Anda di halaman 1dari 3

‫ َوأَ ْش َه ُد أَنَّ َسيِّدنا م َُح َّم ًدا َع ْب ُد ُه‬، ‫ْك َل ُه‬ َ ‫ال َش ِري‬ َ ُ‫ أَ ْش َه ُد أَنْ الَ إِ َل َه إِالَّ هللاُ

لاُ َوحْ دَ ه‬.‫ت‬ ِ ‫اعا‬َ ‫الط‬ َّ ‫ أَ َم َر َنا ِب َترْ ك ْال َم َناهِيْ َوفِعْ ِل‬  ْ‫الحمْ ُد هلِل ِ الَّذِي‬ َ
َّ
‫ب َو َعلى الت ِاب ِعي َْن‬ َ َ َ َ
ِ ‫ص ِّل َو َسل ْم َعلى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َعلى آلِ ِه َوأصْ َحاِب ِه ال َها ِدي َْن لِلص ََّوا‬ ِّ َّ َ ُ
َ ‫ اَلل ُه َّم َف‬.‫َو َرس ُْول ُه ال َّداعِ ى ِب َق ْولِ ِه َوفِعْ لِ ِه إِلى الرَّ َشا ِد‬
‫الى فِي ِك َت ِاب ِه‬ َ َ ُ َ‫ع‬‫ت‬َ ‫هللا‬ ‫ل‬ ‫ا‬‫ق‬َ ْ
‫د‬ َ
‫ق‬ َ
‫ف‬ ‫ن‬َ ‫ُو‬ْ ‫م‬ِ ‫ل‬ ْ‫ُس‬
‫م‬ ‫م‬ ُ
‫ت‬ ‫ـ‬ ‫ن‬
ْ ْ َ َِ ‫أ‬ ‫و‬َّ ‫ال‬ ‫إ‬ َّ‫ن‬‫ت‬ُ ‫ُو‬ْ ‫م‬‫ت‬َ َ ‫ال‬ ‫و‬
َ ‫ِه‬
‫ت‬ ‫ا‬‫ق‬َ ُ
‫ت‬ َّ
‫ق‬ ‫ح‬
َ َ ‫هللا‬ ‫ا‬ ‫و‬ْ ُ ‫ق‬ َّ
‫ت‬ ‫ا‬
ِ ، َ ِ‫ َف َيااَ ُّي َها ْالمُسْ ل‬،‫ اَمَّا َبعْ ُد‬.‫ب‬
‫ن‬‫ُو‬ْ ‫م‬ ِ ‫ان إِلَى َي ْو ِم ْال َمآ‬ٍ ‫لَ ُه ْم ِبإِحْ َس‬
ُ َ
َ ‫ِيه ْم َو َت ْش َه ُد أرْ جُل ُه ْم ِب َما َكا ُنوا َي ْكسِ ب‬
‫ُون‬ َ ِّ َ
ِ ‫ ْال َي ْو َم َن ْخ ِت ُم َعلَى أ ْف َواه ِِه ْم َو ُت َكل ُم َناـ أ ْيد‬:‫ْال َك ِري ِْم‬
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Persoalan pemimpin dalam Islam sangat krusial. Ia dibutuhkan dalam masyarakat atau
komunitas bahkan dalam lingkup yang sangat kecil sekalipun. Adanya pemimpin mengandaikan
adanya sistem secara lebih terarah. Tentu saja pemimpin di sini bukan seseorang dengan
otoritas mutlak. Ia dibatasi oleh syarat-syarat tertentu yang membuatnya harus berjalan di atas
jalan yang benar.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah pernah bersabda:


‫ان َثالَ َث ٌة فِي َس َف ٍر َف ْلي َُؤ ِّمرُوا أَ َحدَ ُه ْم‬
‫إِ َذا َك َـ‬
“Bila ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka
menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud)

Hadits ini memuat pesan bahwa kepemimpinan adalah hal penting dalam sebuah aktivitas
bersama. Perjalanan tiga orang bisa dikatakan adalah kegiatan yang dilakukan oleh tim kecil.
Artinya, perintah Nabi tersebut tentu lebih relevan lagi bila diterapkan dalam konteks komunitas
yang lebih besar, mulai dari tingkat rukun tentangga (RT), rukun warga (RW), desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, hingga negara. Juga ada lingkup-lingkup aktivitas lainnya yang
memperlukan kebersamaan.

Hadirnya pemimpin membuat kerumunan massa menjadi jamaah yang terorganisasi: ada
tujuan, pembagian peran, dan aturan yang ditegakkan bersama. Bisa dibayangkan seandainya
sebuah wilayah dengan populasi yang banyak tanpa pemimpin. Tentu kekacauan aka nada di
mana-mana karena kehidupan sosial tidak terkontrol, kejahatan tanpa sanksi, dan sumber daya
alam tidak terkelola secara tertib. Tak heran jika ada pendapat yang mengatakan bahwa
pemimpin yang zalim lebih baik daripada tanpa kepemimpinan. Tentu ini bukan hendak
menoleransi karakter pemimpin yang sewenang-wenang melainkan petunjuk betapa pentingnya
mengangkat pemimpin dalam Islam. Imam Al-Ghazali mengaitkan pentingnya pemimpin dengan
kelestarian agama sebagai berikut:
َ َ ‫ك َوال ِّديْنُ َت ْوأَ َم ِـ‬
َ ‫س لَ ُه َف‬
‫ضا ِئ ٌع‬ ِ ‫ان َفال ِّديْنُ أصْ ٌل َوالس ُّْل َطانُ َح‬
ِ ‫ارسٌ َو َما اَل أصْ َل لَ ُه َف َم ْه ُد ْو ٌم َو َما اَل َح‬
َ ‫ار‬ ُ ‫الم ُْل‬ 
“Kekuasaan dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama sebagai landasan dan
kekuasaan sebagai pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki landasan pasti akan tumbang.
Sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal akan tersia-siakan.” (Abu Hamid al-Ghazali,
Ihyâ Ulumiddin, tt, Beirut: Darul Ma’rifah, Juz 1, h. 17)

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Dengan demikian, kita sebagai Muslim sekaligus warga negara yang baik punya tanggung jawab
untuk mengangkat pemimpin. Dalam sistem pemilihan umum yang dianut di Indonesia,
partisipasi masyarakat dalam memilih sangat signifikan. Pilihan mereka menentukan kualitas
kepemimpinan di masa-masa yang akan datang. Pertanyaannya adalah pemimpin seperti apa
mesti kita pilih?  Sebagaimana yang tersemat dalam diri Rasulullah, kriteria pemimpin
setidaknya memiliki empat sifat, yakni shiddiq (jujur), amanah (bertanggung jawab dan dapat
terpercaya), tabligh (aspiratif dan dekat dengan rakyat), fathanah (cerdas, visioner).

Inilah sifat-sifat ideal yang mesti ada dalam diri pemimpin, di mana pun levelnya, apa pun jenis
institusinya. Kita bisa saja pesimis terhadap pilihan-pilihan yang ada di hadapan kita karena tidak
memenuhi idealitas empat kriteria tadi. Tapi keputusan untuk diam sama sekali, misalnya
dengan menjadi golput, jelas tidak lebih baik. Sebab, umat tidak dipaksa memenuhi idealitas
ketika hal itu tidak memungkinkan, tapi ia berkewajiban berikhtiar membuat pilihan yang
“paling ideal” di antara orang-orang yang tak ideal. Atau dengan bahasa lain, memilih terbaik di
antara yang terburuk.

Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,

Lantas dari mana kita mengetahui kriteria-kriteria itu? Cara paling mudah adalah pertama
dengan melihat rekam jejaknya. Sebagai rakyat yang bakal dipimpin, pemilik hak suara mesti
aktif mencari tahu tentang kualitas calon pemimpin yang hendak mereka pilih. Sebab, sikap
pasif tidak hanya membuat seseorang buta informasi tapi juga mudah dibohongi, bahkan diadu-
domba. Musyawarah Alim Ulama NU pada tahun 2012 pernah mendiskusikan persoalan ini dan
berujung pada kesimpulan tidak boleh mencalonkan diri, dicalonkan, dan dipilih untuk
menduduki jabatan publik (urusan rakyat/umat), orang yang terkena satu di antara beberapa
hal berikut: (1) terbukti atau diduga kuat pernah melakukan korupsi, (2) mengabaikan
kepentingan rakyat, (3) cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, (4)
gagal dalam melaksanakan tugas-tugas jabatan sebelumnya. Dasar tentang hal ini sangat jelas: 
ُ ‫اس أَنْ َتحْ ُكمُوا ِب ْال َع ْد ِل ۚ إِنَّ هَّللا َ ِن ِعمَّا َيع‬
‫ِظ ُك ْم ِب ِه ۗ إِنَّ هَّللا َ َك َـ‬
‫ان َسمِيعًا‬ ِ ‫إِنَّ هللاَ َيأْ ُم ُر ُك ْـم أَنْ ُت َؤدُّوا اأْل َ َما َنا‬
ِ ‫ت إِلَ ٰى أَهْ لِ َها َوإِ َذا َح َكمْ ُت ْم َبي َْن ال َّن‬
‫بَصِ يرً ا‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil...” (QS an-Nisa: 58)

Kedua, cara calon pemimpin untuk naik ke kursi kepemimpinan. Secara ideal pemimpin tidak
dianjurkan mencalonkan atau mengajukan dirinya sendiri, melainkan dicalonkan atau diajukan
oleh masyarakat. Namun, bila hal ini tidak terlaksana, setidaknya ia menggunakan cara-cara
bersih dalam menunaikan proses pencalonan, kampanye, hingga prosedur pemilihan yang
disepakati bersama. Calon pemimpin wajib mengedepankan watak kejujuran (shiddiq) karena ini
bekal paling mendasar dalam mewujudkan tata pemerintahan yang bersih nanti. Kejujuran
tersebut diaplikasikan mulai dari tidak melakukan politik uang (risywah), tidak membual dengan
janji-janji palsu, dan sejenisnya. Juga menandakan sebagai pribadi yang amanah, tidak
menyeleweng dari tanggung jawab.

Pemimpin memang memiliki hak politik, kewenangan-kewenangan, tapi jangan lupa bahwa ia
juga memiliki tanggung jawab untuk berbuat adil dan berpihak pada kesejahteraan umum.
Calon pemimpin yang baik juga merupakan mereka yang aspiratif terhadap cita-cita rakyat
(tabligh). Ia dekat dengan masyarakat, mau bertukar pikiran (musyawarah), dan peduli terhadap
kepentingan publik. Tindak lanjut dari hal ini terencananya program-program bermanfaat yang
hanya bisa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin yang visoner dan cerdas (fathanah). Bila sejak
pencalonan saja, seseorang terindikasi kuat bakal menyalahgunakan wewenang—misalnya
dengan money politics—rakyat yang memilih calon tersebut sejatinya sedang berbuat zalim.
Pertama, zalim kepada dirinya sendiri karena menjatuhan dirinya pada “politik dagang sapi”.
Kedua, zalim kepada orang lain sebab ia mengorbankan masa depan kepentingan publik dengan
memilih calon pemimpin yang kotor. Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsir at-Tahrîr wat Tanwîr,
mengutip pernyataan Imam Fahruddin ar-Razi, mengatakan:
ُّ ‫ إِنْ أَ َرادَ الرَّ عِ َّي ُة أَنْ َي َت َخلَّصُوا مِنْ أَ ِمي ٍْر َظالِم َف ْل َي ْت َر ُك ْوا‬: ‫َقا َل ال َف ْخ ُر‬
‫الظ ْل َم‬ ٍ
“Jika rakyat ingin terbebas dari pemimpin yang zalim maka ia harus meninggalkan perbuatan
zalim itu sendiri.”

Pernyataan ini dilontarkan saat memberikan tafsir ayat:

َ ‫ِين َبعْ ضًا ِب َما َكا ُنوا َي ْكسِ ب‬


‫ُون‬ َّ ‫ض‬
‫الظالِم َـ‬ َ ْ‫َو َك َذل َِك ُن َولِّي َبع‬
“Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang yang zalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang
lain disebabkan amal yang mereka lakukan.” (QS al-An’am: 129)

Demikianlah, partisipasi masyarakat dalam hal kepemimpinan amatlah penting, dan lebih
penting lagi memilih pemimpin yang benar-benar berpihak pada kemaslahatan orang banyak.
Hal itu tentu tak akan terwujud bila tidak dimulai dari diri kita sendiri. Sekali lagi, “Jika rakyat
ingin terbebas dari pemimpin yang zalim maka ia harus meninggalkan perbuatan zalim itu
sendiri.”  Kita berdoa semoga pemilihan umum di Indonesia, di mana pun berada, berjalan
dengan aman, damai, adil, dan jujur. Kita sebagai warga negara semoga dapat memberikan hal
terbaik bagi bangsa dan negara ini. Wallahu a’lam.
‫ َو َن َف َعنِي َوإِيَّا ُك ْم ِب َمافِ ْي ِه مِنْ آ َي ِة َوذ ِْك ِر ْال َح ِكي ِْم َو َت َق َّب َل هللاُ ِم َّنا َو ِم ْن ُك ْم ِتالَ َو َت ُه َوإِ َّن ُه ه َُو ال َّس ِم ْي ُع‬،‫آن ْا َلعظِ ي ِْم‬ ِ ْ‫ار َك هللا لِي َولَ ُك ْم فِى ْالقُر‬ َ ‫َب‬
‫العظِ ْي َم إِ َّن ُه ه َُو الغَ فُ ْو ُر الرَّ ِحيْم‬ َ َ ‫هللا‬ ‫ر‬
ُ ‫ف‬
ِ ْ
‫غ‬ َ
‫ت‬ ْ‫أس‬‫ف‬َ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ ‫ه‬
َ ‫ِي‬ ‫ل‬ ‫و‬ْ َ
‫ق‬ ‫ل‬
ُ ‫و‬ْ ُ ‫ق‬َ ‫أ‬ ‫و‬ ْ
َ ُ ‫الع‬
، ‫م‬ ‫ي‬ ِ ‫ل‬ َ

Anda mungkin juga menyukai