MAKALAH
Disusun Oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya berupa kesehatan, waktu, dan kelancaran sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Arah Kebijakan Pengembangan Paradigma
Pendidikan Di Indonesia Dari Aspek Landasan, Paradigma, Kurikulum Pendidikan,
Pendekatan Pembelajaran Serta Permasalahannya”. Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu
Prof. Dr. Susriyati Mahanal, M. Pd. selaku Dosen Pengampu Matakuliah Landasan dan Problematika
Pembelajaran Sains.
Kami berharap makalah sederhana ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan terutama tentang pembelajaran inovatif. Kami menyadari bahwa dalam
makalah ini masih ditemukan kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
berharap bagi pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang konstruktif dan logis agar
tercipta makalah yang baik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa menjadi wawasan baru yang menambah
ilmu pengetahuan. Sebelumnya kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang
kurang berkenan. Kami mengucapkan terimakasih atas perhatiannya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
3.1 Kesimpulan 27
3.2 Saran 28
DAFTAR PUSTAKA 29
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas, diantaranya:
1. Bagaimanakah perkembangan pendidikan pada zaman purba?
2. Bagaimanakah perkembangan pendidikan pada zaman Kerajaan Hindhu-Budha dan
Islam?
3. Bagaimanakah perkembangan pendidikan di Indonesia pada zaman penjajahan Portugis,
Belanda dan Jepang?
4. Bagaimanakah perkembangan pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan dan pasca
kemerdekaan?
5. Bagaimanakah kondisi pendidikan di Indonesia pada masa kini?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini, diantaranya:
1. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada zaman purba.
2. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada zaman Kerajaan Hindhu-Budha dan
Islam.
3. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan di Indonesia pada zaman penjajahan
Portugis, Belanda dan Jepang.
4. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan dan
pasca kemerdekaan.
5. Untuk mengetahui kondisi pendidikan di Indonesia pada masa kini.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
3
kehidupan nyata (riil) didalam masyarakatnya. Pendidikan yang paling utama adalah
para orang tua (ayah dan ibu), serta secara tidak langsung merupakan orang dewasa di
dalam masyarakatnya. Sekalipun ada anak yang belajar kepada empu, pandai besi
atau dukun, jumlahnya sangat terbatas dan utamanya anak-anak mereka sendiri
(Djumhur dan Danasuparta, 1974).
4
oleh para ilmuwan sejarah di dekat Bogor dan Kutai. (Djumhur dan Danasuparta,
1974).
Pendidikan
Pada zaman ini, pendidikan tidak hanya diselenggarakan di dalam
keluarga dan kehidupan sehari-hari masyarakat, melainkan diselenggarakan di
dalam lembaga pendidikan yang disebut Perguruan (Paguron) atau Pesantren.
Hal ini sebagaimana telah berlangsung di kerajaan Tarumanegara dan Kutai.
Kaum Brahmana, pada awalnya yang menjadi pendidik (guru atau pandita),
kemudian lama-kelamaan para empu menjadi guru menggantikan kedudukan
para Brahmana tersebut. Pada zaman itu, ada tingkatan guru: (a) guru (perguruan)
keraton, dimana yang menjadi murid-muridnya adalah para anak raja dan
bangsawan; (b) guru (perguruan) pertapa, dimana yang menjadi murid-muridnya
berasal dari kalangan rakyat jelata. Tetapi, para guru pertapa biasanya selektif
(dengan penyaringan/seleksi) dalam menerima seseorang untuk menjadi
muridnya. Hal ini merupakan implikasi (suatu kesimpulan/hasil akhir atas
temuan) dan feodalisme (struktur pendelegasian kekuasaan sosiopolitik yang
dijalankan oleh bangsawan) yang berkembang saat itu (Djumhur dan
Danasuparta, 1974).
Pendidikan bersifat aristokratis, artinya masih terbatas hanya untuk
minoritas yaitu anak-anak kasta Brahmana dan Ksatria, dan belum menjangkau
mayoritas masyarakat, yaitu anak-anak kasta Waisya dan Syudra, serta kasta
Paria. Pada zaman ini, pengelolaan pendidikan bersifat otonom, artinya para
pemimpin pemerintahan (para raja) tidak ikut campur tentang pengelolaan
pendidikan, apalagi pengelolaan pendidikan yang bersifat otonom di tangan para
guru atau pandita. Pada zaman kerajaan Majapahit, pendidikan dilaksanakan di
padepokan, pertapaan, asrama oleh para Brahmana. Sistem pengajarannya adalah
perorangan (hoofdelijk). Dimana seorang guru mengajar seorang murid,
sedangkan murid-murid lainnya sedang menunggu giliran selanjutnya, sambil
membaca-baca sendiri. Adapun aktivitas yang dilakukan muridnya adalah
menterjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa jawa kuno, menyusun buku
5
sendiri, seperti Negara kertagama. Adapun perpustakaan untuk pengguna umum
yang telah ada di ibukota (Djumhur dan Danasuparta, 1974).
Kemajuan yang dicapai pada zaman ini adalah bidang politik, ekonomi,
sosial serta kebudayaan. Akan tetapi pada zaman ini memiliki kelemahan yakni
kurangnya memperhatikan generasi muda serta mempersiapkan kader-kader
pemimpin bangsa. Pada masalah spiritual, manusia hidup dalam sangsara, yaitu
perpindahan jiwa yang tak berkeputusan, dan tujuannya adalah mencapai muksa
yang artinya bersatu dengan syiwa. Oleh karena itu perilakunya adalah dengan
bertapa. Tujuan pendidikannya adalah untuk para peserta dididik agar menjadi
penganut agama yang taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan dalam
masyarakat yang berlaku saat itu juga, serta mampu membela diri dan membela
negara. Kurikulum pendidikannya meliputi agama, bahasa sansekerta (membaca
dan menulis huruf Palawa), kesusasteraan, keterampilan memahat atau membuat
candi, serta bela diri (ilmu berperang). Sesuai dengan jenis lembaga
pendidikannya (perguruan), maka metode atau cara-cara pendidikannya adalah
Sistem Guru Kula. Maksudnya, dalam sistem ini murid tinggal bersama dengan
guru di rumah guru atau asrama, murid akan mengabdi dan sekaligus belajar
kepada gurunya (Djumhur dan Danasuparta, 1974).
Pada zaman berkembangnya agama Budha berpusat di kerajaan Sriwijaya
(Palembang), disinilah terdapat Peguruan Tinggi Budha. Muridnya pun tidak
hanya dari negeri sendiri melainkan berasal dari Tiongkok, Jepang dan Indocina.
Maha guru Dharmapala merupakan pemimpin dari perguruan ini. Perguruan ini
menyebar ke seluruh wilayah kekuasaan Sriwijaya. Aktivitas yang dilakukan oleh
murid-muridnya yaitu menerjemahkan buku-buku agama Budha dan buku
lainnya ke dalam bahasa Jawa Kuno, sama halnya dengan aktivitas yang
dilakukan adari perguruan tinggi agama Budha yang dipimpin oleh Jama Badra,
misalnya buku Ramayana. Kemungkinan besar, candi Borobudur, Kalasan dan
Mendut merupakan pusat-pusat pendidikan agama Budha. Hasil sastra yang
ditulis oleh para empu (pujangga) sangat bermutu tinggi. Misalnya Paraton,
Negara Kertagama, Arjuna Wiwaha, dan Baratayuda. Para empu yang sangat
6
terkenal adalah Empu Kanwa, Empu Seddah, Empu Prapanca, dan Empu
Panuluh (Suhendi, 1997).
2. Zaman Kerajaan Islam
Latar belakang sosial budaya
Indonesia merupakan letak yang strategis dalam hal pelayaran dan
perdagangan, berdatangan pula para saudagar yang beragama Islam. Kegiatan
pendidikan Islam di Aceh telah lahir, tumbuh dan berkembang dengan
berkembangnya Islam di Aceh. Karena kedatangan mereka secara damai dengan
jalur, perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf, tarekat jalur kesenian
dan pendidikan yang mendukung proses cepatnya Islam masuk ke Indonesia
khususnya serambi mekkah (Aceh) (Sabarudin, 2015). Mulai dari sinilah para
raja dan masyarakat pesisir memeluk agama Islam dan mulai memperoleh
kedudukan yang baik di Jawa, karena di kota Bandar Malaka ai dikunjungi para
saudagar dari Asia Barat (khususnya India) dan Jawa (Majapahit). Jadi melalui
para saudagar Jawa inilah masuk memeluk agama Islam, dan tersebarlah ke pulau
Jawa. Penyebaran agama Islam ini merupakan jasa para wali yang dikenal
sebagai Wali Sanga, dan dari sinilah berdirilah kerajaan-kerajaan Islam. Pada
zaman ini pemerintahan dipimpin oleh raja. Pada kerajaan-kerajaan Islam ini,
masyarakat tidak menganut stratifikasi sosial berdasarkan kasta atau keturunan,
karena sesuai pada ajaran Islam. Pada zaman ini masih terdapat kelompok raja
dan para bangsawannya/pegawainya di satu pihak, dan terdapat pula kelompok
rakyat jelata di pihak lainnya, tetapi feodalisme ini pada umumnya ditinggalkan
oleh kalangan masyarakat (Rusdi, 2007).
Pendidikan
Tujuan pendidikannya di arahkan agar manusia bertaqwa kepada Allah
SWT., sehingga untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat melalui iman,
ilmu dana amal. Pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam keluarga,
melainkan berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan lainnya seperti langgar,
masjid, serta pesantren. Lembaga perguruan ataupun pesantren memang sudah
ada sejak zaman Hindhu-Budha yang kemudian dilanjutkan para wali, ustadz,
ataupun ulama Islam. Kurikulum pendidikannya tidak tertulis (tidak ada
7
kurikulum formal). Pendidikannya berisi mengenai tauhid (pendidikan keimanan
terhadap Allah SWT.), Al Qur’an, hadist, fikih dan bahasa Arab (membaca dan
menulis hurufnya). Pendidikannya merupakan hak dari semua orang, bahkan
semua orang wajib mencari ilmu, mendidik diri ataupun belajar. Pendidikan
zaman ini bersifat demokratis. Pendidikannya juga dikelola oleh para ulama,
ustadz dan guru. Raja pun tidak ikut campur mengenai pengelolaan pendidikan,
karena pengelolaan pendidikannya bersifat otonom (Rusdi, 2007).
Metode atau cara-cara pendidikan ini bervariasi, tergantung dengan sifat
materi pendidikannya, tujuan dan peserta didiknya. Contoh dari metode yang
digunakan adalah ceramah atau tabligh (wetonan) dengan tujuan untuk
menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama) yang biasanya
dilakukan di masjid, seperti mengaji Al Qur’an dan sorogan (cara-cara belajar
individual). Pada metode sorogan, para santri ini bersama-sama di dalam satu
ruangan, akan tetapi mereka belajar dan diajari secara individual oleh ustadz.
Cara belajar mereka dilakukan melalui nadonan atau lantunan lagu. Kemudian
dilakukan pula melalui media dan cerita yang telah digunakan oleh pendita dari
Hindu-Budha, akan tetapi isi ajarannya diganti dengan ajaran Islami. Sama
halnya dalam sistem pondok asrama ataupun pesantren. Pada langgar maupun
surau, tidak hanya melaksanakan shalat, anak-anak belajar mengaji Al Qur’an
dan materi pendidikan yang sifatnya mendasar. Adapun materi pendidikan yang
dipelajari lebih luas dan mendalam ada di dalam pesantren. Untuk lebih jelasnya,
pendidikan dan pengajarannya yaitu sebagai berikut (Rusdi, 2007).
a. Langgar atau Surau yakni mengaji Al-Qura’an (individu/ semiklasikal)
dengan pembimbingnya semacam “tutor”.
b. Pondok pesantren yakni belajar ilmu agama, bahasa, falaq, hukum fiqih,
logika, dll, dengan pembimbingnya adalah “kyai”.
c. Madrasah yakni belajar ilmu pengetahuan agama, umum dan kejuruan, dll,
dengan pembimbingnya adalah “guru”.
d. Di zaman kerajaan Demak ini, Raden Patah mendirikan pesantren-pesantren
untuk menggantikan asrama-asrama. Sistem pendidikannya dan
pengajarannya adalah perorangan (hoofdelijk).
8
2.3. Pendidikan Pada Zaman Penjajahan
1. Zaman Pengaruh Portugis dan Spanyol
Landasan Filosofis dan Paradigma
Indonesia mengalami perkembangan dari aspek ekonomi yaitu perdagangan
pada abad ke-16. Saat itu datanglah Portugis disusul dengan bangsa Spanyol
datang ke Indonesia untuk berdagang dan menyebarkan Agama Nasrani
(Khatolik). Portugis datang ke Indonesia bersama dengan missionaris salah satu
namanya ialah Franciscus Xaverius. Pengaruh bangsa Portugis dalam bidang
pendidikan utamanya berkenaan dengan penyebaran agama Katholik. Penyebaran
agama Nasrani (Katholik), menurut Franciscus Xaverius sangat diperlukan untuk
mendirikan sekolah-sekolah (seminarie). Pada tahun 1536 telah berdiri sebuah
seminarie di Ternate yang menjadi sekolah agama anak-anak orang terkemuka.
Kurikulum
Kurikulum pendidikannya berisi pendidikan agama Katolik ditambah
pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Guru pendidik biasanya disebut pastur
atau pendeta. Metode yang diajarkan bersifat ceramah, menghafal dan mengkaji
ulang. Waktu belajarnya hanya pada hari minggu dan bersifat klasikal. Kabupaten
Solor, Flores Timur juga mendirikan semacam seminarie dan mempunyai kurang
lebih 50 orang murid yang juga mengajarkan bahasa Latin. Pendidikan yang lebih
tinggi diselenggarakan di Gowa, pusat kekuasaan Portugis di Asia. Pemuda-
pemuda yang berbakat dikirim ke sana untuk dididik. Tujuh kampung di Ambon
penduduknya sudah beragama Katholik pada tahun 1546, di kampung ini ternyata
juga menyelenggarakan pengajaran untuk rakyat umum.
Permasalahan
Penyebaran agama Katolik di daerah Maluku dan penyelenggaraan pendidikan
tidak banyak mengalami perubahan atau kemajuan yang begitu pesat. Hal ini
dikarenakan hubungan antara bangsa Postugis dengan Sultan Ternate kurang baik,
kemudian mereka juga harus berperang melawan bangsa Spanyol kemudian
Inggris. Akhirnya musnahlah kekuatan Portugis di Indonesia pada akhir abad ke-
16. Ini menandakan hilang juga missi Katholik di Maluku. Kemudian Belanda
9
menghalau bangsa Portugis dari Indonesia Timur dan mengambil alih semua harta
benda mereka termasuk Gereja Katolik beserta lembaga pendidikannya
(Moestoko dan Sumarno, 1986; Mudyahardjo, 2008).
2. Zaman Pemerintahan Kolonial-Belanda
Landasan Filosofis dan Paradigma
Dengan berakhirnya kekuasaan Portugis, maka timbullah kekuasaan baru,
yakni Belanda. Belanda semula datang ke Indonesia hanya untuk berdagang.
Orang Belanda, yang telah bersatu dalam badan perdagangan VOC, menganggap
perlu menggantikan agama Khatolik yang telah disebarkan oleh orang Portugis
dengan agamanya, yaitu agama Protestan. Untuk keperluan inilah, maka didirikan
sekolah-sekolah, terutama di daerah yang dahulu telah dinasranikan oleh Portugis
dan Spanyol. Sehingga dapat dikatakan bahwa VOC menyelenggarakan sekolah
dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan), bukan untuk misi intelektualitas,
adapun tujuan lainnya adalah untuk menghasilkan pegawai administrasi rendahan
di pemerintahan dan gereja.
Pendidikan Zaman Kolonial Belanda abad ke-20 berlandaskan liberalisme
kapitalistik, yaitu perluasan pendidikan bumiputera yang diselaraskan dengan
kepentingan penanaman modal terutama pada kapitalis Belanda. Tujuan
pendidikan adalah lebih menonjolkan kepentingan ekonomi yaitu untuk
pemenuhan kebutuhan tenaga kerja atau buruh bagi pemilik modal Belanda.
Sistem persekolahan zaman Kolonial Belanda abad ke-20 terdiri dari 3 jenjang
yaitu: Pendidikan Rendah (Lagere Onderwijs) yang terbagi menjadi Sekolah
Eropa dan Sekolah Bumiputera, Pendidikan Lanjutan (Middelbaar Onderwijs) dan
Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs) (Mudyahardjo, 2010).
Kurikulum
a. Ambon
Sekolah pertama di Ambon didirikan oleh VOC pada tahun 1607
(Djumhur, 1976). Kurikulum pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan,
membaca, dan menulis. Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum
tertulis), dan lama pendidikannya pun tidak ditentukan dengan pasti. Murid-
muridnya berasal dari anak-anak pegawai, sedangkan anak-anak rakyat jelata
10
tidak diberi kesempatan untuk sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah
orang Belanda, kemudian digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka yang
sebelumnya telah dididik di Belanda.
Sebagai bahasa pengantar mula-mula ditetapkan bahasa Belanda.
Karena timbul berbagai kesulitan, maka akhirnya ditetapkan bahasa Melayu
sebagai bahasa sekolah dan gereja. Sekolah ini mempunyai 30-40 orang
murid. Murid-murid ini tidak tetap mengunjungi sekolah, karena disamping
belajar di sekolah, mereka juga harus membantu orang tuanya bekerja di
kebun atau di rumah. Untuk menghindari hal ini maka diadakan peraturan,
bahwa tiap-tiap murid diberikan 1 pon beras tiap hari. Pada tahun 1627 di
Ambon sudah ada 16 sekolah dan di pulau-pulau sekitarnya ada 18 buah.
Jumlah murid seluruhnya 1300 orang.
Pengajaran sekolah di luar Ambon dan Maluku juga hanya terbatas di
daerah-daerah yang telah terkena pengaruh Khatolik. Daerah-daerah yang tidak
“di Nasranikan” oleh Portugis dibiarkannya saja.
b. Jawa
Hubungan antara Kompeni dengan rakyat di Pulau Jawa tidak serapat
di Maluku. Ini disebabkan oleh 2 hal:
1) Rakyat di pulau Jawa sedikit sekali menghasilkan rempah-rempah untuk
keperluan pasar dunia. Untuk mendapatkan rempah-rempah itu VOC tidak
perlu berhubungan langsung dengan rakyat, sudah cukup bila berhubungan
dengan kepala-kepala saja.
2) Rakyat di Pulau Jawa tidak terkena pengaruh Portugis. Agama Khatolik
tidak masuk ke pulau Jawa. Jadi tidak ada alasan bagi Kompeni untuk
mempengaruhi rakyat di Pulau Jawa.
Karena dua alasan itulah, maka di Pulau Jawa tidak ada susunan
persekolahan dan gereja yang seluas di Maluku. Sekolah pertama di Jakarta
didirikan pada tahun 1617. Lima tahun kemudian sekolah itu mempunyai
murid 92 laki-laki dan 45 perempuan. Tujuan dari sekolah ini adalah
menghasilkan tenaga-tenaga kerja yang cakap, yang kelak dapat dipekerjakan
11
pada pemerintahan, administrasi dan gereja. Sampai tahun 1786 dipergunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Pendidikan oleh kolonial Belanda sejak tahun 1816 tampak bahwa
pengaturan tentang persekolahan dan sekolah dasar lebih ditujukan pada
pendidikan untuk orang-orang Belanda saja. Pada tahun 1848 ditetapkan untuk
pertama kalinya ada anggaran belanja untuk pendidikan orang-orang Indonesia
dan tahun 1863 diputuskan melaksanakan pendidikan untuk semua anak
bumiputera (Mudyahardjo, 2010).
Menurut Mudyahardjo (2010) karakteristik sistem penyelenggaraan pendidikan
kolonial Belanda adalah.
a) Dualistik diskriminatif, yaitu membedakan pendidikan untuk orang Eropa dan
Bumiputera dalam bentuk perbedaan penggunaan bahasa pengantar. Sekolah-
sekolah Eropa berbahasa pengantar bahasa Belanda, sedangkan sekolah-
sekolah bumiputera berbahasa pengantar Melayu atau bahasa daerah.
b) Sentralistik, yaitu pemerintak kolonial Belanda memiliki wewenang mengatur
penyelenggaraan pendidikan, baik untuk orang Eropa ataupun Bumiputera.
c) Tujuan pendidikan, yaitu pendidikan bumiputera yang bertujuan untuk
menhasilkan tamatan yang dapat menjadi warganegara Belanda kelas dua,
yang dapat memenuhi kebutuhan pegawai negeri atau pegawai perubasahaan
swasta Belanda tingkat menengah dan rendah.
Menurut Mudyahardjo (2010), pendidikan zaman kolonial Belanda dalam
Abad ke-19 dibedakan menjadi 3 macam yaitu.
a. Sekolah dasar dan lanjutan untuk golongan penduduk Eropa.
1) Sekolah dasar Eropa (Europeesche Logere School atau ELS).
2) Gymnasium (sekolah lanjutan)
b. Sekolah dasar negeri dan sekolah raja untuk golongan penduduk bumiputera.
Pada tahun 1892, berdasarkan keputusan raja, sekolah dasar Bumiputera
dibagi menjadi 2 kategori, yaitu.
1) Sekolah Dasar Kelas Pertama (de schoolen der eerste klasse), yaitu
sekolah dasar negeri bumiputera untuk tokoh terkemuka bumiputera,
bangsawan dan penduduk yang kaya. Sekolah didirikan di Ibukota
12
keresidenan, kabupaten, kawedanan atau sederajat dan kota-kota yang
menjadi pusat perdagangan. Sekolah ini ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan adminstrasi pemenrintahan, perdagangan dan perusahaan.
Berdasarkan Keputusan Raja, Sekolah Dasar Kelas I diubah menjadi
Hollandsche Inlansche (HIS), tahun 1915.
2) Sekolah Dasar Kelas Dua (de schoolen de tweede klasse), yaitu sekolah
dasar negeri bagi anak-anak masyarakat bumiputera pada umumnya.
3) Sekolah Raja (Hoofdenschool), didirikan untuk memperoleh tenaga
terdidik dari golongan bangsawan bumiputera yang akan disiapkan dalam
pekerjaan adminstrasi pemerintah kolonial.
c. Sekolah kejuruan yang dapat diikuti oleh golongan Eropa dan Bumiputera.
1) Sekolah kerjuruan pertama dibuka tahun 1856 di Batavia, merupakan
sekolah Kristen yang bercorak sekolah dasar.
2) Sekolah Pertukangan (Ambachtsschool).
3) Sekolah Guru (Kweekschool)
4) Sekolah Kejuruan untuk Gadis Golongan Eropa
5) Sekolah Dokter
Permasalahan
Dengan bertambah meluasnya pendidikan di Indonesia pada abad ke-20,
timbullah golongan baru dalam masyarakat di Indonesia, yaitu golongan cerdik
pandai yang mendapat pendidikan Barat, tapi tidak mendapat tempat maupun
perlakuan yang sewajarnya dalam masyarakat kolonial. Pendidikan menimbulkan
keinsyafan nasional dan keinsyafan bernegara. Dengan alat dan senjata yang
dipelajarinya dari Barat sendiri, yaitu organisasi rakyat cara modern, lengkap
dengan susunan pengurus pusat dan cabang di daerah-daerah. Pergerakan ini
dicetuskan kaum cerdik pandai, sebagian besar keturunan kaum bangsawan.
Partai maupun pergerakan-pergerakan yang timbul sesudah tahun 1908
ada yang berdasarkan agama seperti Sarekat Islam, ada yang berdasarkan sosial
seperti Muhammadiyah, ada pula yang berazaskan kebangsaan, seperti Indische
13
Partij, yang pertama sekali merumuskan semboyan Indie los van Nederland yang
diambil alih PNI dan diterjemahkan menjadi “Indonesia Merdeka” (1928).
14
terdapat Sekolah Petanian (Nogyo Gakho) di Tasikmalaya dan Malang dengan
lama pendidikan tiga tahun sesudah Sekolah Rakyat.
3. Perguruan Tingga dalam zaman Jepang hampir semuanya ditutup, yang masih
ada adalah Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakho) di Jakarta dan
Sekolah Teknik Tinggi (Kagyo Dai Gakho) di Bandung. Pemerintah Jepang
membuka Sekolah Tinggi Pamong Praja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta, dan
Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor.
Sistem persekolahan terdiri atas 3 jenjang yaitu Pendidikan Dasar 6 tahun,
Pendidikan Menengah 6 tahun dan Pendidikan Tinggi. Pembinaan guru dalam
pemerintah Jepang diadakan dengan latihan bagi guru di Jakarta. Setiap
wilayah/daerah mengirim beberapa orang guru untuk dilatih. Setelah selesai
dilatih mereka memberikan latihannya kepada guru-guru lain di daerahnya
(Mudyahardjo, 2010). Bahan-bahan yang diperoleh dalam latihan guru yaitu;
a. Indoktrinasi mental ideologis mengenai Hakko Ichi-U dalam rangka
Kemakmuran bersama Asia Raya
b. Latihan kemiliteran dan semangat Jepang (Nippon Seisyin).
c. Sejarah dan bahasa jepang dengan adat istiadatnya.
d. Ilmu bumi ditinjau dari segi geopolitik
e. Olahraga, lagu-lagu dan nyanyian Jepang.
Selain pembinaan guru, pembinaan siswa juga dilakukan antara lain:
a. Setiap pagi harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang.
b. Setiap pagi harus mengibarkan bendera Jepang Hinomaru dan menghormat
kepada Kaisar Jepang (Tenno Heika).
c. Setiap pagi harus sumpah setia kepada cita-cita Indonesia dalam rangka Asia
Raya (Dai Too).
d. Setiap pagi harus senam (taiso) untuk memelihara semangat Jepang.
e. Melakukan latihan fisik dan militer.
f. Pelajar-pelajar, dalam waktu-waktu ditentukan, melakukan kerja bakti
(Kinrohhosyi) membersihkan asrama militer, jalan raya, menanam pohon
jarak, dan mengumpulkan bahan-bahan untuk keperluan militer, dan
15
g. Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar dan Bahasa Jepang
merupakan bahasa wajib, sedangkan bahasa daerah diberikan di Sekolah
Rakyat kelas I dan II.
Permasalahan
Perkembangan pendidikan pada zamam Jepang nampak lebih mundur,
apabila dibandingkan dengan zaman Hindia Belanda. Sekolah Rakyat jumlahnya
menurun dari 21.500 menjadi 13.500, jumlah muridnya menurun 30% dan
jumlah gurunya menurun 35%. Sekolah Menengah menurun dari 850 buah
menjadi 20 buah, jumlah muridnya 90% dan jumlah gurunya menurun 95%
(Mudyahardjo, 2010). Karena Indonesia dikuasai Jepang di masa perang, segala
usaha Jepang ditujukan untuk perang. Murid-murid disuruh bergotong-royong
mengumpulkan batu, kerikil dan pasir untuk pertahanan. Pekarangan sekolah
ditanami dengan ubi dan sayurmayur untuk bahan makanan. Murid disuruh
menanam pohon jarak untuk menambah minyak untuk kepentingan perang.
Yang terpenting bagi kita di zaman Jepang ialah dengan kerobohan
kekuasaan Belanda diikuti pula tumbangnya sistem pendidikan kolonial yang
pincang. Karena pemerintahan militer Jepang menginternir banyak orang
Belanda, maka sekolahsekolah untuk anak Belanda dan Indonesia kalangan atas
ikut lenyap. Tinggal susuna sekolah yang semata-mata untuk anak-anak
Indonesia saja. Selain itu, banyak pula didirikan sekolah kejuruan, yang
terbanyak ialah sekolah guru. Jepang menganggap sekolah guru penting sekali,
karena sekolah itu yang akan menyiapkan tenaga dalam jumlah yang besar untuk
memompakan dan mempropagandakan semangat Jepang kepada anak didik.
2.4. Pendidikan Pada Masa Orde Lama
Sistem pendidikan masa Orde Lama dimana pendidikan masa ini dimulai dari Periode
1945-1950 dan Periode 1950-1966. Diketahui pada periode ini sudah ditetapkan setiap
warga negara Indonesia berhak mendapatkan pengajaran dari semua lapisan masyarakat
(Fadli & Kumalasari, 2016).
Landasan Pendidikan Orde Lama
Pancasila adalah identitas dan karakteristik bangsa atau keperibadian nasional
yang perwujudannya secara melembaga sebagai sistem pancasila yang menjiwai
16
setiap keperibadian bangsa, pandangan hidup (keyakinan bangsa) sistem kenegaraaan
dan masyarakat Indonesia. Landasan dan visi pendidikan masa Orde lama ketika itu
diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan yang jelas. Oleh karena itu, tujuan
pendidikan yang jelas pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi
yang dibutuhkan serta metode pembelajaran yang efektif (Fadli & Kumalasari, 2016).
Paradigma Pendidikan Orde Lama
Pada periode ini kegiatan pendidikan di tanah air lebih mengarah pada
pemantapan nilai-nilai nasionalisme, identitas bangsa, dan pembangunan pondasi
ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan utama pendidikan pada periode
ini adalah nation and character building dan kendali utama penyelenggaraan
pendidikan nasional dipegang oleh tokoh-tokoh nasionalis. Mereka menguasai
berbagai posisi penting di institusi pemerintahan dan secara aktif dan sistematis
menjadikan pendidikan sebagai bagian integral dari proses sosialisasi ideologi negara
dan penataan corak kehidupan berbangsa dan bernegara (Hartono, 2017). Lebih jauh
perkembangan pendidikan Indonesia masa orde lama kebijkan pendidikan nasional
muncul sebuah kebijakan yang dikenal dengan Sapta Usaha Tama dan
Pancawardhana tertuang dalam intruksi PP & K No. 1 tahun 1959 (Fadli &
Kumalasari, 2016).
Pendekatan Pendidikan Orde Lama
Konsep pembelajaran pada Orde Lama mewajibkan sekolah membimbing anak
agar mampu memikirkan sendiri pemecahan persoalan (problem solving). Rencana
pendidikan melahirkan kurikulum yang menitikberatkan pada pengembangan daya
cipta, rasa, karya dan moral yang kemudian dikenal dengan istilah panca wardhana
(Fadli & Kumalasari, 2016).
Problematika Pendidikan Orde Lama
Sistem pendidikan pada masa orde lama telah banyak dipengaruhi kondisi politik
bangsa Indonesia saat itu. Pasca Indonesia lepas dari penjajahan dan berhasil
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajah Belanda dengan perjanjian
KMB. Sehingga Indonesia berdasarkan semangat kebangsaan tengah belajar terus
menerus untuk membangun sebuah negara dan belajar untuk berdemokrasi. Dalam
menjalankan pemerintahan Indonesia sering melakukan kejadian euforia. Kesalahan
17
itu semua terbukti dari kestabilan pemerintahan saat itu dengan sistem parlemennya.
Dengan banyaknya partai saling sikut menyikut untuk berkuasa, maka parlemen sulit
bekerja sama dengan baik, positif, maju dan progresif, untuk membentuk rancangan
dan penerapan pendidikan nasional yang baik dan kuat (Fadli & Kumalasari, 2016).
Kondisi pendidikan pada saat itu bisa dikatakan melenceng dari roh filosofi
sesungguhnya yakni pancasila dan UUD 1945, akibatnya terlihat jelas dalam kegiatan
pembelajaran dimana pendidikan kita kurang peduli terhadap persoalan kebangsaan
dan kehidupan kebangsaan padahal kondisi politik saat itu sangat memanas dan
kondisi negara diambang perpecahan (Zulkarnain, 2017).
18
berpihak dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu pada orde baru juga
pendidikan mencanangkan wajib belajar 9 tahun, termasuk juga yang tak kalah
populer adalah dibukanya program SD Inpres untuk daerah-daerah terpencil dan
terisolir di berbagai belahan daerah di Indonesia (Sunarso, 2009).
Pendekatan Pendidikan Orde Baru
Mengusung process skill approach. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) atau Student Active Learning (SAL). Didasari oleh pandangan bahwa
pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat
terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu,
sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan
adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa (Wahyuni, 2015).
Problematika Pendidikan Orde Baru
Permasalahan terutama dalam penguasaan materi (content oriented).
Permasalahan tersebut meliputi: beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya
mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi yang kurang relevan dengan tingkat
perkembangan berpikir siswa, dan kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-
hari (Zulkarnain, 2018).
Pemerintahan Orde Baru mengedepankan moto membangun manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia dan berbagai kebijakan turunannya memberi
kontribusi bagi kualitas manusia bagi dunia industri untuk mendukung pembangunan
ekonomi, namun terdapat empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia:
pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan (Hartono, 2017).
2. Era Reformasi
Pada era reformasi ini dimulai setelah keruntuhan Soeharto, dan selanjutnya
kurikulum pendidikan ditekankan kepada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan Kurikulum 2013 (K13).
Landasan Pendidikan Era Reformasi
Filosofi pendidikannya lebih mengarah pada demokrasi dan desentralisasi.
Demokrasi ditegakkan, pendidikan dilaksanakan dengan adanya kontrol dan
keikutsertaan masyarakat, sehingga pelaksanaannnya tentu dituntut untuk lebih baik
dan transparan. Pemusatan tidak terjadi lagi di pusat, aturan dan kebijakan sudah
19
ditentukan di daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah serta tetap mengacu
kepada kebutuhan nasional. Proses pembelajaran lebih komunkatif dan melibatkan
siswa secara aktif agar kreatifitas dan aktivitas siswa meningkat. Strategi dan model
pembelajaran disesuaikan dengan kompetensi dan lebih ke arah pembelajaran
kolaboratif. Kurikulum 2013 di Indonesia juga dikembangkan berdasarkan 5
landasan, yakni: (1) Landasan Filosofis; (2) Landasan Sosiologis; (3) Landasan
Psiko-Pedagogik; (4) Landasan Teoritis; dan (5) Landasan Yuridis (Purwadhi, 2019).
Paradigma Pendidikan Era Reformasi
Di era reformasi setidaknya ada empat kebijakan pendidikan yang menjadi agenda
perbaikan sistem pendidikan nasional. Keempat program di bidang pendidikan yaitu:
(1) peningkatan mutu pendidikan; (2) efisiensi pengelolaan pendidikan; (3) relevansi
pendidikan, dan (4) pemerataan pelayanan pendidikan. Kempat isu utama di bidang
pendidikan tersebut, di dasarkan kepada keinginan dan tuntutan bangsa Indonesia
berkaitan dengan peningkatan kualitas serta mempermudah dan mempercepat
pelayanan di bidang pendidikan dan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang
bersifat reformatif dan revolusioner (Hartono, 2017). Selain itu, paradigma baru
dalam bidang pendidikan adalah menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu isu
utama dalam setiap kebijakan pemerintah, baik dalam substansi Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas maupun Peraturan Pemerintah yang
mengikutinya, karena dianggap bahwa agama sebagai dasar pembentukan karakter
bangsa, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya (Mukodi, 2016)
20
konstruktivisme dan mengembangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa
(student oriented) (Zulkarnain, 2018)
KTSP terdapat dua karakteristik utama yang dapat menandai perubahan yaitu dari
desain model sentralistik (administrative model) menuju desain model desentralistik
(grassroot model) dan dari teacher centered menuju student centered (Muhammedi,
2016). Sedangkan Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan ilmiah (scientific),
karena pendekatan ini lebih efektif hasilnya dibandingkan pendekatan tradisional
(Zulkarnain, 2018). Kurikulum 2013 di Indonesia juga dikembangkan berdasarkan 5
landasan, yakni: (1) Landasan Filosofis; (2) Landasan Sosiologis; (3) Landasan
Psiko-Pedagogik; (4) Landasan Teoritis; dan (5) Landasan Yuridis (Purwadhi, 2019).
Problematika Pendidikan Era Reformasi
Sistem pendidikan nasional Indonesia terlihat masih bersifat tambal sulam, mulai
dari kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran, tuntutan kualitas guru,
tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memiliki prioritas yang ingin dicapai.
(Hartono, 2017). Pertama; bahwa keadaan yang sedang terjadi dalam sistem
pendidikan di Indonesia saat ini adalah krisis kepemimpinan pendidikan. Kedua;
secara umum penyelenggaraan program pendidikan dewasa ini menunjukan adanya
peningkatan kualitas yang signifikan dalam menciptakan kualitas hidup Bangsa,
khususnya dalam pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, apalagi ke arah
terciptanya masyarakat belajar yang melek Iptek dan Imtaq serta mampu menjawab
tantangan global seperti sekarang ini walaupun dalam realitasnya masih banyak
kekurangan pada berbagai aspeknya. Ketiga; sistem penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia terjadi dikotomi antara IPTEK dan ilmu agama. Keduanya masih
dibedakan dalam setiap posisi dan perannya, juga terdapat jurang pemisah, belum
terintegrasi menjadikan pengetahuan secara terpadu (Ginanjar, 2008).
Konsep yang ditawarkan dalam kurikulum ini memposisikan setiap satuan
pendidikan untuk mengembangkan sendiri-sendiri potensi yang dimiliki. Sehingga
akan muncul kelebihan sekaligus kelemahan dari kurikulum ini adalah akan terjadi
kesenjangan antar sekolah, disisi lain akan tercipta sekolah-sekolah yang unggul
tetapi disisi lain juga akan semakin tercipta sekolah-sekolah yang kurang bermutu
karena kekurangan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki (Nurhalim, 2011).
21
Pembangunan pendidikan dipengaruhi oleh dimensi kepemimpinan atau
pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. Pemberlakuan desentralisasi
pendidikan pada gilirannya untuk memberdayakan dan membangun manusia
Indonesia melalui jalur pendidikan. Oleh karena itu, kebijakan pemimpin harus
merata ke setiap daerah sehingga kesenjangan tidak lagi terjadi (Nasution, 2008).
22
berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dengan berbagai pihak; (c)
Kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah (Critical-Thinking and Problem-
Solving Skills), mampu berfikir secara kritis, lateral, dan sistemik.
Pembelajaran mengandung dua karateristik utama yaitu: (1) proses pembelajaran
melibatkan proses mental siswa secara maksimal yang menghendaki aktivitas siswa
untuk berfikir dan (2) pembelajaran diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan berfikir siswa yang pada gilirannya kegiatan berfikir itu dapat membantu
siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. Pembelajaran
bukan hanya dilakukan sebagai transfer pengetahuan melainkan kegiatan yang harus
dilakukan siswa secara aktif beraktivitas dalam upaya membangun pengetahuannya
sendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya (Wijaya & et al., 2016).
Pendekatan Pendidikan Pendidikan Masa Kini (Abad 21)
Banyak pembelajaran pada masa industri (industrial age) bertolak belakang
dengan pembelajaran masa pengetahuan (knowledge age), dimana belajar
berdasarkan fakta, drill dan praktek sangat efektif untuk pembelajaran masa industri,
tetapi pada masa industri pembelajaran berubah menjadi belajar berbasis project
(project based) dan masalah (problem based), penyelidikan (inquiry) dan desain
(design), dan menemukan (discovery) (Wijaya & et al., 2016).
Blended Learning dipandang sebagai pendekatan pedagogis yang menerapkan
berbagai pendekatan pembelajaran abad 21 . Blended learning mengkombinasikan
secara raif, relevan, dan tepat antara face to face dengan potensi teknologi informasi
dan komunikasi (Husamah & et al., 2016)
Kerangka kompetensi istilah 4-C (Critical thinking, Communication,
Collaboration, and Creativity); serta keterampilan ICT (Information and
Communication Technology) :
23
(Redhana, 2019)
Problematika Pendidikan Pendidikan Masa Kini (Abad 21)
Dibalik semua kemudahan tersebut terdapat satu ancaman. Satu di antaranya
adalah ancaman kerusakan lingkungan yang semakin parah, sumber daya alam
semakin menipis, konflik sosial semakin meluas, serta ancaman kepunahan sumber
daya hayati dari tumbuhan dan hewani (Purwadhi, 2019), Selain itu kebanyakan
pembelajaran yang dilaksanakan adalah pembelajaran yang masih berpusat pada
pendidik (teacher-centered), pendidik menstimulasi peserta didik dengan masalah
yang kurang menantang sehingga masalah ini kurang mendorong peserta didik
mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif (Redhana, 2019).
Seiring dengan kemajuan informasi juga literasi ini sangat penting bagi seseorang
dalam memilih, mengritisi, mengevaluasi mensintesis, dan menggunakan informasi.
Di abad ini banyak sekali informasi yang beredar, dan bahkan tidak sedikit informasi
tersebut merupakan informasi bohong. Jika kita tidak memiliki literasi informasi
yang baik, maka kita akan “termakan” oleh isuisu yang menyesatkan yang dapat
membahayakan diri kita. Di lain pihak, berkaitan dengan literasi teknologi, seseorang
harus mampu menggunakan teknologi untuk berkomunikasi di era digital sekarang
(Purwadhi, 2019).
24
Selain itu, kesejahteraan guru di Indonesia yang relatif rendah kalau dibanding
dengan kesejahteraan kaum profesional lain diperkirakan telah menjadi kendala
paling mendasar dalam upaya riil peningkatan profesionalisme guru. Relatif
rendahnya kesejahteraan guru diperkirakan telah berpengaruh pada aktivitas guru
baik di dalam kelas, di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Relatif
rendahnya kesejahteraan guru telah menjadikan aktivitasnya kurang optimal dan
produktif (Husain & Kaharu, 2021).
2.7. Perkembangan Kurikulum Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, dan Abad 21
Seiring dengan perkembangan pendidikan yang mengalami perubahan, maka
kebijakan kurikulum yang berlaku pun juga mengalami perubahan/ inovasi untuk
disesuaikan dengan relevansi pendidikan dan di Indonesia sendiri sudah mengalami
perubahan sebanyak 11 kali. Kurikulum merupakan inti dari proses pendidikan di
sekolah. Pelaksanaan kurikulum langsung berpengaruh terhadap hasil pendidikan.
Kurikulum sangat menentukan proses dan hasil suatu sistem pendidikan. Kurikulum juga
bisa berfungsi sebagai media untuk mencapai tujuan sekaligus sebagai pedoman dalam
pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan semua tingkat pendidikan (Muhammedi,
2016).
Berikut disajikan Tabel 1. Kronologis Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Menurut (Muhammedi, 2016):
Tabel 1. Kronologis Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Tahu Kurikulum Keterangan
n
1947 Rencana Pelajaran (Dirinci Kurikulum ini merupakan kurikulum pertama
dalam Rencana Pelajaran di Indonesia setelah kemerdekaan. Istilah
Terurai) 1947 kurikulum masih belum digunakan. Sementara
istilah yang digunakan adalah Rencana
Pelajaran
1964 Rencana (Pendidikan Sekolah Kurikulum ini masih sama dengan kurikulum
Dasar) 1964 sebelumnya, yaitu Rencana Pelajaran 1947
1968 Kurikulum Sekolah Dasar Kurikulum ini merupakan kurikulum
1968 terintegrasi pertama di Indonesia. Beberapa
masa pelajaran, seperti Sejarah, Ilmu Bumi,
25
dan beberapa cabang ilmu sosial mengalami
fusi menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial (Social
Studies). Beberapa mata pelajaran, seperti Ilmu
Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya mengalami
fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPS) atau
yang sekarang sering disebut Sains.
1973 Kurikulum (PPSP) 1973 Kurikulum Proyek Printis Sekolah
Pembangunan (PPSP)1973
1975 Kurikulum Sekolah Dasar Kurikulum ini disusun dengan kolomkolom
1975 yang sangat rinci
1984 Kurikulum 1984 Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1975
1994 Kurikulum 1994 Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1984
1997 Kurikulum 1997 (Revisi Revisi Kurikulum 1994
Kurikulum 1994)
2004 (Rintisan Kurikulum Berbasis Kurikulum ini belum diterapkan di seluruh
Kompetensi (KBK) sekolah di Indonesia. Beberapa sekolah telah
dijadikan uji coba dalam rangka proses
pengembangan kurikulum ini
2006 Kurikulum Tingkat Satuan KBK sering disebut sebagai jiwa KTSP, karena
Pendidikan (KTSP) KTSP sesungguhnya telah mengadopsi KBK.
Kurikukulum ini dikembangkan oleh BSNP
(Badan Standar Nasional Pendidikan)
2013 Kurikulum 2013 lebih ditekankan pada kompetensi dengan
pemikiran kompetensi berbasis sikap,
keterampilan, dan pengetahuan Kurikulum
yang dapat menghasilkan insan Indonesia
yang: Produktif, Kreatif, Inovatif, Afektif
melalui penguatan Sikap, Keterampilan, dan
Pengetahuan yang terintegrasi.
BAB III
PENUTUP
26
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan makalah teori dengan judul “Arah Kebijakan Pengembangan
Paradigma Pendidikan Di Indonesia Dari Aspek Landasan, Paradigma, Kurikulum
Pendidikan, Pendekatan Pembelajaran Serta Permasalahannya” dapat ditarik kesimpulan,
yaitu sebagai berikut:
1. Pendidikan pada zaman purba adalah untuk generasi muda agar dapat mencari nafkah,
hidup bermasyarakat, membela diri, taat terhadap adat dan nilai-nilai religi
(kepercayaan) yang mereka yakini dan menghormati empu.
2. Pendidikan pada zaman Hindhu-Budha adalah untuk para peserta dididik agar menjadi
penganut agama yang taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan dalam
masyarakat yang berlaku saat itu juga, serta mampu membela diri dan membela negara.
3. Pendidikan pada zaman islam adalah di arahkan agar manusia bertaqwa kepada Allah
SWT., sehingga untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat melalui iman, ilmu
dana amal.
4. Pendidikan pada zaman pengaruh Portugis bertujuan untuk menyebarkan agama Katolik
yang mereka anut.
5. Pendidikan pada zaman Belanda dan Jepang bertujuan untuk menyebarkan agama
Protestan dan menjadikan rakyat pegawai bagi bangsa Belanda dan Jepang.
6. Seirig dengan arah kebijakan pengembangan pendidikan di Indonesia, dari masa orde
baru, orde lama, reformasi, hingga abad ke-21 yang ditinjau dari segi landasan,
paradigma, kurikulum pendidikan, pendekatan, serta permasalahannya tidak lain adalah
untuk menciptakan generasi muda bangsa Indonesia yang unggul secara lokal, dan
global sehingga semua perubahan itu diperlukan sesuai dengan relevansi zaman, dengan
tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945
dan cita-cita Pancasila.
3.2. Saran
27
Diharapkan kedepannya makalah ini dapat disempurnakan terkait dengan konsep
dan prinsip materi yang belum sesuai sebagaimana mestinya, sehingga dapat digunakan
untuk sumber ilmu yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
28
BSNP. (2010). Paradigma pendidikan nasional abad xxi (1st ed.). Jakarta: BSNP.
Fadli, M. R., & Kumalasari, D. (2016). Sistem Pendidikan Indonesia Pada Masa Orde Lama
( Periode 1945-1966 ). Agastya, 9(2), 157–171.
Hartono, Y. (2017). Pendidikan Nasional dan Kualitas Manusia Indonesia Dalam Perspektif
Sejarah. Agastya, 7(2), 84–102.
Husain, R., & Kaharu, A. (2021). Menghadapi Era Abad 21 : Tantangan Guru Pendidikan Anak
Usia Dini di Kabupaten Bone Bolango Abstrak. Obsesi, 5(1), 85–92.
https://doi.org/10.31004/obsesi.v5i1.527
Husamah, & et al. (2016). Belajar dan Pembelajaran. (U. Press, Ed.) (1st ed.). Malang: UMM
Press.
Moestoko & Sumarsono. (1986). Sejarah Pendidikan dari Zaman Kezaman. Jakarta : Balai
Pustaka.
Mudyahardjo, Redja. (2010). Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mukodi. (2016). Refleksi Dinamika Kebijakan Pendidikan Di Indonesia. Profesi Pendidik, 3(2),
141–152.
29
Nurhalim, M. (2011). Analisis Perkembangan Kurikulum Di Indonesia (Sebuah Tinjauan Desain
dan Pendekatan). Insania, 16(3), 339–356.
Purwadhi. (2019). Pengembangan Kurikulum dalam Pembelajaran Contents Abad XXI. Mimbar
Pendidikan, 4(2), 103–112.
Sabarudin, M. (2015). Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam Masa Awal dan Sebelum
Kemerdekaan. Jurnal Tarbiya, 1(1): 139-174.
Wahyuni, F. (2015). Kurikulum Dari Masa Ke Masa ( Telaah Atas Pentahapan Kurikulum
Pendidikan di Indonesia ). Al-Adabiya, 10(2).
Wijaya, E. Y., & et al. (2016). Transformasi Pendidikan Abad 21 Sebagai Tuntutan
Pengembangan Sumber Daya Manusia di Era Global. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan Matematika UNIKAMA, 1, 263–278.
Zulkarnain. (2018). Kebijakan Kurikulum Pendidikan Sejarah Massa Reformasi di SMA. Istoria,
14(2), 1–14.
Zulkarnain, Z. (2017). Filosofis Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah Masa Orde Lama. Historia:
Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah, 1(1), 57. https://doi.org/10.17509/historia.v1i1.7011
30