Anda di halaman 1dari 14

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

HIPERTENSI

Pokok pembahasan : Hipertensi Pada Lansia

Waktu : 30 Menit

Jam : 09.30 - Selesai

Hari/Tanggal : Minggu, 18 Oktober 2020

Tempat : Desa Lembuak, Narmada Lombok Barat

Penyuluh : Kelompok 2

Sasaran : Masyarakat Lansia

I. Tujuan Instruksional Umum (TIU)

Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan tentang Hipertensi, diharapkan anggota peserta


penyuluhan dapat peserta dapat mengetahui tentang penyakit hipertensi.
II. Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mengikuti proses penyuluhan selama 30 menit, klien diharapkan mampu :

1. Menjelaskan pengertian tentang penyakit hipertensi

2. Mengetahui penyebab hipertensi

3. Menyebutkan tanda dan gejala hipertensi

4. Mengetahui komplikasi hipertensi

5. Mengetahui cara mengatasi penyakit hipertensi

III. Pokok Materi


Materi Penyuluhan Meliputi (terlampir) :
1. Pengertian Hipertensi
2. Klasifikasi hipertensi pada lansia
3. Etiologi hipertensi pada lansia
4. Tanda dan gejala hipertensi pada lansia
5. Komplikasi hipertensi pada lansia
6. Penatalaksanaan hipertensi pada lansia
IV. Metode : Ceramah dan Tanya jawab
V. Media dan Alat : Lembar balik
VI. Proses Kegiatan

NO FASE WAKTU KEGIATAN KEGIATAN PASIEN


. PENYULUH

1. Pra 5 Menit - Memberikan salam - Menjawab salam


Interaksi terapeutik
- Memperkenalkan diri
- Mendengarkan
- Menjelaskan tujuan
- Memperhatikan
dari penyuluhan
- Menentukan kontrak
- Memperhatikan
waktu dan materi
dengan pasien

2. Kegiatan 15 Menit - Menjelaskan pengertian - Mendengarkan


Inti Hipertensi
- Menjelaskan klasifikasi - Mendengarkan
hipertensi pada lansia
- Menjelaskan etiologi - Mendengarkan
hipertensi pada lansia - Mendengarkan
- Menjelaskan tanda dan
gejala hipertensi pada - Mendengarkan
lansia
-Menjelaskan komplikasi
hipertensi pada lansia - Mendengarkan
-Menjelaskan
penatalaksanaan - Mendengarkan
hipertensi pada lansia

3. Evaluasi 7 Menit - Menyimpulkan inti - Memperhatikan


penyuluhan
- Menanyakan kembali - Menjawab
kepada pasien tentang
materi yang telah
diberikan

4. Terminasi 3 Menit - Mengakhiri pertemuan - Mendengarkan


dan mengucapkan
terimakasih
- Mengucapkan salam
- Menjawab salam
penutup

VII. Lampiran Materi

A. Pengertian Hipertensi Pada Lansia


Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang
intermiten atau menetap.Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO
( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai
hipertensi.Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996)
B. Klasifikasi Hipertensi Pada Lansia
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1. Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak, yaitu sekitar
90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat keluarga,obesitas,diit tinggi
natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun faktor genetik
sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi mekanisme pastinya masih
belum diketahui.
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi lainya.
Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi renovaskuler, feokromositoma,
sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari
seluruh pasien hipertensi.

C. Etiologi Hipertensi Pada Lansia


Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain meliputi
diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti obesitas asupan garam
yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol, antara
lain:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik kromosomal),
umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria atau wanita pasca
menopause.
a. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun wanita
terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita yang belum
mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang
tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses
aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya
imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi
pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen
tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang
umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi
berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila
terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur
55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan
dengan perubahan hormon setelah menopause
b. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang
yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang yang
berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara khusus. Hal
ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun, karena itu dosis obat
yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada kebanyakan kasus , hipertensi
banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun;
wanita : > 65 tahun.
Hal ini disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns
Peter (2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah
produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta,
dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan
menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.
c. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap
sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko dua kali
lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai
keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita
hipertensi.
2. Faktor resiko yang dapat dikontrol :

a. Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi penurunan
kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat badan meningkat.
Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu
timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan pembuluh darah, hipertensi.
Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama
tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5
kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20- 30% memiliki berat badan lebih.
b. Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer
yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot
jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang
lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko
tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang
yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung
mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering
jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang mendesak arteri.
c. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya
stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
d. Mengkonsumsi garam berlebih
Badan Kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya
hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol
(sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang
berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat.
Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar, sehingga volume cairan
ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya
hipertensi.
e. Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan
organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alcohol berlebihan
termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
f. Kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung
75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi meningkatkan
tekanan darah 5 -10 mmHg.
g. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis
peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu).
Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi.
Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan
lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan
pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Menurut
Anggraini (2009) mengatakan stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer dan curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis.
Adapun stres ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan
karakteristi

D. Tanda Dan Gejala Hipertensi Pada Lansia


Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak
memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau tersembunyi
(occult ). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita
hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah, Mual
Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

E. Komplikasi Hipertensi Pada Lansia


Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering kematian
adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering ditemukan, dan sebagian
kecil pada pasien dengan retinopati.
a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler
Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan
sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan dinding
ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya membesar dan
timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina pektoris dapat timbul
sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard karena penambahan massanya.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel
kiri yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan murmur
dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering terdengar pada
penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikuler, ketiga) atau
irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada elektrokardiogram, ditemukan tanda-tanda
hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi iskemi dan infark.
Sebagian besar kematian dengan hipertensi disebabkan oleh infark miokard atau gagal
jantung kongestif. Data-data terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin
lebih diperantarai oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi
dibandingkan hanya oleh peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.
b. Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina dan
sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri dan arteriol
yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan optalmoskopik berulang
memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak hipertensi pada pembuluh darah
retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi. Sakit kepala
di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang merupakan salah satu dari
gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan ’keleyengan’, kepala terasa ringan,
vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius
adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama
sedikit berbeda. Infark serebri terjadi secara sekunder akibat peningkatan
aterosklerosis pada pasien hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat
dari peningkatan tekanan darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler
serebri (aneurisma Charcot-Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial diketahui
berpengaruh terhadap perkembangan mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan
kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan kejang.
Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan spasme arterioler
atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada, lebih
dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau transient ischemic attack .Hipertensi atau
tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina berupa retinopati hipertensi,
dengan arteri yang besarnya tidak beraturan, eksudat pada retina, edema retina dan
perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau
setempat, percabangan pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis
pembuluh darah.
c. Efek pada Ginjal
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus
adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada
penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan
hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian
disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi terjadi
tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga sering terjadi
pada pasien-pasien ini.
F. Penatalaksanaan Hipertensi Pada Lansia
Lebih dari 10 tahun yang lalu masih terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya
pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Golongan yang kontra menyatakan bahwa
penurunan tekanan darah pada hipertensi lansia justru akan menyebabkan kemungkinan
terjadinya trombosis koroner, hipotensi postural dan penurunan kualitas hidup. Dengan
penelitian-penelitian yang diadakan dalam 10 tahun terakhir ini jelas dibuktikan bahwa
menurunkan tekanan darah pada hipertensi lansia jelas akan menurunkan komplikasi
akibat hipertensi secara bermakna.
Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas
yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena kebanyakan penderita
hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan mencapai target tekanan diastole saat
target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga fokus utamanya adalah mencapai target
tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol dan diastol < 140 / 90 mmHg
berhubungan dengan penurunan terjadinya komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi
dengan diabetes melitus, target tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.
Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :
1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti
hipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin
seumur hidup.
5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi dasar
pengobatan hipertensi.
Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :
a. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan
b. Interaksi obat
c. Efek samping obat.
d. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.
Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap kondisi penderita
adalah :
a. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.
b. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.
c. Organ yang rusak karena hipertensi.
Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan obat
antihipertensi, yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi
2. Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulkan intoleransi
5. Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.
6. Memungkinkan penggunaan obat dalam jangka panjang
Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat antihipertensi
mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di bawah ini :
1. Ketidakpatuhan penderita
2. Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan ginjal,
dan kurangnya pemberian diuretic
3. Obesitas
4. Dosis yang tidak adekuat
5. Interaksi obat
6. Kontrasepsi oral
7. Penggunaan obat-obat steroid
8. Hipertensi sekunder

Penatalaksanaan untuk hipertensi dibagi menjadi :


1. Non Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.
Non farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :

K rite ria In d e k s M a s s a T u b u h

K rite ria IM T (k g /m )

K u ra n g < 1 8 ,5

N o rm a l 1 8 ,5 - 2 4 ,9

B e ra t b a d a n le b ih 2 5 ,0 - 2 9 ,9

O b e s ita s 3 0 ,0 - 3 4 ,9

O b e s ita s b e ra t ≥ 3 5 ,0

1) Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan bila IMT ≥ 27


2) Membatasi alkohol.
3) Olahraga teratur sesuai dengan kondisi tubuh.
4) Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g NaCl/hari)
5) Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari), kalsium dan magnesium yang
adekuat.
6) Berhenti merokok.
7) Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.
2. Farmakologis
Obat – obat anti hipertensi :
1) Diuretik
- Cara kerja : meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga volume
plasma dan cairan ekstrasel.
- Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi
perifer.
- Terdapat beberapa golongan, yaitu :
a. Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh :
1.Hidroklorotiazid (HCT) – tab 25 dan 50 mg
2.Klortalidonn – tab 50 mg
3.Bendroflumentiazid – tab 5 mg
4.Indapamid – tab 2,5 mg
5.Xipamid – tab 20 mg
b. Diuretik kuat :
1.Furosemid – tab 40 mg
c. Diuretik hemat kalium :
2.Amilorid – tab 5 mg
3.Spironolakton – tab 25 dan 100 mg
- Efek samping : hipotensi dan hipokalemia.

2) Penghambat Adrenergik
- Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung,
serta menurunkan sekresi renin
- Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung kongestif
- Terdiri dari golongan :
1. penghambat adrenoreseptor α / α – b loker : terazosin,
doxazosin, prazosin
2. penghambat adrenoreseptor β / β-bloker : propanolol, asebutolol,
atenolol, bisoprolol
3. penghambatadrenoreseptor α dan β : labetalol
4. adrenolitik sentral : klonidin, metildopa, reserpin, guanfasin

3) Vasodilator
- Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos yang
akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah
- Yang termasuk golongan ini adalah natrium nitroprusid,
hidralazin,doksazosin, prazosin, minoksidil, diaksozid.
- Yang paling sering digunakan adalah natrium nitroprusid dengan
efek samping hipotensi ortostatik.

4) Penghambat Enzim Konversi Angiotensin


- Bekerja menghambat sistem renin-angiotensin, menstimulasi sintesis
prostaglandin dan juga mengurangi aktivitas saraf simpatis
- Preparat yang paling banyak digunakan adalah Kaptopril, diberikan 1
jam sebelum makan. Pada gagal ginjal dosis dikurangi (bila CCT > 1.5 mg%).
- Efek samping : batuk kering , eritema, gangguan pengecap, proteinuria, gagal
ginjal dan agranulositosis.

5) Antagonis Kalsium
- Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara
menyebabkan vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi
yang kurang nyata dan retensi cairan yang kurang daripada vasodilator
lainnya.
- Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin,
felodipin, amilodipin, verapamil dan diltiazem.

6) Antagonis Reseptor Angiotensin II (AI RA / ARB)


- Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak
mempengaruhi produksi Angiotensin II tetapi memblok di tempat kerja pada
organ target.
- Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak
mempengaruhi metabolisme bradikinin.
- Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung
karena reseptor tidak dipengaruhi.

Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :


1. Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)
2. Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian
autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
3. Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
4. Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
5. Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan
6. Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali
untuk maintenance
Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia terdapat :
1. Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi
ortostatik.
2. Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan
hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
3. Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
4. Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
5. Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan
otot.
6. Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada
pada lansia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai
efek samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan


hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan labetolol sebaiknya
dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah diturunkan perlahan-lahan
dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah dan peningkatan dosis yang lebih
kecil dengan interval yang lebih panjang dari biasanya pada penderita yang lebih muda,
dan pilihan antihipertensi harus secara individual, berdasarkan pada kondisi penyerta.
Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :
1. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan kalua
perlu lebih dari 1 kali kunjungan)
2. Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya hipertensi
dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.
3. Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan maupun
masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.
4. Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.
5. Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah
pasien hipertensi.
6. Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan yang
dapat dimakan sekali sehari.

Terapi Kombinasi
Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai sasaran,
maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan tidak meningkatkan
dosis obat pertama. Hal ini adalah upaya untuk memaksimalkan efek penurunan tekanan
darah dengan efek samping seminimal mungkin. Pada penelitian HOT, terapi kombinasi
diperlukan pada sekitar 70% penderita. Dalam JNC-VII, para ahli bahkan menganjurkan
terapi antihipertensi kombinasi langsung pada penderita yang ada pada stadium 1.
Walaupun dosis campuran tetap banyak disediakan oleh pabrik farmasi, upaya titrasi
dosis secara individual dianggap lebih baik. Berikut diberikan pedoman yang dianut
oleh para ahli hipertensi di Inggris yang disebut sebagai The Birmingham Hypertension
Square.
DAFTAR PUSTAKA

Chobanian A . 2003. JNC VII Report 18th Annual Scientific Meeting and Exposotion of

American Society of Hypertension. New York, USA.

Martono, H. (2004). Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut, Buku Ajar Geriatri (Ilmu

Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Geratosima, Salma 2004. Buku Ajar GERIATRI (ilmu kesehatan usia lanjut) edisi 3.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Ganiswarna S., et al. 1995. Farmakologi & Terapi Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Stanley, Mickey. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta : EGC.

Stocklager, Jaime L. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatric Edisi 2. Jakarta : EGC.

Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan Pustaka.

Nugroho, Wahjudi. 2000 . Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai