DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
(UNIMUDA) SORONG
TAHUN 2020
ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH:
ABSTRACT
The application of Government Regulation Number 22 /1999 on local government has
an important effect on the development of local government. Local government has
more autonomy and larger opportunities to develop their region. However, the
application of local autonomy will be meaningless if local government does not
improve their performance. As an organization, local government has a bureaucracy
culture. Generally, bureaucracy culture has not support the aim of the local
government. Bureaucracy still has a problem that should be solved right away, among
others are: personal performance, payment system, and ethics. Public service is
another aspect which should be improved. Local autonomy regulation will be effective
if local government can improve the public administrator function.
Dengan dimilikinya kewenangan daerah yang lebih besar pada saat ini untuk
mengatur daerahnya sendiri maka pimpinan daerah terutama bupati beserta wakil serta
perangkat daerah harus berpikir lebih keras untuk memajukan daerahnya. Untuk
melakukan hal tersebut tidak mudah karena pada masa sebelumnya perencanaan dan
pembangunan daerah pada prinsipnya diatur dan dikoordinir oleh pusat
(sentralisasi/topdown planning). Dengan adanya peralihan tanggung jawab dari
pemerintah pusat ke pemda maka pemda harus mengatur sendiri semua perencanaan
program pembangunan. Di sisi lain, disadari bahwa dalam membangun daerah pemda
banyak mengalami hambatan dan masalah, terutama menyangkut sumber daya
manusia (SDM) serta sumber daya alam (SDA). Berdasarkan jajak pendapat yang
dilakukan Kompas, diketahui bahwa 50,7% responden memandang kemampuan
pegawai negeri sipil (PNS) belum memadai dalam melayani masyarakat (Kompas, 25
April 2005).
SDM dan SDA yang dimiliki daerah harus dioptimalkan peran dan
penggunaannya, sehingga benar-benar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
masyarakat. Pemda harus mengetahui seberapa besar potensi serta kemampuan SDM
yang dimiliki saat ini dan seberapa besar kekurangannya serta bagaimana
ketidakefisienan aparaturnya. Apakah SDM yang dimiliki sudah mampu melakukan
perencanaan, mengatur, mengelola, serta melayani kebutuhan masyarakatnya secara
memadai?
Selain bidang SDM maka yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengetahui,
mengelola, dan memanfaatkan SDA yang dimiliki untuk kemakmuran masyarakat.
Pemanfaatan dan pengelolaan SDA bukan semata untuk kebutuhan jangka pendek tapi
juga untuk kebutuhan jangka panjang.
Pemanfaatan SDA tidak boleh merugikan masyarakat.
Saat ini sudah tidak tepat paradigma aparatur pemda sebagai raja yang harus
dilayani masyarakat sudah tidak tepat aparatur pemda merupakan abdi dan pelayan
masyarakat yang berkewajiban mengurus rakyat, tidak hanya memberi perintah. Oleh
karena itu aparatur pemda harus dekat, mengetahui kebutuhan, dan secara bersama-
sama masyarakat berusaha mengatasi masalah sehingga perencanaan program
pembangunan daerah benar-benar dapat ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Artikel ini berusaha menjelaskan kinerja aparatur pemda terutama setelah
diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Mengembangkan sistem kader pimpinan yang baik sedini mungkin untuk menempati
jabatan atau posisi penting dalam organisasi pemda. Posisikunci yang akan ditempati
tersebut harus dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja, diikuti dengan
pengakuan, dan penghargaan bagi yang berprestasi dan menindak bagi yang
melanggar atau melakuan penyimpangan.
6. Mengembangkan keterbukaan dan meningkatkan peran serta aktif anggota organisasi
dalam penyusunan rencana dan program kerja termasuk dalam pengambilan keputusan
sehingga dapat menumbuhkan kebersamaan dan rasa memiliki tanggung jawab.
Budaya Organisasi
Budaya menunjukkan adanya dimensi atau karakteristik tertentu yang
berhubungan secara erat dan interdependen. Sedangkan budaya organisasi
mengandung beberapa pengertian seperti misalnya 1) nilai dominan yang didukung
oleh organisasi, 2) falsafah yang menuntun kebijakan organisasi terhadap pegawai dan
pelanggan, atau 3) cara pekerjaan yang dilakukan di tempat itu. Dalam setiap
organisasi terdapat pola tentang kepercayaan, ritual, mitos, dan praktek yang
berkembang sejak beberapa lama. Dari keadaan tersebut para anggota organisasi
memiliki pemahaman yang sama mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu dan
bagaimana anggotanya harus berperilaku.
Budaya organisasi memberikan ketegasan dan mencerminkan spesifikasi suatu
organisasi sehingga berbeda dengan organisasi lainnya. Budaya organisasi melingkupi
seluruh pola perilaku anggota organisasi dan menjadi pegangan bagi setiap individu
dalam berinteraksi, baik di dalam ruang lingkup internal maupun ketika bereaksi
dengan lingkungan eksternal (Tangkilisan, 2005).
Budaya organisasi juga berlaku di dunia birokrasi karena bentuk dan sumberdaya yang
ada dalam organisasi pada umumnya sama dengan apa yang ada di organisasi publik
atau organisasi pemerintah, walaupun organisasi tersebut berbeda dalam visi, misi dan
karakteristik yang dimilikinya. Organisasi publik atau birokrasi publik tidak
berorientasi langsung pada tujuan akumulasi keuntungan namun memberikan layanan
publik dan menjadi katalisator dalam penyelenggaraan pembangunan maupun
penyelenggaraan tugas negara.
Secara struktural kelembagaan pejabat yang berada di pucuk organisasi
memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam menetapkan visi, misi, dan tujuan
organisasi serta mengeluarkan perintah yang mengalir ke bawah yang dilaksanakan
oleh bawahan. Apabila struktur perintah dan pengawasan kurang berjalan dengan baik
maka akan menekan atau memperlemah rasa percaya diri kebanyakan pegawai yang
berada di bawah. Pada akhirnya hal ini akan berdampak pada menurunnya kinerja,
kreativitas, dan inovasi para pegawai. Untuk mencapai budaya yang berkinerja tinggi
dan rasa percaya diri yang tinggi maka pimpinan organisasi perlu memperhatikan
enam faktor sebagai berikut:
1. Rasa hormat
Pimpinan organisasi perlu memperlakukan bawahan secara terhormat, tulus, terbuka,
dan konsisten. Penghormatan tersebut akan membuat pegawai dalam semua lapisan
dengan berbagai latar belakang merasa bahwa sumbangan mereka terhadap organisasi
dihargai dan dapat mendukung keberhasilan organisasi. Untuk menumbuhkan rasa
hormat di antara para pegawai maka misalnya ditumbuhkan kebiasaan untuk
menyampaikan ide, mendengarkan dengan seksama, atau menawarkan umpan balik
terhadap saran yang diberikan.
2. Tanggung jawab
Pada umumnya pegawai dalam suatu organisasi mempunyai keinginan untuk bekerja
sesuai dengan bidangnya dan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dengan
harapan orang lain menghargai hasil kerja tersebut. Namun terkadang organisasi
kurang mendukung serta tidak memberikan kesempatan bagi pegawai untuk
menunjukkan kinerja secara maksimal, misalnya tidak menyediakan sumber dan
sarana yang memadai yang dapat menghambat kreativitas dan kinerja pegawai.
3. Memberikan teladan
Seorang pejabat atau pimpinan organisasi harus dapat menjadi contoh bagi pegawai
dalam hal pelaksanaan pekerjaan. Memberikan teladan adalah cara terbaik untuk
memperlihatkan nilai atau perilaku organisasi. Perasaan sinis yang ditunjukkan oleh
pegawai dapat muncul karena adanya perbedaan antara apa yang dikatakan dengan apa
yang dilakukan oleh seorang pimpinan organisasi. Dengan kata lain pimpinan harus
tegas dalam mengambil keputusan serta konsisten dalam memberikan perintah agar
bawahan tidak merasa bingung.
4. Hubungan
Faktor hubungan yang baik antara pimpinan dan bawahan dapat menumbuhkan atau
meningkatkan rasa percaya diri para pegawai. Sebaliknya hubungan yang negatif dapat
berakibat pada menurunnya kinerja pegawai. Hubungan antar pegawai yang terlalu
dekat atau pribadi juga akan menyulitkan pelaksanaan wewenang dan pengelolaan
organisasi. Namun hubungan yang terlalu kaku atau formal juga akan merenggangkan
aspek psikologis antara pimpinan dan bawahan.
5. Penghargaan dan hukuman
Sistem penghargaan dan hukuman terkadang sering diterapkan dalam organisasi untuk
memacu pegawai agar dapat berprestasi serta tidak melakukan pelanggaran peraturan
organisasi. Namun dalam prakteknya jika pimpinan organisasi tidak melakukan
penghargaan terhadap pegawai yang sudah berprestasi maka hal tersebut akan
mengurangi motivasi pegawai untuk meningkatkan prestasi. Pimpinan berhak
memberikan penghargaan terhadap pegawai yang berprestasi. Hambatan yang
mungkin terjadi adalah seorang pimpinan organisasi yang memiliki rasa tidak percaya
diri atau cemas, sulit memuji keberhasilan bawahan, rasa iri, serta tidak senang jika
bawahannya berprestasi karena nantinya akan dapat menyaingi karirnya.
6. Pengambilan risiko
Pimpinan organisasi pada semua jenjang struktural yang menginginkan inovasi dalam
organisasinya tidak terlepas dari pengambilan risiko karena setiap pengambilan risiko
pimpinan organisasi harus bersiap menghadapi kesalahan dan kegagalan. Namun
pimpinan organisasi yang mendorong pengambilan risiko dan menerima terjadinya
kesalahan dan kegagalan sebagai suatu hal yang normal akan membina rasa percaya
diri dan menginspirasikan inovasi bagi para pegawainya.
Luthans & Kreitner (dalam Tangkilisan, 2005) berpendapat bahwa ada enam
karakteristik budaya organisasi yang perlu diketahui dalam mempelajari perilaku yang
ada dalam suatu organisasi publik, yaitu bahwa budaya organisasi merupakan 1)
proses belajar, 2) milik bersama kelompok, bukan milik individu, 3) diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya, 4) mengekspresikan sesuatu dengan
menggunakan symbol, 5) merupakan pola yang terintegrasi, jadi setiap perubahan
akan mempengaruhi komponen lainnya, dan 6) terbentuk berdasarkan kemampuan
orang untuk beradaptasi dengannya.
Tabel 1. Perbandingan Prinsip Umum yang menjadi Acuan antara Orientasi Birokrasi Publik
dengan Golongan Profesional.
Aspek Birokrasi Publik Golongan Profesional
Asal Keputusan yang diambil Keputusan yang dibuat didasarkan
Kewenangan dipengaruhi atasan karena atasan standar profesional yang
dianggap lebih berkuasa dan terlembaga
ditakuti
Pedoman Disahkan secara legal di mana Berdasarkan keahlian individu
dalam sanksi bersifat formal/disahkan dengan tujuan untuk
pengambilan sesuai aturan. Terkadang meningkatkan kesejahteraan serta
keputusan kewenangan atau kekuasaan yang kepentingan masyarakat/klien
diperoleh mengabaikan prosedur
yang berlaku
Nilai yang Kesejahteraan dan kepentingan
dianut dalam Semua kegiatan dilakukan untuk masyarakat/klien lebih diutamakan
melakukan kepentingan lembaga, sehingga dibandingkan dengan kepentingan
pelayanan mengakibatkan kepentingan perusahaan
masyarakat terabaikan
Evaluasi dilakukan oleh
Evaluasi kelompok dalam suatu profesi (the
kegiatan yang Biasanya hak prerogative professional colleague group)
akan dilakukan oleh atasan yang
dilakukan mempunyai kewenangan yang
tinggi
Dari perbandingan tersebut di atas mengenai poin 1 sampai dengan 4 maka
akan nampak bahwa sifat atau karakter birokrasi publik memiliki perbedaan dengan
golongan profesional. Oleh karena itu sebenarnya kurang tepat jika para birokrat
dituntut untuk melakukan tugas pekerjaan yang sama dengan apa yang dilakukan oleh
golongan profesional pada organisasi swasta. Walaupun demikian para birokrat
dituntut tetap harus profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2. Informasi dan keterbukaan: Tersedianya informasi yang cepat, akurat dan lengkap
mengenai bagaimana pelayanan publik dilakukan: berapa biaya, siapa yang
bertanggung jawab, dsb.
3. Ketulusan dan keramahan: Pelayanan yang tulus dan ramah, yang tersedia bagi siapa
saja yang datang, tanpa memandang siapa yang harus dilayani. Karena budaya
pelayanan yang prima dan bermutu saat ini nampaknya belum berjalan dengan baik
maka perlu disosialisasikan secara lebih meluas di kalangan pegawai pemerintah
daerah terutama yang langsung berhubungan dengan publik.
4. Perbaikan kondisi: Jika anggota organisasi melakukan sesuatu yang salah terhadap
publik maka perlu ada permintaan maaf, penjelasan yang lengkap serta pemulihan
yang efektif. Publik dapat mengikuti perkembangannya sehingga dapat memuaskan
pelanggan. Misal pembuatan KTP sudah dijanjikan 1 minggu tapi tidak dapat selesai
tepat waktunya. Pemerintah perlu minta maaf atas keterlambatan tersebut.
5. Pilihan dan konsultasi: Publik perlu diberi informasi mengenai jasa serta kegiatan atau
pekerjaan yang menjadi prioritas pemerintah daerah. Perlu ada konsultasi yang teratur
dan sistematis dengan pengguna jasa, sehingga kepuasan pelanggan dapat tercapai.
Pelanggan dapat memperoleh informasi mengenai alternatif-alternatif pilihan kegiatan
yang ada. Dengan demikian konsumen atau publik tidak merasa ditipu tapi diarahkan
ke suatu pilihan alternatif tertentu oleh pemerintah daerah.
Penutup
Organisasi pemerintah daerah tidak dapat melepaskan diri dari aspek
birokratis. Birokrasi tidak membantu mempercepat pelayanan, tapi menghambat dan
bahkan dimanfaatkan oleh aparatur yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan
dalam hal perijinan untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompok.
Aparatur pemerintah daerah harus menerapkan budaya kerja positif serta
mampu menerapkan sifat kewirausahaan seperti yang dimiliki organisasi swasta
seperti sifat peka dan tanggap atas peluang dan tantangan yang dihadapi, tidak terpaku
pada hal-hal rutin, memiliki etos kerja yang tinggi serta inovatif dan kreatif. Sifat
kewirausahaan ini juga akan menimbulkan pelayanan publik dibandingkan dengan
menggunakan pendekatan kewenangan dan kekuasaan serta kecenderungan
memerintah orang lain.
Dalam menjalankan tugas, aspek moral tidak dapat diabaikan. Harus ada
perasaan bersalah dan takut akan hukuman apabila aparatur pemerintah daerah
melakukan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta penyuapan. Harus
dihilangkan anggapan bahwa aparatur negara memiliki sifat korup, terbukti banyak
pejabat yang kekayaannya tidak sepadan dengan kondisi atau statusnya sebagai
pegawai negeri.
Aparatur Pemerintah Daerah sebagai abdi masyarakat tidak hanya mampu
mengerjakan pekerjaan sesuai dengan prosedur yang sudah ada tapi juga harus selalu
menambah wawasan dan pengetahuan sesuai dengan bidangnya sehingga tidak
tertinggal dalam mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi serta tidak tergerus oleh
arus globalisasi.
REFERENSI
Dwiyanto, A. (2002). Reformasi birokrasi publik. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan, UGM.
Dwijowijoto, R.N. (2001). Reinventing Indonesia. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo. Kompas, Sabtu, 26 Maret 2005
Kompas, Senin, 25 April 2005
Kompas, Senin, 2 Agustus 2005.
Kompas, Kamis, 29 Desember 2005
Kompas, Senin, 20 Maret 2006.
Osborne, D. & Gaebler, T. (1992). Reinventing government. USA: Addison-Wesley.
Sasono, A., Taufik, I., dkk. (1999). Menyoal birokrasi publik. Jakarta: Balai Pustaka.
Tangkilisan, H.N.S. (2005). Manajemen publik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia. Thompson, D.F. Terjm. (1999). Etika politik pejabat negara. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Tjager, I.N. (2003). Corporate governance: Tantangan dan
kesempatan bagi komunitas bisnis
Indonesia. Jakarta: PT. Prenhallindo.