Anda di halaman 1dari 24

MARET 2017

REFERAT
ATRESIA DUODENI

OLEH :
Nama : Algivar Dial P. Daud, S. Ked

Stambuk : N 111 15 038

Pembimbing Klinik : dr. Roberthy David Maelissa, Sp. B.,


FINACS

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PAL
A. Pendahuluan
Usus manusia secara umum terdiri atas usus besar dan usus
halus. Segmen pada usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan
ileum. Duodenum akan diikuti oleh bagian usus yang panjang yang
disebut jejunum. Jejunum diikuti oleh ileum yang merupakan bagian
terakhir dari usus halus yang akan menghubungkan usus halus dengan
usus besar. Apabila bagian dari usus ini gagal untuk berkembang pada
masa fetus, akan mengakibatkan terjadinya sumbatan pada usus yang
disebut dengan atresia intestinal (Tamer et al, 2011).
Atresia merupakan kondisi tidak ada atau tertutupnya lubang
pada tubuh atau organ yang berbentuk tubular secara congenital, 50%
kasus atresia intestinal terjadi pada duodenum, dan 46%kasus terjadi
pada jejunoileal. Intestinum adalah bagian dari saluran pencernaan yang
dimulai dari struktur setelah pilorus gaster hingga anus dan terdiri dari
usus halus dan usus besar, yang fungsinya melengkapi proses
pencernaan, memberi air ke tubuh, elektrolit, zat gizi, dan menyimpan
ampas fekal hingga dikeluarkan (Dorland, 2002).
Angka kejadian atresia intestinal di Amerika Serikat mencapai 1
dari 3000 kelahiran hidup, tetapi di Benua Afrika angka kejadian ini
bisa lebih banyak yaitu 1 dari 1000 kelahiran hidup. Kasus atresia
intestinal akan menunjukkan gejala beberapa jam setelah kelahiran,
tetapi pada beberapa kasus yang telah terjadi, sering tidak dilaporkan,
sehingga tidak mendapatkan pelayanan medis. Sebelum tahun 1952,
kematian akibat atresia jejunoileal mencapai 90%. Di antara tahun 1952
dan 1955, kematian mencapai 80% ketika anastomosis primer terjadi
tanpa reseksi usus. Pada saat reseksi dan dilatasi usus bisa dilakukan,
angka kematian menurun hingga 22%. Kematian menurun kembali
hingga 10% pada tahun 1959 sampai 2000. Beberapa faktor yang
berkontribusi dalam kematian antara lain infark usus proksimal,
peritonitis, kelemahan anastomosis, atresia distal yang tidak diketahui,
dan sepsis (Millar et al., 2003).
1. Embriogenesis
Dalam perkembangannya, saluran cerna hanya berupa suatu
tabung sederhana dengan beberapa benjolan. Bakal lambung berupa
suatu pelebaran berbentuk kerucut, sedangkan bakal sekum ditandai
oleh suatu pelebaran yang asimetris. Duktus vitelinus masih
berhubungan dengan saluran kolon usus ini (Samsuhidajat, 2010).
Pada usia janin bulan kedua dan ketiga, terjadi suatu proses yang
dapat menerangkan timbulnya cacat bawaan pada bayi dikemudian hari.
Usus tumbuh dengan cepat dan berada didalam tali pusat. Sewaktu usus
menarik diri masuk kembali ke dalam rongga perut, duodenum dan
sekum berputar dengan arah berlawanan jarum jam. Duodenum
memutar di dorsal arteri dan vena mesenterika superior, sedangkan
sekum memutar di ventralnya sehingga kemudian sekum terletak di fosa
iliaca kanan (Samsuhidajat, 2010).
Gangguan perkembangan selama minggu ke-10 atau ke-11 akan
menimbulkan berbagai kelainan, seperti tidak terbentangnya
mesenterium pada dinding belakang, tidak beradanya sekum dikanan
bawah perut, melainkan lebih jauh ke kranial, atau tidak stabil dan tidak
terpancangnya sekum meskipun lokasinya normal. Sisa duktus
omfalomesenterikus dapat menjadi diverticulum meckel. Gangguan
pembentukan kembali saluran, atau gangguan rekanalisasi, dapat
menyebabkan terjadinya atresia usus atau obstruksi usus oleh
sekat(Samsuhidajat, 2010).
Panjang usus halus kurang lebih enam meter. Perbatasan antara
yeyunum dan ileum tidak jelas dari luar; dinding yeyenum lebih tebal
dan lumen ileum lebih sempit. Mesenterium mengandung pembuluh
darah, pembuluh limf, kelenjar limf, dan saraf otonom. Aliran darah
kolateral melalui arcade mesenterium di pinggir usus halus yng cukup
banyak turut menjamin penyembuhan luka anastomosis
usus(Samsuhidajat, 2010).
Selain itu terdapat pendarahan kolateral antara arteri media
sebagai cabang arteri mesenterika superior dan arteri kolika sinistra
sebagai cabang arteri mesenterika inferior. Hubungan kolateral ini
terletak di pinggir kolon transversus dan kolon desendens. Selain tu,
terdapat hubungan kolateral antara pangkal arteri mesenterika superior
dan pangkal arteri mesenterika inferior melaui sutu lengkung pembuluh
darah yang disebut arkus riolan; lengkung pembuluh darah kolateral ini
menjadi vital bila timbul gangguan pendarahan melalui salah satu dari
kedua arteri tersebut(Samsuhidajat, 2010).

Gambar 1. Embryogenesis
duodenum

2. Anatomi
Duodenum
Duodenum atau juga disebut dengan usus duabelas jari
merupakan usus yang berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan
antara gaster dengan jejunum. Duodenum melengkung di sekitar caput
pancreas. Duodenum merupakan bagian terminal atau muara dari sistem
apparatus biliaris dari hepar maupun dari pancreas. Selain itu duodenum
juga merupakan batas akhir dari saluran cerna atas. Dimana saluran
cerna dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya
ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang terletak pada
flexura duodenojejunales yg merupakan batas antara duodenum dan
jejunum. Di dalam lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil
yang disebut dengan plica sircularis. Duodenum terletak di cavum
abdomen pada regio epigastrium dan umbilikalis (Snell, 2006).

Gambar 1. Bagian – bagian usus


Gambar 2. Bagian-bagian duodenum

Duodenum terdiri atas beberapa bagian:


1. Duodenum pars superior
Bagian ini bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi
kanan vertebrae lumbal I dan terletak di linea transpylorica.
Bagian ini terletak setinggi vertebrae lumbal I dan memiliki
sintopi:
a. Anterior : Lobus quadrates hepatis, vesica velea
b. Posterior : Bursa omentalis, a. gastroduodenalis,
ductus choledocus, v. portae hepatis, dan v. cava inferior
c. Superior : Foramen epiploica winslow
d. Inferior : Caput pankreas
2. Duodenum pars decendens
Bagian dari duodenum yang berjalan turun setinggi
vertebrae lumbal II-III. Pada duodenum bagian ini terdapat
papilla duodeni major dan minor yang merupakan muara dari
ductus pancreaticus major dan ductus choledocus serta
ductus pancreaticus minor yang merupakan organ apparatus
billiaris dan termasuk organ dari system enterohepatic.
Duodenum bagian ini memiliki sintopi :
a. Anterior : Fundus vesica felea, colon transersum,
lobus hepatis dextra
b. Posterior : Ureter dextra, hilus renalis dextra
c. Medial : Caput pankreas
d. Lateral : Colon ascendens, fleksura coli dextra,
lobus hepatis dextra
3. Duodenum pars horizontal
Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan
horizontal ke sinistra mengikuti pinggir bawah caput
pancreas dan memiliki skeletopi setinggi vertebrae lumbal II.
Duodenum bagian ini memiliki sintopi :
a. Anterior : Mesenterium usus halus, vasa
mesenterica superior, lekukan jejunum
b. Posterior : Ureter dextra, m. psoas dextra, aorta
c. Superior : Caput pancreas
d. Inferior : Lekukan jejunum
4. Duodenum pars ascendens
Merupakan bagian terakhir dari duodenum yang bergerak
naik hingga pada flexura duodenujejunales yang merupakan
batas antara duodenum dan jejunum. Pada flexura
duodenojejunales ini terdapat ligamentum yang
menggantung yang merupakan lipatan peritoneum yang
disebut dengan ligamentum Treitz (m. suspensorium
duodeni) yang dimana ligamentum ini juga merupakan batas
yang membagi saluran cerna menjadi saluran cerna atas dan
saluran cerna bawah. Duodenum bagian ini memiliki
skeletopi setinggi Vertebrae Lumbal I atau II.
Duodenum bagian ini memiliki sintopi :
a. Anterior : Mesenterium, lekukan jejunum
b. Posterior : Pinggir kiri aorta, pinggir medial m.
psoas sinistra
(Snell, 2006)

Vaskularisasi duodenum

Vaskularisasi duodenum baik arteri maupun vena nya terbagi


menjadi 2. Untuk duodenum pars superior hingga duodenum pars
descendens diatas papilla duodeni major (muara ductus pancreticus
major), divaskularisasi oleh a. pancrearicoduodenalis cabang dari a.
gastroduodenalis. Setengah bagian bawah diperdarahi oleh arteria
pancreaticoduodenalis inferior, cabang arteria mesenterica superior. dan
aliran venanya langsung bermuara ke system portae hepatik. Vena
pancreaticoduodenalis inferior bermuara ke vena mesenterica superior.
(Snell, 2006).

Inervasi duodenum

Duodenum di inervasi oleh persarafan simpatis oleh truncus


sympaticus segmen thoracal VI-XII, sedangkan persarafan parasimpatis
nya oleh n. vagus (n. X) (Snell, 2006).

3. Klasifikasi
Atresia duodenum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 morfologi,
yaitu :
a. Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya diafragma atau
membrane didalam lumen usus, yang terdiri dari jaringan
mukosa dan submukosa. Merupakan tipe yang paling sering
dijumpai.
b. Tipe 2
Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal
dihubungkan dengan fibrous cord.
c. Tipe 3
Atresia dengan diskontinuitas komlit antar segmen proksimal
dan distal. (Samsuhidajat, 2010).

Gambar 3. Tipe atresia duodenum

4. Patogenesis
Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan
terjadinya atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga
menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi
lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan
bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh
proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada
minggu ke 8- 10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia
duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses
ploriferasi endoderm yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna
melebihi ploriferasinya atau disebabkan kegagalan rekanalisasi
epitelial (kegagalan proses vakuolisasi) (Alan et al, 2001).
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum
berploriferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari atau pada kehamilan
minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan menyumbat lumen
duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses
vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis
yang timbul pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan
terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke
11 kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada
lumen duodenum. Apabila proses ini mengalami kegagalan, maka
lumen duodenum akan mengalami penyempitan. Pada beberapa
kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor
ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan
struktur organ sekitarnya, seperti pankreas. Atresia duodenum
berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan
jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling duodenum,
terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan
mengakibatkan gangguan perkembangan duodenum (Free et al,
2004).
5. Penegakkan diagnosis
a. Manifestasi klinis
Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi
usus. Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada
beberapa pasien dapat timbul gejala dalam beberapa jam hingga
beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus
merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus
dengan atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan
pada 85% pasien. Muntah akan berwarna kehijauan karena
muntah mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada
15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosa apabila atresia
terjadi pada proksimal dari ampula veteri. Muntah neonatus akan
semakin sering dan progresif setelah neonates mendapat ASI.
Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika
atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada
bagian usus yang tinggi, maka muntah akan berwarna kuning
atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang lebih
distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal.
Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran
ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya
dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti
roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran
feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk
menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan
memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit,
konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu
dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa kasus,
anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal (Kessel
et al, 2011)
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya
tidak terganggu. Akan tetapi, pada beberapa kasus dapat terjadi
gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat,
maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan,
gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak
ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau
hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan
cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna. Anak
dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik
dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya
aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak.
Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini disebabkan
karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas
103º F maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal
atau peritonitis (Kessel et al, 2011).
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen.
Akan tetapi distensi ini tidak selalu ada, tergantung pada level
atresia dan lamaya pasien tidak dirawat. Jika obstruksi pada
duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat
tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada beberapa
neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai
hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau
usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus
dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut yang
berbentuk skafoid (Kessel et al, 2011).
Saat auskultasi, terdengar gelombang peristaltik gastrik
yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang
peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila
obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka gelombang
peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut
(Kessel et al, 2011).
c. Pemeriksaan penunjang
Pre natal
Secara general, atresia duodenum sulit untuk di diagnosis
selama kehamilan. Diagnosis prenatal selalu berdasarkan tanda
non spesifik pada fetal ultrasound seperti dilatasi lambung.
Karena cairan amnion ditelan dan dicerna secara normal oleh
fetus, atresia duodenum dapat menyebabkan peningkatan cairan
dalam sakus amnion, hidramnion. Ini mungkin merupakan tanda
awal atresia duodenum. Diagnosis saat masa prenatal yakni
dengan menggunakan prenatal ultrasonografi. Sonografi dapat
mengevaluasi adanya polihidramnion dengan melihat adanya
struktur yang terisi dua cairan dengan gambaran double bubble
pada 44% kasus. Sebagian besar kasus atresia duodenum
dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan (wiastuti, 2010).

Gam
bar 4. Gambaran USG prenatal pada atresia duodenal

Post natal

Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru


lahir dengan kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan
laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum, darah
lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya muntah yang
semakin progresive sehingga pasien akan mengalami gangguan
elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan menyebabkan
terjadinya metabolik alkalosis dengan hipokalemia atau
hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu,
gangguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum
melakukan operasi. Disamping itu, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap untuk mengetahui apakah pasien mengalami demam
karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum (Hayden et
al, 2003).

Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni


plain abdominal x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran
double-bubble sign tanpa gas pada distal dari usus. Pada sisi kiri
proksimal dari usus nampak gambaran gambaran lambung yang
terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum
proksimal pada garis tengah agak ke kanan. Apabila pada x-ray
terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia
duodenum. Pada neonatus yang mengalami dekompresi
misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-angsur
masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan gambaran
double-bubble (Richard et al, 2001).
Gambar 5. Gambaran double bubble pada atresia duodenum

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum yaitu :
- Pemasangan tube orogastrik untuk mendekompresi lambung
- Memberikan cairan elektrolilt melalui intravena (mengkoreksi
dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit).
- Mengatasi sindrom down.
- Pembedahan untuk mengkoreksi kebuntuan duodenum perlu
dilakukan namun tidak darurat. Pembedahan ini tergantung pada
sifat abnormalitas. Prosedur operatif standar saat ini berupa
duodenoduodenostomi.
a. Pre operasi
Penatalaksanaan terdiri dari dekompresi nasogastrik dan
menyediakan penggantian cairan dan elektrolik. Banyak
penderita merupakan prematur dan umur kelahirannya rendah,
maka harus menjaga tubuh dari panas dan menghindari
hipoglikemia terutama pada kasus berat bayi lahir rendah,
penyakit jantung kongenital, sindroma distres respirasi (Millar,
2005).
Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat
diperlukan dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan
cairan dan abnormalitas elektrolit serta melakukan kompresi
pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan
menjaga hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan mulai
dari pasien lahir. Sebagian besar pasien dengan duodenal atresia
merupakan pasien premature dan kecil, sehingga perawatan
khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan
mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus berat
badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada
respirasi. Sebaiknya pesien dirawat dalam incubator (Tamer et
al, 2011).
b. Intraoperasi

Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan


teknik yang dipilih untuk mengoreksi obstruksi yang disebabkan
karena stenosis maupun atresia. Kemudian, berdasarkan
perkembangannya, ditemukan berbagai teknik yang bervariasi,
meliputi side-to-side duodenoduodenostomi, diamnond shape
duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke
mikulick type duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-
to-side duodenoplasty yang panjang, walaupun dianggap efektif,
akan tetapi pada beberapa penelitian teknik ini memyebabkan
terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang lama. Pada
pasien dengan duodenoduodenostomi sering mengalami blind-
loop syndrome (wiastuti, 2010).

Saat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi


maupun open duodenoduodenostomi. Teknik untuk
anastomosisnya dilakukan pada bagian proksimal secara
melintang ke bagian distal secara longitudinal atau diamond
shape. Dilakukan anastomosis diamond-shape pada bagian
proksimal secara tranversal dan distal secara longitudinal.
Melalui teknik ini akan didapatkan diamater anatomosis yang
lebih besar, dimana kondisi ini lebih baik untuk mengosongkan
duodenum bagian atas. Pada beberapa kasus,
duodenoduodenostomi dapat sebagai alternatif dan
menyebabkan proses perbaikan yang lebih mudah dengan
pembedahan minimal (wiastuti, 2010).

Untuk open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan


insisi secara tranversal pada kuadran kanan atas pada
suprambilikal. Untuk membuka abdomen maka diperlukan insisi
pada kulit secara tranversal, dimulai kurang lebih 2 cm diatas
umbilikus dari garis tengah dan meluas kurang lebih 5 cm ke
kuadran kanan atas. Setelah kita menggeser kolon ascending dan
tranversum ke kiri, kemudian kita akan melihat duodenal yang
mengalami obstruksi. Disamping mengevaluasi duodenal stresia,
dapat dievaluasi adanya malrotasi karena 30% obstruksi
duodenal kongenital dihubungkan dengan adanya malrotasi.
Kemudian dilakukan duodenotomi secara tranversal pada
dinding anterior bagian distal dari duodenum proksimal yang
terdilatasi serta duodenostomi yang sama panjangnya dibuat
secara vertikal pada batas antimesenterik pada duodenum distal.
Kemudian akan dilakukan anstomosis dengan menyatukan akhir
dari tiap insisi dengan bagian insisi yang lain(wiastuti, 2010).

Disamping melakukan open duodenoduodenostomi, pada


negara maju dapat dilakukan teknik operasi menggunakan
laparoscopic. Teknik dimulai dengan memposisikan pasien
dalam posisi supinasi, kemudian akan diinsersikan dua
instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-
epigastik kanan. Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio
yang mengalami obstruksi. Kemudian dilakukan diamond shape
anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan laparoscopik
anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik
ini memerlukan banyak jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan,
kondisi ini dapat diselesaikan dengan menggunakan nitinol U-
clips untuk membuat duodenoduodenostomi tanpa adanya
kebocoran dan bayi akan lebih untuk dapat segera menyusui
dibandingkan open duodenoduodenostomi secara konvensional.
(wiastuti, 2010).

Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular


pankreas, maka dilakukan duodenoduodenostomi antara segmen
duodenum diatas dan dibawah area cincin pankreas. Operator
tidak boleh melakukan pembedahan pada pancreas 12 karena
akan menyebabkan pankreatik fistula, kondisi demikian
menyebabkan stenosis atau atresia duodenum akan menetap
(wiastuti, 2010).
selain itu, tindakan bedah dapat dilakukan sesuai dengan tipe
dari atresia duodenum.
1) Tipe 1
Atresia duodenum yang ditandai oleh adanya webs atau
membrane pada lumen duodenum. Tindakan bedah yang
dilakukan adalah menginsisi dinding duodenum kemudian
mengeksisi membrane bagian dalamnya, kemudian dijahit.

Gambar 6. Tindakan bedah pada atresia duodenum tipe 1

2) Tipe 2
Atresia duodenum dengan segmen proksimal dan distal
dihubungkan dengan fibrous cord. Tindakan pembedahan
yang dilakukan adalah dudenoduodenostomi. Bagian
yang mengalami atresia dihilangkan, kemudian kedua
ujung tersebut digabungkan.
3) Tipe 3
Atresia dengan diskontinuitas komlit antar segmen
proksimal dan distal. Tindakan bedah yang dilakukan
adalah gastrojejunum, yaitu menggabungkan antara
ujung jejunum langsung ke lambung.
Gambar 7. Tindakan operasi pada atresia
duodenum tipe 2 (atas) dan atresia duodenum tipe
3 (bawah)

c. Post operasi
Penggunaan selang transanastomik berada dalam di
jejunum, pemberian makan dapat diberikan setelah 48 jam paska
operasi. Nutrisi parenteral via central atau perifer dimasukan
kateter dapat sangat efektif untuk menjaga nutrisi waktu yang
lama jika transanastomik enteral tidak cukup atau tidak dapat
ditolenrasi oleh tubuh pasien (Millar, 2005).
7. Komplikasi
- Mudah terjadi dehidrasi
Komplikasi post operasi dilaporkan pada 14-18% pasien, dan
beberapa pasien memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi
yang sering terjadi dan menyebabkan pasien perlu dioperasi
kembali yaitu :
- Kebocoran anostomosis
- Obstruksi fungsional duodenum
- Adhesi
- Bengkak pada bagian pertama usus halus (megaduodenum)
- Permasalahan pergerakan usus
- Refluks gastroesofageal
- Sepsis intraabdomen
(Richard et al, 2001)
8. Prognosis

Angka harapan hidup untuk bayi dengan atresia duodenum


adalah 90 - 95%. Mortalitas yang tinggi disebabkan karena
prematuritas serta abnormalitas congenital yang menyertainya.
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama
50 tahun terakhir. Adanya kemajuan dibidang anestesi pediatric,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah
meningkat hingga 90%. Menurut Milar (2005), walaupun prognosis
atresia duodenal secara general bagus namun angka kematian
sebesar 7%. Hubungan kelainan kongenital diindentifikasikan
sebagai faktor risiko independent. Berat lahir rendah dan permasalah
prematur lebih jauh meningkatkan resiko kematian (Richard et al,
2001).
KESIMPULAN

1. Atresia duodenum merupakan kondisi dimana duodenum tidak


berkembang dengan baik. Jenis atresia duodenum terbagi tiga
2. Penyebab terjadinya atresia duodenum sampai saat ini belum
diketahui, namun sering ditemukan bersamaan dengan malformasi
pada neonates lainnya seperti sindrom down, maupun penyakit
jantung.
3. Penegakkan diagnosis yaitu dengan anamnesis didapatkan pasien
memiliki gejala obstruktif usus, yaitu muntah terus menerus. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Pada pemeriksaan
penunjang ditemukan double bublle.
4. Tindakan bedah yang dilakukan ialah sesuai dengan tipe atresi
duodenum.
DAFTAR PUSTAKA

Alan PL, James AM. Congenital Duodenal Abnormalies in a Adult. Arch


Surgery.2001;136:578-561
De jong, sjamsuhidayat, 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong,
ed. 3. ECG penerbit buku kedokteran, Jakarta
Dorland, W. A. N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Hal 206 dan 1113.
Free FA, Barry G. Duodenal Obstruction in the Newborn Due To Annular
Pancreas. Surg.2004;103:321-325
Hayden CK, Marshall ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal and
Duodenal Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.2003;140:225-230
Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of Duodenal
Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The British
Journal of Radiology.2011;66: 86-88
Millar A. J. W., Gosche J. R., and Lakhoo K. 2003. Intestinal Atresia and
Stenosis. Paediatric Surgery: A Comprehensive Text for Africa
Chapter 63. p.385-388.
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran.Jakarta :
EGC.
Tamer S, Mustafa K, Ulas A, Ali SK, Duodenal Atresia and Hirchsprung
Disease in a Patient with Down Syndrome. Eur J Gen
Med.2011;8(2):157-9
Wyllie, R. 2007. Intestinal Atresia, Stenosis, and Malrotation: Nelson Textbook
of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 327.

Anda mungkin juga menyukai