Anda di halaman 1dari 8

Nama : Tazkiya Sakina

NIM : J3J119270
Kelas : MAB C prk 2
Judul
"Demokrasi" adalah sebuah kata yang begitu sering diucapkan. Namun, makin
banyak ia dibahas makin terasa betapa sulit mencari contoh tentang negara yang
memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna. Di Indonesia, pencarian terhadap sosok
demokrasi pun terus digelar, baik pada aras praktik sistem politik maupun kajian
akademik. Dalam aras akademik, sejumlah makalah dikupas habis-habisan dalam
berbagai seminar. Sementara itu, sejumlah buku, artikel pidato para pakar dan politisi,
telah pula diterbitkan dalam jurnal ilmiah, koran dan majalah. Tetapi, berbeda dengan di
negara-negara berkembang lainnya, semaraknya perbincangan tentang sistem demokrasi
di Indonesia bukan karena bangsa atau pemerintahan di negeri ini tidak
mengenal sistem demokrasi. Justru sebaliknya, bangsa Indonesia pada aras
implementasi sistem politik telah banyak memahami varian-varian demokrasi di dunia.
Beberapa di antaranya bahkan telah diujicobakan di negeri ini: demokrasi liberal,
demokrasi parlementer, dan demokrasi Pancasila. Namun berbagai varian demokrasi ini
gagal memberikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang benar-benar
berbasis pada nilai-nilai dan kaidah demokrasi dalam arti yang sebenar-benarnya.
Ketika era reformasi berkembang menyeruak dalam tatanan kehidupan politik
Indonesia, sebagian besar masyarakat berharap akan lahirnya tatanan dan sistem
perpolitikan yang benarbenar demokratis. Namun, setelah hampir lima tahun berjalan,
praktik-praktik politik dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis belum
menampakkan arah yang sesuai dengan kehendak reformasi. Demokrasi pun kemudian
dipertanyakan dan digugat ketika sejumlah praktik politik yang mengatasnamakan
demokrasi seringkali justru menunjukkan paradoks dan ironi. Gugatan terhadap
demokrasi ini sesungguhnya memiliki relevansi yang kuat dalam akar sejarah dan
sosiologi politik bangsa Indonesia. Dalam konteks itulah, tulisan ini hendak melihat
bagaimana perjalanan demokrasi di negeri ini, yang kemudian akan dianalisis guna
membaca prospek demokrasi Indonesia di masa depan dengan mengambil contoh kasus
Pemilu dan Pilkada.
Indonesia sampai saat ini masih dibilang sebagai negara yang aktif dalam
pembangunan dan juga budayanya. Tujuan nasional dari pembentukan pemerintahan
sendiri ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum bagi masyarakat, mencerdaskan kehidupan generasi generasi penerus bangsa,
dan serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang sudah ditetapkan. Pembangunan
yang berkeadilan dan demokratis serta dilaksanakan dengan cara yang bertahap,
berkesinambungan, dan merata. Tetapi pada kenyataannya pembangunan di Indonesia
masih jauh dari kemerataan yang diharapkan. Sampai saat ini, pembangunan di
Indonesia masih berkonsentrasi di daerah pusat kita saja, baik itu di ibu kota Negara itu
ataupun di daerah yang berada disekitarnya. Keadaan inilah yang dibilang masih jauh
dari apa yang dicita-citakan dalam tujuan awal, yaitu tujuan nasional kita yang
menginginkan kemerataan dalam pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.
Hampir dapat dipastikan bahwa dalam setiap periode menjelang pemilu dan
pilkada situasi dan kondisi politik seringkali diwarnai dengan berbagai persaingan dan
konflik antar kekuatan politik. Yang menjadi persoalan adalah: bagaimana kita dapat
mengelola dan mengendalikan persaingan serta kemungkinan konflik yang akan terjadi
antar kekuatan politik yang ada sehingga tidak mencuatkan situasi anarkhisme dan
kekerasan politik? Bisakah kita berharap pada penegakan aturan main pemilu dan
pilkada sebagai tonggak sejarah pengembangan proses politik menuju transisi
demokrasi? Hal yang perlu diamati juga dalam kondisi ini adalah kemungkinan
terkalahkannya gerakan reformasi oleh kekuatan-kekuatan bersenjata dan kekuatan
penguasa sumber daya produktif masyarakat. Berdasarkan hal tersebut muncul
pertanyaan tambahan yakni seberapa besar peluang yang kita miliki untuk
menggunakan pemilu dan pilkada sebagai wahana untuk mencegah kemungkinan
reformasi berjalan mundur menuju kembalinya otoritarianisme sistem politik kita dalam
bentuknya yang baru?
Mengingat corak sosiologis masyarakat kita yang masih kental diwarnai
paternalistik, dalam implementasinya perilaku santun, toleran, jujur, dan berkeadaban
para elit dan tokoh politik akan dapat dilihat dari terbangunnya komunitas politik yang
disebut Suharso (2000) sebagai followership. Followership disini dijelaskannya sebagai
gambaran karakter yang mempunyai kesediaan untuk bekerjasama, kemampuan untuk
mengendalikan egonya, serta politicall efficacy dengan corak komunitas politik yang
aktif, partisipatif, kritis, terbuka, toleran dan tetap patuh pada aturan main. Tanpa
followership, suasana bebas dalam demokrasi cuma sekedar jadi ajang bebas saling
menjatuhkan dan bebas saling menjegal. Kebebasan dalam demokrasi lalu diartikan
sebagai bebas untuk terus-menerus berebut kursi kekuasaan. Jika konfigurasi perilaku
elit dan tokoh politik mampu mewujudkan tuntutan di atas sekaligus dapat menciptakan
public opinion yang positif bahwa dalam perebutan the allocation of authoritative value
dilakukan di atas prinsip etika dan moralitas politik demokratik, kita dapat lebih tentram
dalam menyongsong kehadiran Pilkada langsung 2005. Sebaliknya jika gagal, sangat
mungkin masyarakat akan mengalami ketakutan, kecemasan dan was-was politik.
Pilkada langsung yang dianggap sebagai pesta demokrasi yang seharusnya dapat
mendorong rasa senang dan antusias, dapat berubah menjadi teror politik yang
menakutkan sekaligus menciptakan phobia politik masyarakat. Kemudian pada aras
budaya politik pula diperlukan upaya membangun otonomi masyarakat. Bagaimana agar
masyarakat, baik elite maupun awam menunjukkan mentalitas yang mandiri
sebagaimana dikenal dalam civil society adalah agenda mendesak yang perlu
dipikirkan. Jika demokrasi juga mencakup sikap budaya dan tidak sekedar tatanan
politik yang hanya diimplementasikan dalam teks-teks politik, maka pemberdayaan
berpolitik menjadi salah satu prasyarat penting pula dalam membangun demokrasi.
Dengan kata lain, untuk memasuki iklim demokrasi yang benar dan baik perlu
pendewasaan, sebab untuk mendirikan (sistem) demokrasi bukan hanya perlu kebebasan
berserikat. Bukan pula hanya kualitas pers yang bebas, tetapi juga kualitas ketanggapan
pembacanya. Bukan hanya kebebasan mimbar atau kebebasan berbicara semata, tapi
juga kedewasaan pembicaraannya. Jangan hanya muncul tuntutan terhadap perbaikan
kualitas legislatif yang bisa menyuarakan hati nurani rakyat, tetapi juga kualitas
Dalam konteks kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pemilu dan pemilihan
kepala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan
kehidupan politik yang demokratis. Pemilu, terutama yang baru saja dilaksanakan pada
tahun 2004, dan pilkada langsung yang akan dimulai pada tahun 2005 untuk memilih
gubernur, bupati atau walikota mempunyai makna strategis, tidak saja karena sifatnya
yang berbeda dengan pilkada-pilkada sebelumnya, namun yang lebih penting adalah
bahwa dengan Pemilu 2004 dan Pilkada secara langsung itulah masa depan politik
Indonesia dipertaruhkan.
Dampak dari kurangnya kemerataan pembangunan di Indonesia ini memang
tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat yang telah tinggal di daerah yang mengalami
pembangunan yang cukup pesat. Tetapi, kemerataan pembangunan ini dirasakan oleh
masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil dengan fasilitas yang kurang
memadai dan pembangunan yang berjalan sangat lamban. Daerah-daerah terpencil dan
pelosok seperti inilah yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah dan sulit
untuk mendapatkan fasilitas-fasilitas yang telah diberikan menyeluruh, hal ini biasanya
dikarenakan pemerintah yang hanya menyediakan fasilitas yang sifatnya kompelks
untuk daerah perkotaan, sehingga bagi masyarakat yang letaknya di daerah terpencil
butuh waktu yang lama untuk menikmati dan mengakses fasilitas-fasilitas tersebut. Dan
hingga sampai saat inipun beberapa wilayah di Indonesia belum merasakan
pembangunan yang benar-benar optimal untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya. Kesenjangan antar daerah itu masih tinggi dan sangat dirasakan, tingkat
kemiskinan pun cukup tinggi terutama bagi Indonesia bagian Timur.
Ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan antar daerah di Indonesia pada
umumnya penyebabnya antara lain Keterbatasan informasi pasar dan informasi
teknologi untuk pengembangan produk unggulan, Belum adanya sikap profesionalisme
dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah, Belum optimalnya
dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak kepada petani dan pelaku
swasta, Belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada
pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah,
Belum berkembangnya koordinasi, sinergitas, dan kerjasama diantara pelaku-pelaku
pengembangan kawasan baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, petani, serta
antara pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota dalam upaya peningkatan daya saing
kawasan dan produk unggulan. Masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil
terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan
pemasaran dalam upaya pengembangan peluang usaha dan kerjasama investasi.
Keterbatasan jaringan sarana dan prasarana fisik dan ekonomi di daerah dalam
mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah, Belum optimalnya
pemanfaatan kerangka kerjasama antar daerah untuk mendukung peningkatan daya
saing kawasan dan produk unggulan, Masih sulitnya transportasi untuk mencapai
daerah-daerah perbatasan, Kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah pusat, karena
keberadaannya kurang terekspose, Ketidakseimbangan pasokan sumber daya alam
dengan kegiatan pembangunan.
Dampak ketidakmerataan pembangunan memang tidak terlalu dirasakan oleh
masyarakat perkotaan yang tinggal di daerah yang mengalami pembangunan yang pesat
yang sarana dan prasarananya berjalan dengan lancar karena segala kebutuhan hidupnya
lebih mudah didapat. Kita ambil contoh sarana pendidikan dan kesehatan,  di daerah
perkotaan sudah sangat memadai dan mudah untuk diakses, dan sangat berbanding
terbalik untuk daerah terpencil, mereka sangat kesulitan dalam mengakses fasilitas
pendidikan ataupun fasilitas kesehatan, selain jumlahnya yang sedikit, letaknyapun yang
kebanyakan jauh dari pemukiman warga membuat banyak masyarakat terpencil enggan
untuk mengaksesnya.
Pendapatan negarapun sangat bisa dikatakan kurang maksimal, karena
pembangunan yang tidak merata itu menyababkan kurang adanya pemanfaatan yang
maksimal pada sumber-sumber daya dari daerah yang memiliki potensi ekonomi yang
baik untuk jangka waktu ke depan.
Ketimpangan pembangunan nasional juga disebabkan oleh prilaku tidak terpuji
yaitu korupsi.  Korupsi merupakan permasalan mendesak yang harus diatasi, agar
tercapai pertumbuhan dengan geliat ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang
korupsi yang setiap hari diberitakan oleh media masa baik cetak maupun elektronik,
tergambar adanya peningkatan dan pengembangan model-model korupsi.
Dimensi politik hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau
“anactment policy”, merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominant di Negara
berkembang, pengusaha tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan
konsep perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominant terjadi di Indonesia,
yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan
perundang-undangan.
Fakta yang terjadi menunjukan bahwa Negara-negara industri tidak dapat lagi
menggulur Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui korusilah
system ekonomi social rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan dalam buku
“The Confession of Economic Hit Man” John Pakin mempertegas peran besar Negara
adidaya seperti Amerika serikat melalui lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia dan
perusahaan Multinasional terperangkap dalam hutang luar Negeri yang luar biasa besar,
seluruhnya dikorup oleh pengusaha Indonesia saat ini. Demokrasi dan metamorfosis
Korupsi pergeseran sistem, melalui tumbangnya kekuasaan Icon orde baru, Soeharto,
membawa berkah bagi tumbuhnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Reformasi,
begitu banyak orang menyebutperubahan tersebut. Namun sayangnya reformasi harus
dibayar mahal oleh Indonesia melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Budle
gum” yang setiap saat siap meledak itu. Kemunafikan (Hipocrassy) menjadi senjata
ampuh untuk membodohi rakyat. Namun, apa mau ditanya rakyat tak pernah sadar, dan
terbuai oleh lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulu para
pelanjut cita-cita dan karakter orde baru. Dulu korupsi tertralisasi di pusat kekuasaan,
seiring otonomi dan desentralisasi daerah yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan
kekuangan daerah, korupsi mengalami pemerataan dan pertumbuhan yang signefikan.
Disharmonisasi politik ekonomi social, grafik pertumbuhan jumlah rakyat terus naik
karena korupsi.
Dalam kehidupan demokrasi di Indonesia praktek korupsi makin mudah
ditemukan diberbagai bidang kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai
sosial., kepentingan pribadi menjadi pilihan utama dibandingkan kepentingan umum,
serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi prilaku
sosial sebagaian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem
integritas public. Biro prlayanan public justru digunakan oleh pejabat public untuk
mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan kenaikan
pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan public, bukan prioritas dan
orientasi yang utama. Dan kedua alasan ini menyeruak di Indonesia, justru
memfasilitasi korupsi. kunci dari pemecahan masalah korupsi adalah keberpihakan
pemerintah pada keadilan. Korupsi harus dianggap menghambat pewujudan keadilan
sosial, pembangunan sosial, dan pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah
menghinggapi anggota-anggota legislative di pusat dan di daerah, bahayanya harus
dianggap jauh lebih parah karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat.
Jika wakil-wakil rakyat sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas
tidak mewakili aspirasi rakyat, jika sejak krisis multidimensi yang berasal dari krimon
1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan tidak
pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi rakyat,
maka ini berarti harus ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi dan keadilan social sejauh ini tidak terwujud di Indonesia
karena tidak  kembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah aturan main
berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga Negara. Kita
menghimbau para filosof dan ilmuan-ilmuan social, untuk bekerja keras dan berpikir
secara empiric indktif yaitu selalu menggunakan data-data empiric dalam
berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saj, lebih-lebih dengan selalu
mengacu pada teori-teori berat. Dengan berpikir empiric kesimpulan-kesimpulan
pemikiran yang dihasilkan akan langsung bermanfaat bagi masyarakat dan para
pengambil kebijakan masa sekarang. Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup
mewah ketika pada saat yang sama masih sangat banyak warga bangsa yang harus
mengemis sekedar untuk makan.
Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk
memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam
jangka pendek maupun panjang. Banyak bukti yang menunjukan bahwa skandal
ekonomi dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi
dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang seperti
Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan asalan untuk mengendalikan sumber
dya alam kepada perusahaan multinasional dan negar adi daya yang Didalamnya telah
terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundik-pundi harta bagi kepentingan politik
dan pribadi maupun Kelompoknya.
Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok
Setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia banyak pengamat ekonomi
merupakan kasus Pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga Pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonomi dan
pengamat politik dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling
mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan
anggota legislative daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah
mengakar dalam kehidupan social politik ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah
menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi. Namun juga sering
membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya
penguatan-penguatan yang lahir melalui Perda (pendapan daerah) yang dibuat dalam
rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi
baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, inpestor menahan diri untuk
masuk daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan
akibat itu semua kemiskinan meningkat karena Lapangan pekerjaan menyempip dan
pembangunan ekonomi pembangunan di daerah terhambat boro-boro memacu PAD.
Terdapat bobot yang menentukan daya saing infestasi daerah. Pertama, factor
kelembagaan. Kedua, factor inpraskruktur, ketiga, fakor social politik. Keempat, factor
ekonomi daerah. Kelima, factor ketenaga kerjaan hasil penelitian komite pemantauan
Pelaksanaan otonomi daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor
kelembagaan dalam hal ini pemerintah daerah sebagai factor penghamabat terbesar bagi
inpestasi hal ini berarti birokrasi menjadi penghambat utama bagi infestasi yang
menyebabkan munculnya Haighcost economy yang beratri praktek korupsi yang
melalui pungutan-pungutan liar yang berarati liar dan dana pelican marah pada awal
Pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah terserbut. Dan jelas ini emnhambat
tumbuhnya kesempatan Kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di
birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah.
Kondisi social politik dominant menjadi hambatan bagi tumbuhnya di daerah.
Pada 2005 banyak daerah banyak melalukan pemilihan Kepala daerah (Pilkada
secara langsung yang menyebabkan instabilitasi politik di daerah yang membuat enggan
para inspector untuk menanam modalnya di daerah. Dalam situasi politik ini, inspector
local memilih modalnya kepada ekspestasi politik dengan membantu pendanaan
kampanye calon-calon Kepala daerah tertentu dengan harapan akan memperoleh
kemenagan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya.
Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi. Justru  hanya akan
meperbesar pengeluaran pemerintah (Goverenment expenditure) karena para inspector
hanya mengerjakan prokyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan aut put baru di luar
pengeluaran pemerintah (biaya aparatur Negara) bahkan akan berdampak pada
inspestasi pengeluaran pemerintah karena untuk meningkatkan PAD-nya mau-tidak mau
pemerintah harus mengenjot pemdapatan dari pajak dan retrevusi melalui berbagai
Perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi. Titik tolak
pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi yang
menjadi penyebab munculnya haigh cost economy yang melahirkan ekonomi tersebut
akan di dukung oleh birokrasi yang  njelimet. Seharusnya titik tolak daerah adalah
pembangunan ekonomi daerah dengan menarik infestasi daerah yang sebesar-besarnya
dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka Waktu
pengurusan Dokumen usaha serta membersihkan birokrasi dari prektek korupsi.
Peneingkatan PAD (pendapatan asli daerah), pengurangan jumlah pengurangan jumlah
penganguran dan kemiskinan pasti mengikuti.
Selain menghambat pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghamabt
pengembangan system pemerintahan demokratis. Korusi Memupuk tradisi perbuatan
yang menguntungkan diri sendiri atau Kelompok, yang mengesampingkan kepentingan
public. Dengan begitu korupsi menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah menikmati
pembangunan ekonomi dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling
ampuh dalam melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar
tata pemerintahan melalui konstruksi integritas nasional. Tata pemerintahan modern
mengedepankan system tanggung gugat dalam tatanan seperti ini harus muncul pers
yang bebas dengan batas-batas undang-undang, yang juga harus mendukung terciptanya
tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi.
Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan merupakan bagian dari tata
pemerintahan, yudikatip tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun memiliki ruang
kebebasan menegakan kedaulkatan hukum dan peraturan dengan Demikian akan
terbentuk lingkaran perbaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melalukan
pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini sangat mudah dituliskan atau
dikatakan dari pada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktui yang cukup lama
untuk membangun pilar-pilar. Bangunan integritas nasional yang melakukan tugas-
tugas yang efektif dan berhasil menjadikan tindakan korupsi sebagai prilaku beresiko
yang sangat tinggi dengan hati yang sedikit.
Kedua, hal yang paling sulit dan punda mental dari semua perlawanan terhadap
korupsi adalah bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan
politik yang dimaksud bukan sekedar kemauan para politis dan orang-orang yang
berkecimbung dalam ranah politik. Namun, ada yang lebih penting sekedar itu semua.
Yakni, kemauan politik yang termanisfestasikan dalam bentuk keberanian yang
didukung oleh kecerdasan sasial masyarakat sipil atau warga Negara dari berbagai
elemen atau sastra social. Sehingga jabatan politik tidak lagi digunakan secara mudah
untuk memperkaya diri, namun sebagai tanggung jawabuntuk mengelola dan
bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan mencapai kehidupan berbangsa dan
bernegara yang baik.
Dalam tatanan pemerintahan yang demokratis, para politis dan pejabat Negara
tergantung dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan social politik dari
masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk menahan diri
dari praktek korupsi. Masyarakat sipil yang cerdas secara social politik akan memilih
pimpinan (politis) dan pejabat Negara yang memiliki integritas diri yang mampu
menahan diri dari korupsi dan merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi
yang lebih baik. Melalui masyarakat sipil yang cerdas secara social politik pula pilar-
pilar peradilan dan media massa dapat di awasi sehingga membentuk integritas nasional
yang alergi korupsi. Ketika kontrusi integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung
kecerdasar social politik masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat
distimulus dengan efektif. Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk
menciptakan ruang pembangunan ekonomi yang potensial.

Anda mungkin juga menyukai