Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN

INKONTINENSIA URIN PADA LANSIA

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Nur Wulandari
171141021
Qomariyah 171141023
Yosi Yuliana Womas 171141033
Christin Anjelin Mirino 171141034

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURABAYA

TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Gangguan ini
lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah
melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar
panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan
vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan
prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati.
Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat
gangguan meningkat dengan bertambahnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau
lebih didapatkan kejadian 10%, sedangkan pada usia 35-65 tahun mencapai 12%.
Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara
didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat
sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.
Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30% usia
lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit
mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia
urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka
kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian
bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami
inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan
bagian normal proses menua.
Pada wanita umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya
keluarnya urine semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang
ditemukan adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi
mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar
kecil penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan
anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat menyebabkan
inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan desakan secara
bersamaan.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan inkontinensia urin?

1.3 Tujuan
Untuk menjelaskan tentang Asuhan Keperawatan pasien dengan inkontinensia urin.
BAB II
TINJAUAN TERORI

2.1 Pengertian
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine
didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak
dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah
social dan higienis penderitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi
keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan secara obyektif dan
menimbulkan gangguan hygiene dan social.

2.2 Etiologi
Etiologi Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji Sarwono, 2001) :
a. Poliuria, nokturia
b. Gagal jantung
c. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
d. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra dan efek
akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-otot dasar panggul.
2) Perokok, Minum alkohol.
3) Obesitas
4) Infeksi saluran kemih (ISK)

2.3 Klasifikasi
Klasifikasi Inkontinensia Urine menurut (H. Alimun Azis, 2006)
a. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengluaran urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa dorongan yang kuat
untuk berkemih.
b. Inkontinensia Total
Inkontinensia Total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
c. Inkontinensia Stres
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami kehilangan urin kurang dari 50
ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
d. Inkontinensia refleks
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluran urin yang tidak
dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung
kemih mencapai jumlah tertentu.
e. Inkontinensia fungsional
Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran urin tanpa disadari
dan tidak dapat diperkirakan.

2.4 Tanda dan Gejala


a. Tanda-tanda Inkontinensia Urine menurut (H.Alimun Azis, 2006)
1) Inkontinensia Dorongan
a) Sering miksi
b) Spasme kandung kemih
2) Inkontinensia total
a) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
b) Tidak ada distensi kandung kemih.
c) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3) Inkontinensia stres
a) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
b) Adanya dorongan berkemih.
c) Sering miksi.
d) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4) Inkontinensia refleks
a) Tidak dorongan untuk berkemih.
b) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
c) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada interval.
5) Inkontinensia fungsional
a) Adanya dorongan berkemih.
b) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.
2.5 Patofisiologi
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem Perkemihan Vesika Urinaria
(Kandung Kemih). Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar 300-600 ml.
Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350 ml. Berkemih dapat
ditundas 1-2 jam sejak keinginan berkemih dirasakan. Ketika keinginan berkemih
atau miksi terjadi pada otot detrusor kontraksi dan sfingter internal dan sfingter
ekternal relaksasi, yang membuka uretra. Pada orang dewasa muda hampir semua
urine dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine dikeluarkan,
tetapi residu urine 50 ml atau kurang dianggap adekuat. Jumlah yang lebih dari
100 ml mengindikasikan adanya retensi urine. Perubahan yang lainnya pada
peroses penuaan adalah terjadinya kontrasi kandung kemih tanpa disadari. Wanita
lansia, terjadi penurunan produksi esterogen menyebabkan atrofi jaringan uretra
dan efek akibat melahirkan mengakibatkan penurunan pada otot-otot dasar
(Stanley M & Beare G Patricia, 2006).
2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine
banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Fungsi sfingter yang
terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin.

2.6 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine menurut (Soeparman & Waspadji S,
2001). Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal.
Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran
yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya
urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus
dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih.
Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.
Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain
saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih
tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
a) Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Tes laboratorium tambahan
seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosasitol.
b) Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini
digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia
urine dan tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga inkontinensia
urine. Pencatatan  pola berkemih tersebut dilakukan selam 1-3 hari. Catatan
tersebut dapat digunakan untuk memantau respons terapi dan juga dapat dipakai
sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor pemicu.

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan inkontinensia urin adalah untuk mengurangi faktor resiko,
mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,
medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat
dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya
waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal,
maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan
jenis minuman yang diminum.
b. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,
dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan
menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan
dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan
untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan
kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia
mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan
mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang.
Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan
cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10
kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat
tertutup dengan baik.
c) Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine. Pada
inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk
meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik
agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk
stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
d) Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe
overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan
retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia
prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
e) Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter.
f) Pemantauan Asupan Cairan
Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari dengan rentan
yang lebih adekuat antara 2500 dan 3500 ml perhari dengan asumsi tidak ada
kondisi kontraindikasi. Lansia yang kontinen dapat membatasi asupan cairan
secara tidak tepat untuk mencegah kejadian-kejadian yang memalukan.
Pengurangan asupan cairan sebelum waktu tidur dapat mengurangi inkontinensia
pada malam hari, tetapi cairan harus diminum lebih banyak selama siang hari
sehingga total asupan cairan setiap harinya tetap sama.
2.8 Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine
A. Pengkajian
Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan keperawatan
klien dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine :
1)   Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, diagnosa medis.
2)   Keluhan Utama
Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang ada adalah
nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan staguri.
3)   Riwayat Penyakit Sekarang
Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul keluhan, usaha
yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan.
4)   Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih)
yang berulang. penyakit kronis yang pernah diderita.
5)  Riwayat Penyakit keluarga
Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota keluarga yang
menderita penyakit Inkontinensia Urine, adakah anggota keluarga yang
menderita DM, Hipertensi.
6)   Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :
a)   B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
b)   B2 (blood)
Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
c)   B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d)   B4 (bladder)
Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung
kemih serta disertai keluarnya darah  apabila ada lesi pada bladder,
pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra, banyak
kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari
infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa
nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di
uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e)   B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
f)   B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan
ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi
kandung kemih.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam waktu
yang lama.
3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan
oleh urine.
4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat

C. Intervensi
1) Diagnosa 1
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya sensasi untuk
berkemih dan kehilangan kemampuan untuk menghambat kontraksi kandung
kemih.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan bisa
melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkontinensia
Kriteria Hasil :
 Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih sehari.
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri distensi kandung
kemih

2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari


R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis
3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara berkemih yang telah
direncanakan
R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume
urine sehingga diperlukan untuk lebih sering berkemih.
4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu.
R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan


2000 ml, kecuali harus dibatasi.
R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu ginjal.

6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan


kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.

2) Diagnosa 2
Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu
yang lama.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
berkemih dengan nyaman.
Kriteria Hasil :
 Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan
tidak adanya bakteri.
Intervensi :
1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien
inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin.
R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur)
dan setelah buang air besar.
R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung
kemih dan naik ke saluran perkemihan.
3. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh
atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengosongan
kantung drainase urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan
teknik aseptik bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh
urine dari kateter indwelling.
R: Untuk mencegah kontaminasi silang.
4. Kecuali dikontra indikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan
anjurkan masukan sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu
melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan.
R: Untuk mencegah stasis urine.
5. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine.
 Tingkatkan masukan sari buah berri.
 Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine.
R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari
buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman
urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam
pengobatan infeksi saluran kemih.

3) Diagnosa 3
Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keruskan integritas
kulit teratasi.
Kriteria Hasil :
 Jumlah bakteri <100.000/ml.
 Kulit periostomal tetap utuh.
 Suhu 37° C.
 Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8 jam.
R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
2. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan
kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong
lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk
menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai
setengah penuh.
R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal,
memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit
periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan
peningkatan resiko infeksi.

4) Diagnosa 4
Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan volume cairan
seimbang
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi
1. Awasi TTV
R: Pengawasan invasive diperlukan untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk.
2. Catat pemasukan dan pengeluaran
R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan cairan
3. Awasi berat jenis urine
R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam mengkonsestrasikn urine
4. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam
R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang
terbatas dan menurunkan rasa haus
5. Timbang BB setiap hari
R: Untuk mengawasi status cairan

D. Evaluasi
Evaluasi keperawatan terhadap gangguan inkontinensia dapat dinilai dari
adanya kemampuan dalam :
a) Miksi dengan normal, ditunjukkan dengan kemampuan berkemih sesuai
dengan asupan cairan dan pasien mampu berkemih tanpa menggunakan
obat, kompresi pada kandung kemih atau kateter
b) Mempertahankan intergritas kulit, ditunjukkan dengan adanya perineal
kering tanpa inflamasi dan kulit di sekitar uterostomi kering.
c) Memerikan rasa nyaman, ditunjukkan dengan berkurangnya disuria, tidak
ditemukan adanya distensi kandung kemih dan adanya ekspresi senang.
d) Melakukan Bladder training, ditunjukkan dengan berkurangnya frekuensi
inkontinensia dan mampu berkemih di saat ingin berkemih.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URINE PADA LANSIA

Kasus
Ny M (60 thn) datang ke RS. B diantar keluarga. Keluarga mengatakan Ny.
M sering kencing tanpa disadari (ngompol). Klien sendiri mengatakan tidak bisa
menahan jika sudah terasa ingin BAK. Frekuensi berkemih tiap hari 15-18x/hari.
Klien juga mengatakan saat dia bersin, membungkuk, batuk tiba-tiba keluar sedikit air
kencing. Klien memakai popok dan menggantinya 2x sehari sehingga terasa lembab.
Kira-kira Ny.M minumnya tiap hari sekitar 200 ml. Sebelumnya Ny. M ada riwayat
hipertensi 2 tahun lalu dan mengonsumsi obat diuretik. Klien mengatakan disekitar
area genitalia/perineal terasa nyeri, panas dan gatal. Hasil pemeriksaan fisik
didapatkan data TB&BB Ny M adalah 150cm, 45kg, TD 180/140mmHg, Nadi 80
x/menit, respirasi 18 x/menit dan suhu 36,50C, output 2100cc. Terdapat ruam
kemerahan pada sekitar area genitalia, kelembaban bibir kering. Terdapat distensi
kandung kemih. Saat ini klien terpasang infuse RL 2000cc/24 jam, kateter indwelling.
Kegiatan sehari-hari Ny. M adalah menjadi guru mengaji, akan tetapi semenjak ia
sering mengompol kegiatan menjadi terganggu.
1. Pengkajian
A. Data Biografi
Nama : Ny. M
Umur : 60 Tahun.
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Tinggi badan/berat badan : TB : 150 cm BB : 45 kg
Penampilan umum : Baik
Alamat : Jl. Tanah Merdeka 7
Orang yang mudah dihubungi : Tn. P
Hubungan dengan klien : Anak
Alamat dan telepon : Jl. Tanah Merdeka 7 (021) 8678869
Diagnosa medis : Inkontinensia Urine

B. Riwayat Keluarga
Genogram

Ny. M 60
thn

Keterangan :
= Meninggal = Laki-laki

= Perempuan = Pasien = tinggal serumah


Penjelasan:
Klien anak kedua dari 3 bersaudara. Klien mempunyai riwayat keturunan hipertensi
dari ayahnya yang meninggal karena hipertensi sedang ibunya meninggal karena
sudah tua. Klien tidak memiliki riwayat penyakit menular, degeneratif, dan obesitas.
Klien mempunyai 4 orang anak.

C. Riwayat Pekerjaan
Pekerjaan saat ini : Guru mengaji
Pekerjaan sebelumnya :-
Sumber-sumber pendapatan : uang dari anak-anaknya
Kecukupan terhadap kebutuhan : Cukup

D. Riwayat Lingkungan Hidup


Type tempat tinggal : 16x8 m
Jumlah kamar :2
Kondisi tempat tinggal : Baik
Jumlah orang yang tinggal dalam satu rumah :3
Derajat privasi : Aman
Tetangga terdekat : Baik
Alamat dan telepon :

E. Riwayat Rekreasi
Hobi/minat :-
Keanggotaan dalam organisasi :-
Liburan/perjalanan :-

F. Sistem Pendukung
Perawat/bidan/dokter/fisioterapi : dokter
Jarak dari rumah : 2 km
Rumah sakit : 6 km
Klinik :-
Pelayanan kesehatan dirumah :-
Makanan yang dihantarkan :-
Perawatan sehari-hari yang dilakukan keluarga : keluarga merawat klien dengan
mengganti popok 2x sehari,

G. Deskripsi kekhususan
Kebiasaan ritual : Sholat, membaca Al – Qur’an
Yang lain : Doa-doa yang lain

H. Status Kesehatan
Status kesehatan umum selama lima tahun yang lalu
- Klien mengatakan dua tahun lalu terkena hipertensi dan rutin mengonsumsi obat
diuretik
Keluhan utama
- Provokative/palliative :-
- Quality/quantity :-
- Region :-
- Severity scale :-
- Timming :-
Obat-obatan : obat diuretic, furosemide
Status imunisasi : lengkap
Alergi (obat-obatan/makanan/faktor lingkungan) : tidak ada
Penyakit yang diderita : Hipertensi

I. Aktivitas Hidup Sehari-hari (berdasarkan indeks Katz, disimpulkan Skore..)


Pengukuran pada kondisi ini meliputi Indeks Katz

1 Mandi Dapat mengerjakan sendiri


2 Berpakaian Seluruhnya tanpa bantuan
3 Pergi ke toilet Memerlukan bantuan
4 Berpindah (berjalan) Tanpa bantuan
5 BAB dan BAK Kadang-kadang ngompol / defekasi di tempat tidur
6 Makan Tanpa bantuan

Berdasarkan indeks KATZS, pemenuhan kebutuhan ADL klien diskor dengan C


karena berdasarkan pengamatan, klien hanya mampu memenuhi 4 kebutuhan dasar
yaitu mandi, berpakaian, berjalan. dan makan
Psikologis
- persepsi klien : persepsi klien terhadap penyakitnya klien
merasa wajar karena sudah tua
- konsep diri : baik karena klien mampu memandang dirinya
secara positif
- emosi : stabil
- adaptasi : klien mampu beradaptasi dengan baik
- mekanisme pertahanan diri : klien mengatakan lebih senang tinggal dirumah
karena bisa berkumpul dengan anak-anaknya

J. Pemeriksaan Fisik (Tinjauan Sistem)


1. Keadaan umum
Baik, klien tampak bersih
2. Tingkat kesadaran
 Refleks membuka mata (eye): Spontan = 4
 Respon Motorik (motorik):Respon baik dengan perintah: 6
 Respon Verbal (verbal) : Orientasi baik : 5
 Jumlah Nilai GCS = 15
 Interpretasi GCS : Normal (Compos Mentis)
3. Tanda-tanda vital
 TD :180/140 mmHg
 Nadi : 80 kali/menit
 RR : 18 kali/menit
 Suhu : 36,5 ° C
4. Sistem kardiovaskuler
 Inspeksi: ictus cordis pada ICS-5 pada linea medio klavikularis kiri
 Palpasi: teraba ictus kordis dengan telapak jari II-III-IV dan lebar iktus kordis
1 cm

 Perkusi:
Batas atas jantung : ICS 3
Batas kanan : linea midsternalis dextra
batas kiri : mid aksilaris sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung I dan II terkesan murni,tunggal,irama jantung
teratur
5. Sistem pernafasan
 Inspeksi : dada simetris, tidak ada penggunaan otot bantu nafas
 Palpasi : tidak ada pembesaran abnormal, fremitus taktil normal
 Perkusi : bunyi normal, resonan/vesikuler, suara paru ka/ki sama dan
seimbang
 Auskultasi : tidak ada ronkhi, wheezing, krekels basah
6. Sistem integumen
- Inspeksi: tekstur kulit terlihat kendur, keriput (+)
- Palpasi: turgor kulit jelek
- Inspeksi : terdapat ruam kemerahan pada sekitar area genitalia
7. Sistem perkemihan
 Inspeksi : saat ini klien terpasang kateter indwelling
 Palpasi : terdapat distensi pada kandung kemih
8. Sistem muskuloskeletal
 ROM klien baik/penuh
 Ekstremitas atas : Terpasang infuse Rl 2000cc/24 jam pada tangan kanan,
tonus otot baik,kekuatan otot tangan kiri kanan sama yaitu pada skala 5
 Ekstremitas bawah : Kekuatan otot kaki kiri dan kanan sama yaitu pada skala
5
 Tidak ada nyeri persendian
 Osteoporosis (-), tidak ada kelainan tulang
9. Sistem endokrin
- Klien mengatakan tidak menderita kencing manis.
- Palpasi: tidak ada pembesaran kelenjar
10. Sistem immune
- Klien mengatakan sudah lengkap imunisasi
- Riwayat penyakit yang berkaitan dengan imunisasi tidak ada
11. Sistem gastrointestinal
 Bising usus normal pada auskultasi abdomen
 Klien mengatakan tidak ada kesulitan mengunyah makanan
12. Sistem reproduksi
- Klien mempunyai 2 orang anak dari hasil pernikahannya, riwayat berhenti
menstruasi 10 tahun yang lalu.
13. Sistem persyarafan
 N.I (Olfaktorius):fungsi penghiduan/penciuman
Ketika pasien diminta menutup mata dan menutup salah satu lubang hidung
kemudian disuruh untuk menghidu bau kopi, pasien dapat menyebutkan
dengan benar
 N.II (Optikus) fungsi penglihatan Pasien dapat menyebutkan angka yang
ditunjukan pada jarak 2 meter
 N.III,IV,VI(Okulomotorius,Troklearis,Abdusens)
Ukuran pupil kiri kanan sama (Isokor) Refleks cahaya lambat,bola mata
mampu digerakkan ke segala arah.
 N.V (Trigeminus) Sensorik : Pasien dapat merasakan usapan kapas pada
daerah pipi dengan mata tertutup setelah dilakukan berulang-ulang
Motorik:Terdapat gerakan tonus muskulus maseter ketika pasien disuruh
mengunyah
 N.VII (Fascialis) Sensorik : Pasien dapat merasakan teh manis yang diberikan
Motorik:Pasien dapat menaikan alis mata dan mengerutkan dahi
 N.VIII (Akustikus) Pasien dapat mendengar detakan jam perawat ketika
diletakan dibelakang telinga
 N.IX (Glossofaringeus) Kemampuan menelan baik walaupun dilakukan
perlahan-lahan ketika minum air
 N.X (Vagus) Gerakan uvula saat pasien mengatakan “ah” dan letak uvula di
tengah
 N.XI ( Assesorius) Pasien mampu menggerakan bahu kiri dan kanan dengan
perlahan-lahan
 N.XII (Hypoglosus) Pasien dapat menjulurkan lidah keluar ,dan gerakan lidah
mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam

K. Pemeriksaan status kognitif/afektif/sosial


1. Status kognitif/afektif
- Short potable mental status questionaire (SPMSQ) dengan skor: 10, fungsi
intelektual utuh
- Mini mental state exam (MMSE) dengan skor: 25, aspek kognitif dari fungsi
mental dalam keadaan baik
- Inventaris depresi beck, dengan skor: 3. Tidak ada tanda-tanda depresi pada
klien.
2. Status sosial
- Apgar keluarga dengan lansia, skor: 8 dimana fungsi social klien dalam keadaan
normal

L. Pemeriksaan Penunjang
- Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.
- Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,
kalsium glukosasitol.

Analisa Data
Data Masalah Etiologi

DS : Gangguan Kehilangan
eliminasi urin kemampuan untuk
 Klien mengatakan tidak dapat menahan
menghambat
jika sudah terasa ingin BAK
kontraksi kandung
 Klien juga mengatakan saat dia bersin,
kemih
membungkuk, batuk tiba-tiba keluar
sedikit air kencing
 Keluarga mengatakan Ny. M sering
kencing tanpa disadari (ngompol).
 Sering ngompol terutama malam hari.

DO :

 Sebelumnya Ny. M ada riwayat


hipertensi 2 tahun lalu dan
mengonsumsi obat diuretik.
 Frekuensi berkemih tiap hari sekitar 15-
18x
 Terdapat distensi kandung kemih
DS : Resiko kerusakan Irigasi konstan
integritas kulit oleh urine
 Klien mengatakan disekitar area
genitalia terasa nyeri, panas dan gatal

DO :

 Terdapat iritasi dan ruam kemerahan


pada sekitar area genitalia dan
pangkal paha.
 Klien menggunakan popok namun
sehari hanya menggantinya 2x
sehingga terasa lembab
DS : Resiko kekurangan Intake yang tidak
volume cairan adekuat
 Ny.M mengatakan minumnya tiap
tubuh
hari sekitar 200 ml

DO :

 Saat dilakukan pengkajian Ny.M


kelembaban bibir kering.
 TB&BB 150cm, 45kg
 Klien terpasang infuse RL 2000cc/24
jam
 output 2100cc, balance cairan 100cc

2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih
2) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
3) Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat

3. Intervensi
1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien mampu
mengontrol eliminasi urine.
Kriteria Hasil :
 Klien dapat menjelaskan penyebab inkontinensia dan rasional
penatalaksanaan.
Intervensi Rasional
 Kaji kebiasaan pola berkemih dan  Berkemih yang sering dapat
gunakan catatan berkemih sehari. mengurangi dortongan beri distensi
kandung kemih
 Ajarkan untuk membatasi masukan
cairan pada malam hari.  Pembatasan cairan pada malam hari
 Ajarkan teknik untuk mencetuskan dapat mencegah terjadinya enurasis
refleks berkemih (rangsangan  Untuk membantu dan melatih
putaneus dengan penepukan supra pengosongan kandung kemih.
pubik).
 Berikan penjelasan tentang  Hidrasi optimal diperlukan untuk
pentingnya hidrasi optimal, mencegah ISK dan batu ginjal.
sedikitnya 2000cc/hari bila tidak ada
kontra indikasi.
 Kapasitas kandung kemih mungkin
 Bila masih terjadi inkontinensia
tidak cukup untuk menampung
kurangi waktu antara berkemih yang
volume urine sehingga diperlukan
telah direncanakan
untuk lebih sering berkemih.
 Kolaborasi dengan dokter dalam
mengkaji efek medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan obat,
dosis/jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkontinensia.
2. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam kulit periostomal klien
kembali normal.
Kriteria Hasil :
o Jumlah bakteri <100.000/ml.
o Kulit periostomal tetap utuh.
o Suhu 37° C.
o Urine jernih dengan sedimen minimal.
Intervensi Rasional
 Pantau penampilan kulit periostomal  Untuk mengidentifikasi kemajuan atau
setiap 8 jam. penyimpangan dari hasil yang
 Ganti wafer stomehesif setiap minggu diharapkan.
atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan  Peningkatan berat urine dapat merusak
kulit bersih dan kering sebelum segel periostomal, memungkinkan
memasang wafer yang baru. Potong kebocoran urine. Pemajanan menetap
lubang wafer kira-kira setengah inci pada kulit periostomal terhadap asam
lebih besar dar diameter stoma untuk urine dapat menyebabkan kerusakan
menjamin ketepatan ukuran kantung kulit dan peningkatan resiko infeksi.
yang benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat sampai
setengah penuh.

3. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah teratasi.
Kriteria Hasil : pengeluaran urine tepat, berat badan 50 kg
Intervensi Rasional
 Awasi TTV  Pengawasan invasive diperlukan
untuk mengkaji volume intravascular,
khususnya pada pasien dengan fungsi
jantung buruk.
 Untuk menentukan fungsi ginjal,
 Catat pemasukan dan pengeluaran kebutuhan penggantian cairan dan
penurunan resiko kelebihan caian
 Untuk mengukur kemampuan ginjal
dalam mengkonsestrasikn urine
 Awasi berat jenis urine
 Membantu periode tanpa cairan,
meminimalkan kebosanan pilihan
 Berikan minuman yang disukai yang terbatas dan menurunkan rasa
sepanjang 24 jam haus
 Timbang BB setiap hari  Untuk mengawasi status cairan

4. Evaluasi keperawatan
S : - Pasien mengatakan bahwa tidak mengeluarkan urin pada saat bersin dan tertawa.
- Pasien mengatakan sudah bisa mengontrol berkemih
O : - Setiap ada peningkatan tekanan intra abdomen urin pasien tidak menetes.
- Pasien mengeluarkan urin lebih dari 2 jam sekali.
A :  Masalah teratasi
P :  Masalah teratasi pasien pulang.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 1.

Jakarta: EGC.

Hidayah, Aziz Alimul. 2007. Pengantar Konsep Dasar Keperawatan (Edisi 2).

Jakarta: Salemba Medika.

Pearce, Evelyn C. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Stanley, Mickey dan Patricia G. Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2

Jakarta : EGC

Syaifuddin. 2003. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai