Anda di halaman 1dari 21

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Peristiwa yang ditunggu-tunggu oleh para orang tua pada tahun pertama
kehidupan seorang anak adalah munculnya gigi pertama. Kejadian yang tidak
diinginkan berhubungan dengan peristiwa yang kemudian membawa banyak
reaksi dari para orang tua, lebih-lebih ketika anak mempunya gigi natal ataupun
neonatal yang mengganggu kemampuan anak untuk menyusu. Erupsi gigi saat
usia 6 tahun merupakan suatu tonggak sejarah, keduanya berupa perubahan
fungsional dan juga psikologi dalam kehidupan anak, serta merupakan peristiwa
emosional untuk para orangtua. Gigi natal dan neonatal berhubungan dengan
takhayul dan cerita rakyat, berhubungan dengan pertanda baik dan buruk,
dikelilingi oleh berbagai kepercayaan dan pemikiran.
Erupsi gigi saat atau segera setelah kelahiran merupakan suatu fenomena
yang jarang terjadi (Spouge dan Feasby, 1966). Berbagai istilah digunakan untuk
memberikan nama pada gigi yang repusi sebelum waktunya mulai dari congenital
teeth, fetal teeth, predecidious teeth, precociously erupted teeth, premature teeth,
dentitia praecox, dan dens connatalis (Singh et al., 2004). Menurut Masler dan
Savara (1950) gigi natal adalah gigi yang ada saat kelahiran, sedangkan gigi
neonatal adalah gigi yang erupsi pada bulan pertama kehidupan. Gigi neonatal
biasanya menunjukkan gambaran hipoplastik enamel dan akar yang belum
lengkap terbentuk sehingga menyebabkan kegoyangan. Apabila perkembangan
gigi natal ataupun neonatal baik, akan menunjukkan prognosis yang baik;
sedangkan gigi natal atau neonatal yang tidak berkembang baik mempunyai
prognosis yang jelek untuk retensinya.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang makalah, maka dapat diuraikan rumusan
masalah sebagai berikut :

1
1. Bagaimana etiologi, karakteristik klinis, karakteristik histologis, diagnosa,
dan rencana perawatan dari gigi neonatal?

1.3 Tujuan
Mengetahui etiologi, karakteristik klinis, karakteristik histologis, diagnosa,
dan rencana perawatan dari gigi neonatal.

1.4 Manfaat
a. Memberikan pengetahuan mengenai gigi neonatal.
b. Memberikan pengetahuan mengenai etiologi, karakteristik klinis,
karakteristik histologis, diagnosa, dan rencana perawatan dari gigi
neonatal.
c. Sebagai acuan dalam menentukan diagnose dan rencana perawatan.

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Gigi Neonatal

Menurut Masler dan Savara (1950) gigi natal adalah gigi yang ada saat
kelahiran, sedangkan gigi neonatal adalah gigi yang erupsi pada bulan pertama
kehidupan. Konsep saat ini menyatakan bahwa gigi natal dan neonatal terjadi
karena letak gigi tersebut yang lebih superficial dari letak perkembangan gigi,
yang kemudian memiliki kecenderungan untuk erupsi terlalu dini. Banyak peneliti
menyatakan bahwa gigi natal ataupun neonatal teeth merupakan faktor herediter
dengan frekuensi antara 8-62% (Prabhakar et al., 2009).

Tidak terdapat perbedaan untuk prevalensi antara laki-laki dan perempuan.


Gigi natal tiga kali lipat lebih sering terjadi dibandingkan gigi neonatal. Lokasi
yang paling sering adalah mandibula regio insisif sentral (85%), insisif maksila
(11%), caninus atau molar mandibula (1%). Gigi natal dan neonatal berupa
caninus sangat jarang. Secara umum, gigi yang erupsi adalah gigi yang belum
waktunya erupsi pada waktu yang normal (90-99%). Hanya 1-10% gigi natal dan
neonatal merupakan gigi supernumerary. Mengingat pengetahuan ini, gigi-gigi ini
harus dibiarkan di dalam mulut untuk menghindari masalah manajemen ruang gigi
yang dibutuhkan di masa mendatang (Dyment et al., 2005).

2.2. Etiologi Gigi Neonatal

Etiologi dari gigi natal atau neonatal masih belum diketahui. Gigi-gigi
tersebut adalah gigi yang terletak pada posisi superfisial dari perkembangan gigi,
yang merupakan predisposisi untuk gigi tersebut akan erupsi lebih cepat. Terdapat
kemungkinan faktor hereditas dan berbagai macam sifat kekeluargaan, adanya
transmisi herediter dari gen autosomal dominan (Singh et al., 2004). Banyak teori
juga telah menyebutkan etiologi dari erupsi prematur dari rasio erupsi selama atau
setelah demam, kelainan endokrin, defisiensi diet, efek dari sifilis kongenital,
posisi gigi yang lebih superfisial, riwayat keluarga, dan hubungan dengan

3
berbagai sindrom, salah satunya chondroectodermal dysplasia (Lemos et al.,
2009).

Beberapa faktor dilaporkan dapat menyebabkan gigi natal dan neonatal adalah
sebagai berikut:

1. Faktor herediter dari gen autosomal dominan


2. Gangguan produksi kelenjar endokrin
3. Posisi superficial dari benih gigi
4. Aktivitas osteoblas pada area benih gigi.
5. Infeksi atau malnutrisi
6. Status febrile, erupsi dipercepat oleh insiden febrile atau stimulasi
hormonal
7. Hipovitaminosis
Beberapa penelitian membahas tentang gigi natal dan neonatal yang
berhubungan dengan penyakit sistemik atau sindrom, seperti:
- Hellerman-streiff syndrome (occlusomandibulo-dyscephaly dengan
hypotrichosis)
- Ellis-Van creveld syndrome (Chondroectodermal dysplasis)
- Craniofacial dysostosis syndrome
- Multiple steacystoma
- Congenital pachyonychia ( jadassohn Lewandowsky Syndrome)
- Sotos Syndrome
- Cleft palate
- Piere Robin Syndrom
- Adrenogenital syndrome
- Epidermolysis bullosa simple (Anegundi, et al. 2002).

2.3. Karakteristik Klinis Gigi Neonatal

4
Secara klinis, gigi tersebut memiliki mobilitas yang baik berdasarkan
tingkat pembentukan dari akar. Spouge dan Feasby (1966) mengklasifikasikan
gigi natal dan neonatal berdasarkan level dari maturitas. Keadaan immatur dari
gigi natal atau neonatal berhubungan dengan kesempurnaan pembentukan akar
yang kemudian menghasilkan prognosa yang buruk (Kovac J dan Kovac D,
2011).

Gigi natal dan neonatal meyerupai gigi sulung normal; namun dalam
berbagai hal, gigi tersebut tidak berkembang dengan baik, kecil, konus,
kekuningan, dengan bercak hipolastik enamel dan dentin berwarna putih, dan
kegagalan sebagian atau total dari pembentukan akar. Kenampakan dari gigi natak
diklasifikasikan sebagai berikut (Prabhakar et al., 2009):

Kategori 1: sebuah cangkang seperti mahkota yang longgar melekat pada alveolar
dari tepi dari mukosa rongga mulut; tidak ada akar

Kategori 2: mahkota padat yang longgar melekat pada alveolar dari mukosa
rongga mulut; sedikit atau tidak ada akar

Kategori 3: incisal edge baru dari mahkota baru saja erupsi pada mukosa rongga
mulut

Kategori 4: pembengkakan mukosa dengan gigi yang belum eerupsi namun dapat
dipalpasi.

Gigi natal dengan kategori 1 dan 2 adalah kandidat yang harus diekstraksi
apabila kegoyahannya lebih dari 2 mm. Manajemen dari gigi natal tergantung dari
beberapa faktor. Apabila gigi merupakan gigi supernumerary, maka ekstraksi
merupakan perawatan pilihan. Gigi dengan kegoyahan positif seharusnya
diekstraksi, dengan pertimbangan dari terlepasnya gigi dan ada bengkak atau
penelanan (Prabhakar et al., 2009). Pada kesempatan tertentu, gigi tersebut akan
terlepas secara spontan atau membutuhkan pencabutan karena mobilitas yang
tinggi, kekhawatiran dari penelanan, atau attachment loss akan menyebabkan
perkembangan abses. Gigi tersebut juga diekstraksi apabila terdapat kesulitan

5
makan yang ringan termasuk penyakit Riga-Fede, dimana adanya gigi natal atau
neonatal disertai dengan kebiasaan menghisap hingga terdapat ulcer dibagian
ventral dari lidah (Dyment et al., 2005).

2.4. Karakteristik Histologi Gigi Neonatal

Berdasarkan hasil pemeriksaan histologi mengenai struktur normal enamel


gigi natal ataupun neonatal, erupsi dini dapat mengganggu proses mineralisasi
enamel. Oleh karena itu, enamel pada gigi natal dan neeonatal terlihat displastik
atau hipomineralisasi dan rentan untuk digunakan serta diskolorisasi.

2.5. Diagnosa Gigi Neonatal

Pentingnya diagnosis yang benar tentang gigi neonataltelah ditunjukkan


oleh beberapa peneliti yang menggunakan temuan klinis dan radiografi untuk
menentukan apakah gigi ini berasal dari gigi normal atau adalah supernumerari,
sehingga tidak ada keraguan untuk melakukan ekstraksi. Informasi radiografi
tentang hubungan antara gigi natal dan neonatal dan struktur yang berdekatan,
struktur yang menyerupai gigi, dan ada tidaknya benih gigi pada rongga mulut
akan menentukan apakah yang dimaksud adalah normal atau tidak (Anegundi, et
al. 2002).

2.6. Komplikasi Gigi Neonatal

Adanya gigi neonatal mengakibatkan beberapa komplikasi, antara lain :


1. Mengakibatkan trauma pada lidah. Riga dan fede secara hitologi
menyampaikan lesi tersebut, yang kemudian lesi tersebut disebut Riga-
Fede disease.
2. Kegoyangan dapat menyebabkan gigi tertelan pada saluran pernapasan.
3. Ketidaknyamanan saat menyusui karena gigi goyang.
4. Gigi tersebut dapat memiliki struktur normal, bentuk normal atau
supernumerari.
5. Luka pada payudara ibu dan mengganggu proses menyusui, namun
beberapa penelitian melaporkan bahwa tidak terdapat hubungan antara

6
luka pada puting susu ibu dan adanya gigi neonatal karena terhalang oleh
lidah bayi tersebut.
6. Ulserasi sublingual yang disebabkan oleh gerakan menghisap, dilaporkan
oleh (Anegundi, et al., 2002).

7
BAB 3. LAPORAN KASUS

3.1. Kasus 1

Bayi perempuan berusia 3 hari di rujuk ke bagian kedokteran gigi anak


oleh bagian anak untuk dilakukan evaluasi dari gigi neonatal yang erupsi pada
area anterior dari mandibula. Gigi tersebut tidak ada saat kelahiranya. Data dari
rekam medis menyatakan bahwa pasien lahir secara prematur pada 33 minggu dan
4 hari dan berat lahirnya adalah 1.665 g. Pasien terkena sindrom gangguan
pernapadan ringan saat kelahirannya namun tidak membutuhkan bantuan
ventilasi. Disisi lain, pasien merupakan bayi yang sehat. Pada saat pasien datang,
pasien dalam keadaan dirawat di ruang perawatan khusus untuk observasi
(Dyment, et al., 2005).

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa posisi dari adanya gigi merupakan


letak dari gigi 71 dan 81. Gigi tidak goyang dan pasien tidak mengalami kesulitan
untuk mengkonsumsi ASI. Keputusan yang diambil adalah penilaian kembali gigi
tersebut saat pasien sudah saatnya keluar dari inkubator dan siap untuk pulang ke
rumah. Dua minggu kemudian, pasien kembali. Pasien bertumbuh dengan baik
dan tidak ada keluhan untuk memberikan ASI. Tidak terdapat kegoyangan pada
gigi tersebut ataupun ciri-ciri dari penyakit Riga-Fede. Foto radiografi oklusal dari
gigi anterior mandibula diambil dengan memperoleh izin dari orang tua pasien
(gambar 1). Hasil foto menunjukkan bahwa gigi tersebut merupakan gigi 71 dan
81, gigi sulung insisif sentral mandibula (Dyment, et al., 2005).

8
Gambar 1. Gambaran radiografi oklusal pada regio anterior mandibula yang diambil pada
pasien dengan usia 17 hari. Terdapat gigi neonatal 71 dan 81.

Seminggu kemudian, pasien datang kembali dengan keluhan “satu gigi


terlepas dan gigi lainnya goyang”. Pemeriksaan klinis menunjukkan gigi 71
terlepas secara spontan. Gigi 81 goyang dan hanya sedikit gingiva yang
mengelilinya. Ekstraksi dilakukan dengan setelah aplikasi topikal anestetikum,
gigi 81 diekstraksi dengan menggunakan tang rongeur. Perwatan post-operatif
berjalan dengan lancar dan pasien diperbolehkan pulang seminggu kemudian
(Dyment, et al., 2005).

Sembilan bulan kemudian, pasien kembali datang atas konsul dari dokter
keluarganya. Orangtua pasien mengeluhkan bahwa anak perempuannya “berteriak
dan menangis” pada 2 minggu yang lalu dan acetaminophen tidak efektif untuk
mengurangi rasa sakitnya. Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan terdapat 2 area
jarigan keras yang menonjol pada puncak tulang alveolar pada tempat gigi 71
terlepas dan gigi 81 diekstraksi. Foto radiologi diambil untuk mengetahui jaringan
keras apa yang ada (gambar 2). Tidak terdapat gambaran klinis ataupun radiografi
dar infeksi lokal; namun pasien tetap harus dihibur dan dibujuk (Dyment, et al.,
2005).

9
Gambar 2. Gambaran radiografi oklusal regio anterior mandibula yang diambil dari
pasien dengan usia 9,5 bulan. Terdapat gambaran jaringan radiopak pada area gigi 71
eksfoliasi dan gigi 81 diekstraksi

Keputusan yang diambil kemudia adalah mengambil sisa dari gigi 71 dan
81 dibawah anetesi general. Didalam ruang operasi, setelah diinduksi dengan
anestesi general, anestesi lokal diinfiltrasikan pada anterior dari mandibula dan
sisa gigi 71 dan 81 dengan mudah diambil dengan tang rongeur (Gambar 3). Agen
hemostatis resorbable dan satu benang resorbable digunakan untuk area yang
diekstraksi. Terdapat hanya sedikit kehilangan dara dan hemostasis dapat
diterima. Hasil post opetative baik dan penyembuhannya juga baik (Dyment, et
al., 2005).

Gambar 3. Gigi residual neonatal 71 dan 81 yang diekstraksi

10
3.2. Kasus 2

Pasien kembar perempuan dengan usia satu bulan dilaporkan oleh


Departemen Pedodonsia dan Pencegahan Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran
Gigi dan Rumah Sakit Bapuji untuk evaluasi dari adanya gigi pada mandibula
regio insisif sentral. Riwayat kesehatan menunjukkan pasien lahir prematur pada
minggu ke 32 dan gigi ada pada hari ke-15 dan hal tersebut ada pada keduanya.
Pasien merupakan anak pertama dalam keluarga tersebut dan tidak terdapat
riwayat anomali perkembangan. Kedua pasien aktif mengkonsumsi susu dari
botol, keduanya kesulitan untuk makan dan disusui, dan juga ibu pasien merasa
tidak nyama menyusui pasien. Ibu pasien khawatir bahwa gigi tersebut akan
terlepas dan tertelan. Meskipun kedua bayi menyusui melalui botol, tidak terdapat
gambaran dari kehilangan berat badan dan keadaan umum normal (Prabhakar et
al., 2009).

Pemeriksaan intraoral menunjukkan adanya gigi neotal yang telah erupsi,


terlepas dari tulang alveolar dan tidak terdapat bentukan akar dikeduanya. Pada
bayi pertama terdapat gigi pada mandibula dengan posisi gigi insisif pertama
sebelah kiri dengan enamel yang tipis dan menunjukkan kegoyahan derajat II
(Gambar 4); sedangkan bayi lainnya terdapat gigi pada mandibul dengan posisi
gigi insisif pertama sebelah kanan, kegoyahan derajat I (Gambar 5) (Prabhakar et
al., 2009).

Gambar 4. Foto klinis dari kembaran dan gigi neonatal

11
Gambar 5. Foto klinis dari kembaran dan gigi neonatal

Ekstraksi dipilih untuk pilihan perawatan kedua pasien. Profilaktik vitamin


k diberikan satu jam sebelum tindakan, setelah mendapatkan persetujuan dari
bagian neonatologis. Prosedur dilakukan dibawah anestesi topikal, kedua orang
tua bertolenrasi dengan dilakukannya kuretase. Kuretase dilakukan untuk
menghilangkan sisa-sisa epitel secara menyeluruh. Setelah ekstraksi, gigi
dipotong dengan arah longitudinal dan dilakukan pemeriksaan dibawah
mikroskop cahaya dan polarized-light untuk mengetahui bagaimana formasi
bentukan enamel, dentin, dan pulpa (Gambar 6 dan 7). Setelah satu bulan
kemudian, mukosa terlah tertutup sempurna dan dapat makan secara normal
(Prabhakar et al., 2009).

12
Gambar 6.(A) Gigi yang diekstraksi dari pasien kembar. (B) Potongan longitudinal
dengan pemeriksaan mikroskop dibawah cahaya tampak dan cahaya polarisasi
menunjukkan adanya pembentukan enamel, dentin dan pulpa

Gambar 7.(A) Gigi yang diekstraksi dari pasien kembar. (B) Potongan longitudinal
dengan pemeriksaan mikroskop dibawah cahaya tampak dan cahaya polarisasi
menunjukkan adanya pembentukan enamel, dentin dan pulpa

3.3. Kasus 3

Bayi berusia 5 minggu dikonsulkan ke bagian departemen stomatologi dan


bedah maksifasial di Bratislava oleh dokter anak dengan evaluasi adanya gigi
neonatal yang erupsi pada mandibula area anterior (Gambar 8). Riwayar
kesehatan pasien menunjukkan pasien lahir normal dengan keadaan prematur
yaitu pada minggu ke 36 dan 1 hari. Bayi perempuan tersebut adalah bayi yang
sehat dan merupakan bayi pertama dan satu-satunya pada keluarga tersebut. Berat
lahirnya 2260 g, panjang 45 cm, dan diameter kepala 31 cm (Kovac J dan Kovac
D, 2011).

13
Gambar 8. Aspek klinis dari gigi neonatal insisif rahang bawah

Pemeriksaan intraoral, gigi yang didiagnosa merupakan gigi neonatal yang mulai
erupsi padaa usia 3 minggu pasien. Gigi tersebut mempunyai mobilitas yang
tinggi dan menyebabkan ketidaknyamanan saat menyusui dan mempunyai potensi
resiko yang tinggi untuk pasien sehingga direncanakan untuk mengeekstraksi gigi
tersebut. Pemeriksaan menunjukkan gigi neonatal tersebut merupakan gigi 71 dan
81. Pemeriksaan klinis menunjukkan gigi tidak dikelilinga gingiva cekat dan
kemungkin terlepas spontan dapat terjadi. Setelah aplikasi topikal anestesi pada
gingiva dan mengaplikasikan gauze pada lingual, gigi diekstraksi dengan tang
rongeur. Kedua gigi yang diekstraksi mempunyai dimensi 6,5 mm sampai dengan
3,5 mm dan mempunyai gambaran hipoplastik (Gambar 9). Tidak dilakukan
kuretase pada bagian yang diekstraksi. Tidak terjadi hal hal posoperative (Kovac J
dan Kovac D, 2011).

Gambar 9. Gigi neonatal yang diekstraksi. Sangat sedikit bentukan akar yang terlihat

14
Kontrol dilakukan dua kali, setelah seminggu dan 6 bulan, dan
pemeriksaan menunjukkan tidak terdapat komplikasi. Saat usia pasien 6 bulan
dari hasil pemeriksaan ditemukan benih gigi susu terlihat (Gambar 10 dan 11)
(Kovac J dan Kovac D, 2011).

Gambar 10. Gambaran intaoral saat kontrol usia pasien 6 bulan

Gambar 11. Adanya benih gigi sulung rahang atas, 6 bulan setelah kelahiran

15
BAB 4. PEMBAHASAN

Normalnya, gigi sulung mulai erupsi rata-rata pada usia 6 bulan. Pada
kasus-kasus yang jarang terjadi, kronologi dari erupsi bisa saja terganggu. Telah
didefinisikan bahwa gigi yang erupsi saat kelahiran bayi merupakan gigi natal,
sedangkan yang erupsi antara sebulan setelah kelahiran disebut gigi neonatal
(Massler dan Savara, 1950). Pada kasus 1, 2, ataupun 3 masing-masing didiagnosa
mempunyai gigi neonatal. Gigi-gigi tersebut ada pada mandibula regio insisif,
dengan mobilitas tinggi dan menyebabkan ketidaknyamanan pada ibu saat
menyusui. Masing-masing kasus gigi tersebut diekstraksi karena ketakutan akan
tertelannya gigi saat terlepas.

Perawatan pada gigi natal dan neonatal seharusnya direncanakan secara


hati-hati, dengan memperhatikan beberapa komplikasi dan kehilangan prematur
dari gigi sulung yang kemudian dapat menyebabkan kehilangan ruang dan
mengganggu pertumbuhan rahang yang kemudian mempunyai konsekuensi
berupa maloklusi pada geligi permanen. Apabila gigi natal dan neonatal
didiagnosa sebagai geligi normal, pemeliharaan gigi tersebut merupakan pilihan
perawatan pertama yang dapat dilakukan, kecuali hal ini dapat melukai bayi
ataupun ibunya (Anegundi et al., 2002). Apabila gigi tidak menganggu proses
menyusui atau asimptomatik, tidak ada intervensi yang dibutuhkan. Gigi
diekstraksi diindikasikan apabila gigi adalah gigi supernumerari atau gigi dengan
mobilitas yang tinggi sehingga dapat berpotensi untuk tertelan. Pemeriksaan
radiogradi merupakan satu-satunya cara untuk mengetahui gigi tersebut termasuk
geligi normal ataupun supernumerari (Leung dan Robson, 2006). Adanya gigi
neoonatal dapat menyebabkan kesulitan untuk sang ibu saat menyusui. Apabila
menyusui langsungsulit untuk dilakukan, penggunaan pompa dan penyimpaan
susu direkomendasikan. Meskipun, anak akan dalam keadaan tidak menggigit saat
proses menyusui , hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan dan alangkah lebih
baiknya apabila daat mencegah agar hal tersebut tidak terjadi (Prabhakar et al.,
2009).

16
Pada kasus 1, 2, dan 3 perawatan yang dipilih adalah pencabutan karena
pada masing-masing kasus terdapat mobilitas gigi yang tinggi dan mengganggu
proses menyusui. Yang membedakan adalah pada kasus kedua dilakukan kuretase
sedangkan pada kasus 1 dan 2 tidak dilakukan.

Gigi natal atau neonatal yang diekstraksi mempunyai minimal perlekatan


gingiva, seperti pada kasus 1, 2, dan 3 diatas anestesi yang cukup digunakan
adalah anestesi pada jaringan lunak dengan aplikasi dari anestesi topikal.

Dental papil mampu meberikan suatu stimulus dari epitelium untuk


membentuk jaringan akar dan pulpa (Dyment, et al., 2005). Pada area akar,
stimulus akan disediakan oleh Hertwig’s epithelial root sheath (HERS), yang
akan bertumbuh di areanya dan dental folikel. Menurut Southam (1968)
bersamaan dengan hilangnya mahota dari gigi natal dan neonatal, permukaan
papila yang terekspos akan terinfeksi dan nekrosis bersama dengan odontoblas
serta HERS. Terdapat dua kasus pula yang menyatakan bahwa, sisa jaringan bisa
masi saja vital dan masih mempunyai kemampuan untuk membentuk suatu
jaringan keras. Jarigan keras yang kemudian terbentuk ini memiliki berbagai
macam bentuk, antara lain: massa seperti tumor, struktur seperti gigi, masa
irreguler dari dentin, odontogenic remnants, dan jaringan keras seperti mutiara.

Menurut Dyment, et al., (2005) apabila dilakukan ekstraksi dari gigi natal
ataupun neonatal, kuretase seharusnya dilakukan dibawah jaringan dental papil
untuk mencegah terbentuknya residu gigi. Kuretase dilakukan dengan anestesi
lokal berupa injeksi. Kuretase dilakukan pada kasus kedua, dengan pertimbangan
pencegahan terbentuknya residu gigi. Hal tersebut berbeda dengan kasus 3, Kovac
J dan Kovac C (2011) merekomendasi untuk tidak melakukan kuretase pada
pasien pada kasus 3, karena anestesi injeksi lokal dan kuretase merupakan
tindakan yang dapat meningkatkan stress pada anak. Selain itu, resiko dari
pembentukan gigi residual hanyalah 9,1%, sehingga orangtua pasien perlu
diinformasikan dan diminta untuk rajin melakukan kontrol ke dokter gigi.

17
Pemberian informasi berupa pembedahan akan pula dilakukan apabila terbentuk
gigi residual.

Apabila ekstraksi direncankan dalam usia 10 hari bayi, anak harus


diberikan injeksi vitamin K secara rutin untuk memastikan tidak terdapat kelainan
perdarahan pada pasien (Dyment et al., 2005). Dengan kata lain, akan jauh lebih
aman apabila tindakan dilakukan menunggu bayi berusia lebih dari 10 hari.
Periode menunggu ini sangat menguntungkan karena flora normal dalam usus
akan bekerja dengan baik dan memproduksi vitamin K, yang nantinya akan
berfungsi untuk produksi protrombin pada hati. Apabila terdapat cukup waktu
untuk menggu usia 10 hari pasien, vitamin k dapat diberikan secara injeksi
intramuskular (0,5-1 mg). Pada kasus 1, 2, dan 3 dilakukan ekstraksi pada saat
usia bayi lebih dari 10 hari, sehingga tidak dibuthkan injeksi vitamin K terlebih
dahulu.

Kembar identik selalu memiliki jenis kelamin yang sama yaitu keduanya
laki-laki atau keduanya perempuan. Pada beberapa kasus lokasi gigi dengan
beberapa variasi bisa saja terjadi pada kembar non identik. Manajemen yang
sesuai dan waktu yang tepat merupakan hal yang penting tergantung dari keadaan
klinis. Sebagian besar gigi yang erupsi prematur (tipe prematur) hipermobile
dikarenakan perkembangan akar yang tidak lengkap. Gigi neonatal memiliki
mobilitas dari lebih rendah dibanding gigi natal. Pada beberapa kasus mobilitas
gigi meningkat dan kemudia membutuhkan penanganan berupa ekstraksi gigi
untuk mencegah terjadinya lepas gigi dan tertelan. Selain itu, insisal edge yang
tajam menyebabkan trauma pada area sekitas jaringan lunak, sehingga gigi butuh
untuk segera diekstraksi. Apabila gigi tidak menyebabkan kesulitan pada bayi
ataupun ibu makan gigi dibiarkan saja dan pentingnya pertumbuhan gigi sangat
penting untuk dijelaskan kepada orangtua pasien. Pada gigi yang menyebaban
trauuma, perawatan konservatif dilakukan yaitu menghaluskan bagian insisal gigi
(Prabhakar et al., 2009).

18
Mukosa disekitar gigi yang erupsi biasanya mengalami edematur
dan kemerahan. Prabhakar et al.,(tahun 2009) menyarankan untuk penggunaan
klorheksidin gluconate gel 3 kali sehari.

Penundaan prosedur bedah pada anak-anak hingga hari ke-10 postpartum


sudah tidak lagi direkomendasikan karena saat ini sudah dapat digunakan
profilaksis vitamin K sebagai salah satu standart prosedur. Apabila dibutuhkan
dapat diaplikasi agen hemostatik topikal dengan penekanan secara langsung
(Prabhakar et al., 2009).

19
BAB 5. KESIMPULAN

1. Apabila gigi natal atau neonatal harus dilakukan pencabutan, seharusnya


dilakukan anestesi lokal injeksi dan lakukan kuretase. Apabila
memungkinkan untuk melakukan pencabutan dengan anestesi topikal,
kuretase tidak perlu dilakukan, namun pasien harus selalu dimonitor untuk
kemungkinan terbentuknya residual teeth.
2. Gigi natal dan neotal ada dengan berbagai macam manifestasi klinis, setiap
kasus seharusnya dievaluasi secara independent sehingga dapat diputuskan
untuk dipertahankan atau diekstraksi.
3. Diperlukan pemeriksaan faktor lokal atau sistemik yang berhubungan
dengan erupsi dari gigi neonatal, hubungannya dengan keadaan patologis
dan menjadi dasar dari differential diagnosis.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anegundi RT, Sudha R, Kaveri H, dan Sadanan K. Natal And Neonatal Teeth: A
Report of Four Cases. J Indian Sot Pedo Prev Dent 2002; 20:86-92

Dyment, Heather; Anderson, Ross; Humphrey, Janice; Chase, Isabelle. Residual


Neonatal Teeth: A Case Report. J Can Dent Assoc 2005; 71(6): 394-397

Kovac J dan Kovac D. Case Report: Neonatal teeth. Bratisl Lek Listy 2011;
112(11): 648-650

Lemos LVFM, Shintome LK, Ramos CJ, Myaki SI. Natal and neonatal Teeth.
Einstain 2009; 7:112-113

Leung AK dan Robson WL. Natal Teeth: A Review. J Natl Med Assoc 2006; 98:
226-228

Massler M, Savara BS. Natal and Neonatal Teeth: A Review of 24 Cases


Reported In The Literature. J Pediatr 1950 Mar; 36(3): 349-359

Prabhakar AR, Ravi GR, Raju OS, Ameet J Kurthukoti, Subha AB. Neonatal
Tooth in Fraternal Twins: A Case Report. International Journal of
Clinical Pediatric Dentistry 2009 May-August; 2(2): 40-44

Singh S, Subbareddy VV, Dhananjaya G, Patil R. Reactive Fibrous Hyperplasia


Associated With a Natal Tooth: A Case Report. J Indian Sot Pedo Prev
Dent 2004; 22:183-186

Southam JC. Retained Dentin Papillae In The Newborn. A Clinical and


Histopathological Study. Brit Dent J 1968; 125(12): 534-538

Spogue JD, Feasby WH. Erupted Teeth In The Newborn. Oral surg 1966; 22:
198-208

21

Anda mungkin juga menyukai