Anda di halaman 1dari 10

‫محمد إلهام إخوان‬

Karena ilmu hidup akan bahagia


Kamis, 17 Mei 2012

SEKILAS TENTANG FIQIH JINAYAH


PENDAHULUAN
Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku
semenjak diutusnya Rosulullah. Oleh karenanya pada zaman Rosululah dan Khulafaur
Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan
diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan hukum yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam merupakan bagian ibadah kepada
Allah SWT.
Namun dalam kenyataanya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham
tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan
hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada
kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan apa itu fiqih jinayah atau hukum
pidana islam dan beberapa aspek didalamnya.
PENGERTIAN JINAYAH
Fiqih jinayah terdiri dari dua kata yaitu fiqih dan jinayah. Pengertian fiqih secara
bahasa berasal dari kata faqiha, yang berarti mengerti, paham. Sedangkan secara istilah sesuai
yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah sebagai berikut :

‫او ه و‬ . ‫الفق ه ه و العلم باالحك ام الش رعية العملي ة المكتس ب من ادلته ا التفص لية‬
.‫مجموعة االحكام الشرعية العملية المستفادة من ادلتها لتفصلية‬
“fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci. Atau fiqih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci”.
Adapun jinayah menurut bahasa adalah :

.‫ومااكتسبه‬ ‫اسم لما يجنية المرء من شر‬


“nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang dia usahakan”.
Kata jinayat adalah jama’ dari kata jinayah. Jinayah adalah akar kata (masdar) dan
mashdar tidak dapat dijadikan kata jama’ kecuali apabila bertujuan memberi arti bermacam-
macam yaitu disengaja, tersalah dan sengaja yang tersalah.
Pada dasarnya pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang
yang dilarang. Dikalangan fuqoha’, perkataan jinayah berarti perbuatan yang terlarang
menurut syara’, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu sebagai
berikut :

.‫ سواء وقع الفعل علي نفس اومال او غير ذالك‬.‫فالجناية اسم لفعل محرم شرعا‬
“jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang syara’, baik perbuatan tersebut
mengenai jiwa, harta dan lainya” [1].
Dalam pengertian sempit Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
syara’ dan dapat menimbulkan hukuman Had, bukan Ta’zir. Sedangkan pengertian luas
Jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dapat mengakibatkan hukuman Had atau
Ta’zir[2]
Jinayah adalah adalah suatu tindakan yang dilarang oleh syara` karena dapat
menimbulkan bahaya bagi agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fuqaha
menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan,
seperti membunuh, melukai dan sebagainya[3].
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan
kerugian atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata
janayajni yang berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau
kriminal[4].
Dalam konteks ini pengertian jinayah sama dengan jarimah, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Al Mawardi, yaitu :

.‫الجرائم محظورات شرعية زجر اهلل تعالي عنها بحد اوتعزير‬


“jarimah adalah peruatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah
dengan hukuman had atau ta’zir”.
Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumannya dalam al-Qur’an dan As-Sunnah(hudud jamaknya hadd, artinya
batas). Hadadalah hukuman yang telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul
dan telah pasti macamnya serta menjadi hak Allah, tidak dapat diganti dengan macam
hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia[5]. Jarimah ta’zir adalah perbuatan
tindak pidana yang bentuk dan ancaman hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai
pelajaran bagi pelakunya (ta’zir artinya: ajaran atau pelajaran) [6] sehingga dapat dikatakan
bahwa Hukum ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya[7].
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian fiqih jinayah adalah ilmu tentang hukum
syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumnya,
yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Perlu diketahui, pengertian fiqih jinayah diatas sejalan dengan pengertian hukum
pidana menurut hukum positif. Musthofa Abdullah SH dan Ruben Ahmad SH
mengemukakan bahwa hukum pidana adalah hukum mengenai delik yang diancam dengan
hukuman pidana. Atau dengan kata lain adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah
tindak pidana dan hukumannya[8].
RUKUN ATAU UNSUR JINAYAH
Pengertian jinayah yang mengacu pada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’
dan diancam dengan had atau ta’zir telah mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas
perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah adalah berasal dari ketentuan-
ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan
sebagai jinayah jika perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman.
Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara’, maka larangan-larangan tadi
hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja
yang dapat menerima panggilan (khitab) dan orang yang mampu memahami
pembebanan (taklif) dari syara’ tersebut[9].
Makhrus Munajat, M.Hum (2009) menyatakan bahwa seseorang dikenai
hukumjinayah jika memenuhi dua unsur; yaitu umum dan khusus. Unsur umum terdiri
dari; 1. Formil, yaitu adanya ketentuan undang-undang. 2, Materiil, yaitu sifat yang melawan
hukum. 3. Moril, yaitu pelakunya mukallaf. Sedangkan unsur khusus ialah unsur yang hanya
terdapat pada perdana tertentu dan antara satu jenis berbeda dengan lainnya, seperti pencurian
jika ada barangnya[10].
a.         Unsur Formal (Ar-Rukn, Al-Syar’i), yaitu adanya nash atau ketentuannya yang
menunjukkannya sebagai jarimah[11], atau dapat juga diartikan adanya ketentuan yang
melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan hukuman ancaman atas
perbuatan-perbuatan tersebut[12]. Jarimah tidak akan terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.
Alasan harus ada unsur ini antara lain firman Allah dalam QS. al-Isra`: 15 yang mengajarkan
bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum mengutus utusan-Nya. Ajarannya ini
berisi ketentuan bahwa hukuman akan ditimpakan kepada mereka yang membangkang ajaran
Rasul Allah. Khusus untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan dan undang-undang yang telah
dibuat oleh penguasa[13].
b.         Unsur Material (Al-Rukn, Al-Madzi), yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-
benar telah dilakukan[14] atau adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah baik
melakukan pebuatan yang dilarang, atau melakukan perbuatan yang diharuskan[15]. Hadist
Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengajarkan bahwa Allah melewatkan
hukuman untuk umat Nabi Muhammad saw atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati,
selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan dengan nyata.
c.         Unsur Moral (Al-Rukn, Al-Adabi), yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah[16].
Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitab artinya pelaku kejahatan tadi
adalah mukallaf atau orang yang telah baligh, sehat akal dan ikhtiyar (berkebebasan berbuat).
Sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan[17].
Sehingga dapat disimpulkan bawa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai
Jinayah, jika perbuatan tersebut mempunyai unsur tadi. Tanpa ketiga unsur tersebut, sesuatu
perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.
KLASIFIKASI KEJAHATAN PIDANA ISLAM (JARIMAH)
Konsep jinayah sangat berkiatan erat dengan masalah “larangan” karena setiap
perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara’. Larangan ini timbul karena perbuatan-perbatan itu mengancam sendi-
sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dengan adanya larangan, maka keberadaan dan
kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara.
Sesuai dengan ketentuan fiqih, larangan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu tidaknya cukup dengan “niat baik”, tetapi harus disertai sanksi (hukuman) yang
diancamkan kepada yang melakukan kejahatan. Oleh karena itu syari’at islam telah
menetapkan perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan mengancamnya dengan hukuman
tertentu dengan maksud melindungi kepentingan kolektif dan sistem yang diatasnya berdiri
bangunan besar masyarakat.
Ditinjau dari berat- ringannya macam hukuman yang diancamkan[18] ada beberapa
klasifikasi yang paling penting dan paling banyak dibahas para ahli hukum islam mengenai
kejahatan[19], yaitu:
1.         Jarimah hudud, hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang
membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berartial-man’u (cegahan). Adapun
menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’
untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama[20].
Kejahatan Hudud adalah kejahatan yang diancam dengan hukuman had yaitu hukuman yang
ditentukan sebagai hak Allah. Kejahatan ini merupakan kejahatan yang paling berat dalam hukum
pidana Islam. Hukum Pidana Islam tidaklah absolute, ortodok, melainkan memberikan ruang gerak
bagi akal fikiran manusia untuk berijtihad sehingga bisa merespon kebutuhan masyarakat secara
dinamis.
Pada hakikatnya, ada kebebasan untuk menetapkan hukum, akan tetapi hukum Allah swt. tetap
dijadikan rambu dalam menegakkan keadilan, maka pemahaman jarimah hudud harus disikapi
sebagai sebuah ijtihad Ulama terdahulu[21].
Ada lima jenis kejahatan yang dikenai hukuman – hukuman (hudud) tertentu darisyar’I, yaitu :
a.         Kejahatan atas badan, jiwa dan anggota-anggota badan, yaitu yang disebut pembunuhan (al
qatl) dan pelukaan (al jarh)
b.        Kejahatan atas anggota-anggota kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran (sifah)
c.         Kejahatan atas harta. Jika harta ini diambil dengan cara memerangi, maka kejahatan ini
disebut dengan hirabah, yakni jika dilakukan tanpa alasan(ta’wil). Apabila dilakukan dengan
alasan, maka disebut dengan kezaliman. Terkadang diambil dengan cara menunggu
kelengahan dari suatu tempat penyimpanan maka demikian itu disebut dengan pencurian.
Dan adapula yang diambill dengan menggunakan ketinggian martabat dan kekuatan
kekuasaan, maka yang demikian itu disebut dengan ghasab.
d.        Kejahatan atas kehormatan yaitu yang disebut dengan qadzf
e.         Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan dan minuman yang
diharamkan syara’. Hanya saja dalam syari’at yang dikenai hukuman (had) dari kejahatan
tersebut hanya mengenai khamr (minuman keras saja).
Senada dengan jenis kejahatan diatas, menurut Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang
tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu:
a.         riddah (murtad), orang yang menyatakan kafir setelah beriman dalam Islam, baik dilakukan
dengan; 1. perbuatan menyembah berhala, 2. dengan ucapan bahwa Allah mempunyai anak, atau
3. dengan keyakinan bahwa Allah sama dengan makhluk. Adapula yang menyebutkan bahwa yang
dianggap murtad yaitu seseorang yang berbuat penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw [22], dan
orang  yang memaksa untuk murtad[23].
b.        al baghy (pemberontakan), yaitu keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa
alasan. Pemberontakan merupakan upaya melakukan kerusakan [24].
c.         Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, baik dilakukan
secara sukarela maupun paksaan[25]
d.        qadzf (tuduhan palsu), adalah menuduh wanita baik-baik berbuat zina tanpa ada bukti yang
meyakinkan. Dalam Islam, kehormatan, pencemaran nama baik adalah hak yang harus dilindungi,
bukan sekedar karena kebohongan[26].
e.         sariqoh (pencurian), ialah perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan
maksud untuk memiliki serta tidak adanya paksaan[27].
f.         Muharobah atau Hirobah (perampokan) adalah sekelomok manusia yang membuat keonaran,
pertumpahan darah, merampas harta, dan kekacauan [28].
g.        shurb al khamr (meminum khamr). diharamkan, termasuk narkotika, sabu, heroin, dan lainnya.
Islam sangat memperhatikan kesehatan badan, jiwa dan kemanfaatan harta benda [29].
2.         Jarimah qishas, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qisas. Qisas adalah hukuman
yang sama dengan jarimah yang dilakukan[30]. Qishash jatuh pada posisi di tengah antara
kejahatan hudud dan ta’zir dalam hal beratnya. Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas
tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam hukum
pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau crimes against persons. Yang
termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja
yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan[31].Jadi pembunuhan
menyerupai sengaja, pembunuh dengan sengaja, pembunuhan karena kealpaan,
penganiayaan, menimbulkan luka/ sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak
pidana qishash ini.
3.         Jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya
dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash,
tetapi macam hukumannya diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dan ada
jariamah yang macam maupun hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa[32]. Landasan dan penentuan hukumnya didasarkan pada ijma’ (konsensus)
berkaitan dengan hak Negara muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua
perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian/kerusakan fiisk, sosial, politik,
finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.
Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh
syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Namun hukum ta`zir juga dapat
dikenakan atas kehendak masyarakat umum, meskipun bukan perbuatan maksiat, melainkan
awalnya mubah. Dasar hukum ta`ziradalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada
prinsip keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya
yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil. Jadi, jarimah ta`zir berbeda denganjarimah
hudud.
Jarimah Ta`zir bisa dibagi menjadi tiga macam. Jarimah yang berasal dari hududnamun
terdapat syubhat. Jarimah yang dilarang nas, namun belum ada hukumnya. Danjarimah yang jenis
dan sanksinya belum ditentukan oleh syara`.
Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim, secara garis besar dapat dibedakan
menjadi; Hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman
cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang,
hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, pengucilan, pemecatan, dan
publikasi[33]
4.         Jarimah Qishash Diyat[34]. Qishash diyat adalah kejahatan terhadap jiwa atau anggota
badan yang diancam hukuman serupa ( qishash) atau diyat ( ganti rugi dari si pelaku kepada
si korban atau walinya). Termasuk di dalamnya, pembunuhan dengan sengaja, semi sengaja,
menyebabkan kematian karena kealpaan, penganiayaan dengan sengaja, atau menyebabkan
kelukaan tanpa sengaja.
Hikmah berlakunya hukum ini adalah untuk keberlangsungan hidup.
Denganqishash menghindari kemarahan pihak korban dan melenyapkan rasa dendam.
Dengan diyat, akan meringankan beban nafkah pihak korban dan akan merasakan keadaan
damai dan aman dalam kehidupan.
Pembunuhan disengaja diberlakukan hukum pokok ( qishash),  jika dimaafkan, diberlakukan
hukum pengganti ( diyat), dan bila keduanya dimaafkan, maka diberlakukan
hukuman ta`zir. Hakim bisa menetukan hukuman yang lebih rendah atas persetujuan korban
atau walinya secara kondisional, menurut jenis pembunuhannya, siapa pelakunya, dan kenapa
terjadi. Apapun substansinya, hukum qishash adalah upaya menegakkan keadilan, sehingga
dapat diterima oleh semua golongan
HUKUMAN
Hukuman atau `uqubah dalam istilah Arab merupakan bentuk balasan bagi seseorang yang
atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan Rasul-NYA untuk
kemaslahatan manusia. Hukuman diberlakukan dengan syarat, 1.hukuman itu disyariatkan,
2.dikenakan hanya pada pelaku, dan 3.berlaku bagi seluruh orang.
Hukuman dari segi pertaliannya dibagi empat macam; pokok ( jarimah hudud), hukuman
pengganti ( qishash diganti diyat), hukuman tambahan (pelaku qazf, hilang hak warisnya), dan
hukuman pelengkap melalui keputusan hakim, seperti mengalungkan potongan tangan ke leher.
Dari segi kewenangan hakim, ada hukuman yang bersifat terbatas, seperti dera 100 bagi
pezina. Dan lainnya bersifat alternative untuk dipilih.
Sedangkan dari segi objek, dibagi menjadi; 1.hukuman jasmani; potong tangan, 2.
psikologis; ancaman, dan 3. hukuman benda; diyat, ganti rugi dan penyitaan harta.
Hukuman gabungan ialah serangkaian sanksi yang diterapkan pada seseorang bila ia nyata
melakukan jarimah berulang-ulang dan antara perbuatan satu dan lainnya belum mendapatkan
putusan terakhir. Hukuman gabungan dibagi menjadi dua sifat, gabungan anggapan dan gabungan
nyata.
Pelaksanaan hukuman diklasifikasikan dalam tiga ketentuan; jarimah hudud yang
berwenang hanyalah Imam atau diwakilkan kepada Hakim yang diangkat secara resmi. Jarimah
Qishash Diyat dapat dilakukan oleh korban atau walinya, tapi harus dibawah pengawasan Penguasa
agar tidak berlebihan, namun dianjurkan untuk diserahkan pelaksaannya kepada Penguasa. Adapun
pelaksanaan jarimah ta`zir, mutlak wewenang kepala Negara atau Hakim. Jika dilaksanakan orang
lain, akan dikenai sanksi.
Tujuan hukuman ialah menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah
perbuatan yang menimbulkan kerugian. Dalam Islam mempunyai dua aspek; perventif (pencegahan)
dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan menghasilkan kemaslahatan, yaitu
terbentuknya moral yang dilandasi Agama[35].
Hukum dari jinayah ini ada beberapa macam tergantung perbuatannya [36]:
a.                   Pembunuhan
Ada beberapa hukum dalam pembunuhan, pembunuhan yang disengaja, adapun untuk pembunuhan
yang disengaja dan terencana, maka pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif, yaitu menuntut
hukum qishash, atau memaafkan dengan mendapat imbalan diat. Pembunuhan seperti di sengaja,
dalam hal ini tiada wajib qisas (balas bunuh) bagi si pembunuh, tetapi diwajibkan ke atas keluarga
pembunuh untuk membayar diyat mughallazah (denda yang berat) dengan secara beransur – ansur
selama tiga tahun kepada keluarga korban. Pembunuhan tidak di sengaja, bagi si pembunuh tidak
dikenakan qisas (balas bunuh) tetapi dia dikenakan diyat mukhafafah (denda yang ringan). Diyat itu
dibayar oleh adik-beradik pembunuh dan bayarannya boleh ditangguhkan selama tiga tahun.
b.                   Pencurian
Dalam Al-Quran, pelaku pencurian diancam hukuman potong tangan dan akan diazab diakherat
apabila mati sebelum bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para penjahat,
karena dengan hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan pelajaran kepada orang lain
yang akan melakukan pencurian karena beratnya sanksi hukum sebagai tindakan defensif
(pencegahan).Dalam ijtihad, potong-tangan diberlakukan untuk pencuri professional. Dalam
teorihalah al-had al-a`la, hukum potong tangan dalam kejadian tertentu dapat digantikan dengan
hukuman lain yang lebih rendah, tetapi tidak boleh diganti dengan yang lebih tinggi [37].
c.                   Perzinahan
Sanksi hukum bagi yang melakukan perzinahan adalah dirajam (dilempari dengan batu sampai mati)
bagi pezina mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang telah melakukan hubungan
seksual dalam ikatan perkawinan yang sah. Atau dicambuk 100 kali bagi pezina ghoer mukhshan;
yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual dalam
ikatan perkawinan yang sah.
Rajam adalah alternatif hukuman terberat dan bersifat insidentil. Penerapannya lebih bersifat
kasuistik, karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan matang kemaslahatan
individu dan masyarakat[38].
d.                   Qadzaf
Sanksi hukumnya adalah dicambuk 80 kali. Sanksi ini bisa dijatuhkan apabila tuduhan itu
dialamatkan kepada orang Islam, baligh, berakal, dan orang yang senantiasa menjaga diri dari
perbuatan dosa besar terutama dosa yang dituduhkan.
e.                   Muharobah atau Hirobah
Hukuman bagi muharobah adalah hukuman bertingkat. Sanksi hukum pelaku muharobah adalah :
dipotong tangan dan kakinya secara bersilang apabila ia atau mereka hanya mengambil atau
merusak harta benda; dibunuh atau disalib apabila dalam aksinya itu ia membunuh orang; dipenjara
atau dibuang dari tempat tinggalnya apabila dalam aksinya hanya melakukan kekacauan saja tanpa
mengambil atau merusak harta-benda dan tanpa membunuh.
f.                     Riddah.
Dalam hadis, hukum riddah dibunuh. Namun dalam pemahaman kontektual
bahwa murtad, hanya dihukumi ta`zir, karena sanksinya bersifat akhirat[39],murtad hanya
dihukum jika mencaci maki agama, akan tetapi bisa dikenai hukuman mati dengan ta`zir jika
terbukti melakukan desersi sedang negara dalam keadaan perang[40].
g.                   al baghy (pemberontakan)
Islam memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia
kembali bergabung dalam masyarakat[41]. Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti
yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib[42].
h.                   shurb al khamr (meminum khamr).
Hukumannya 40 kali dera sebagai had, dan 40 kali dera sebagai hukumta`zir sebagaimana
yang dipraktekkan oleh Umar bin Khattab[43].
ASAS-ASAS UMUM DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
Asas legalitas ialah keabsahan sesuatu menurut undang-undang. Dalam Islam, secara
substansial ialah ayat-ayat Al-Qur`an, diantaranya; Al-Isra 15, Al-Qasas 59, Al-An`am 19, dan Al-
Baqarah 286. Dari ayat-ayat tersebut, fuqaha merumuskan beberapa kaidah hukum Islam. Dari
kaidah-kaidah tersebut memunculkan dua syarat yang harus dipenuhi sehingga dikatagorikan tindak
pidana. Pertama, pelaku tidak gila dan bukan karena membela diri. Kedua, perbuatan tersebut
diketahui jelas ada ancaman bagi yang melanggar.
Maka “tidak ada hukuman bagi mukallaf sebelum adanya ketentuan nas”. Namun ada
beberapa jarimah yang diberlakukan asas surut karena akan sangat berbahaya dan mengganggu
kepentingan umum jika tidak diterapkan hukuman.
Berkaitan dengan asas Praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman karena
adanyasyubhat (keraguan), karena dalam hadis Nabi menyatakan, lebih baik salah dalam
membebaskan daripada salah dalam menghukum. Akan tetapi dalam membatalkan hukuman, Hakim
(jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk menjatuhi hukuman bagi terdakwa [44].
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH
Percobaan tindak pidana adalah tidak selesainya perbuatan pidana karena adanya factor
eksternal, namun pelaku telah berencana dan memulai perbuatannya. Maka perbuatan tersebut
dianggap maksiat dan bisa dihukumi ta`zir oleh Hakim dan jelas berbeda hukumannya dengan
perbuatan yang selesai. Jika tidak selesainya perbuatan karena perubahan niat dalam dirinya, maka
tidak dianggap maksiat. Tapi jika tidak selesai karena ketahuan oleh pihak lain, maka ia bisa
dikenakan hukum maksiat dengan ta`zir hakim. Fase perencanaan dan persiapan tidak bisa
dikatakan jarimah, dalam Islam hanya jika terjadi perbuatan telah selesai. Meskipun dalam hukum
positif, perencanaan tersebut dianggap kejahatan bila dapat dibuktikan.
Dalam perkara percobaan melakukan jarimah mustahil, Islam tidak menjadikan soal apakah
kemustahilan tersebut karena kesalahan alat atau karena salah tujuan. Selama niatan pelaku telah
menjelma pada perbuatan yang berbentuk maksiat, maka harus dihukumi atas pertimbangan
Hakim[45].
TURUT SERTA BERBUAT JARIMAH
Pengertian turut serta dan berserikat sangat berbeda. Istilah turut serta, tidak nyata dalam
kejadian, bisa jadi hanya menyuruh, otak perencanaan atau lainnya. sedangkan berserikat
keduanya merupakan pelaku utama.
Turut serta jarimah tidak langsung dapat berbentuk; persepakatan, menghasud atau
menyuruh, dan memberi bantuan. Juga akan timbul beberapa kemungkian; 1. pelaku tidak langsung
lebih berat daripada yang langsung, seperti kesaksian palsu. 2. Pelaku langsung lebih kuat daripada
yang tidak langsung, seperti menjatuhkan orang ke jurang. 3. Kedua perbuatan pelaku seimbang,
seperti memaksa membunuh.
Dalam Islam hukuman hanya dijatuhkan pada pelaku langsung, bukan terhadap pelaku turut
serta yang tidak langsung untuk menghindari syubhat . Akan tetapi dalam jarimah tertentu, seperti
pembunuhan dan penganiayaan, pelaku tidak langsung dikenai hukum ta`zir , sedangkan pelaku
langsung dikenai hukum hudud atau qishash atau diyat[46].
PERTANGGUNG-JAWABAN PIDANA
Pertanggungjawaban Pidana dapat diartikan sebagai bentuk pembebanan pada seseorang
akibat perbuatannya yang dilarang atau tidak berbuat yang seharusnya dikerjakan, dengan kemauan
sendiri dan tahu akan akibat dari berbuat atau tidak berbuat. Melawan hukum atau melakukan
perbuatan yang dilarang dapat disebabkan karena sengaja, dan adakalanya keliru.
Seorang Hakim jika memutuskan potong-tangan tidak bisa diqishash karena ia dalam posisi
melakukan ketentuan syariat. Seseorang yang dipaksa melakukan kejahatan oleh Penguasa tidak
bisa dihukum. Seseorang yang dipaksa berzina juga masuk pengecualian hukum. Seseorang yang
membunuh untuk pembelaan diri termasuk pengecualian hukum. Adanya syubhat dalam kasus
tertentu juga menjadi penghalang berlakunya hukum. Pemberian maaf juga dapat menggugurkan
hukuman, kecuali pada hal tertentu seperti pembunuhan secara keji dan direncanakan tidak bisa
dimaafkan[47].
HIKMAH MEMPELAJARI JINAYAH DAN HUDUD
Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dalam mempelajari jinayah dan hudud, hikmah-
hikmah tersebut antara lain sebagai berikut:
1.                  Mengandung prinsip bahwa melakukan tindakan kriminal atau suatu tindakan yang dapat
merugikan orang lain sangat lah tidak baik dan sangat tidak disukai oleh Allah. Oleh karena
itu, perbuatan tersebut harus di tinggalkan[48].
2.                  Dengan mempelajari jinayah dan hudud, maka kita akan mengetahui macam- macam tindakan
kriminal dan hukumnya.
3.                  Dapat mempertebal rasa persaudaraan, karena perbuatan yang dapat merugikan orang lain sangat
di benci oleh Allah SWT.
4.                  Dapat mengingatkan kita akan adab dalam bergaul di masyarakat.
5.                  Dapat mempertebal rasa keimanan kepada Allah SWT[49].

[1] http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/2009/11/20/fiqih-jinayah/
[2] http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/07/ruang-lingkup-fiqih.html
[3] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[4] http://spupe07.wordpress.com/2009/12/01/jinayah-dan-hudud/
[5] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[6] http://journal.uii.ac.id/index.php/JHI/article/viewFile/239/235
[7] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[8] http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/2009/11/20/fiqih-jinayah/
[9] http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/2009/11/20/fiqih-jinayah/
[10] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[11] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[12] http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/07/ruang-lingkup-fiqih.html
[13] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[14] http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/07/ruang-lingkup-fiqih.html
[15] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[16] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[17] http://makmum-anshory.blogspot.com/2009/07/ruang-lingkup-fiqih.html
[18] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[19] http://blog.beswandjarum.com/soikhurojib/2009/11/20/fiqih-jinayah/
[20] http://spupe07.wordpress.com/2009/12/01/jinayah-dan-hudud/
[21] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[22] Q.S. at-taubah: 12
[23] Q.S. an-nahl: 106
[24] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[25] http://spupe07.wordpress.com/2009/12/01/jinayah-dan-hudud/
[26] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[27] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[28] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[29] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[30] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[31] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[32] http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=73
[33] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[34] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[35] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[36] http://spupe07.wordpress.com/2009/12/01/jinayah-dan-hudud/
[37] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[38] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[39] Q.S. al-baqarah: 217
[40] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[41] Q.S. al-hujuraat: 9
[42] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[43] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[44] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[45] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[46] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[47] http://muhammad-musa-isa.com/?pg=articles&article=857
[48] http://spupe07.wordpress.com/2009/12/01/jinayah-dan-hudud/
[49] http://spupe07.wordpress.com/2009/12/01/jinayah-dan-hudud/
Diposkan oleh Musafir di 17.53 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar

Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Copyright Text
Blog Archive
 ▼  2012 (4)
o ►  Juni (1)
o ▼  Mei (3)
 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEHARMONISAN KELUARGA
 SEKILAS TENTANG FIQIH JINAYAH
 IDE DASAR DAN LATAR BELAKANG LAHIRNYA MUHAMMADIYAH...
Search
Cari

Pengikut About Me

Musafir
Lihat profil lengkapku
Blog Archive
 ▼  2012 (4)
o ►  Juni (1)
o ▼  Mei (3)
 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEHARMONISAN KELUARGA
 SEKILAS TENTANG FIQIH JINAYAH
 IDE DASAR DAN LATAR BELAKANG LAHIRNYA MUHAMMADIYAH...
Template Travel. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai