Anda di halaman 1dari 44

“Gue lagi galau nih, parah!”, curhat vira kepada sahabatnya, hani di kamarnya. “Kenapa lo? Si
ferdi lagi?”, tanggap hani kepada sahabatnya itu. Vira pun menganggukkan kepalanya tanda mengiyakan
pertanyaan vira. “Loh?? Kenapa deh vir?? Lo kan udah lama banget sama dia?”, tanya hani dengan
penuh rasa penasaran kepada vira. “Gue juga gaktau nih, abisnya gue udah ga ngerasa yang… gimana ya
ni, yang kayak suka sama cowo gitu lho ke dia, ga deg-degan lagi kalo ketemu dia”, jawab vira. Hani pun
mengerutkan dahinya sambil menatap sahabatnya tersebut.

Bicara soal ferdi dan vira, mereka berdua sudah lama berpacaran selama hampir 5 tahun, sejak
mereka SMA hingga mereka kuliah kini. Bahkan mereka bisa dibilang sudah sangat serius, karena tidak
pernah putus nyambung seperti judul lagu yang sudah lama beredar. Teman-teman mereka sejak masa
SMA pun sudah mengetahui mengenai hubungan mereka yang sangat langgeng tersebut, bahkan
mereka juga mendukung hubungan mereka berdua, karena mereka berdua bisa dikatakan sebagai
pasangan yang sangat cocok, terbukti dengan hubungan mereka yang dapat bertahan hingga 5 tahun.

“Bentar deh vir, jangan bilang lo ada perasaan sm orang lain?”, tanya hani kepada sahabatnya
yang galau tersebut dengan nada yang menuduh. Vira pun tidak berani menatap mata sahabatnya itu
dan menjawab, “Ah, apaan sih lo? Lo kan tau, ferdi ngelarang gue segimananya buat deket sama cowo
lain? Ga mungkin lah ni!”. Hani pun kemudian menatap lama sahabatnya tersebut sambil tetap
mengerutkan dahinya. “Hmm.. Gue tau lo boong vir, coba jujur deh sm gue?”, sahut hani dengan penuh
keyakinan setelah beberapa lama menatap vira. Vira pun tak bisa mengelak tuduhan sahabatnya
tersebut, “Iyaa deh, gue ngaku, gue emang kayak ngerasain suka sama orang lain nii.. Gimana doong?
Tapi gue pikir ini cuma karena gue lagi jenuh banget sama sifatnya ferdi deh”.

Hani pun berpikir sejenak, karena di benaknya ia tidak heran kalau-kalau vira akan menjawab
seperti itu, mengingat hubungan vira dengan ferdi memang lebih banyak mengekangnya. “Oke, vir,
sekarang, lo tau kenapa lo jenuh sama ferdi gak?”, tanya hani untuk mencoba meyakinkan vira,
sahabatnya. “Gue pikir karena sifat dia yang terlalu mengekang gue deh ni, jadi gue ngerasa pengen
bebas banget, apalagi lagi masa-masa kuliah gini”, jawab vira. “Iya juga sih vir, tapi menurut gue lo tuh
cuma lagi jenuh aja, soal perasaan lo ke orang lain tuh kalo kata gue cuma sementara”, tanggap hani
untuk meyakinkan bahwa sahabatnya tersebut harus berpikir panjang sebelum mengambil keputusan.
“Haha, iya ni, lagian gue gak yakin juga dia suka sama gue juga”, sahut vira sembari senyum menegarkan
dirinya sendiri. “Coba deh lo ceritain ke gue apa yang bikin lo jadi gini dan lo bisa bilang lo suka sama
dia?”, tanya hani. “Ah, gausah deh han, menurut gue ga penting, gue nya aja yang ke-GR-an. Hahaha”,
candaan vira pun mengakhiri obrolan mereka hari itu.

Besoknya, vira pun seperti biasa berangkat ke kampus dengan langkah berat, karena ia tahu hari
ini adalah hari praktikum yang dirasa berat oleh vira setiap harinya. “Vir, tau gak, angkatan kita mau
dimajuin lho waktu kerja prakteknya, tau gak?”, sahut teman dekat sekampusnya vira. “Hah? Beneran??
Kita kan baru semester 5? Bikin skripsi aja belum, gimana mau kerja praktek coba?”, timpal vira dengan
penuh nada protes. Ia protes bukan karena ia merasa belum siap, namun ia protes lantaran dia malas
untuk meminta izin kepada ferdi mengenai masalah ini. Kerja praktek adalah salah satu kegiatan wajib
kampus vira yang mau tidak mau, suka tidak suka, vira harus mengikutinya. Dimana, kegiatan ini diikuti
oleh banyak mahasiswa dari kampus se-provinsi tempat kampus vira berada. Pastinya, campur antara
laki-laki dan perempuan. “Haduh, males banget gue nih, ngomong ke ferdinya gimana coba?”, keluh vira
kepada hani sepulangnya dari kampus. “Kalo kata gue vir, coba lo sampeinnya dengan cara yang
berbeda, dan meyakinkan ferdi, biar dia juga ga mikirin yang macem-macem kan vir?”, saran hani
kepada sahabatnya tersebut yang semakin hari semakin galau. “Haha, gimana caranya coba han? Tetep
aja dia pasti bakal berpikiran macem-macem han”, sahut vira kepada saran sahabatnya tersebut.

Sejenak hani berpikir keras untuk mencari jawaban yang tepat buat sahabatnya itu. “Ah! Gue
tau!”, tiba-tiba hani berteriak spontan. “Apaan?”, tanya vira tanpa penuh penasaran sambil melihat
laptopnya dimana tiba-tiba ada artikel di internet yang menarik minatnya lantaran artikel tersebut
tentang Leeteuk Super Junior (salah satu boyband korea). “Gini! Coba deh, lo tuh ya vir, jangan terlalu
kemakan artis-artis k-pop itu lah, realitaa vir…realita..”, timpal hani sembari menutup laptop vira
sejenak. “Yee, ini realita kok, kalo gak, ga mungkin ni orang ada di artikel kaan? Lagian, apaan emang
yang tiba-tiba ada di otak lo han sampe teriak-teriak kayak gitu?”, sahut vira sembari membuka
laptopnya lagi secara perlahan. “Hhh.. gini! Caranya tuh..coba deh lo tulis surat aja ke ferdi, gausah lo
kirim lewat pos, tapi lo kasih aja langsung ke ferdinya, uuuh, so sweet”, saran hani dengan penuh
semangat sambil menunjukkan muka sok imutnya. Melihat sahabatnya seperti itu, vira hanya bisa
melirik sinis sahabatnya tersebut sambil terus menatap foto Leeteuk dengan penuh semangat. “Yeee!
Ga percaya dah, seriusan ini, ini gue juga dapetnya dari acara asal negara cowo yang lo liatin di artikel itu
noh viiir”, timpal hani sambil menunjuk foto Leeteuk.

“Seriusan? Gue kira lo ga pernah ngikutin acara-acara negara mereka? Hahaha”, ejek vira
dengan penuh muka menjengkelkan. “Serius”, sahut hani dengan cepat. Melihat sahabatnya tiba-tiba
berubah sikap seperti itu, vira pun mulai beranjak dari artikel Leeteuk ke muka sahabatnya tersebut.
“Iyaa, iyaa, gue percaya kok sama lo han”, sahut vira sambil tersenyum kepada hani. “Nah, gitu doong,
okeh! Besok kita pergi ke toko kertas yang lucu-lucu gitu, buat nulis surat cinta lo untuk ferdi!
Hahahaha”, ucap hani dengan penuh semangat kembali. Sesaat vira senang mempunyai sahabat sebaik
hani yang sudah sangat peduli dengan dirinya padahal dirinya sendiri memiliki masalah yang sampai
sekarang belum terpecahkan.

“Vir, ini kertas lucu yang gue pilihin buat lo jadiin surat cinta untuk ferdi yaa, sorry ya gue gabisa
bantuin lo untuk merangkai kata-kata indah, haha, gue ada urusan di kampus soalnya, jadi lo harus bisa
ya merangkai kata-kata indah sendiri, fighting! from hani, your BFF” kata-kata itu tertera jelas di atas
kertas note yang ditinggalkan oleh hani untuk vira sebelum dia berangkat ke kampusnya. Vira merasa
heran sesaat, kenapa hani sebegitu semangatnya membantu hubungan vira dengan ferdi, padahal masih
banyak yang harus dia lakukan untuk dirinya sendiri. “Oke kalau gitu! Ayo mulai vir!”, semangat vira
untuk dirinya sendiri sembari mengambil pulpen untuk menulis kata-kata indah yang dipinta oleh
sahabatnya tersebut untuk ferdi.

≠≠≠≠≠
“Fer, aku tunggu kamu di depan Meet with Meat ya jam 4 sore nanti”, sms tersebut dibaca oleh
ferdi dengan penuh semangat, lantaran perempuan yang dia cintai setulusnya itu mengajaknya bertemu
setelah sudah sebulan lamanya mereka tidak bertemu oleh karena kampus mereka berbeda kota. Dalam
hati ferdi, dia jelas sangat tulus menyayangi gadis itu. Bagi ferdi, hanya vira yang mau menerima sifatnya
yang keras kepala tersebut untuk saat ini. “Oke sayang”, balas ferdi sembari langsung beranjak dari
kasurnya dan langsung bersiap-siap untuk bertemu gadis kesayangannya itu. Ferdi adalah seorang
pemuda yang sangat baik, setia, dan sangat menyayangi keluarganya. Ia juga bisa dikatakan “family
oriented” dan sangat cerdas dalam kuliahnya, khususnya dalam bidang performance seperti presentasi
dan sebagainya, walaupun dalam bidang akademik ia tidak terlalu bagus, namun dia memiliki record nilai
yang lumayan bagus.

Sesampainya ferdi di Meet with Meat, ia langsung memesan tempat duduk untuk dua orang,
dan langsung duduk manis dan dengan sabar menunggu vira yang ia nanti-nantikan walaupun jam
tangannya masih menunjukkan angka 15.45 WIB. Ferdi memang bukan termasuk lelaki yang romantis,
tapi dia termasuk lelaki yang sangat sabar untuk menghadapi perempuan yang ia sayangi. Tepat 15
menit kemudian, datanglah sesosok gadis yang sangat ia sayangi selama 5 tahun belakang, vira, yang
selalu tampak cantik di matanya, walaupun vira memang tidak secantik Yoona SNSD baginya, tapi vira
tetap gadis nomor 1 di hati ferdi. Segera setelah ferdi melihat vira datang, ia pun langsung berdiri sambil
tersenyum kecil dan langsung menyambut vira dengan tulus dan penuh kesenangan. Vira pun terlihat
senang melihat kekasihnya lagi setelah sebulan lamanya mereka tidak bertemu, dan langsung berjalan
dengan girang ke arah ferdi. “Hai!”, sahut ferdi ketika vira sudah sangat dekat dengan dirinya. “Hai!
Kamu tambah gemuk yaa? Hehe”, sahut vira balik sembari duduk di kursi yang sudah disediakan oleh
ferdi.

Sesaat mereka hanya saling memandang dan saling tersenyum malu satu sama lain lantaran
sudah lama tidak bertemu. Dan pada akhirnya ferdi memulai pembicaraan terlebih dahulu, “Gimana
kuliahnya? Praktikumnya masih kesusahan gak kamu?”. “Hehe, yaa kuliah mah gitu-gitu aja, tapi
praktikumnya teteeep aja aku lelet dibanding yang lain”, jawab vira dengan penuh semangat. “Kamu
gimana?”, tanya vira balik sembari memperhatikan ferdi yang sedang memanggil waiter untuk meminta
menu makanan. “Aku? Wiih, kemaren aku presentasi doong”, jawab ferdi dengan penuh antusias ingin
ditanya oleh gadisnya tersebut. Setelah mereka memesan makanan mereka masing-masing, vira pun
melanjutkan pembicaraan mereka yang terpotong, “Ohya? Gimana-gimana? Emang kamu presentasi
tentang apa?”. “Hehe, aku presentasi tentang bisnis gitu lah, produk dari kelompok yang kemaren aku
ceritain ke kamu itu lho, nah, terus aku kan presentasi ya, tiba-tiba tuh dosen aku ngasih komentar
yang… hehe, ah, gak ah, gajadi, nanti aku dianggep keren banget lagi sama kamu?”, jawab ferdi panjang
dengan penuh antusias. Vira pun yang mendapat jawaban seperti itu dari kekasihnya terkesan sejenak,
dan langsung melanjutkan pertanyaannya, “Ih, kamu mah gituu, kenapa-kenapa? Pasti keren yaaa?”,
dengan nada menggoda ferdi. Setelah menolak beberapa kali, ferdi pun akhirnya menjawab dengan
malu-malu, “Aaa hahahah kamu tau ajaa, iyaa, kata dosen aku, katanya aku tuh keren, bagus
presentasinya, bisa menarik perhatian banyak orang, makanya kelompok aku bisa menangin juara
favorit, ya bukan juara pertama yang paling bagus sih, tapi ya lumayan lah”.
Setelah ferdi menuturkan jawaban seperti itu, vira pun mulai merasakan lagi kekagumannya
kepada kekasihnya itu, bahwa memang kekasihnya itu termasuk calon orang yang akan sukses ke
depannya. “Tuhkaaan, haha selamat yaaaa ferdii, ciyee, cowo aku gitu lho! Hihi! Tapi… aku ga liat ah
presentasinya, cewe lain pasti liat deeh”, sahut vira sembari mengacak-ngacak rambutnya ferdi. “Haha!
Apaan sih kamu, nggak lah, biarin aja mereka ngeliat, emangnya ga boleh?”, goda ferdi kepada pacarnya
yang terlihat jealous tersebut, di satu sisi ia senang melihat gadisnya cemburu seperti itu, karena itu
membuktikan bahwa vira masih menyayanginya sepenuhnya. “Ga boleh! Enak aja, aku aja cewe kamu,
belum pernah ngeliat, masa cewe lain ngeliat??”, timpal vira dengan nada penuh manja dan menuntut.
“Hahahahha! Iyaa iyaa sayaang, nggak akan kok, nggak boleh yaa?”, sahut ferdi sambil mencubit pipi
vira dengan gemasnya, dan memang itu lah yang paling disukai ferdi dari vira, sifat manjanya. Ia sangat
senang melihat vira bertingkah laku seperti itu karena terkesan vira masih kecil dan membutuhkan ferdi
sepenuhnya.

Obrolan mereka pun berlanjut hingga makanan yang mereka pesan pun habis dan tibalah
saatnya vira memberikan surat bikinannya kepada ferdi mengenai perizinan vira untuk pergi kerja
praktek yang pada akhir semester ini harus ia jalani. “Ferdi..”, sahut vira dengan suara yang sangat
pelan. Ferdi pun yang tadinya sedang sibuk melihat hpnya lantaran ada sms dari teman kampusnya pun
membalas sahutan vira, “Ya? Kenapa vira?”, sambil tersenyum dan menatap vira dengan tulus. “Mmm..
Ini..”, balas vira sambil memberikan secarik kertas dengan tulisan “Surat Perizinan Vira untuk Ferdi”.
Sesaat ferdi terdiam dan tak lama ia pun tertawa lepas. “Hahahha kamu nih, vir.. lucu banget sih, kenapa
mesti pake surat? Tentang apa emang?”, sambil mengambil surat yang ditulis vira tersebut, perlahan
ferdi pun mulai membuka secarik kertas tersebut dan membacanya dalam hati.

Halo, ferdi! 

Maaf ya, tiba-tiba aku ngasi surat ke kamu, maaf juga kalau emang isinya jadi bikin kamu
berubah mood . Kamu tau kan, aku udah pernah ngomong ke kamu tentang masalah kerja
praktek itu.. Nah, surat izin ini itu sebagai permohonan izin aku ke kamu, aku takut kamu marah
kalau aku ngomong langsung, jadi aku pake cara lain untuk minta izin ke kamu. Aku gamau kamu
jadi marah atau jadi gimana ke aku, aku cuman pengen minta izin secara resmi ke kamu lewat
surat ini. Kamu gausah khawatir aku kenapa-kenapa di sana, aku jg ga akan nakal kok, aku janji,
kamu udah jadi cowo yang paling aku sayang, jadi ga mungkin aku macem-macem disana 
percaya sama aku ya.

From

Vira, your girl.

P.S. jangan pernah nakal ya selama aku kerja praktek, hehe

Sesaat Ferdi terdiam membaca surat itu. Ferdi terlihat sangat berpikir keras dan mencari tahu
apa yang seharusnya ia lakukan untuk menanggapi surat dari vira tersebut. Karena memang diakui Ferdi
ini cara yang tidak biasa yang ditunjukkan vira untuknya. Menurutnya, vira bisa kok hanya dengan
berbicara langsung dengannya saja, asal penjelasan yang diberikannya sejelas-jealsnya pasti ferdi akan
mengerti. “Hmm.. boleh gak yaa?”, akhirnya Ferdi menanggapi secarik surat dari vira dengan pertanyaan
singkat dengan nada bercanda. Vira terdiam sejenak dan membalas pertanyaan kekasihnya tersebut
dengan tatapan penuh kebingungan. “Hahahha, boleh viraa.. Gapapa kok, asal kamu di sana bener
tepatin janji kamu, dan jangan macam-macam ya?”, sahut ferdi membalas tatapan kekasihnya yang
penuh kebingungan itu. Vira pun tersenyum dan langsung memeluk kekasihnya tersebut penuh manja.
“Iyaa, aku ga akan macem-macem kok, asalkan kamu juga gak macem-macem! Hehe”, sahut Vira
dengan girang.

“Iyaa, tapi bener ya? Nanti kalau ada cowo yang tiba-tiba ngedeketin kamu gimana hayo?”,
tanya ferdi dengan penuh nada menantang dan khawatir. “Haha nggak mungkin lah, aku kan udah
punya pacar, kamu, lagian mana mungkin, aku kan ga segampang itu deket sama cowo?”, jawab vira
dengan cepat agar meyakinkan ferdi sepenuhnya bahwa ia tidak akan macam-macam salama kerja
praktek. Setelah vira menjawab tersebut, ferdi pun menatap vira dengan penuh harapan bahwa
jawaban kekasihnya itu akan benar adanya. “Ah, kamu mah, nanti tiba-tiba ada yang deketin beneran
aja, gimana hayo? Kan mana tau orang-orang kamu udah punya pacar apa belum?”, tantang ferdi lagi
kepada kekasihnya itu. “Hahahha udaah, ga akan kok ferdii, tenang aja yaa, aku ga akan macem-macem
kok, yah?”, sahut vira dengan penuh keyakinan sehingga ia berharap ferdi tidak akan terus-terusan
berpikiran yang negatif. Sesaat ferdi terus menatap dengan penuh ketidakpercayaan kepada kekasihnya
tersebut. “Tuhkan, kamu mah, pasti deh selalu gini, emang kamu mau, kalau beneran ada yang
ngedeketin aku gimana?”, tantang vira balik melihat kekasihnya yang tidak percaya begitu saja
kepadanya. Ferdi pun hanya bisa terdiam mendengar pernyataan kekasihnya tersebut. “Ya makanya,
jangan mikir yang macem-macem gitu dong, kan aku udah lama sama kamu, masa iya aku mau ke cowo
lain gitu aja? Yah?”, sahut vira dengan nada penuh kemenangan. “Hemm.. iyaa deeh”, sahut ferdi
sembari membawa mobil melaju kencang ke rumah vira lantaran ia harus mengembalikan gadis tersebut
tepat waktu kembali ke rumahnya.

≠≠≠≠≠≠≠≠≠≠

Sesampainya di rumah, ferdi pun masih tetap memegang surat dari vira tersebut dan
membacanya berulang-ulang. “Apa aku benar harus mengizinkannya pergi begitu saja?”, “Kalau ada
lelaki lain yang mengambil vira gimana?”, “Kalau vira dan aku jadi putus bagaimana?”, pikiran-pikiran itu
terus terngiang di dalam hati ferdi. Ferdi yang selama ini tulus menyayangi vira, merasa kurang yakin
dengan kenyataan dimana vira harus pergi ke tempat jauh dengan orang-orang yang ia tidak kenal,
terlebih banyak lelaki lain di tempat itu. Ferdi sangat menyayangi vira, ia sangat setia kepadanya,
makanya ia selalu memilih untuk bersikap over protective kepada gadis yang ia sayangi itu. “Pokoknya
gue harus bisa jaga vira dari cowo-cowo lain yang gak gue kenal itu gimana pun caranya!”, tekad ferdi di
dalam hatinya sendiri.

≠≠≠≠≠≠≠≠≠≠

“Gimana vir? Udah ketemu sama ferdinya?”, tanya hani, sahabatnya yang mengagetkan vira,
“Kenapa dia sudah ada di sini lagi? Katanya dia sangat sibuk?”, tanya vira dalam hati yang terkejut
melihat sahabatnya sudah duduk manis di kursi meja makan sambil membuka ipad kesayangannya.
“Haha! Lo kok udah di sini aja? Kepo banget sih lo sama urusan gue?”, sahut vira dengan nada bercanda.
Mendengar komentar vira yang lebih mengagetkan lagi, hani pun langsung menoleh melihat sahabatnya
dengan muka tidak percaya. “Ohh, jadi gitu yaa, balikin sini kertas surat yang udah gue beliin buat lo!
Enak aja”, sahut hani dengan jutek dan kembali lagi mengalihkan pandangannya ke ipadnya yang
menjadi kesayangannya sejak 1 tahun lamanya. “Hahahha canda kali han, udah dong, suratnya udah gue
kasih ke ferdi”, balas vira dengan nada merendah. “Gitu doong, hahaha akhirnya lo nurut juga sama
sahabat lo ini, terus gimana si ferdinya?”, tanya hani dengan penuh penasaran dan mulai beranjak ke
tempat vira yang sejak sampai rumah langsung duduk di sofa depan tv. “Hemm.. emang beda dari
biasanya sih, ga banyak komentar, tadi mah lumayan lah, cuman mengeluarkan 1,2 pertanyaan doang,
haha”, jawab vira sambil menonton acara di tv yang terkesan membosankan untuknya.

Melihat vira menjawabnya dengan cara seperti itu, hani pun merasa heran. Biasanya, ketika vira
membicarakan ferdi kepadanya, apalagi setelah mereka berdua bertemu, vira akan menceritakannya
dengan penuh antusias, setidaknya ada timpalan-timpalan vira yang kesannya marah-marah ke ferdi
padahal sebenernya dia senang di dalam hatinya, tapi pada hari ini, saat ini, sahabatnya tersebut
berubah. “Lo kok aneh sih vir? Biasanya lo girang kalau nyeritain tentang ferdi?”, sahut hani sambil
mematikan tv yang memang terlihat tidak menarik untuk mereka berdua. Vira pun langsung menoleh
kepada hani seketika, “Hmm? Masa sih han?”, timpal vira dengan penuh tidak semangat. “Nggak kok,
gue cuman lagi bingung aja gimana nanti pas kerja praktek, abis gue ngerasa ga tertarik dengan program
itu han”, sahut vira lagi ketika dia menyadari ekspresi wajah sahabatnya itu kebingungan. “Tapi lo
berdua ga berantem kan?”, tanya hani lagi dengan ekspresi muka yang masih kebingungan. “Haha,
nggak kok, biasa lah ferdi mah emang selalu gitu kan tiap kali gue melakukan suatu pengakuan, minta
gue janji ga deket-deket sama cowo lain lah, ini lah, itu lah”, jawab vira dengan singkat padat jelas.
Setelah itu, mereka pun langsung pergi ke kamar masing-masing dan tertidur lelap untuk menyimpan
tenaga mereka untuk hari esoknya.

≠≠≠≠≠≠≠≠≠≠

Setelah beberapa minggu lamanya, akhirnya tibalah saatnya vira berangkat menuju tempat kerja
prakteknya, tentu saja dengan 5 orang teman kampusnya dan 5 orang teman barunya dari kampus lain.
Belum sempat berangkat, vira sudah merasa hari itu akan sangat melelahkan baginya pikirnya, ia harus
bertemu dengan orang-orang baru baginya, ditambah lagi ia harus membawa barang-barang yang ia
bawa bersamanya tanpa dibantu orangtuanya lantaran orangtuanya sudah mendidiknya mandiri sejak
kecil. Vira pun berangkat bersama teman sekampusnya dengan penuh berat hati. “Mana sih bis kita?
Jauh banget kayaknya?”, sahut vira di tengah perjalanan kaki yang ia lakukan guna meraih bis kelompok
kerja prakteknya. “Sabar atuh vir, kita tuh bis ke-47 kalo ga salah mah”, timpal Cita, salah seorang teman
sekampus vira yang kebetulan sekelompok kerja praktek dengannya. “Sumpah?? Hadeuh, ini udah bis
keberapa emang yang kita lewatin??”, tanya vira dengan penuh nada protes, sembari kepayahan
menarik kopernya yang terasa berat itu. Bis yang berangkat dari kampus vira memang termasuk banyak,
karena memang kegiatan kerja praktek ini diikuti oleh seluruh mahasiswa kampus vira yang rata-rata
sudah masuk ke tahap akhir kuliah. “Bentar lagii vir, sabaar”, timpal Mei, teman kampus vira satu lagi
yang sekelompok dengannya. “Daritadi gue udah sabar meei”, keluh vira yang makin kepayahan dengan
kopernya.
Akhirnya, vira, mei, dan cita pun sampai juga di depan bis yang bertuliskan angka “47” di kertas
putih yang ditempelkan di kaca depan bis tersebut. Kemudian, ketiganya pun tidak banyak bicara lagi
lantaran sudah kelelahan berjalan jauh hanya demi mencapai bis yang berangka 47 itu dan langsung
memasukkan barang-barang mereka ke dalam bagasi. Setelah selesai menata koper mereka masing-
masing ke dalam bagasi, mereka pun tanpa banyak berdiskusi langsung memutuskan untuk masuk ke
dalam bis tersebut dan duduk manis di atas kursi yang tersedia di dalam bis tersebut, tentu saja yang
masih kosong. “Yah, seat-nya 2-2 euy, gimana dong?”, tanya mei yang sudah mencapai atas bis terlebih
dahulu dibanding kedua temannya. Awalnya mereka berharap seat yang tersedia di bis yang akan
mereka tumpangi ketika berangkat nanti seat yang diset 3-2, tapi jika memang 2-2, mereka akan
memilih untuk duduk di kursi paling belakang agar tetap bersama. Tapi pada kenyataannya, kursi paling
belakang sudah terisi oleh mahasiswa-mahasiswa lelaki lainnya yang memang mereka tidak kenali.

“Yaudah, gue aja yang ngalah, kalian duduk aja berdua, gue sendirian”, sahut vira dengan penuh
nada kelelahan, pikirnya, lebih baik duduk terpisah daripada harus duduk bersama para lelaki itu di
belakang. Akhirnya, vira pun memilih untuk duduk sendiri di seat yang bersebrangan dengan kedua
temannya tersebut, “Lagipula, siapa yang tahu kalau bis ini penuh atau tidak?”, dalam hati vira pun
berharap tidak akan ada yang duduk di sebelahnya nanti selama perjalanan. Setelah beberapa lama
menunggu, akhirnya bis kelompok kerja praktek mereka pun penuh. Suasana di bis tersebut memang
terasa asing di benak vira dan kedua temannya, bagaimana tidak, orang-orang yang berada di bis
tersebut memang tidak mereka kenali sama sekali. “Ahh.. harapan gue kacau euy”, sahut vira dalam
hatinya, lantaran ada seorang perempuan yang jauh lebih cantik dari dirinya yang duduk manis di
sebelahnya.

“Ehm.. hai, perkenalkan namaku Gesti, aku dari kampus yang sama denganmu, namamu siapa?”,
sapa gadis tersebut dengan penuh kesenyuman. Vira pun langsung memasang senyum di wajahnya, dari
yang tadinya wajahnya sejutek dosen killer, “Eh, iya.. Namaku vira.. salam kenal”, sapa balik vira dengan
penuh kehangatan. “Kamu sendiri dari jurusanmu?”, tanya Gesti lagi dengan penuh kesopanan. “Nggak,
aku bersama dua temanku lagi, itu yang duduk tepat di seberang kita, namanya mei dan cita, kamu?”,
jawab vira. “Aku cuman berdua sama temanku yang satu lagi, namanya Herdi, tuh, yang duduk di jajaran
kursi paling belakang, hehe”, sahut Gesti dengan nada malu-malu (menurut vira). Ketika Gesti menjawab
seperti itu, yang terbersit dalam pikiran vira adalah mereka berdua adalah sepasang kekasih yang
memang sengaja ingin menjalani kerja praktek bersama agar salah seorang dari mereka tidak ada yang
selingkuh atau mengkhianati. Seperempat perjalanan vira dan gesti pun asik melanjutkan obrolan
mereka yang dirasa menyenangkan oleh keduanya, namun sisa perjalanannya, mereka merasa lelah dan
akhirnya terlelap tidur.

≠≠≠≠≠≠≠≠≠≠

Bzzzt, bzzt, bzzzt. Tiba-tiba getaran hp vira yang memang sengaja ia silent membangunkannya
dari tidur. “Halo..”, sahut vira dengan nada mengantuk. “Halo? Vira? Kamu dimana??”, sahut orang yang
menelepon vira dengan nada penuh kekhawatiran. “Hmm?”, sebelum menjawab pertanyaan orang
tersebut, vira baru sadar bahwa dia belum memberi kabar kepada orang tersebut bahwa dia akan
berangkat pada hari itu untuk kerja praktek. Setelah ia konfirmasi lebih lanjut, dan terlihat jelas nama
“Ferdi” di layar handphonenya,vira pun langsung menjawab, “Ohiyaa! Aku lupa yang, mau ngabarin
kamu, astaghfirullah, maaf yaa ferdii”, dengan nada penuh manja ia menjawab pertanyaan ferdi yang
memang sedang khawatir dengannya.

“Haduh.. kamu tuh.. aku kan khawatir vir, kok kamu ga ngasih kabar gitu sih ke aku kalo kamu
berangkat hari ini? Tadi kamu dianter siapa? Banyak gak bawaan kamu?”, serbu ferdi dengan segudang
pertanyaan yang tentu saja harus vira jawab satu-satu secara perlahan agar kekasihnya itu tidak
khawatir lagi dengannya. “Hehe, iya, maaf ya ferdi, aku lupa banget ngasi tau kamu, soalnya tadi buru-
buru, aku baru packing tadi malem banget, jadi ada barang ketinggalan, dsb.nya lah, jadi lupa liat hp juga
akunya”, sahut vira tanpa menjawab sederet pertanyaan khawatir dari kekasihnya tersebut.
“Hmm..yaudah, gapapa. Ini kamu udah dimana?Belum nyampe?”, tanya ferdi lagi. “Ini masih di jalan,
gatau aku dimana, soalnya kan aku juga belum pernah ke tempatnya, fer”, jawab vira tanpa bertanya
balik sedang dimanakah kekasihnya itu. “Hemm..enak ya jalan-jalan, sama cowo-cowo lagi yaa?
Hemm..Yaudah, kabarin aku ya kalau udah nyampe”, timpal ferdi dengan nada sedikit menyindir
lantaran kesal mendengar nada vira yang tampak cuek dengannya. “Haha, apaan sih kamu? Nggak
lah,orang aku juga duduknya di sebelah cewe sih. Iyaa, nanti aku kabarin yaa”, sahut vira dengan nada
sedikit bercanda agar ferdi tidak berpikir yang negatif lagi. Setelah mengucapkan hati-hati kepada
kekasihnya, ferdi pun langsung menutup teleponnya.

Dengan masih setengah sadar, vira pun meregangkan tubuhnya yang terasa kaku selama
perjalanan karena tidur selama setengah perjalanan lamanya. “Ferdi marah gak ya?”, sempat terpikir
pikiran seperti itu di dalam pikiran vira, namun langsung cepat-cepat ditepisnya, “Ah, masa marah?
Orang gue juga ga ngapa-ngapain di sini”, timpalnya dan langsung mendengarkan lagu untuk
menenangkan fikirannya. Setelah setengah jam berikutnya, akhirnya vira dan kelompok kerja prakteknya
pun tiba di tempat kerja praktek mereka. Tanpa banyak omong, vira bersama ketiga temannya pun
langsung turun dari bis dan mengambil koper masing-masing. “Aduhhh.. salah banget nih gue bawa-
bawa koper segede gaban kayak gini, udah mah badan gue kecil pula”, keluh vira sembari kepayahan
menarik kopernya dari bagasi yang memang sudah penuh dengan koper-koper lainnya. “Vir, plis deh,
baru nyampe, jangan banyak ngeluh ah, kan banyak cowo tuh di kelompok kita, yaudah, manfaatin aja
lah, kayak gue nih”, timpal cita sambil tiba-tiba berakting pura-pura kelelahan mengambil kopernya yang
ukurannya lebih kecil daripada punya vira. Tanpa disangka-sangka, entah darimana asalnya, ada saja
lelaki yang menghampirinya dan mengambil alih koper dari tangannya sampai ke rumah mereka tinggal
nantinya. “Wah, gila aja kalau gue harus pake cara itu”, timpal vira dengan nada penuh kekesalan sambil
terus berusaha membawa kopernya yang memang termasuk besar untuk ukuran gadis sebesar dirinya.

Tiba-tiba, di tengah perjalanan, seorang lelaki yang sedari tadi memang memperhatikan vira
karena kesusahannya membawa kopernya tersebut, menghampiri vira di belakangnya. “Mau dibantuin
gak, mbak?”, tanyanya dengan nada gentle. Vira yang mendengarnya pun langsung menolaknya dengan
lambaian tangan, karena kalau ini cowo membantunya, apa yang akan dia katakan kepada ferdi
nantinya? Tanpa banyak tanya lagi, lelaki itu langsung mengambil alih koper vira dari tangannya dan
terus menggeretnya hingga sampai di rumah. “Eh, gausah mas, gue bisa kok”, sahut vira sambil ingin
merebut kopernya kembali, karena disamping alasan ferdi, ia pun sudah melihat tangan lelaki itu
sebenarnya sudah memiliki tentengan lainnya. “Gapapa, santai aja lagi”, sahut lelaki itu sambil berlalu
meninggalkannya dan vira pun hanya bisa memasang muka jutek kepada lelaki itu. “Siapa suruh ia
mengambil kopernya? Memangnya keren apa bertingkah laku seperti itu?”, sahut vira dalam hatinya.

Sesampainya di rumah yang mereka tinggali untuk kerja praktek mereka, koper vira pun sudah
tersimpan cantik di depan rumahnya, vira pun langsung berlari menghampiri kopernya tersebut. “Gile,
ga tanggung jawab amat, langsung ditinggal gitu aja? Padahal tadinya gue mau ngucapin makasih ke
dia”, keluh vira dalam hatinya melihat kopernya tergeletak begitu saja. Setelah itu vira langsung
memasuki rumah yang nantinya selama sebulan ke depan akan ia tinggali. Ketika pertama kali memasuki
rumah tersebut, vira merasa kurang nyaman, keadaan yang ia lihat ibarat posko-posko pengungsian
sehabis bencana alam, barang-barang tergeletak dimana saja dan rumah itu terasa kotor baginya,
ditambah bocor dimana-mana. “Astaghfirullah, mau tidur gimana ini gue selama sebulan ke depan?
Ibuuuu”, sahut vira dalam hati sambil meringis menghadapi kenyataan di depan matanya tersebut.

##############

Di saat yang sama, ferdi duduk terdiam sambil menonton televise yang ia biarkan menyala tanpa
tahu apa yang ia tonton saat itu. Ia hanya bisa melamunkan keadaan kekasihnya di luar sana yang
mungkin tidak bisa ia bayangkan sesibuk apa vira di sana, bahkan sesibuk apa vira di sana bersama
dengan lelaki lainnya yang tentu saja tidak ia kenal. Tak tahan dengan lamunannya sendiri, ferdi pun
langsung mengambil hpnya dan mulai mengetik pesan singkat untuk vira.

Kamu lagi apa?

Hanya satu pertanyaan dan singkat mungkin dapat menarik perhatian vira pikir ferdi. “Haaa,
kenapa sih gue segelisah ini? Elaah”, keluh ferdi. Ia tidak tahu mengapa ia harus se-over protective itu
kepada kekasihnya itu. Memang, hubungannya dengan vira sudah terjalin lama. Tapi tetap saja, ia selalu
merasa takut untuk kehilangan perempuan itu. Bahkan ia sering berpikir tidak akan kuat jika harus
berpisah dengan gadis itu. Ia sudah tidak tertarik untuk mencari perempuan lain. Ferdi memang tipikal
laki-laki yang jika ia sudah menyayangi satu perempuan, maka ia hanya akan menyayangi perempuan itu
saja tanpa berniat sedikit pun untuk berpaling. Dan itu yang ia harapkan juga dari diri vira, untuk setia.

#########

“Haduuuuh, harus kita mulai darimana ini teh ngeberesinnya?”, sahut cita dengan keras
lantaran melihat keadaan rumah mereka yang porak poranda. Ia juga kesal melihat teman-teman
sekelompoknya yang langsung bermalas-malasan tanpa ada sedikit niat pun untuk bergerak dan
membereskan rumah yang nantinya akan sama-sama mereka tinggali selama sebulan ke depan. “Cit,
kalo menurut gue, lebih baik kita istirahat dulu, sambil kenalan satu sama lain nih sekarang”, timpal vira
dengan penuh ketenangan untuk menenangkan temannya yang terlihat uring-uringan itu. Mendengar
itu cita pun langsung memasang tampang muka yang masam sambil berkata, “Ya elah vir, mana enak
kenalan dalam keadaan berantakan kayak gini? Lagian kita kan cewe semua ya, aturan tuh malu, kalau
rumah ini berantakan kayak gini, kita malah diem-diem aja”. Mendengar itu, semua perempuan di
rumah itu langsung bergerak kecuali vira. Melihat temannya yang masih belum mau bergerak itu, cita
pun langsung menarik vira, “Viiiiiiiiir.. Bilangin ferdi juga niiiih”, sahut cita sambil menggeret telinga vira
ke arah yang entah mengapa sudah disediakan oleh pemilik rumah tersebut. “Adah, adah, iyaaa ciiit…
Sakiiit”, protes vira sambil langsung mengambil sapu dengan terpaksa dan mulai menyapu dengan
gerakan penuh kemalasan.

Setelah satu jam berlalu, ruangan di rumah tersebut pun langsung rapih dan mulai nyaman bagi
semua penghuni rumah tersebut. Selama sebulan ke depan, yang akan menempati rumah tersebut
hanyalah empat orang perempuan yang memang tiga di antaranya adalah vira dan kedua temannya, dan
yang satu lagi tidak lain adalah gesti. “Oke, sekarang rumah ini sudah beres, kita mau ngapain nih
teman?”, tanya mei kepada ketiga teman lainnya. Ketiganya pun langsung memasang muka berpikir.
“Kenalan aja yuk!”, sahut cita penuh semangat. “Hadeeuh ciit, orang yang kita ga kenal cuman gesti
doang kok, itu mah tinggal lo samperin dia aja sendiri, jadi deh”, sahut vira sambil mulai menjarah
cemilan yang tersedia di atas meja ruang tamu. Sembari memukul tangan vira, cita pun mulai mengoceh
layaknya ibu rumah tangga yang selalu ingin tahu urusan orang lain, atau bahasa gaulnya kepo,
“Heehhh.. Kamu mah gatau pepatah yang bilang, tak kenal maka tak sayang, kamu kan tadi udah
kenalan sama gesti, kita berdua kan belum viiir”, timpal cita. Melihat itu gesti pun tertawa kecil.

“Namaku Gesti”, sahut gesti tiba-tiba hampir membuat cita, vira, dan mei terdiam. “Namaku
Gesti teman-teman, aku harap kita bisa berteman dengan baik ya di sini, eh, lebih tepatnya semoga kita
bisa jadi keluarga baru ya nantinya”, timpal gesti lagi yang semakin membuat mereka bertiga tertegun.
“Ehm.. eh iya gesti, semoga kita bisa jadi keluarga ya ke depannya, hehe. Salam kenal, aku mei”, balas
mei dengan senyuman di bibirnya. “Salam kenal juga ya gesti, aku cita, yah walaupun kamu pasti udah
dikasih tau vira nama kita berdua, tapi kan kita belum berkenalan secara personal, ya gak?”, sahut cita
dengan penuh keceriaan di wajahnya. “Hee iya, tadi vira memang sudah menyebutkan nama kalian
berdua, ternyata kalian seru juga ya, hehee”, timpal gesti sambil tertawa kecil. Bagi vira dan kedua
temannya, gesti termasuk perempuan yang mereka anggap sangat cantik, sopan, dan ramah, sehingga
mereka merasa harus lebih respek kepada perempuan itu. “Eh, kalian kenapa? Kok jadi diam?”, tanya
gesti penuh keheranan. Mendengar itu ketiganya langsung menjadi batuk dan langsung tertawa
berbarengan. Sore itu, keadaan di rumah perempuan menjadi lebih menyenangkan dan hangat
dibandingkan siangnya yang porak-poranda.

#########

Bzzzt, bzzzt, bzzzt. Handphone vira yang sudah lama tertinggal di dalam tasnya tiba-tiba
bergetar. Mendengar itu vira pun langsung berlari dan menyamber handphonenya yang sudah bergetar
sedari tadi. “Astaghfirullaaaah!”, teriak vira sambil langsung mengangkat telefonnya. “Haloooo,
ferdiiiiiiii!!!”, sahut vira dengan nada semangat, sekaligus menyesal. “Halo”, timpal ferdi dengan nada
kesal. “Ya Allah, maafin aku, aku lupa banget megang hp, daritadi aku beres-beres rumah, terus keasikan
ngobrol sama anak-anak tadi, maafin yaa fer”, sahut vira dengan nada penuh penyesalan. Seharusnya ia
membawa handphonenya sambil mengobrol dengan teman-teman serumahnya tadi. “…”, ferdi pun
sudah tidak tahu harus berbicara apa lagi mendengar pengakuan kekasihnya itu. “Fer?”, sapa vira
dengan nada ragu. “Mmmm?”, jawab ferdi dengan singkat dan memang dirasa vira bahwa kekasihnya
sedang marah dan kesal kepada dirinya. “Fer, jangan marah dong, yah? Maafin aku, yah? Aku daritadi
ngobrolnya sama perempuan semua kok, beneran”, sahut vira lagi, berharap ferdi tidak marah
kepadanya. Karena, jika ferdi sudah marah kepadanya, bisa panjang urusannya, dan vira malas untuk
mencari masalah dengannya. “Hmm.. iyaa…..”, jawab ferdi dengan penuh nada kemalasan. Vira pun
hanya bisa terdiam dan menyerah untuk memohon-mohon kepada kekasihnya itu. Ia hanya merasa
sampai kapan ia harus terus merasa bersalah kepada kekasihnya itu. Padahal, sekali-kali kan ia juga
butuh dimengerti, keluh vira dalam hatinya. Vira pun hanya bisa menghela napas saat itu untuk
menghadapi kekesalan kekasihnya tersebut. “Yaudah, kamu sekarang lagi mau ngapain emang?”, tanya
ferdi masih dengan nada malas. “Aku sekarang mau shalat, abis itu ada ngumpul sekelompok, buat
perkenalan aja”, jawab vira dengan nada ragu, takut ferdi tambah kekesalannya lantaran ia
menyebutkan bahwa ada kumpul dengan teman sekelompoknya yang mana banyak lelakinya.
Mendengar itu ferdi pun hanya membalas dengan kata, “Oh..”. Vira pun langsung sadar betapa kesalnya
ferdi kepada dirinya. Ia sudah tidak tahu harus bagaimana menghadapi sikap over protective kekasihnya
tersebut. Terkadang, vira merasa senang kekasihnya masih merasa takut kehilangan dirinya, tetapi di sisi
lain ia merasa sedih karena yang ia rasakan ferdi tidak pernah mempercayainya. “Hmm.. yaudah fer, aku
mau shalat dulu ya, kamu juga jangan lupa shalat ya?”, sahut vira dengan nada penuh kesabaran
berusaha menenangkan kekasihnya yang sedang kesal itu. “Iya, nanti aku sms lagi ya”, sahut ferdi.
Setelah itu, vira pun langsung beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu sambil menahan
nangis.

#########

“Vir, aku ga marah kok, aku cuman khawatir, maafin aku ya. Kamu jangan lupa makan ya di sana,
jangan macem-macem juga ya, aku sayang kamu”, itu kata-kata pesan singkat yang dikirimkan oleh ferdi
untuk vira. Sejenak ia merasa lega kekasihnya sudah tidak semarah tadi, tapi di sisi lain, ia masih kesal,
kenapa memang kalau ia sedang sibuk dan ada kegiatan, apa dia harus terus ngabarin ferdi setiap detik,
menit, dan jam? “Vir, ayo, anak-anak udah nunggu tuh”, sahut cita membuyarkan lamunan vira akan
ferdi. “Oh, iya, cit”, timpal vira sembari langsung membalas sms ferdi dengan balasan, “Iya ferdi, aku ga
akan macem-macem kok, tenang aja ya , kamu jangan lupa makan juga ya, sayang kamu juga”.

Perkumpulan teman sekelompok vira dan kawan-kawan dilakukan di rumah para lelaki.
Sebenarnya vira sudah ada fikiran untuk pura-pura sakit dan berniat tidak akan menghadiri perkumpulan
tersebut lantaran ia tidak terbiasa untuk bergaul dengan lelaki lain selain ferdi dan teman sejurusannya.
Tapi, fikiran itu segera lenyap ketika ia berbalik berfikir bagaimana kalau teman-temannya mengiranya
sombong lantaran tak mau bergabung dengan mereka hanya untuk sekedar berkenalan? Akhirnya vira
pun memutuskan untuk ikut berkumpul bersama teman lainnya, toh pikirnya ia juga tidak akan macam-
macam kok, untuk apa takut?

“Wiiiih, selamat datang niiiih. Sorry ya kalau berantakan, duduk-duduk”, sambut kordinator desa
mereka yang saat itu Vira belum mengetahui siapa namanya. Kemudian vira bersama ketiga teman
perempuannya pun langsung memilih untuk hanya tersenyum kepada keenam lelaki yang berada di
ruangan itu dan langsung duduk manis mengelilingi sederetan makanan yang telah disuguhkan. Setelah
beberapa lama terdiam, kordesnya pun (singkatan dari kordinator desa) langsung mengeluarkan kata-
kata pembuka acara kumpul-kumpul mereka yang pertama di desa tersebut. “Ehem.. kok pada diem
aja? Haha, gimana kalau sebelum kita makan, perkenalan dulu nih?”, sahut kordes yang bernama Gira
tersebut. Setelah itu mereka mulai perkenalan satu persatu, dari laki-laki dulu baru perempuan. Satu
persatu menyebutkan namanya, kemudian tanggal lahir, dan sebagainya yang dianggap vira itu hanya
sekedar basa-basi. Namun yang menjadi perhatian utama dari vira sendiri, tidak ada lelaki yang tadi
siang sengaja membantu dia mengangkat koper yang ia bawa dan langsung pergi meninggalkannya
tanpa meninggalkan sepatah kata pun kepadanya.

Setelah perkenalan itu, vira pun jadi tahu bahwa keenam lelaki yang akan menjadi rekan
kerjanya selama di desa tersebut bernama Kinan, Jerry, Wildan, Choky, dan Nico. Di antara keenam
lelaki ini, tentu saja tidak ada yang menarik perhatian vira, selain karena ia juga sudah berstatus
berpacaran dengan ferdy, yang sudah lama, menurut vira hanya ada satu lelaki yang dianggapnya sudah
sempurna, yaitu ferdy sendiri. Sehabis lelah saling berkenalan dan tertawa, mereka pun langsung
memulai untuk menyantap makanannya masing-masing dan acara itu berakhir tanpa terasa.

###########

Pagi yang cerah pun menyambut desa Banyu, tempat Vira dan teman-temannya menjalani kerja
prakteknya, pematang sawah pun disinari oleh sinar matahari yang sangat cerah. “Citaaaaaa……
banguuun, kita mau jalan-jalan ke balai desa nih, ada acara kumpul dengan masyarakat desa sama
dosen pembimbing kita niih”, sahut vira dengan kencang lantaran tahu temannya yang satu itu sangat
susah untuk dibangunkan. Mendengar itu, cita pun langsung memaksakan dirinya untuk bangun dari
tempat tidur sambil setengah sadar. “Cepet mandi ciiiit, nanti kita telat lhoo”, timpal Mei sambil
menarik selimut cita yang membalut badannya yang agak gemuk itu. “Iyaaa…….”, sahut cita sambil
perlahan dari tempat tidur yang masih dianggapnya empuk itu dan langsung bergegas ke kamar mandi.

Setelah hampir setengah jam menunggu cita, keempatnya pun langsung keluar rumah dan
bersiap untuk berangkat ke balai desa. “Selamat pagiii”, sambut Choky yang termasuk salah satu rekan
lelaki mereka, yang dari semalam memang sudah terlihat lebih aktif dibandingkan lelaki lainnya lantaran
dia paling tua di antara kelimanya. “Cit, nyenyak gak tidurnya? Haha”, sahut Choky dengan garing, dan
hanya dibalas senyuman oleh Cita. “Yuk! Udah siap semua kan?”, ajak Gira sebagai kordes. Mendengar
itu, semuanya langsung mengikuti langkah kordes mereka ke arah balai desa dan menyiapkan diri
masing-masing untuk bertemu dengan masyarakat desa yang memang belum bertemu dengan mereka
secara langsung.

Sesampainya di balai desa, Vira sedikit terkejut lantaran merasa sekilas melihat sesosok lelaki
yang telah menolongnya kemarin siang. Sambil mengucek matanya dan menjernihkan penglihatannya
lagi, sekali lagi vira memastikan apa yang dilihatnya benar. “Waduh, kenapa tu orang bisa ada di sini?
Kan ini cuman desa gue doang yang bisa masuk?”, keluh vira sambil membisik dan kebetulan didengar
oleh mei, “kenapa vir?”, sahut mei kepo dengan tingkah temannya yang sedikit aneh itu. “Hah? Nggak,
heheheh”, timpal vira dengan cepat, tidak ingin memperpanjang pertanyaan yang akan dilontarkan oleh
temannya itu.

Tak berapa lama setelah vira dan kesembilan temannya duduk di kursi yang telah disiapkan oleh
balai desa, acara pembukaan kerja praktek vira pun dimulai dengan sambutan kepala desa yang
dianggap vira membosankan. Sembari berjalannya acara pembukaan tetiba banyak gerombolan
mahasiswa-mahasiswi yang datang dan duduk di kursi-kursi kosong yang tersisa. Vira pun langsung
menoleh ke kedua temannya, Cita dan Mei, memasang muka kebingungan. Mereka berdua pun hanya
membalas sambil menggelengkan kepala dan ikut kebingungan. Setelah vira mengamati wajah-wajah
mahasiswa-mahasiswi yang baru datang tersebut, ia terkejut, mendapati wajah yang agak tidak asing
baginya. Wajah lelaki yang ia kesali pada awal ia menginjakkan kakinya di desa tersebut. Ya, benar, lelaki
itu, yang membantunya mengangkat tas dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah
kata pun, agaknya bertingkah seperti ia makhluk terganteng di dunia ini, muncul di hadapannya
sekarang.

Setelah selesai acara pembukaan yang melelahkan bagi mahasiswa kerja praktek saat itu,
mereka pun langsung berbaur dengan masyarakat desa tersebut dan berbincang-bincang walaupun
hanya sekedar basa-basi. Di tengah-tengah perbincangan tersebut, vira pun mulai mencari-cari satu hal
yang membuatnya penasaran. “Mana sih, tu cowo? Kok gue penasaran ya? Gue cuman pengen ngucapin
makasih aja kok, ga lebih, tapi kenapa susah banget ya? Lagian tu cowo datengnya darimana dah?”,
gumam vira dalam hati, sembari matanya berkeliling satu ruangan tersebut demi menemukan cowo
tersebut. “Vir, sini!”, tiba-tiba Gira membuyarkan pandangannya. “Lo ngapain sih daritadi celingak-
celinguk ga jelas gitu?”, tanya Gira, sembari menghampiri vira yang masih terlihat mencari-cari
seseorang. “Aduh, gir, kenapa sih? Gabisa apa liat gue sendiri berdiri di sini sambil mencari apa yang gue
cari? Udah, lo mending mendekatkan diri aja ke penduduk desa, biar lo juga bisa deketin gadis desanya
sekalian, ya gak?”, sewot vira sambil melanjutkan pencariannya. Melihat itu, Gira pun hanya bisa
tertawa ngakak, “Hahahaha, vir, lo nyari siapa sih daritadi? Kayaknya penasaran banget nih?”, timpal
Gira sembari memutar matanya juga mengelilingi satu ruangan itu. “Hmmm.. Ah! Gir! Lo pernah liat gak,
cowo yang mukanya datar, ganteng... lumayan lah, tapi rada item manis gitu, pernah liat gak?”, tanya
vira tiba-tiba.

“Hah? Apaan tiba-tiba nanyain cowo? Ya Allah..Vir, kita di sini bukan ajang cari jodoh, elu tuh”,
balas Gira tanpa menjawab pertanyaan Vira. Mendengar itu vira pun langsung berhenti memutar
matanya, dan langsung menghadap Gira sambil melipat lengannya di dada dan langsung mengangkat
alisnya tanda bahwa Gira mau tidak mau harus menjawab pertanyaannya. “Iya, iyaa.. Hmm.. bentar, gue
inget-inget dulu vir.. Gue kan bukan detektif yang ujug-ujug tau jawaban dari pertanyaan lo, hahaha”,
sahut Gira. “Jadiiii?”, tanya vira lagi dengan nada yang sudah tidak sabar. “Hahahha, iyaa ada viraa, itu
temen kampus gue, kenapa emangnya? Kok lo nanyain dia tiba-tiba? Jangan-jangan.....”, tuduh gira
melihat vira yang begitu penasaran ketika ia memberikan jawaban seperti itu. “Siapa namanya? Mana
orangnya? Ada gak di sini sekarang?”, sahut vira dengan nada penuh kepenasaran yang agak kurang
wajar. Gira pun langsung menunjuk ke arah sesosok lelaki yang tengah duduk di antara keramaian, dan
sedang asik mengobrol dengan kedua temannya yang lain dengan penuh ekspresi.

“Boong lo, itu orangnya?”, timpal vira membalas tunjukkan yang diberikan oleh gira kepadanya.
“Yeee, ga percaya? Mau gue kenalin sekarang?”, sahut gira kesal mendengar balasan vira yang seakan
tidak percaya kepadanya. “Eh, jangan, gue cuman pengen tau aja siapa dia gir, abisnya pas awal gue
nyampe ni desa, tu orang tiba-tiba ngebantuin gue ngangkatin tas, tapi tuh pas gue mau ngucapin
makasih, tu orang malah ngeloyor gitu aja coba? Hehhh.... Berasa dia paling ganteng dan keren di dunia
ini”, sewot vira dengan panjang lebar mengadu ke gira. “Hoo.. hahahahaha, dia orangnya emang gitu
viraaa, ke orang baru, apalagi cewe, pasti gituu, dia mah orangnya pemalu, bener, beda sama gue,
ramah pada semua orang, hahahaha”, timpal gira dengan penuh keyakinan dan... percaya diri.
Mendengar itu vira pun langsung bergidik dan meninggalkan gira dengan penuh penyesalan bertanya
mengenai lelaki itu.

##################

Sorenya, Vira mengajak Cita, Mei, serta Gesti jalan-jalan keliling desa, sekalian cari jajanan,
karena vira tiba-tiba merasa perutnya lapar. “Citaaaa, cepetaan siap-siapnya, keburu sore banget niiih”,
teriak Mei kepada cita yang memang terkenal lama berdandan ria di dalam kamar. “Iyaaa, bentar meiii”,
sahut Cita dari dalam kamar sambil buru-buru menabur bedak di wajahnya yang cantik dan putih itu.
Selang beberapa menit kemudian, cita sudah siap keluar dengan dandanannya yang poll dan bergegas
ke luar pintu menyusul vira dan kawan-kawan. “Eeh, pada mau kemana?”, sahut Choky tiba-tiba dari
depan pintu rumah lelaki. “Mau jalan-jalan chok, mau ikut?”, sahut vira, sembari vira menjawab
pertanyaan itu, cita pun langsung menyinggung sikut vira tanda untuk tidak sembarangan mengajak
lelaki. “Kenapa cit? Hahahaha, aku ga boleh ikut ya?”, timpal choky melihat gerakan cita kepada vira
tersebut. “Hahaha, becanda dia chok, mau ikut gak?”, sahut mei tiba-tiba membantu untuk menetralisir
suasana. Vira tau alasan cita untuk memberikan sinyal itu kepadanya, lantaran choky yang dari kemarin
terus-terusan menggoda cita, ya menurut vira itu wajar, toh citanya sendiri yang memancing-mancing
untuk choky terus memberikan candaan-candaan kepadanya.

“Yuuk! Gue ikut dong! Yuk Chok! Daripada bosen di rumah kan? Eh, Wildan, lo jaga rumah yak,
jangan ada yang kemalingan lu, gue jalan dulu yak! Hahaha”, sahut Gira tiba-tiba dari dalam rumah lelaki
yang sudah harum dengan wangi parfumnya yang menurut vira berlebihan. “hh... Ni anak lagiii”, gumam
vira dari dalam hati. “Udah yuk ah, kelamaan mikirnya deh!”, timpal gesti melihat suasana yang
menurutnya sudah berlarut-larut tersebut. Akhirnya, Keempat wanita itu pun pergi berjalan-jalan
keliling desa ditemani oleh kedua lelaki tersebut, tentunya dengan cita yang mukanya ditekuk sepanjang
perjalanan. “Eh, Vir! Lo masih penasaran gak?”, tanya Gira tiba-tiba kepada vira yang sedang menikmati
pemandangan desa yang dianggapnya sangat jarang ia dapatkan di kota yang penuh kepenatan. “Hah?
Eh! Sssst!!”, timpal vira sembari menghampiri Gira, “Lo jangan kenceng-kenceng, kan malu juga guee
giir”, bisik vira kepada kordinator desanya itu yang dianggapnya sangat berisik layaknya perempuan.

Di tengah-tengah keributan kecil antara Vira dan Gira, tiba-tiba Gira melambaikan tangan dan
langsung berteriak, “Eh, Vano! Apa kabar lo?”. Mendengar itu vira pun langsung terkejut ketika
mendapati orang yang dilambaikan tangannya oleh gira adalah lelaki yang membuat ia penasaran dari
awal kerja prakteknya. Gira pun langsung berlari menghampiri Vano dan kedua temannya yang lain dan
langsung asyik mengobrol. “Siapa tuh vir?”, tanya cita membuyarkan pandangan vira. “Hah? Eh, gatau,
waktu kemaren sih Gira bilangnya itu temen kuliahnya, gatau juga deh gue”, jawab vira dengan nada tak
yakin. Vira beserta cita, mei, gesti, dan choky pun langsung menghampiri Gira dan teman-temannya
yang dianggap asing oleh mereka berlima. “Eh, kenalin, ini Vano, Firza, dan Lukman, dari desa sebelah”,
sahut Gira kepada mereka berlima. Melihat itu vira dan keempatnya temannya hanya bisa mengatakan,
“Hai”, dengan nada tidak yakin dan malu-malu.
Setelah itu mereka pun saling berkenalan satu sama lain, namun tetap saja, pada akhirnya,
hanya gira yang asyik mengobrol dengan ketiga lelaki dari desa lain tersebut. “Vir, mau jajan gak?”,
tanya cita setelah melihat ada abang tukang bakso yang berjualan di ujung jalan sana. “Maaauuuu”,
sahut vira langsung dengan nada semangat dan keinginan penuh untuk mencapai abang bakso tersebut.
“Ah, tapi gue mageer, jauh banget itu abang baksonya”, timpal cita tiba-tiba. “Kamu mau aku yang
kesana cit? Kamu mau berapa bakso coba sini abang beliin”, sahut Choky tiba-tiba dengan nada
menggoda cita. “Ih, apaan sih Chook, nggak, makasih”, sewot cita dengan nada kekesalan. “Yah, cit, lo
yang ngajak gue, masa gue yang jalan sendiri kesana?”, tanya vira dengan nada penuh kekecewaan
layaknya barang yang sangat ia inginkan tetiba hilang begitu saja. “Abis mageer viir, chok, temenin vira
sana, kan mei sama gestinya juga lagi entah kemana gara-gara tadi mereka liat cilok kan?”, saran cita
kepada choky yang sedari tadi hanya memandangi cita sambil senyum-senyum sendiri. “Nggak, aku mau
di sini aja sama cita, vira, sana lo sendiri jalan ke sana, dikit doang kaan?”, sahut choky masih dengan
memandangi cita.

“Haaaa... au ah, yaudah, gue jalan sendiri”, timpal vira dengan nada penuh kekesalan dan
langsung beranjak ke abang tukang bakso di ujung jalan sana dengan langkah berat. “Vir!”, sahut suara
lelaki yang sudah tak asing lagi ia dengar, ya, Gira, “Mau kemana? Hahahah”. Mendengar itu vira hanya
langsung bergegas jalan menuju abang tukang bakso yang ia harap dapat memberikan sedikit
kebahagiaan di hatinya lantaran kecewa oleh temannya yang tak mau menemaninya untuk membeli
bakso tanpa menghiraukan suara lelaki tersebut. “Yaelaah, gue tanya ga dijawab gitu lho”, timpal Gira
sembari menyamakan langkahnya dengan vira. “Gira, gue ingetin yak, satu, gue masih punya cowo, dua,
gue bisa kok jalan sendiri ke tukang bakso di ujung sono”, timpal vira tanpa memandang wajah lelaki
tersebut. Mendengar itu gira pun hanya tertawa namun masih tetap menemani vira membeli bakso
sampai bakso itu selesai disantapnya.

############

Malamnya, Vira baru membuka dan melihat hpnya. Hampa. Masih sama seperti tadi pagi. Tak
ada sms, ataupun misscalled sama sekali dari kekasihnya, ferdi. Melihat itu, vira pun langsung
membanting hpnya tersebut ke kasur, bagaimanapun ia tetap sayang hpnya hingga ia tak tega kalau-
kalau hpnya rusak hanya karena kekesalannya pada ferdi. Tapi, tak beberapa lama kemudian ia
memutuskan untuk mengirim chat whatsapp kepada kekasihnya tersebut. Tertulis, Last seen today at
09.00 pm, itu berarti tak beberapa menit yang lalu kekasihnya itu sempat membuka whatsappnya kan?
“Fer, lagi apa?”, ketik vira di layanan chatting tersebut. Sent. Tapi, belum ada balasan ataupun dibaca.
Guna menghindari amarahnya, vira pun memutuskan untuk menyendiri di teras depan rumah
perempuan yang terkesan pw baginya untuk merenung dan menenangkan diri. “Ferdi kemana sih? Apa
dia marah sama gue? Atau dia malah ngumpul-ngumpul sama temen-temen kampusnya yang
menyebalkan itu?”, gumam vira di tengah renungannya.

“JREEEENG!”, tiba-tiba suara alunan gitar yang menyebalkan muncul di dekat telinga vira dan
memekakan telinganya pula. Mendengar itu vira langsung menoleh ke sumber suara. Dan tak lain adalah
sesosok Gira yang menyebalkan baginya yang muncul di hadapannya membawa gitar tersebut. “Let me
go hooooomee.... Let me go homee...”, dendang gira dengan nada yang memang bisa dibilang enak,
namun mengganggu bagi ketenangan vira. “Hadeuuhhh.. Giir... udah malem kale, berisik, taro-taro tu
gitar!”, timpal vira dengan nada penuh kejengkelan. “Elaah, sensi amat sih vir.. Kenapa-kenapa? Coba
cerita sama gue”, tanya gira. Mendengar itu sebenarnya vira agak terkejut, kenapa gira bisa tau ia lagi
ada masalah dan pikiran? Ah, tapi gira kan ke semua perempuan memang selalu baik seperti ini pikirnya.
Tanpa menjawab vira pun langsung menoleh lagi ke arah kolam yang memang berada di depan teras
rumahnya tersebut untuk melanjutkan renunangannya, berharap gira langsung pergi saat itu juga. “Yah,
ditanya ga dijawab”, sahut gira sambil duduk di sebelah vira dengan mengambil jarak 1 m, mungkin.

“Ga ada gir, gue lagi laper aja, hahaha”, jawab vira dengan singkat. “Hmmm.. laper... makan
orang mau? Nanti gue cariin deh, tapi jangan gue juga yak yang dimakan?”, timpal gira dengan nada
menggoda vira guna vira terhibur. “hahahhaha apaan sih lo giir”, timpal vira sambil melambaikan
tangannya. “Udah gir, mending lo masuk gir, gue mah mau merenungkan sesuatu dulu nih”, sahut vira.
“Beneer gamau ditemenin sama aa gira? Hahaha”, tanya gira sembari bercanda kepada temannya itu.
“Nggak giir, gue malah lebih seneng kalo lo di dalem, hahahahhaa, becandaaa”, timpal vira dengan nada
bercanda balik kepada gira. “Yaudah, kalo neng vira butuh bantuan aa, kasi tau aja ya”, sahut gira
dengan nada meyakinkan dan langsung beranjak pergi meninggalkan vira dalam kesendirian.

Malam itu berlarut dengan lamunan vira yang memang tidak berujung-ujung, dan semakin larut
malam, bukannya masuk ke dalam, vira malah masih bertengger di luar teras dan menyenderkan
badannya ke tembok teras tersebut. Sambil menghela napas pelan, vira pun perlahan mulai menutup
matanya akibat kelelahan setelah menjelajahi desa tersebut seharian.

##############

Keesokan paginya, vira terbangun dari tempat tidur yang entah mengapa dirasanya lebih empuk
dari hari-hari sebelumnya. “Banguuun viir, kayaknya nyenyak amat tu tidur lo semalem? Hehhehe”,
sahut mei membangunkan vira yang terlihat sangat lelap tidurnya sembari mengingat kejadian tadi
malam yang membuat mei tergoda untuk menggoda vira. Mendengar itu vira masih setengah sadar dan
menganggapnya hanya angin lalu. Setelah itu, vira pun langsung menuju kamar mandi untuk mandi dan
bergegas siap-siap untuk agenda hari ini, yakni sosialisasi program kerja praktek kelompoknya di desa
Banyu tersebut. Oleh karena vira, Mei, dan Cita berasal dari fakultas kesehatan, maka mereka bertiga
ditugaskan untuk bertanggung jawab dalam kegiatan penyuluhan di sd yang berada di desa tersebut.

Seharian penuh vira dan kedua rekannya tersebut memikirkan konsep yang tepat dan menarik
untuk kegiatan penyuluhan tersebut. Tentu saja kegiatan penyuluhan tersebut tidak hanya dikerjakan
oleh mereka bertiga, tapi juga oleh satu kelompok kerja mereka. Setelah matang dengan konsep
mereka, vira pun memutuskan untuk menghilangkan penatnya dengan berjalan-jalan ke sekeliling desa,
kali ini tanpa kedua temannya, karena keduanya sudah cukup lelah untuk berjalan-jalan dan
memutuskan untuk tidur siang sejenak. Vira pun tak punya pilihan untuk memaksa selain memutuskan
untuk pergi sendiri.

Desa Banyu memiliki keindahan desa yang bisa dibilang sangat indah, jika dibandingkan dengan
perkotaan yang isinya hanya gedung-gedung semua. Di desa ini vira bisa menemukan pematang-
pematang sawah yang terlihat menyejukkan mata dan bebek-bebek yang sedang berlari-lari kecil ketika
mereka diternak oleh pemiliknya. Banyak hal baru yang ditemukan vira di sini, pikirnya. Terlepas dari itu
semua ia masih bingung mengapa ferdi sampai sekarang tak ada membalas smsnya atau bahkan
meneleponnya walaupun hanya semenit. Mungkin ia sangat sibuk dengan kuliahnya, pikir vira. Di tengah
lamunannya, vira tak sadar ia terjatuh ke dalam pematang sawah. “Aaduuuh, ya Allah, kenapa dah
gua?”, keluh vira sambil berusaha berdiri dari sawah tersebut. Ia pun terus berusaha untuk keluar dari
dalam lumpur sawah tersebut untuk segera pulang membersihkan kotoran yang ada di bajunya.

“Gapapa teh?”, sahut suara lelaki yang belum pernah ia kenali dari lelaki-lelaki yang ada di
rumah kerja prakteknya. Vira pun langsung mencari sumber suara yang dianggapnya menenangkan
tersebut dan mendapati sesosok lelaki yang membuatnya penasaran di awal kerja prakteknya. “Iya..
gapapa.. hehe”, balas vira dengan nada yang kurang yakin akibat tertegun melihat wajah lelaki tersebut.
Lelaki tersebut pun langsung mengulurkan tangannya untuk membantu vira keluar dari lumpur sawah
tersebut. Vira pun membalas uluran tangannya tersebut dan berhasil keluar dari kumpulan lumpur
sawah tersebut. “Makasih ya”, sahut vira kepada lelaki tersebut. Lelaki itu hanya membalas ucapan
terimakasih vira dengan senyuman. Setelah vira beres membersihkan kotoran-kotoran lumpur yang ada
di bajunya akibat lumpur sawah tersebut, vira pun kaget melihat lelaki tersebut masih ada
menunggunya. “Ehmm.. Lo.. temannya gira kan? Yang namanya Vano bukan?”, tanya vira dengan malu-
malu. “Iya”, jawab Vano dengan singkat. “Teteh tuh yang namanya vira bukan? Waktu kemarin kita
ketemu kan ya? Hehe”, tanya Vano balik kepada Vira untuk memecah kekakuan. “Eh, iya, hehe emang lo
kok bisa ada di sini?”, timpal vira. “Iya teh, aku lagi moto-moto sekitar daerah sini aja teh”, jawab Vano
dengan nada suara yang berat.

“Eh, jangan panggil teh lah, kita seumuran juga kan?”, sahut vira tak mau dipanggil teh, lantaran
ia tak mau merasa tua di sini. “Eh, nggak, emang umur gue sama Gira juga beda setaun, gue lebih muda,
jadi biar sopan gitu lho, hehe”, jawab Vano memperjelas mengapa ia mesti memanggilnya teh. “Hahaha,
ya elah, setaun doang, udah, lo gue aja, biar enakan juga kan”, timpal vira dengan nada sok akrab,yah
memang itu karakternya vira. “Hahaha, oke deh”, balas Vano. “Eh, Van.. Gue mau ngucapin..”, tak lama
setelah vira ingin menyelesaikan ucapan terimakasihnya kepada vano di awal kkn, tiba-tiba Cita
berteriak memanggil vira dari kejauhan, “Viraaaaa!! Hp lo bunyi tuuh! Cowo loo!”. Mendengar itu vira
langsung menoleh ke cita dan seolah memberikan sinyal kepadanya untuk jangan mengganggunya kali
ini. Namun, Vira teringat selama ini ia terus menunggu kabar dari ferdi, kekasihnya, untuk
menghubunginya, kali ini ia tak ingin melepas kesempatannya untuk berbincang dengannya. “Eh, gue
duluan ya van, urgent! Haha”, sahut Vira sembari bergegas berlari kembali menuju rumahnya. Vano pun
hanya tersenyum dan melanjutkan kegiatannya memotret dengan penuh penghayatan.

Sesampainya di rumah, vira langsung melihat hpnya, dan memang, tertera ada lebih dari 10x
misscall dari kekasihnya tersebut. “Haduuuuh, mampuus gueee”, sahut vira dengan penuh kepanikan.
“Eluu sih viir, hp ditinggal-tinggal, udah tau ada yang kangeen, hahaha”, timpal Mei dengan nada
menggoda vira bermaksud menambah kepanikan vira. “Eh, diem”, sewot vira sembari memencet
kembali nama ferdi di handphonenya dan langsung menempelkan telinganya di handphonenya tersebut.
“Huuu, sampe-sampe tu hp ngebangunin gue sm mei aja yang lagi tidur tau gak?”, timpal cita sembari
menyomot snack yang ada di atas meja tamu rumah mereka dan melahapnya.
“Halo..”, sahut suara di seberang sana, ya, ferdi, mengangkat telfon vira.

“Halo, ferdiiii! Maafin, aku tadi lagi jalan-jalan keluar sendiri, gak bawa hp, jadi daritadi kamu
nelfon aku ga ngangkat, maaf”, sahut vira dengan nada memelas sembari berjalan keluar teras
rumahnya. “Jalan sendiri atau sama teman lelaki?”, tanya ferdi dengan nada penuh kecurigaan.
“Tuhkaan, mulai deh ah, udah fer, aku tuh jelas-jelas nunggu kabar kamu dari kemaren, tapi kamu ga
ada kabar-kabar, aku whatsapp, tapi kamu ga ada bales, aku nunggu telfon kamu, ga ada-ada”, timpal
vira untuk menangkis kecurigaan kekasihnya tersebut. “Apaan? Kamu tuh yang ga ada kabarnya, orang
aku udah tongkrongin hp aku dari pagi sampe malem, kamu ga ada hubung-hubungin aku”, balas ferdi
dengan nada kejutekan yang bikin vira makin kesal. “Aduuuh, jelas-jelas kemaren malem aku whatsapp
kamu gitu”, sahut vira. “Tuhkan, baru malem kan kamu hubungin akunya? Kenapa ga dari pagi? Siang?”,
balas ferdi dengan nada kekesalan. “Ih, ya aku kan ada kegiatan pagi sampai siangnya”, timpal vira
dengan nada kesal. “Ya kan bisa hubungin aku dulu?”, sahut ferdi tak kalah sewotnya. “Iyaiya, maafin,
aku lupa, bangun juga telat, jadi buru-buru”, jawab vira akhirnya mengalah. “Tuhkan”, balas ferdi
dengan nada penuh kemenangan. “Ya abis gimana, kamunya juga ga ada sms aku duluan kan? Tanya
kek, aku lagi apa, atau apa”, sahut vira membalas kemenangan ferdi dengan ketus. “Kamu nih... Udah,
ini lagi apa? Udah makan belum?”, balas ferdi mengakhiri pengargumentasian yang tak berujung
tersebut. “Belum, ini aku lagi mau makan, kamu?”, balas vira. “Yaudah, makan aja dulu gih, nanti aku
whatsapp bales lho”, sahut ferdi sembari ingin mengakhiri telfonnya. “Iya”, setelah itu ferdi pun
langsung mematikan telfonnya.

Vira tau, dengan sikapnya yang seperti itu, pasti ferdi masih menyimpan kekesalannya
kepadanya. “Ya lagian, emang harus selalu gue yang hubungin duluan? Dia apa kabar? Hhhh! Dasar
egois”, gumam vira dengan penuh kekesalan. Sambil memutar badannya dengan kekesalan, tiba-tiba
badannya dengan bajunya yang masih berlumuran kotoran lumpur tersebut menubruk badan lelaki yang
sudah tak asing lagi baginya, ya, Gira. BRUK! “Aduuh, viraaa”, timpal gira dengan nada heran dan kesal.
“Lah elu, daritadi apa baru lu di sini gir?”, sahut vira dengan nada kecurigaan. “Ah, tuhkan, jadi kotor
baju gue”, sahut gira dengan nada kesal sambil berlalu meninggalkan vira. Melihat itu vira pun hanya
bisa terheran dan langsung bergegas ke kamar mandi untuk langsung mandi dan membersihkan dirinya.

Keluarnya vira dari kamar mandi, yang ia lihat hanyalah mei yang sedang terduduk di kursi ruang
tamu depan rumahnya. “Mei, yang lain mana?”, tanya vira tak tahan melihat kesepian ini. “Pergi, cari
jajanan”, jawab mei dengan singkat sambil membaca novel yang sedari tadi ia baca. Vira pun langsung
mengambil posisi duduk yang nyaman baginya di kursi sebelah mei. “Kemana?”, sembari mengambil
snack yang menggoda matanya vira pun bertanya kepada mei. “Gatau, ke depan kali”, jawab mei lagi
dengan nada yang tak ingin diganggu. Sembari mengunyah snack yang ia ambil dari toples atas meja
tamunya, vira pun melihat ada sesosok lelaki tinggi kurus yang duduk di depan teras rumah mereka
sambil melamun. Vira pun langsung memutuskan untuk menghampirinya, “Sorry”, sahut vira kepada
Gira yang sedang duduk terdiam. Gira pun hanya menoleh dan melanjutkan lamunannya lagi. “Sorry gir,
tadi gue nabrak lo dan malah marahin lo, maafin yak”, sahut vira sambil mengulurkan tangannya kepada
gira.
Gira pun hanya terdiam tanpa menyambut tangan vira. “Ih, lo kenapa sih? Aneh”, tanya vira
sambil menatap gira dengan penuh keheranan. “Hhhh..”, gira pun hanya menghelakan nafasnya tanpa
menoleh ke vira seolah masalah yang sedang dihadapinya sangat berat. Melihat respon gira yang sangat
aneh, vira pun hanya bisa ikut menoleh ke kolam sumber kegalauan di depan teras rumahnya tersebut.
“Eh, gir, lo tau gak? Semalem tuh gue ketiduran deh perasaan di depan teras sini, ya gak?”, vira pun
memulai pembicaraan untuk mengubah mood gira menjadi seperti biasanya lagi. Gira hanya
menggeleng tanda ia tak tahu harus menjawab apa. “Hmm.. seriusan, kayaknya gue ketiduran deh di
depan sini, cuman anehnya, kok gue pas bangun-bangun malah ada di atas kasur yak? Bingung gue,
sumpah”, lanjut vira dengan nada penuh berpikir. “Pikiran lo aja kali vir, masa iya ada yang tiba-tiba
pindahin lo? Hiii”, timpal gira dengan nada yang agak sedikit sudah kembali ke gira yang ramai dan
berisik, menurut vira. “Nggak gir, beneran, perasaan semalem, gue mimpi ada yang gendong gue gitu
lho gir, tapi.. ah, ga mungkin lah ya?”, timpal vira. “Hahahahha, ngaco lo ah, tapi vir, gue kasih saran ke
lo ya, coba deh banyakin makan lagi, gue rasa lo kurang berat deh”, timpal gira sambil tertawa terbahak-
bahak. “Dih, lo mah jahat sama gue si gir”, timpal vira sambil memukul pelan lengan gira. Di saat mereka
sedang tertawa, cita, gesti, dan choky (lagi-lagi) pulang dengan membawa jajanan di tangan mereka.
“Ah, au ah, lu mah main mukul-mukul gue, udah ditolongin juga”, timpal gira sambil berlari menghampiri
cita dan kawan-kawan untuk mengambil jajanan titipannya. Mendengar itu vira pun hanya termenung
dan memikirkan kata-kata gira kepadanya. “Ah, dia kan emang baik ke semua cewe, orang playboy gitu,
ga mungkiin”, gumam vira dari dalam hati.

##################

Dua minggu sudah Vira menjalani kerja prakteknya bersama sembilan teman lainnya di desa
Banyu nan indah itu. Vira sedang merasa bosan dan tak ada kerjaan di hari yang cukup menyengat
panasnya dan memilih untuk duduk terdiam sembari membaca komik-komik yang tersebar tak jelas di
atas meja ruang tamu. Cita, gesti, Mei, beserta teman kerja praktik lelaki lainnya sedang membeli
jajanan (lagi) di dekat rumah mereka hingga Vira berpikir apa mereka tak takut terkena serangan MSG
secara tiba-tiba lantaran kebanyakan mengkonsumsi cireng yang diberi bumbu yang memang sangat
menggoda aromanya itu hampir setiap hari? Tiba-tiba, selagi Vira asik membaca salah satu komik milik
Gira, handphone Vira yang sedari tadi sunyi senyap, bergetar membuat Vira langsung mengalihkan
pandangannya.

Vir, kita kayaknya udah punya kehidupan masing-masing ya.  Lebih baik kita jalanin hidup
masing-masing dulu kali ya? Kamu udah punya kehidupan di sana sendiri, aku pun gitu. Toh
kalau kita jodoh juga ga akan kemana kan?

Teks chatting yang tertera di Whatsapp milik Vira pun berhasil membuat Vira benar-benar
berpaling dari kebosanannya menjadi kepanikannya. Ia pun langsung tak tahu harus berkata apa.
Mengapa Ferdi tiba-tiba mengirimkan pesan berisi pesan yang selalu dianggap Vira menjadi sebuah bom
besar dalam hatinya? Kepala Vira pun terasa pusing sesaat ia membaca pesan dari Ferdi. Ia tak tahu
harus berkata apa. Tapi memang, Vira pun sudah mencapai titik jenuh dalam hubungannya dengan
Ferdi. Ditambah, mereka sudah hampir sebulan lebih tak berjumpa, bahkan sebelum Vira berangkat
kerja praktek mereka tak pernah banyak mengobrol secara langsung.

Kenapa tiba-tiba gitu Fer?? Maksud kamu apa??


Kamu mau putus??

Hanya itu yang bisa Vira katakan untuk membalas pesan singkat yang barusan dikirim oleh Ferdi
untuknya. Vira tak tahu alasan apa Ferdi harus memberinya pernyataan seperti itu di saat hubungan
mereka dilanda masalah lantaran kerja prakteknya. Apa Ferdi marah dengan tingkah Vira yang selalu
cuek untuk tidak melihat handphonenya? Atau ada alasan lain apa lagi? Begitu banyak pertanyaan yang
memenuhi otak Vira saat itu.

Gapapa. Aku cuman ngerasa kita udah saling punya kehidupan masing-masing Vir.  Udah, yah?
Kalau kita jodoh juga ga akan kemana kan?

Gamau Fer! Aku gamau putus! Pokoknya, aku ga akan


mau putus!

Udah, Vir. Gapapa. Yah? Kan kalau kita jodoh juga ga akan kemana? Kamu baik-baik ya di sana,
maaf ya pas kamu ulangtahun aku gabisa ngucapin langsung dan ngasih surprise ke kamu.

Ya, memang. Saat Vira ulang tahun, dua hari yang lalu, ia hanya mendapatkan surprise kecil-
kecilan dari teman-teman kerja prakteknya. Saat itu Gira membawa gitarnya dan menyanyikan lagu
untuknya bersama teman-teman lainnya. Memang, terkesan sederhana, tapi Vira cukup merasa senang
karena ia merasa masih banyak yang memperhatikannya. Vira sangat menginginkan keberadaan Ferdi
saat itu. Ia sangat ingin ada Ferdi di sampingnya ketika ia berulangtahun. Baru sekali ini ia tak bersama
dengan kekasihnya. Baru sekali itu ulangtahunnya tak dirayakan bersama dengan Ferdi. Tapi Vira pun
mengerti, tak mungkin untuk Ferdi jauh-jauh datang ke pedalaman seperti desa Banyu hanya untuk
memberikannya surprise.

Yaudah, kalau kamu maunya putus. Aku ga bisa


maksa  Aku ga ngerti harus gimana lagi.

Kata-kata itu yang terakhir diucapkan Vira kepada Ferdi. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Ini
bukan kali pertamanya Ferdi mengajak Vira putus lantaran permasalahan kecil seperti ini. Mungkin Ferdi
sudah benar-benar capek menghadapi Vira. Itu yang hanya bisa difikirkan Vira saat itu. Ia tak ingin
banyak berfikir lagi. Ia tak ingin banyak memohon lagi kepada Ferdi. Jika memang Ferdi ingin bebas dari
Vira, dan tak mau dibebani oleh Vira lagi, apadaya? Vira pun kemudian membenamkan fikirannya sambil
melanjutkan membaca komik milik Gira tanpa membacanya dengan jelas lantaran matanya yang sudah
dipenuhi oleh air mata.

##################
Malamnya, Vira bersama Cita, Mei, dan Gesti mengambil makan malam di rumah para lelaki
sebagai rutinitas mereka selama kerja praktek. “Oi, Vir! Kemana aja lo hari ini?”, sahut Gira tiba-tiba saat
Vira baru saja memasuki rumah lelaki. Vira pun sontak langsung menengok ke sumber suara dan hanya
bisa mencibir kepada Gira lantaran Vira sedang malas untuk berbicara dan berekspresi seperti biasanya.
Gira pun hanya terheran melihat tingkah gadis itu yang tak biasa. Seselesainya Vira dan yang lainnya
mengambil makan, mereka pun memutuskan untuk makan di rumah wanita supaya terlihat wajar dan
tak mengundang gosip di rumah-rumah tetangga. “Lah kenapa makannya di sono?? Sini aja bisa kali”,
timpal Choky sembari memperhatikan kepergian para gadis yang terlihat lesu hari itu. “Males ah,
pengen mencari ketenangan”, timpal Cita dengan cueknya dan sambil melengos keluar dari rumah para
lelaki yang memang jauh dari ketenangan seperti yang mereka harapkan.

“Vir, lo lagi kenapa sih? Kok lemes dah?”, tanya Mei sembari menyantap makanannya di ruang
tamu rumah wanita. “Gapapa Mei, gue lagi males aja hari ini, heu”, jawab Vira singkat, menghindari
pertanyaan seputar Ferdi ataupun kehidupannya hari ini. Untuk mengingat kata-kata Ferdi tadi siang
saja Vira sudah tak sanggup. “Ferdi?”, timpal Cita dengan nada sigap seakan ia seorang peramal yang
tahu segala permasalahan orang lain. Vira hanya terbatuk kecil dan melanjutkan makannya tanpa
menjawab pertanyaan temannya itu. “Iya kaaan?”, sahut Cita lagi dengan nada penuh penasaaran. Gesti
pun yang memang tak tahu menahu soal pacaranya Vira hanya bisa terdiam dan memperhatikan
pembicaraan mereka bertiga. “Iyaaa, iyaaa”, jawab Vira. “Tuhkaaan, gue bener”, timpal Cita dengan
nada penuh kepuasan. “Kenapa si Ferdi, Vir?”, tanya Mei dengan nada menenangkan Vira yang memang
terlihat menahan nangis sedari tadi. “Gapapa”, jawab Vira singkat, yang ia tahu hanyalah ia hanya ingin
menahan tangisan yang sebentar lagi akan keluar dari matanya tanpa ia sadari. “Udah, cerita aja, gue
juga barusan diputusin sama si Sachi tuh tadi siang, ga jelas juga kenapa tiba-tiba marah-marah lah,
hhhh”, timpal Cita. “Putus?”, tanya Mei lagi sambil melayangkan pandangan tajam kepada Cita yang
terkesan mengintimidasi Vira saat itu. Cita pun hanya bisa membalasnya dengan kerutan di keningnya
kepada Mei. “Iyaa mei”, jawab Vira lagi dan tanpa sadar air matanya sudah jatuh ke pipinya. Vira pun
menceritakan semuanya kepada ketiga temannya saat itu. Ia hanya ingin berbagi kesedihannya dengan
teman-teman yang ia anggap keluarga di desa Banyu. Ia tak tahu harus bagaimana. Kesal, sedih, campur
aduk menjadi satu. Yang ia tahu bahwa Ferdi dan dirinya sudah benar-benar berakhir.

###########################

Vira, pagi, lagi apa di sana?  Jangan lupa makan yaaa

Pesan singkat itu pun tertera di layar handphone Vira pagi harinya. Ia tak mengerti apa maunya
Ferdi. Kemarin ia mengatakan ingin putus, sekarang ia memberikan perhatian lagi kepadanya. Maunya
apa sih Fer?? Vira pun hanya membalas seadanya pesan singkat Ferdi tersebut. Entah, Vira hanya
merasa Ferdi adalah sosok lelaki yang jarang bisa ia temui. Ia adalah sosok lelaki yang hampir sempurna
menurut Vira. Perempuan mana pun pasti akan menyesal jika kehilangannya. Tapi Vira tak ingin terus-
terusan menjadi pihak yang memohon-mohon untuk tidak mengakhiri hubungan mereka. Vira pun
memutuskan untuk membalas pesan singkat Ferdi seadanya.

Iyaa Fer. Makasih yaa 


Tak ada balasan lagi dari Ferdi. Mungkin Ferdi tak mau memperpanjang masalah antara mereka
berdua pikir Vira. Vira pun melanjutkan aktivitasnya di hari itu dimana hari penyuluhan dilakukan,
dimana ia bertindak sebagai ketua panitia dari kegiatan tersebut lantaran ia bersama Cita dan Mei yang
paling mengerti. Seselesainya mereka bersiap-siap, Vira dan kesembilan rekannya pun langsung berjalan
menuju SD tempat mereka menyuluh. Selama perjalanan Vira pun sengaja bersenang-senang dengan
teman-temannya tanpa ingin mengingat masalahnya dengan Ferdi. Vira hanya berharap masalah antara
dirinya dan Ferdi akan segera berakhir.

JRENG! JRENG!

Let me go hooome.... homee....

Suara nyanyian yang terdengar fals di semua telinga manusia mana pun yang mendengarnya
pun sudah terdengar pagi-pagi buta saat Vira dan teman-temannya belum terbangun. Choky, ya, ia
pelakunya. Semua anak-anak kerja praktek yang berada di desa Banyu pun sudah sangat familiar dengan
suaranya yang agak “merdu” tersebut. “Banguuun oooy, tinggal seminggu lagi nih kita di sini”, teriak
Choky dari beranda rumah yang langsung terdengar oleh semua orang yang belum terbangun saat itu.
“Main yuuuk!”, timpal Gira membantu Choky meneriaki anak buahnya yang masih terlelap tidur,
termasuk Vira. Vira pun tak ingin malah nantinya Choky dan Gira memutuskan untuk masuk ke dalam
rumah perempuan secara tiba-tiba di saat ia belum sepenuhnya tersadar. Vira pun langsung bergegas
mengambil handuknya keluar tanpa menghiraukan keributan itu dan menuju kamar mandi. “Oy, Vir!
Sadaaar! Hahahha”, sahut Gira melihat tingkah Vira yang terkesan tak mau menyapa keduanya. Vira pun
hanya melengos melewati keduanya tak peduli. Pikiran Vira masih penuh dengan masalahnya dengan
Ferdi. Yang ia tahu hanyalah sekarang tak pernah lagi ada sms atau pesan singkat dari Ferdi untuk Vira
selama seminggu kemarin. Terasa sesak bagi Vira. Tak biasa. Tapi, di satu sisi ia memiliki keramaian
tersendiri bagi hatinya, yakni dengan adanya keberadaan rekan-rekan kerja prakteknya.

Seselesainya mandi, Vira pun kembali keluar berniat untuk menjemur handuk, melewati Cita dan
Mei yang baru terbangun dari tidurnya dan hanya bisa melihat Vira melewati mereka begitu saja.
“Weitss, udah wangi niiih! Ehem!”, timpal Gira tiba-tiba, membuat Vira tersentak sedikit lantaran kaget,
‘Mengapa ni orang masih aja ada di depan sini?’, pikir Vira dalam hati. “hmm.”, balas Vira dengan nada
penuh kemalasan. Vira pun kemudian masuk dan duduk di dalam ruang tamu perempuan sembari
mengambil cemilan yang sedari awal kerja praktek tergeletak berantakan. Gira pun ikut mengintil Vira di
belakangnya dan duduk di samping Vira, sedikit mengambil jarak tentunya. “Kenapa sih lo Vir?”, tanya
Gira dengan nada serius dan tatapan serius pula yang dianggap Vira tidak biasanya Gira sekhawatir ini
terhadapnya. “Gapapa”, jawab Vira singkat sembari mengambil komik milik Gira yang belum selesai ia
baca kemarin. Gira pun hanya memperhatikan Vira lama. Ia tak ingin banyak bertanya melihat sikap Vira
yang terus menerus pasif belakangan ini. Kemudian Gira beranjak dari sofa tempat mereka berdua
duduk dan pergi ke teras untuk mengambil gitar. ‘Mungkin Vira butuh sedikit hiburan’, pikir Gira dalam
hati.

I’m gonna pick up the pieces, and build a lego house


If things go wrong we can knock it down

My three words have two meanings,

There’s one thing on my mind

It’s all for you

I’m out of touch, I’m out of love

I’ll pick you up when you’re getting down

And out of all these things I’ve done

I think I love you better now

-Lego House-Ed Sheeran

Tiba-tiba Gira pun memasuki ruangan sambil memainkan gitarnya dan menyanyikan lagu
kesukaan Vira saat itu. Vira pun hanya bisa tertegun melihat tingkah Gira yang sebegitu perhatiannya
terhadapnya, menurutnya. Vira pun kemudian hanya tertawa kecil. “Naaaah, senyum kek dari tadii!!”,
sahut Gira setelah selesai menyanyikan lagu Ed Sheeran. “Apaan sih lo Gir, orang daritadi gue ga kenapa-
kenapa, lebay deh lo”, timpal Vira. “Bagus Gir, lo gatau ya Vira kan baru putus sama Ferdi”, sahut Mei
tiba-tiba dari belakang seselesainya mandi. Vira pun langsung mengernyit kepada Mei, memberikan
sinyal tak perlu ia memberitahukan Gira kan tentang hal pribadinya? Mei pun langsung kabur melihat
Vira yang memberikan sinyal negatif kepadanya. “Serius Vir?”, tanya Gira lagi sambil duduk di kursi
sebelah Vira duduki. “Hmm.”, jawab Vira kembali dengan nada penuh kemalasan.

“Viiir, jalan yuk!”, ajak Cita tiba-tiba sembari menghampiri Vira dan Gira yang sedang mengobrol
berdua di sofa depan rumah mereka. “Apaan sih lo Cit, ganggu aja dah”, sewot Gira kepada Cita lantaran
kesal obrolannya dengan Vira dipotong olehnya. Cita pun hanya menjulurkan lidahnya kepada Gira
seketika. “Yuk, beli cireng aja kita Vir, yuk!”, ajak Cita lagi menunggu jawaban Vira. Entah apa yang
membuat Cita kesambar mengajak Vira jalan di pagi hari saat itu. Selama ini Cita hanya berani mengajak
pergi Mei atau Gesti saja karena melihat suasana hati Vira yang sedang tak karuan. “Ah! Gue tau! Ke
pasar aja yuk! Cari-cari jajanan di sana, bahan masak sekalian!”, ajak Cita semakin ekstrim. Vira pun tak
tega melihat usaha temannya yang satu itu untuk mengajaknya. Ia pun mengiyakan hanya dengan
anggukan malas dan langsung beranjak dari kursi panas tersebut dan masuk kamar untuk kemudian
berganti baju. Gira pun tak mau kalah, ia langsung bergegas bersiap-siap ke rumah lelaki, “Eits, lo mau
kemana Gir?”, cegah Cita. “Mau ganti baju, kan gue juga mau ikut”, timpal Gira. “Lo boleh ikut, tapi lo
harus janji ke gue”, tawar Cita tiba-tiba. “Apaan?”, tantang Gira balik. “Buat Vira seneng. Gue ga tega,
makin kurus nanti dia kalau sedih-sedih gitu terus”, jawab Cita. Tanpa menjawab Gira pun langsung
bersiap-siap dan ikut Cita dan Vira untuk pergi ke pasar yang tanpa disadari ternyata Choky pun ikut
dengannya.
##############

Selama perjalanan menuju pasar, yang dianggap Cita dan Gira dapat menghibur hati Vira yang
sedang galau, Gira terus saja memperhatikan Vira dengan seksama. Vira pun hanya terus menatap layar
handphonenya yang kosong, hanya tertera gambarnya bersama Ferdi. Pasar di kecamatan dekat desa
Banyu memang merupakan satu-satunya pasar terdekat dari desa. Mencapainya saja membutuhkan
perjalanan setengah jam, itu pun belum termasuk dengan waktu menunggu angkot desa yang setiap 1
bahkan 2 jam sekali lewat di depan desa Banyu. Tak heran banyak sekali masyarakat desa sekitar
kecamatan yang berbelanja di pasar ini. Di pasar, Cita berencana untuk berbelanja bahan-bahan
masakan, yah, sekedar makanan ringan yang mudah dimasak bersama, dan habis dalam jangka waktu
beberapa menit dalam sekejap. Tak lupa Choky pun mengintil Cita kemana pun ia pergi tawar menawar
di beberapa toko dan bersedia membawakan belanjaan yang di bawanya. Gira pun terus mengerahkan
usahanya untuk menghibur Vira dengan terus mengajak ngobrolnya, meski Vira pun tak terlalu tertarik
dengan bahan omongannya.

Seselesainya berbelanja, Choky pun mengaku kelaparan dan ingin menyantap bubur ayam yang
terkenal di kalangan kelompok kerja praktek mereka, yap, bubur gothik! “Makan dulu yuk! Panas gini,
laper, aus, mending juga makan bubur gothik, terus minum es cendol!”, ajak Choky dengan penuh
semangat dan berkeringat. Mereka pun menuju tempat bubur tersebut, sambil berusaha menerobos
rumunan keramaian orang yang harus mereka hadapi. Selama itu, Gira terus berusaha keras
menunjukkan perhatiannya kepada Vira. Entah mengapa, Vira memang senang diperhatikan, tapi tak
berlebihan juga pikirnya. Memang, ia sudah putus dengan Ferdi, tapi tak secepat itu juga Vira
melupakan Ferdi yang sudah bertahun-tahun lamanya bersama dengan Vira.

#################

Tak terasa sudah 4 minggu lamanya mereka kerja praktek di desa Banyu. Vira pun merasakan
adanya sedikit rasa sedih lantaran harus berpisah dengan rekan-rekan kerja prakteknya yang sudah
dianggapnya keluarga. Begitu saja mereka berpisah. Hanya ditutup dengan makan bersama di daerah
kampusnya dan Vira pun dijemput oleh Ayahnya. Choky dan Mei pun ikut dengan Vira ke arah jakarta
lantaran rumah mereka terletak di daerah yang berdekatan dengan Vira. Di tengah perjalanan, Choky
terus mendorong Vira untuk melupakan Ferdi yang dianggapnya terlalu mengekang Vira. “Vir, lo coba
mikir, ada Gira, dia emang bukan cowo baik-baik, tapi kan dia segitu nunjukkin perhatiannya ke lo 2
minggu terakhir ini? Iya kan?”, sahut Choky dengan nada persuasif. Vira pun berfikir sejenak. Ada
benarnya kata Choky, mungkin Vira sudah harus mulai melangkah keluar dari zona nyamannya, Ferdi
untuk mencari zona barunya yang mungkin lebih terbuka untuknya. Terlintas wajah Ferdi di benak Vira
sejenak. Pria itu telah ia kenal bertahun-tahun lamanya, apakah berhak Vira tiba-tiba melupakannya?

Fer, aku udah di jalan pulang ya 

“Gue rasa itu ga adil buat Ferdi, Chok”, timpal Vira dengan nada tegar. “Gue emang terkekang,
tapi dia yang bisa kasih semuanya ke gue, ga adil kalau gue tiba-tiba tinggalin dia buat cowo yang baru
gue kenal 1 bulan lamanya Chok”, tambah Vira dengan nada penuh keyakinan. Choky pun hanya
berdecak kecil dan memilih untuk terdiam saat itu bermaksud tak ingin memaksakan kehendaknya
kepada Vira. “Yaudah, mending kita bobo yuk sekarang”, timpal Mei kepada kedua temannya yang
terlihat akan memulai perang dingin sesaat setelah pertemanan sebulan lamanya.

Iya  hati-hati ya

Itu balasan Ferdi. Singkat, memang. Tapi melihat itu, Vira hanya membacanya saja tanpa
membalasnya dan sedikit memikirkan perkataan Choky kepadanya. Memang benar. Vira hanya merasa
jenuh dengan Ferdi, apalagi sikap Ferdi yang dianggap Vira berbeda semenjak keputusannya 2 minggu
yang lalu. Vira pun perlahan mulai mengetik “Hai”, di layar handphonenya yang tertuju kepada Gira.

###########

Haniiiiiii, i’m back

Apa kabarrr loo?

Makin kuruss gak lo?

Gimana kerja prakteknyaaa?

Gue capek ah, ngomongin kerja praktek mah, capeeeeek

Iiiiih, gue liat kali foto-foto lo pas kerja praktek, ada cowo lain yaa?

Tuh, Ferdi curhat mulu ke gue, lo ga tau dia kemana sekarang?

Vira pun hanya memandang kosong ke arah layar handphonenya sembari melamun dan
tersenyum kecil. Ya, memang, semenjak kepulangan Vira ke jakarta, ia tak mendapat kabar sedikit pun
dari Ferdi. Vira tidak tahu ternyata selama ia kerja praktek, Ferdi mendapat kabar Vira dari Cita, ya,
teman dekatnya sendiri. Tanpa berniat berpikir Cita bermaksud merusak hubungan Vira dan Ferdi, Cita
pun hanya menyampaikan apa adanya yang ia harus sampaikan kepada Ferdi. Semuanya. Vira pun hanya
bisa tersenyum pahit mengingat itu.

Emang dia kemana Han? Kan harusnya yang ilang gue


kali?

Haha

Lah? Lo gak ada chat sama dia emang Vir??

Kagaaaaak

Tiba-tiba handphone di tangan Vira bergetar dan muncul lembar chat baru di layarnya.

Hai. 

Lembar chat baru itu berasal dari Gira. Ya, lelaki yang terlihat mendekati Vira saat kerja
prakteknya. Vira pun terlanjur senang, lantaran setelah Vira kembali dari kerja prakteknya, yang
menemani Vira adalah Gira selama Ferdi menghilang entah kemana. Vira hanya butuh sedikit pengalihan
untuk melupakan Ferdi yang selama bertahun-tahun lamanya telah bersamanya. Ia hanya merasa
senang mendapati sesosok lelaki lain yang dapat dianalogikan sebagai sebuah barang baru baginya.

Oi gir! Sepi beut nih di rumah gue!

Haha

Sepi yak? Mau balik lagi kerja praktek Vir?

Kagak juga sih, capek juga

Tapi kangen juga sih sama suasananya hahaa

Iya, gue juga nih

Biasanya juga kan maen uno yak haha

Lagi ngapain lu?

Cuman duduk nonton doang gue

Kosong rumah

Hooo

Sendirian banget?

Baru mau membalas chat Gira, tiba-tiba bel rumah Vira berbunyi. Vira pun hanya terbingung,
lantaran di jam segini, mana mungkin ada yang bertamu ke ibunya Vira yang sedang bersekolah? Apa itu
si mbak yang tiba-tiba pulang lagi ke rumah padahal baru kemarin pulang kampung? Vira yang sama
sekali belum merubah niatannya untuk mandi pagi saat itu, langsung melanjutkan ketikannya sejenak
dan langsung beranjak ke depan pintu rumahnya yang sedari tadi berbunyi.

Iyak

Mau gue temenin? Hahahaha

Diintipnya dari depan jendela, terlihat sosok Hani. ‘Lah? Orang tu anak baru aja chatting sama
gue tadii??’. “Haniiiiiii!! Kenapa lo kesiniii?? Aaaaa”, sambut Vira sembari membuka pintu dan berteriak
seperti orang yang sudah tidak bertemu bertahun-tahun lamanya. Hani tiba-tiba memberikan isyarat
bahasa tubuh untuk tidak keluar pintu dan hanya tertawa sembari menggoda. Melihat itu Vira pun
kebingungan. “Kenapaaa?? Masuk ajaa Haaan”, timpal Vira lagi kepada sahabatnya yang terlihat tiba-
tiba panik. “Vir”, tiba-tiba suara lelaki terdengar dari balik tubuh Hani sembari membawa boneka
beruang yang besar bersamanya. Mendengar itu, Vira pun langsung terkejut dan tak tahu harus berbuat
apa. Ia mengingat hal yang telah ia lakukan sesaat sebelum Ferdi dan Hani datang ke rumahnya. ‘Mati
gue. Ngapain Ferdi kesini?’, sahut Vira dalam hati. Vira pun mengisyaratkan Hani untuk masuk ke dalam
rumahnya bersamaan dengan Ferdi dan Hani sembari ia berlari ke tangga rumahnya untuk segera
membersihkan badannya.

Setelah hampir 20 menit lamanya Ferdi dan Hani menunggu di bawah, Vira pun turun ke bawah
untuk menemui mereka berdua. “Lo ga liat tu boneka buat siapa?”, sahut Hani sembari Vira
menyuguhkan minuman untuk Ferdi dan Hani. Vira pun melirik boneka yang dimaksud dan langsung
memandang Ferdi untuk mengucapkan, “Aaaa.. makasiih”. Ia pun langsung mengambil dan memeluk
boneka tersebut lantaran besarnya sama dengan dirinya. Ferdi pun hanya tersenyum melihat Vira yang
kegirangan menerima boneka darinya. “Vir. Aku kesini tuh maksudnya mau meluruskan perkataan aku
waktu itu ke kamu”, tiba-tiba Ferdi memecah keheningan di antara ketiganya setelah Vira duduk di
sebelah Ferdi yang disengaja oleh Hani. Vira hanya terdiam sambil memandang Ferdi yang tak
disangkanya sudah berkaca-kaca. “Waktu itu aku salah pikir. Aku sadar. Aku gabisa putus.”, lanjut Ferdi
lagi sambil menahan tangisnya di depan wanita yang memang ia sayangi. Entah mengapa saat itu Vira
hanya bisa terdiam tanpa ikut merasakan kesedihan Ferdi. “Ferdi ngerasa dia salah Vir. Waktu lo ulang
tahun juga sebenernya dia udah pengen kesana, tapi keadaan ga memungkinkan, soalnya ga ada yang
tau daerah sana Vir”, sahut Hani untuk menetralisir keadaan.

“Aku pengen kita balik lagi Vir”, terang Ferdi langsung ke Vira. Mendengar itu Vira hanya masih
belum bisa menerima pernyataan Ferdi yang menyatakan bahwa mereka sudah punya kehidupan
masing-masing dan sebagainya, menyakitkan. “Fer, aku ngerti kamu saat itu lagi kesel aku lagi kerja
praktek, tapi sekarang, aku udah terlanjur pengen bebas, ibarat kamu masih di sini, aku sudah berjalan
jauh ke depan, dan kamu tarik lagi, aku sudah terlanjur jauh berjalan”, entah mengapa kata-kata itu
keluar dari mulut Vira. Tega, ya. Saat itu pun Vira hanya merasakan perih di hatinya mengatakan itu
kepada laki-laki yang selama bertahun-tahun lamanya menyayanginya. Ferdi pun semakin berkaca-kaca.
Namun ia merasa tak pantas menangis di depan Vira. Ia laki-laki yang sebenarnya pantas untuk
didapatkan Vira. Mengapa Vira berubah secepat itu? Hanya karena perkataan Ferdi yang memang dirasa
Ferdi seenaknya.

###########

Dua minggu telah berlalu. Vira pun harus kembali ke kampusnya untuk melanjutkan kuliahnya
yang telah kembali ke masa perkuliahan. Selama 2 minggu ke belakang, Vira memang lebih banyak
berinteraksi dengan Gira dibanding Ferdi. Namun Ferdi pun masih cukup intens menghubungi Vira.
Memang Vira terlihat sedikit berbeda menurut Ferdi. Tak biasanya Vira membalas chat Ferdi begitu
singkatnya. Biasanya yang banyak menanyai kabar adalah Vira dibanding Ferdi. Ferdi pun hanya dapat
membabat secara halus pikiran-pikiran negatifnya. Ia tahu itu bisa menjadi malapetaka untuk
hubungannya dengan Vira.

Vir, udah jalan ke Bandung?

Udah Fer

Sama siapa?
Hati-hati yaaa 

Sama Mei

Iyaaa Fer 

Naik apa Vir?

Mei bawa mobil kok Fer 

Kamu lagi apa?

Lagi ga ngapa-ngapain 

Vir, aku boleh nanya?

Nanya apa?

Vira pun sempat berfikir sejenak. Apakah Ferdi mengetahui mengenai kedekatan Vira dengan
Gira? Atau ada hal lain apa yang ingin ditanyakan Ferdi kepadanya? Sejenak ia terlihat panik. Mei pun
sadar akan hal itu. “Kenapa lo Vir?”, tanya Mei sambil kembali konsentrasi menyetir. “Nggak Mei, si
Ferdi”, jawab Vira sembari harap-harap cemas melihat handphonenya. “Kenapa Ferdi?”, tanya Mei lagi
dengan nada sedikit menenangkan. “Dia.. kayanya tau deh, gue lagi deket sm Gira”, jawab Vira lagi.

Kamu.. lagi deket sama cowo lain ya?

Teks whatsapp itu terlihat langsung di layar handphone Vira. “Tuhkaaaaan... Haaaa... Meiii, gue
mesti jawab apaaa?”, timpal Vira kepada Mei dengan nada panik. “Yaudah, lo jawab apa adanya ajaa Vir,
Kan emang bener kan? Lagian cowo kayak Ferdi tuh terlalu ngekang lo juga kan kata lo?”, sahut Mei
sembari memperhatikan jalan tol yang sedari tadi terasa kosong baginya. “Iiiiih, ga tegaaa Meiii”, sahut
Vira lagi dengan nada semakin panik.

Iyaa Fer..

Tuhkaaan aku beneer!

Siapa namanya???? Kasih tau aku sekarang Vira!!

Nomornya berapaa??

Belum sempat Vira mengetik teks balasan untuk Ferdi, Ferdi pun langsung menelepon Vira saat
itu juga. Vira pun sempat enggan untuk mengangkatnya. Melihat itu, Mei pun langsung menyuruhnya
mengangkat telefon dari Ferdi, “Angkaaat Viir”.

“Halo.. Ferdi..”, sahut Vira dari handphonenya, saat ini bukan saat yang tepat untuk berbicara
dengan Ferdi secara privat. Vira perlu waktu berdua untuk berbicara dengannya. Mei memang teman
yang baik untuk Vira, mungkin ia hanya ingin membantu menenangkan Vira, namun ia tak begitu
mengerti keadaan hubungan keduanya saat ini. “Viraa.. Plis.. Kamu kasi tau aku sekarang juga, siapa
nama cowo itu, kasih nomornya ke aku.. Aku hubungin dia sekarang juga”, sahut Ferdi di seberang sana
dan sambil menangis. Saat itu Vira benar-benar tidak menyangka dampaknya pada Ferdi. Ia menjadi tak
tega. ‘Dia nangiis Meii’, bisik Vira kepada Mei sembari mendengar Ferdi yang sesak saat menangis di
telefon. ‘Udaaah, gapapa, kalo emang udahan, yaudah’, sahut Mei lagi. “Fer.. aku ga pantes buat kamu,
kamu harus cari cewe lain, aku udah jahat sama kamu Fer”, sahut Vira lagi. Sebenarnya saat itu Vira
sangat ingin menangis, karena ia tak tega mendengar suara Ferdi yang terdengar sangat menyedihkan
saat itu. Tapi apa daya, ia sedang bersama Mei dan tak ingin terlihat sedih di depan teman kampusnya.
Vira merasa malu untuk menangis di depan orang lain.

“Vir.. Aku lebih baik daripada cowo itu Viir.. Kenapa kamu mau sama dia?? Siapa Viir?? Sebut
namanyaa, aku mohoon”, mohon Ferdi setelah berkali-kali ia memohon lewat telfon kepada Vira. Vira
pun tak tega dan terus mengatakan bahwa ia tak pantas untuk Ferdi, lebih baik Ferdi bersama dengan
perempuan lain yang lebih baik untuknya. Setelah satu jam lamanya Ferdi menelepon, sampai Vira
sudah sampai di kampusnya, tetap saja Vira bersikeras untuk memilih sendiri, tanpa harus memilih Gira
ataupun Ferdi saat ini. Karena ia merasa ia tak pantas untuk keduanya. Ia terlalu jahat. Ya, sangat jahat.

##########

Ferdi pun tak putus asa untuk terus membujuk Vira untuk kembali kepadanya. Ia terus
melakukan usahanya selama tiga kali sampai-sampai ia harus berjauh-jauh menyusul Vira ke Bandung
untuk memohon kepadanya. Namun, hasilnya tetap saja nihil. Vira memang sudah tiddak berhubungan
dengan Gira. Tapi ia masih terus merasa bersalah kepada Ferdi akan apa yang telah ia perbuat. Ia
merasa terlalu jahat kepada Ferdi dan memilih untuk benar-benar sendiri tanpa keduanya. Dua bulan
setelah peristiwa tersebut, Ferdi memutuskan pergi menenangkan pikiran dan hatinya tanpa
memikirkan kuliahnya. Sampai orangtuanya pun tak bisa apa-apa. Ferdi memang anak tertua dan keras
kepala dibandingkan adik-adiknya. Ia berani mengambil langkah apa pun untuk dirinya sendiri ketika ia
memang sedang ada masalah yang ia rasa tak bisa ia tanggung sendiri. Vira sangat-sangat merasa
bersalah akan hal itu. Ia sangat menyesal kehilangan Ferdi. Rasanya, ingin ia menyusul Ferdi ke Bali,
namun, apa daya? Vira pun masih shock dengan apa yang telah diperbuatnya. Sepanjang hari pun Vira
hanya bisa membenamkan dirinya dengan penyesalan dan air matanya.

##########

“Udah ya, Vir. Mending sekarang lo balik ke rumah dulu. Nanti kalau emang ada kabar dari Ferdi,
gue kabarin lo ya Vir, tenang aja ya”, nasihat Hani pun diterima Vira. “Thanks ya”, sahut Vira dengan
suara serak sehabis nangis. Vira pun berjalan pulang ke rumahnya dengan perasaan sedih dan penuh
lamunan, yang ia fikirkan hanyalah sedang apa Ferdi di sana, apa yang ia fikirkan? Dari dulu ini yang
paling ditakutkan oleh Ferdi dan Vira. Putus. Ya. Hanya itu yang mereka takutkan.

Aku mohon, Fer, pulang, aku minta maaf, aku tau aku salah, tolong, jangan siksa aku kayak gini, aku tau
kamu yang paling sakit, aku tau, tapi tolong jangan bikin orangtua kamu juga jadi khawatir gini, yah?
Hanya itu teks message yang dapat dikirim Vira ke nomor Ferdi saat itu. Ia tau Ferdi pasti sangat
tak bisa memaafkan Vira saat ini. Nama Vira pun sudah tercoreng moreng di depan teman-teman
lamanya. Ia tahu apa yang diperbuatnya sangat lah tak pantas. Mengapa ia bisa melakukan hal ini
kepada Ferdi yang sudah sangat menyayanginya sejak dulu? Vira pun terus membenamkan dirinya
dalam penyesalan. Yang Vira tahu hanyalah ia sangat bersalah kepada Ferdi. Ferdi bahkan sampai
menarik dirinya dari lingkungan teman-teman semasa SMAnya dulu. Entah apa yang difikirkan Ferdi
sampai harus seperti ini.

########

1 tahun kemudian.

Ya, sudah 1 tahun lamanya Vira sangat-sangat kehilangan kontak dengan Ferdi. Lelaki yang
sedari dulu ada di fikiran dan hatinya. Setiap hari Vira berusaha untuk menghapusnya dari ingatan dan
hatinya, tapi tetap saja yang ia rasakan sama kepadanya. Penyesalan. Rasa bersalah. Penasaran. Tiga
perasaan itu terus bercampur aduk di dalam hati dan fikiran Vira. Berita bahwa Ferdi telah memiliki
kekasih lain telah sampai di telinga Vira sejak 1 tahun yang lalu. Sakit, sangat. Dirasa Vira hal itu tidak
adil. Ia telah menjauh dari Gira, dan ia tak menerima seorang pun lelaki baru dalam kehidupannya hanya
karena ia masih sibuk memikirkan Ferdi, tapi dibalas dengan tingkah Ferdi yang memilih jalan bersama
perempuan lain. Ya, mungkin dirasa pantas oleh Vira oleh karena apa yang ia lakukan kepada Ferdi 2
tahun yang lalu. Terlalu parah memang. Sekarang Vira hanya bisa terus melanjutkan hidupnya seperti
biasa. Dan sekarang ia telah mencapai tingkat akhir dari perkuliahannya yang dirasa sangat memerlukan
perjuangan ekstra untuk mencapainya.

“Vira!”, sapa Cita dari kejauhan sembari berlari menghampiri Vira. Vira pun menghentikan
langkahnya yang sedari tadi hanya melamun ke arah tak jelas di depan matanya. Saat itu Vira, Cita, dan
Mei sedang berada di salah satu acara bergengsi yang diadakan fakultas tempat mereka berkuliah yang
berisi banyak dokter gigi dan seminar-seminar. Mereka menjadi salah satu panitia saat itu. “Eh, Cit, lo di
ruangan mana?”, tanya Vira yang memang saat itu mereka terbagi menjadi beberapa ruangan yang
berbeda. Sembari membawa bungkusan kardus yang berisi peralatan untuk keperluan seminar saat itu,
Cita dan Vira pun langsung bergegas melangkahkan kaki mereka lantaran takut telat menyiapkan
ruangan masing-masing. Memang saat itu mereka bertugas menjadi anggota bagian logistik yang
bertanggung jawab menyiapkan peralatan. “HD1 gue Vir, telaaat”, jawab Cita sambil nyengir. Vira pun
berbelok ke ruangan HD4 yang memang masih sepi lantaran jadwal seminar di ruangannya lebih siang
dibandingkan Cita. Ia masih memiliki waktu cukup untuk menyiapkan ruangan itu fikirnya. Vira pun
langsung bergegas menaruh dan menata barang-barang dan mengecek susunan meja dan kursi yang
diminta oleh bagian acara.

“Ehem”, salah seorang lelaki berdeham di belakang Vira membuyarkan konsentrasinya saat itu.
Vira pun sontak langsung menoleh ke arah sumber suara. Riko. Berdiri dengan jas hitamnya, dan kemeja
biru sebagai rangkap dalamnya, dan mengangkat alis sambil tersenyum. Riko adalah salah seorang
teman kuliah Vira semasa S1 dan ia belum pernah mengobrol lama dengannya semasa itu. Vira hanya
sekedar mengetahuinya secara superfisial saja, “Ya, kenapa Ko?”, tanya Vira sambil melanjutkan
kesibukannya. “Butuh bantuan gak Vir?”, tanya Riko sambil berjalan menghampiri Vira. Aneh memang,
logistik yang bertugas saat itu hanya Vira yang rajin sepagi itu sudah berada di dalam ruangan seminar.
Vira pun melambaikan tangannya tanda ia tak memerlukan bantuan. “Bisi pingsan”, lanjut Riko lagi dan
langsung mengambil peralatan yang berada di tangan Vira membuat Vira pun tertegun sejenak. Ia
belum pernah melihat jenis lelaki seperti ini fikirnya.

Selama acara, entah mengapa, Riko terus menghampirinya, mulai dari menanyainya sudah
sarapan apa belum, hingga benar-benar membawakannya snack untuk Vira. “Mau gak?”, tawar Riko
sembari duduk di kursi panitia saat seminar sedang berlangsung. Ia menyodorkan minuman berwarna
cokelat dan terasa asam ke arah Vira saat itu. Vira pun memang sedang haus saat itu, ia pun mengambil
gelas minuman tersebut dari tangan Riko dan meneguknya, “asem”, komentar Vira. “Hahaha, asem,
kayak muka kamu”, balas Riko sambil nyengir. Vira heran, ia tidak pernah berbicara atau bahkan
bercanda sebelumnya dengan Riko. Sepanjang acara Riko banyak bertanya tentang Vira, bahkan sampai
kehidupan percintaannya pun ia tanya. Vira, memang pada dasarnya adalah anak yang terbuka dan mau
berbagi cerita ke banyak oraang selama orang tersebut yang mennanyainya terlebih dahulu. Mereka
pun asik bercerita dan bercanda sepanjang acara.

Vira memang bertekad menyibukkan dirinya untuk dapat melupakan Ferdi saat itu. Setelah
pertemuannya dengan Riko di acara tersebut, Vira dan Riko pun menjadi lebih dekat, bahkan sering
membantu satu sama lain. Riko memang seorang lelaki yang tergolong soleh, ia tak berniat berpacaran
sama sekali. Ia sering mengajak Vira ke arah kebaikan. Vira pun senang, karena ia bisa lebih mengenal
agamanya lewat Riko. Kalau memang dapat merubahnya menjadi lebih baik, apa ruginya bukan?

#######

Selepas kuliah, Vira dan kedua temannya memutuskan untuk membeli makan di kantin karena
sedari pagi mereka sama-sama belum bertemu dengan sesuap nasi. Kantin kampus Vira semakin lama
semakin dipenuhi oleh junior-junior mereka yang wajahnya semakin tak dapat dikenali dan dihafal oleh
ketiganya. Bahkan angkatan mereka pun sudah separuh yang lulus, dan sudah entah pergi kemana.
“Berasa bukan kampus sendiri jadinya”, celetuk Cita sembari menarik kursi kantin untuk duduk.
“Hahahah, iya ya? Banyak muka yang ga gue kenal”, tambah Mei dengan muka cengengesannya yang
khas. Vira pun hanya terdiam tanpa berkomentar. “Vir, lo lagi galau lagi deh pasti?”, tebak Cita sembari
memperhatikan Vira yang sedari tadi hanya terdiam. “Iya ya? Biasanya kan lo banyak nyeloteh sampai-
sampai kita kehabisan kata-kata?”, tambah Mei dengan nada khawatir. “Kenapa lagi sih? Ferdi? Udah
atuh Vir, udah punya cewe juga, ngapain masih dipikirin?”, timpal Cita. Vira pun tak mau berkomentar
dan hanya berusaha menahan nangisnya sambil terduduk diam.

‘Siapa juga yang masih ingin menyimpan namanya dengan baik di hati dan fikiranku?’, keluh Vira
dalam hati. “Coba vir, lo jujur sama kita, ini udah 2 tahun, udah di akhir kuliah juga, lo masih mikirin dia
tuh gila lho kata gue?”, Mei langsung bertanya ke Vira lantaran gemas dengan tingkah temannya yang
satu ini. “Coba, menurut lo, dia udah punya cewe baru, ya pasti dia udah lupain lo lah”, tambahnya lagi
dengan nada penuh kekesalan. “Ya belum tentu lah Mei, gue dikasih tau sendiri sama adeknya, sering”,
sewot Vira dengan nada masih penuh ketenangan. Ya, Vira masih terus berhubungan dengan adiknya
Ferdi yang memang sedari dulu mereka kenal satu sama lain. Dari adiknya lah Vira tahu kabar Ferdi,
meskipun selama ini Ferdi terkesan baik-baik saja jauh darinya, tapi seringkali adiknya menyampaikan
pesan dari Ferdi untuknya. Ferdi yang masih sering menanyainya, Ferdi yang masih sering ingin tahu
kabar dirinya, dan sebagainya. “Oke, taruhlah dia belum lupain lo, tapi sekarang, dia udah ada cewe
baru Vir, itu masalahnya, lo gimana? Dia enak-enakan ada cewe baru, nahan lo buat terus berharap ke
dia, tapi lo? Sampai sekarang masih sendiri kayak gini kan?”, tambah Cita yang juga ikut geregetan
melihat tingkah Vira. Vira pun tak bisa menanggapinya lagi, ia memutuskan untuk terdiam dan
melanjutkan makannya meskipun seleranya sudah cukup berkurang karena Ferdi.

#######

Vir, ntar mau ikut ngumpul sama anak-anak gak?

Futsal bareeng

Kapaan? Di?

Minggu depan

Di tempat futsal biasa dulu haha

Lo masih hapal kan tempatnya?

-_-

Emang cewe boleh ikut?

Obrolan chatting antara Vira dan Hani pun menjadi fikiran tersendiri untuk Vira. Futsal dan
kumpul bersama anak-anak mungkin bisa menjadi kesempatannya untuk bertemu Ferdi yang mungkin
sudah kembali ke peradaban teman-teman SMP SMAnya dulu. Tapi apakah Ferdi masih mau bertemu
dengan Vira? Vira tau, ia sangat ingin menemui Ferdi. Sudah sangat lama sekali ia tak bertemu dengan
lelaki itu. Dan masalah antara ia dengan Ferdi masih dianggapnya menggantung. Wajar bila masih ada
rasa penasaran dan penyesalan di dalam diri Vira.

Wo, emang yang futsal itu cewe boleh ikut?

Vira pun memutuskan untuk mengetik pertanyaan di atas kepada teman dekatnya Ferdi yang
dipanggil Wawo, meskipun nama aslinya cukup dapat dibilang keren, Vano. Terkesan jauh, tapi entah
darimana panggilan itu berasal. Wawo baru saja mengupdate di media sosialnya sehabis bertemu
dengan Ferdi. Baru saja semalam ia melihat fotonya. Ia sempat terdiam sejenak ketika melihat foto Ferdi
terpajang dengan cantiknya di media sosial. Entah mengapa, rasa rindu yang sangat mendalam dirasa
Vira saat melihat fotonya saja.

Mau ketemu ferdi yaaa

Bebas sih sebenernya


Tapi ferdinya gamau, gue bingung jadinya

Hahahaha

Kagak Woo

Si Hani ngajakin gue, jadinya gue nanya lo

Kenapa dia gamau ikut? Gamau ketemu gue?

Dia belum bisa move on dari lo Vir

Iyaa aneh diaa

Ga bisa move on?

Bukannya dia udah punya cewe baru ya Wo?

Dari ceritanya sih gue fikir cewenya juga ga bener sih

Yaelah, emang sih, gue denger dari adeknya juga

Yaudah lah, yang penting mah dia seneng-seneng

Dia ga seneng dan ga nyaman Vir

Pelarian doang menurut gue

Udah gue suruh putus sih

Vira hanya memandangi layar handphonenya yang tertera kata-kata itu dari Wawo. Ia tak tahu
harus menanggapinya bagaimana. Yang jelas sekarang ia tahu bahwa Ferdi masih memikirkannya dan
masih belum bisa melupakannya. Sedikit melegakan memang, karena itu dianggap cukup adil olehnya.
Vira pun belum bisa melupakan Ferdi sampai sekarang. Di satu sisi Vira masih kesal dengan Ferdi, untuk
apa ia mencari pelarian dan masih mempertahankannya sampai selama ini? Malam itu Vira pun hanya
memutuskan untuk merenung sejenak. Apakah ini sekedar ujian dari Allah atau kah memang petunjuk
dari Allah tentang dirinya dan Ferdi.

#########

“Gave me the world to take it all away.... All you left me was yesterday.... And this space in my
heart.... Now it’s slowly tearin me apart.... I’m takin all that I learned from you... I’ll make it something
I’ll never do... You thaught me how to break a heart....”, nada-nada yang sedikit sengau terdengar dari
kamar Vira. Ia sengaja menyanyikan lagu westlife, boyband kesukaannya sedari dulu, kencang-kencang
untuk menghilangkan rasa galau sekaligus memenuhi rasa kangennya ke Ferdi. Hari ini Vira diwisuda
bersamaan dengan teman-teman lainnya, tepat 6 bulan setelah ia mendapat kabar terakhir tentang
Ferdi dari Wawo. “Viraaa, ayoo nak”, sahut Ibunya dari luar kamarnya yang akan mengantarnya ke
wisuda di hari itu. “Iyaa bu, ini tinggal pake kerudung, hehee”, balas Vira dari dalam kamar. Orangtua
Vira jauh-jauh datang dari Jakarta untuk menghadiri acara wisuda anak bungsu mereka. Sehabis wisuda
dan lulus kuliah, Vira ingin melanjutkan kuliahnya ke Korea Selatan, negara kesukaan Vira yang ingin ia
jelajahi semasa hidupnya. Meskipun tidak sebidang dengan kuliah S1nya, tapi ia tetap memantapkan
hatinya untuk melanjutkan studi di negara girlband dan boyband itu.

Gedung wisuda kampus Vira memang tidak sebesar gedung-gedung wisuda kampus lainnya. Tapi
itu tidak menjadi masalah bagi Vira dan teman-temannya. Ya, asalkan mereka sudah lulus dan keluar
dari kampus mereka itu setelah 5 tahun lebih berkuliah, sudah syukur alhamdulillah. Sesampainya Vira
dan keluarganya di sana, suasana kesenangan dan keramaian terasa oleh Vira. Ia merasa bahagia dan
sekaligus terharu, akhirnya ia telah selesai berjuang menyelesaikan kuliahnya di kampus yang sedari
dulu tak pernah ia bayangkan dapat memasukinya. Ia hanya ingin memberikan sedikit kebahagiaan
kepada ayah dan ibunya meskipun tak menjadi mahasiswa dengan pujian. Vira adalah anak bungsu dari
keluarga bapak Mul dan Ibu Nur dari 2 bersaudara. Kakak pertama Vira telah 1 tahun lamanya menikah
dan memomong satu anak laki-laki pertama di keluarga Vira. Tak lama setelah Vira duduk bersama
teman-teman lainnya yang lulus saat itu, prosesi wisuda pun dimulai dengan penuh kehikmatan.

Setelah 2 jam berada di dalam gedung wisuda, Vira bersama rekan-rekannya yang sudah lulus
pun keluar dari gedung tersebut dengan perasaan lega dan mengharukan. Mereka langsung berlarian ke
arah sahabat-sahabatnya semasa kuliah, bahkan sahabat-sahabatnya semasa SMP/SMA dulu. Vira pun
tak terlalu berharap kedatangan Hani, karena ia tau Hani juga memiliki kesibukan sendiri dan tak tega
jika Hani harus jauh-jauh datang ke kota kembang hanya untuk menghadiri wisudanya. Di luar gedung
Vira pun langsung dihampiri oleh Cita dan Mei yang sama-sama masih berjuang menyusun skripsinya.
“Viiir, selamat yaa! Akhirnyaaa jadi sarjana juga lo”, sambut Cita sambil memberikan setangkai bunga
mawar kepadanya. “Aaaa, viraaa, lo kok ninggalin kita sih? Kan harusnya lo nungguin kitaaa, huuu”,
sahut Mei dari sebelah Cita sambil memberikan setangkai bunga juga kepada Vira. “Aaaa makasih yaa
temaaan, sini sini peluk guee”, sahut Vira dengan nada penuh terimakasih dan sedikit sedih karena
dipikir-pikir ia harus meninggalkan keduanya ke negara Korea untuk melanjutkan studinya segera.
Mereka pun terlarut dalam suasana wisuda yang penuh kemeriahan dan kesenangan.

Ketika Vira dan teman-teman seangkatannya berfoto angkatan, Vira merasa ia melihat sesosok
lelaki yang tak asing baginya. Sempat ia memperhatikan sejenak, tetapi bayangan lelaki itu pun ikut
hilang bersamaan dengan kerumunan orang-orang yang melewatinya. Namun, bayangan lelaki itu
tergantikan oleh sosok Hani yang tiba-tiba muncul bersama dengan teman SMA Vira lainnya yang datang
menghampiri Vira dengan penuh kesenangan. “Haniiiiiii”, teriak Vira sambil berlari kecil menyambut
sahabatnya tersebut. Hani pun langsung memberikan setangkai bunga dan hadiah boneka beruang kecil
yang manis yang memang sudah sering diidam-idamkan oleh Vira semenjak ia SMA dulu. “Aaaa makasih
yaa Han”, ucap Vira kepada sahabatnya itu sambil memeluknya. “Lo pada jauh-jauh kesini buat wisuda
gue doang? Ya ampun, terharu dong gue”, tambah Vira kepada teman-temannya yang sudah datang
jauh-jauh dari Jakarta untuknya. “Hahaa, iyaa lah, wisuda kan kayak kawinan Vir, sekali seumur hidup”,
timpal Wawo asal. “Ah elu ngaco dah wo!”, sahut Ai yang juga merupakan teman sepermainan Vira
semasa SMA dulu. Melihat kedatangan mereka, Vira pun sudah cukup senang. Menurutnya, kedatangan
teman-teman SMAnya sangat berarti baginya. Mereka yang sudah sering memberikan semangat kepada
Vira ketika menyusun skripsi yang dirasa sulit baginya.
Seselesainya mereka berfoto ria, Vira pun memilih duduk di trotoar pinggir jalan dalam
kampusnya yang memang satu-satunya spot kosong yang tersisa di wilayah itu. Mei dan Cita pun
terlarut dalam candaan Wawo dan Ai yang sedari tadi bercanda tak henti-hentinya. “Hmmm.. capek juga
ya”, keluh Vira sembari melamun kecil melihat ke jalanan. “Jangan ngelamun lah Vir, kan udah jadi
sarjana, jadi lo mau ke Korsel?”, sahut Hani sembari menemani Vira duduk di trotoar. “Jadi dong, gue
mau ketemu Rain...”, jawab Vira dengan nada penuh harapan bertemu dengan artis idolanya sejak dulu.
Vira dan Hani pun sama-sama tertawa setelah mendengar harapan konyol Vira tentang harapannya.
Bagi Vira, masih ada satu hal yang cukup mengganjal. Ferdi. Mengapa dia tak ada mengucapkan selamat
kepadanya? Apakah begitu susahnya memaafkan kesalahan Vira sewaktu dulu? “Vir, selamat dari Ferdi”,
tiba-tiba suara Hani menjawab jawaban yang ada di fikiran Vira saat itu. “Hmm?”, tanggap Vira dengan
nada kebingungan. “Dia.. ngucapin selamat buat lo, tadinya gue ajakin dia kesini, siapa tau dia mau
ketemu lo, udah lama kan? Apalagi lo mau pergi jauh, masa dia gamau nemuin lo juga?”, jelas Hani. Vira
pun hanya menjawabnya dengan tertawa kecil. “Kok lo ketawa sih?”, heran Hani kepada sahabatnya
yang malah tertawa kecil mendengar niat baiknya untuk mengajak Ferdi datang ke wisudanya.

“Yah.. lo tau Han? Gue udah cukup bisa mengikhlaskan dia kok, kalau emang kata Allah jalannya
gue udah ga sama dia, yaudah. Makanya gue milih buat pergi jauh dari sini. Selain karena gue mau
menuhin keinginan gue yang dari dulu pengen ke sana, gue juga pengen ngelupain semuanya, bener-
bener sampe bersih. Lupa.”, jelas Vira kepada Hani. Hani pun hanya terdiam memandangi jalan seolah
menahan akan sesuatu dalam fikirannya. Vira pun tahu itu. Tapi ia hanya ingin benar-benar melupakan
Ferdi. Ia punya kehidupan sendiri tanpa harus ada Ferdi di dalamnya. Jika memang Ferdi sudah
seharusnya menjadi bagian dari hidupnya, ia yakin suatu saat Allah akan mempertemukan ia dengannya.
“Gue yakin kok, suatu saat gue bakal ketemu sama dia lagi Han”, tambah Vira lagi menjawab pandangan
berfikir Hani. Hani pun memandang sejenak Vira, “Lo.. pernah gak sih berfikir kalau lo tuh berjodoh
sama Ferdi?”, tanyanya tiba-tiba. Vira terdiam sejenak, “Pernah”, lanjutnya lagi setelah tersadar dari
kekagetannya akan pertanyaan Hani. “Terus, lo ga ada keinginan untuk ketemu dia apa Vir?”, tanya Hani
lagi dengan nada penuh geregetan. Hani memang sudah lama geregetan dengan tingkah Vira dan Ferdi
yang sudah jelas-jelas sama-sama masih saling menyayangi, tapi tidak pernah ada satu pun yang
memberanikan dan menurunkan gengsinya untuk bertemu lagi satu sama lain.

“Ada Han. Di waktu yang tepat.”

##########

2 tahun kemudian

Suasana bandara penuh dengan keramaian. Banyak orang berlalu lalang untuk kembali pulang
ke kampung halamannya karena ini saatnya berlebaran bagi para muslim. Vira pun turun dari pesawat
dengan membawa satu buah tas ransel dan satu buah tas tentengan yang cukup besar berisi oleh-oleh
untuk keluarganya. Ia pun mengikuti arus manusia yang memang saat itu termasuk penuh untuk
Indonesia. ‘Hadeuuuh ini apaan ya banyak banget orangnya’, keluh Vira dalam hatinya sambil ikut
berdesak-desakan dengan kerumunan orang lainnya. ‘Mana laper lagi mamaaa’, teriaknya dalam hati
lantaran ia masih berpuasa sehari lagi sebelum lebaran menyambut. Setelah bersusah payah keluar dari
kerumunan orang yang ingin sama-sama cepat sampai rumah dan mengambil barang dari bagasi, Vira
pun memisahkan dirinya di bangku yang tersedia yang cukup dirasa sepi baginya. “Haaaah...”, serunya
dengan lega dan sedikit terasa capek. “Mana lagi nih emak bapak, belum juga jemput gue”, keluhnya
sembari melihat layar handphonenya untuk kemudian menelfon ayahnya yang mungkin saja baru
berjalan dari rumahnya. Sembari sibuk menelfon ayahnya, Vira sesaat lagi-lagi merasakan seperti
melihat sesosok lelaki yang tak asing baginya sama seperti ketika ia wisuda dulu. Tak sempat ia mencari
tahu sosok itu dengan jelas, di sebrang sana ayahnya sudah memanggilnya, “Vira!”. Vira pun menoleh ke
sumber suara, ya, ayahnya sendiri dan langsung menghampirinya untuk kemudian pulang bersama
kedua orangtuanya.

#########

“Gimana Vir di koreanya? Bareng lagi sama siapa tuh, temen korea kamu? Ayeong?”, tanya
ibunya di mobil. Vira memang sudah dua tahun lamanya menjalani perkuliahan S2nya di Korea Selatan
dan sesampainya di Korea, ia langsung mendapat teman Korea baru yang bernama Ayeong. Ayeong
adalah gadis korea yang termasuk kalem di mata Vira, dibanding dirinya sendiri tentunya, dan lebih
pintar darinya. “Iya bu, masih bareng sama dia. Tinggal dikit lagi nih bu, kan lagi nyusun juga kita, hehe”,
jawab Vira dengan nada cengengesan. Ibunya pun hanya nyengir sedikit mendengar kabar tentang
kuliahnya. “Ohiya Vir, kemarin ibu dapet sms lho dari Ferdi”, sahut ibunya lagi tiba-tiba dan membuat
hati Vira sedikit bergetar. ‘Untuk apa ibu menyebut-nyebut namanya lagi?’, keluhnya dalam hati.
“Ngapain dia sms ibu?”, tanya Vira dengan nada sedikit memaksakan untuk cuek. “Ya mau menjaga
hubungan baik aja kali sama ibu”, jawab ibunya lagi. Memang, ibu Nur satu ini sangat mengharapkan
Ferdi menjadi menantunya sedari dulu, sedari Vira dan Ferdi putus. Entah. Mungkin karena Vira masih
belum bertemu dengan lelaki lain yang dianggapnya dapat menyaingi Ferdi.

Sudah dua tahun lamanya Vira tak memikirkan nama itu. Rencananya untuk melupakan Ferdi di
negeri Korea Selatan pun dapat dibilang berhasil olehnya. Vira banyak mengikuti kegiatan di kampus,
bertemu dengan teman-teman baru, sibuk mengikuti perkumpulan muslim yang berada di Korea. Ia juga
menyibukkan dirinya untuk mencoba bis-bis kota yang sering dilihatnya di tayangan-tayangan Korea
untuk berkeliling negara tersebut. Meskipun dengan uang pas-pasan tapi ia ingin menyibukkan dirinya
sesibuk-sibuknya hingga ia dapat melupakan Ferdi dari kehidupannya. Tidak, untuk mengikhlaskannya,
tepatnya. Sesampainya di rumah, Vira pun langsung menuju kamar dan mengistirahatkan dirinya di atas
kasurnya yang sudah sangat lama ia tinggalkan. Bahkan setelah wisuda ia hanya berada satu dua minggu
di rumahnya yang nyaman itu, dan langsung meninggalkannya ke negeri tempat artis idolanya berasal.

##########

Selamat hari raya idul Fitri, minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin yaa Viir 

Hani & Keluarga

Message itu tertera di handphone Vira yang sedari pagi belum dilihatnya lantaran ia harus
menjalankan ibadah shalat id bersama di lapangan masjid dekat rumahnya. Hari ini adalah hari raya idul
Fitri. Vira pun banyak menyibukkan diri di dapur karena kondisi ibunya yang semakin tua semakin
menyuruh Vira diam di dapur untuk memasak. Vira pun mengikuti keinginan ibunya agar dapat
membahagiakan ibu dan ayahnya selama ia bisa. Suasana rumah Vira pun berbeda dari lebaran-lebaran
biasanya, karena adanya keponakannya yang sudah berusia 2 tahun lebih dan sudah dapat berjalan ke
sana kemari, membuat keributan ke sana kemari. “Eiits, mainnya jangan di dapur!”, larang Vira kepada
keponakannya yang bernama Rama itu. Rama pun langsung berlari kecil menjauhi dapur menghampiri
ayahnya, ya, kakak iparnya Vira untuk mengadukan tantenya. “Hahahaha, kenapaa? Makanyaa, jangan
samperin ateu galaak”, goda mas Ardi ke anaknya tersebut sambil tertawa kecil.

Meskipun hanya keluarga kecil Vira yang sempat berkumpul bersama di rumahnya saat lebaran
tahun ini, itu sudah cukup membuat Vira senang. Ia sudah lama tidak merasakan berkumpul keluarga
bersama lagi. Setidaknya mengisi kesepiannya ketika tak ada Ferdi yang biasa ke rumahnya saat lebaran.
Tapi, ah sudahlah, yang terpenting ia sudah cukup bahagia sekarang.

Sama-sama ya Hanii, gue juga minta maaf kalau ada


salah selama ini 

Lo lagi di Jakarta atau di Sumatera Han?

Hani memang sudah menikah, kurang lebih satu tahun yang lalu. Saat pernikahan Hani dan
suaminya, kak Zaki, Vira hanya dapat menghadiri acaranya saat akad. Tak sempat menemani Hani hingga
acara resepsi berakhir oleh karena kesibukannya di Korea. Sejak pernikahannya memang, Hani dan Vira
masih suka berhubungan, tetapi agak sedikit berkurang intensitasnya. Vira pun memaklumi akan hal itu.
Hani harus bisa menjadi istri yang baik bagi Zaki pikirnya.

Jakarta Vir

Giliran di sini gue, temuan yuk?

Asiiik, gue juga baru nyampe dari Korea nih

Yuk!

Esoknya, Vira pun memutuskan untuk bertemu dengan Hani di sebuah mall yang sering mereka
kunjungi dulu semasa SMA. Tak banyak perubahan pada mall itu, yang berubah hanyalah suasanya. Dulu
mereka mengunjungi mall itu sebagai anak-anak labil, sekarang ia dan Hani mengunjungi mall itu
sebagai dua gadis yang sudah dewasa dan memiliki pemikiran tersendiri. Sembari menunggu Hani
datang, Vira pun berjalan-jalan untuk sekedar bernostalgia mengitari mall tersebut. Banyak toko-toko
yang sudah berubah, tapi tidak dengan toko yang satu ini. Vira kini berdiri di depan toko boneka beruang
yang dulu sering ia lewati dengan Ferdi. Dulu ia pernah meminta dibelikan sebuah boneka beruang
berukuran besar, sangat besar, sama seperti boneka yang terakhir diberikan Ferdi kepadanya dulu. Ia
sempat menahan nangis di depan umum, bahkan ia berdiri agak lama di depan toko tersebut untuk
memandangi boneka beruang yang ia inginkan sejak dulu masih terpajang manis di depannya. Vira
memang sengaja membiarkan dirinya sedikit terbenam untuk berdiam dan termenung di situ. Ia ingin
memberikan waktu untuk dirinya melegakan apa yang ia rasakan selama ini.
Memang benar ia sangat sibuk di luar sana, ia pun memang sudah bertekad untuk melupakan
Ferdi dari kehidupannya. Bahkan ia sampai berdoa kepada Allah untuk membantunya melupakannya,
tapi ternyata setelah 4 tahun lamanya belum cukup baginya untuk melupakan Ferdi dari fikirannya.
Entah apa arti di balik semua ini. Sampai sekarang bahkan Vira tak pernah menghubungi adik Ferdi lagi
ataupun teman-temannya yang lain yang dekat dengan Ferdi. “Vir..?”, tiba-tiba suara Hani terdengar
dari belakang Vira. Vira pun terkejut dan langsung berbalik badan menghadap Hani. “Hani...”, sambut
Vira sambil memeluk Hani dengan erat karena sudah sangat mereka tak bertemu.

###########

“Jadi lo ketemu sama Rain gak tuh di sono?”, goda Hani setelah keduanya memesan makanan
yang akan mmereka santap. Alunan musik jadul pun terdengar sebagai latar musik bagi mereka yang
kelaparan di salah satu kafe yang ada di mall itu, termasuk di dalamnya lagu “She’s The Puzzle of My
Heart” Westlife. “Ketemu doong!”, jawab Vira dengan nada penuh kesemangatan. “Nih ya, gue sengaja
emang ke daerah Seoul, kan paling banyak artisnya tuh, gue waktu itu lagi sama temen gue Han, yang
sempet gue ceritain di sana, tiba-tiba ada keramaian di depan gue, lo tau acara Star Date gak?”, cerita
Vira dengan penuh semangat. Hani pun hanya nyengir sambil menggelengkan kepalanya karena
memang Hani bukan penggemar korea seperti sahabatnya yang satu itu. “Iiiih, itu lah, ada, acaranya.
Gue samperin kan ya tu kerumunan, taunya! Alhamdulillah ya Allah! RAIN!”, lanjut Vira dengan nada
hampir teriak saat itu. Hani pun hanya menertawai tingkah Vira yang terkesan sangat kegirangan saat
itu.

“Selesein sekolah dulu kali Vir, baru nyari-nyari artis lagi”, sahut Hani lagi memainkan Vira. Vira
pun hanya mencibir. “Gimana Han, nikah? Hahahaha”, tanya Vira secara acak. “Hahahaha, ya begitu lah,
lo jadi ada temen idup, biasanya sendiri”, jawab Hani singkat, padat, dan umum. Vira pun hanya
meneguk sedikit minumannya sambil menunggu jawaban lain dari Hani. “Vir, di sana lo ga dapet yang
baru apa?”, tanya Hani balik. “Eluuu.. gue nanya, malah lo nanya balik. Kagak, gue belajar di sana Han.
Tapi, cowo Korea emang ganteng-ganteng lucu sih, hahaha”, jawab Vira asal dengan nada bercanda.
“Yeee, seriusaan gue”, timpal Hani sembari melambaikan tangannya kepada Vira. “Serius, ngomong-
ngomong lo dapet kabar tentang Ferdi gak Han? Hahaha”, sahut Vira sambil cengengesan. “Mmm,
masih penasaran lo? Ke rumahnya aja gih”, goda Hani kepada Vira. Hani pun hanya tertawa
mendengarnya. Bagaimana tidak ia masih penasaran? Selama ini yang masih ada di fikiran Vira hanyalah
Ferdi. Sesibuk apa pun dirinya.

“Ini lo liburan sampai kapan Vir?”, tanya Hani mengalihkan pembicaraan mereka. “Enam bulan
kurang lebih lah Han, gue kan tinggal nyusun thesis”, jawab Vira singkat sambil menyantap makanannya.
Sejenak mereka berdua terdiam, diselingi oleh lagu “Close your eyes” Westlife. “Vir, gue boleh jujur
gak?”, terang Hani kepada Vira. Vira pun hanya menoleh ke arah Hani sambil memberikan sinyal
kepadanya untuk melanjutkan pernyataannya. “Pas lo wisuda, dua tahun yang lalu, Ferdi tuh ada”,
jelasnya, “Cuman dia ngeliat lo di situ udah cukup seneng Vir tanpa dia, terus dia gamau tiba-tiba dateng
dan malah bikin lo jadi sedih lagi”. Vira bingung harus menanggapinya dengan apa lagi. Ia bingung,
kenapa Ferdi sebodoh itu. Apa dengan ia datang Vira jadi sedih? Mengapa harus sedih? Bukankah ia tau
kalau Vira masih memikirkannya? “Udah gue jelasin ke dia Vir, kenapa dia harus mundur kayak gitu, gue
juga heran sama dia. Tapi ya, lo tau dia kan, keras kepala. Akhirnya dia cuman bisa nungguin kita di
mobil tanpa berani turun Vir”, jelas Hani lagi yang sudah tak tega membohongi sahabatnya sejak dua
tahun yang lalu. Mengapa ia tak terus terang saja saat itu, pikirnya.

“Boneka itu dari Ferdi Vir. Dia bilang lo pengen boneka beruang itu dari dulu. Meskipun yang
ukuran besar, tapi ga mungkin kan dia bawain lo segede gaban pas lo wisudaan?”, lanjut Hani lagi. “Oke.
Han. Stop it”, tanggap Vira. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Mungkin ada baiknya Hani tidak
menceritakan ini. Ini hanya membuatnya berharap palsu lagi ke Ferdi dan tak pernah tau hasilnya karena
ia tak pernah bertemu dengannya sekali saja. “Udah ah Han, gue kan ga minta lo ceritain tentang dia
lagi, oke?”, sahut Vira lagi sambil menyeruput minumnya. “Gue juga sekarang udah memutuskan untuk
ga mikirin Ferdi lagi Han”, lanjutnya lagi, “dan untuk ga pacaran sebelum menikah, insyaAlloh”. Hani pun
menuruti perkataan Vira, ia mengerti mengapa Vira harus bersikap seperti itu. Ia pun sebenarnya dulu
sudah ingin jujur mengungkapkan semuanya kepada Vira. Tapi apa daya, semua itu sudah terlanjur
terjadi. Mereka pun melanjutkan makannya dan memutuskan bernostalgia hal lainnya tanpa membahas
mengenai Ferdi lagi.

##########

“Viiiraaa, beliin popok dong buat si Rama”, suruh Tya, kakaknya Vira saat Vira sedang bersantai-
santai di kamarnya. Vira pun tak bisa menolak, karena saat itu yang ada di rumah dan mampu untuk
membawa mobil dan pergi membeli popok hanyalah dirinya seorang. Tanpa banyak berbicara dan
bernegosiasi, Vira pun memaksakan dirinya untuk bersiap-siap dan pergi ke mall terdekat rumahnya.
“Ada lagi yang perlu Vira beli gak?”, tanyanya ke Tya. Tya pun yang sedari tadi sibuk mengajak Rama
main hanya menggelengkan kepala, “Nggak kok say, itu juga hehe, kalau lo mau sambil jalan-jalan gitu
juga gapapa kok, thanks ya”. Vira pun langsung melengos ke pintu depan sembari mengetuk ringan
kepala Rama dan kabur.

‘Yaah, gapapa lah ya, jadi pembantu dulu di sini, lumayan, ga ada kerjaan juga’, sahut Vira dalam
hati. Tak biasanya ia seikhlas ini dalam menjalani misi yang diberikan kepadanya dari kakak
perempuannya itu. Jalanan di kota tempat tinggal Vira termasuk jalanan yang sepi. Apalagi kalau hari
kerja begini. Kebanyakan orang pergi ke pusat kota untuk bekerja. Sudah lama Vira tidak berjalan-jalan
berkeliling kota itu pikirnya. Ia pun memutuskan untuk pergi berkeliling-keliling kota tempat tinggalnya
yang sudah lama ia rindukan itu sendiri. Setelah ia selesai membeli keperluan popok Rama, ia pun
kembali memasuki mobilnya tanpa harus berlama-lama berada di dalam mall yang dianggapnya
membosankan itu. Baru saja ia ingin memajukan mobilnya, tiba-tiba dari arah kiri jalan, mobil yaris
hitam berjalan dengan kencangnya, bahkan hampir menabrak mobilnya yang akan keluar dari area
parkir. Vira pun langsung mengklakson mobil itu dan langsung terbawa emosi untuk mengejarnya. Tapi,
pelan-pelan disadarinya mobil itu membawanya ke arah kampus Ferdi yang dulu. ‘Sial’, keluh Vira dalam
hati. Ia pun memilih untuk tidak terbawa emosinya dan meminggirkan mobilnya sejenak untuk
menenangkan fikirannya. ‘Gatau apa tu mobil salah?? Udah tau orang mau keluar, ini malah ngebut-
ngebutan! Ke arah sini lagi!’, omelnya dalam hati. Vira pun melajukan lagi mobilnya dengan kencang.
Sesuai dengan niatan awalnya, Vira pun tetap melanjutkan berkeliling-keliling kota tempat
besarnya tersebut. Tidak banyak yang berubah dari kota tersebut. Masih tetap sepi tapi ramai, ramai
tapi sepi, masih tetap banyak ruko-ruko berjejeran yang sudah cukup ramai sekarang dibanding dulu.
Vira pun memutuskan untuk mengunjungi tempat-tempat makan yang dulu sering ia kunjungi bersama
dengan Ferdi. Entah mengapa, karena mobil hitam tadi, mengingatkan tentang Ferdi padanya. Mungkin
karena mobil Ferdi yang juga yaris hitam dulu. Dan itu membuatnya penasaran akan rumahnya Ferdi
yang sekarang. Apakah masih sama seperti dulu atau tidak? Vira pun melirik jam, ‘Ah, masih jam segini,
paling dia masih di kampus gak sih?’, tebaknya dalam hati. Dan memang, pada akhirnya, rasa penasaran
mengalahkan segalanya, mobilnya pun langsung melaju ke rumahnya Ferdi.

##########

Vira masih mengingat betul jalan menuju ke rumah kekasih satu-satunya dulu, Ferdi. Kalau
difikir-fikir, memang, Vira hanya pernah mempunyai satu orang mantan, tidak seperti Hani sahabatnya
yang mempunyai lebih dari 5 mantan. Vira pun sampai di depan rumah berwarna merah tingkat terletak
di pojok tanah kompleks tersebut. Mobilnya pun terparkir tepat di depan lapangan samping rumahnya
Ferdi. “Hmm.. udah lama juga ya gue ga kesini”, celetuk Vira sembari memperhatikan sekitar. Ia pun
memutuskan untuk turun dari mobilnya. Entah mengapa saat itu ia sangat memberanikan diri untuk
turun dari mobilnya dan melihat ke arah rumahnya. Yang ia tahu hanyalah adanya rasa deg-degan untuk
melihat rumah itu. Saat ia melangkah memang rumah itu hanyalah sebuah rumah besar yang sangat
sepi. Hanya terdengar suara aliran air sayup-sayup dari dalamnya. Vira pun hanya berhenti sejenak dan
menarik nafas dalam-dalam sebelum ia memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Mungkin ia dan Ferdi
tidak pernah berjodoh. Bahkan di rumahnya saja ia tak diizinkan untuk bertemu oleh Allah. Vira pun
sempat menulis di secarik kertas kecil yang bertuliskan, “Sampai jumpa lagi, Ferdi” dan melajukan
mobilnya pergi dari rumah itu.

##########

“Selamat pagi, pak”, sapa seorang sekretaris di gedung perkantoran Jakarta yang terlihat megah
dari kejauhan. Lobby gedung itu pun dipenuhi oleh kerumunan orang banyak yang berlalu lalang
lantaran kesibukannya masing-masing. Lelaki yang disapa oleh sang sekretaris pun bergegas mengejar
lift yang sudah hampir dipadati orang sembari melambaikan tangannya. Ia pun mencapai lantai 10
gedung itu, dan langsung berjalan dengan cepat menuju ruangan yang sedikit terbuka pintunya. “Pagi”,
sapanya kepada sejumlah orang yang berada di ruangan itu yang kebetulan sudah berkumpul di meja
bundar. “Selamat pagi, pak Ferdi”, sahut semua orang yang berada di ruangan itu dengan penuh
hormat. Ya, lelaki itu, Ferdi, sudah menjadi seorang manajer muda di kantor yang memiliki label
bergengsi itu. Selain sebagai manajer, ia juga memegang beberapa saham di kantor yang bergerak di
bidang properti itu. Memang sudah menjadi cita-citanya sejak dulu untuk menjalankan usaha di bidang
itu. “Mari kita mulai rapatnya”, lanjutnya sembari menyiapkan beberapa berkas yang sudah ia siapkan
khusus untuk rapat hari itu.

############
“Fer!”, sapa seorang eksekutif muda lainnya di kantor itu, yang bernama Vasko. Ia adalah salah
seorang teman Ferdi sejak SMPnya dulu dan sekarang ia “terpaksa” memasuki kantor yang sama lagi
dengannya. Ferdi pun melambaikan tangannya dan ikut duduk bersama dengan Vasko yang terlihat
sendiri hendak menyantap makan siangnya. “Lo ikut ngumpul gak ntar?”, tanya Vasko kepada Ferdi,
kebetulan memang Ferdi dan Vasko hampir rutin bermain futsal, setidaknya 6 bulan sekali sekaligus
sebagai ajang reuni kecil-kecilan. “Kagak kayanya, mesti nganter cewe gue”, jawab Ferdi. “Hmm”,
tanggap Vasko dengan muka mesemnya. Ferdi menjadi lebih sering menghabiskan waktunya bersama
pacarnya ketimbang dengan teman-temannya.

“Emang lo masih takut ketemu sama Vira?”, tanya Vasko tetiba. Ferdi pun sempat tersentak
sebentar mendengar pertanyaan temannya itu yang memang masih sering berkontak dengan Vira,
wanita satu-satunya yang sempat mengisi hati Ferdi selama 6 tahun. Ferdi pun meneguk minumannya,
tanpa ingin menjawab pertanyaan Vasko. “Kemaren gue sempet ketemu tuh, bentar doang sih”, cerita
Vasko, Ferdi pun menyimak sembari menyantap makanannya. “Tapi, kayanya belum nemu yang baru”,
lanjut Vasko. “Terus?”, tanya Ferdi lagi dengan nada keheranan. Apa maksud Vasko menceritakan hal
tentang kehidupan Vira kepadanya? Menurutnya, Vira dan Ferdi sudah menjadi cerita lama dan tak
perlu dibahas lagi. Toh, sekarang Ferdi sudah bersama dengan Nay, wanita yang sudah ia pacari selama
2 tahun lamanya. Untuk apa pusing-pusing memikirkan Vira? “Yah, gue sih cuman bilang doang,
nikmatin hidup lo, Fer, selama bisa mah”, saran Vasko kepada Ferdi yang terkesan tak peduli dengan
ceritanya.

##################

Fer, dimana?

Ke rumah gak?

Aku ada yang pengen dibeli nih

Chat dari Nay tertera di layar handphone Ferdi saat itu. Ferdi baru saja pulang kantor dan
merasa kelelahan seharian lantaran banyak rapat yang ia hadiri hari itu. Ia pun hanya membaca chat Nay
dan memilih untuk berbaring di atas kasur yang empuk. Sejenak ia terlintas pikiran mengenai omongan
Vasko tadi siang. “Tapi, kayaknya belum nemu yang baru”, omongan Vasko pun terngiang di dalam
pikiran Ferdi. Kenapa Vira belum bisa menemui yang baru? Bukankah ada Gira? Yang katanya dekat
dengannya saat itu? Apa maksudnya? Ferdi pun menggelengkan kepalanya guna mengusir pikiran
macam-macam, dan berusaha memejamkan matanya. Bila memang Vira lah yang ditakdirkan untuk
Ferdi, ia yakin ia akan bertemu dengannya kelak.

###########

Guna mengisi kekosongan liburannya di Indonesia, Vira memilih untuk ikut magang di salah satu
klinik di kota Kembang, ‘daripada menjadi babysitter terus’, pikirnya. Iseng-iseng pikirnya, lagipula klinik
itu milik keluarga Cita jadi ia bebas menentukan lamanya magang. “Viiiiir.....”, sambut Cita sesampainya
Vira di klinik itu dan langsung memeluknya. Vira pun membalas pelukan sahabat selama kuliah itu.
“Kurusan euy.. Hahahhaa”, canda Vira melihat Cita yang memang terlihat lebih kurus dari sebelumnya.
“Ahahahaa, iyaa lah, kan olahraga terus aku mah”, sahut Cita yang kemudian mengajak Vira untuk
duduk di ruang kerjanya.

Vira memang hanya bertugas menggantikan salah seorang dokter gigi yang berada di klinik itu
yang kebetulan juga selama dua bulan berhalangan untuk jaga klinik. “Gimana di Koreanya? Lancaar?”,
tanya Cita sembari menyajikan minuman untuknya. “Alhamdulillah lancaar, Ciit, btw...”, jawab Vira
sembari melihat ke arah ruangan sebelah. Di ruangan itu Riko sedang menangani pasien anak, Riko
berperawakan lelaki yang baik-baik, menggunakan kacamata berlensa cukup tebal, tidak banyak
berbicara. “Kenapa vir?”, tanya Cita keheranan melihat tingkah Vira saat itu, “Itu Riko, temen kita juga
kok”, jelas Cita untuk menjawab keheranan yang terlihat jelas di muka Vira. “Hmm? Iyaa, nggak,
maksudnya udah lama ga ketemu tu anak, hahaa asa beda”, tanggap Vira langsung memalingkan
wajahnya dari Riko. “Hahahhaa, masih cipleu kok dia Vir”, sahut Cita mengingatkan Vira tentang Riko
yang memang sedari dulu tergolong cipleu di antara teman-teman lainnya. Vira dan Cita pun kemudian
melanjutkan obrolan nostalgianya sembari tertawa-tawa kecil mengingat kebodohan-kebodohan
mereka dulu ketika kuliah.

Seselesainya bekerja, Riko pun melepas handscoon dan maskernya, kemudian menoleh ke arah
ruangan Cita yang memang persis di sebrang ruangannya dengan pintu yang terbuka. Ia pun melihat ke
arah Cita, kemudian matanya pun bergeser ke arah perempuan yang sedang mengobrol Cita saat itu.
‘Vira?’, tanyanya dalam hati keheranan. Sadar akan tatapan lelaki itu, Vira pun spontan menoleh ke
arahnya dan segera menolehkan pandangannya dari lelaki itu. Cita pun melihat situasi itu, dan spontan
langsung mengisyaratkan Riko untuk mendekat ke arah mereka. “Assalamu’alaikum, Vira”, sapa Riko ke
arah Vira sembari tersenyum kecil. “Waalaikumsalam”, jawab Vira saat itu dengan sedikit malu. Kenapa
mesti malu? Pikirnya dalam hati. Mungkin karena Riko sedari dulu memang termasuk tipe lelaki
kesukaan Vira. Memakai kacamata, dan tidak banyak berbicara, alias cool. “Udahan, Ko?”, tanya Cita
kepada Riko memecah ke-awkward-an antara Vira dan Riko saat itu.

Dulu, Vira dan Riko memang sempat dekat. Bahkan sudah tersebar luas gosip tentang mereka
berdua saat mereka kuliah bersama. Tapi, ketika Riko lulus duluan, mereka pun sudah tak terlalu banyak
berkomunikasi. Terakhir mereka berkomunikasi ya hanya sekadar mengucapkan hari raya idul fitri, itu
saja. Vira pun tak ingin terbawa perasaan lebih dalam lagi dengan Riko, apalagi dengan hatinya yang
masih belum bisa melupakan Ferdi sepenuhnya. “Udah, tadi cuman nyabut doang”, jawab Riko sembari
menarik kursi yang ada di sebelah Vira dan duduk di sebelahnnya. Sejenak mereka terdiam. Cita pun
keluar sebentar untuk mengurus urusan administrasi di bagian pendaftaran sekaligus memeriksa jumlah
pasien yang mungkin datang. “Apa kabar Viir? Masih di Korea?”, tanya Riko membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah baik, Ko, masiih hehee. Lagi libur aja ini”, jawab Vira, “Kamu praktek di sini? Bukannya
di.. klinik Husada?”, tanya Vira balik. Riko pun mengangguk, “Ini lagi gantiin temen aja Vir”, jelas Riko.
Ternyata yang dilakukan Riko sama dengannya.

“Kamu mau gantiin aku Vir?”, tiba-tiba Riko bertanya ke Vira dengan ringannya. “Di klinik
Husada”, lanjutnya lagi memperjelas. Vira heran. Bukankah Vira bukan penduduk tetap kota Kembang?
Mengapa ia menawarkannya untuk menggantikannya? Memang, sedari dulu Riko selalu random
mengeluarkan pertanyaan. “Hari apa aja gitu?”, tanya Vira, ‘Duh, kenapa lo melanjutkan Vir? Udah tau
itu ga mungkin’. “Hmm.. sebenernya masih ada beberapa yang kosong bahkan. Kamu mau ngisi aja
gak?”, tawar Riko lagi dengan polosnya. Vira berfikir sejenak. Kalau ia mengiyakan, apa kabar kuliahnya
di Korea? Memang, masih lama liburnya berjalan. Tapi apa dia harus berlama-lama di kota itu selama
liburan? “Ya, boleh”, jawaban itu keluar dari mulut Vira. Entah disadari atau tidak Vira sudah tidak
menarik ucapannya lagi.

##############

Esoknya, Vira sampai di lapangan parkir klinik Husada yang dimaksud Riko. Klinik itu berwarna
kuning, entah mengapa, pemiliknya menyukai warna kuning mungkin. Biar terlihat lebih cerah dan
menarik perhatian mata orang sepertinya. Klinik itu tidak terletak di pinggir jalan layaknya klinik lainnya,
namun terletak di tengah-tengah perumahan warga sekitar. Vira masih terdiam di dalam mobilnya. Ia
tidak percaya mengiyakan tawaran Riko. Memang betul Riko berwenang untuk merekruit dokter gigi
yang akan praktik di klinik itu oleh karena pemilik klinik itu adalah ayahnya sendiri. Riko pun tidak
keberatan kalau setelah Vira liburan harus kembali ke Korea untuk menyelesaikan studinya dulu selama
6 bulan sisanya. Vira pun menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu kemudian memberanikan diri
untuk turun dari mobilnya dan melangkah ke dalam klinik.

Klinik Husada memiliki pelayanan dokter umum, dokter gigi, dan bidan. Salah satu kakak Riko
adalah dokter umum yang bertugas di klinik itu. Vira tau itu. Dulu pernah bertemu dengan kakaknya
sebelum ia pindah dari Bandung. Sekali. Tetapi ia merasa masih mengingat wajahnya. Entahlah apa yang
ia lakukan. Vira hanya ingin melupakan Ferdi dan menyibukkan dengan hal-hal positif.
“Assalamu’alaikum”, salam Vira ke kang Aji, pimpinan klinik Husada, yang ternyata kakak pertama Riko.
“Waalaikumsalam, mangga, silahkan duduk, Vir”, sahut kang Aji dengan ramah. Yah, anggap lah ini dunia
baru bagi Vira. Untuk memallingkan pikirannya dari Ferdi. Setelah diperkenalkan mengenai cara bekerja
di klinik Husada, dan kepada staf-staf yang bekerja di klinik Husada, Vira pun masuk ke dalam ruangan
dokter gigi dan duduk menyender ke kursi dokter gigi yang terdapat di ruangan tersebut. Asing. Wajar.
Baru pertama kalinya Vira di klinik itu. Dan bertemu orang-orang baru di sana.

Tak lama ia duduk di dalam ruangan itu, jam dinding menunjukkan pukul 17.30 WIB. Sudah sore.
Fikir Vira dalam hati, mungkin tidak akan ada pasien. Lagipula itu jadwal praktek Riko, tidak peduli ia
akan ada pasien atau tidak. Tiba-tiba pintu ruangan diketuk dengan perlahan kemudian terbuka.
“Assalamu’alaikum, dok, ada pasien”, salah seorang adm di klinik Husada memberitahukan Vira.
Sejujurnya Vira merasa deg-degan lantaran sudah lama ia tidak memegang pasien. “Oh iya, mangga”,
balasnya sembari menyiapkan alat-alat. Setelah ia siap dengan pakaian dokternya, pasien pun masuk ke
dalam ruangannya. Pasien itu pun tinggi, agak berkulit hitam, sedikit jutek menurut Vira. ‘Kok.. mirip..’,
sempat terfikir sejenak di dalam pikiran Vira ketika melihat perawakan pasien itu. “Ada keluhan apa,
kang?”, tanyanya ke pasien itu sembari duduk di kursi dokter giginya. “Mau periksa aja dok”, jawabnya
sembari duduk di kursi pasien. Vira memperhatikan wajah pasien itu sedikit kecewa, mungkin ia mengira
Riko yang akan praktek sore itu. “Oh, iya...dengan kang...”, Vira pun melihat ke arah kartu medis pasien
tersebut yang bernama ‘Jack’. “Jack”, jawab pasien itu singkat. ‘Gila, sok cool banget sih ni orang’, Vira
pun mulai kesal dengan tingkah pasien tersebut. Kalau memang gamau sama dokter gigi perempuan,
yaudah gitu ya, tinggal keluar aja, bilang aja pengen sama dokter Riko.

Setelah selesai mengerjakan 3 pasien, Vira pun pulang ke kosan tempatnya menginap selama ia
berada di kota Kembang. Dari ketiga pasien tadi, entah mengapa pasien yang bernama Jack itu masih
ada di dalam pikiran Vira. Ia menganggapnya aneh. Dari gelagatnya saja aneh, fikirnya. Entahlah.

Anda mungkin juga menyukai