Anda di halaman 1dari 24

PAPPER

Hifema
Disusun Sebagai Tugas Mengikuti kepaniteraan Klinik Stase (KKS) SMF

Ilmu Mata Rumah Sakit Haji Medan Sumatra Utara.

Oleh:

Aji Sukma Bayu Saputra

19360227

Pembimbing :

dr. Ayu Nur Qomariyati, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU MATA


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ilmiah mengenai hifema untuk memenuhi tugas dalam
menjalankan kepaniteraan klinik pada stase ilmu penyakit mata.

Referat ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan referat ini. Untuk itu
penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak, termasuk
kepada dr. Ayu Nur Qomariyati, Sp. M, selaku preseptor dari penulis.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar penulis dapat memperbaiki referat ini kedepannya.

Akhir kata penulis berharap semoga referat tentang hifema ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

    
                                                                          Medan, Desember 2020
    
                                                                                            Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ............................................................................................ ii

Daftar Isi ..................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi ................................................................... 6

2.2 Definisi .......................................................................................... 10

2.3 Klasifikasi ...................................................................................... 11

2.4 Etiologi .......................................................................................... 12

2.5 Patofisiologi …….......................................................................... 13

2.6 Diagnosis ……............................................................................... 15

2.7 Penatalaksanaan ............................................................................. 16

2.8 Komplikasi ..................................................................................... 20

2.9 Prognosis ………………………………………………………….. 22

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 23

Daftar Pustaka .............................................................................................. 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat
mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan rongga
orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi
mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab yang
sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda, karena
kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang parah. Dewasa
muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering mengalami
trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya kecelakaan di
rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu lintas.

Prevalensi kebutaaan akibat trauma okuli secara nasional belum diketahui dengan
pasti, namun pada Survey Kesehatan Indra Penglihatan dan Pendengaran pada
tahun 1993-1996 didapatkan bahwa trauma okuli dimasukkan ke dalam penyebab
kebutaan lain-lain sebesar 0,15% dari jumlah total kebutaan nasional yang
berkisar 1,5%. Trauma okuli juga bukan merupakan 10 besar penyakit mata yang
menyebabkan kebutaan.

Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli perforans dan
trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli berdasarkan
mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul dan trauma
tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan sinar X) dan trauma
kimia (bahan asam dan basa).

Sebagai seorang dokter harus memikirkan apakah kasus yang dihadapi merupakan
true emergency yang merupakan kasus sangat gawat dan harus ditangani dalam
hitungan menit atau jam, ataukah urgent case yang harus ditangani dalam
hitungan jam atau hari. Sehingga membutuhkan diagnosa dan pertolongan cepat
dan tepat. Trauma okuli merupakan kedaruratan mutlak di bidang ocular
emergency. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma okuli adalah

4
erosi kornea, iridoplegia, hifema, iridosiklitis, subluksasi lensa, luksasi lensa
anterior, luksasi lensa posterior, edema retina dan koroid, ablasi retina, ruptur
koroid, serta avulsi papil saraf optik.

Hifema merupakan keadaan dimana terjadi perdarahan pada bilik mata depan
dapat terjadi akibat trauma tumpul pada mata. Darah ini berasal dari iris atau
badan siliar yang robek. Menurut Duke Elder (1954), hifema disebabkan oleh
robekan pada segmen anterior bola mata yang kemudian dengan cepat akan
berhenti dan darah akan diabsorbsi dengan cepat. Hal ini disebut dengan hifema
primer. Bila oleh karena sesuatu sebab misalnya adanya gerakan badan yang
berlebihan, maka timbul perdarahan sekunder atau hifema sekunder yang
pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang.

Adanya hifema memiliki beberapa konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan


intraokuler, kornea terkena darah, pembentukan sinekia posterior atau anterior,
dan katarak. Oleh karena hifema dapat menyebabkan penurunan penglihatan yang
signifikan, maka setiap dokter harus memperhatikan diagnosis, evaluasi, dan tata
laksana hifema.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Bola Mata


Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan.
Dari luar ke dalam, lapisan–lapisan tersebut adalah : (1) sklera/kornea, (2)
koroid/badan siliaris/iris, dan (3) retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan
ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera, yang membentuk bagian putih
mata.

Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah darinya oleh
selubung fascia bola mata. Bola mata terdiri atas tiga lapisan dari luar ke dalam,
yaitu :

1. Tunica Fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opaque atau sklera dan
bagian anterior yang transparan atau kornea. Sklera merupakan jaringan ikat
padat fibrosa dan tampak putih. Daerah ini relatif lemah dan dapat menonjol
ke dalam bola mata oleh perbesaran cavum subarachnoidea yang mengelilingi

6
nervus opticus. Jika tekanan intraokular meningkat, lamina fibrosa akan
menonjol ke luar yang menyebabkan discus menjadi cekung bila dilihat
melalui oftalmoskop.
Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang terkait yaitu
vv.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya pada
batas limbus. Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama
merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. Tersusun atas lapisan-lapisan
berikut ini dari luar ke dalam sama dengan: (1) epitel kornea (epithelium
anterius) yang bersambung dengan epitel konjungtiva. (2) substansia propria,
terdiri atas jaringan ikat transparan. (3) lamina limitans posterior dan (4)
endothel (epithelium posterius) yang berhubungan dengan aqueous humour.

2. Lamina vasculosa
Dari belakang ke depan disusun oleh sama dengan : (1) choroidea (terdiri atas
lapis luar berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare
(ke belakang bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di
belakang tepi perifer iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus ciliaris dan
musculus ciliaris (3) iris (adalah diafragma berpigmen yang tipis dan
kontraktil dengan lubang di pusatnya yaitu pupil) iris membagi ruang diantara
lensa dan kornea menjadi bilik mata depan dan bilik mata belakang, serat-
serat otot iris bersifat involunter dan terdiri atas serat-serat sirkuler dan radier.
Bilik mata depan terletak antara persambungan kornea perifer dengan iris.
Pada bagian ini, terdapat jalinan trabekula yang dasarnya mengarah ke badan
siliar. Bagian dalam jalinan ini yang menghadap ke bilik mata depan dikenal
sebagai jalinan uvea. Bagian luar jalinan ini yang terletak dekat kanalis
schlemm dikenal sebagai jalinan korneoskleral. Serat-serat longitudinal otot
siliaris menyisip ke dalam jalinan trabekula tersebut. Kanal schlemn
merupakan kapiler yang dimodifikasi yang mengelilingi kornea. Dindingnya
terdiri dari satu lapisan sel. Pada dinding sebelah dalam terdapat lubang –
lubang sebesar 2 U, sehingga terdapat hubungan langsung antara trabekula
dan kanal schlemn. Dari kanal schlemn, keluar saluran kolektor, 20 – 30
buah, yang menuju ke pleksus vena di dalam jaringan sclera dan episkelera
dan vena siliaris anterior di badan siliar.

7
Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar

3. Tunica sensoria (retina)


Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya.
Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya
berkontak dengan corpus vitreum. Tiga perempat posterior retina merupakan
organ reseptornya. Ujung anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora
serrata, di tempat inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina
bersifat non-reseptif dan hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan
epitel silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi procesus
ciliaris dan bagian belakang iris.

Vaskularisasi Bola Mata


Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri ophtalmica, yaitu
cabang besar pertama arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini
berjalan di bawah nervus optikus dan bersamanya melewati kanalis optikus
menuju ke orbita. Cabang intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang
memasuki nervus optikus sebesar 8-15 mm di belakang bola mata. Cabang-
cabang lain arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang memvaskularisasi
glandula lakrimalis dan kelopak mata atas, cabang-cabang muskularis ke berbagai

8
otot orbita, arteri siliaris posterior longus dan brevis, arteri palpebra medialis ke
kedua kelopak mata, dan arteri supra orbitalis serta supra troklearis.

Vaskularisasi pada Bola Mata

Arteri siliaris posterior brevis memvaskularisasi koroid dan bagian nervus optikus.
Kedua arteri siliaris longus memvaskularisasi badan siliar, beranastomosis satu
dengan yang lain, dan bersama arteri siliaris anterior membentuk sirkulus
arteriosus major iris. Arteri siliaris anterior berasal dari cabang-cabang muskularis
dan menuju ke muskuli rekti. Arteri ini memvaskularisasi sklera, episklera,
limbus, konjungtiva, serta ikut membentuk sirkulus arteriosus major iris.

Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena oftalmika superior dan


inferior, yang juga menampung darah dari vena verticoasae, vena siliaris anterior,
dan vena sentralis retina. Vena oftalmika berhubungan dengan sinus kavernosus
melalui fisura orbitalis superior dan dengan pleksus venosus pterigoideus melalui
fisura orbitalis inferior.

9
Vaskularisasi pada Segmen Anterior

2.2. Definisi
Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan,
yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor
aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan
biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik
mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan.

Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat trauma tumpul
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Bila pasien duduk hifema
akan terlihat terkumpul dibawah bilik mata depan dan hifema dapat memenuhi
seluruh ruang bilik mata depan. Penglihatan pasien akan sangat menurun.
Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis. Pasien akan mengeluh sakit
disertai dengan epifora dan blefarospasme.

Gaya-gaya kontusif sering merobek pembuluh darah di iris dan merusak sudut
bilik mata depan. Darah di dalam aqueous dapat membentuk suatu lapisan yang
dapat terlihat (hifema). Glaukoma akut terjadi bila anyaman trabekular tersumbat
oleh fibrin dan sel atau bila pembentukan bekuan darah menimbulkan bokade
pupil.

10
2.3. Klasifikasi
a) Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi:
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma
pada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur
operasi mata).
3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier,
sehingga pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya
juvenile xanthogranuloma).
5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).

b) Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:


1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

c) Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade (Sheppard) :


1. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)
2. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA
(20%)
3. Grade III : darah mengisi hampir total COA (14%)
4. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA (8%)

11
Klasifikasi hifema

2.4. Etiologi
Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola,
batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat terjadi
karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan
hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor mata (contohnya
retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).

Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh
kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan
jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak
pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan. Pendarahan yang
timbul dapat berasal dari kumpulan arteri utama dan cabang dari badan ciliar,
arteri koroid, vena badan siliar, pembuluh darah iris pada sisi pupil. Perdarahan di
dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari luar. Timbunan
darah ini karena gaya berat akan berada di  bagian terendah.

12
2.5. Patofisiologi
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan limbus,
dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan
intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada sudut
mata. Perdarahan biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara
lain arteri-arteri utama dan cabang-cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan
vena-vena badan siliar.

Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata

Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga
bisa menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul dapat merobek
pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek
pembuluh darah iris dan merusak sudut COA. Tetapi dapat juga terjadi secara
spontan atau pada patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam ruang
COA, mengotori permukaan dalam kornea.

Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya mekanisme


hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular, spasme pembuluh
darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang
akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik mata
depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsung hingga 4-7
hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi. Setelah terjadi bekuan darah pada bilik
mata depan, maka plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator
kaskade koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang
sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama

13
dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar dari bilik mata depan
menuju jalinan trabekular dan aliran uveaskleral.

Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan primer.
Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya
timbul pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat
daripada yang primer. Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat
sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi
daribekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat
waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.

Penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah
merah melalui sudut COA menuju kanal schlem sedangkan sisanya akan
diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya
enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam
bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk
ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan
disebut hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat ditolong dengan
keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh
disertai glaukoma.

Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang
berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata.
Hal ini menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar.
Resesi sudut mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan
timbulnya glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel
radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien hifema. Pada keadaan
ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun darah sudah dikeluarkan. Perubahan
pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel kornea hingga ruptur
limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 %
kasus. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan
pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior
dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan),
dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.

14
2.6. Penegakan Diagnosis
Adanya riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan adanya
hifema. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA (dapat
diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, fotofobia
(tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra,
midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu
letargic, disorientasi atau somnolen.

Hifema pada 1/3 bilik mata depan Hifema pada ½ bilik mata depan

Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang
terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk,
hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah COA, dan hifema dapat
memenuhi seluruh ruang COA. Otot sfingter pupil mengalami kelumpuhan, pupil
tetap dilatasi (midriasis), dapat terjadi pewarnaan darah (blood staining) pada
kornea, anisokor pupil.

Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah


mengganggu media refraksi. Darah  yang mengisi kamera okuli  ini secara 
langsung dapat  mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat
bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler ini
disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa
darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor
aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada

15
di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan
kerusakan jaringan kornea.

Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus
dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.
b) Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler
okuler, glaukoma.
c) Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.
d) Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan
iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior.
e) Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.
f) Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO
normal atau meningkat ringan.

2.7. Penatalaksanaan
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak berjalan
demikian maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun perawatan penderita
hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada dasarnya adalah :
1) Menghentikan perdarahan.
2) Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3) Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan
mempercepat absorbsi.
4) Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang
lain.
5) Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka cara pengobatan penderita dengan


traumatik hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan
dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan
tindakan operasi.

16
Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi

1. Tirah baring (bed rest total)


Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala diangkat
(diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45o (posisi semi fowler). Hal ini
akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita
mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli
mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus
dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan beberapa penelitian
menunjukkan bahwa dengan tirah baring kesempurnaan absorbsi dari hifema
dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan
perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih pada anak-
anak, sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan kakinya ke tempat tidur dan
pengawasan dilakukan dengan sabar.

2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di antara
para ahli. Penggunaan bebat mata pada mata yang terkena trauma yaitu untuk
mengurangi pergerakan bola mata yang sakit.

3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah mutlak,
tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsinya
dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas digunakan obat-
obatan seperti :
 Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun
parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya :
Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C. Pada hifema
yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik (di pasaran obat
ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan darah tidak
terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk

17
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan
terjadinya perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250
mg dan hanya kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat
timbulkan gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga
imbibisio kornea. Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan intra
okular.
 Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan
dan kerugian sendiri-sendiri. Miotika memang akan mempercepat absorbsi,
tapi meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.
Pemberian midriatika dianjurkan bila didapatkan komplikasi iridiocyclitis.
Akhirnya beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian midriatika dan
miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja.
 Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox)
secara oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan
intraokuler. Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian
intravena urea, manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler,
walaupun ditegaskan bahwa cara ini tidak rutin. Pada hifema yang penuh
dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah diamox, glyserin, nilai selama
24 jam. Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas
normal, lakukan parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di kornea
Bila tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan
dievaluasi setiap hari. Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya
masih ada sampai hari ke 5-9 lakukan juga parasentesa.
 Kortikosteroid dan Antibiotika
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi
komplikasi iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika.

Perawatan Operasi

18
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder,
tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea. Dan tidak ada pengurangan dari
tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5 hari. Untuk
mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila tekanan bola mata
maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata maksimal > 35
mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan pembedahan
bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila ditemukan
tanda-tanda imbibisi kornea.

Tindakan operatif dilakukan untuk mencegah terjadinya sinekia anterior perifer


bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus bertahan selama 9 hari.
Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari keseluruhan
indikasinya adalah sebagai berikut :
1. Empat hari setelah onset hifema total
2. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
3. Total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih selama 4
hari (untuk mencegah atrofi optic)
4. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
5. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8-9 hari (untuk
mencegah peripheral anterior synechiae)
6. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan tekanan Intra ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika
Tekanan Inta Ocular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,
pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi optic pada 50
persen pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal
bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.

Tindakan operasi yang dikerjakan adalah :

19
1. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan
cairan/darah dari bilik depan bola mata dengan teknik sebagai berikut :
dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan
permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka
koagulum dari bilik mata depan akan keluar. Bila darah tidak keluar
seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologis.
Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu dijahut.
Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan diamox atau jika darah
masih tetap terdapat dalam COA pada hari 5-9.
2. Melakukan irigasi di bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik.
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka
korneoscleranya sebesar 1200

2. 8. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada traumatik hifema adalah
perdarahan sekunder, glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping
komplikasi dari traumanya sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina,
katarak dan iridodialysis. Besarnya komplikasi juga sangat tergantung pada
tingginya hifema.

1. Perdarahan sekunder
Komplikasi ini sering terjadi pada hari ke 3 sampai ke 6, sedangkan insidensinya
sangat bervariasi, antara 10 - 40%. Perdarahan sekunder ini timbul karena iritasi
pada iris akibat traumanya, atau merupakan lanjutan dari perdarahan primernya.
Perdarahan sekunder biasanya lebih hebat daripada yang primer. Terjadi pada 1/3
pasien, biasanya antara 2-5 hari setelah trauma inisial dan selalu bervariasi
sebelum 7 hari post-trauma.

2. Glaukoma sekunder

20
Timbulnya glaukoma sekunder pada hifema traumatik disebabkan oleh
tersumbatnya trabecular meshwork oleh butirbutir/gumpalan darah. Insidensinya
20% , sedang di RS: Dr: Soetomo sebesar17,5%. Adanya darah dalam COA dapat
menghambat aliran cairan bilik mata oleh karena unsur-unsur darah menutupi
sudut COA dan trabekula sehingga terjadinya glaukoma.Glaukoma sekunder
dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata
sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.

3. Hemosiderosis kornea
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel
darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schlemm sedangkan sisanya akan
diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya
enzim fibrinolitik di daerah ini.Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam
bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk
ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan
disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan
keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh
disertai glaukoma. Hemosiderosis ini akan timbul bila ada perdarahan/perdarahan
sekunder disertai kenaikan tekanan intraokuler. Gangguan visus
karenahemosiderosis tidak selalu permanen, tetapi kadang-kadang dapat kembali
jernih dalam waktu yang lama (2 tahun). Insidensinya ± 10%.3 Zat besi di dalam
bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat
menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.

4. Sinekia Posterior
Sinekia posterior bisa timbul pada pasien traumatik hifema.Komplikasi ini akibat
dari iritis atau iridocyclitis.Komplikasi ini jarang pada pasien yang mendapat
terapi medikamentosa dan lebih sering terjadi pada pada pasien dengan evakuasi
bedah pada hifema.Peripheral anterior synechiae anterior synechiae terjadi pada
pasien dengan hifema pada COA dalam waktu yang lama, biasanya 9 hari atau
lebih.Patogenesis dari sinekia anterior perifer berhubungan dengan iritis yang
lama akibat trauma atau dari darah pada COA. Bekuan darah pada sudut COA

21
kemudian bisa menyebabkan trabecular meshwork fibrosis yang menyebabkan
sudut bilik mata tertutup.

5. Atrofi optik
Atrofi optik disebabkan oleh peningkatan tekanan intra okular.

6. Uveitis
Penyulit yang harus diperhatikan adalah glaukoma, imbibisio kornea, uveitis.
Selain dari iris, darah pada hifema juga datang dari badan siliar yang mungkin
juga masuk ke dalam badan kaca (corpus vitreum) sehingga pada funduskopi
gambaran fundus tak tampak dan ketajaman penglihatan menurunnya lebih
banyak. Hifema dapat sedikit, dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman
penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokular masih normal.
Perdarahan yang mengisi setengah COA dapat menyebabkan gangguan visus dan
kenaikan tekanan intra okular sehingga mata terasa sakit oleh karena glaukoma.
Jika hifemanya mengisi seluruh COA, rasa sakit bertambah karena tekanan intra
okular lebih meninggi dan penglihatan lebih menurun lagi.

2.9. Prognosis
Prognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli
anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan  tanpa disertai glaukoma,
prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang
sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami
glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut
menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah
mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk (malam)
karena dapat menyebabkan kebutaan.

22
BAB III

PENUTUP

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan,
yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul
yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor
aqueus yang jernih.

Hifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola,
batu, peluru senapan angin, dan lain-lain. Selain itu, hifema juga dapat terjadi
karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan
hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor mata (contohnya
retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah (contohnya juvenile
xanthogranuloma).

Penegakan diagnosis hifema berdsarkan adanya riwayat trauma, terutama


mengenai matanya dapat memastikan adanya hifema. Pada gambaran klinik
ditemukan adanya perdarahan pada COA, kadang-kadang ditemukan gangguan
visus. Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal,
fotofobia, penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar
melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic, disorientasi
atau somnolen.

Penatalaksanaan hifema pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu


perawatan dengan cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai
dengan tindakan operasi. Tindakan ini bertujuan untuk : menghentikan
perdarahan, menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder, mengeliminasi darah
dari bilik depan bola mata dengan mempercepat absorbsi, mengontrol glaukoma
sekunder dan menghindari komplikasi yang lain, dan berusaha mengobati
kelainan yang menyertainya.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidarta. 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI press

2. Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Jakarta : FKUI press

3. Ilyas, Sidarta. 2002 Trauma Tumpul Mata : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta :
Sagung Seto, Hal : 263-6.

4. Vaughan, Daniel, G. 2000. Trauma : Oftamologi Umum edisi ke-14.


Jakarta : Widya Medika. Hal: 380,384.

5. Yanoff M, Duker JS. 2004. Ophtalmology. 2nd ed, p. 416-419. St Louis,


MO: Mosby
6. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit
Mata: Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Hal 137-139. Penerbit: FK Unair,
Surabaya.
7. Sumarsono, Contusio Oculi. Available at
http://www.portalkalbe/kalbe_ContusioOculi.html.
8. Sheppard J, Crouch E. Hyphema. 2008. Available at
http://emedicine.medscape.com/ophthalmology#anterior.
9. Rahman A, 2009. Trauma Tumpul Okuli. Available at http://belibis-
a17.com/2009/10/11/trauma-tumpul-okuli/.

24

Anda mungkin juga menyukai