Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

DIABETES MELLITUS

RSUD BLAMBANGAN
BANYUWANGI
2015
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS
No. Rekam Medis : 109085
Nama : Aspani
Alamat : Dsn. Krajan 6 No.2 Sidodadi Wongsorejo
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 50 Tahun
1.2 ANAMNESA
Keluhan Utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien mengeluh sesak + 1 terakhir, mual (+) /
muntah (+), nyeri ulu hati (+), demam (-), BAB
BAK t.a.a, nyeri dada (-), nyeri kepala (-), pasien
sebelumnya dirawat di puskesmas Wongsorejo 1
hari sebelum MRS Blambangan
Riwayat Penyakit Dahulu / Pengobatan: riwayat DM (+), riwayat HT (+), riwayat alergi
obat (-)
Airway : Lancar
Dinding dada : Simetris
Trachea : Di tengah
Suara Nafas Tambahan: Tidak
Gerak Dada : Simetris
Retraksi Otot Nafas : Tidak
Krepitasi : Tidak
Circulation
Akral : Hangat, merah, kering
Disability
GCS : 4/ 5/ 6
Pupil : Ukuran OD 5 mm OS 1 mm
RC OD (+) OS (+)
Vital Sign
Tensi : 180/100 mmHg
Nadi : 87 x/mnt
RR : 21 x/mnt
T axial :36,7OC
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Kepala/ Leher : mata :on(-/-) ikterus (-/-)oedem preorbita(-/-)
Thoraks : Bising (-) Rh (-/-)wh(-/-)
Abdomen/ punggung : abd : BU (+) , suspc. acites (-)
Ekstremitas : oedem extr. (-/-)
Genetalia
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laborat : DL,RFT, GDA
1.5 DIAGNOSA
Primer : DM Nephropaty
Sekunder :-
1.6 TERAPI/ TINDAKAN :
 Infus PZ 7 tpm
 Inj.Ceftriaxon 2x1 gr skin test
 Inj Ranitidin 2x1 amp
 Glibenclamid 1-0-0 ( sebelum sarapan )
 Micordis 80 gr 1-0-0
 CIT 24 jam
 O2 4 l/t
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolic akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, syaraf, dan pembuluh darah. (Mansjoer, 2001). Menurut (Brunner dan Suddart,
2000) Diabetes Melitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan
kadar glukosa darah atau hiperglikemia. Kumpulan kelainan yang disebabkan oleh defisiensi
insulin disebut diabetes mellitus (Ganoong, 2008).
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Pankreas
Pankreas terletak melintang dibagian atas abdomen dibelakang gaster didalam ruang
retroperitoneal. Disebelah kiri ekor pankreas mencapai hilus limpa diarah kronio – dorsal
dan bagian atas kiri kaput pankreas dihubungkan dengan corpus pankreas oleh leher
pankreas yaitu bagian pankreas yang lebarnya biasanya tidak lebih dari 4 cm, arteri dan vena
mesentrika superior berada dileher pankreas bagian kiri bawah kaput pankreas ini disebut
processus unsinatis pankreas. Pankreas memiliki 2 fungsi : fungsi endokrin dan fungsi
eksokrin (Sloane, 2003). Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel asinar
pankreas, memproduksi cairan pankreas yang disekresi melalui duktus pankreas ke dalam
usus halus (Sloane, 2003). Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama, Sloane (2003), yaitu:
 Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
 Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi, menyekresikan
insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pankreas manusia mempunyai 1 – 2 juta pulau langerhans, setiap pulau langerhans hanya
berdiameter 0,3 mm dan tersusun mengelilingi pembuluh darah kapiler. Sel endokrin dapat
ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu kumpulan kecil sel yang tersebar di
seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau
tersebut, Sloane (2003):
a) Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi faktor
hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like activity.
b) Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah.
c) Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang hormon pertumbuhan yang
menghambat sekresi glukagon dan insulin.
d) Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk fungsi
yang tidak jelas.
Kelenjar pankreas dalam mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh berupa hormon-
hormon yang disekresikan oleh sel – sel dipulau langerhans. Hormon-hormon ini dapat
diklasifikasikan sebagai hormon yang merendahkan kadar glukosa darah yaitu insulin dan
hormon yang dapat meningkatkan glukosa darah yaitu glukagon.
a) Glukagon
Merupakan polipeptida linear yang dihasilkan oleh sel A pulau Lagerhaens
pankreas dan saluran cerna bagian atas. Glukagon bersifat glikoginolitik, glukoneogenik,
lipolitik, dan neogenik. (Ganoong, 2008)
Sekresi glukagon ditingkatkan oleh hipoglikemia dan diturunkan oleh peningkatan
glukosa plasma. Sel B mengandung GABA, dan terdapat bukti bahwa seiring dengan
peningkatan insulin yang ditimbulkan oleh hiperglikemia, GABA dilepaskan dan
berkerja pada sel A dan menghambat sekresi glucagon dengan mengaktifkan reseptor
GABA4. Reseptor GABA4 adalah saluran Cl dan influx Cl yang terjadi menyebabkan
hiperpolarisasi sel A. (Ganoong, 2008)
b) Insulin
Hubungan yang erat antara berbagai jenis sel dipulau langerhans menyebabkan
timbulnya pengaturan secara langsung sekresi beberapa jenis hormone lainnya,
contohnya insulin menghambat sekresi glukagon, somatostatin menghambat sekresi
glukagon dan insulin.
Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel
beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke dalam darah sesuai dengan
kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah (Manaf, 2006).
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor hormon insulin)
pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, prepoinsulin
mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam
gelembung-gelembung (secretory vesicle) dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan
enzim peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang
keduanya sudah siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel (Guyton,
2007).
Mekanisme secara fisiologis di atas, diperlukan bagi berlangsungnya proses
metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi insulin dalam proses utilasi glukosa
dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta memproduksi insulin, meskipun beberapa jenis
asam amino dan obat-obatan, juga dapat memiliki efek yang sama. Mekanisme sintesis
dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan terhadap sel beta cukup rumit, dan belum
sepenuhnya dipahami secara jelas (Manaf, 2006).
Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa memberikan
rangsangan pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati membran sel yang
membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino
yang terdapat dalam berbagai sel yang berperan proses metabolisme glukosa. Fungsinya
sebagai "kenderaan" pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam jaringan tubuh.
Glucose transforter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam
proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini
merupakan langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel, molekul glukosa tersebut
dapat mengalami proses glikolisis dan fosforilasi yang akan membebaskan molekul ATP.
Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan untuk mengaktifkan proses penutupan
K channel yang terdapat pada membran sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam
sel menyebabkan depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses
pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca²⁺
sehingga meningkatkan kadar ion Ca²⁺ intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses
sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya dapat
dijelaskan (Manaf, 2006).
Gambar 2.1 Anatomi Pankreas
2.1.2 Etiologi dan Jenis Diabetes
Diabetes adalah suatu penyakit yang disebabkan karena peningkatan kadar gula dalam
darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin absolut ataupun relatif.
a) Diabetes melitus tipe 1
Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Penderita tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk
kerusakan autoimum sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit,
antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri
(Misnadiarly,2006).
b) Diabetes melitus tipe 2
Pada diabetes melitus tipe 2, jumlah insulin normal tetapi jumlah reseptor insulin yang
terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke dalam sel
sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat. (Misnadiarly,2006)
c) Diabetes mellitus Tipe Spesifik Lain
Etiologi bagi diabetes tipe ini merupakan defek spesifik pada sekresi atau fungsi
insulin, kelainan metabolik yang menyebabkan gangguan sekresi insulin, kelainan
mitokondria, dan keadaan-keadaan yang lainnya yang menyebabkan IGT
(Misnadiarly,2006)

2.1.3 Pathogenesis Diabetes Melitus


2.1.3.1 DM tipe 1
Pada DM tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-
sel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun (Fauci, et al, 2008). Glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam
darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan
dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera
makan (Polifagia) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala lainnya mencakup
kelelahan dan kelemahan.
Dalam keadaan normal, insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan
glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-
asam amino serta substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini
akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak.

2.1.3.2 DM tipe 2
Resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak normal menjadi kunci dari
berkembangnya DM tipe 2. Obesitas, sering ditemukan pada penderita DM tipe 2. Pada
tahap awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel β pankreas mengkompensasi
dengan meningkatkan produksi insulin. Ketika resistensi insulin dan hiperinsulinemia
kompensatorik terus terjadi, pankreas tidak mampu mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia tersebut. Akibatnya, terjadi gangguan toleransi glukosa, yang ditandai
dengan peningkatan glukosa darah setelah makan. Setelah itu, penurunan sekresi insulin
dan peningkatan produksi glukosa hati berlanjut pada diabetes berat dengan
hiperglikemia saat puasa dan kegagalan sel beta.  Ada 4 karakteristik penyebab DM tipe
2, yaitu resistensi insulin, berkurangnya sekresi insulin, dan meningkatnya produksi
glukosa hati, dan metabolisme lemak yang abnormal (Fauci, et al, 2008; Maitra dan
Abbas, 2005). 
a. Resistensi Insulin
Resistensi insulin adalah resistensi terhadap efek insulin pada uptake,
metabolisme, dan penyimpanan glukosa. Hal tersebut dapat terjadi akibat defek
genetik dan obesitas (Maitra dan Abbas, 2005). Mekanisme resistensi insulin
umumnya disebabkan oleh gangguan pengikatan insulin dengan reseptor khusus pada
permukaan sel agar terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa
didalam sel.
b. Gangguan Sekresi Insulin
Sekresi insulin dan sensitivitasnya saling berhubungan (Fauci, et al, 2008).
Pada DM tipe 2, sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin
untuk mempertahankan toleransi glukosa. Namun, lama kelamaan sel beta kelelahan
memproduksi insulin sehingga terjadi kegagalan sel β. Kegagalan sel β ini tidak
terjadi pada semua penderita DM tipe 2 sehingga diduga ada pengaruh faktor
intrinsik berupa faktor genetik yaitu gen diabetogenik TCF7L2 (Maitra dan Abbas,
2005).
2.1.4 Peningkatan Produksi Glukosa Hati
Ketika tubuh semakin resisten terhadap insulin, kadar gula darah yang tinggi
akan memaksa tubuh mensekresikan insulin secara terus menerus ke dalam sirkulasi
darah (hiperinsulinemia). Pada keadaan normal, seharusnya hal ini dapat membuat
glukosa dikonversi menjadi glikogen dan kolesterol. Akan tetapi, pada pasien DM
yang resisten terhadap insulin, hal ini tidak terjadi dan sebaliknya ketiadaan respon
terhadap insulin mengakibatkan hati terus menerus memproduksi glukosa
(glukoneogenesis). Hal ini pada akhirnya akan berujung pada terjadinya
hiperglikemia. Produksi glukosa hati baru akan terus meningkat akibat terjadinya
ketidaknormalan sekresi insulin dan munculnya resistensi insulin di otot rangka
(Fauci et al, 2008).
2.1.5 Metabolisme Lemak yang Abnormal
Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hati menggambarkan kegagalan
hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis sehingga terjadi hiperglikemia saat
puasa dan penurunan penyimpanan glikogen hati (glikogenesis) setelah makan.
Ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi akan menyebabkan
banyak asam lemak bebas (FFA) yang keluar dari adiposit sehingga terjadi
peningkatan FFA di dalam darah. Peningkatan konsentrasi FFA menyebabkan sintesis
lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit meningkat. Penyimpanan lipid
(steatosis) dalam hati dapat berlanjut pada penyakit perlemakan hati nonalkoholik
dan abnormalitas fungsi hati. Selain itu, keadaan tersebut menyebabkan dislipidemia
pada penderita DM tipe 2, yaitu peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan
penurunan HDL (Fauci et al, 2008).
Secara rinci proses terjadinya hiperglikemia karena defisit insulin tergambar
pada perubahan metabolik sebagai berikut (Long, 1996) :
a) Transport glukosa yang melintasi membran sel-sel berkurang.
b) Glukogenesis (pembentukan glikogen dari glukosa) berkurang dan tetap
terdapat kelebihan glukosa dalam darah.
c) Glikolisis (pemecahan glukosa) meningkat, sehingga cadangan glikogen
berkurang, dan glukosa hati dicurahkan dalam darah secara terus menerus
melebihi kebutuhan.
d) Glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari unsur non karbohidrat)
meningkat dan lebih banyak lagi glukosa hati yang tercurah ke dalam
darah hasil pemecahan asam amino dan lemak.

2.1.6 Manifestasi Klinik


Diabetes seringkali muncul tanpa gejala namun demikian ada beberapa gejala yang
perlu diwaspadai sebagai isyarat diabetes melitus. Pada DM I gejala klasik yang umum
ditemukan adalah poliuria, polidysia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah,
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM type II gejala yang dikeluhkan
hampir tidak ada. DM type II muncul tanpadiketahui dan penanganan baru dimulai beberapa
tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penerita
DM type II umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya
penglihatan makin buruk, dan umumnya menderita hypertensi, hiperlipidemia, obesitas serta
komplikasi pada pembuluh darah saraf.

2.1.7 Komplikasi
Diabetes mellitus jangka panjang member dampak yang parah ke sistem
kardiovaskular, terjadi kerusakan di mikro dan makrovaskular.
A. Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penebalan membran basal pembuluh-
pembuluh kecil. Penyebab penebalan tersebut tampaknya berkaitan langsung dengan
tingginya kadar glukosa darah.  Penebalan mikrovaskular tersebut menyebabkan
iskemia dan penurunan penyaluran oksigen dan zat gizi ke jaringan. Selain itu, Hb
terglikosilasi memiliki afinitas terhadap oksigen yang lebih tinggi sehingga oksigen
terikat lebih erat ke molekul Hb. Hal ini menyebabkan ketersediaan oksigen untuk
jaringan berkurang.
Hipoksia kronis juga dapat menyebabkan hipertensi karena jantung dipaksa
meningkatkan curah jantung sebagai usaha untuk menyalurkan lebih banyak oksigen
ke jaringan. Ginjal, retina, dan sistem saraf perifer, termasuk neuron sensorik dan
motorik somatic sangat dipengaruhi  oleh gangguan mikrovaskular diabetic,Sirkulasi
mikrovaskular yang buruk juga akan menganggu reaksi imun dan inflamasi karena
kedua hal ini bergantung pada perfusi jaringan yang baik untuk menyalurkan sel-sel
imun dan mediator inflamasi. (Chang, 2006).
a) Kerusakan ginjal (Nefropati)
Diabetes mellitus kronis yang menyebabkan kerusakan ginjal sering
dijumpai, dan nefropati diabetic merupakan salah satu penyebab terjadinya gagal
ginjal. Di ginjal, yang paling parah mengalami kerusakan adalah kapiler glomerolus
akibat hipertensi dan glukosa plasma yang tinggi menyebabkan penebalan membran
basal dan pelebaran glomerolus. Lesi-lesi sklerotik nodular, yang disebut nodul
Kimmelstiel-Wilson, terbentuk di glomerolus sehingga semakin menghambat aliran
darah dan akibatnya merusak nefron. (Corwin, 2001).
b) Kerusakan sistem saraf (Neuropati)
Penyakit saraf yang disebabkan diabetes mellitus disebut neuropati
diabetic. Neuropati diabetic disebabkan hipoksia kronis sel-sel saraf yang kronis
serta efek dari hiperglikemia.
Pada jaringan saraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa dan
penurunan kadar mioinositol. Mioinositol merupakan prekursor polifosfo-inositida
yang penting dalam mengatur aksi potensial saraf. Penurunan mionositol
menimbulkan neuropati, selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi
getar dan propoioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-
refkeks tendon dalam, kelemahan otot-otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang
saraf-saraf perifer, saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom. Terserangnya
sistem saraf otonom disertai diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung,
hipotensi dan impotensi. (Corwin, 2001).
c) Gangguan penglihatan (Retinopati)
Retinopati disebabkan memburuknya kondisi mikro sirkulasi sehingga
terjadi kebocoran pada pembuluh darah retina. Hal ini bahkan bisa menjadi salah
satu penyebab kebutaan. Retinopati sebenarnya merupakan kerusakan yang unik
pada diabetes karena selain disebabkan oleh gangguan mikrovaskular, penyakit ini
juga disebabkan adanya biokimia darah sehingga terjadi penumpukan zat-zat
tertentu pada jaringan retina.
Gangguan awal pada retina tidak menimbulkan keluhan-keluhan sehingga
penderita kebanyakan tidak mengetahui telah terkena retinopati. Hal ini baru
terdeteksi oleh ahli mata dengan ophtalmoskop. Jika gangguan ini dibiarkan dan
kerusakan menjadi sangat progresif serta menyerang daerah penting (makula) maka
penderita dapat kehilangan penglihatannya. Katarak dan meningkatnya tekanan
pada bola mata (glaukoma) juga merupakan salah satu dari komplikasi mata pada
pasien diabetes. Oleh karenanya, selain mengontrol kadar gula darah, mengontrol
mata pada dokter mata secara rutin juga mutlak dilakukan oleh pasien diabetes.
(Mahendra & Tobing, 2008).
B. Makrovaskular
Komplikasi makrovaskular terutama terjadi akibat aterosklerosis. Komplikasi
makrovaskular ikut berperan dan menyebabkan gangguan aliran darah, penyulit
komplikasi jangka panjang, dan peningkatan mortalitas.
Pada diabetes  terjadi kerusakan pada lapisan endotel arteri dan dapat
disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa darah, metabolit glukosa,
atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada pasien
diabetes. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat sehingga
molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel akan
mencetuskan reaksi imun dan inflamasi sehingga akhirnya terjadi pengendapan
trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos berproliferasi.
Penebalan dinding arteri meyebabkan hipertensi, yang semakin merusak lapisan
endotel arteri karena menimbulkan gaya merobek sel-sel endotel.
Efek vascular dari diabetes kronis adalah penyakit arteri koroner, stroke, dan
penyakit vascular perifer. Pasien diabetes yang menderita infark miokard memiliki
prognosis yang buruk dibandingkan pasien diabetes tanpa infark miokard. Penyakit
arteri koroner merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada populasi
pengidap diabetes. (Chang, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Terapi
 Inj Ranitidin
Ranitidin merupakan obat golongan antagonis reseptor H2.Bekerja dengan
menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2
akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pada pemberian ranitidin sekresi
asam lambung dihambat. Ranitidin diindikasikan pada gejala akut luka duodenum,
gangguan refluks esofagus, dan profilaksis tukak stres.
 Ceftriaxon
Seftriakson merupakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga. Seftriakson
banyak digunakan untuk terapi infeksi yang disebabkan Citrobacter, E. Coli, Neisseria,
Proteus, Morganella dan Serratia yang telah resisten terhadap sefalosporin generasi
pertama dan generasi kedua. Seftriakson dapat digunakan untuk terapi meningitis,
infeksi gastrointestinal, infeksi pada bronkitis kronis, infeksi saluran napas, dan pelvic
inflamantory disease. Mekanisme kerja seftriakson sebagai antimikroba adalah dengan
menghambat sintesa dinding sel mikroba, yang dihambat ialah enzim transpeptidase
tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Seftriakson
diekskresikan terutama melalui ginjal 33- 67% dan sisanya dimetabolisme di hati dan
dikeluarkan bersama feses
 Micardis
Mengandung Telmisartan, merupakan obat antihipertensi golongan angiotensin II
reseptor bloker (ARB) moderen, memberi perlindungan setara dengan Ramipril yang
merupakan standart emas pengobatan hipertensi. Dengan paruh waktu yang paling
panjang (sekitar 24jam) dibanding ARB lain. Obat ini juga dapat menurunkan resiko
kematian akibat penyakit kardiovaskular, myocardial infarction, stroke serta
mengurangi jangka waktu perawatan dirumah sakit karena gagal jantung.
 Glibemclamide
Merupakan antidiabetik oral golongan sulfonilurea generasi kedua. Metabolisme di
hepar, pada pemberian dosis tunggal hanya 25% metabolitmenya diekskresi melalui
urin, sisanya melalui empedu. Masa paruhnya sekitar 4 jam. Sediannya tidak boleh
diberikan pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal terlalu berat. Pada
penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan hipoglikemia.

3.2 Hubungan diabetes dengan bidang Kedokteran Gigi


Masalah utama dalam perawatan gigi dan mulut ditemukan pada penderita diabetes
yang tidak terkontrol. Namun demikian, penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol
juga bermacam-macam. Ada bentuk ringan, yang tidak terdeteksi sehingga tidak dirawat.
Bentuk lain adalah diabetes mellitus yang dirawat, tapi bentuk penyakitnya sulit dikontrol
(brittle diabetes) atau ada kesalahan dalam perawatan. Kelompok yang terakhir inilah yang
paling mungkin menimbulkan komplikasi dan menimbulkan kesulitan dalam perawatan gigi
dan mulut.
Diabetes mellitus menimbulkan kelainan dalam rongga mulut, mempengaruhi
perawatan gigi dan mulut, serta pengobatannya juga menimbulkan kelainan dalam rongga
mulut.

3.2.1 Komplikasi diabetes mellitus pada rongga mulut:


1. Manifestasi utama dalam mulut pada penderita diabetes mellitus umumnya terjadi
akibat rendahnya resistensi terhadap infeksi. Proses penyembuhan luka membutuhkan
waktu yang lebih panjang akibat gangguan metabolisme. Kadang berbagai gejala yang
ditemukan dalam mulut menunjukkan adanya diabetes mellitus yang belum terdeteksi.
2. Kerusakan jaringan periodontal yang berjalan dengan cepat dapat terjadi akibat
diabetes mellitus berat yang tidak dirawat, tapi kini kondisi seperti ini sudah semakin
jarang ditemukan. Namun demikian, pada anak-anak penderita diabetes mellitus yang
dirawat sekalipun kesehatan jaringan periodontalnya lebih buruk bila dibandingkan
dengan anak-anak yang normal. Efek diabetes terhadap jaringan periodonsium:
a) Abnormalitas fungsi sel
Pada penderita diabetes,fungsi beberapa sel yang berperan dalam respons
inflamasi seperti neutrofil, monosit, dan makrofag mengalami perubahan.
Terdapat defisiensi fungsi neutrofil yang menyebabkan terhambatnya
kemotaksis, fagositosis, serta perlekatan sel. Sel-sel tersebut merupakan lini
awal pertahanan tubuh sehingga inhibisi fungsinya akan menghambat destruksi
bakteri pada poket dan meningkatkan destruksi jaringan periodontal. Selain itu,
makrofag dan monosit juga meningkatkan produksi pro-infl ammatory
cytokine serta mediator-mediator lain seperti tumor necrosis factor (TNF-
á).Peningkatan produksi tersebut akan memperparah destruksi sel host.
b) Perubahan metabolisme
Pada pasien diabetes,fibroblas yang merupakan sel reparatif primer pada
jaringan periodonsium tidak dapat berfungsi dengan baik.Selain sintesis
kolagen yang berkurang, kolagen yang diproduksi fibroblas rentan terdegradasi
oleh enzim matriks metalloproteinase yang jumlah produksinya meningkat
pada pasien diabetes. Selain itu, pada kondisi hiperglikemik,terjadi pula
inhibisi proliferasi osteoblas yang menurunkan pembentukan tulang serta
properti mekanik dari tulang yang baru terdeposisi.
c) Pembentukan Advanced Glycation End Products (AGEs)
Salah satu komplikasi mayor diabetes adalah perubahan integritas
mikrovaskular, yang sering menyebabkan kerusakan organ seperti retinopati
dan nefropati. Pada kondisi hiperglikemik,protein serta molekul matriks
mengalami non-enzymatic glycosylation yang menghasilkan advanced
glycation end products (AGEs)pada jaringan, termasuk jaringan periodonsium.
AGEs merupakan rantai utama yang menghubungkan banyak komplikasi
diabetes karena AGEs menyebabkan abnormalitas fungsi sel endotel serta
perubahan pertumbuhan dan proliferasi pembuluh darah kapiler. Akumulasi
AGEs pada pasien diabetes meningkatkan intensitas respons infl amasi monosit
dan makrofag,yang ditunjukkan dengan meningkatnya produksi proinfl
ammatory cytokine seperti IL-1á dan TNF-á. Selain itu,AGEs juga berinteraksi
dengan kolagen dan membuat kolagen lebih sulit diperbaiki bila mengalami
kerusakan. Akibatnya, kolagen pasien diabetes lebih mudah terdegradasi.
3. Menyempitnya saluran kelenjar saliva pada penderita diabetes mellitus
menyebabkan xerostomia, sehingga pasien ini memiliki tingkat DMF-T yang
lebih tinggi walaupun sudah menggunakan diet bebas gula (Wilkins, 2009).
Gambar 1. Penyakit periodontal berat
(Cawson dan Odell, 2008)

3.2.2 Prinsip perawatan gigi dan mulut pada penderita diabetes mellitus:
1. Waktu perawatan perlu dipertimbangkan dengan matang untuk mencegah terjadinya
gangguan pada pemberian insulin yang dilakukan secara rutin. Perawatan yang
dilakukan juga tidak boleh mengganggu waktu makan rutin yang sudah ditentukan
pada penderita diabetes mellitus.
2. Tindakan operasi yang memerlukan anestesi umum sebaiknya hanya dilakukan di
rumah sakit di bawah pengawasan ahlinya.
3. Lakukan penanganan untuk setiap komplikasi diabetik.
4. Koma hipoglikemik dapat dipicu oleh perawatan gigi yang menyebabkan tertundanya
waktu makan rutin, sehingga menimbulkan kondisi gawat darurat bila dilakukan
tindakan operasi. Oleh karena itu, perawatan perlu memperhatikan waktu untuk
menghindari berbagai risiko yang mungkin timbul. Waktu yang paling ideal untuk
perawatan adalah segera sesudah makan pagi.
5. Vasokonstriktor yang terdapat di dalam anestetikum dapat meningkatkan kadar gula
darah. Oleh karena itu perlu berhati-hati dalam penggunaannya.
6. Hal lain yang perlu dipertimbangkan selain adanya keluhan mulut terasa seperti
terbakar, adalah kemungkinan terjadi interaksi antara obat hipoglikemik dengan obat
yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi, seperti golongan salisilat, anti
inflamasi non steroid (AINS), barbiturat, juga antikoagulan (Cawson dan Odell,
2008).
3.2.3 Penatalaksanaan Ekstraksi Gigi pada Penderita Diabetes Mellitus
DM bukan merupakan kontra indikasi untuk setiap perawatan kedokteran gigi terutama
dalam tindakan operatif seperti pencabutan gigi, kuretase pada poket dan sebagainya. Bila
penderita dibawah pengawasan dokter ahli sehingga keadaannya terkontrol maka hal ini tidak
menjadi masalah bagi dokter gigi untuk melakukan perawatan gigi dan mulut penderita
tersebut. Tetapi walaupun demikian ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebelum
melakukan perawatan yang dapat menentukan keberhasilan perawatan, antara lain kadar gula
dalam darah dan urin penderita, keadaan umum penderita dan asepsis. Penatalaksanaan
ekstraksi gigi pada penderita DM harus dilakukan dengan hati-hati, karena tindakan invasif
tanpa pengendalian gula darah dapat berakibat fatal.
Pasien yang mengetahui dirinya menderita DM harus diketahui jenis yang dideritanya,
perawatan yang pernah dilakukan, kontrol yang memadai pada DM-nya, dan adanya
komplikasi pada syaraf, vaskuler, ginjal, dan infeksi lainnya. Pasien harus di anamnesa secara
spesifik tentang riwayat penyakit ini, kejadian hipoglikemik, ketoasidosis dan lain sebagainya.
Bagi pasien yang melakukan pemeriksaan glukosa darah di rumah, hasil dari pengujian
glukosa darag yang terbaru harus dicatat.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan, pasien dapat dikelompokkan ke dalam
kategori kelompok resiko spesifik, yaitu:
a) Pasien dengan resiko rendah
kontrol metaboliknya baik dengan obat-obatan yang dalam keadaan stabil,
asimtomatik, dan tidak ada komplikasi.
b) Pasien dengan resiko menengah
memiliki simptom yang sama namun berada dalam kondisi metabolik yang
seimbang. Tidak terdapat riwayat hipoglikemik atau ketoasidosis.
c) Pasien dengan resiko tinggi
memiliki banyak komplikasi dan kontrol metaboliknya sangat buruk, seringkali
mengalami hipoglikemi atau ketoasidosis dan sering membutuhkan injeksi insulin.

Ekstraksi gigi pada pasien dengan DM resiko rendah membutuhkaan perhatian khusus
pada kontrol diet, mengurangi stres, dan resiko infeksi pada seluruh prosedur pembedahan.
Biasanya, tidak dibutuhkan penyesuaian pada terapi insulin. Begitu juga ekstraksi gigi pada
pasien DM dengan resiko menengah, membutuhkan kontrol diet, stres, dan infeksi namun
pelaksanaan ekstraksi gigi hanya dapat dilakukan setelah konsultasi dengan dokter yang
merawat pasien atau dokter spesialis penyakit dalam. Untuk tindakan bedah yang lebih besar
dan reseksi gingiva perlu dipertimbangkan teknik sedasi tambahan dan perawatan dalam
rumah sakit.
Sedangkan pada pasien dengan resiko DM tinggi, tidak dapat dilakukan perawatan
dental terlebih dahulu termasuk ekstraksi gigi, diharuskan memperoleh perawatan
pendahuluan. Seluruh tindakan perawatan dilakukan bila kondisi medis dalam keadaan stabil.
Pengecualian yang penting pada pasien DM terkontrol, tetapi mengalami infeksi gigi yang
aktif maka tindakan yang dilakukan berupa kontrol terhadap infeksi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Hendromartono. Nefropati Diabetik: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. 1898-1901.

Shaw KM, Cummings MH. Diabetes Chronic Complications. 2nd edition. 2005. West Sussex:
John Wiley and Sons,Ltd.

Boner G, Cooper ME. Management of Diabetic Nephropathy. 2005. London: Martin Dunitz, Ltd.

Gross JL, de Azevedo MJ, Silveiro SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T. Diabetic
Nephropathy: Diagnosis, Prevention, and Treatment: Stages, Clinical Features, and Clinical
Course. http:/medscape.com

Brenner B, Brady HR, O'Meara YM. Nefropati Diabetik. In: Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 2001. New York: McGraw-Hill.

Mitchell RN, Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins &
Cotran. Ed 7. 2006. Jakarta: EGC.

Dronavalli S, Duka I, Bakris GL. The Pathogenesis of Diabetic Nephropathy. 2008.


http:/cme.medscape.com [Diakses 26 Februari 2010]

8. National Kidney Foundation KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice
Recommendations for Diabetes and Chronic Kidney
Disease.2007.http://www.kidney.org/Professionals/kdoqi/guideline_diabetes/guide1.htm
[Diakses 6 Februari 2010]
Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine.
Ed. ke-7. Curchill-Livingstone, Edinburgh.

Lamey, P.J. dan Lewis, M.A.O. 1991. Oral Medicine in Practice. BDJ Publisher, London.

Little, J.W., Falace, D.A., Miller, C.S., Rhodus, N.L. 2008. Dental Management of the
Medically Compromised Patient. Ed. Ke-7. Mosby-Elsevier, St Louis.

Wilkins, E.M. 2009. Clinical Practice of the Dental Hygienist. Ed. Ke-10. Wolters Kluwer,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

Frank V, Shipman Mack Lynn. 2000. The Role of The Dental Professional in DM care. The
Journals of Contemporary Dental Practise. Winter Issues.

Haznam M.W. 1991. Endokrinologi. Bandung.

Sonis ST. Fazio RC. Fang L. 1995. Principles and practise of oral medicine 2nd edition. WB
Saunders, Phyladelphia.

Kiki Hendrayani. 2008. Penatalaksanaan Gigi dan Mulut Penderita DM.

Mealey BL. 2006. Periodontal Disease and Diabetes A Two Way Street. J.American Dental
Assoc.

Persson GR. 2011. Diabetes and Periodontal Disease:An Update for Health Care Providers.
Diabetes Spectrum.
Newman MG, Takei HH, Carranza FA. 2003. Carranza’s Clinical Periodontology 9th ed.
Saunders, Pennsylvania

Anda mungkin juga menyukai