Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


APENDISITIS AKUT PRE DAN POST OPERASI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal
Bedah yang diampu oleh :

Sri Sumartini, S.Kp., M.Kep.

Disusun Oleh :

Putri Ananda Dini Ilhani Nurhasanah


(1808088)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS PENDIDIKAN OLAHRAGA DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2020
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
APENDISITIS AKUT PRE DAN POST OPERASI

A. DEFINISI
Apendisitis akut adalah peradangan akut pada apendiks periformis
sehubungan dengan obstruksi lumen dan infeksi bakteri. Biasanya
menimbulkan keluhan nyeri abdomen, dimulai dari difus dan periumbilikal
setelah itu pindah ke fosa iliaka kanan. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur, baik laki-laki ataupun perempuan. Tetapi lebih sering menyerang laki-
laki berusia antara 10 sampai 30 tahun (Dermawan & Rahayuningsih, 2010
dan Gleadle, 2005).
Apendisitis merupakan peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau
umbai cacing (apendiks). Usus buntu merupakan sekum, Infeksi ini bisa
mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera
untuk mencegah komplikasi yang pada umumnya sangat berbahaya.
(Sjamsuhdayat,R 2010). Apendisitis adalah salah satu penyakit saluran
pencernaan yang paling umum ditemukan dan yang paling sering memberikan
keluhan abdomen yang akut.

menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), Appendiksitis akut adalah penyebab


paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen
dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa apendisitis akut
merupakan peradangan yang terjadi akibat adanya penyumbatan dan infeksi
bakteri pada bagian apendiks (umbai cacing) yang ditandai dengan adanya
keluhan nyeri pada abdomen kanan bawah sehingga memerlukan tindakan
bedah segera untuk mencegah adanya komplikasi yang berbahaya.

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis menurut Smeltzer(2013) berdasarkan klinik patologis
adalah sebagai berikut :
1. Apendisitis Akut
a. Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks dan
terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi
leukositosis dan apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak
ada eksudat serosa.
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan
mesoapendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, dan nyeri pada
gerak aktif dan pasif.
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan ganggren. Selain didapatkan
tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian
tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah
kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi
dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
2. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum
sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu
dengan yang lainnya.
3. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal,
subcaecal, dan pelvic.
4. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Apendisitis kronik
Apendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu,
radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan
menghilang setelah apendiktomi. Kriteria mikroskopik apendiks adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi.

C. ETIOLOGI
Menurut Nuzulul (2009) Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau
spesifik namun terdapat faktor predisposisi yaitu :
1. Faktor yang tersering adalah adanya obstruksi lumen yang biasanya terjadi
di :
a. Hiperplasia dan folikel limfoid yang merupakan penyebab terbanyak
b. Adanya fekolit dalam lumen apendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
2. Infeksi bakteri dari colon yang paling sering adalah E.coli dan
streptococcus
3. Laki laki lebih sering mengalami appendisitis dibandingkan wanita yang
biasanya terjadi pada usia 15-30 tahun (remaja dewasa) ini disebabkan
karena peningkatan jaringan limfoid pada masa tersebut
4. Tergantung pada bentuk apendiks
a. Apendiks yang terlalu panjang
b. Masa apendiks yang terlalu pendek
c. Adanya penonjolan jaringan limfoid pada lumen apendiks
d. Adanya kelainan katup dipangkal apendiks

D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Andra dan Yessie (2013) tanda terjadinya apendisitis antara lain:
a. Nyeri pindah ke kanan bawah (yang menetap dan diperberat bila berjalan
atau batuk) dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik
Mc. Burney: nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler.
b. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
c. Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan
(Roving Sign)
d. Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepas (Blumberg)
e. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam,
berjalan, batuk, mengedan
f. Nafsu makan menurun
g. Mual dan muntah
h. Demam
i. Adanya konstipasi ataupun diare
E. PATOFISIOLOGI
Appendiksitis akut biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen
apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi Appendiksitis akut akut lokal yang ditandai
oleh Nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat.
Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan Nyeri didaerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut Appendiksitis akut supuratif akut. Bila kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan Appendiksitis akut gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi Appendiksitis akut
perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Adanya hiperplasia, folikel limpoid, benda asing yang masuk pada
apendiks, erosi mukosa apendiks, tumor apendiks. Tinja yang terperangkap
atau tertimbun pada apendiks (fekalit) dan juga struktur dapat menyebabkan
obstruksi pada apendiks sehingga terjadi apendisitis. Pada apendisitis
kemudian dilakukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan obstruksi,
karena tindakan pembedahan dapat menyebabkan trauma jaringan. Trauma
jaringan menimbulkan adanya nyeri sehingga penderita takut untuk bergerak
sehingga mobilitasnya terganggu dan menimbulkan kecemasan (Mansjoer,
2003).

F. PATHWAY
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan untuk mengetahui apendisitis menurut Dermawan &
Rahayuningsih (2010) :
1. Pemeriksaan Laboratorium
terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah
satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah
terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan
90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed
Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks,
sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang
dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi
serta adanya pelebaran sekum.
3. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Pada copy fluorossekum dan ileum termasuk tampak irritable
b. Pemeriksaan colok dubur: menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi,
bisa dicapai dengan jari telunjuk. Pemeriksaan colok dubur
diperlukan untuk mengevaluasi adanya peradangan apendiks.
Pertama-tama tentukan diameter anus dengan mencocokkan jari.
Apabila yang diperiksa adalah pediatrik, maka jari kelingking
diperlukan untuk melakukan colok dubur. Pemeriksaan colok dubur
dengan manifestasi nyeri pada saat palpasi mencapai area inflamasi.
Pemeriksaan juga mendeteksi adanya feses atau masa inflamasi
apendiks. Pada rectal taoucher, apabila terdapat nyeri pada arah jam
10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi.
c. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan fisik ada 2 cara pemeriksaan, yaitu:
1) Psoas Sign
Penderita terlentang, tungkai kanan harus lurus dan ditahan oleh
pemeriksa. Penderita disuruh aktif memfleksikan articulatio coxae
kanan, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara aktif).
Penderita miring ke kiri, paha kanan dihiperektensi oleh
pemeriksa, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara pasif).
2) Obturator Sign
Gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi supine
akan menimbulkan nyeri. Bila nyeri berarti kontak dengan
Obturator internus, artinya apendiks terletak di pelvis.

H. PENATALAKSANAAN
Pada penatalaksanaan medis pada appendisitis dibagi menjadi tiga (Brunner &
Suddarth, 2010), yaitu:
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat
karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah
baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai
adanya apendisitis. Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada
kuadran kanan bawah setelah timbulnya keluhan.
b. Antibiotik
Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan
antibiotik, kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan
antibiotik. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik
dapat mengakibatkan abses atau preforasi.
2. Operasi
Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.
Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan
pembedahan abdomen bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi
merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth,
2010).
Apendiktomi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode
pembedahan, yaitu secara teknik terbuka (pembedahan konvensional
laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang merupakan teknik
pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru yang sangat efektif
(Brunner & Suddarth, 2010).
a. Laparatomi
Tindakan laparatomi apendiktomi merupakan tindakan konvensional
dengan membuka dinding abdomen. Tindakan ini juga digunakan
untuk melihat apakah ada komplikasi pada jaringan apendiks maupun
di sekitar apendiks. Tindakan laparatomi dilakukan dengan membuang
apendiks yang terinfeksi melalui suatu insisi di regio kanan bawah
perut dengan lebar insisi sekitar 3 hingga 5 inci. Setelah menemukan
apendiks yang terinfeksi, apendiks dipotong dan dikeluarkan dari
perut. Tidak ada standar insisi pada operasi laparatomi apendiktomi.
Hal ini disebabkan karena apendiks merupakan bagian yang bergerak
dan dapat ditemukan diberbagai area pada kuadran kanan bawah. Ahli
bedah harus menentukan lokasi apendiks dengan menggunakan
beberapa penilaian fisik agar dapat menentukan lokasi insisi yang
ideal. Ahli bedah merekomendasikan pembatasan aktivitas fisik selama
10 hingga 14 hari pertama setelah laparotomi. Sayatan pada bedah
laparatomi menimbulkan luka yang berukuran besar dan dalam,
sehingga membutuhkan waktu penyembuhan yang lama dan perawatan
berkelanjutan. Pasien akan dilakukan pemantauan selama di rumah
sakit dan mengharuskan pasien mendapat pelayanan rawat inap selama
beberapa hari (Smeltzer & Bare,2013).
b. Laparoskopi
Laparaskopi apendiktomi merupakan tindakan bedah invasive minimal
yang paling banyak digunakan pada kasus appendicitis akut. Tindakan
apendiktomi dengan menggunakan laparaskopi dapat mengurangi
ketidaknyamanan pasien jika menggunakan metode open apendiktomi
dan pasien dapat menjalankan aktifitas paska operasi dengan lebih
 Indikasi
Laparoskopi sering dilakukan pada pasien dengan acute abdominal
pain yang diagnosisnya belum bisa ditegakkan dengan
pemeriksaan radiologi atau laboratorium, karena dengan
laparoskopi bisa dilakukan visualisasi dari seluruh rongga
abdomen, penentuan lokasi patologi dalam abdomen, pengambilan
cairan peritoneal untuk kultur, dan irigasi rongga peritoneal untuk
mengurangi kontaminasi.
Laparoskopi diagnostik sangat bermanfaat dalam mengevaluasi
pasien trauma dengan hemodinamik stabil, dimana laparoskopi
mampu memberikan diagnosis yang akurat dari cidera intra-
abdominal, sehingga mengurangi pelaksanaan laparotomi dan
komplikasinya (Hadibroto, 2007).
3. Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan.
Baringkan klien dalam posisi semi fowler. Klien dikatakan baik apabila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu klien dipuasakan sampai
fungsi usus kembali normal. Satu hari setelah dilakukan operasi klien
dianjurkan duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit. Hari kedua
dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh dapat diangkat
dan dibolehkan pulang (Mansjoer, 2010)

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada apendisitis menurut Smeltzer dan Bare (2009).
yaitu :
1. Perforasi
Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan
letak usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan
suhu 39,5 ͦ C tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis
meningkat akibat perforasi dan pembentukan abses.
2. Peritonitis
Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas
tinggi 39 ͦ C – 40 ͦ C menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang
jarang.

J. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. FOKUS PENGKAJIAN
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar
utama dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali
masuk rumah sakit maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.
a. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan,
agama, suku / bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor
register.
b. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh
penderita akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
c. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, Nyeri sekitar
umbilikus.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi,
bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul,
keadaan apa yang memperberat dan memperingan.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.

2. PEMERIKSAAN FISIK
 Pre Operatif
1) Abdomen
a. Inspeksi
Pada Appendiksitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan
distensi abdomen.
b. Auskultasi
Peristaltsis usus sering normal tetapi juga dapat menghilang
akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang
disebabkan oleh apendisitis.
c. Palpasi
 Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik
nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan
ini merupakan tanda kunci diagnosis.
 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound
tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di
abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan
dan dalam di titik Mc. Burney.
 Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis.
Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan
abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietale.
 Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di
kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada
abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya
nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
 Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan
muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
Penderita dalam posisi terlentang, tungkai kanan lurus ditahan
pemeriksa, penderita disuruh hiperekstensi. Psoas sign (+) bila
terasa nyeri abdomen kanan bawah.
 Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang
terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian
dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut
menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium
d. Perkusi
Adanya nyeri pada saat dilakukan perkusi di bagian abdomen
kanan bawah
2) Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus Appendiksitis akut menurut
Doenges (2000) adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardi.
c. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang).
Tanda : Distensi abdomen, Nyeri tekan / Nyeri lepas, kekakuan.
: Penurunan atau tidak ada bising usus.
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia. : Mual/muntah.
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah
jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (Nyeri berhenti tiba-tiba
diduga perforasi atau infark pada apendiks).
Keluhan berbagai rasa Nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan
dengan lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau
telentang dengan lutut ditekuk. Meningkatnya Nyeri pada
kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi
duduk tegak. : Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi
peritoneal.
f. Pernapasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.
g. Keamanan
Tanda : Demam
 Post Operatif
1) Keadaan Umum
Klien post operasi apendisitis mencapai kesadaran penuh setelah
beberapa jam kembali dari meja operasi, penampilan
menunjukkan keadaan sakit ringan sampai berat tergantung pada
periode akut rasa nyeri. Tanda vital pada umumnya stabil kecuali
akan mengalami ketidakstabilan pada klien yang mengalami
perforasi apendiks.
2) Sistem Pernafasan
Klien post operasi apendisitis akan mengalami penurunan atau
peningkatan frekuensi nafas (takipneu) serta pernafasan dangkal,
sesuai yang dapat ditoleransi oleh klien.
3) Sistem Kardiovaskuler
Umumnya klien mengalami takikardi (sebagai respon terhadap
stres dan hipovolemia), mengalami hipertensi (sebagai respon
terhadap nyeri), hipotensi (kelemahan dan tirah baring).
Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji pula keadaan
konjungtiva, adanya sianosis dan auskultasi bunyi jantung.
4) Sistem Pencernaan
Adanya nyeri pada luka operasi di abdomen kanan bawah saat
dipalpasi. Klien post operasi apendisitis biasanya mengeluh mual
muntah, konstipasi pada awitan awal post operasi dan penurunan
bising usus, akan tampak adanya luka operasi di abdomen kanan
bawah bekas sayatan operasi. Inspeksi abdomen untuk
memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas. Memantau
asupan oral awal klien yang beresiko menyebabkan aspirasi atau
adanya mual dan muntah. Kaji pula kembalinya peristaltik setiap
4-8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara
usus kembali normal, 5-30 bunyi keras per menit pada
masingmasing kuadran menunjukkan gerak peristaltik yang telah
kembali. Tanyakan apakah klien membuang gas (flatus), ini
merupakan tanda penting yang menunjukkan fungsi usus normal
5) Sistem Perkemihan
Awal post operasi klien akan mengalami penurunan jumlah
output urin, hal ini akan terjadi karena adanya pembatasan intake
oral selama periode awal post operasi apendisitis.
6) Sistem Muskuluskeletal
Secara umum, klien dapat mengalami kelemahan karena tirah
baring post operasi dan kekakuan. Kekuatan otot berangsur
membaik seiring dengan peningkatan toleransi aktivitas.
7) Sistem Intergumen
Akan tampak adanya luka operasi diabdomen kanan bawah
karena insisi bedah disertai kemerahan (biasanya pada awitan).
8) Sistem persarafasan
Umumnya, klien tidak mengalami penyimpangan dalam
persarafan. Pengkajian fungsi persarafan meliputi tingkat
kesadaran, saraf kranial dan reflek.
9) Kenyamanan
Nyeri insisi akut menyebabkan penderita menjadi cemas dan
mungkin bertanggungjawab atas perubahan sementara tanda
vital. Kaji nyeri penderita dengan skala nyeri.

3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Pre Operatif
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(inflamasi apendiks) (D. 0077)
2. Hipertermia berhubungan dengan adanya proses penyakit
(inflamasi appendiks) (D. 0130)
3. Ansietas berhubungan dengan rencana tindakan pembedahan (D.
0080)
 Post Operatif
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur
operasi) (D. 0077)
2. Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan adanya luka
insisi pasca pembedahan (D. 0129)
3. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.
0142)

4. INTERVENSI
 PRE OPERATIF

No Diagnosa Tujuan dan Intervensi


Keperawatan Kriteria Hasil
1. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan  Manajemen nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama x 24 jam (I.08238).
agen pencedera masalah nyeri akut dapat 1. Identifikasi lokasi ,
fisiologis (inflamasi teratasi dengan karakteristik, durasi,
apendiks) (D. 0077) frekuensi, kualitas nyeri,
Kriteria Hasil : intensitas nyeri
 Tingkat Nyeri (L. 2. Identifikasi skala nyeri
08066) 3. Identifikasi respon nyeri
 Keluhan nyeri non verbal.
menurun (5) 4. Identivikasi factor yang
 Meringis menurun (5) memperberat dan
 Gelisah menurun (5) memperingan nyeri.
5. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
6. Fasilitasi istirahat dan tidur.
7. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
8. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
9. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri .
10. Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan  Manajemen Hipertermia
berhubungan dengan keperawatan selama x 24 jam (I. 15506)
adanya proses diharapkan termoregulasi 1. Monitor suhu tubuh.
penyakit (inflamasi membaik dengan 2. Sediakan lingkungan yang
appendiks) (D. 0130) dingin.
Kriteria Hasil: 3. Berikan cairan oral.
 Termoregulasi 4. Anjurkan tirah baring.
(L.14134) 5. Lakukan pendinginan
 Mengigil menurun (5) eksternal dengan
 Kulit merah menurun pemberian kompres hangat
(5) pada bagian tubuh tertentu
 Suhu tubuh membaik 6. Kolaborasi pemberian
(5) cairan dan elektrolit
 suhu kulit membaik intravena.
(5)
 Pucat menurun (5)  Regulasi Temperatur (I.
14578)
1. Monitor tekanan darah,
frekuensi pernafasan dan
nadi.
2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor warna dan suhu
kulit.
4. Tingkatkan asupan cairan
dan nutrisi yang adekuat.
5. Kolaborasi pemberian
antipiretik, jika perlu.
3. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan tindakan  Reduksi Ansietas
dengan rencana keperawatan selama x 24 jam (I.09314).
tindakan pembedahan masalah ansietas teratasi 1. Identifikasi saat tingkat
(D. 0080) dengan ansietas berubah.
2. Monitor tanda tanda
Kriteria Hasil : ansietas verbal non verbal.
 Tingkat Ansietas 3. Temani klien untuk
(L.01006) mengurangi kecemasan jika
 Verbalisasi perlu.
kebingungan 4. Dengarkan dengan penuh
menurun. (5) perhatian.
 Verbalisasi khawatir 5. Gunakan pendekatan yang
akibat kondisi yang tenang dan meyakinkan.
dihadapi menurun.(5) 6. Jelaskan prosedur,
 Perilaku gelisah termasuk sensasi yang
menurun. (5) mungkin dialami.
 Perilaku tegang 7. Informasikan secara faktual
menurun. (5) mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
8. Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama klien, jika
perlu.
9. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
10. Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi
ketegangan
11. Latih teknik relaksasi.

 POST OPERATIF
No Diagnosa Tujuan dan Intervensi
Keperawatan Kriteria Hasil
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan  Manajemen nyeri
berhubungan dengan keperawatan selama x 24 (I.08238).
agen pencedera fisik jam masalah nyeri akut dapat 1. Identifikasi lokasi ,
(prosedur operasi) (D. teratasi dengan karakteristik, durasi,
0077) frekuensi, kualitas nyeri,
Kriteria Hasil : intensitas nyeri
 Tingkat Nyeri (L. 2. Identifikasi skala nyeri
08066) 3. Identifikasi respon nyeri non
 Keluhan nyeri verbal.
menurun (5) 4. Identivikasi factor yang
 Meringis menurun memperberat dan
(5) memperingan nyeri.
 Gelisah menurun (5) 5. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
6. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
7. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
8. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
9. Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
2. Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan  Perawatan Integritas Kulit
jaringan berhubungan keperawatan selama x 24 (I.11353)
dengan adanya luka jam masalah gangguan 1. Identifikasi penyebab
insisi pasca integritas jaringan teratasi gangguan integritas kulit
pembedahan (D. dengan 2. Ubah posisi setiap 2 jam jika
0129) tirah baring
Kriteria Hasil : 3. Anjurkan minum air yang
 Integritas Kulit dan cukup
Jaringan (L. 14125) 4. Anjurkan meningkatkan
 Kerusakan jaringan asupan nutrisi
menurun (5) 5. Anjurkan menghindari
 Kerusakan lapisan terpapar suhu ektrime
kulit menurun (5)
 Kemerahan menurun  Perawatan Luka( I.14564 )
(5) 6. Monitor karakteristik luka
 Pemulihan pascabedah (mis:drainase,warna,ukuran,
(L. 14129) bau)
 Area luka operasi 7. lepaskan balutan dan plester
membaik (5) secara perlahan
8. Bersihkan dengan cairan
NACL atau pembersih non
toksik,sesuai kebutuhan
9. Berika salep yang sesuai di
kulit /lesi, jika perlu
10. Pasang balutan sesuai jenis
luka
11. Pertahan kan teknik seteril
saaat perawatan luka
12. Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
13. Jadwalkan perubahan posisi
setiap dua jam atau sesuai
kondisi pasien
14. Anjurkan mengonsumsi
makan tinggi kalium dan
protein
15. Ajarkan prosedur perawatan
luka secara mandiri
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan  Pencegahan infeksi
berhubungan dengan keperawatan selama x 24
efek prosedur invasif jam masalah resiko infeksi (I.14539)
(D. 0142) pada klien teratasi dengan 1. Monitor tanda dan gejala
infeksi local dan sistemik.
Kriteria Hasil : 2. Batasi jumlah pengunjung
 Tingkat Infeksi (L. 3. Berikan perawatan kulit
14137) pada area edema.
 Kebersihan tangan 4. Cuci tangan seblum dan
meningkat (5) sesudah kontak dengan klien
 Kemerahan menurun dan lingkungan klien.
(5) 5. Pertahankan teknik aseptic
 Nyeri menurun (5) pada klien beresiko tinggi.
 bengkak menurun (5) 6. Jelaskan tanda dan gejala
 kadar sel darah putih infeksi.
membaik (5) 7. Ajarkan cara mencuci
tangan dengan benar.

 Perawatan Area Insisi (I.


14558)
1. Periksa lokasi insisi adanya
kemerahan, bengkak, atau
tanda-tanda dehisen atau
eviserasi
2. Monitor proses
penyembuhan area insisi
3. Monitor tanda dan gejala
infeksi
4. Bersihkan area insisi dengan
pembersih yang tepat
5. Ganti balutan luka sesuai
jadwal
6. Jelaskan prosedur kepada
pasien
7. Ajarkan cara merawat luka
insisi

DAFTAR PUSTAKA
Andra & Yessie.(2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (Keperwatan.
Dewasa).Yogyakarta : Nuha Medika.

Brunner & Suddarth, 2010. Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8, Vol 2, Jakata;.
EGC.

Dermawan Deden, Rahayuningsih Tutik. 2010. Keperawatan Medikal Bedah.


(Sistem Percernaan). Yogyakarta : Gosyen Publishing.

Doenges, Marilynn E,dkk.2000. Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta:EGC.

Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.

Smeltzer, C. Suzanne, dkk, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. ( Edisi
8 ) . Jakarta : EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(I). Jakarta.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai