumber dimodifikasi oleh peneliti dari Muttaqin (2018), Irfan (2012), Sengkey,
(2014) dan Lumbantobing (2013)
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

3.1.1 Paradigma Penelitian

Masalah yang sering dialami oleh penderita stroke dan yang

paling ditakuti adalah gangguan gerak. Penderita mengalami kesulitan

saat berjalan karena mengalami gangguan pada kekuatan otot,

keseimbangan dan koordinasi gerak. Pasien stroke bukan merupakan

kasus kelainan muskuloskeletal, tetapi kondisi stroke merupakan

kelainan dari otak sebagai susunan saraf pusat yang mengontrol dan

mencetuskan gerak dari system neuromuskuloskeletal. Secara klinis

gejala yang sering muncul adalah hemiparesis (Kusgiarti, 2017).

Menurut Akner (2005) dalam Kusgiarti (2017) Pada pasien stroke

70 - 80% pasien mengalami hemiparesis (kelemahan otot pada salah

satu sisi bagian tubuh) dengan 20% dapat mengalami peningkatan

fungsi motorik dan sekitar 50% mengalami gejala sisa berupa gangguan

fungsi motorik / kelemahan otot pada anggota ekstrimitas bila tidak

mendapatkan pilihan terapi yang baik dalam intervensi keperawatan

maupun rehabilitasi pasca stroke.

Selain terapi rehabilitasi ROM yang sering dilakukan baik

unilateral maupun bilateral, terdapat alternative terapi lainnya yang bisa

diterapkan dan dikombinasikan serta diaplikasikan pada pasien stroke


39

untuk meningkatkan status fungsional sensori motorik dan merupakan

intervensi yang bersifat non invasif, ekonomis yang langsung

berhubungan dengan sistem motorik dengan melatih/ menstimulus

ipsilateral atau korteks sensori motorik kontrateral yang mengalami lesi

yaitu terapi latihan rentang gerak dengan menggunakan media cermin

(mirror therapy). Terapi ini mengandalkan interaksi persepsi visual-

motorik untuk meningkatkan pergerakan anggota tubuh yang

mengalami gangguan kelemahan otot pada salah satu bagian sisi tubuh/

hemiparesis (Kang, 2012)

Berdasarkan paradigma yang telah diuraikan maka dapat

digambarkan dalam kerangka konsep penelitian berikut ini

Variabel Independen Variabel Dependen

Terdapat
Hemiparesis peningkatan
Pasien stroke Mirror
therapy Kekuatan otot
non hemoragik
Tidak terdapat
peningkatan

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian


Sumber : Modifikasi Muttaqin (2018), Irfan (2012), Sengkey, (2014) dan
Lumbantobing (2013)

3.1.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian noneksperimental

dengan menggunakan pendekatan literatur (literature review).

Literature review adalah ringkasan tertulis mengenai artikel dari jurnal,

buku, dan dokumen lain yang mendeskripsikan teori serta informasi


40

baik masa lalu maupun saat ini, mengorganisasikan pustaka ke dalam

topik dan dokumen yang dibutuhkan untuk proposal penelitian. Dalam

penelitian pendidikan, peneliti biasanya mementingkan kajian pustaka

yang diambil dari artikel pada jurnal. Namun demikian, peneliti juga

membutuhkan informasi lain yang diambil dari makalah konferensi,

buku, dan dokumen pemerintah (Creswell, 2016).

Pendekatan literature yang digunakan adalah sistematik literature

review. Sistematik literature review (SLR) adalah menelaah,

merangkum, dan menginterpretasi seluruh penemuan masalah pada

suatu topik penelitian serta menjawab pertanyaan penelitian yang telah

ditetapkan sebelumnya (Kitchenham dan Charters, 2017).

Penulis melakukan studi literatur ini setelah menentukan topik

penulisan dan ditetapkannya rumusan masalah, sebelum terjun ke

lapangan (Nursalam, 2016)

3.1.3 Variabel Penelitian

Dalam penelitian keperawatan terdapat beberapa jenis variabel,

diantaranya (Hidayat, 2014):

a. Variabel Independen (Variabel Bebas)

Variabel independent ini merupakan variabel yang menjadi

sebab perubahan atau timbulnya variabel dependent (terikat).

Variabel ini juga dikenal dengan nama variabel bebas artinya bebas

dalam mempengaruhi variabel lain seperti variabel prediktor, resiko


41

atau kausa (Hidayat, 2014). Variabel Independent dalam penelitian

ini adalah mirror therapy.

1) Definisi konseptual: Mirror Therapy adalah bentuk rehabilitasi

dengan menggunakan cermin untuk menyampaikan rangsangan

visual ke otak melalui pengamatan terhadap bagian tubuh

seseorang yang tidak mengalami kelemahan (Sengkey, 2014).

2) Alat Ukur: Standar Operasional Prosedur Mirror therapy

3) Hasil Ukur: \

a) diberikan mirror therapy

b) tidak diberikan mirror therapy

b. Variabel Dependen

Variabel dependent merupakan variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini tergantung dari

variabel bebas terhadap perubahan. Variabel ini juga disebut sebagai

variabel efek, hasil, outcome atau event (Hidayat, 2014). Variabel

terikat atau variabel dependent dalam penelitian ini adalah kekuatan

otot.

1. Definisi Konseptual: Kekuatan otot adalah kemampuan otot

menahan beban baik berupa beban eksternal maupun beban

internal (Irfan, 2012).

2. Alat Ukur: Manual Muscle Testing (MMT)

3. Hasil Ukur: Numerik, skala dari 0-5 dengan skala ukur rasio
42

3.2 Populasi Dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/

subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2017). Populasi dalam penelitian ini adalah

-pasien stroke non hemoragik yang mengalami hemiparesis.

3.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki

oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2017).

Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 3 jurnal Indonesia dan 2

jurnal luar negeri (internasional). Adapun jurnal yang dipilih adalah

jurnal penelitian tentang pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan

Otot pasien stroke yang didapatkan dari media internet yang terdiri dari

jurnal penelitian yang dilakukan peneliti diberbagai perguruan tinggi

negeri maupun jurnal internasional.

a. Kriteria inklusi

1) Jurnal dan arikel ilmiah yang dipublikasikan 5 tahun terakhir

mulai dari tahun 2015 hingga tahun 2020

2) Bahasa yang digunakan dalam jurnal dan artikel ilmiah harus

bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia

3) Jenis jurnal atua artikel ilmiah merupakan artikel orginal tidak

dalam bentuk publikasi tidak asli seperti surat ke editor, tidak


43

dalam bentuk abstrak saja maupun buku artikel dalam bentuk

full teks

4) Tema isi jurnal dan artikel ilmiah tentang pengaruh mirror

therapy terhadap kekuatan otot pasien stroke.

b. Kriteria eklusi

1) Jurnal dan artikel yang dipublikasikan lebih dari 10 tahun.

2) Jurnal dan artikel yang bertemakan bukan tentang pengaruh

mirror therapy terhadap kekuatan otot pasien stroke.

3.3 Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil-hasil

penelitian yang sudah dilakukan dan diterbitkan dalam jurnal online nasional

dan internasional. Dalam melakukan penelitian ini peneliti melakukan

pencarian jurnal penelitian yang dipublikasikan di internet menggunakan

seach engine ProQuest, PubMed, Research Gate, SagePub dan Schoolar

dengan kata kunci: pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan Otot pasien

stroke. Proses pengumpulan data dilakukan dengan penyaringan berdasarkan

kriteria yang ditentukan oleh penulis dari setiap jurnal yang diambil.

Literature review dimulai dengan materi hasil penulisan yang secara

sekuensi diperhatikan dari yang paling relevan, relevan, dan cukup relevan.

Kemudian membaca abstrak, setiap jurnal terlebih dahulu untuk memberikan

penilaian apakah permasalahan yang dibahas sesuai dengan yang hendak


44

dipecahkan dalam suatu jurnal. Mencatat poin-poin penting dan relevansinya

dengan permasalahan penelitian.

Setiap jurnal yang telah dipilih berdasarkan kriteria, dibuat sebuah

kesimpulan yang menggambarkan penjelasan pengaruh mirror therapy

terhadap kekuatan otot pasien stroke. Sebelum penulis membuat kesimpulan

dari beberapa hasil literatur, penulis akan mengidentifikasi dalam bentuk

ringkasan secara singkat berupa tabel yang beirisi nama penulis, tahun

penulisan, rancangan studi, sampel, instrumen (alat ukur), dan hasil

penelitian. Setelah hasil penulisan dari beberapa literatur sudah dikumpulkan,

penulis akan menganalisa penerapan pengaruh Mirror Therapy Terhadap

Kekuatan Otot pasien stroke.

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1 Persiapan Penelitian

a. Mencari teori dan literatur yang berkaitan dengan masalah penelitian

dari berbagai sumber pustaka seperti buku-buku kesehatan, jurnal,

dan internet

b. Menyusun Proposal.

c. Menentukan jurnal penelitian yang berkaitan dengan tema penelitian

yang diambil oleh peneliti.

3.4.2 Tahap pelaksanaan

a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi, yaitu

pencatatan secara sistematis terhadap jurnal maupun hasil penelitian


45

yang telah dipublikasikan dan studi kepustakaan yang terkait dengan

pengaruh mirror therapy terhadap kekuatan otot pasien stroke.

b. Tabulasi data. Apabila data sekunder yang telah terkumpul semua,

selanjutnya peneliti akan memasukkan data ke dalam Literature

Review Matrix.

c. Analisis data. Setelah proses tabulasi data kemudian peneliti

melakukan analisis data dengan menggunakan rancangan penelitian

deskriptif.

d. Menarik Kesimpulan. Setelah diolah dan dianalisis oleh peneliti

kemudian peneliti akan menarik kesimpulan dari hasil dan

pembahaan penelitian yang dibuat.

3.4.3 Tahap Akhir

a. Penyusunan laporan akhir. Penyusunan laporan akhir akan dilakukan

mulai bulan Juni 2020

b. Sidang atau persentase hasil penelitian akan dilakukan pada bulan

Juli 2020

c. Pendokumentasian hasil penelitian

d. Menyusun laporan penelitian

3.5 Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini adalah menggunakan analisa hasil

penelitian orang lain, apakah hasil penelitian orang lain tersebut layak diambil

sebagai salah satu sampel dalam penelitian anda atau tidak. Instrumen yang
46

digunakan untuk analisa data ini adalah dengan menggunakan JBI Critical

Appraisal for Experimental Studies guna melakukan proses evaluasi dan

analisa terhadap artikel yang di review, terutama untuk melihat hasil,

validitas, serta relevansi artikel dengan penelitian yang akan dilakukan dan

penelitian eksperimental lainnya.

3.6 Etika Penelitian

Untuk menjaga tidak terjebak dalam unsur plagiat, penulis akan mencatat

sumber informasi dan mencantumkannya ke dalam daftar pustaka. Jika

memang informasi berasal dari ide atau hasil penulisan orang lain. Membuat

catatan, kutipan, atau informasi yang disusun secara sistematis sehingga

penulisan dengan mudah dapat mencari kembali jika sewaktu-waktu

diperlukan (Nursalam, 2016).

Adapun batas plagiat dalam penelitian ini sebesar 35% dengan

menggunakan aplikasi duplichecker online.


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. (2016). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.


Bustan, Nadjib M. (2012)., Pengantar Epidemiologi. edisi revisi. Jakarta: Rineka
Cipta.

Caries, T. A. (2016)., Immediate effect of mental practice with and without


Mirror Therapy on Muscle activation in Hemiparetic Stroke Patients. Juornal
of Bodywork and Movement Therapies. Elsevier Ltd (2017). Doi: 10.10161/j-
jbmt.2016.12.010. diperoleh tanggal 02-04-2020: 09.38 WIB

Creswell, J. W. (2016). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan


Mixed. Yogjakarta: PT Pustaka Pelajar

Croix, D. S. (2007) Muscle strength, Paediatric Exercise Physiology. Elsevier


Ltd. doi: 10.1016/B978-0-443-10260-8.50008-4. diperoleh tanggal 22-04-
2020: 10.19 WIB

Cunningham, F.G. (2015)., Obstetric Wiliam. Jakarta: EGC.

Dohle, C. Pullen J, Nakaten A, Kust Jutta, Rietz C. (2010)., Neurorehabilitation


and Neural Repair. doi: 10.1177/1545968308324786. diperoleh tanggal 21-
04-2020: 10.07 WIB

Duncan, et al., (2011)., Body- Weight- Supported Treadmill rehabilitation after


Stroke. http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa1010790. diperoleh
tanggal 02-04-2020: 23.00 WIB

Fryer, G. (2011) Chapter 35 - Muscle energy approaches, Neck and Arm Pain
Syndromes. Elsevier Ltd. doi: 10.1016/B978-0-7020-3528-9.00035-2.
diperoleh tanggal 07-04-2020: 23.30 WIB.

Guo, F, Xu Qun, Abo Salem H, Yao Y, Lou J, Huang (2016)., The neuronal
correlates of mirror therapy: A functional magnetic resonance imaging study
on mirror-induced visual illusions of ankle movements’, Brain Research.
Elsevier, 1639, pp. 186–193. doi: 10.1016/j.brainres.2016.03.002. diperoleh
tanggal 07-04-2020: 23.10 WIB.

Hardiyanti Lulus. (2013). Pengaruh Mirror Therapy Dibandingkan Sham


Therapy Terhadap Perbaikan Fungsi Tangan (Studi Intervensi Pada Pasien
Strok Fase Pemulihan). http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351637-SP-Lulus
% 20Hardiyanti.pdf. diperoleh tanggal 26-04-2020: 08.19 WIB.

Hidayat, A.A..(2014). Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknis Analisis


Data. Jakarta : Salemba Medika
Irawandi. (2018). Perbedaan Pemberian Kombinasi Terapi Cermin Dan Rom
(Mirror Therapy & Range Of Motion) Dengan Rom Terhadap Kekuatan
Otot Ekstremitas Atas & Tahap Penerimaan Diri Pada Klien Stroke
Dengan Hemiparesis Di Ruang VII Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.,
http:// repository.unair.ac.id/78016/2/TKP%2073_18%20Ira%20p.pdf.
diperoleh tanggal 17-04-2020: 10.41 WIB.
Irdawati. (2012). Latihan Gerak Terhadakeseimbangan Pasien Stroke Non
Hemoragik Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. journal.unnes.ac.id ›
nju › kemas › article › download. Diperoleh tanggal 02-04-2020: 07.43

Irfan, Muhammad. (2012). Fisiotrapi Bagi Insan Stroke. Yogyakarta: Graha Ilmu

Kang, et al. (2012). Upper Extremity Rehabilitation of Stroke:Facilitation of


Corticospinal Excitability Using Virtual Mirror Paradigm. Journal of
Neuroengineering and Rehabilitation 9:71. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/
23035951/. Diperoleh tanggal 04-05-2020: 12.52 WIB

Kim, Lee and Song. (2014)., Effect of Functional Electrical Stimulation With
Mirror Therapy on Upper Extremy Motor Function In Poststroke Patients.,
Journal of Stroke and Cerebrovascular Disease. Elsevier Ltd, 23(4), pp 655-
661. Doi 10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2013.06.017. diperoleh tanggal 19-
04-2020: 09.43 WIB.

Kim, M. (2016). The Effect of mirror therapy on balance ability of subacute


stroke patients. Hong Kong Physiotherapy Journal, 27-32.

Kitchenham L dan Charters M. 2017. Systemic Litetarure Review. Int J Software


Engineering Group School of Computer Science and Mathematics. 52 (2017):
792-805

Kusgiarti dan Agusman. (2017)., Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan


Otot Pasien Stroke Non Hemoragik Di RSUD Kota Semarang.,
https://pdfs.semanticscholar.org/8484/d3580af2876885eeb3472b1b58fa2bef8
f38.pdf., diperoleh tanggal 08-05-2020: 11.46 WIB

Lin, K, Chen T, Huang Chuan P, Wu Yi C, Huang Lin W, Yang Wen S, Lai Tsz
H, Lu Ju H.(2012)., Effect of mirror therapy combined with somatosensory
stimulation on motor recovery and daily function in stroke patients : A
pilot study. Journal of the Formosan Medical Association. Elsevier Taiwan
LLC, pp. 1–7. doi: 10.1016/j.jfma.2012.08.008. diperoleh tanggal 18-05-
2020: 10.15 WIB.

Lumbantobing. (2012). Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. cetakan


ke 15. FKUI. Jakarta
Lydia, Arfianti. (2011). Efek Penambahan Terapi Cermin Pada Rehabilitasi
Paresis Tangan Metode Standar Terhadap Pemulihan Motorik Dan Fungsi
Tangan Penderita Pasca Stroke. http://repository.unair.ac.id/36462/1/gdlhub-
gdl-s2-2012-arfiantily-23048-ppds-ifr-k.pdf., diperoleh tanggal 06-05-2020:
08.40 WIB.

Mardjono & Priguna (2014)., Neurologi Klinis Dasar, Edisi 16, Dian Rakyat

Muslim (2017)., Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas


Atas Pada Pasien Stroke Iskemik Di RSUD Majalaya Kabupaten Bandung.,
perpus.fikumj.ac.id.  

Pandian, et al (2017)., Stroke Epidemiology in South, East and South East Asia: A
Review. J Stroke 2017; 19. 286-294. DOI: 10.5853/jos.2017.00234

Kemenkes RI (2013) Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes RI

Misbach J. (2011) Guideline Stroke PERDOSSI: Jakarta..

Misbach J dan Soertidewi. (2011). Epidemiologi Stroke. Stroke. Aspek


Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Badan Penerbit FK UI. Jakarta.

Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Selemba


Medika.

Purslow, P. P. (2017) The Structure and Growth of Muscle, Lawrie´s Meat


Science. doi: 10.1016/B978-0-08-100694-8.00003-0. Diperoleh tanggal 01-
03-2020: 10.43 WIB

Sengkey. (2014). Mirror Therapy In Stroke Rehabilitation. Jurnal Biomedik


(JBM), Volume 6, Nomor 2, Juli 2014, hlm. 84-90. ejournal.unsrat.ac.id ›
article. Diperoleh tanggal 09-04-2020: 08.06 WIB

Setiyawan, (2019)., Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Kekuatan Otot


Ekstremitas Pada Pasien Stroke di RSUD dr. Moewardi

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung :


Alfabeta, CV

Sutrisno, Alfred. (2010). Stroke? you must know before you get it. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama

Thieme, H, Bayn Maria, Wurg Marco, Zange Christian, Pohl Marcus, Behrens
Johann.(2012). Mirror therapy for patients with severe arm paresis after
stroke – a randomized controlled trial. doi: 10.1177/0269215512455651.
Diperoleh tanggal 13-05-2020: 10.10 WIB
WHO. Global Burden of Stroke. 2014. http://www.who.int/cardiovascular_
diseases/en/cvd_atlas_15_burden_st roke.pdf. diperoleh tanggal 24-04-2020
Lampiran: SOP

Standar Operasional Prosedur


Terapi Cermin

1. Definisi

Terapi cermin merupakan salah satu bentuk pengobatan alternatif pada

rehabiitasi stroke yang tergolong relatif baru, prinsip terapi ini adalah

pendekatan sensori motor, yaitu dengan cara melihat dan menggerakan

anggota gerak yang sehat didepan cermin, sedangkan anggoa gerak yang

paresis disembunyikan dibelakang cermin, sehingga seolah olah pasien

melihat gerakan tersebut dari anggota gerak yang mengalami hempiparesis

, tujuannya untuk menciptakan ilusi visual pemulihan motorik dari anggota

gerak yang mengalami hemiparesis

2. Tujuan

Meningkatkan kekuatan otot dan mobilitas pada pasien stroke dengan

hemiparesis.

3. Persiapan Alat

Cermin dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 30 cm dan tinggi 25 cm.

4. Persiapan Klien

1. Jelaskan maksud dan tujuan dari tindakan yang akan dilakukan.

2. Atur kenyamanan dan keamanan klien.

5. Prosedur Kerja.

1. Atur posisi tbuh pasien duduk atau setengah duduk.

2. Ratakan cermin diantara kedua lengan atau tungkai.


3. Instruksikan kepada klien agar lengan / tungkai yang sehat digerakan

( keatas dan ke bawah ) didepan crmin dan diikuti oleh lengan /

tungkai yang sakit dibelakang cermin.

4. Saat menggerakkan lengan / tungkai , anjurkan pasien untuk melihat

gerakan didepan cermin ,kemudian sarankan untuk merasakan atau

membayangkan bahwa lengan / tungkai yang mengaami paresis turut

bergerak.

5. Gerakan lengan / tungkai dilakukan berulang-ulang masing – masing 8

kali gerakan selama 10 menit.

6. Evaluasi

Respon klien selama terapi dilakukan.


Lampiran: Matriks Literatur

MATRIKS LITERATUR PENGARUH MIRROR THERAPY TERHADAP KEKUATAN OTOT


PADA PASIEN STROKE NON HEMOROGIK

Metode Penelitian & Jumlah


No Penulis & Tahun Terbit Judul Penelitian Hasil Penelitian
Pengumpulan Data Sampel
E-Library (Skripsi, Tesis, Disertasi) Perguruan Tinggi
1

Anda mungkin juga menyukai