Anda di halaman 1dari 125

UNIVERSITAS DIPONEGORO

ANALISIS KESTABILAN LERENG PIT 7 WEST B


TAMBANG BATUBARA PT. BUMA SITE BINUNGAN,
BERAU, KALIMANTAN TIMUR

TUGAS AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

AGUS SABAR SABDONO


21100112130051

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG
JUNI 2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Akhir ini diajukan oleh


Nama : Agus Sabar Sabdono
NIM : 21100112130051
Jurusan/Departemen : Teknik Geologi
Judul Tugas Akhir : Analisis Kestabilan Lereng Pit 7 West B Tambang
Batubara PT. BUMA Site Binungan, Berau,
Kalimantan Timur

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 pada
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

TIM PENGUJI

Pembimbing I : Ir. Wahju Krisna Hidajat, M.T.

Pembimbing II : Devina Trisnawati, S.T., M. Eng.

Penguji : Ahmad Syauqi Hidayatillah, S.T., M.T.

Semarang, 8 Juni 2017


Mengetahui,
Ketua Departemen Teknik Geologi

Najib, S.T., M. Eng., Ph.D


NIP. 197710202005011001
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari suatu
Perguruan Tinggi. Berdasarkan pengetahuan saya, tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara
tertulis diakui dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.

Nama : Agus Sabar Sabdono


NIM : 21100112130051

Tanda Tangan :
Tanggal : 8 Juni 2017

iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Diponegoro, saya yang bertanda tangan di
bawah ini :
Nama : Agus Sabar Sabdono
NIM : 21100112130051
Departemen : Teknik Geologi
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Tugas Akhir
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Diponegoro Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

ANALISIS KESTABILAN LERENG PIT 7 WEST B TAMBANG


BATUBARA
PT. BUMA SITE BINUNGAN, BERAU, KALIMANTAN TIMUR

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas


Royalti/Noneksklusif ini Universitas Diponegoro berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Semarang
Pada Tanggal: 8 Juni 2017
Yang menyatakan

Agus Sabar Sabdono


KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah atas segala rahmat, berkat,
dan karunia Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kelancaran dan
kesabaran sehingga dapat terselesaikannya Tugas Akhir ini. Tugas Akhir ini
berjudul Analisis Kestabilan Lereng Pit 7 West B Tambang Batubara
PT. BUMA Site Binungan, Berau, Kalimantan Timur, diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen
Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang.
Dalam Laporan Tugas Akhir ini, penulis berusaha memberikan analisis
kestabilan lereng daerah penelitian studi Tugas Akhir pada Blok Penambangan
Batubara PT.BUMA Site Binungan yang masuk kedalam area Cekungan Tarakan
(Sub-Cekungan Berau). Pekerjaan yang dilakukan antara lain analisis geologi
regional daerah penelitian, pembuatan sayatan, pembuatan penampang, survey
lapangan, analisis kondisi geologi lokasi penelitian, pembuatan permodelan
lereng, dan melakukan analisis kestabilan lereng. Berdasarkan bab dan sub-bab
dalam laporan Tugas Akhir ini, penulis berharap informasi dapat diterima
pembaca dengan mudah sehingga pembaca dapat memperoleh informasi yang
dibutuhkan tentang daerah penelitian.
Laporan Tugas Akhir ini masih memiliki kekurangan, dan jauh dari kata
sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan laporan ini serta laporan yang akan datang. Penulis telah
memberikan yang terbaik dalam penelitian maupun penyusunannya dan semoga
laporan Tugas Akhir ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, terutama yang sedang
melakukan penelitian terkait denga tema yang sama. Amin.

Semarang, 8 Juni 2017

Penulis
HALAMAN PERSEMBAHAN

“Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Bapak Sapardi Joko Damono,
S.P.d.i,.M.Pd., Ibu Suji, Adik Muhammad Akbar Jamaludin dan keluarga
Trah Eyang Mijo Mangun Tinoyo, Trah Eyang Harto Suripto”

Dan Kami jadikan di bumi gunung-gunung yang kukuh supaya ia


meneguhkannya. Dan Kami jadikan padanya celah-celah sebagai jalan
supaya mereka mendapatkan petunjuk (Al Anbiyaa : 31)

Dan engkau lihat gunung-gunung itu, engkau kira ia tetap di tempatnya


padahal dia berjalan seperti awan berjalan. Perbuatan Allah yang
mengukuhkan segala sesuatu. Sesungguhnya Dia mengetahui apa-apa
yang kamu kerjakan (An Naml : 88)

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi
itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan
keduannya, dan dari air kami jadikan sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tiada juga beriman? (Al-Anbiya : 30)

Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami karena sesungguhnya


azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sungguh, jahannam itu seburuk-
buruk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS. Al-Furqon[25] : 65-66)
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat
bantuan dan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu
penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang besar kepada :
1. Najib, S.T., M. Eng., Ph.D sebagai ketua Departemen Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang.
2. Ir. Wahju Krisna Hidajat, M.T. dan Devina Trisnawati, S.T., M. Eng., sebagai
dosen pembimbing Tugas Akhir yang telah memberikan ilmu dan
bimbinganya sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Ibu dan Bapak yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian, semangat dan
dorongan doa serta bantuan moral, material sehingga Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan.
4. Kepada Departemen Engineering PT. BUMA Site Binungan, Berau,
Kalimantan Timur. I Gusti Ngurah Agung, Irfandi Oky P, Asto Budoyo K,
Dian Oktavianto, Jheny Eka Wijaya, Petsi Chandra, Izaku Mike A, Ibnu
Widigdo, Ayu, Sarjono, Agung Kurniawan, Ridwansyah Sitepu, Ardian
Adkhan, Syamsuar, Doni Setiawan, Anang, Muhammad Ulya, Yunita Sari.
5. Kakak Agung Iswanto yang juga sedang melaksanakan skripsi, yang
memberikan semangat, ide dan motivasi.
6. Sahabat KKN UNDIP Tim I tahun 2016 Desa Giyono, Kecamatan Jumo,
Kab.Temanggung. Latifah Chikmawati, Kurnia Rizqia Rahmawati, Alifa
Rizqia Rahmawati, Dahona Lenthe Lavinia, Theresia Evelyn, Mona Pradipta
H, M. Khoirur Rijal, Imam Oktariadi, Gilang Mustika Aji.
7. Andi, Sukri dan rekan-rekan MT PT. BUMA Site Binungan sebagai teman
ngobrol dan sharing-sharing pengalaman selama berada di Mess Binungan
yang ikut memberikan supportnya.
8. Kepada seluruh teman-teman Geologi UNDIP khususnya angkatan 2012 yang
selalu memberi motivasi dan dukungannya, dan pihak-pihak lain yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semarang, 8 Juni 2017

Penulis
ABSTRAK

Batubara memiliki peranan penting dalam sektor energi sebagai energi alternatif
pembangkit listrik atau penggerak sektor industri. Proses penambangan batubara
khususnya pada tahap eksploitasi harus memperhatikan tingkat kestabilan lereng agar
proses penambangan dapat berjalan dengan baik, aman dan kondusif. Keamanan
lokasi penambangan menjadi prioritas utama demi tercapainya Zero Harm (kondisi
tidak terjadi atau meminimalkan kecelakaan yang bisa merugikan perusahaan). Kerja
praktik ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng
tambang pada Pit Eagle 3 PT Madhani Talatah Nusantara site IPC, Desa Bantuas, Kota
Madya Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Metode yang digunakan meliputi studi
pustaka, observasi lapangan serta analisis data primer maupun sekunder, sedangkan
software yang digunakan dalam pengolahan data adalah minescape, rocscience slide 6,
dan Microsoft office word. Hasil penelitian menunjukkan pada Pit Eagle 3 masuk ke
dalam Formasi Latih (Tml) dengan litologi penyusun berupa batupasir kuarsa,
batulempung dan batubara. Analisis kestabilan lereng dilakukan terhadap lereng
lowwall dan highwall pada kondisi aktual maupun desain tahun 2019 dan didapatkan
hasil untuk kondisi aktual lereng lowwall memiliki nilai FK rata-rata 1,944dan lereng
highwall memiliki FK rata-rata 2,893 sedangkan untuk desain penambangan tahun
2017 didapatkan nilai FK rata-rata lereng lowwall sebesar 1.07 dan nilai FK untuk
lereng highwall sebesar 1,271 sehingga keduanya dinyatakan aman/stabil.

Kata Kunci : Batubara, Pit Eagle 3, Kestabilan Lereng


ABSTRACT

Indonesia has large potential resource, one of them is coal. Coal has significant
contribution in part of energy as alternative energy as electrical generator or
power in industrial sector. Coal is mined openly or open pit mining. Coal mining
process, especially in exploitation stage, must pay attention to slope stability
grade so that the mining process can be done well, safely and conducively. A safe
mining location becomes main priority to achieve Zero Harm (zero accident
condition or minimalize accident that can cause disadvantage for the company).
This research aims to know the geology condition and slope stability mining level
in Pit 7 West B PT.BUMA Site Binungan that located in Sambaliung Village,
Tanjung Redeb District, Berau Regency, East Borneo Province. Method that used
in this research are literature study, in site observation, primary and secondary
data analysis, while the software used in data processing is minescape, roclab,
rocscience slide 6, autocad and arc gis. Result shows that Pit 7 West B included
in Latih Formation (Tml) which consists of quartz sandstone, mudstone, and coal
lithology. Primary geology structure are bedding, parallel lamination, wavy
ripple, normal graded bedding and nodul, while secondary geology structure are
mudcrack, convolute, shear joint and tension joint. Based on stratigraphy
measurement report, it is known that depositional environment is located in
swamp area or lacustrine, with lithology order from older to young: sandstone,
mudstone, coal. Bedding side between coal, mudstone, and sandstone have
strike/dip N 2280E/510 and N 2200 E/480. Slope stability analysis done to lowwall
and highwall slopes,both in actual condition and 2017 design. Result shows that
actual contour lowwall slope has FK mean value 4,1 and highwall slope has FK
mean value 3,5, while for 2017 mining design shows FK mean value 2,6 for the
lowwall slope and 1,8 for highwall slope,so both are declared safe.

Keyword : Pit 7 West B, Geological Condition, Slope Stability Analysis

ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.........................iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................v
HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................vi
UCAPAN TERIMA KASIH..................................................................................vii
ABSTRAK............................................................................................................viii
ABSTRACT............................................................................................................ix
DAFTAR ISI............................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xii
DAFTAR TABEL..................................................................................................xv
DAFTAR ISTILAH..............................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Tujuan Penelitian..................................................................................2
1.3 Manfaat Penelitian................................................................................3
1.4 Perumusan Masalah..............................................................................3
1.5 Ruang Lingkup Penelitian....................................................................4
1.6 Penelitian Terdahulu.............................................................................6
1.7 Kerangka Pikir Penelitian.....................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian....................................................8
2.2 Rock Quality Designation...................................................................17
2.3 Massa Batuan......................................................................................19
2.4 Bidang Diskontinuitas........................................................................20
2.5 Geological Strength Index..................................................................22
2.6 Faktor Kerusakan................................................................................24
2.7 Window Mapping...............................................................................26
2.8 Mekanisme Keruntuhan......................................................................30
2.9 Jenis Longsoran..................................................................................33
2.10 Kestabilan Lereng.............................................................................36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian........................................................................49
3.2 Tahapan Penelitian.............................................................................49
3.3 Alat dan Bahan...................................................................................51
3.4 Sumber Data.......................................................................................52
3.5 Hipotesis.............................................................................................53
3.6 Diagram Alir Penelitian......................................................................53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Geologi Pit 7 West B............................................................55
4.2 Data Pemboran Geologi.....................................................................72
4.3 Pemetaan Geoteknik...........................................................................75
4.4 Penampang Lereng Pit 7 West B........................................................78
4.5 Analisis Kestabilan Lereng................................................................82
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan.......................................................................................104
5.2 Saran.................................................................................................105
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta Administrasi Lokasi Penelitian............................................5
Gambar 1.2 Sayatan Lereng Pit 7 West Section 1-1‟.......................................6
Gambar 1.3 Penampang Lereng Pit 7 West Section 1-1‟.................................6
Gambar 1.4 Analisis Desain Awal Lereng Pit 7 West Section 1-1‟.................6
Gambar 1.5 Kondisi Lereng Pit 7 West Section 1-1‟ Counter Weight............7
Gambar 1.6 Analisis Desain Awal Pit 7 West Section 1-1‟ FK 1.35...............7
Gambar 1.7 Analisis Desain Awal Pit 7 West Section 1-1‟ Sidecase..............8
Gambar 1.8 Kerangka Pikir Penelitian.............................................................9
Gambar 2.1 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur........................................11
Gambar 2.2 Peta Geologi Daerah sekitar Berau, Kalimantan Timur..............13
Gambar 2.3 Stratigrafi Daerah Berau, Kalimantan Timur..............................16
Gambar 2.4 Perhitungan Rock Quality Designation (Deere, 1963).................20
Gambar 2.5 Konsep dasar massa batuan (Wylie dan Mah, 2004)...................21
Gambar 2.6 Diagram GSI berdasarkan Hoek dan Marinos (2000).................25
Gambar 2.7 Representasi antara Undisturbed Rockmass dan Blasted Rock
(Hoek dan Karzulovic, 2000).......................................................28
Gambar 2.8 Bentuk longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981).........................35
Gambar 2.9 Longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981)..................................36
Gambar 2.10 Bentuk longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981).........................36
Gambar 2.11 Bentuk longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981)....................37
Gambar 2.12 Sketsa lereng dan gaya yang bekerja.........................................45
Gambar 2.13 Gaya yang bekerja pada dinding lereng (A.W.Bishop,1955)… 46
Gambar 2.14 Sketsa gaya yang bekerja pada satu sayatan..............................46
Gambar 2.15 Upaya peningkatan kestabilan lereng........................................49
Gambar 2.16 Tahapan Penurunan MAT..........................................................50
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian................................................................56
Gambar 4.1 Sisi selatan Pit 7 West B..............................................................58
Gambar 4.2 Sisi utara Pit 7 West B.................................................................58
Gambar 4.3 Kenampakan Pit 7 West B dari puncak sidewall.........................59
Gambar 4.4 Peta Lokasi Pit 7 West B..............................................................59
Gambar 4.5 Peta geologi Pit 7 West B............................................................60
Gambar 4.6 Kontak lapisan batubara dan batulempung..................................60
Gambar 4.7 Batubara seam X dengan sisipan amber......................................61
Gambar 4.8 Batulempung di sebelah tenggara seam X...................................62
Gambar 4.9 Batupasir diantara seam X1 dan X5............................................62
Gambar 4.10 Kondisi lereng extremely weathered sisi timur Pit 7 West B.....63
Gambar 4.11 Kenampakan lereng distinctly weathered sisi barat Pit West B.64
Gambar 4.12 Struktur perlapisan batubara, batulempung dan batupasir.........65
Gambar 4.13 Struktur wavy ripple..................................................................65
Gambar 4.14 Struktur paralel laminasi............................................................66
Gambar 4.15 Struktur nodul pada batulempung..............................................66
Gambar 4.16 Struktur normal graded bedding................................................66
Gambar 4.17 Struktur kekar tarik dan kekar gerus..........................................67
Gambar 4.18 Struktur convolute antara seam X dan X1.................................68
Gambar 4.19 Struktur mudcrack pada bench..................................................69
Gambar 4.20 Rekahan 1-4 cm pada batulempung extremely weathered........69
Gambar 4.21 Bidang erosional pada tebing batupasir sisipan batubara.........70
Gambar 4.22 Kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B.............................71
Gambar 4.23 Lanjutan 1 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B...........72
Gambar 4.24 Lanjutan 2 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B...........73
Gambar 4.25 Sekuen stratigrafi sedimen klastik endapan danau air tawar dan
lakustrin (Nichols, 2009)...........................................................74
Gambar 4.26 Peta geologi teknik Pit 7 West B...............................................80
Gambar 4.27 Penampang aktual sayatan A-A‟ dan B-B‟...............................81
Gambar 4.28 Penampang desain tahun 2017 sayatan A-A‟ dan B-B‟...........82
Gambar 4.29 Penampang aktual sayatan C-C‟ dan D-D‟ ................................82
Gambar 4.30 Penampang desain tahun 2017 sayatan C-C‟ dan D-D‟ .............83
Gambar 4.31 Penampang aktual sayatan E-E‟ dan F-F‟................................83
Gambar 4.32 Penampang desain tahun 2017 sayatan E-E‟ dan F-F‟.............84
Gambar 4.33 Analisis kestabilan lereng sayatan A-A‟ sisi highwall..............84
Gambar 4.34 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan A-A‟.........86
Gambar 4.35 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan A-A‟ sisi lowwall ....86
Gambar 4.36 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan A-A‟..........87
Gambar 4.37 Grafik FK kondisi aktual sayatan A-A‟....................................88
Gambar 4.38 Analisis kestabilan lereng sayatan B-B‟ sisi highwall ..............88
Gambar 4.39 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan B-B‟.........89
Gambar 4.40 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan B-B‟ sisi lowwall .....89
Gambar 4.41 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan B-B‟...........90
Gambar 4.42 Grafik FK kondisi aktual sayatan B-B‟.....................................90
Gambar 4.43 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan C-C‟ sisi highwall . . .91
Gambar 4.44 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan C-C‟.........91
Gambar 4.45 Analisis kestabilan lereng sayatan C-C‟ sisi lowwall ...............92
Gambar 4.46 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan C-C‟...........92
Gambar 4.47 Grafik FK aktual terhadap jarak horizontal sayatan C-C‟.........94
Gambar 4.48 Analisis kestabilan lereng sayatan D-D‟ sisi highwall..............94
Gambar 4.49 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan D-D‟.........95
Gambar 4.50 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan D-D‟ sisi lowwall ....96
Gambar 4.51 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan D-D‟..........96
Gambar 4.52 Grafik FK kondisi aktual sayatan D-D‟....................................96
Gambar 4.53 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi highwall....97
Gambar 4.54 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan E-E‟..........97
Gambar 4.55 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi lowwall.....98
Gambar 4.56 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan E-E‟...........99
Gambar 4.57 Grafik FK kondisi aktual sayatan E-E‟......................................99
Gambar 4.58 Analisis kestabilan lereng sayatan F-F‟ sisi highwall ...............100
Gambar 4.59 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan F-F‟.........101
Gambar 4.60 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan F-F‟ sisi lowwall .....102
Gambar 4.61 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan F-F‟..........102
Gambar 4.62 Grafik nilai FK aktual sayatan F-F‟..........................................102
Gambar 4.63 Lereng highwall sayatan B-B‟ desain 2017 ..............................104
Gambar 4.64 Lereng highwall sayatan C-C‟ desain 2017 ..............................104
Gambar 4.65 Lereng highwall sayatan E-E‟ desain 2017 ..............................105
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Jadwal kegiatan penelitian.................................................................5
Tabel 2.1 Kualitas batuan berdasarkan nilai RQD (Deere, 1963)....................20
Tabel 2.2 Pedoman memperkirakan faktor kerusakan (Hoek,2002)................26
Tabel 2.3 Tingkat pelapukan batuan................................................................29
Tabel 2.4 Tingkat kekuatan batuan..................................................................29
Tabel 2.5 Bentuk blok batuan...........................................................................30
Tabel 2.6 Jenis-jenis ketidakselarasan..............................................................31
Tabel 2.7 Bentuk ketidakselarasan...................................................................31
Tabel 2.8 Tingkat kekasaran.............................................................................31
Tabel 2.9 Jenis material pengisi.......................................................................32
Tabel 2.10 Nilai parameter mi (Hoek,2001)....................................................33
Tabel 2.11 Penyebab longsor di beberapa tempat............................................41
Tabel 2.12 Hubungan nilai FK dengan intensitas longsor (Bowles, 1989)......47
Tabel 3.1 Alat dan bahan..................................................................................53
Tabel 3.2 Sumber data......................................................................................54
Tabel 4.1 Tingkat pelapukan terhadap kedalaman...........................................77
Tabel 4.2 Geometri lereng Pit 7 West B...........................................................81
Tabel 4.3 Nilai FK aktual dan desain..............................................................103
DAFTAR ISTILAH
Bench : jalan datar diantara 2 buah lereng.
Blasting : peledakan batuan pada lokasi tambang, untuk
menghilangkan lapisan overburden.
Disposal : tempat penimbunan lapisan overburden hasil dari
proses blasting.
Hauling Road : jalan utama yang digunakan sebagai jalur transportasi
pengangkutan batubara, overburden, dan mobilitas LV
tambang.
HD : High Dump (Truk pengangkut batubara atau material
OB).
Highwall : lereng dengan kemiringan memotong perlapisan batuan.
Load : beban muatan HD yang melintasi hauling road.
Lowwall : lereng dengan kemiringan searah perlapisan batuan.
MA : million years ago (juta tahun yang lalu), kurun waktu
kejadian dalam skala waktu geologi.
Overburden : lapisan batuan selain batubara di lokasi penambangan,
seperti batupasir, batulempung, serpih lempungan dan
sebagainya.
Pit : lokasi penambangan batubara.
Seam : perlapisan batubara.
Seismic load : gelombang yang dihasilkan dari proses blasting.
Sidewall : dinding lereng tambang yang di desain tegak lurus yang
merupakan bagian sisi dari pit.
Sump : cekungan yang di desain untuk menampung air pada
lokasi tambang dan berada di elevasi terendah.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan penduduk Indonesia yang setiap tahunnya meningkat secara
signifikan, menyebabkan peningkatan kebutuhan hidup. Upaya pemerintah
untuk menyediakan kebutuhan terutama di sektor energi, yang memberikan
sumbangan besar terhadap keberlangsungan pemenuhan kebutuhan berupa
pasokan energi listrik dan bahan bakar fosil. Indonesia merupakan negara
yang kaya akan sumber daya alam berupa hutan, batubara, gas bumi, panas
bumi, flora dan fauna. Kekayaan alam yang dimiliki, seyogyanya bisa
dimanfaatkan se-optimal mungkin agar tercapainya stabilitas energi nasional.
Sektor batubara merupakan penyumbang energi terbesar setelah migas,
dengan menurunya harga jual migas dunia, yang mempengaruhi harga jual
migas nasional menjadikan batubara sebagai energi alternatif pengganti bahan
bakar minyak. Batubara dapat digunakan sebagai bahan bakar pembangkit
generator listrik, bahan bakar kereta api dan industri lain yang membutuhkan
pasokan batubara. Melimpahnya batubara di Indonesia, sehingga menjadikan
Indonesia sebagai negara pengekspor batubara terbesar ke-3 di dunia dengan
total cadangan 237.295 juta ton, setelah Cina dan Amerika Serikat (BP
Statistical Review of World Energy, 2015)
PT. BUMA (Bukit Makmur Mandiri Utama) adalah perusahaan
penambangan batubara yang berlokasi di Kalimantan Timur dan berdiri sejak
1998. Perusahaan ini menyediakan jasa kepada pemilik hak eksploitasi
(owner) batubara di Indonesia meliputi semua proses, termasuk survey geologi
dan perencanaan, pengangkatan lapisan, penambangan batubara, produksi,
reklamasi serta rehabilitasi.
Proses penambangan batubara diawali dengan tahapan eksplorasi,
eksploitasi dan rehabilitasi. Proses eksplorasi merupakan tahapan pencarian
lokasi yang memiliki potensi sumber daya yang potensial untuk dilakukan
penambangan, sedangkan proses eksploitasi adalah pengambilan sumber daya
dari lokasi sumber ditemukanya menuju ke lokasi pengolahan yang kemudian

1
akan di distribusikan ke pasar atau industri yang membutuhkanya. Rehabilitasi
memiliki peranan yang penting agar lahan bekas penambangan menjadi lahan
yang tetap dapat ditumbuhi oleh vegetasi seperti sebelum dilakukan
penambangan.
Penambangan batubara khususnya pada tahap eksploitasi, harus
memperhatikan tingkat kestabilan lereng tambang demi terciptanya
lingkungan penambangan yang aman dan kondusif. Tingkat kestabilan lereng
tambang sendiri dapat diketahui setelah dilakukan penyelidikan geoteknik
yang meliputi pengeboran geoteknik, pengujian sifat fisik dan sifat mekanik
batuan. Lereng dinyatakan stabil apabila memenuhi kriteria Bowles (1989)
yang menyatakan bahwa lereng dengan nilai FK>1,25 berada pada kondisi
stabil/aman. Kestabilan lereng tambang dipengaruhi oleh faktor internal
maupun eksternal. Faktor internal meliputi kondisi massa batuan, desain
tambang yang digunakan dan kondisi geologi lokasi penambangan, sedangkan
faktor eksternal meliputi intensitas curah hujan dan tingkat pelapukan.
Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kondisi geologi di lokasi
penambangan, dengan menekankan pada aspek kestabilan lereng dinding
lowwall dan highwall pada kondisi aktual dan rencana desain tambang pada
tahun 2017. Analisis kestabilan lereng ini diharapkan dapat memberikan
masukan terhadap desain penambangan yang paling optimal untuk digunakan
serta memberikan gambaran mengenai kondisi dari masing-masing lereng,
sehingga dapat dilakukan tindakan lebih lanjut untuk meminimalkan resiko
terjadinya kecelakaan operasional yang dapat merugikan perusahaan.

1.2 Tujuan Penelitian


Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan :
1. Mengetahui kondisi geologi lokasi penambangan.
2. Mengetahui tingkat kestabilan lereng tambang.
3. Mengetahui desain lereng tambang yang paling optimal untuk
dikembangkan.
4. Mengetahui langkah-langkah untuk meningkatkan kestabilan lereng
tambang.

1.3 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada :
1. Mahasiswa yang sedang belajar atau melakukan penelitian tentang
kestabilan lereng dinding tambang sehingga dapat digunakan sebagai
referensi atau literatur yang dapat menambah wawasan dan daftar pustaka.
2. Masyarakat ataupun pihak yang sedang membaca penelitian ini, sehingga
dapat mengetahui potensi sumber daya yang berada di wilayah Tanjung
Redeb, Berau, Kalimantan Timur
3. Instansi tempat dilakukanya penelitian yaitu PT. BUMA khususnya
departemen engineering dengan mempertimbangkan hasil analisis faktor
keamanan, sehingga dapat dilakukan penyesuaian desain tambang yang
paling optimal untuk digunakan.

1.4 Perumusan Masalah


1.4.1 Rumusan Masalah
1. Terjadinya kasus longsoran di lereng pertambangan mengakibatkan
terhentinya aktivitas penambangan.
2. Segi keamanan lokasi penambangan menjadi prioritas utama demi
tercapainya Zero Harm (kondisi tidak terjadi/meminimalkan
kecelakaan yang bisa merugikan perusahaan).
3. Desain tambang yang optimal dapat memberikan hasil produksi
maksimal tanpa mengesampingkan segi keamanan pada lingkungan
penambangan.
1.4.2 Batasan Masalah
Batasan permasalahan dalam penelitian tugas akhir ini adalah :
1. Lokasi penelitian dilakukan pada Pit 7 West B tambang batubara
PT.BUMA site Binungan, Kalimantan Timur.
2. Window mapping dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
gambaran kondisi di lapangan secara cepat dan efektif.
3. Analisis kestabilan lereng dilakukan dengan parameter dari data
hasil pengeboran yang merupakan data sekunder, sedangkan untuk
data primer berupa kondisi batuan di lapangan meliputi:
jenis litologi, stratigrafi lapisan, arah strike/dip, struktur geologi dan
persebaran batuan.
4. Kriteria keruntuhan yang digunakan dalam analisis kestabilan lereng
adalah Hoek dan Brown (1989).
5. Analisis kestabilan lereng menggunakan permodelan dengan
software Rockscience Slide 6.
6. Nilai faktor keamanan yang dianggap aman adalah FK>1,25
(Bowles, 1989).

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


1.5.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada Pit 7 West B tambang batubara PT. BUMA
site Binungan, Berau, Kalimantan Timur (Gambar 1.1, halaman 5) pada
lereng lowwall dan highwall, untuk menuju ke lokasi dapat
menggunakan transportasi udara dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta
menuju Bandara Sepinggan, Balikpapan dengan waktu tempuh selama
3 jam, kemudian dilanjutkan kembali dengan transportasi udara menuju
ke Bandara Kalimarau, Berau dengan waktu tempuh selama 1,5 jam,
selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan transportasi darat menuju ke
site penambangan dengan waktu selama 30 menit.
1.5.2 Waktu Penelitian
Rentang waktu penelitian dilakukan selama 2 bulan dimulai pada bulan
Desember 2016 dan berakhir pada akhir bulan Februari 2017, untuk
rincian waktu penelitian beserta jadwal kegiatan dapat dilihat pada
Tabel 1.1 halaman 5.
Tabel 1.1 Jadwal kegiatan penelitian
Bulan
Kegiatan
Desember 2016 Januari 2017 Februari 2017
Minggu ke- III IV I II III IV I II

Tahap Pendahuluan
(Studi literatur)
Tahap Pengambilan
Data Lapangan
Tahap Pengolahan
Data
Pembuatan Laporan
dan Presentasi

PETA ADMINISTRASI LOKASI PENELITIAN

Gambar 1.1 Peta administrasi lokasi penelitian

1.6 Penelitian Terdahulu


Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada daerah sekitar lokasi
penelitian, seperti pada Tabel 1.2 halaman 6.
Tabel 1.2 Penelitian terdahulu
No Judul Peneliti Tujuan Metode Hasil
1 Peta Geologi Berau, Situmorang Mengetahui Pemetaan Peta
Kalimantan Timur dan Burhan kondisi Geologi Geologi
(1995) geologi daerah
daerah sekitar
penelitian Berau,
Kalimantan
Timur
2 Analisis struktur PT. Indra Mengetahui Interpretasi Struktur
geologi Suaran, Berau, Geodia struktur liniasi dari geologi
Kalimantan Timur (1996) geologi SAR dan berupa
daerah posisi lipatan,
penelitian perlapisan, formasi
pengamatan pembawa
pola struktur batubara,
struktur
breksiasi
pada jalur
sesar
3 Analisis kestabilan PT.Berau Mengetahui Bishop, Nilai FK
lereng Pit 7 West Coal tingkat Circular lereng
kestabilan Failure,
lereng Pit 7 Counter
West Weight,
Rocscience
Slide 6
4 Analisis kestabilan PT. BUMA Mengetahui Bishop, Nilai FK
lereng Pit 7 West tingkat Circular lereng
kestabilan Failure,
lereng Pit 7 Sidecase,
West Rocscience
Slide 6
1.7 Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir dalam penelitian yang dilakukan, seperti pada Gambar 1.2 di
bawah ini.

Kawasan Berau merupakan


Penambangan batubara di
bagian dari Cekungan Tarakan
kabupaten Berau dikerjakan oleh
yang masuk kedalam Sub-
beberapa kontraktor tambang,
Cekungan Berau dengan Formasi
salah satunya PT.BUMA BINSUA
Latih yang terdapat sumberdaya
batubara

Longsor yang terjadi pada lokasi penambangan dapat


menghambat operasional penambangan dan kecelakaan yang
merugikan pihak perusahaan

Diperlukan adanya analisis untuk mengetahui tingkat


kestabilan lereng dinding tambang, untuk meminimalkan
terjadinya resiko kecelakaan akibat longsornya dinding
tambang

Pemetaan geologi Pemetaan geologi teknik

Peta geologi, permodelan lereng Peta geoteknik, massa batuan, GSI,


tambang density, sudut geser dalam, dan

Analisis Kestabilan Lereng menggunakan


Software Rocscience Slide 6

- Mengetahui tingkat kestabilan lereng dinding


tambang
- Merekomendasika langkah untuk meningkatkan
n
kestabilan lereng dinding
tambang
Gambar 1.2 Kerangka pikir penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian


2.1.1 Fisiografi Cekungan Tarakan
Cekungan Tarakan merupakan salah satu dari 3 (tiga) Cekungan
Tersier utama yang terdapat di bagian timur continental margin Kalimantan
dari utara ke selatan: Cekungan Tarakan, Cekungan Kutai dan Cekungan
Barito, yang dicirikan oleh hadirnya batuan sedimen klastik sebagai
penyusunnya yang dominan, berukuran halus sampai kasar dengan beberapa
endapan karbonat. Fisiografi, Cekungan Tarakan meliputi kawasan daratan
dan sebagianya lagi kawasan lepas pantai, di bagian utara dibatasi oleh
tinggian Semporna yang terletak sedikit ke utara antara perbatasan
Indonesia-Malaysia, di sebelah selatan oleh Punggungan Mangkalihat yang
memisahkan Cekungan Tarakan dengan Cekungan Kutai, kearah barat dari
cekungan meliputi kawasan daratan sejauh 60 sampai 100 km dari tepi
pantai hingga Tinggian Kuching, ke arah timur batas cekunganya melewati
kawasan paparan benua dari Laut Sulawesi.
Cekungan Tarakan adalah daerah rendahan di sebelah utara Cekungan
Kutai di bagian timur Pulau Kalimantan yang bersama dengan berbagai
cekungan lainnya menjadi pusat pengendapan sedimen
dari bagian timur laut Sundaland selama zaman Kenozoikum (65,5-0,01
MA) . Batas Cekungan Tarakan di bagian barat dibatasi oleh lapisan Pra-
Tersier Tinggian Kuching dan dipisahkan dari Cekungan Kutai oleh
kelurusan timur-barat Tinggian Mangkalihat seperti yang terlihat pada
Gambar 2.1 halaman 9.
Proses pengendapan Cekungan Tarakan di mulai dari proses
pengangkatan. Transgresi yang diperkirakan terjadi pada Kala Eosen sampai
Miosen Awal (23-16 MA) bersamaan dengan terjadinya proses
pengangkatan gradual pada Tinggian Kuching dari barat ke timur. Pada
Kala Miosen Tengah (16-11,6 MA) terjadi penurunan (regresi) pada
Cekungan Tarakan, yang dilanjutkan dengan terjadinya pengendapan
progradasi ke arah timur dan membentuk endapan delta, yang menutupi
endapan prodelta dan batial. Cekungan Tarakan mengalami proses
penurunan secara lebih aktif lagi pada Kala Miosen sampai Pliosen (23-
2,6 MA). Proses sedimentasi delta yang tebal relatif bergerak ke arah timur
terus berlanjut selaras dengan waktu.

Gambar 2.1 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur


(Sumber: Core-Lab G&G Evaluation Simenggaris Block dengan modifikasi, 2009).

Cekungan Tarakan berupa depresi berbentuk busur yang terbuka


ke timur ke arah Selat Makasar atau Laut Sulawesi yang meluas
ke utara Sabah dan berhenti pada zona subduksi di Tinggian Semporna
dan merupakan cekungan paling utara di Kalimantan. Tinggian
Kuching dengan inti lapisan Pra-Tersier (145-65,5 MA) terletak di
sebelah baratnya, sedangkan batas selatannya adalah Ridge Suikersbood
dan Tinggian Mangkalihat.
Ditinjau dari fasies dan lingkungan pengendapannya, Cekungan
Tarakan terbagi menjadi empat sub cekungan, yaitu Tidung Sub-basin,
Tarakan Sub-basin, Muara Sub-basin dan Berau Sub-basin.
1. Tidung Sub-basin: Terletak paling utara dan untuk sebagian besar
berkembang di daratan, terisi sedimen berumur Oligosen sampai
Miosen Akhir (33,9-5,3 MA). Dipisahkan dengan Berau sub-
basin di bagian selatan oleh Sekatak Ridge.
2. Berau Sub-basin: Terletak pada bagian selatan dan sebagian besar
berkembang di daratan. Terisi oleh sedimen berumur Eosen Akhir
sampai Miosen Akhir (55,8-5,3 MA).
3. Tarakan Sub-basin: Terletak pada bagian tengah dan merupakan
sub cekungan paling muda. Perkembangan paling utara ke arah
lepas pantai dan terisi dengan Formasi Tarakan-Bunyu yang
berumur Miosen Akhir (11,6-5,3 MA).
4. Muara Sub-basin merupakan deposenter paling selatan dan
perkembangan sedimennya ke arah lepas pantai di utara Tinggian
Mangkalihat. Muara Sub-basin dipisahkan dengan Berau sub-
basin, di utaranya oleh Suikerbrood Ridge, yaitu suatu Tinggian
yang berarah Barat-Timur.

2.1.2 Kondisi Geologi Sub Cekungan Berau


Daerah Binungan terletak pada Cekungan Tarakan, salah satu
dari 3 cekungan utama di mandala Kalimantan Timur yang terbentuk
pada kurun Tersier. Cekungan Tarakan terdiri dari empat anak
cekungan (sub-basin) yaitu : Tidung, Tarakan, Muras dan Berau.
Daerah Binungan termasuk dari Cekungan Berau yang
merupakan anak cekungan (sub basin) dari Cekungan Tarakan, yang
terletak pada pantai Timurlaut Kalimantan Timur dan sebagian kecil
berada di bagian Tenggara Sabah. Luas cekungan seluas 300 km2
arah Utara-Selatan dan 150 km2 arah Timur-Barat. Bagian Selatan
dibatasi oleh Tinggian Mangkalihat yang merupakan pemisah antara
Cekungan Tarakan dan Cekungan Kutai, di bagian Utara oleh
Tinggian Kalimantan Utara (Malaysia), di sebelah Barat oleh
Tinggian Sekatak dan dibagian Selatan dan Anak Cekungan
Tidung di bagian Utara seperti Gambar 2.2 halaman 11.
Gambar 2.2 Peta Geologi Daerah sekitar Berau, Kalimantan Timur (Situmorang dan
Burhan, 1995 dengan modifikasi).

Secara umum, geologi daerah Binungan terbentuk dari batuan


Formasi Latih atau dikenal juga sebagai Formasi Lati. Batuannya
berupa sedimen deltaik yang terdiri dari fraksi klastik halus serta
lapisan batubara, dengan ketebalan bervariasi mulai dari <1 meter
sampai dengan 8 meter. Data hasil pemboran eksplorasi
menunjukkan dominasi batuan sedimen secara berurutan adalah
batulanau, batulempung, batupasir, dan batubara. Pada beberapa
lokasi yang relatif sempit, kadang terbentuk ”channel system”,
yakni hilangnya lapisan fraksi halus atau batubara digantikan oleh
lapisan batupasir.
a) Struktur Geologi
Analisis struktur yang diperoleh dari rangkuman hasil penelitian PT.
Indera Geodia tahun 1996 (interpretasi liniasi dari SAR dan posisi
perlapisan) dan hasil pengamatan pola struktur terhadap daerah
yang baru dibuka, khususnya di daerah kupasan rencana jalan ke
Suaran.
Struktur Lipatan
Struktur lipatan yang terbentuk di daerah Binungan terdiri dari:
1. Sinklin Binungan
Dengan arah Utara yang membentuk sayap (Timur dan Barat)
relatif simetris dengan kemiringan 100-120, mendekati Sungai
Binungan, sinklin ini menunjam secara landai.
2. Antiklin Rantau
Arah Utara-Barat Laut, dimulai dari sebelah Utara Sungai Berau
sampai Binungan Selatan. Sayap Barat Daya dengan
kemiringan 500-700 sedangkan sayap Timur Laut dengan memiliki
kemiringan 100-120.
3. Sinklin Suaran
Sinklin Suaran membentuk lipatan terbuka dengan bentuk sayap
relatif simetris dan menunjam ke arah Barat Laut dengan
kemiringan 100-300. Terdapat dua struktur sesar yang terjadi di
daerah Binungan ini, yaitu Sesar Binungan dan Sesar Kelay
yang merupakan sesar ikutan (secondary fault). Sesar Binungan
merupakan sesar utama memanjang 5 km dengan arah
Barat Laut-Tenggara, sesar ini merupakan tipe sesar gunting
(scissors-type fault). Daerah Barat diinterpretasi sebagai sesar
naik relatif terhadap bagian Timur, hal ini didasarkan data
sebagai berikut :
Pengulangan berupa lapisan datar dari formasi pembawa batubara
(coal measures) dengan penampakan kedua kemiringan lapisan
kearah Barat dengan batas bagian Selatan dari sesar.
1. Adanya kenampakan pelurusan (lineament)
2. Ditemukan material terbreksikan (breciated) dengan
komponen batugamping dan batupasir pada jalur sesar
3. Terdapat kemiringan relatif besar dekat zona sesar
Sesar Kelai berarah Timur-Barat dengan pergeseran (throw) sekitar
30 m. Sesar ini diintepretasikan sebagai sesar naik dimana daerah
Utara sesar bergerak naik relatif terhadap daerah Selatan.
b) Stratigrafi
Secara regional, daerah Sub-Cekungan Berau merupakan bagian
dari Cekungan Tarakan dan tersusun oleh batuan sedimen,
batuan vulkanik dan batuan beku dengan kisaran umur dari
Tersier sampai Kwarter (65,5-0,01 MA). Formasi yang menyusun
stratigrafi Anak Cekungan Berau terdiri dari 4 (empat) formasi
utama. Urutan dari yang tertua yaitu Formasi Birang (Formasi
Globigerina Marl), Formasi Latih (Formasi Batubara Berau),
Formasi Labanan (Formasi Domaring) dan Formasi Sinjin seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3 halaman 14.
1. Formasi Birang
Tersusun dari perselingan antara napal, batu gamping,
tufa hablur di bagian atas, serta perselingan antara napal,
rijang, konglomerat, batupasir kwarsa, dan batugamping
di bagian bawah. Napal kelabu, kompak, mengandung
foraminifera besar terutama orbituid. Konglomerat kompak,
tersusun dari batuan beku, kwarsa dan kwarsit berukuran
kerikil, membulat tanggung sampai menyudut tanggung
dengan matriks berupa pasir berbutir halus sampai kasar.
Batupasir kwarsa, kelabu-coklat kekuningan, berbutir halus-
sedang, membundar tanggung, kompak, berlapis baik sampai
dua meter, mengandung mineral kwarsa, mineral bijih,
fragmen batuan dan mineral hitam. Batugamping, berwarna
putih, sangat kompak, berlapis baik dan berselang-seling
dengan batupasir kwarsa yang mengandung foraminifera
besar dan kecil yang sangat berlimpah.
Formasi ini disebut juga Formasi Globigerina Marl yang
berumur Oligo-Miosen (33,9-5,3 MA) dan diendapkan di
lingkungan laut dangkal. Ketebalan formasi ini lebih dari 110
meter.

Gambar 2.3 Stratigrafi daerah Berau Kalimantan Timur (Situmorang dan Burhan, 1995 dengan
modifikasi).

2. Formasi Latih ( disebut juga Formasi Lati)


Formasi Latih tersusun dari perselingan antara batupasir
kwarsa, batulempung, batulanau dan batubara di bagian atas,
dan bersisipan dengan serpih pasiran dan batugamping di
bagian bawah. Batupasir kwarsa, berwarna kelabu muda,
coklat kekuningan, hingga ungu, berbutir halus hingga
kasar, membulat tanggung hingga menyudut, berlapis baik,
selang-seling dengan batulempung berwarna kelabu hingga
kehitaman dan terdapat sisa tumbuhan.
Batulanau, berwarna kelabu kekuningan, berselingan dengan
batupasir kwarsa, umumnya tidak gampingan. Batubara,
berwarna coklat-hitam, selang-seling dengan batupasir
kwarsa dan batulempung, tebal dari beberapa centimeter
hingga 5,5 meter. Serpih pasiran, berwarna coklat kemerahan,
berbutir halus sampai sedang. Batugamping merupakan
sisipan di bagian bawah, berwarna putih, sangat kompak
dan berlapis baik. Ketebalan Formasi Latih kurang lebih
600 m (Klompe, 1941). Umur Miosen Tengah dan diendapkan
pada lingkungan delta, estuarin dan laut dangkal.
Formasi ini menjemari dengan atas Formasi Birang. Nama
lain dari formasi ini adalah Formasi Batubara Berau (Klompe,
1941). Sebagai lapisan pembawa batubara (coal bearing),
Formasi Latih cukup luas sebarannya, meliputi sebagian
besar wilayah KPPT Berau Coal, termasuk daerah Binungan,
yang dibagi menjadi blok 1-4, 5, 6 dan blok 7. Berdasarkan
kedudukan posisi stratigrafinya Formasi Latih dibagi menjadi
dua yaitu :
a. Formasi Latih bagian atas yang terbentuk dari
pengulangan pengendapan (selang seling) yang terdiri
dari satuan: batupasir kwarsa, batu lanau, batu lempung
dan batubara (Klompe, 1941).
b. Formasi Latih bagian bawah, terbentuk dari sisipan
serpih pasiran dan batugamping. Batugamping berwarna
putih, sangat kompak dan berlapis baik dengan
ketebalan 600 meter, berumur Miosen Tengah (16-11,6
MA). Umumnya batuan tersebut diendapkan pada
lingkungan delta, estuarin sampai laut dangkal. Formasi
Latih bagian bawah ini menjemari dengan bagian atas
Formasi Birang (Klompe, 1941).
3. Formasi Labanan
Formasi Labanan tersusun dari perselingan konglomerat,
batupasir, batulanau,batulempung dengan sisipan
batugamping dan batubara. Konglomerat, terdiri dari
fragmen batuan beku (andesit, basalt) kwarsa, kwarsit,
berukuran kerikil, membundar tanggung-menyudut tanggung,
matriks tersusun dari pasir halus-kasar. Batupasir, berwarna
kelabu-coklat, kompak, berbutir halus sampai sedang,
gampingan, fragmen terdiri dari batuan beku, kwarsa dan
mineral bijih.
Batulanau, berwarna kelabu kotor, kompak, mengandung
sisa tumbuhan, perlapisan kurang baik. Batulempung,
berwarna kelabu kehijauan, mengandung sisa tumbuhan dan
fosil moluska. Batugamping, berwarna putih-kecoklatan,
pasiran, kompak, berlapis baik. Batubara berwarna coklat-
kehitaman, tebal di bagian atas hanya beberapa centimeter,
sedangkan di bagian bawah mencapai 1,5 meter.
Tebal Formasi Labanan lebih kurang 450 meter, umur
Miosen Akhir (11,6-53 MA) dan terletak secara tidak selaras
di atas Formasi Latih. Lingkungan pengendapannya adalah
fluviatil. Nama lain dari Formasi Labanan ini adalah Formasi
Domaring (Klompe, 1941).
4. Formasi Sinjin
Formasi ini tersusun dari perselingan tuf, aglomerat, tuf lapili,
lava andesit piroksen, tuf terkersikan, batulempung tufaan dan
kaolin. Tuf berwarna putih kecoklatan-ungu, berbutir halus,
lunak-kompak, berselingan dengan aglomerat dan tuf lapili,
berwarna kelabu kehijauan, kehitaman, mengandung andesit
dan basalt. Lava andesit piroksen menunjukkan struktur
aliran. Tuf terkersikan berwarna coklat muda-ungu,
berlapis baik, berbutir sangat halus, mengandung mineral
kwarsa, feldspar dan mineral hitam. Batulempung tufaan,
kelabu kotor-kelabu kecoklatan, kompak, berlapis buruk,
mengandung sisa tumbuhan. Tebal formasi ini lebih dari
500 meter, umurnya diduga Pliosen (5,3-2,6 MA) dan terletak
secara tidak selaras di atas Formasi Labanan (Klompe, 1941).

2.2 Rock Quality Designation (RQD)


RQD (Rock Quality Designation) merupakan metode untuk memperkirakan
kualitas dari massa batuan secara kuantitatif. RQD didefinisikan sebagai
persentase dari perolehan inti bor (core) yang secara tidak langsung
didasarkan pada jumlah bidang lemah dan jumlah bagian yang lunak dari
massa batuan yang diamati dari inti bor (core), hanya bagian yang utuh
dengan panjang lebih besar dari dua kali diameter inti yang dijumlahkan
kemudian dibagi panjang total pengeboran (core run). RQD (Rock Quality
Designation) dihitung dari data pemboran dengan menggunakan rumus
(Deere, 1963).

𝑅𝑄𝐷 = Ʃ Panjang batuan inti > 2 𝑘𝑎𝑙𝑖


𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑏𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑡𝑖 total inti batuan ×
Panjang 100%
yang didapat (2.1)
Keuntungan dalam penggunaan RQD ialah pengerjaan yang sederhana, hasil
yang diinginkan cepat diperoleh dan biaya murah. RQD merupakan
petunjuk kualitas batuan yang mempertimbangkan tingkat pelapukan, lunak,
hancur dan terkekarkan sebagai bagian dari suatu massa batuan. Hubungan
antara nilai RQD dan kualitas massa batuan dapat dilihat pada Tabel 2.1
halaman 18.
Tabel 2.1 Kualitas batuan berdasarkan nilai RQD (Deere, 1963).
Kualitas Batuan RQD (%)
Sangat buruk 0-25
Buruk 25-50
Sedang 50-75
Baik 75-90
Sangat baik 90-100

Metode langsung digunakan dalam perhitungan nilai RQD apabila tersedia


data core logs. Selama pengukuran panjang core pieces, harus dilakukan
pada sepanjang garis tengahnya. Inti bor yang retak ataupun pecah akibat
aktivitas pemboran maka digabungkan dan dihitung sebagai satu batuan
utuh. Inti bor yang mengalami pecah dikarenakan proses alami maka tidak
diperhitungkan pada perhitungan RQD seperti pada Gambar 2.4.

Panjang total pengeboran (core run) = 100 cm


RQD = panjang core >2 𝑥 𝑑 X
panjang core
RQD = 28+11+20+25
total 100%
X 100%
10
RQD = 84 % 0

Gambar 2.4 Perhitungan Rock Quality Designation (Deere, 1963).


2.3 Massa Batuan
Hoek (2009), massa batuan merupakan susunan dari sistem blok-blok
batuan utuh yang dipisahkan oleh bidang-bidang diskontinuitas yang
masing-masing saling bergantung sebagai sebuah kesatuan unit yang berupa
joint, bidang perlapisan dan patahan. Massa batuan dibentuk dengan adanya
diskontinuitas, tegangan overburden dan perubahan akibat proses pelapukan
(Hunt, 2007). Pada Gambar 2.5 di bawah menjelaskan bahwa konsep dasar
dari massa batuan berasal dari batuan utuh yang memiliki sifat homogen dan
kemudian adanya bidang diskontinuitas membuat kekuatan massa batuan
menjadi berkurang.

Gambar 2.5 Konsep dasar massa batuan (Wylie dan Mah, 2004).

Adanya bidang diskontinuitas ini membedakan kekuatan massa batuan


dengan kekuatan batuan utuh atau intact rock. Massa batuan akan memiliki
kekuatan yang lebih kecil dibandingkan dengan batuan utuh. Variasi yang
besar dalam hal komposisi dan struktur dari batuan serta sifat dan
keberadaan bidang diskontinuitas yang memotong batuan akan membawa
komposisi dan struktur yang kompleks terhadap suatu massa batuan.
Menurut Hoek dan Brown (1980), sifat atau karateristik massa batuan
dapat menentukan dalam pekerjaan penggalian seperti terowongan dan
lereng. Kekuatan massa batuan, kuat geser, kekuatan batuan utuh dan
perilaku tegangan-regangan batuan menjadi parameter penting dalam
perhitungan desain, kegiatan pemboran dan peledakan dalam suatu
pertambangan.

2.4 Bidang Diskontinuitas


Secara umum bidang diskontinuitas merupakan bidang yang membagi
massa batuan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Menurut Wyllie dan Mah
(2004), bidang diskontinuitas dapat berupa bidang perlapisan, joint ataupun
patahan. Bidang diskontinuitas dapat mempengaruhi kuat geser batuan
termasuk bentuk dan tingkat kekasaran permukaan batuan.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bidang
diskontinuitas terbentuk karena tegangan tarik yang terjadi pada batuan. Hal
ini yang membedakan antara diskontinuitas alami yang terbentuk oleh
peristiwa geologi atau geomorfologi, dengan diskontinuitas artifisial yang
terbentuk akibat aktivitas manusia misalnya pemboran, peledakan dan proses
pembongkaran material batuan. Menurut Brady dan Brown (2004), struktur
diskontinuitas pada batuan disebut sebagai struktur batuan sedangkan batuan
yang tidak pecah disebut sebagai material batuan yang bersama struktur
batuan, membentuk massa batuan.
Beberapa macam bidang diskontinuitas sebagai berikut (Brady dan
Brown, 2004):
1. Fault atau patahan
Fault atau patahan adalah bidang diskontinuitas yang secara jelas
memperlihatkan tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan.
Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah adanya zona hancuran maupun
slickenside atau jejak yang terdapat disepanjang bidang fault. Fault
dikenal sebagai weakness zone karena akan memberikan pengaruh pada
kestabilan massa batuan dalam wilayah yang luas.
2. Joint atau kekar
Joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk secara alami tanpa
ada tanda-tanda pergeseran yang terlihat. Kelompok joint yang sejajar
disebut joint set dan saling berpotongan membentuk joint system.
Joint berdasarkan lokasi terjadinya atau tempat terbentuknya dapat
dikelompokkan menjadi :
a) Foliation joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk sepanjang
bidang foliasi pada batuan metamorf.
b) Bedding joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk sepanjang
bidang perlapisan pada batuan sedimen.
3. Fold atau Lipatan
Lipatan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang terbentuk
karena batuan mengalami deformasi sehingga terlipat. Lipatan dapat
berskala luas ataupun lokal. Selama proses perlipatan, tegangan dan
tekanan dapat meningkat sehingga dapat mengurangi kuat geser batuan.
4. Crack
Crack adalah bidang diskontinuitas yang berukuran kecil atau tidak
menerus. Crack untuk menjelaskan pecahan atau crack yang terjadi pada
saat pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan mekanisme
pecahnya batuan.
5. Rupture
Rupture adalah pecahan atau bidang diskontinuitas yang terjadi
karena proses ekskavasi atau pekerjaan manusia yang lain.
6. Fissure
Fissure adalah bidang diskontinuitas yang berukuran kecil, terutama
yang tidak terisi atau terbungkus oleh material isian.
7. Bedding Plane
Merupakan istilah untuk bidang perlapisan pada batuan sedimen.
Bedding terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan
ukuran dan orientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan
mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan batuan sedimen.
Bidang perlapisan dapat mengurangi kuat geser
8. Shear Zone
Shear Zone adalah bidang pergeseran yang berisi material hancuran
akibat tergerus oleh pergerakan kedua sisi massa batuan dengan ukuran
celah yang lebih lebar dari kekar. Ketebalan material hancuran yang
berupa batu atau tanah ini bervariasi dari ukuran milimeter sampai
meter.
9. Cleat
Cleat merupakan rekahan pada lapisan batubara dengan arah memotong
dan searah dengan lapisan batubara.
10. Vein
Vein merupakan bidang diskontinuitas yang berupa material atau
mineral yang mengisi celah pada batuan. Vein dapat berupa batuan beku
akibat proses mineralisasi. Vein dapat menambah kekuatan massa batuan
dan dapat mengurangi kekuatan batuan.

2.5 Geological Strength Index (GSI)


Dalam penggunaan Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown, GSI merupakan
hal paling penting dimana merepresentasikan kekuatan batuan dan
deformasi dari hasil laboratorium dan pengamatan di lapangan (Hoek,
1998). Kekuatan massa batuan terkekarkan tergantung kepada sifat/kekuatan
batuan yang utuh dan juga kepada bebas atau tidaknya blok-blok batuan
yang menyusun massa batuan tersebut untuk meluncur dan berotasi di
bawah kondisi tegangan yang berbeda. Hal tersebut dikontrol oleh bentuk
geometri dari blok-blok batuan tersebut. Suatu blok batuan yang menyudut
dengan bidang permukaan kasar akan mempunyai kekuatan massa batuan
yang lebih besar dibandingkan dengan blok batuan yang membundar dan
bidang permukaannya terlapukan.
GSI diperkenalkan oleh Hoek dkk (1995) ditujukan untuk
memperkirakan berkurangnya kekuatan suatu massa batuan yang
disebabkan oleh kondisi geologi yang berbeda. Menurut Marinos dkk
(2005), GSI menggambarkan pengklasifikasian massa batuan dengan
parameter yaitu litologi, kondisi diskontinuitas, struktur diskontinuitas,
bentuk massa batuan yang merepresentasikan proses geologi yang terjadi.
Pada Gambar 2.6 di bawah menjelaskan bahwa Joint Condition
menurut Bieniawski (1989) merepresentasikan permukaan diskontinuitas
dan Rock Quality Designation menunjukkan spasi diskontinuitas. Menurut
Hoek dkk (2013) hubungan antara GSI, Joint Condition dan RQD dapat
ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
GSI = 1,5 Jcond + RQD/2 …………………...(2.2)

Gambar 2.6 Diagram GSI berdasarkan Hoek dan Marinos (2000).


2.6 Faktor Kerusakan (Disturbance Factor)
Nilai D merupakan faktor kerusakan yang tergantung derajat
kerusakan massa batuan yang disebabkan oleh peledakan maupun pelepasan
tegangan. Dalam desain suatu lereng pada tambang terbuka dengan kriteria
Hoek-Brown dengan asumsi massa batuan insitu tidak terganggu (undisturb
in-situ rock masses) dimana D=0 adalah terlalu optimistis (Hoek, 2002).
Kerusakan massa batuan dapat disebabkan oleh peledakan dan pelepasan
tegangan (stress release) akibat lepasnya overburden, oleh karena itu harus
dipertimbangkan adanya faktor untuk mempertimbangkan tingkat kerusakan
massa batuan akibat proses tersebut, untuk mengakomodasi hal tersebut,
Hoek (2002) memperkenalkan faktor kerusakan massa batuan/disturbance
factor (D) yang merupakan nilai tingkat kerusakan massa batuan yang
diakibatkan oleh peledakan maupun pelepasan tegangan. Pedoman untuk
menentukan besaran nilai D disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Pedoman untuk memperkirakan faktor kerusakan (Hoek, 2002).
Massa Batuan Deskripsi Massa Batuan Nilai D
Kualitas peledakan yang sangat baik atau D=0
pengeboran menggunakan alat bor
terowongan yang menghasilkan
kerusakan minimum massa batuan di
sekitar terowongan

Penggalian mekanik pada massa batuan D=0


lemah (tanpa peledakan) menghasilkan D = 0.5
gangguan minimal.
Penggalian lubang bukaan tambang
menghasilkan pengangkatan lantai yang
jelas, sehingga gangguan bisa sangat
besar.
Tabel 2.2 Lanjutan
Massa Batuan Deskripsi Massa Batuan Nilai D
Kualitas peledakan yang buruk pada D = 0,8
terowongan batuan keras, tingkat
kerusakan lokal besar, berpengaruh 2
sampai 3 m massa batuan sekitarnya.

Pengaruh peledakan skala kecil pada D = 0,7


lereng, mengakibatkan kerusakan (Peledakan
Baik)
menengah pada massa batuan.
D = 1,0
(Peledakan
Buruk)
Kemiringan lereng tambang terbuka D = 1,0
yang sangat besar, mengalami gangguan (Peledakan
Produksi)
yang besar karena hasil peledakan dan
juga karena pengaruh dari pemindahan D = 0,7
overburden. (Penggalia
Pada beberapa batuan lemah, penggalian n
Mekanik)
dapat dilakukan dengan menggaruk dan
mendorong dengan alat mekanik, dan
mengakibatkan tingkat kerusakan yang
kecil pada lereng.

Penentuan nilai D (Disturbance Factor), juga perlu memperhatikan luasan


daerah yang terkena efek dari peledakan (Hoek, 2012). Pada lereng yang
akan dianalisis, tidak semua daerah akan terkena dampak dari peledakan
atau dengan kata lain nilai D tidak dapat disamaratakan. Daerah tersebut
dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu Disturbed Rock Mass dan Undisturbed
Rock Mass Gambar 2.7 halaman 26. Cara perhitungan menurut Hoek dan
Karzulovic (2000), dapat dinyatakan sebagai berikut :
T =1,5 x H ………………………………………….(2.3)
Gambar 2.7 Representasi antara Undisturbed Rockmass dan Blasted Rock
(Hoek dan Karzulovic, 2000).

2.7 Window Mapping


Pemetaan geoteknik merupakan metode dalam mendapatkan
gambaran kondisi lapangan, dalam assessment geoteknik dan pit tambang.
Menurut Wyllie dan Mah (2004), terdapat beberapa metode yang umum
dipakai antara lain scanline mapping dan window mapping. Metode-metode
ini dapat dilakukan di lereng tambang baik highwall maupun lowwall.
Highwall merupakan lereng terjal yang arah kemiringannya memotong atau
tegak lurus dari bidang perlapisan batubara sedangkan lowwall merupakan
lereng landai yang arah kemiringannya sejajar dengan bidang perlapisan
batubara (Swana dkk, 2012). Tujuan dilakukannya geotechnical mapping
yaitu untuk mengumpulkan data antara lain :
1. Kehadiran, karakteristik dan keberagaman bidang diskontinuitas seperti
bedding, kekar maupun patahan di lereng tambang.
2. Keberagaman karakteristik dan kekuatan massa batuan pada lereng
tambang.
3. Kondisi massa batuan (pelapukan, kekuatan, kekar, bentuk blok, GSI).
Hal-hal yang dimasukkan dalam Window Mapping antara lain lokasi
mapping, koordinat, elevasi dan orientasi lereng. Parameter yang dihitung
antara lain (Australian Standard, 2005) :
1. Deskripsi Massa Batuan, yang terdiri dari tingkat pelapukan, tingkat
kekuatan, bentuk blok batuan, jumlah set discontinuity.
Untuk pedoman dalam deskripsi massa batuan sebagai berikut seperti
pada Tabel 2.3-2.5 halaman 27-28 :
Tabel 2.3 Tingkat pelapukan batuan (Australian Standard, 2005)
Pelapukan
Kode Istilah Pengertian
RS Tanah residu Tanah terbentuk pada batuan yang sangat
lapuk, struktur dan material penyusunya
massa batuan sudah tidak diketemukan
XW Sangat lapuk Pelapukan batuan yang meluas dan memiliki
material tanah dan akan memisahkan diri atau
dapat dihancurkan dengan tangan di dalam air
DW Lapuk Tegas Perybahan warna yang kontras, biasanya
karena pelapukan mineral besi (Fe) dan
kekuatan massa batuan telah berubah karena
pelapukan
SW Lapuk samar Sedikit mengalami perubahan warna, sedikit
menunjukan perubahan pada kekuatan batuan
FR Segar Tidak terdapat perubahan warna atau zat
warna

Tabel 2.4 Tingkat kekuatan batuan (Australian Standard, 2005)


Kekuatan
Kode Istilah Is(50) (MPa) Pengertian
EL Rendah sekali <0,03 Mudah dihancurkan dengan tangan
untuk material yang mengandung
tanah
VL Sangat rendah 0,03-0,1 Material hancur dibawah pukulan
kuat dengan ujung runcing palu, dan
dapat di kelupas dengan pisau,
sangat sulit untuk memotong sample
triaksial menggunakan tangan.
Potongan diatas 30 mm dapat
dihancurkan menggunakan tekanan
jari
L Rendah 0,1-0,3 Dapat digores dengan pisau, retakan
dengan jarak 1-3 mm yang
ditunjukan oleh sampel dengan
pukulan kuat pada ujung palu. Satu
potongan inti batuan yang
panjangnya 150 mm dan diameter
Kode Istilah Is(50) (MPa) Pengertian

50 mm dapat dihancurkan dengan


tangan, sisi yang runcing pada inti
batuan rapuh dan hancur ketika
dipegang
M Sedang 0,3-1 Sangat dapat digores dengan pisau,
potongan inti batuan panjang 150
mm dan diameter 50 mm dapat
dihancurkan dengan tangan dengan
susah
H Tinggi 1-3 Potongan inti batuan panjang 150
mm dan diameter 50 mm tidak dapat
dihancurkan menggunakan tangan
tetapi dapat dihancurkan dengan
palu dengan sekali pukulan
VH Sangat Tinggi 3-10 Sampel batuan hancur dengan
dengan lebih dari 1 kali pukulan,
batuan bergetar karena pukulan
EH Tinggi Sekali >10 Sampel batuan membutuhkan
banyak pukulan dengan palu untuk
menghancurkan ikantan marerial ,
batuan bergetar karena pukulan

Tabel 2.5 Bentuk blok batuan (Australian Standard, 2005)


Bentuk
Kode Istilah Pengertian
BLK Kubus Seperti bentuk kubus dengan sisi yang menyerupai
TAB Berlembar Berbentuk lempengan dengan tebal lebih kecil
dibandingkan panjang atau lebarnya
COL Balok Tinggi bidang lebih besar dibandingkan lebar dan
tebalnya
IRR Tidak Bentuk bidang tidak beraturan
Beraturan

2. Deskripsi Diskontinuitas, yang terdiri dari tipe diskontinuitas, orientasi


bidang diskontinuitas, panjang, spasi, bentuk, kekasaran, material
pengisi dan ketebalan.
Untuk pedoman dalam bidang diskontinuitas sebagai berikut seperti
pada Tabel 2.6-2.9 pada halaman 29-30 :
Tabel 2.6 Jenis-jenis ketidakselarasan (Australian Standard, 2005)
Jenis Ketidakselarasan
Kode Istilah Pengertian
B Bedding Kekar sejajar dengan perlapisan batuan
Parting
J Joint Kekar yang memotong perlapisan batuan
C Cleat Celah kekar yang tertutup material lain didalam
batubara
F Fault Ketidakselarasan mayor yang memotong sepanjang
perlapisan batuan dengan offset yang terlihat jelas atau
perpindahan sepanjang sebuah bidang. Sesar dapat
bersih atau terdapat zona sempit material pengisi
S Beddin Zona sempit dari pergeseran parallel terhadap salah
g satu perlapisan sepanjang kontak antara dua lapisan
shear yang berdekatan atau seluruhnya dengan sebagian
lapisan, biasanya lempung, sepanjang pergeseran yang
terjadi. Permukaan yang halus dan tegas muncul
Z Fault/Shea Zona lempengan yang terdapat banyak parallel atau
r zone sesar mendatar karena perpindahan. Seringkali terdiri
dari hancuran atau material yang telah bergerser.

Tabel 2.7 Bentuk ketidakselarasan (Australian Standard, 2005)


Bentuk Ketidakselarasan
Kode Istilah Pengertian
P Datar Permukaan ketidakselarasan adalah bidang datar
C Kurva Permukaan ketidakselarasan bebentuk melengkung,
bisa cekung atau cembung. Bentuk lengkungan bisa
satu sumbu (silinder) atau dua sumbu (bola)
W Bergelombang Permukaan ketidakselarasan bergelombang atau
undulasi dan tersusun atas pengulangan bentuk
cekung-cembungdari bidang tengah ketidakselarasan
S Putus-putus Permukaan ketidakselarasan tersusun atas bidang
runcing
Tabel 2.8 Tingkat kekasaran (Australian Standard, 2005)
Kekasaran
Kode Pengertian Kode Pengertian Kode Pengertian
1 Putus-putus-kasar 4 Bergelombang- 7 Datar-
Kasar kasar
2 Putus-putus-halus 5 Bergelombang- 8 Datar-
halus halus
3 Putus-putus- 6 Bergelombang- 9 Datar-
Runcing runcing runcing
Tabel 2.9 Jenis material pengisi (Australian Standard, 2005)
Material Pengisi
Kode Pengertian Kode Pengertian Kode Pengertian
A Clayed O Coal T Silt
sand/sandy clay
B Carbonaceou P Pyrite X Clean, no
s matter infill

atau
coating
C Calcite Q Quartz Y Clay
G Graphite R Resin (amber)
L Limonite/iron S Sand
Staining

2.8 Mekanisme Keruntuhan


2.8.1 Konsep Keruntuhan Hoek and Brown
Dalam analisis desain suatu lereng memperkirakan kekuatan dan
karakteristik deformasi suatu massa batuan merupakan hal yang sangat
penting (Hoek dkk, 2000), hal ini dikarenakan kekuatan batuan utuh
yang didapatkan dari pengujian laboratorium belum mencerminkan
kekuatan massa batuan, untuk itu diperlukan adanya rumusan yang
menghubungkan kekuatan batuan utuh dengan kekuatan massa batuan.
Rumusan Hoek dan Brown (1980) digunakan untuk memperkirakan
kekuatan massa batuan berdasarkan hubungan antara blok batuan dan
kondisi permukaan diantara blok batuan tersebut.
Hoek dan Brown (1980) mengusulkan metode untuk mendapatkan
kekuatan massa batuan terkekarkan yang dikenal sebagai Original
Hoek-Brown Criterion. Kriteria ini dimulai dari kekuatan batuan utuh
dengan faktor-faktor untuk mengurangi kekuatan tersebut berdasarkan
karakteristik pada bidang diskontinuitas di dalam massa batuan. Kriteria
ini terus dikembangkan oleh Hoek, dkk (1995) dengan memasukkan
konsep Geological Strength Index (GSI). Nilai GSI diperoleh dari hasil
deskripsi geologi berdasarkan struktur dan kondisi permukaan.
Nilai mi dapat ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.10 halaman 31.
Tabel 2.10 Nilai parameter mi (Hoek, 2001).

Rock Type Class Group Texture


Coarse Medium Fine Very Fine
Sedimentary Clastic Conglomerate Sandstone (17±4) Siltstone Claystone
(21±3) (7±2) (4±2)

Breccias Greywacke Shale


(19±5) (18±3) (6±2)

Marls
(7±2)
Non Clastic Carbonates Crystalline Sparitic Limestone Micritic Limestone Dolomites
Limestone (10±2) (9±2) (9±3)
(12±3)
Evaporites Gypsum Anhydrite
(8±2) (12±2)
Organic Coal Chalk
(8-21) (7±2)
Metamorphic Non Foliated Marble Hornfel Quartzites
(9±3) s (19±4) (20±3)
Metasandstone
(19±3)

Slightly Foliated Migmatite Amphibolites Gneiss


(29±3) (26±6) (28±5)
Foliated Schist Phyllites Slates
(12±3) (7±3) (7±4)
Vulcanic Plutonic Light Granite Diorite
(32±3) (25±5)
Granodiorite
(29±3)
Dark Gabbro Dolerite
(27±3) (16±5)
Norite
(20±5)
Hypabissal Hypabissal Diabase Peridotite
(20±5) (15±5) (25±5)

Vulcanic Lava Rhyollite Dacite Obsidian


(25±5) (25±3 (19±3)
)
Andesite Basalt
(25±5) (25±5)

Pyroclastic Agglomerat Breccia Tuff


(19±3) (19±5) (13±5)
2.8.2 Konsep Keruntuhan Mohr-Coloumb
Hoek dan Brown (1997) menyatakan bahwa kebanyakan software
geoteknik masih mengacu pada kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb yang
terlebih dahulu menentukan sudut geser dalam dan nilai kohesi yang
setara untuk masing-masing massa batuan. Melalui penyesuaian pada
plot Mohr-Coulomb, dihasilkan persamaan untuk mendapatkan nilai
sudut geser dalam dan kohesi (Hoek dkk, 2002) :

6amb s  mb ' a 
1
'  sin 
   a1
3n 1

 2 1  a 2  a   6am s  m  '
b b 3n
…….…(2.4)


𝜎𝑐𝑖 1+2𝑎 𝑠 + 1−𝑎 𝑚𝑏 𝜎3𝑛 𝑠+ 𝑚𝑏 𝜎3𝑛 𝑎


𝑐 −1 .......(2.5)
= 1+𝑎 2+𝑎 1+ 6𝑎𝑚𝑏 𝑠+ 𝑚𝑏 𝜎3𝑛 𝑎 −1
1+𝑎 2+𝑎

 3n   3'max /  ci ……………. (2.6)

Nilai 𝜎3max merupakan batas akhir dari hubungan tegangan kriteria


Hoek-Brown dan Mohr-Coloumb. Penentuan nilai σ3max pada lereng
didapatkan berdasarkan rumusan (Hoek-Brown Criterion Edisi 2002) :

3 max  0.72cm 10.9


' 
 H  …………...(2.7)
'cm '
γ merupakan bobot isi batuan dan H merupakan tinggi lereng. Nilai 𝜎′𝑐𝑚
merupakan besarnya kuat tekan massa batuan yang diperoleh dari
persamaan :
𝑚 𝑎
𝑚𝑏 +4𝑠−𝑎 𝑚
𝑏 −8𝑠 𝑏(+𝑠)
𝜎′𝑐𝑚𝑐𝑖= 4 −1
………………..(2.8)
2(1+𝑎)(2+𝑎 )
𝜎.

2.9 Jenis Longsoran


Hoek dan Bray (1981) mengklasifikasikan longsoran pada tambang
terbuka menjadi 4 jenis longsoran yaitu Longsoran Busur
(Circular Failure), Longsoran Bidang (Plane Failure), Longsoran Baji
(Wedge Failure), dan Longsoran Guling (Toppling Failure).
1. Longsoran Busur
Longsoran busur merupakan longsoran batuan yang terjadi
sepanjang bidang luncur yang berbentuk busur Gambar 2.8 halaman 33.
Longsoran busur paling umum terjadi di alam, terutama pada batuan yang
lunak (tanah). Pada batuan yang keras longsoran busur hanya dapat terjadi
jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan dan mempunyai bidang-
bidang lemah (rekahan) yang sangat rapat dan tidak dapat dikenal lagi
kedudukannya. Longsoran busur akan terjadi jika partikel individu pada
suatu tanah atau massa batuan sangat kecil dan tidak saling mengikat.
Penurunan sebagian permukaan atas lereng yang berada disamping
rekahan menandakan adanya gerakan lereng yang pada akhirnya akan
menimbulkan kelongsoran lereng.

Gambar 2.8 Bentuk longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981).

2. Longsoran Bidang
Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi
sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat
berupa bidang sesar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan.
Longsoran bidang dapat terjadi jika ditemukan tiga kondisi antara lain
(Hoek dan Bray, 1981):
1. Kemiringan dari bidang diskontinuitas harus melebihi sudut
geser dalam.
2. Kemiringan dari bidang diskontinuitas harus lebih kecil dari
kemiringan muka lereng.
Secara umum longsoran bidang dapat terjadi apabila memenuhi
beberapa syarat seperti pada Gambar 2.9 halaman 34:
1. Jurus bidang luncur (αp) sejajar atau mendekati sejajar
terhadap jurus bidang permukaan lereng (αf) dengan
perbedaan maksimal 20°.
2. Kemiringan bidang luncur (ψp) harus lebih kecil kemiringan
bidang permukaan lereng (ψf).
3. Kemiringan bidang luncur (ψp) lebih besar daripada sudut
geser dalam.
4. Terdapatnya bidang bebas yang merupakan batas lateral dari
massa batuan yang longsor.

Gambar 2.9 Longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981).

3. Longsoran Baji
Pada Gambar 2.10 halaman 35, merupakan kondisi dimana
terjadinya longsoran baji. Longsoran ini hanya bisa terjadi pada batuan
yang mempunyai lebih dari satu bidang lemah yang saling berpotongan
membentuk baji (plane A dan plane B), dalam kondisi yang sangat
sederhana longsoran baji terjadi pada sepanjang garis potong kedua bidang
lemah tersebut (line of intersection).
Gambar 2.10 Bentuk longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981).

4. Longsoran Guling
Longsoran guling terjadi pada lereng terjal untuk batuan yang keras
dengan bidang-bidang lemah tegak atau hampir tegak dan arahnya
berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Kondisi untuk mengguling
ditentukan oleh sudut geser dalam dan kemiringan sudut bidang
gelincirnya, suatu balok dengan tinggi h terletak pada bidang miring
dengan sudut kemiringan sebesar α yang disajikan pada Gambar 2.11.
Longsoran dapat terjadi bila ψ > 900+Ø-α dimana ψ adalah kemiringan
bidang lemah, Ø adalah sudut geser dalam dan α adalah kemiringan lereng.

Gambar 2.11 Bentuk longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981).

2.10 Kestabilan Lereng


2.10.1 Faktor yang Mempengaruhi Ketidakstabilan Lereng
Faktor-faktor penyebab lereng rawan longsor meliputi faktor
internal (dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar
lereng), antara lain: kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi,
morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat (Anwar dan
Kesumadharma, 1991, dalam Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban
tanah (moisture), adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti
patahan (terutama yang masih aktif), rekahan dan liniasi (Sukandar,
1991).
Proses eksternal penyebab longsor yang dikelompokkan oleh
Brunsden 1993, dalam Dikau et.al., 1996 diantaranya adalah :
1) Pelapukan (fisika, kimia dan biologi) dan erosi.
2) penurunan tanah (ground subsidence).
3) deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah)
4) getaran dan aktivitas seismik.
5) jatuhan tepra.
6) perubahan rezim air
Pelapukan dan erosi sangat dipengaruhi oleh iklim yang
diwakili oleh kehadiran hujan di daerah setempat, curah hujan kadar
air/water content (%) dan kejenuhan air/saturation (Sr :%). Pada
beberapa kasus longsor, hujan sering sebagai pemicu karena hujan
meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan kondisi
fisik/mekanik material tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar air akan
memperlemah sifat fisik-mekanik tanah dan menurunkan Faktor
Kemanan lereng (Hirnawan dan Zakaria, 1991).
Penambahan beban di tubuh lereng bagian atas
(pembuatan/peletakan bangunan, misalnya dengan membuat
perumahan atau villa di tepi lereng atau di puncak bukit) merupakan
tindakan beresiko mengakibatkan longsor. Demikian juga pemotongan
lereng pada pekerjaan cut&fill, jika tanpa perencanaan dapat
menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan pada lereng. Letak
atau posisi tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor
Keamanan Lereng (Hirnawan, 1993), hilangnya tumbuhan penutup
menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan
yang semakin meningkat akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor
(Pangular, 1985). Dalam kondisi ini erosi tentunya memegang peranan
penting. Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan-
gangguan internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri
terutama karena ikut-sertanya peranan air dalam tubuh lereng. Kondisi
ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah
hujan. Jumlah air yang meningkat dicirikan oleh peningkatan kadar
airtanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah. Kenaikan airtanah
akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah dan meningkatkan
tekanan pori (m) yang berarti memperkecil ketahananan geser dari
massa lereng (lihat rumus Faktor Keamanan 2.10, pada halaman 41).
Debit air tanah juga membesar dan erosi di bawah permukaan (piping
atau subaqueous erosion) meningkat, akibatnya lebih banyak fraksi
halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, lebih jauh ketahanan
massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).
Kejadian di Sodonghilir dan Taraju (1992) Bukit Lantiak, Padang dan
Sagalaherang, Ciamis (1999), dan kejadian di beberapa tempat lainnya
umumnya disebabkan penurunan sifat fisik dan mekanik tanah karena
kehadiran air dalam tubuh lereng, Tabel 2.11 halaman 40.
A. Cuaca / Iklim
Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan
mempengaruhi kadar air/water content (%) dan kejenuhan
air/saturation (Sr, %). Pada beberapa kasus longsor di Jawa Barat,
air hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Hujan
dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih jauh akan
menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan
kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah
(mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan
faktor kemanan lereng (Hirnawan dan Zufialdi, 1993).
Kondisi lingkungan geologi fisik sangat berperan dalam
kejadian gerakan tanah selain kurangnya kepedulian masyarakat
karena kurang informasi ataupun karena semakin merebaknya
pengembangan wilayah yang mengambil tempat di daerah yang
mempunyai masalah lereng rawan longsor.
B. Ketidakseimbangan Beban di Puncak dan di Kaki Lereng
Beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak)
mengikutserta-kan peranan aktivitas manusia. Pendirian atau
peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika belaka,
misalnya dengan membuat perumahan (real estate) atau villa di
tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit merupakan tindakan
ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut
menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh
lereng. Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka
keamanan lereng akan menurun.
Pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak
menurunkan Faktor Keamanan. Makin besar pengurangan beban di
kaki lereng, makin besar pula penurunan faktor keamanan
lerengnya, sehingga lereng makin labil atau makin rawan longsor.
Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini. Pengurangan
beban di kaki lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan bahan
galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan, jalan dan
lain-lain, atau erosi (Hirnawan, 1993).
Kasus longsor yang disebabkan oleh kondisi
ketidakseimbangan beban pada lereng antara lain:
1) longsor di tempat penggalian trass di tepi jalan raya
Lembang akibat penggalian bahan baku bangunan dengan
cara membuat tebing yang hampir tegak lurus.
2) longsor sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan
untuk kawasan perumahan (real estate).
3) longsoran di tepi sungai Cipeles (Jalan Raya Bandung-
Cirebon) juga diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan
beban.
C. Vegetasi / Tumbuh-tumbuhan
Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan alur-alur
pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan makin meningkat dan
akhirnya terjadilah longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi
tersebut berperan pula faktor erosi. Letak atau posisi penutup
tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi faktor keamanan
lereng. Penanaman vegetasi tanaman keras di kaki lereng akan
memperkuat kestabilan lereng, sebaliknya penanaman tanaman
keras di puncak lereng justru akan menurunkan Faktor Keamanan
Lereng sehingga memperlemah kestabilan lereng (Hirnawan,
1993).
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan
internal yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama
karena ikut sertanya peranan air dalam tubuh lereng.
Tabel 2.11 Kejadian longsor di Indonesia (Sumber:http.earthquake.usgs.gov, 2001)
Waktu Lokasi Penyebab Kerugian&korban jiwa
Kejadian
8 Januari Desa Pupuan, Tegal- Bukit >700 tinggi 100 - 39 meninggal
1999 alang, Gianyar, Bali m runtuh - Irigasi Subak
terganggu
3 Februari Desa Gemawang, Kec. Hujan lebat -7 orang meninggal
1999 Jambu, Kab. Semarang - rumah hancur
7 Juli 1999 Desa Bontosolama, Hujan deras - > 11 orang meninggal
Sinjai, Sulawesi Selatan - Kerugian Rp. 4,2 M
9 Desember Bukit Lantiak, Sungai Bukit terjal 450 -56 orang tewas
1999 Muara, Padang Tidak ada hujan
24 Februari Desa Windusakti, Kab. Hujan deras -10 orang tewas
2000 Brebes, Jawa Tengah
30 Oktober Kab. Hujan deras terus -24 orang tewas
2000 Cilacap&Banyumas, menerus -88 rumah tertutup
Jawa Tengah lumpur
-113 rumah rusak
3-9 Desa Simongari, Bukit Hujan deras terus -56 orang tewas
November Menoreh, Purworejo menerus -531 KK kehilangan
2000 tempat tinggal
11 Dusun Ngaran, Kab. Hujan sangat lebat -17 tewas
Desember Kulonprogo, Yogyakarta dan lama -80 KK kehilangan
2000 tempat tinggal
9 Januari Desa Kanding, Hujan terus menerus -39 rumah terendam
2001 Somogede, Banyumas lumpur
-ce kdam rusak
24 Januari Desa Aek Lotong, Gempa struktur sesar -34 rumah rusak berat
2001 Sipirok, Tapanuli Selatan Sumatera
8 Februari Desa Wangunrejo, Hujan deras 2 pekan -ruas jalan padanan
2001 Nyalindung, Sukabumi menerus km 62&km 71 rusak
berat

D. Naiknya Muka Airtanah


Kehadiran airtanah dalam tubuh lereng biasanya menjadi
masalah bagi kestabilan lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh
luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan) yang dapat
meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan, atau muka
airtanah. Kehadiraran airtanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan
pori yang berarti memperkecil ketahanan geser dari massa lereng,
terutama pada material tanah (soil). Kenaikan muka airtanah juga
memperbesar debit air tanah dan meningkatkan erosi di bawah
permukaan (piping atau subaqueous erosion). Akibatnya lebih
banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan,
ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984 dalam Hirnawan,
1993).

2.10.2 Cara Analisis Kestabilan Lereng


Faktor Keamanan (F) lereng tanah dapat dihitung dengan
berbagai metode. Longsoran dengan bidang gelincir (slip surface), F
dapat dihitung dengan metode sayatan (slice method) menurut
Fellenius atau Bishop, untuk suatu lereng dengan penampang yang
sama, cara Fellenius dapat dibandingkan nilai faktor keamanannya
dengan cara Bishop. Dalam mengantisipasi kelongsoran suatu lereng,
sebaiknya nilai F yang diambil adalah nilai F yang terkecil, dengan
demikian antisipasi akan diupayakan maksimal. Data yang diperlukan
dalam suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai F (faktor
keamanan lereng) adalah sebagai berikut :
a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang
lereng) meliputi: sudut lereng, tinggi lereng, atau panjang lereng
dari kaki lereng ke puncak lereng.
b. Data mekanika tanah
 sudut geser dalam (Ф: derajat)
 bobot satuan isi tanah basah (𝛾wet: g/cm3 atau kN/m3 atau
ton/m3)
 kohesi (c: kg/cm2 atau kN/m2 atau ton/m2)
 kadar air tanah (ω: %)
Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah
tak terganggu. Kadar air tanah (ω) diperlukan terutama dalam
perhitungan yang menggunakan komputer (terutama bila memerlukan
data 𝛾dry bobot satuan isi tanah kering, yaitu : 𝛾dry = 𝛾 wet /( 1 + 𝜔 ).
Pada lereng yang dipengaruhi oleh muka air tanah nilai F (dengan
metode sayatan, Fellenius) adalah :

cL +tan θ Ʃ(Wi cos


𝐹 =
αi−μi×Ii) …………………….…………(2.9)
Ʃ(Wi sin αi)

Keterangan :
C : kohesi (kN/m2)
θ : sudut geser dalam (derajat)
𝞪 : sudut bidang gelincir tiap sayatan
(derajat) µ : tekanan air pori (kN/m2)
l : panjang bidang gelincir pada tiap sayatan (m)
L : jumlah panjang bidang gelincir
µi+Ii: tekanan pori di setiap sayatan (kN/m)
W : luas tiap bidang sayatan (m2)×bobot satuan isi tanah (ᵞ,kN/m3)
Pada lereng yang tidak dipengaruhi oleh muka air tanah, nilai F adalah :

cL +tan θ Ʃ(Wi cos


𝐹
αi)= …………………………………………………(2.10)
Ʃ(Wi sin α i)
Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis
besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan
visual, cara komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai
berikut:
1) Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati
langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng
yang bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang tidak, cara
ini memperkirakan lereng labil maupun stabil dengan
memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara
ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini
dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan.
Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah dalam
suatu peta lereng.
2) Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan
rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan
lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung Faktor
Keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya. Menurut Bowles
(1989), pada dasarnya kunci utama gerakan tanah adalah kuat
geser tanah yang dapat terjadi akibat beberapa faktor :
(a)tak terdrainase.
(b) efektif untuk beberapa kasus pembebanan.
(c)meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan
waktu) atau dengan kedalaman.
(d)berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan
dengan waktu) atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih
atau terjadi peningkatan air tanah. Dalam menghitung besar
faktor keamanan lereng dalam analisis lereng tanah melalui
metode sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang
gelincir yang dapat dihitung.
3) Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah
standar (Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan
Morganstren). Cara ini dilakukan untuk material homogen
dengan struktur sederhana. Material yang heterogen (terdiri atas
berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara
komputasi). Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt
(Schmidt Net Diagram) dapat menjelaskan arah longsoran atau
runtuhan batuan dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar
(joints) dan strike/dip lapisan batuan.
Rumus perhitungan faktor keamanan lereng (material tanah)
yang diperkenalkan untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng
ini seperti pada Gambar 2.12 halaman 44. Rumus dasar Faktor
Keamanan (Factor of Safety) lereng (material tanah) yang
diperkenalkan oleh Fellenius dan kemudian dikembangkan oleh
Lambe&Whitman (1969), Parcher&Means (1974):

Gambar 2.12 Sketsa lereng dan gaya yang bekerja (Zakaria, 2009)

Gaya normal merupakan gaya yang dimiliki oleh suatu benda


untuk menolak atau memberikan perlawanan terhadap gaya
yang berasal dari atas, sedangkan gaya geser adalah gaya yang
dimiliki oleh batuan untuk melakukan perlawanan terhadap
desakan atau tarikan. Mekanisme arah gaya yang bekerja pada
masing-masing lereng seperti Gambar 2.13 halaman 45 dan gaya
yang bekerja pada sebuah lereng seperti pada Gambar 2.14
halaman 45. Semakin besar gaya normal dan gaya geser yang
dimiliki suatu lereng maka lereng akan semakin stabil,
sedangkan untuk densitas (kN/m3) semakin besar nilainya akan
menurunkan tingkat kestabilan suatu lereng dan nilai kohesi,
sudut geser dalam (phi) jika semakin besar nilainya maka lereng
akan semakin stabil.
Gambar 2.13 Gaya yang bekerja pada dinding lereng (A.W.Bishop,1955)

Gambar 2.14 Sketsa gaya yang bekerja pada satu sayatan (Zakaria, 2009)

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi yang


menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok
rentang Faktor Keamanan (F) ditinjau dari intensitas kelongsoranya
(Bowles, 1989), seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.12 halaman
46.
Tabel 2.12 Hubungan nilai faktor keamanan dengan intensitas longsoran (Bowles, 1989)
Nilai Faktor Keamanan Kejadian/Intensitas Longsor

F < 1,07 Longsor terjadi biasa/sering (lereng labil)

F antara 1,07-1,25 Longsor pernah terjadi (lereng kritis)

F > 1,25 Longsor jarang terjadi (lereng relatif stabil)

2.10.3 Cara Peningkatan Kestabilan Lereng


Pengelolaan lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi,
mencegah dan menanggulangi dampak negatif serta meningkatkan
dampak positif. Kajiannya didasarkan pada studi kelayakan teknik
atau studi geologi yang mencakup geologi teknik, mekanika tanah dan
hidrogeologi. Dengan demikian pendekatan dalam menangani lereng
rawan longsor selain didasarkan oleh hasil rekomendasi studi
kelayakan teknik atau studi geologi, juga didasarkan oleh pengelolaan
lingkungannya. Pengelolaan yang baik akan sangat mempengaruhi
kestabilan suatu lereng jika lereng memiliki resiko untuk terjadi
longsor, hal ini dapat kita ketahui dari kondisi batuan yang sudah
lapuk, tingkat ketinggian serta kemiringan lereng. Diharapkan
mengenai lereng rawan longsor dapat dikenal lebih jauh lagi sehingga
dapat mengantisipasi kekuatan dan keruntuhan suatu lereng.
Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi
penurunan kondisi fisik dan mekanik perlu diketahui pula. Pengaruh
kenaikan kadar air, peletakan beban, penanaman vegetasi dan kondisi
kegempaan/getaran terhadap tubuh lereng, merupakan kajian yang
paling baik untuk mengenal kondisi suatu lereng. Secara umum
pencegahan/penanggulangan lereng longsor adalah mencoba
mengendalikan faktor-faktor penyebab maupun pemicunya, meskipun
demikian, tidak semua faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan tetapi
dapat dikurangi. Beberapa cara pencegahan atau upaya stabilitas
lereng seperti Gambar 2.15, halaman 48 adalah sebagai berikut :
(1) Mengurangi beban di puncak lereng dengan cara :
Pemangkasan lereng, pemotongan lereng atau cut biasanya
digabungkan dengan pengisian/pengurugan atau fill di kaki
lereng, pembuatan undak-undak dan sebagainya
(2) Menambah beban di kaki lereng dengan cara :
 Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup
lama).
 Membuat dinding penahan (bisa dilakukan relatif cepat,
dinding penahan atau retaining wall harus didesain terlebih
dahulu)
 Membuat „bronjong‟, batu-batu bentuk menyudut diikatkan
dengan kawat, bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan
tahan lama dibandingkan dengan bentuk bulat, dan
sebagainya
(3) Mencegah lereng jenuh dengan airtanah atau mengurangi
kenaikan kadar airtanah di dalam tubuh lereng seperti Gambar
2.16, halaman 49. Kadar airtanah dan muka airtanah biasanya
meningkat pada musim hujan, pencegahan dengan cara :
 Membuat beberapa penyalir air (dari bambu atau pipa
paralon) di kemiringan lereng dekat ke kaki lereng.
Kegunaanya agar muka airtanah yang naik di dalam tubuh
lereng akan mengalir keluar, sehingga muka airtanah turun.
 Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak
lereng sehingga evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang
jatuh akan masuk ke tubuh lereng (infiltrasi). Infiltrasi
dikendalikan dengan cara tersebut.
 Penanaman rerumputan jika disertai dengan desain drainase
juga akan mengendalikan run-off.
 Memperbanyak saluran drainase dengan tujuan air tidak
terlalu lama menggenang pada tubuh lereng ang akan
berakibat pada meningkatnya beban lereng.
(4) Mengendalikan air permukaan dengan cara:
 Membuat desain drainase yang memadai sehingga air
permukaan dari puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar
dan infiltrasi berkurang.
 Penanaman vegetasi rerumputan juga mengurangi air larian
(run-off) sehingga erosi permukaan dapat dikurangi.
 Pembuatan parit di sepanjang bench lereng dengan tujuan
untuk mengurangi intensitas air yang masuk ke dalam tubuh
lereng
 Pembuatan tempat penampungan air yang berada pada
elevasi terendah.

Gambar 2.15 Upaya peningkatan kestabilan lereng (Zakaria, 2009)


Revegetasi Drainase

Dinding
Pipa penyaliran

Gambar 2.16 Tahapan penurunan muka air tanah (MAT) Zakaria, 2009
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian


Penelitian Tugas Akhir dilakukan dengan menggabungkan 3 metode, yaitu
metode studi pustaka, metode observasi lapangan dan metode analisis dari data
primer maupun data sekunder. Studi pustaka digunakan untuk mendapatkan
gambaran awal mengenai penelitian yang akan dilakukan dari penelitian terdahulu
yang bersumber pada buku, jurnal ataupun paper yang berkaitan dengan
penelitian. Observasi lapangan dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan
data yang diperlukan untuk keperluan analisis, sedangkan analisis merupakan
tahapan untuk mendapatkan hasil berupa nilai (value) dari parameter-parameter
yang didapatkan selama observasi sehingga dapat dikembangkan menjadi sebuah
laporan maupun rekomendasi.

3.2 Tahapan Penelitian


Tahapan dalam penelitian Tugas Akhir dibuat dengan tujuan agar
penelitian yang dilakukan dapat terstruktur dan terjadwalkan dengan baik,
sehingga data yang diperoleh dapat maksimal. Berikut ini tahapan penelitian yang
dilakukan.
1. Tahapan Pendahuluan
Kondisi lereng tambang yang tidak stabil, menimbulkan resiko terjadinya
kecelakaan yang dapat berakibat fatal dan merugikan pihak perusahaan,
maka dari itu diperlukan adanya analisis mengenai tingkat kestabilan
lereng untuk meminimalkan timbulnya kerugian ataupun korban jiwa pada
lokasi penambangan. Tahapan lanjutan setelah didapatkan rumusan
masalah adalah studi literatur. Literatur diambil dari buku, jurnal, dan
penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan
dilakukan.
2. Tahapan Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data
sekunder. Data primer didapatkan melalui observasi secara langsung di
lapangan, sedangkan data sekunder didapatkan dari uji laboratorium.
Observasi dilakukan pada Pit 7 West B site Binungan PT.BUMA, untuk
mendapatkan data mengenai jenis batuan, kondisi batuan, jarak kekar,
kondisi kekar, air tanah serta orientasi dari kekar.
3. Tahapan Analisis Data
Analisis dilakukan dengan mengolah data yang didapatkan menggunakan
software Autocad 7, Rocscience Slide 6, Minescape 4.1, Roclab,
Corel Draw X4, Ms. Office 7, Ms. Power Point 7 dan Ms.Excell 7. Berikut
tahapan dalam pengolahan data yang didapatkan :
a. Pembuatan Peta Lokasi Penelitian.
b. Pembuatan Penampang Lereng.
c. Pengolahan Data dari Sifat Mekanik Batuan.
d. Penentuan Nilai Kestabilan Lereng.
Setelah didapatkan permodelan penampang lereng tambang dari software
Rocscience Slide 6 dan nilai FoS didapatkan, maka dapat dilakukan
rekomendasi untuk meningkatkan nilai kestabilan lereng atau
mempertahankan model lereng tambang yang ada karena nilainya yang
sudah stabil/mantap yakni dengan acuan Nilai FK>1,25.
4. Tahapan Pembuatan Laporan
Laporan dibuat berdasarkan dari hasil analisis yang didapatkan. Hasil
analisis memberikan kesimpulan berupa kondisi lereng tambang apakah
stabil atau tidak stabil, jika lereng tambang tidak stabil maka diperlukan
suatu upaya untuk menstabilkan lereng dengan mengubah sudut lereng
atau melakukan pemompaan airtanah yang masih terperangkap dalam pori
batuan tempat lereng tersebut berada. Rekomendasi dilakukan sampai
didapatkan hasil yang diinginkan, yaitu kondisi lereng dalam keadaan
aman/safety.

3.3 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhir seperti pada
Tabel 3.1 di bawah ini:
Tabel 3.1 Alat dan bahan.
No Alat dan Bahan Kegunaan
1 Peralatan lapangan meliputi : a. Mengambil sampel batuan.
a. Palu Geologi b. Menentukan koordinat lokasi
b. GPS penelitian.
(Global Positioning System) c. Mengukur nilai strike/dip
c. Kompas Geologi “Brunton” perlapisan, mengukur
d. Meteran trend/plunge struktur garis dan
e. Alat Tulis, Clipboard, Peta menetukan arah utara.
Topografi d. Mengukur dimensi singkapan.
e. Memudahkan dalam mencatat
hasil yang didapatkan di
lapangan.

2 Safety Equipment, meliputi sepatu Melindungi diri dari


safety, helm, rompi pelindung, kemungkinan terjadinya
kacamata kecelakaan di lapangan, baik ke
badan, kaki, kepala, mata dan
bagian tubuh lainya.
Tabel 3.1 Lanjutan
No Alat dan Bahan Kegunaan
3 Software meliputi :
a. ArcGis a. Membuat peta lokasi penelitian.
b. Autocad b. Membuat desain lereng dari
c. Rocscience Slide 5 peta topografi lokasi penelitian.
d. Minescape c. Membuat permodelan lereng
e. Ms. Office Word 2007 dan analisis kestabilan lereng.
f. Ms. Office Excell 2007 d. Membuat permodelan lokasi
g. Ms. Office Power Point tambang.
2007 e. Membuat laporan.
h. PhotoScape f. Mengolah data angka dari uji
lab.
g. Membuat slide presentasi.
h. Mengolah foto yang didapatkan
dari lapangan.

3.4 Sumber Data


Penyusunan Tugas Akhir ini memerlukan sumber data yang dikelompokan
menjadi 2, seperti pada Tabel 3.2 dibawah :
Tabel 3.2 Sumber data.
Data Primer Data Sekunder
1) Kondisi batuan meliputi: jenis a. Peta geologi lembar
litologi, warna, tingkat pelapukan, muaralasan skala 1:250.000,
kekuatan, bentuk blok, ukuran blok Sukardi dkk (1995)
2) Kondisi diskontinuitas meliputi: dip/d b. Topografi Pit 7 West B
ip direction lereng, bentuk c. Data pemboran di lokasi
diskontinuitas, kekasaran, material penelitian.
pengisi, dan tebal bidang
diskontinuitas.
3) Jarak spasi kekar
4) Kondisi kekar
5) Orientasi Kekar
6) Kondisi Air Tanah
7) Orientasi lereng meliputi strike/dip
lapisan
3.5 Hipotesis
Berdasarkan dari tinjauan pustaka didapatkan hipotesis sebagai berikut :
1. Litologi penyusun di lokasi penelitian adalah batupasir, batulempung,
batubara dan batugamping dari 1 Formasi Latih (Tml).
2. Struktur geologi pada umumnya berupa kekar gerus dan kekar tarik (Peta
Geologi lembar Muaralasan, Sukardi dkk, 1995).
3. Tingkat kestabilan lereng tambang lebih dipengaruhi oleh struktur geologi
yang ada serta jenis litologinya.
4. Pelapukan batuan pada bagian atas dinding tambang lebih intensif yang
menyebabkan berkurangnya tingkat kestabilan lereng tambang.

3.6 Diagram Alir Penelitian


Penelitian Tugas Akhir ini memiliki tahapan pelaksanaan serta rincian data
yang dibutuhkan seperti pada Gambar 3.1 halaman 54.
Gambar 3.1 Diagram alir penelitian.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kestabilan lereng mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan proses
penambangan. Proses penambangan khususnya batubara dilakukan secara open
pit mining, dikarenakan batubara merupakan batuan sedimen yang penyebaranya
secara lateral sehingga lebih mudah untuk dilakukan penambangan terbuka
dibandingkan penambangan dengan sistem terowongan (tunnels). Kestabilan
lereng pada tambang terbuka baik single slope ataupun overall slope harus sesuai
dengan kriteria minimum stabilitas lereng, sesuai dengan kriteria Bowles (1989)
yang menyatakan bahwa lereng dengan nilai FK>1,25 berada dalam kondisi
aman. Penelitian ini dilakukan terhadap lereng lowwall dan highwall pada Pit 7
West B berdasarkan pada kontur aktual dan desain terbaru penambangan. Total 6
buah sayatan dibuat dari arah barat laut-tenggara, sehingga diharapkan dapat
memberikan hasil yang maksimal terhadap kondisi lereng pada lokasi penelitian.
4.1 Kondisi Geologi Pit 7 West B
Penelitian dilakukan di wilayah operasional penambangan PT.BUMA Site
Binungan tepatnya berada di Desa Sambaliung, Kecamatan Tanjung Redeb,
Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Daerah ini dalam peta geologi
masuk kedalam lembar muaralasan, Kalimantan Timur dan termasuk dalam
Formasi Latih (Tml) dengan litologi penyusun terdiri dari batupasir kuarsa,
batulempung, batulanau, batubara, serpih pasiran dan batugamping di bagian
bawah. Lokasi penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 4.1-4.3 halaman 56-
57. Morfologi di daerah ini berupa rawa yang tersusun atas crest (tinggian) dan
through (lembah) dengan elevasi terendah -20 mdpl dan tertinggi 40 mdpl
(berdasarkan pada kontur topografi aktual week 53 tahun 2016). Struktur geologi
primer berupa perlapisan batubara, batupasir dan batulempung yang telah
mengalami deformasi, sedangkan untuk struktur geologi sekunder didominasi
oleh kekar tarik dan kekar gerus.
Penelitian dilakukan pada sisi dinding barat dan timur dari Pit 7 West B yang
mencakup area lowwall dan highwall Gambar 4.4 halaman 57. Pada area lowwall
perlapisan batubara dan batulempung memiliki nilai strike/dip
N 2280 E/510 dan N 2200 E/480 sesuai dengan peta geologi Gambar 4.5 halaman
58.

Gambar 4.1 Sisi selatan Pit 7 West B (PT.BUMA Site Binungan)

Gambar 4.2 Sisi utara Pit 7 West B (PT.BUMA Site Binungan)


Gambar 4.3 Kenampakan Pit 7 West B dari puncak sidewall

Gambar 4.4 Peta lokasi Pit 7 West B


Gambar 4.5 Peta geologi Pit 7 West B
4.1.1 Litologi
Pada lokasi penelitian di Pit 7 West B ditemukan batuan penyusun
terdiri dari batubara, batupasir kuarsa dan batulempung. Dengan
kondisi fresh sampai distinctly weathered. Kontak antara batulempung
dengan batubara memiliki stike/dip N 2280 E/510, seperti pada Gambar
4.6.

Coal

Batulempung

Gambar 4.6 Kontak batubara seam X dengan batulempung


Batubara yang ditemukan memiliki struktur massif dengan kekar
yang berbentuk blocky. Kekar terisi oleh material amber yang
berasal dari getah pohon dikotil yang ikut tersedimentasikan pada
waktu jutaan tahun yang lalu, sehingga mengalami diagenesis dan
terjadi proses pengkayaan unsur karbon, material yang tadinya
liquid yang berupa resin/getah ikut mengalami konsolidasi atau
pemadaatan yang mengisi material rekahan pada batubara, seperti
pada Gambar 4.7.

Amber

Gambar 4.7 Batubara seam X dengan sisipan amber

Batulempung dengan struktur massif dan nodul berupa batupasir


(inklusi pasir di dalam batulempung) dengan karakteristik warna
abu-abu, ukuran butir <1/256 mm, bentuk butir well rounded,
sortasi very well sorted dan kemas tertutup seperti pada Gambar
4.8 halaman 60. Batulempung terendapkan di lingkungan yang
berarus tenang, pada umumnya endapan batulempung dengan
ketebalan >5 meter terendapakan di daerah delta atau muara
sungai selain itu dapat juga terendapkan di continental shelf dan
continental slope dengan karakteristik yang berbeda jika
dibandingkan dengan endapan batulempung pada daerah sungai.
Komponen karbonat akan lebih banyak pada batulempung yang
terendapkan di kawasan marine/laut.
Batupasir dengan karakteristik wana putih pucat-kuning
kecoklatan, struktur massif dan shear fracture, ukuran butir dari
berbutir halus-kasar (1/8-1 mm), bentuk butir well rounded,
sortasi very well sorted dan kemas tertutup, kenampakanya seperti
pada Gambar 4.9.

Nodul

Gambar 4.8 Batulempung di sebelah tenggara seam x dengan keterdapatan nodul

Shear Fracture

Gambar 4.9 Batupasir diantara seam X1 dan X5 dengan kenampakan kekar gerus
Berdasarkan pada kontak antar lapisan yang terjadi, dapat diketahui
umur relatifnya. Batulempung berumur lebih tua dibandingkan dengan
batubara, kemudian di bagian atas tebing lowwall dan highwall
dijumpai batupasir yang telah mengalami distinctly weathered sampai
extremely weathered. Kenampakan lereng sisi timur merupakan sisi
lowwall dari Pit 7 West B seperti pada Gambar 4.10 di bawah,
sedangkan lereng sisi barat merupakan bagian highwall Pit 7 West B
seperti pada Gambar 4.11 halaman 62. Pada bagian bawah tebing
terdapat material longsoran hasil dari proses pelapukan. Proses
pelapukan berlangsung intensif diakibatkan oleh kondisi geografi
Kalimantan yang dilewati oleh garis khatulistiwa sehingga pelapukan
fisik lebih dominan terjadi. Air hujan melarutkan unsur-unsur mineral
yang tidak resisten menyebabkan terjadinya oksidasi pada batuan,
mineral hornblende ataupun biotit yang kaya akan unsur Fe membentuk
oksida besi (FeO2) yang terlihat seperti karat pada batuan, serta
menimbulkan bau logam pada batuan.

Gambar 4.10 Kondisi lereng extremely weathered sisi timur Pit 7 West B
N

sandstone

Coal

Gambar 4.11 Kenampakan lereng distinctly weathered sisi barat Pit West B

4.1.2 Struktur Geologi


Struktur geologi memiliki pengaruh yang besar terhadap kestabilan
suatu lereng. Keberadaan struktur geologi menurunkan nilai kestabilan
lereng. Berdasarkan proses pembentukanya struktur geologi dapat
dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Struktur Geologi Primer
Struktur geologi primer yang ditemukan berupa perlapisan, wavy
ripple, parallel laminasi, nodul dan normal graded bedding.
Perlapisan adalah struktur sedimen yang terbentuk dari kontak antara
2 batuan atau lebih yang berbeda dengan tebal >1 cm seperti yang
terlihat pada Gambar 4.12 halaman 63. Wavy ripple terbentuk karena
perubahan arah arus pada waktu sedimentasi seperti pada Gambar
4.13 halaman 63 dan laminasi adalah perlapisan yang terbentuk dari
kontak antar batuan ataupun masih dalam satu jenis batuan yang
tebalnya <1 cm seperti pada Gambar 4.14 halaman 64, terbentuk
ketika pengendapan material sedimen berlangsung secara lambat
dalam arus yang tenang. Nodul adalah material batupasir didalam
batulempung seperti pada Gambar 4.15 halaman 64, dan normal
gradded bedding adalah lapisan yang terbentuk dari pemilahan
material pada waktu pengendapan yang berukuran kasar ke halus
atau sebaliknya seperti Gambar 4.16 halaman 64.

Gambar 4.12 Struktur perlapisan batubara, batulempung dan batupasir pada sidewall di sebelah
tenggara lokasi penelitian

Gambar 4.13 Struktur wavy ripple pada batupasir antara seam X dan X1
Gambar 4.14 Struktur paralel laminasi pada batupasir yang berada di antara seam X dan X1

Gambar 4.15 Struktur nodul pada batulempung diantara seam X1 dan X5 lereng highwall

Gambar 4.16 Struktur normal graded bedding antara seam X1 dan X5


b. Struktur Geologi Sekunder
Pada lokasi Pit 7 West B dijumpai geologi sekunder berupa kekar
tarik, kekar gerus, convolute dan mudcrack dengan jarak spasi
rekahan untuk kekar tarik sebesar 5 cm dan panjang mencapai 15 cm
dengan nilai plunge/trend 670/N3350E, sedangkan pada batupasir
yang telah mengalami extremely weathered didapatkan nilai
plunge/trend 840/N890E, 700/N3300E, 800/N890E, 670/N3330E,
750/N510E, 750/3350E, 900/N150E, 720/N3280E, seperti pada Gambar
4.17.

Kekar

Kekar tarik

Gambar 4.17 Struktur kekar tarik dan kekar gerus

Struktur convolute merupakan struktur yang terbentuk akibat adanya


aktivitas tektonik serta pengaruh gravitasi bumi sehingga massa air
yang terkandung di dalam material sedimen tiba-tiba menghilang
atau berpindah tempat seperti yang terlihat pada Gambar 4.18
halaman 66.
Gambar 4.18 Struktur convolute pada batupasir yang berada diantara seam X dan X1

Pada batulempung memiliki nilai porositas tinggi, namun


permeabilitasnya rendah, sehingga batulempung dapat
menyimpan air tetapi tidak dapat mengalirkanya. Batulempung
dalam kondisi jenuh air memiliki berat jenis yang lebih besar
dibandingkan dengan batulempung dalam kondisi kering. Ketika
terjadi pelepasan kadar air dari batulempung akibat proses
pemanasan secara langsung oleh cahaya matahari, mengakibatkan
struktur ikatan pada batulempung menjadi tidak stabil dan
menimbulkan retakan yang berpola, struktur inilah yang dikenal
sebagai mudcrack, seperti yang terlihat pada Gambar 4.19
halaman 67. Mudcrack merupakan struktur penciri top (lapisan
atas) suatu batuan, karena struktur ini hanya dapat terbentuk pada
bagian atas suatu batuan, berbeda dengan batupasir yang relatif
memiliki porositas dan permeabilitas yang lebih baik jika
dibandingkan dengan batulempung. Batupasir yang telah
mengalami extremely weathered mengakibatkan ikatan antar
komponen penyusunya menjadi tidak stabil seperti Gambar 4.20
halaman 67. Kondisi seperti inilah yang berpotensi memicu
terjadinya suatu longsoran.
N

Gambar 4.19 Mudcrack pada bench di lereng lowwall

Gambar 4.20 Rekahan 1-4 cm pada batulempung extremely weathered

Morfologi dinding lereng dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti


curah hujan, intensitas cahaya matahari ataupun karena
penggalian yang dilakukan selama penambangan berlangsung.
Pembentukan bidang erosional diakibatkan oleh air permukaan
yang berasal dari air hujan mengerosi material yang menjadi
bidang perlintasanya mengakibatkan bentukan concave dan
convec yang memiliki pola tertentu, kenampakan bidang erosional
seperti pada Gambar 4.21 halaman 68.
N

Gambar 4.21 Bidang erosional pada tebing batupasir sisipan batubara

4.1.3 Unit Stratigrafi


Stratigrafi adalah pemerian urutan tingkat batuan yang berumur tua ke
muda dalam suatu formasi batuan. Stratigrafi dibedakan menjadi 3 yaitu
kronostratigrafi, litostratigrafi dan biostratigrafi. Dalam penelitian ini
pembuatan unit stratigrafi (measuring stratigraphy) dengan
menggunakan prinsip litostratigrafi. Prinsip ini meletakan unit batuan
berdasarkan urutan kejadian pembentukan, batuan yang berumur lebih
muda berada di atas batuan yang lebih tua. Hasil penampang measuring
stratigraphy adalah sebagai berikut, sesuai Gambar 4.22-4.24 halaman
69-71. Berdasarkan pada penampang stratigrafi tersebut, dapat
dilakukan interpretasi mengenai fasies lingkungan pengendapan dan
transport energy selama proses transportasi hingga kompaksi.
Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada bottom dan top
dari penampang stratigrafi, kemudian adanya struktur sedimen dapat
digunakan untuk menentukan energi pengendapan.
Gambar 4.22 Kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B
Gambar 4.23 Lanjutan 1 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B
Gambar 4.24 Lanjutan 2 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B

Stratigrafi tersusun atas batulempung, batupasir kuarsa dan batubara


dengan ketebalan dominan batulempung dan batupasir. Struktur sedimen
bervariasi yaitu perlapisan, parallel laminasi, normal graded bedding,
wavy ripple, convolute dan nodul. Pada bagian atas lapisan terdapat
bekas endapan rawa yang membentuk crest (bukit) and through
(lembah), yang sebagian besar telah mengalami pelapukan dan telah
menjadi soil. Berdasarkan pada model stratigrafi Nichols (2009) pada
Gambar 4.25 halaman 72, dapat diinterpretasikan lingkungan
pengendapan batuan pada Pit 7 West B ini berada di lingkungan rawa
(shallow lake) atau lacustrine.
Gambar 4.25 Sekuen stratigrafi sedimen klastik pada endapan danau air tawar dan lakustrin
(Nichols, 2009)

4.2 Data Pemboran Geologi


Berdasarkan pada hasil pemboran dapat diketahui bahwa sumur bor 1 yang
berada pada koordinat 538372 E, 220436 N terdiri atas satuan litologi dari
yang tua ke muda berupa batulempung, batulempung pasiran, batupasir dan
batubara. Tingkat pelapukan untuk batulempung termasuk dalam kategori FR
(fresh rock)/batuan segar, sedangkan untuk batulempung pasiran berada pada
tingkat pelapukan FR-DW (Distinctly Weathered)/lapuk tegas, dan untuk
batupasir berada pada kategori FR-DW-RS (tanah residu), serta batubara
dalam tingkat FR. Tingkat kekuatan batuan berada pada level low (rendah)
dengan kisaran GSI untuk batulempung antara 35-60, batulempung pasiran
antara 55-60, batupasir antara 15-60 dan batubara antara 40-50 (Lampiran
1.1-1.2).
Pada sumur bor 2 yang berada pada koordinat 538350 E, 220466 N terdiri
atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batulanau, batubara,
batulempung dan batupasir. Tingkat pelapukan untuk batulanau berada pada
kategori DW-SW(slightly weathered)/lapuk samar, sedangkan untuk batubara
berada pada kategori FR, serta batulempung berada pada kategori FR-SW
-DW dan batupasir berada pada tingkat FR-SW. Tingkat kekuatan batuan
untuk batulanau berada pada level VL (sangat rendah)-L (rendah), batubara
berada pada level L, batulempung berada pada level VL-L-M (sedang),
dengan kisaran GSI untuk batulanau antara 25-35, batubara 40-50,
batulempung 35-60 dan batupasir 25-60 (Lampiran 1.3-1.4).
Pada sumur bor 3 yang berada pada koordinat 538312 E, 220487 N terdiri
atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batulempung, batupasir,
batulempung pasiran, batubara dan betulempung lanauan. Tingkat pelapukan
untuk batulempung dan batupasir berada pada kategori FR-SW, batubara
pada tingkat FR dan batulempung lanauan berada pada DW-RS. Tingkat
kekuatan batuan untuk batulempung dan batupasir berada pada level VL-L,
batulempung pasiran pada level VL, batubara pada level VL dan batulempung
lanauan berada pada level VL, dengan kisaran GSI untuk batulempung antara
25-66, batupasir antara 20-77, batulempung pasiran antara 60-66, batubara
antara 40-50 (Lampiran 1.5-1.6).
Pada sumur bor 4 yang berada pada koordinat 538278 E, 220524 N terdiri
atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batupasir, batulempung,
batulempung pasiran dan batupasir lempungan. Tingkat pelapukan untuk
batupasir pada kategori FR-SW-DW-XW(sangat lapuk), batulempung pada
kategori FR-SW, batulempung pasiran antara FR-DW dan batupasir
lempungan antara XW-RS. Tingkat kekuatan batuan untuk batupasir berada
pada level VL-L, batulempung dan batulempung pasiran pada level L, dengan
kisaran GSI untuk batupasir antara 25-77, batulempung antara 55-60,
batulempung pasiran antara 45-60 dan batupasir lempungan antara 25-30
(Lampiran 1.7-1.8).
Pada sumur bor 5 yang berada pada koordinat 538204 E, 220589 N terdiri
atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batupasir, batulempung, dan
batulanau. Tingkat pelapukan untuk batupasir dan batulempung berada pada
kategori FR-SW-DW, dan batulanau antara DW-RS. Tingkat kekuatan batuan
untuk batupasir dan batulempung berada pada level VL-M, batulanau berada
pada level VL, dengan kisaran GSI untuk batupasir antara 35-65,
batulempung antara 35-60 dan batulanau antara 30-40 (Lampiran 1.9-1.10).
Pada sumur bor 6 yang berada pada koordinat 538166 E, 220625 N terdiri
atas satuan litologi batulempung, batupasir, batubara dan batulanau. Tingkat
pelapukan untuk batulempung berada pada kategori FR-SW-DW, batupasir
pada kategori FR-SW, batubara pada kategori FR dan batulanau pada kategori
XW-RS. Tingkat kekuatan untuk batulempung antara VL-L, batupasir dan
batulanau berada pada level L, batubara pada level VL, dengan kisaran GSI
untuk batulempung antara 35-66, batupasir antara 50-66, batubara antara 40-
50 dan batulanau antara 35-40 (Lampiran 1.11-1.12).
Berdasarkan pada 6 sumur pengeboran dapat disimpulkan mengenai
kisaran nilai GSI, kekuatan batuan dan tingkat pelapukan sampai pada
kedalaman 55 m seperti pada Tabel 4.1 halaman 75. Litologi batulempung
memiliki nilai GSI pada rentang 25-66, batupasir memiliki nilai GSI pada
rentang 20-77 dan batubara pada rentang 25-50. Kekuatan batuan untuk
batulempung berada antara M (sedang, 0,3-1 MPa)-VL (sangat rendah, 0,03
-0,1 MPa), untuk batupasir berada antara M (sedang, 0,3-1 MPa)-EL (rendah
sekali, <0,03) dan batubara antara L (rendah, 0,1-0,3 MPa)-VL (sangat
rendah, 0,03-0,1 MPa).
Tabel 4.1 Tingkat pelapukan terhadap kedalaman
No Kedalaman Tingkat Pelapukan
1 0-5 m RS (Tanah residu)-SW (Lapuk samar)
2 5-10 m SW (Lapuk samar)-DW (Lapuk tegas)
3 10-20 m DW (Lapuk tegas)-SW (Lapuk samar )-FR
(Batuan segar)
4 20-55 m SW (Lapuk samar)- FR (Batuan segar)

4.3 Pemetaan Geoteknik (Window Mapping Method)


Pemetaan geoteknik dilakukan pada Pit 7 West B sepanjang pelamparan
batuan dan dibagi menjadi 4 STA, pada masing-masing STA dilakukan
pendeskripsian terhadap massa batuan, dan bidang diskontinuitas. Pada STA
1 yang terletak pada koordinat 538525 E, 220690 N ditemukan litologi
penyusun lereng lowwall berupa batulempung, batupasir dan batubara di
bagian bawah. Batubara yang ditemukan merupakan batubara seam X dengan
kenampakan warna hitam, kilap cemerlang, cerat berwarna hitam, pecahan
berbentuk kubus dan sebagian tidak beraturan, tingkat kekerasan sangat
tinggi, cleat terisi oleh material amber, tingkat pelapukan termasuk ke dalam
FR (batuan segar) dan ukuran blok ±270 m 3, besarnya nilai GSI adalah 50.
Pada bagian bawah dari seam X ditemukan batulempung dengan karakteristik
warna abu-abu, kilap lempung, struktur laminasi, tingkat pelapukan termasuk
ke dalam DW (lapuk tegas), kekuatan batuan sedang, bentuk kubus dan
ukuran blok ±480 m3, besarnya nilai GSI adalah 60, kemudian di bagian
bawah batulempung ditemukan batupasir dengan karakteristik warna
kecoklatan, ukuran butir pasir halus (1/2-1mm), bentuk butir well rounded,
sortasi baik, kemas tertutup, struktur massif, tingkat pelapukan termasuk ke
dalam XW (lapuk sekali) pada bagian atas sedangkan pada bagian bawah
masih termasuk ke dalam DW. Tingkat kekuatan rendah dengan bentuk blok
tidak beraturan, ukuran blok ±270 m3, besarnya nilai GSI adalah 55. Pada
bagian bawah batupasir ditemukan litologi berupa batulempung dengan
karakteristik warna abu-abu, kilap lempung, struktur nodul, tingkat pelapukan
termasuk ke dalam DW (lapuk tegas) dan kekuatan batuan rendah, sedangkan
bentuk blok tidak beraturan dengan ukuran ±450 m 3, besarnya nilai GSI
adalah 25, kemudian pada bagian atas lereng lowwall ditemukan tanah
dengan karakteristik warna coklat kemerahan yang diperkirakan merupakan
hasil dari pelapukan batupasir yang termasuk ke dalam RS (tanah residu)
dengan tingkat kekuatan batuan sangat rendah, bentuk blok tidak beraturan,
ukuran blok ±300 m3, besarnya nilai GSI adalah 5. Ketidakselarasan yang
ditemukan berupa kekar gerus dengan plunge/trend 870/N1250E, panjang
kekar 17-25 cm dengan lebar kekar 1 cm, bentuk blok batuan berupa kubus
dan memiliki tingkat kekasaran 8 (ISRM), (Lampiran 2.1).
Pada STA 2 yang terletak pada koordinat 538518 E, 220687 N yang
berada pada kaki lereng ditemukan litologi berupa batulempung dengan
karakteristik warna abu-abu kehijauan, kilap lempung, struktur laminasi
dengan tingkat pelapukan DW (lapuk tegas) dan kekuatan batuan tinggi,
bentuk blok tidak beraturan dengan ukuran ±420 m3, besarnya nilai GSI
adalah 40, bergerak kearah barat laut ditemukan litologi yang berumur lebih
muda berupa batupasir dengan karakteristik warna putih kecoklatan, ukuran
butir pasir halus (1/4-1/2 mm), sortasi baik, kemas tertutup struktur massif,
laminasi, wavy ripple. Tingkat pelapukan termasuk ke dalam DW, kekuatan
batuan sedang dengan bentuk blok tidak beraturan dan ukuran ±510 m 3,
besarnya nilai GSI adalah 25, selanjutnya ke arah barat laut ditemukan
litologi berupa batulempung dengan karakteristik warna abu-abu, kilap
lempung, struktur laminasi, tingkat pelapukan termasuk DW, dan kekuatan
batuan rendah. Bentuk blok tidak beraturan dengan ukuran blok ±526 m 3,
besarnya nilai GSI adalah 40, kemudian ditemukan batupasir dengan
karakteristik warna abu-abu, ukuran butir pasir halus (1/4-1/2mm), struktur
massif, laminasi dan convolute, tingkat pelapukan antara XW-DW dengan
kekuatan batuan rendah, bentuk blok tidak beraturan, ukuran blok ±560 m 3,
besarnya nilai GSI adalah 25, selanjutnya ditemukan batulempung dengan
karakteristik warna abu-abu, kilap lempung, struktur massif, tingkat
pelapukan DW dan kekuatan batuan sedang, bentuk blok tidak beraturan
dengan ukuran ±425 m3, besarnya GSI adalah 40 (Lampiran 2.2).
Pada STA 3 yang terletak pada koordinat 538393 E, 220626 N yang
berada pada kaki lereng, ditemukan litologi berupa batubara seam X1 dengan
karakteristik warna kehitaman, kilap kusam, cerat berwarna hitam, pecahan
berbentuk kubus dengan tingkat pelapukan termasuk ke dalam FR (batuan
segar) dan kekuatan batuan tinggi, bentuk blok kubus dengan ukuran ±434
m3, besarnya nilai GSI adalah 50. Ditemukan juga batupasir dengan
karakteristik warna putih pucat, ukuran pasir sedang (1/4-1/2 mm) dengan
struktur normal graded bedding, tingkat pelapukan termasuk DW (lapuk
tegas) dan tingkat kekuatan batuan sedang, bentuk blok kubus dan sebagian
tidak beraturan dengan ukuran blok ±1505 m3, besarnya nilai GSI adalah 25,
kearah barat laut ditemukan batulempung dengan karakteristik warna abu
-abu, kilap lempung, tingkat pelapukan termasuk FR (batuan segar) dengan
kekuatan batuan sangat tinggi, bentuk blok berupa kubus dengan ukuran
±2460 m3, besarnya nilai GSI adalah 40, selanjutnya ditemukan batupasir
dengan karakteristik warna kecoklatan, ukuran butir pasir sedang (1/4-1/2
mm) yang termasuk ke dalam FR (batuan segar) dengan tingkat kekuatan
sedang, bentuk blok berupa kubus dengan ukuran ±2730 m3, besarnya nilai
GSI adalah 30, serta ditemukan batulempung dengan warna abu-abu,
termasuk dalam DW (distinctly weathered) dengan tingkat kekuatan batuan
sedang, bentuk blok kubus dan memiliki ukuran ±2550 m3, besarnya nilai
GSI adalah 30. Bidang diskontinuitas yang ditemukan berupa kekar dengan
plunge/trend 840/N890E, 800/N890E, 750/N510E, 900/N150E, panjang kekar
antara 10-50 cm, jarak kekar antara 1-2 cm, dan bentuk dari bergelombang
-putus-putus untuk tingkat kekasaran pada range 1 dan 5 (ISRM), (Lampiran
2.3).
Pada STA 4 yang terletak pada koordinat 538475 E, 220790 N
ditemukan litologi berupa batubara seam X5 dengan karakteristik warna
hitam, cerat hitam, kilap kusam, pecahan tidak beraturan, termasuk ke dalam
FR (batuan segar) dengan tingkat kekuatan tinggi, bentuk blok berupa kubus
dengan ukuran ±240 m3, besarnya nilai GSI adalah 50, selanjutnya ditemukan
batupasir dengan karakteristik warna putih pucat-kecoklatan, termasuk ke
dalam DW (lapuk tegas), tingkat kekuatan rendah, bentuk blok kubus dengan
ukuran ±1200 m3,besarnya GSI adalah 20 (Lampiran 2.4).
4.3.1 Peta Geologi Teknik
Data yang didapatkan dari pemetaan geoteknik kemudian disusun menjadi peta
geoteknik seperti pada Gambar 4.26 di bawah.

Gambar 4.26 Peta geologi teknik Pit 7 West B

4.4 Penampang Lereng Pit 7 West B


Penelitian dilakukan pada lereng lowwall dan highwall tambang batubara
Pit 7 West B. Total 6 sayatan berarah baratlaut-tenggara dibuat untuk
memudahkan dalam melakukan analisis kestabilan lereng, dengan sayatan
tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi aktual pada lereng tersebut.
Geometri penampang seperti pada Tabel 4.2 halaman 79.
Permodelan penampang pada Gambar 4.27,4.29,4.31 pada halaman 79-81
dibuat berdasarkan pada kontur aktual week 53 tahun 2016, yang
merepresentasikan kondisi Pit 7 West B saat ini. Dalam proses eksploitasi
selanjutnya, pada tahun 2017 ini direncanakan pembuatan desain tambang
terbaru untuk mengoptimalkan hasil penambangan batubara. Desain tambang
ini memiliki elevasi terendah (RL) -30 mdpl dan elevasi tertinggi 38 mdpl,
seperti pada Gambar 4.28,4.30 dan 4.32 halaman 80-82.
Tabel 4.2 Geometri lereng Pit 7 West B.
Section Bench Width Single Slope Single Slope Overall Overall
(m) Heigh (m) Angle (0) Height (m) Slope Angle
(0)
A-A‟ 10,7 20 30 98 48
B-B‟ 11,1 8 50 70 41
C-C‟ 12,4 14,7 48 94 48,5
D-D‟ 9,5 11 47 71,7 49,7
E-E‟ 22,2 17 47 84 44,2
F-F‟ 13,2 17,5 56 92 50,6

Gambar 4.27 Penampang aktual sayatan A-A‟ dan B-B‟

Gambar 4.28 Penampang desain tambang tahun 2017 sayatan A-A‟ dan B-B‟
Gambar 4.29 Penampang aktual sayatan C-C‟ dan D-D‟

Gambar 4.30 Penampang desain tambang tahun 2017 sayatan C-C‟ dan D-D‟
Gambar 4.31 Penampang aktual sayatan E-E‟ dan F-F‟

Gambar 4.32 Penampang desain tambang tahun 2017 sayatan E-E‟ dan F-F‟

4.5 Analisis Kestabilan Lereng


Analisis kestabilan lereng merupakan suatu tindakan untuk mengetahui
tingkat kestabilan suatu lereng. Serangkaian data diperlukan meliputi litologi
penyusun kawasan lereng, nilai unit weight/density, kohesi dan nilai sudut
geser dalam (phi), selain itu profil bagian atas penampang menyesuaikan dari
kontur topografi aktual yang melewati sayatan. Pada penelitian ini dilakukan
juga analisis terhadap rencana desain tambang yang akan dilakukan pada
tahun 2017, sehingga dihasilkan 2 analisis kestabilan lereng yaitu analisis
kondisi aktual lereng dan analisis rancangan desain tambang tahun 2017.
Analisis dilakukan dengan membuat 6 sayatan di sepanjang area
penambangan Pit 7 West B berarah barat-timur.
4.5.1 Sayatan A-A’

A
A

Gambar 4.33 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan A-A‟ sisi highwall

Sayatan A-A‟ memiliki panjang 354 meter yang membentang dari


barat laut ke tenggara pada peta. Dengan sayatan yang dibuat
didapatkan morfologi kontur aktual sehingga dapat dibuat permodelan
lereng seperti pada Gambar 4.33 halaman 82. Permodelan lereng dibuat
dan dianalisis menggunakan software Minescape, Autocad 7, dan
Rocscience Slide 6. Elevasi di titik A adalah 28 mdpl dan elevasi di titik
A‟ adalah 46 mdpl dengan tinggi maksimal lereng adalah 98 m yang
dihitung dari elevasi -50 mdpl. Seismic load menunjukan pengaruh
gelombang gempa yang dihasilkan dari proses blasting yang
mengakibatkan getaran gelombang kearah horisontal maupun vertical
sebesar 0,02 g. Sudut yang dibentuk antara perlapisan batupasir,
batulempung dan batubara memiliki dip antara 450-500 dengan arah
strike N 2150 E, secara umur relatif dapat diketahui dari penampang
lereng, bahwa batupasir berumur lebih tua dari batulempung dan
batulempung berumur lebih tua dari batubara.
Analisis kestabilan lereng dilakukan dengan metode bishop karena
metode ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode
lainya, diantaranya perhitungan yang sederhana, cepat dan memberikan
hasil perhitungan faktor keamanan yang cukup teliti. Pada analisis ini,
menggunakan total 20 slice. Nilai material properties didapatkan dari
hasil uji laboratorium, setelah dilakukan input terhadap parameter
densitas, kohesi dan sudut geser dalam didapatkan hasil kestabilan
lereng minimal dinding highwall sayatan A-A‟ sebesar 3,1 yang
menyatakan bahwa lereng dalam kondisi aman sesuai dengan kriteria
dari Bowles, 1989.

A
A

Gambar 4.34 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan A-A‟

Desain pada Gambar 4.34 di atas memiliki panjang 354 m dengan


elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 65 m dan
sisi lowwall 76 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 500.
Batubara yang masuk ke dalam area ini adalah seam X dan X1 dengan
tebal masing-masing 4 m dan 3 m.
Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,9 yang
menyatakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam
proses penambangan (Bowles,1989).

A
A

Gambar 4.35 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan A-A‟ sisi lowwall
Analisis kestabilan lereng sisi lowwall seperti pada Gambar 4.35 di atas,
memiliki nilai FK 1,5 yang menandakan bahwa lereng ini aman
(stable). Nilai FK terendah berada pada lapisan soil, sehingga upaya
untuk meningkatkan nilai stabilitas lereng dapat dilakukan dengan
menghilangkan lapisan soil dengan tebal sekitar 2-8 m, karena soil
memiliki sifat menampung air sehingga ikatan antar partikel pada soil
akan menurun seiring bertambahnya volume air yang masuk. Kekuatan
gesernya pun akan menurun, sehingga dapat memicu terjadinya
longsoran. Perlakuan lain yang dapat diterapkan adalah dengan
merapikan bench dan lereng lowwall, melakukan pengeboran pada sisi
lowwall secara tegak lurus untuk mengeluarkan air yang tersimpan
dalam formasi batuan terutama pada batupasir karena batuan ini
memiliki nilai porositas dan permeabilitas yang cukup baik, sehingga
akan berpengaruh pada stabilitas dinding lereng, pembuatan parit pada
bench juga akan memberikan dampak positif sehingga air hujan akan
mengalir melalui parit dan penyerapan air oleh batuan pada dinding
semakin berkurang. Desain lowwall pada Gambar 4.36 memiliki 3
slope dan 2 bench dengan kemiringan 470, dari hasil analisis
didapatkan nilai FK 1,9 yang menandakan bahwa desain ini aman untuk
digunakan (Bowles, 1989)

A
A

Gambar 4.36 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan A-A‟


Gambar 4.37 Grafik FK kondisi aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan A-A‟

Berdasarkan pada grafik yang ditunjukan oleh Gambar 4.37 di atas


dapat diketahui bahwa nilai FK mengalami kenaikan sampai jarak 135
m kemudian mengalami kenaikan secara signifikan mulai 146 m sampai
jarak 155 m dan mengalami penurunan kembali sampai jarak 160 m,
naik kembali sampai jarak 170 m dan turun secara drastis sampai pada
jarak 180 m.

2. Sayatan B-B’

B B

Gambar 4.38 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan B-B‟ sisi highwall

Sayatan B-B‟ seperti pada Gambar 4.38 memiliki panjang 354


meter yang membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Elevasi
di titik B adalah 21,1 mdpl dan elevasi di titik B‟ adalah 19
mdpl dengan tinggi maksimal lereng adalah 71 m yang dihitung dari
elevasi - 50 mdpl. Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding
highwall
sayatan B-B‟ sebesar 2,6 yang menandakan bahwa lereng dalam kondisi
aman (Bowles,1989)

B
B’

Gambar 4.39 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan B-B‟

Desain pada Gambar 4.39 di atas memiliki panjang 354 m dengan


elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 70 m dan
sisi lowwall 63 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520.
Batubara yang masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5
dengan tebal masing-masing 4 m, 3 m, 2 m.
Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,7 yang
menyatakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam
proses penambangan (Bowles, 1989). Analisis kestabilan lereng untuk
sisi lowwall seperti pada Gambar 4.40 memiliki nilai FK 3,8 yang
menandakan bahwa lereng ini aman (stable) sesuai kriteria Bowles
(1989).

BB

Gambar 4.40 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan B-B‟ sisi lowwall
B B’

Gambar 4.41 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan B-B‟

Desain lowwall pada Gambar 4.41 memiliki 2 slope dan 1 bench


dengan kemiringan 460. Dari hasil analisis didapatkan nilai FK 2,1 yang
menandakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989).

Gambar 4.42 Grafik FK kondisi aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan B-B‟

Berdasarkan pada Gambar 4.42 di atas dapat diketahui bahwa nilai FK


mengalami kenaikan secara signifikan dari jarak 126 m sampai jarak
150 m, kemudian mengalami penurunan sampai jarak 172 m. Naik
turunya nilai FK dipengaruhi tinggi lereng, sudut lereng, elevasi dan
litologi yang ada. Semakin tinggi lereng nilai FK akan semakin kecil
dan litologi dengan densitas lebih besar berpengaruh menurunkan nilai
kestabilan lereng begitu pula dengan sudut lereng, semakin kecil sudut
kelerengan (lereng landai) lereng akan cenderung lebih stabil.
3. Sayatan C-C’

C C

Gambar 4.43 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan C-C‟ sisi highwall

Sayatan C-C‟ Gambar 4.43 memiliki panjang 354 meter yang


membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Elevasi di titik C
adalah 36 mdpl dan elevasi di titik C‟ adalah 39 mdpl dengan tinggi
maksimal lereng adalah 94 m yang dihitung dari elevasi -50 mdpl.
Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding highwall sayatan
C-C‟ sebesar 2,7 yang menyatakan bahwa lereng dalam kondisi aman
sesuai dengan kriteria dari Bowles (1989).

CC

Gambar 4.44 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan C-C‟

Desain pada Gambar 4.44 di atas memiliki panjang 354 m dengan


elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 82 m dan
sisi lowwall 82 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520.
Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir,
batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara, batupasir
dengan batulempung memiliki strike/dip N 2220 E/ 460. Batubara yang
masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal
masing-masing 4 m, 3 m, 2 m.
Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,4 yang
menyatakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam
proses penambangan (Bowles,1989). Analisis lereng untuk sisi lowwall
seperti pada Gambar 4.45 di bawah didapatkan nilai FK 2,2 dan
menurut Bowles (1989) termasuk dalam kategori lereng aman/stabil.

C C’

Gambar 4.45 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan C-C‟ sisi lowwall

C C’

Gambar 4.46 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan C-C‟

Desain lowwall pada Gambar 4.46 memiliki 3 slope dan 2 bench


dengan kemiringan 460. Dari hasil analisis didapatkan nilai FK 1,9 yang
menandakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989).
Pada prinsipnya keberadaan lapisan soil menurunkan nilai kestabilan
lereng, untuk mencegah terjadinya longsoran dapat dilakukan dengan
membuang lapisan soil (elevasi diatas 40 mdpl) karena soil memiliki
sifat menampung air sehingga akan mengurangi kekuatan ikatan antar
partikel selain itu juga akan menurunkan kekuatan geser seiring
bertambahnya volume air yang terserap. Perlakuan lain yang dapat
diterapkan adalah dengan melakukan pengeboran pada sisi lowwall
secara tegak lurus untuk mengeluarkan air yang tersimpan dalam
formasi batuan terutama pada batupasir, karena batuan ini memiliki
porositas dan permeabilitas yang tergolong baik sehingga akan
berpengaruh pada stabilitas dinding lereng lowwall, pembuatan parit
pada bench juga akan memberikan dampak positif sehingga air hujan
akan mengalir melalui parit dan penyerapan air oleh batuan pada
dinding semakin berkurang. Manifestasi air yang keluar dari dinding
lereng baik lowwall maupun highwall mengindikasikan bahwa
dibelakang lapisan batuan tersebut terdapat air bertekanan yang
tersimpan pada batuan porous dan sewaktu-waktu dinding penahan
(impermeable layer) tidak kuat menahan pergerakan air yang keluar
menuruni lereng, akan terjadi longsoran yang diikuti dengan semburan
air formasi. Hal ini dapat diketahui memalui rembesan air pada dinding
lereng yang bukan diakibatkan karena hujan, gelembung-gelembung air
pada dasar tambang di bagian sump ataupun genangan air. Struktur
geologi berupa sesar akan menjadi tempat keluarnya air pada dinding
lereng, jika struktur sesar jumlahnya relatif banyak maka akan menjadi
media keluarnya aliran mata air dan ini sangat membahayakan proses
penambangan. Berdasarkan pada Gambar 4.47 halaman 92 dapat
diketahui bahwa nilai FK mengalami kenaikan secara signifikan mulai
jarak 150 m hingga 172 m dan mengalami penurunan secara signifikan
pula sampai pada jarak 193 m.
Gambar 4.47 Grafik FK aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan C-C‟

4. Sayatan D-D’

D D’

Gambar 4.48 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan D-D‟ sisi highwall

Sayatan D-D‟ memiliki panjang 354 meter yang membentang dari


barat laut ke tenggara pada peta. Elevasi di titik D adalah
12 mdpl dan elevasi di titik D‟ adalah 16 mdpl dengan tinggi maksimal
lereng adalah 71,7 m yang dihitung dari elevasi -50 mdpl. Hasil analisis
kestabilan lereng minimum dinding highwall sayatan D-D‟ sebesar 3,4
seperti Gambar 4.48 yang menyatakan bahwa lereng dalam kondisi
aman sesuai dengan kriteria Bowles (1989).
D’
D

Gambar 4.49 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan D-D‟

Desain pada Gambar 4.49 memiliki panjang 354 m dengan elevasi


minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 70 m dan sisi
lowwall 74 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520.
Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir,
batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara, batupasir
dengan batulempung memiliki strike/dip N 2180 E/ 470. Batubara yang
masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal
masing-masing 4 m, 3 m, 2 m.
Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,4 yang
menyatakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam
proses penambangan (Bowles,1989). Analisis lereng untuk yang sisi
lowwall seperti pada Gambar 4.50 halaman 96, didapatkan nilai FK 2,8
yang menandakan bahwa lereng ini berada pada kondisi aman/stabil
(Bowles,1989). Desain lowwall pada Gambar 4.51 halaman 94
memiliki 2 slope dan 1 bench dengan kemiringan 470. Dari hasil analisis
didapatkan nilai FK 2,2 yang menandakan bahwa desain ini aman untuk
digunakan (Bowles, 1989).
D D’

Gambar 4.50 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan D-D‟ sisi lowwall

D D’

Gambar 4.51 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan D-D‟

Gambar 4.52 Grafik FK kondisi aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan D-D‟

Berdasarkan pada Gambar 4.52 di atas dapat diketahui bahwa nilai


FK dari jarak 140-155 m mengalami penurunan seiring berkurangnnya
elevasi kemudian mengalami peningkatan secara signifikan sampai
jarak 165 m dan pada jarak 165-170 nilai FK cenderung stabil hal ini
dikarenakan melalui bench dengan litologi yang sama, kemudian naik
secara signifikan sampai jarak 180 m dan turun kembali sampai jarak
200 m.

5. Sayatan E-E’

E
E

Gambar 4.53 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi highwall

Sayatan E-E‟ pada Gambar 4.53 memiliki panjang 354 meter yang
membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Elevasi di titik E
adalah 33 mdpl dan elevasi di titik E‟ adalah 22 mdpl dengan tinggi
maksimal lereng adalah 84 m yang dihitung dari elevasi -50 mdpl.
Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding highwall sayatan
E-E‟ sebesar 3,5 sehingga dapat dinyatakan bahwa lereng dalam kondisi
aman sesuai dengan kriteria Bowles (1989).

EE

Gambar 4.54 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan E-E‟

Desain pada Gambar 4.54 memiliki panjang 254 m dengan elevasi


minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 80 m dan sisi
lowwall 78 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520.
Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir,
batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara, batupasir
dengan batulempung memiliki strike/dip N 2270 E/ 460. Batubara yang
masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal
masing-masing 4 m, 3 m, 2 m.
Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,5 yang
menandakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam
proses penambangan (Bowles,1989). Analisis kestabilan lereng sisi
lowwall seperti pada Gambar 4.55 didapatkan nilai FK 2,8 yang
menandakan bahwa lereng ini aman (safety) sesuai kriteria Bowles
(1989). Desain lowwall pada Gambar 4.56 halaman 97 memiliki 3
slope dan 2 bench dengan kemiringan 460. Dari hasil analisis
didapatkan nilai FK 1,9 yang menandakan bahwa desain ini aman untuk
digunakan (Bowles, 1989).

E
E’

Gambar 4.55 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi lowwall

E E

Gambar 4.56 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan E-E‟


Gambar 4.57 Grafik FK kondisi aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan E-E‟

Berdasarkan pada Gambar 4.57 dapat diketahui bahwa kenaikan


dan penurunan nilai FK sepanjang jarak sayatan terjadi secara
fluktuatif. Nilai FK pada jarak 95-105 m mengalami penurunan hal ini
dikarenakan mengikuti topografi lereng, kemudian mengalami kenaikan
sampai jarak 115 m seiring melewati bench yang relative lebih stabil,
kemudian mengalami penurunan kembali dan mengalami kenaikan
signifikan dari jarak 118-142 m.

6. Sayatan F-F’

F F’

Gambar 4.58 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan F-F‟ sisi highwall

Sayatan F-F‟ Gambar 4.58 memiliki panjang 354 meter yang


membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Ke arah timur sejauh
137 m morfologi berupa lereng bergelombang-berbukit dengan sudut
lereng 150 (Van Zuidam, 1983). Bergerak ke arah timur sejauh 218 m
dijumpai morfologi dataran dengan sudut lereng 0-20 (Van Zuidam,
1983). Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir,
batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara dengan
batulempung memiliki strike/dip N 2280 E/ 510 dan kontak batubara
dengan batupasir memiliki strike/dip N 2200 E/480. Batubara yang
masuk ke dalam area penambangan Pit 7 West B ini terdapat 3 seam
yaitu seam X, X1 dan X5 dengan tebal masing-masing 4 m, 3 m dan 2
m.
Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding highwall dengan
FK 2,3. Nilai seismic load merupakan ukuran dari getaran yang
dihasilkan dari proses blasting terhadap kondisi lereng tambang
disekitarnya. Pada area Pit 7 West B memiliki nilai seismic load 0.02g
dan kapasitas jalan Hauling untuk 1 HD sebesar 561 kN karena HD
yang beroperasi pada Pit ini adalah tipe HD 785 . Kesimpulan untuk
lereng pada area ini adalah aman sesuai kriteria Bowles (1989).

F
F’

Gambar 4.59 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan F-F‟

Desain pada Gambar 4.59 memiliki panjang 276 m dengan elevasi


minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 85 m dan sisi
lowwall 71 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520.
Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir,
batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara, batupasir
dengan batulempung memiliki strike/dip N 2200 E/ 460. Batubara yang
masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal
masing-masing 4 m, 3 m, 2 m.
Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,5 yang
menandakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam
proses penambangan (Bowles,1989). Analisis kestabilan lereng sisi
lowwall seperti pada Gambar 4.60 halaman 100 didapatkan nilai FK 8,4
menandakan bahwa lereng ini aman/stabil, karena morfologi lerengnya
yang tidak terlalu tinggi sehingga nilai FK nya sangat besar. Desain
lowwall pada Gambar 4.61 halaman 100 memiliki 2 slope dan 1 bench
dengan kemiringan 460. Dari hasil analisis didapatkan nilai FK 2,2 yang
menyatakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989)

FF’

Gambar 4.60 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan F-F‟ sisi lowwall

F
F’

Gambar 4.61 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan F-F‟


Gambar 4.62 Grafik FK aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan F-F‟

Berdasarkan pada Gambar 4.62 dapat diketahui bahwa nilai FK


dari penampang lereng sayatan F-F‟ pada jarak 88-100 m
mengalami kenaikan sampai 2,7 kemudian mengalami penurunan
sampai jarak 110 m dengan FK 2,5 dan mengalami kenaikan secara
signifikan sampai jarak 120 m dengan FK 3,7 kemudian mengalami
penurunan sampai pada jarak 130 m dengan FK 2,3.
Rangkuman nilai FK aktual dan desain terdapat pada Tabel 4.3 di
bawah ini.
Tabel 4.3 Nilai FK aktual dan desain
No Sayatan Nilai FK Lowwall Nilai FK Highwall
Aktual Desain Aktual Desain
1 A-A‟ 1,5 1,9 3,1 1,9
2 B-B‟ 3,8 2,2 2,6 1,7
3 C-C‟ 2,2 1,9 2,7 1,3
4 D-D‟ 2,8 2,2 3,4 1,5
5 E-E‟ 2,8 1,9 3,5 1,5
6 F-F‟ 8,4 2,2 2,3 1,5

4.6 Rekomendasi
Optimalisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kestabilan
lereng tambang tanpa mengesampingkan perolehan produksi penambangan
batubara. Nilai FK dapat ditingkatkan hingga mencapai 2, dengan cara
memperkecil sudut lereng (single slope) pada tiap-tiap jenjang. Pada sayatan

100
B.B ‟, C-C‟ dan E‟E‟ pada desain lereng highwall Pit 7 West B. Sudut desain
lereng highwall sebelumnya adalah 650, setelah dilakukan perubahan sudut
menjadi 28-350 didapatkan nilai FK sebesar ≥2 .
1. Sayatan B-B’
Merubah sudut lereng highwall menjadi 290 didapatkan nilai FK 2
dari yang sebelumnya memiliki FK 1.7 seperti Gambar 4.63 halaman
102.

B NEW FK 2 B’

Gambar 4.63 Lereng highwall sayatan B-B‟ desain 2017


2. Sayatan C-C’
Merubah sudut lereng highwall menjadi 280 didapatkan FK baru
sebesar 2 dari yang sebelumnya 1.8 seperti Gambar 4.64.

C C’
NEW FK 2

Gambar 4.64 Lereng highwall sayatan C-C‟ desain 2017


3. Sayatan E-E’
Merubah sudut lereng highwall menjadi 310 didapatkan nilai FK baru
sebesar 2 dari yang sebelumnya 1.5 seperti Gambar 4.65 halaman
103.
NEW FK 2
E
E’

Gambar 4.65 Lereng highwall sayatan E-E‟ desain 2017


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kondisi geologi pada Pit 7 West B, tersusun atas litologi batupasir kuarsa,
batulempung dan batubara dan struktur geologi didominasi oleh kekar
gerus dan kekar tarik. Struktur sedimen terdiri atas perlapisan, parallel
laminasi, wavy ripple, convolute, nodul dan normal gradded bedding
dengan strike/dip perlapisan batulempung, batubara dan batubara,
batupasir sebesar N 2280 E/510, N 2200 E/480, trend/plunge untuk kekar
gerus dan kekar tarik berarah N 890 E/840, N 890 E/800, N 510E/750, N
150E/900. Berdasarkan pada hasil measuring stratigraphy dapat diketahui
bahwa lokasi penelitian memiliki lingkungan pengendapan rawa (shallow
lake, model Nichols, 2009).
2. Tingkat kestabilan lereng lowwall dan highwall Pit 7 West B berada pada
kategori aman/stabil (Bowles,1989), dengan rentang nilai FK kondisi
aktual highwall antara 2,3-3,5 dan lowwall antara 1,5-8.4, sedangkan
untuk nilai FK desain highwall berkisar antara 1,3-1,9 dan lowwall antara
1,9-2,2.
3. Optimalisasi nilai FK untuk lereng desain highwall untuk sayatan B-
B‟ dapat dilakukan dengan merubah sudut lereng dari 650 menjadi 290
sehingga didapatkan nilai FK 2 dari yang sebelumnya 1,7, sedangkan
untuk lereng desain highwall sayatan C-C‟ dilakukan dengan merubah
sudut lereng dari 650 menjadi 280 sehingga didapatkan nilai FK baru
sebesar 2 dari yang sebelumnya 1,3. Optimalisasi lereng desain highwall
sayatan E-E‟ dengan melakukan perubahan sudut lereng menjadi 310
sehingga didapatkan FK baru sebesar 2 dari yang sebelumnya 1,5.
4. Peningkatan stabilitas lereng dapat dilakukan dengan memperkecil sudut
kelerengan atau menurunkan tinggi lereng serta menghilangkan lapisan
tanah penutup pada elevasi di atas 40 mdpl.
5.2 Saran
1. Rekomendasi sudut lereng desain highwall adalah 280-350, sehingga
didapatkan nilai FK≥2.
2. Pembuatan parit pada sepanjang bench merupakan upaya yang efektif dan
efisien untuk meningkatkan stabilitas lereng serta mengurangi intensitas
rembesan air pada dinding lereng dari air hujan.
DAFTAR PUSTAKA

Australian Standart. 2005. Technical Memorandum for Geothecnical Mapping:


Quensland.

Azizi, M.A. 2012. Analisis Resiko Kestabilan Lereng Tambang Terbuka (Studi
Kasus Tambang Mineral X). Prosiding Simposium dan Seminar
Geomekanika ke-1: Jakarta.

Azizi, M.A. 2014. Pengembangan Metode Reliabilitas Penentuan Kestabilan


Lereng Tambang Terbuka Batubara di Indonesia. Disertasi (tidak
dipublikasikan). Jurusan Rekayasa Teknik Pertambangan Institut Teknologi
Bandung: Bandung.

Bachtiar Andang. 2008. Geologi Pulau Kalimantan. Bandung. ITB. Slide PPT

Bieniawski, Z.T. 1989. Engineering rock mass classification. John Wiley


Interscience: New York.

Bowles, J.E. 1984. Physical and Geotechnical Properties of Soil: Second Edition.
McGraw-Hill: New York, USA.

Brady, B.H.G and Brown, E.T. 2004. Rock Mechanics for Underground Mining
Third Edition. Kluwer Academic Publishers: Boston, USA.

Deere, D.U. 1963. Technical Description of Rock Cores for Engineering


Purposes. Felsmechanik und Ingenieurgeologie (Rock Mechanics and
Engineering Geology), 1(1). 16-22.

Fossen Haakson. 2010. Structural Geology. New York. Cambridge University


Press.

Hoek, E and Brown, E.T. 1980. Empirical Strength Criterion for Rock Masses.
Journal of the Geotechnical Engineering Division: Proceedings of American
Society of Civil Engineers, Vol. 106.

Hoek, E and Brown, E.T. 1997. Technical Note Practical Estimates of Rock Mass
Strength. Elsevier: International Journal Rock Mechanics and Mining
Sciences Vol 34, No 8 pages 1165-1186.

Hoek, E and Bray, J.W. 1981. Rock Slope Engineering. The Institution of Mining
and Metallurgy. 3rd edition : London.

Hoek, E and Karzulovic, A. 2000. Rock Mass Properties for Surface Mines. Slope
Hoek, E and Marinos, P. 2000. GSI: Geologically Friendly Tool for Rock Mass
Strength Estimation. Proceeding of the International Conference
Geotechnical and Geological Engineering: Melbourne.

Hoek, E., Read, J., Karzulovic, A., Chen, Z.Y. 2000. Rock Slopes for Civil and
Mining Engineering. Proceeding of the International Conference
Geotechnical and Geological Engineering: Melbourne.

Hoek,E., Torres, C.C., Corkum, B. 2002. Hoek Brown Criteria Failure Criteria
2002. NARMS-TAC Conference: Toronto.

Hoek, E., Carter, T.G., Diedrichs, M.S. 2013. Quantification of Geological


Strength Index Chart. Proceedings of 47th Geomechanic Symposium: San
Fransisco.

Lisle Richard J. 2004. Geological Structures and Map : A Practical Guide.


Oxford,UK. Cardiff University.

Nichols Gary. 2009. Sedimentology Stratigraphy. United Kingdom. Willey-


Blackwell.

Ragan Donald D. 2009. Structural Geology An Introduction to Geometrical


Techniques. New York. Cambridge University Press.

Reineck Singh. 1980. Depositional Sedimentary Environments. New York.


Departement of Geology. Lucknow University India.

Stability in Surface Mining Conference: Society for Mining, Metallurgical and


Exploration 2000 p 59-70

Sukamto. 1996.Peta Geologi Indonesia. Skala 1:5000000. Puslitbang Sumber


Daya Geologi: Bandung.

Sukardi.1995. Peta Geologi Lembar Muaralasan, Kalimantan Skala 1:250000.


Puslitbang Sumber Daya Geologi: Jakarta.

Suwana, G.W. Desain Lereng Final Dengan Metode RMR, SMR, dan Analisis
Kestabilan Lereng pada Tambang Terbuka. Kabupaten Tanah Laut,
Kalimantan Selatan. Buletin Sumber Daya Geologi Volume 7 Nomor 2:
Bandung.

Wesley Laurence D. 2010. Fundamentals of Soil Mechanics for Sedimentary and


Residual Soils. New Jersey. John Willey & Sons,inc.

Zakaria Zulfiadi. Analisis Kestabilan Lereng. Jurusan Teknik Geologi


Universitas Padjajaran:Bandung
cviii

Anda mungkin juga menyukai