Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH ULUMUL HADIS

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU HADIS

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

SRI FILDAYATI (19010103033)

UMI FAUZIAH(19010103020)

DINA YUSIANTI (19010103006)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI

TAHUN AJARAN 2020


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalaha ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW. yang kita nanti-
nantkan syafaatnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT. atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akl pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
sebagai tugas dari mata kuliah ULUMUL HADIS dengan judul “sejarah perkembangan ilmu
hadis”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalahan ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada pada makalah ini kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya.

Kendari, 21 novemberl 2020

Kelompol V
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i

DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C. Tujuan............................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah perkembangan ilmu hadis................................................................. 3

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenalsebagai hadits. Pada masa
Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur'an.
Para sahabat khususnya yangmempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur'an, selalu
mencurahkan tenaga danwaktunya untuk mengabalikan ayat-ayat al-Qur'an di atas alat-alat yang
mungkindipergunakannya.
Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-
petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-
ketentuan dalam AI¬Qur'an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam
generasi mendatang selama hadits belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa
dekade usai wafatnya Nabi Saw muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits
ini pun dilaksanakan secara bertahap seiring dengan makin banyaknya sahabat yangwafat,
penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan
  pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan
.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perembangan Ilmu Hadist ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist.

 
 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist


Hadist sebagai suatu informasi, memiliki metodoliogi untuk menentukankeotentikan
periwayatannya yang dikenal dengan Ulum al- Hadist, yangmerupakan bentuk manajemen
infomasi. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW sampai sebelum pembukuan Ulumul Al-hadist
istilah Ulum al-hadist, jelas belum ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa
itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi yang telah ada
 Pada dasarnya hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di
dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunyamenghimpun
hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-hadist tersebut akan hilang
atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah
mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist,
namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalamAl-Qur’an dan hadist
Rasul Saw. Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang
yang beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang
yang fasik :Artinya :“Hai orang -orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatuberita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakanmusibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al -Hujurat [49] : 6)Di samping itu, Rasul Saw juga
mendorong serta menganjurkan para sahabat dan yang lainnya yang mendengar atau menerima
hadist-hadist beliau
 Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA,Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi, Bandung2005, hlm 52 
untuk menyampaikan atau meriwayatkannya kepada mereka yang tidak
mendengar atau mengetahuinya. Di dalam sebuah hadistnya Rasul Saw bersabda :(Semoga)
Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu(hadist), lantas dia
menyampaikannya (hadist tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang orang yang
menyampaikan lebih hafal daripada orang yangmendengar. (HR. Al-Tirmidzi)
 Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap hadist Nabi Saw dan
periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umumyang diberlakukan dan
dipatuhi oleh para sahabat, yaitu:
1. Penyelidikan periwayatan hadist (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya
untuk hal-hal yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalamrangka memelihara
kemurnian hadist dari kekeliruan dan kesalahan. Sebagaimana sabda Rasul SAW :Siapa yang
berbohong atas namakudengan sengaja, maka ia telah menyediakan tempatnya di dalam
neraka. Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar  jangan
terjadi pencampurbauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karenaAl-Qur’an pada masa itu,
terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, belum dikodifikasi secara resmi.
2. Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikanriwayat.
3. Kritik terhadap matan hadist (naqd al-riwayat). Kritik terhadap matanhadist ini dilakukan oleh
para sahabat dengan cara membandingkannyadengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah
dasar agama. Apabila terdapat pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak
danmeninggalkan riwayat tersebut.Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh
para ulama hadist yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin
ditingkatkanterutama setelah munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar tahun 41 H,
setelahmasa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan  penelitian
terhadap sanad hadist dengan mempraktikan ilmu al-Jarrah wa al- hadist yang datang sesudah
mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkanterutama setelah munculnya hadist-hadist
palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelahmasa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu
mulailah dilakukan  penelitian terhadap sanad hadist dengan mempraktikan ilmu al-Jarrah wa
al- Ta’dil,dan sekaligus mulai pulalah al-Jarrah wa al-Ta’dil ini tumbuh dan
berkembang.Setelah munculnya kegiatan pemalsuaan hadist dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab, maka beberapa akktifitas tertentu dilakukan oleh paraulama hadist dalam
rangka memelihara kemurnian hadist, yaitu seperti :
 Melakukan pembahasan terhadap sanad hadist serta penelitian terhadapkeadaan setiap
para perawi hadist, hal yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan.
 Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadist agar dapat
mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayattersebut.
 Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat perawi lain
yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untukmengetahui ke-dha’if -an atau
kepalsuan suatu hadist. Hal tersebutdilakukan apabila ditemukan suatu hadist yang
kandungan maknanyaganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan dasar
agamasecara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi pertentangan
antara riwayat perawi itu dengan riwayat perawi yang lebihtsiqat dan terpercaya, maka
para ulama hadist umumnya bersikapmeninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu
riwayat dari perawiyang lebih lemah itu.
 Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas  prakarsa Khalifah
‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad binMuslim bin Syihab al-Zuhri, para
ulama yang bertugas dalam menghimpun danmembukukan hadist tersebut menerapkan
ketentuan-ketentuan ilmu hadist yangsudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka.
Mereka memperhatikan ketentuan- ketentuan hadist Shahih, demikian juga keadaan para
perawinya. Halini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar didalam kehidupan umat
Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan kualitas sertatingkat kekuatan
hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun karenatelah menjadi percampuran dan
akulturasi antara masyarakat Arab dengan.
Non Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisiyang
demikian memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalammenerima dan
menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menentukan
kualitas dan macam-macam hadist. Hanya saja pada masa ini kaidah-kaidah tersebut masih
bersifat rumusan yang tidak tertulis danhanya disepakati dan diingat oleh para ulama hadist di
dalam hati mereka masing- masing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan
kegiatan perhimpunan dan pembukuan hadist
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidahhadist ditulis dan dibukukan,
namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w.234 H/848 M) menulis tentang tarikh al-Rijal,
(sejarah dan riwayat para perawihadist), Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-
Thabaqat (tingkatan para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M) menulis al-
An’Ilal(beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu hadist atau perawinya),dan lain-
lain.
Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-Muhaddits al Fashil
byn al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-
Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M),Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd Allah
Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala
Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430 H/1038
M), al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabital-Khathib
al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’ oleh al-Baghdadi (463
H/1071 M). dan lain-lain
  Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu
hadist ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu
hadist, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman
yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah (w.643 m), tadrib al-nawaei oleh jalal al-din ‘abd al-
rahman ibn abu bakar al-suyuthi ( w, 911 H / 1505 M ),

Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits


1. Hadits Pada Periode Rasulullah SAW
Hadis pada Masa Nabi SAW belum dibukukan, kebanyakan hadis hanyalahdihafal oleh para
sahabat, sementara sebagian kecil sahabat saja yang membuatcatatan hadis untuk kepentingan
sendiri.
 Adapun sikap Nabi SAW terhadap hadis yang dicatat para sahabat ada 2sikap:
 Menyuruh menghapusnya karena khawatir akan bercampur dengan Al-Quran suruhan
menuliskanya karena untuk kkepentingan da'wah bagimererka yang jauh dari kota
Madinah.Berdasarkan penelitian para ahli hadis ada ditemukan 8 (delapan) riwayat
yang membolehkan dan mengizinkan untuk menulis hadis dan 3 (tiga) riwayatyang melarang
penulisan hadis. Riwayat-riwayat itu pada hakikatnya tidak bertentangan, melainkan dapat
dikompromikan seperti tergambar pada dua sikap Nabi SAW diatas.
 Dimikanlah keadaan hadis belum dibukukan secara resmi sampai wafat
Rasulullah SAW pada tahun 11 H.
 2. Hadis Pada Periode Sahabat dan Tabi'in
a. Periode Sahabat Setelah Nabi SAW wafat (11 H/l632 M), kendali kepemimpinan umat
Islam berada di tangan sahabat Nabi. Shabat Nabi yang pertama menerimakepemimpinan itu
adalah Abu BakarAl-Siddiq (13 H/ 634M), kemudian disusuloleh Umar bin Al-Khatab (23 H l
644 M), Usman bin Affan (35 H/656 M), danAli bin Abi Thalib (401-If 661 M). Keempat
khalifah ini dikenal dengan "AI- khulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman
"Sahabat Besar".Abu Bakar al-Shiddig, la merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama
menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Periwayatan hadis padamasa Khalifah
Abu Bakar dapat dikatakan beium merupakan kegiatan yang menonjot dikalangan umat Islam.
Demikian juga yang dilakukan oleh sahabatlainya, dan mereka sangat hati-hati sekaFi dalam
periwayatan Hadis Nabi, apalagiada ancaman Nabi SAW:" Barang siapa berdusta terhadap
diriku (berbuat sesuatu kedustaan padahal akutidak mengatakanya) hendaklah dia bersedia
menempati kediamanya di dalarn neraka"
Umar bin AI- Khatab, ta dikenal sanyat hati-hati dalam pcriwayatan hadis.Umar baru
bersedia menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabatlain. Bila tidak ada saksi
maka tlmar tidak menerimanya. Disamping kewaspadaandan kehati-hatian dalam periwayatan
hadis agar tidak terjadi kekeliruan dan kepalsuan. Umar perna merencanakan penghimpunan
hadis nabi secara tertulis seflah melakukan shalat istikharah, umar mengurunkan niatnya itu,
karena khawatir akan memalingkan perhatian umat islam dari al-qur’an.
Hal itu bukanlah berarti umar melarang periwayatan hadis, tetapi haruslah dengan hati- hati dari
kekeliruan umat islam bila dibandingkan datangnya masa abu bakar, namun tetap dalam kehati-
hatian caranya tetap melalui hafalan, dan sedikit melalui catatan yang tidak resmi.
Usman bin affan secara umum kebijakan usman tentang periwayatan hadis tidak jauh
berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah sebelumnya, haya saja langka
usman tidaklah setegas langkah umar bin khatab, pada zaman usman kegiatan umat islam dalam
periwayatan hadis semakin luas, karena usman tidak sekeras umar juga karena wilayah islam
semakin luas, yang mengakibatkan bertambanya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan
hadist secara ketat, dan kedaan hadist pada masa usman ini juga belim dibekukan secara resmi,
melainkan tetap melalui hapalan den catatan-catatan pribadi.
Ali Bin Abi Thalib ia tidak jauh berbeda sikapnya degan para pendahulunya dalam
periwayatana hadist secara umum Ali barulah bersediah menerimahaa riwayat hadist nabi
setelah periwayatan hadist yang bersangkutan mengucapkan sumpah, kecuali pada periwayat
yang telah di yakini kebenaranya, maka Ali tidak mintah sumpah lagi. Dalam pada itu Ali Bin
Ali Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadist, selain dalam bentuk lisan (hapalan) juga
dalam betuk tulisan. Situasi umat islam pada zaman Ali telah berbeda dengan zaman sebelumnya
karnah pertentangan politik di antara sesama muslim adapun sahabat nabi selian khulafa ar-
rasyidin, juga meunjukan kehati-hatian dalam periwayatan hadist, sepertia anas Bin Ali Abdullah
Bin Umar, Umar Bin Khatab. Dalam pada itu di akui bahwa kegiatana periwayatan hadist pada
masa sahabat sesuai periode Kkhulafa Ar-Rasyidin, telah lebih banyak dan luas di bandingkan
zaman khalifah yang empat itu.
b. Perioden tabi’in
Periode pada masa tabi’in tanpak semakin semarak, namun tetap dalam kehati-hatian.
Mereka mulai menyelididki sanad dan matam hadist agar terhindar dari kepalsuan, bahkan
tidak segan-segan melakukan perjalanan jauh untuk megecek dan menyelididki kebenaranya
seperti peristiwa berikut:
 Said Bin Al-Musayyas (94N/712M) seorang tabi’iy besar di kota mdinah, mengaku telah
mengadakan perjalanan siang-malam untuk menyampaikan hanya sebuah mimplis nabi SAW.
 Abu Ambru Abdulrrahman bin Amr Al-Auza’iy (157H) 1774 M) menyatakan, apabilah dia dan
ulama sejawatnya menerimah riwayat hadist, maka hadist itu di teliti bersanui. Apabilah ulama
menyimpulkan bahaya riwayat itu memang hadis nabi maka Auza’iy mengambilnya dan apabilah
mereka menyingkarinya, maka dia meninggalkanya.

Bukti-bukti di atas menunjukan kesungguhan, kehati-hatian, dan kekuasaan pengetahuan ulama


tabi’in, bagian hadist yang mereka kaji dan dalami bukan hanya matanya saja melainkan juga nama-nama
periwayat dan sanatnya. Periwayatan hadisst pada zaman tabi’in ini tidak memperoleh hadist langsung
dari nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu degan mereka, atau dari semua
periwayatan hadist pada zaman tabi’in ini tidak memperoleh hadist langsung dari nabi mereka menerima
riwayat dari sahabat yang bertemu dari mereka atau dari sesama tabi’in yang sezatmant dengan mereka
atau dari tabi’in-tabi’in yang banyak ilmunya

Dengaaan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadist pada zaman tabi’in telah
semakin meluas. Rangkaian pada periwayat hadist yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang
dengana periode sahabat pada masa tabi’in inilah mulai usaha pembekuan hadist yang dilakukan secara
resmi atas perintah dan permintaan khalifah umar abdul azis memerintah (99-101H/718M), dan berlanjut
terus pada periode berikutya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ulumul hadis adalah istilah ilmu hadis didalam tradisi hadis ( ‘ulum al-hadits) ‘ulum al-
hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulumdalam bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkanhadits berarti: “segala sesuatu yang
taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabunganantara ‘ulum dan al-hadits mengandung
pengertian “Ilmu yang membahas atauyang berkaitan dengan hadits Nabi Saw”. 
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatanhadist di dalam
Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun
hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiranhadist-hadist tersebut akan hilang
atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan
 pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan
metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka
 belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas
 prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad binMuslim bin
Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan
membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yangsudah ada
dan berkembang sampai pada masa mereka.
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah perkembangan
hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah
hadist ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Pada abad ke-4 danke-5 Hijriah
mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentangilmu hadist yang bersifat
komprehensif. Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmuhadist
ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalammembicarakan ilmu
hadist.
DAFTAR PUSAKA

Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, 2005.Studi Ilmu Hadist  . Cita Pustaka MediBandung
Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag 2004.Ulumul Hadist . Bandung:TafakurSyaikh Manna Al-
Qaththan. 2005. PENGANTAR STUDI ILMU HADITS . JakartaMuhammad Dede
Rudliyana, MA. 2004. Perkembangan pemikiran Ulumul
 Hadist dari klasik sampai modern. Pustaka Setia: Bandung 11

Anda mungkin juga menyukai