Anda di halaman 1dari 30

Clinical Science Session (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A218112/ November 2019


**Pembimbing dr. Jufri Makmur, Sp.PD, FINASIM

HIPERTENSI

Disusun Oleh:
Salwa Kamilah
G1A218112

Pembimbing:
dr. Jufri Makmur, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

HIPERTENSI

Oleh:
SalwaKamilah
G1A218112

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

Jambi, November 2019


Pembimbing

dr. Jufri Makmur, Sp.PD, FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab
karena rahmaNya, laporan kasus atau Clinical Science Session yang berjudul
“Hipertensi” sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Jufri Makmur, Sp.PD, FINASIM,
selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing
dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam laporan kasus
ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran agar lebih kedepannya. Akhir kata, semoga laporan ini
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, November 2019

Penulis

3
BAB I

LATAR BELAKANG

Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik sistem


kardiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah multi faktor, sehingga tidak bisa
diterangkan dengan hanya satu mekanisme tunggal. Apabila disederhanakan sebetulnya
hipertensi adalah interaksi cardiac output (CO) dan total peripheral resistence (TPR).1
Hipertensi sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer dan merupakan masalah
kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%, sesuai dengan data
riskesdas 2013.2

Tiap negara mempunyai guideline atau konsensus sendiri-sendiri sesuai dengan bukti
klinis yang mereka yakini, atau berdasarkan suatu kesimpulan studi meta analisa. Maka,
pendekatan klinis hipertensi hendaknya mengacu kepada guideline yang ada, yang bukti
epidemiologis klinisnya kuat.1 Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari
dalam walaupun luar negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi
bila memiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg, pada pemeriksaan berulang.3

Hipertensi adalah salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular seperti
stroke, penyakit jantung koroner, gagal jantung, fibrilasi atrium, penyakit arteri perifer,
dan insufisiensi ginjal.1 Komplikasi hipertensi dapat mengenai berbagai organ target,
seperti jantung, otak, ginjal, mata dan arteri perifer. 4 Sehingga, hipertensi menjadi salah
satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di Indonesia. Tatalaksana penyakit ini
merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan di berbagai tingkat fasilitas
kesehatan.3 Pendekatan klinis pengobatan hipertensi harus meliputi pengendalian
tekanan darah sampai kepada normotensi, mengendalikan faktor-faktor risiko serta
mengobati semua TOD (target organ damage) yang telah terkena.1

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipertensi adalah kondisi kronis dimana tekanan darah pada dinding arteri
meningkat. Sebagian besar konsensus atau pedoman utama baik dari dalam maupun luar
negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada
pemeriksaan yang berulang.1,2 Pada umumnya, tekanan yang dianggap optimal adalah
kurang dari 120 mmHg untuk tekanan sistolik dan 80 mmHg untuk tekanan diastolik,
sementara tekanan yang dianggap hipertensi adalah lebih dari 140 mmHg untuk tekanan
sistolik dan lebih dari 90 mmHg untuk tekanan diastolik.3

2.2 Klasifikasi
Penentuan derajat hipertensi dilakukan berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih
pengukuran tekanan darah (dalam posisi duduk) selama dua atau lebih kunjungan pasien
rawat jalan. Klasifikasi hipertensi dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini:5

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Klinik5


TDS TDD
KATEGORI
(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 Dan <80
Normal 120-129 dan/atau 80-84
Normal-tinggi 130-139 dan/atau 85-89
Hipertensi derajat 1 140-159 dan/atau 90-99
Hipertensi derajat 2 160-179 dan/atau 100-109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 dan/atau ≥ 110
Hipertensi sistolik ≥ 140 Dan < 90
terisolasi
Dikutip dari 2018 ESC/ESH Hypertension Guidelines.

2.3 Epidemiologi
Hipertensi ditemukan pada kurang lebih 6% dari seluruh penduduk dunia, dan
merupakan sesuatu yang sifatnya umum pada seluruh populasi. Data epidemiologi
menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hipertensi, dengan meningkatnya harapan

5
hidup atau populasi usia lanjut. Lebih dari separuh populasi di atas usia 65 tahun
menderita hipertensi, baik hipertensi sistolik maupun kombinasi sistolik dan diastolik.1
Riset Kesehatan Dasar / RISKESDAS tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
hipertensi di Indonesia adalah sebesar 26,5%.2

2.4 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi dalam dua golongan yaitu :
a. Hipertensi primer/hipertensi esensial

Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah hipertensi yang 90%-95% tidak
diketahui penyebabnya atau tanpa tanda-tanda kelainan organ didalam tubuh, walaupun
dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas).13
b. Hipertensi sekunder/hipertensi non esensial
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang dapat diduga penyebabnya, pada sekitar
5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%,
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB),
penyebab lainnya adalah :13
- Penyakit : Penyakit ginjal kronik, sindroma cushing, koarktasi aorta,
obstructive sleep apnea, penyakit paratiroid, feokromositoma, aldesteronism
primer, penyakit renovaskular, penyakit tiroid.
- Obat-obatan : Prednison, fludrokortison, triamsinolon
- Makanan : Sodium, etanol, licorice
- Obat jalanan yang mengandung bahan-bahan sebagai berikut : cocaine, cocaine
withdrawal, ephedra alkaloids,nicotine withdrawal, anabolic steroids, narcotic
withdrawal, dan ketamin.
Tabel 2 Penyebab Hipertensi Sekunder13

6
2.5 Patogenesis

Hipertensi primer merupakan penyakit yang bukan hanya disebabkan oleh satu macam
mekanisme, akan tetapi bersifat multi-faktorial, yang timbul akibat dari interaksi dari
berbagai macam faktor risiko. Berbagai faktor dan mekanisme tersebut antara lain:
faktor genetik dan lingkungan, mekanisme neural, renal, hormonal dan vaskular.1

1. Faktor risiko tersebut antara lain: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,
merokok dan genetik.1
2. Mekanisme neural: Aktivitas berlebih dari sistem saraf simpatis berperan
penting pada awal terjadinya hipertensi primer. Pada awalnya terjadi
peningkatan denyut jantung, curah jantung, kadar norepinefrin (NE) plasma
dan urin, berlebihnya NE ditingkat regional, rangsangan saraf simpatis post
ganglion dan reseptor α-adrenergik menyebabkan vasokonstriksi di sirkulasi
perifer. Meningkatnya aktifitas saraf simpatis ini sulit diukur secara klinis.
Pengukuran kadar NE plasma dan denyut jantung tidak dapat dipakai untuk
mengukur aktifitas saraf simpatis yang meningkat. Untuk mengukur aktifitas
ini dapat dipakai dengan mengukur kadar NE yang berlebih di tingkat regional
dengan radiotracer dan microneurography.1
3. Mekanisme renal: Dasar dari semua kelainan yang ada pada hipertensi adalah
menurunnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan kelebihan natrium
yang pada diet tinggi garam.1
Retensi natrium dapat meningkatkan tekanan darah melalui dua cara, yaitu:
 Volume-dependent mechanism: autoregulasi dan produksi dari
endogenous quabain-like steroids.1
 Volume-independent mechanism: angiotensin memberikan efek pada
sistem saraf pusat, peningkatan aktifitas saraf simpatis, peningkatan
kontraktilitas sel otot polos pembuluh darah dan hipertrofi mioblast
jantung, peningkatan produksi nuclear factor (NF)-κβ, peningkatan
ekpresi AT1R diginjal serta peningkatan transforming growth factor
(TGF)-β.1
4. Mekanisme vaskular: Perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah kecil dan
besar memegang peranan penting saat mulai terjadinya dan progresifitas

7
hipertensi. Pada beberapa keadaan didapatkan peningkatan tahanan pembuluh
darah perifer dengan curah jantung yang normal. Terjadinya gangguan
keseimbangan antara faktor yang menyebabkan terjadinya dilatasi dan
konstriksi pembuluh darah.1
 Mekanisme vasokonstriksi ditingkat seluler: Meningkatnya cytosolic
calcium pathway menyebabkan terjadinya kontraksi pada otot polos
pembuluh darah. 1
 Disfungsi endotel: lapisan endotel pembuluh darah merupakan faktor
yang sangat berperan dalam menjaga kesehatan pembuluh darah, dan
merupakan lapisan utama pertahanan terhadap aterosklerosis dan
hipertensi. Keseimbangan tonus pembuluh darah diatur oleh modulator
vasodilatasi dan vasokonstriksi. Gangguan pada keseimbangan tonus ini
juga ikut berperan pada patogenesis hipertensi primer. Adanya disfungsi
endotel merupakan penanda yang khas dari suatu hipertensi dan risiko
dari suatu kejadian kardiovaskular. Keadaan ini ditandai dengan
menurunnya faktor yang menyebabkan relaksasi pembuluh darah yang
dihasilkan oleh endotel, seperti Nitric Oxide (NO), dan meningkatnya
faktor yang menyebabkan terjadinya vasokonstriksi seperti faktor
proinflamasi, protrombotik dan growth factors.1
 Remodelling vaskular: seiring dengan berjalannya waktu, disfungsi
endotel, aktivasi neurohormonal, inflamasi vaskular dan meningkatnya
tekanan darah akan menyebabkan perubahan pada pembuluh darah /
remodeling vaskular yang makin memperberat hipertensi. Gambar khas
dari keadaan ini adalah menebalnya dinding media arteri, sehingga terjadi
peningkatan ratio antara media dan lumen, pada arteri besar dan kecil.
Sistem renin angiotensin aldosteron (SRAA) merupakan faktor yang
dominan yang berperan dalam remodeling ini.1
5. Mekanisme hormonal: Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron merupakan
salah satu mekanisme penting, yang ikut berperan pada retensi natrium oleh
ginjal, disfungsi endotel, inflamasi dan remodeling pembuluh darah, juga
hipertensi. Renin yang diproduksi terutama oleh sel juxtaglomerulus yang ada
di ginjal, akan berikatan dengan angiotensinogen yang diproduksi oleh hati,

8
menghasilkan angiotensin (AT) I. Selanjutnya oleh angiotensin converting
enzyme (ACE) yang terutama banyak terdapat di paru juga di jantung dan
pembuluh darah (tissue ACE), AT I akan diubah menjadi angiotensin (AT) II.
Selain itu masih ada jalur alternatif lain. Chymase suatu enzim protease serine
akan merubah AT I menjadi AT II. Interaksi antara AT II dan reseptor AT I
akan mengaktivasi beberapa mekanisme ditingkat seluler yang ikut berperan
dalam terjadinya hipertensi dan percepatan kerusakan pada organ target oleh
karena hipertensi itu sendiri. Keadaan lain yang dapat menyebabkan kerusakan
target organ antara lain meningkatnya produksi reactive oxygen species (ROS),
inflamasi vaskular, remodeling jantung dan produksi aldosteron. Selain itu,
dari beberapa penelitian terakhir makin banyak bukti bahwa AT II, aldosteron,
aktivasi jalur renin dan prorenin dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh
darah yang sehat dan menyebabkan terjadinya hipertensi. Hasil metabolis lain
yang berasal dari AT I, seperti AT 1-7 yang mempunyai efek proteksi terhadap
pembuluh darah masih dalam penelitian.1
Secara tradisional pada SRAA, prorenin merupakan precursor renin yang
sifatnya inaktif akan berubah lebih dahulu menjadi renin yang aktif, kemudian
secara enzimatik akan merubah angiotensinogen menjadi AT I. Pada konsep
yang baru, ditemukan reseptor pro(renin) yang bila terikat dengan prorenin dan
renin akan mengakibatkan efek toksik langsung pada jantung dan ginjal. Proses
ini berjalan secara non-enzimatik. Proses terbentuknya reseptor pro(renin)
terpisah dari terbentuknya reseptor AT II. Karenanya kerja reseptor ini tidak
dipengaruhi oleh penghambat ACE dan angiotensin receptor blocker (ARB)s.
Kadar prorenin 100 kali lebih tinggi bila dibanding dengan kadar renin dalam
plasma. Untuk melihat aktivitas SRAA secara klinis, dapat diukur kadar
plasma renin activity (PRA) dan plasma renin consentration (PRC).1

9
Gambar 1.Patofisiologi Hipertensi
2.6 Faktor risiko
Berikut adalah faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami
tekanan darah tinggi adalah :
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Umur
Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko
terkena hipertensi menjadi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia
lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 57,6%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun.
Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya berupa kenaikan tekanan darah
sistolik. Tingginya hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur, disebabkan oleh
perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih sempit
dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku.6
b. Jenis Kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, di mana pria lebih banyak
yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk
peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung
dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Laki-laki mempunyai
risiko yang lebih besar terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler. Namun,

10
setelah memasuki menopause, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat. Bahkan
setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada wanita lebih tinggi dibandingkan
dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal.6
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi juga mempertinggi risiko terkena
hipertensi, terutama pada hipertensi primer. Tentunya faktor genetik ini juga
dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain, yang kemudian menyebabkan seorang
menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan
garam dan renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita
hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang
tuanya yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya. Faktor
keturunan memang memiliki peran yang besar terhadap munculnya hipertensi. Hal
tersebut terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak terjadi
pada kembar monozigot (berasal dari satu sel telur) dibanding heterozigot (berasal dari
sel telur yang berbeda).6
d. Etnis
Setiap etnis memiliki kekhasan masing-masing yang menjadi ciri khas dan pembeda
satu dengan lainnya. Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada
yang berkulit putih. Belum diketahui secara pasti penyebabnya, tetapi pada orang kulit
hitam ditemukan kadar renin yang lebih rendah dan sensitivitas terhadap vasopresin
yang lebih besar.6

2. Faktor Risiko Yang Dapat Diubah


a. Kegemukan (obesitas)
Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam
IMT yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat dalam
meter. Kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah
dilaporkan oleh beberapa studi. IMT berkorelasi langsung dengan tekanan darah,
terutama tekanan darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi.6
b. Psikososial dan Stres
Stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah,dendam, rasa
takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar ginjal melepaskan hormon adrenalin
dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah

11
akan meningkat. Jika stres berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang
muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag.6
c. Merokok
Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan Carbon Monoxide (CO) yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses artereosklerosis, dan tekanan darah
tinggi. Risiko merokok berkaitan dengan jumlah rokok yang dihisap per hari, dan bukan
pada lama merokok. Seseorang yang merokok lebih dari satu pak perhari menjadi dua
kali lebih rentan terhadap penyakit hipertensi daripada mereka yang tidak merokok.7
d. Konsumsi Alkohol Berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan. Mekanisme
peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun, diduga
peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan
darah berperan dalam menaikan tekanan darah.7
e. Konsumsi Garam Berlebihan
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di
luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respon penurunan tekanan
darah dengan mengurangi asupan garam.7
f. Hiperlipidemia/Hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lipid (Iemak) yang ditandai dengan peningkatan kadar
kolesterol total, trigliserida, kolesterol Low-Density Lipoprotein (LDL) dan/atau
penurunan kadar kolesterol High-Density Lipoprotein (HDL) dalam darah. Kolesterol
merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan
peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.7
Menggunakan perhitungan estimasi risiko kardiovaskular yang formal, untuk
mengetahui prognosis. Selalu mencari faktor risiko metabolic ( diabetes, ganguan
tiroiddan lainnya) pada pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa penyakit jantung dan
pembuluh darah seperti gambar dibawah ini.8,9

12
Tabel 3. Faktor Risiko Hipertensi10

2.7 Diagnosis
Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari Canadian Hypertension Education
Program. The Canadian Recommendation for The Management of Hypertension
2014.3

Gambar 1. Algoritme Diagnosis Hipertensi3

13
I. Anamnesis1
Anamnesis meliputi:
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder:
- Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
- Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian
obat-obat analgesik dan obat/bahan lain
- Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma)
- Episode lemahotot dan tetani (aldosteronisme)
3. Faktor - faktor resiko
- Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien
- Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
- Kebiasaan merokok
- Pola makan
- Kegemukan, intensitas olahraga
- Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
- Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris
- Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkak kaki, tidur dengan bantal
tinggi (lebih dari 2 bantal)
- Ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuri, hipertensi yang disertai kulit
pucat anemis
- Arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermitten
5. Pengobatan anti hipertensi sebelumnya
6. Faktor – faktor pribadi, keluarga dan lingkungan

II. Pemeriksaan Fisik1


Pengukuran tekanan darah (TD) dilakukan pada penderita yang dalam
keadaan nyaman dan rielks, dan dengan tidak tertutup / tertekan pakaian.

14
Beberapa hal yang perlu diperhatikn pada saat melakukan pengukuran TD
adalah:
1. Untuk mengukur TD terdapat 3 jenis sphygmomanometer, yaitu manometer
aneroid (kurang akurat bila digunakan berulang-ulang), manometer
elektronik ( juga kurang akurat) dn manometer merkuri/air raksa (ingat
merkuri dapat mencemari lingkungan). Gunakan manset dengan ukuran
inflatable bag (karet yag ada dibagian dalam manset) yang sesuai, yaitu lebar
± 40% dari lingkar lengan (rata-rata pada orang dewasa 12-14 cm) dan
panjang ± 60-80% lingkar lengan, sehingga cukup panjang untuk melingkupi
lengan.
2. Pasang manset pada lengan atas dengan pusat inflatable bag di atas arteri
brakhialis ( pada sisi dalam lengan atas) dan sisi bawah manset ± 2,5 cm di
atas fossa antecubiti.
3. Posisi lengan penderita sedikit fleksi pada siku, lengan harus disangga
(dengan bantal, meja atau benda lain yang stabil), pastikan bahwa manset
setinggi jantung. Cari arteri brakhialis, biasanya sedikit medial dari tendon
bisep.
4. Lakukan pemeriksaaan palpasi tekanan darah sistolik (TDS) yaitu ibu jari
atau jari-jari lain diletakkan di atas arteri brakhialis, manset di pompa/
dikembangkan sampai ± 30 mmHg di ats tingkat dimana pulsasi mulai tidak
teraba, kemudian manset pelan – pelan dikendurkan dan akan didapatkan
TDS yaitu saat ulsai mulai teraba kembali.
5. Selanjutnya stetoskop (bagian bell) diletakkan di atas arteri brakhialis,
manset dipompa kembai sampai ± 30 mmHg di atas palpasi TDS, kemudian
manset dikendurkan pelan-pelan (kecepatan 2-3 mmHg/detik), tentukan TDS
(mulai terdengar suara) dan tekanan darah diastolik atau TTD (suara mulai
menghilang)
6. Pengukuran TD harus dilakukan pada lengan (arteri brakhialis) kanan dan
kiri, setidaknya pernah dilakukan walaupun sekali saja. Normal antara kanan
dan kiri terdapat perbedaan >5-10 mmHg. Bila ada perbedaan >10-15 mmHg
perlu dicurigai adanya kompresi atau obstruksi arteri pada sisi yang TD-nya
lebih rendah.

15
7. Pada pederita yang mendapat obat oral antihipertesni dan ada riwayat
pingsan atau postural dizziness, atau pada penderita dengan dugaan
hipovolemik, TD diukur pada posisi tidur, duduk dan berdiri (kecuali ada
konra indikasi). Normal dari posisi posisi horisontal keposisi berdiri akan
menyebabkan TDS sedikit menurun atau tidak berubah dan TDD sedikit
meningkat. Bila saat berdiri TDS turun 20 mmHg, apalagi disetai adanya
keluhan, menunjukkan adanya hipotensi ortostatik (postural). TDD juga bisa
turun. Penyebabnya adalah obat, hipovolemia, atau terlalu lama tirah baring
dan gangguan sistem saraf autonom perifer.

III. Pemeriksaan penunjang1


Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: tes darah rutin, glukosa
darah (sebaiknya puasa), kolesterol total serum, kolesterol LDL dan HDL serum,
trigliserida serum (puasa), asam urat serum, kreatinin serum, kalium srum,
hemoglobin dan hematokrit, urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin),
elektrokardiogram.
Beberapa pedoman penanganan hipertensi menganjurkan tes lain seperti:
ekokardiogram, USG karotis (dan feemoral), C-reactive protein,
mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin, proteinuria
kuantitatif (jika uji carik positif), funduskopi (pada hipertensi berat)
Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya
penyakit penyerta sistemik, yaitu: aterosklerotis (melalui pemeriksaan profil
lemak), diabetes (terutama pemeriksaan gula darah), fungsi ginjal (dengan
pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi
glomerulus)

IV. Pemeriksaan Kerusakan Organ Target1


Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya
kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya
hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala
pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target
meliputi:

16
a. Jantung: pemeriksaan fisik, foto polos dada (untuk melihat pembesaran jantung,
kondisi arteri intra toraks dan sirkulasi pulmoner) elektrokardiografi (untuk
deteksi iskemia, ganguan kondisi, aritmia, serta hiertrof ventrikel kiri),
ekokardiografi
b. Pembuluh darah: pemeriksaan fisik termasuk perhitungan pulse pressure,
ultrasonografi (USG) karotis, fungsi endotel
c. Otak: pemeriksaan neurologis, diagnosis stroke ditegakkan dengan
menggunakan cranial computed tomo-graphy (CT) scan atau magnetic
resonance imaging (MRI) (untuk pasien dengan keluhan gangguan neural,
kehilangan memor atau gangguan kognitif)
d. Mata: funduskopi retina
e. Fungsi ginal: pemeriksaan fungsi ginjak dan penetuan adanya proteinuria/
mikro-makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin, perkiraan laju filtrasi
glomerulus, yang untuk pasien dalam kondisi stabil dapat diperkirakan dengan
menggunakan rumus Cockroft-Gault sesuai dengan anjuran National Kidney
Foundation (NKF)

2.8 Tatalaksana
2.8.1 Non farmakologi
1. Intervensi Pola Hidup
Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi dan
dapat mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat juga dapat
memperlambat ataupun mencegah kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1,
namun sebaiknya tidak menunda inisiasi terapi obat pada pasien dengan HMOD
atau risiko tinggi kardiovaskular. Pola hidup sehat telah terbukti menurunkan
tekanan darah yaitu pembatasan konsumsi garam dan alkohol, peningkatan
konsumsi sayuran dan buah, penurunan berat badan dan menjaga berat badan
ideal, aktivitas fisik teratur, serta menghindari rokok.5
2. Pembatasan konsumsi garam
Terdapat bukti hubungan antara konsumsi garam dan hipertensi. Konsumsi garam
berlebih terbukti meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan prevalensi
hipertensi. Rekomendasi penggunaan natrium (Na) sebaiknya tidak lebih dari 2

17
gram/hari (setara dengan 5-6 gram NaCl perhari atau 1 sendok teh garam dapur).
Sebaiknya menghindari makanan dengan kandungan tinggi garam.5
3. Perubahan pola makan
Pasien hipertensi disarankan untuk konsumsi makanan seimbang yang
mengandung sayuran, kacang- kacangan, buah-buahan segar, produk susu rendah
lemak, gandum, ikan, dan asam lemak tak jenuh (terutama minyak zaitun), serta
membatasi asupan daging merah dan asam lemak jenuh.5
4. Penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal
Terdapat peningkatan prevalensi obesitas dewasa di Indonesia dari 14,8%
berdasarkan data Riskesdas 2013,menjadi 21,8% dari data Riskesdas 2018.
Tujuan pengendalian berat badan adalah mencegah obesitas (IMT >25 kg/m2),

dan menargetkan berat badan ideal (IMT 18,5 – 22,9 kg/m2) dengan lingkar

pinggang <90 cm pada laki-laki dan <80 cm pada perempuan.5

5. Olahraga teratur
Olahraga aerobik teratur bermanfaat untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi,
sekaligus menurunkan risiko dan mortalitas kardiovaskular. Olahraga teratur
dengan intensitas dan durasi ringan memiliki efek penurunan TD lebih kecil
dibandingkan dengan latihan intensitas sedang atau tinggi, sehingga pasien
hipertensi disarankan untuk berolahraga setidaknya 30 menit latihan aerobik
dinamik berintensitas sedang (seperti: berjalan, joging, bersepeda, atau berenang)
5-7 hari per minggu.5
6. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko vaskular dan kanker, sehingga status merokok
harus ditanyakan pada setiap kunjungan pasien dan penderita hipertensi yang
merokok harus diedukasi untuk berhenti merokok.5

2.8.2 Farmakologi
PENENTUAN BATAS TEKANAN DARAH UNTUK INISIASI OBAT

Penatalaksanaan medikamentosa pada penderita hipertensi merupakan upaya untuk


menurunkan tekanan darah secara efektif dan efisien. Meskipun demikian pemberian

18
obat antihipertensi bukan selalu merupakan langkah pertama dalam penatalaksanaan
hipertensi.5

Tabel 4. Ambang Batas TD untuk Inisiasi Obat5

Gambar 2. Alur Panduan Inisiasi Terapi Obat Sesuai dengan Klasifikasi


Hipertensi5

19
TARGET PENGOBATAN HIPERTENSI
Salah satu pertimbangan untuk memulai terapi medikamentosa adalah nilai atau
ambang tekanan darah. Pada Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi PERHI tahun 2016,
disepakati bahwa target tekanan darah adalah <140/90 mmHg, tidak tergantung kepada
jumlah penyakit penyerta dan nilai risiko kardiovaskularnya.5
Pada Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019 ini, disepakati target tekanan
darah seperti tercentum pada tabel 6 berikut.5

Tabel 5. Target TD di Klinik5


Target
Target TDS(mmHg)
Kelompok TDD
(mmHg)
usia + +Stroke/ TIA
Hipertensi + PGK + PJK
Diabetes
Target Target Target Target
Target
<130 jika <130 jika <140 <130 jika <130 jika
18-65 dapat dapat dapat
dapat hingga 130 70-79
tahun
ditoleransi ditoleransi jika dapat ditoleransi ditoleransi
Tetapi tidak Tetapi tidak ditolerasi Tetapi tidak Tetapi tidak
<120 <120 <120 <120

Target Target Target Target Target 130-


65-79
tahun 130-139 130-139 130-139 130-139 139*
jika dapat jika dapat jika dapat jika dapat jika dapat
ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi

Target Target Target Target Target 130-


≥80 70-79
130-139 130-139 130-139 130-139 139*
tahun
jika dapat jika dapat jika dapat jika dapat jika dapat
ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi ditoleransi

Target
TDD 70-79 70-79 70-79 70-79 70-79
(mmHg)

PENGOBATAN HIPERTENSI – TERAPI OBAT

Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan penatalaksanaan hipertensi saat


ini adalah dengan menggunakan terapi obat kombinasi pada sebagian besar pasien,
untuk mencapai tekanan darah sesuai target. Bila tersedia luas dan memungkinkan,
maka dapat diberikan dalam bentuk pil tunggal berkombinasi (single pill combination),
dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.5

20
Obat-obat untuk penatalaksanaan hipertensi
Lima golongan obat antihipertensi utama yang rutin direkomendasikan yaitu:
ACEi, ARB, beta bloker, CCB dan diuretik.5

Tabel 6. Obat Antihipertensi Oral5


Kelas Obat Dosis Frekuensi
(mg/hari) per hari
Obat-obat Lini Utama
Tiazid atau Hidroklorothiazid 25 – 50 1
thiazide-type Indapamide 1,25 – 2,5 1
diuretics
ACE inhibitor Captopril 12,5 – 150 2 atau 3
Enalapril 5 – 40 1 atau 2
Lisinopril 10 – 40 1
Perindopril 5 – 10 1
Ramipril 2,5 – 10 1 atau 2
ARB Candesartan 8 – 32 1
Eprosartan 600 1
Irbesartan 150 – 300 1
Losartan 50 – 100 1 atau 2
Olmesartan 20 – 40 1
Telmisartan 20 – 80 1
Valsartan 80 – 320 1
CCB - dihidropiridin Amlodipin 2,5 – 10 1
Felodipin 5 – 10 1
Nifedipin OROS 30 – 90 1
Lercanidipin 10 – 20 1
CCB – Diltiazem SR 180 – 360 2
nondihidropiridin
Diltiazem CD 100 – 200 1

Verapamil SR 120 – 480 1 atau 2


Obat-obat Lini
Kedua
Diuretik loop Furosemid 20 – 80 2
Torsemid 5 – 10 1
Diuretik hemat kalium Amilorid 5 – 10 1 atau 2
Triamteren 50 – 100 1 atau 2

Diuretik antagonis Eplerenon 50 – 100 1 atau 2


aldosteron
Spironolakton 25 – 100 1

Beta bloker - Atenolol 25 – 100 1 atau 2


kardioselektif
Bisoprolol 2,5 – 10 1

Metoprolol 100 - 400 2


tartrate

21
Beta bloker – Nebivolol 5 – 40 1
kardioselektif dan
vasodilator
44
Beta bloker – non Propanolol IR 160 – 480 2
kardioselektif
Propanolol LA 80 – 320 1

Beta bloker – Carvedilol 12,5 – 50 2


kombinasi reseptor
alfa dan beta
Alfa-1 bloker Doxazosin 1–8 1
Prazosin 2 – 20 2 atau 3
Terazosin 1 – 20 1 atau 2
Sentral alfa-1 agonis Metildopa 250 – 1000 2
dan obat
sentral lainnya
Klonidin 0,1 – 0,8 2

Direct vasodilator Hidralazin 25 - 200 2 atau 3


Minoxidil 5 – 100 1–3

Tabel 7. Efek Samping Obat Antihipertensi5


ACE inhibitor Batuk, hiperkalemia

Angiotensin Receptor Hiperkalemia lebih jarang terjadi


Blocker dibandingkan ACEi

Calcium Channel Blocker


Dihidropiridin Edema pedis, sakit kepala

Non-Dihidropiridin Konstipasi (verapamil), sakit kepala


(diltiazem)
Diuretik Sering berkemih, hiperglikemia,
hiperlipidemia, hiperurisemia, disfungsi seksual
Sentral alfa-agonis Sedasi, mulut kering, rebound
hypertension, disfungsi seksual
Alfa bloker Edema pedis, hipotensi ortostatik,
pusing
Beta bloker Lemas, bronkospasme, hiperglikemia,
disfungsi seksual

ALGORITMA TERAPI OBAT UNTUK HIPERTENSI

22
Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani hipertensi,
beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
 Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan jika
tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg
pada kelompok usia ≥60 tahun dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik
<150 mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg.
 Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-59 tahun).11
 Rekomendasi 3: Pada kelompok usia<60 tahun, terapi farmakologik mulai
diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi adalah
tekanan darah sistolik <140 mmHg.11
 Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi
farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah
sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.
 Rekomendasi 5: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus terapi
farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah
sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.11
 Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita diabetes
melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide, penghambat kanal
kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin
receptor blocker (ARB).11
 Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes melitus
terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau penghambat kanal
kalsium.11
 Rekomendasi 8: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi
antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk memperbaiki
outcomepada ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien gagal ginjal kronis
dengan hipertensi tanpa memandang ras ataupun penderita diabetes melitus atau
bukan.)11

23
 Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk
mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila target
tekanan darah tidak tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis obat harus
ditingkatkan atau ditambahkan dengan obat lainnya dari golongan yang sama
(golongan diuretic-thiazide, CCB, ACEI, atau ARB). Jika target tekanan darah
masih belum dapat tercapai setelah menggunakan 2 macam obat maka dapat
ditambahkan obat ketiga (tidak boleh menggunakan kombinasi ACEI dan ARB
bersamaan). Apabila target tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan
obat yang berasal dari rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan
>3 jenis obat untuk mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi dari
golongan yang lain dapat digunakan.

Gambar 3. Algoritma tatalaksana hipertensi pada dewasa menurut JNC 8.11

Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Pantau tekanan
darah, LFG dan elektrolit. Frekuensi kontrol untuk hipertensi derajat 2 disarankan untuk

24
lebih sering. Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil, frekuensi kunjungan
dapat diturunkan hingga 3-6 bulan sekali. Namun jika belum tercapai, diperlukan
evaluasi terhadap pengobatan dan gaya hidup, serta pertimbangan terapi kombinasi.

Setelah tekanan darah tercapai, pengobatan harus dilanjutkan dengan tetap


memperhatikan efek samping dan komplikasi hipertensi. Pasien perlu diedukasi bahwa
terapi antihipertensi ini bersifat jangka panjang (seumur hidup) dan terus dievaluasi
secara berkala. Pemberian penghambat ACE sebaiknya dihentikan jika terdapat
penurunan LFG > 30% dari nilai dasar dalam 4 bulan atau kadar kalium ≥ 5,5 mEq/L.

Khusus pada kasus kehamilan, antihipertensi yang direkomendasikan ialah metildopa


(250-1000 mg per oral), labetalol (100-200 mg), atau nifedipin oros (30-60 mg).

2.10 Kelainan Penyerta


Hipertensi yang disertai kelainan penyerta (compelling indications) seperti gagal
jantung, paska infark miokard, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, dan riwayat
penyakit stroke dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 8. Pengobatan Kelainan Penyerta Hipertensi11

Dibawah ini tabel yang perlu mendapat perhatian dan kontraindikasi terhadap
beberapa anti hipertensi.

Tabel 9. Kontraindikasi Pemberian Obat Antihipertensi5


Kontraindikasi
Obat

25
Tidak dianjurkan Relatif

Diuretik Gout
Sindrom metabolik
(tiazid/thiazide-
like, misalnya Intoleransi glukosa

chlorthalidone dan Kehamilan


indapamide) Hiperkalsemia
Hipokalsemia
Beta bloker Asma Sindrom metabolik
Setiap blok sinoatrial atau Intoleransi glukosa
atrioventrikular derajat tinggi Atlit dan individu
Bradikardi (denyut jantung yang aktif secara
<60 fisik
kali per menit)
Calcium Channel Takiaritmia
Blocker Gagal jantung
(Dihidropiridin) (HFrEF kelas III atau
IV)
Terdapat edema
tungkai berat
Calcium Channel Setiap bloksinoatrial atau Konstipasi
Blocker
atrioventrikular derajat tinggi
(Non-Dihidropiridin)
Gangguan ventrikel kiri berat
(fraksi ejeksi ventrikel kiri<40%)
Bradikardia (denyut jantung
<60

ACE Inhibitor Kehamilan Perempuan usia subur


Riwayat angioedema tanpa kontrasepsi

Hiperkalemia (kalium >5,5


meq/L)
Stenosis arteri renalis bilateral
Angiotensin Kehamilan Perempuan usia
Receptor Blocker subur tanpa
Hiperkalemia (kalium >5,5
meq/L) kontrasepsi
Stenosis arteri renalis

2.11 Komplikasi
1. Stroke
Stroke dapat terjadi akibat hemorargi tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus
yang terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi.Stroke dapat
terjadi pada hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertrofi dan penebalan, sehingga aliran darah ke area otak yang diperdarahi berkurang.
Arteri otak yang mengalami aterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya aneurisma.12

26
2. Infark miokard
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak dapat
menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila trombus yang menghambat aliran
darah, kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi
iskemia jantung yang menyebabkan infark.12
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit fungsional
ginjal, yaitu nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian.
Dengan rusaknya membran glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga
tekanan osmotik kolid plasma berkurang dan menyebabkan edema.
4. Ensefalopati
Ensefalopati dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang
meningkat cepat dan berbahaya).Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke ruang interstisial di
seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps dan terjadi koma serta
kematian.12
5. Kejang
Kejang dapat terjadi pada wanita preeklampsi.12
6. Hipertrofi Ventrikel Kiri
Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan bentuk adaptasi otot jantung dengan cara
dilatasi dan hipertrofi (penebalan) akibat peningkatan tahanan sirkulasi. HVK biasanya
diikuti abnormalitas atau pembesaran atrium kiri.Peningkatan tekanan otot jantung yang
terus menerus (kronik) akibat tekanan darah tinggi menyebabkan kompensasi dari otot
jatung agar tetap bisa mengalirkan darah ke seluruh tubuh.Karena adanya pengingkatan
tahanan akibat hipertensi, jantung membutuhkan energi ekstra untuk memompa darah.
Sebagai gantinya otot jantung akan mengalami dilatasi dan penebalan sehingga
menimbulkan HVK.
Perubahan yang terjadi pada sel otot jantung meliputi peningkatan ukuran dari sel-sel
otot jantung dan perubahan matriks kolagen perivaskuler yang akan menyebabkan
kekakuan pada otot jantung. Kekakuan otot jantung akan menyebabkan gangguan pada
relaksasi diastolic yang dapat menyebabkan turunnya CJ dan ketidakmampuan untuk

27
memenuhi kebutuhan aliran darah. Pada kondisi hipertensi, HVK meningkatkan resiko
stroke, penyakit jantung iskemik, dan pada akhirnya menyebabkan kegagalan pada
fungsi jantung.13
7. Penyakit jantung koroner, infark miokard dan Angina
Kondisi hipertensi akan meningkatkan pembentukan plak aterosklerotik yang
menjadi salah satu penyebab disfungsi endotel yang kemudian akan berkembang
menjadi penyakit jantung koroner bila pembentukan plak ateros terjadi di arteri
koronaria jantung. Penyakit jantung kororner akan mengakibatkan iskemik otot jantung
yang disebabkan oleh karena penyempitan atau oklusi arteri koroner akibat
aterosklerosis yang menghambat aliran darah. Aterosklerosis yang ruptur merupakan
penyebab infark miokard.13
Iskemik otot jantung juga dapat terjadi akibat remodeling dari arteri koroner. Pada
kondisi hipertensi terjadi hipertrofi pada sel-sel otot jantung namun tidak diikuti
penambahan sirkulasi koroner yang memadai sehingga densitas kapiler menurun, dan
karena ada pembesaran sel-sel otot jantung, jarak antar kapiler bertambah yang akan
memperparah iskemia pada otot jantung. Kejadian iskemik miokard akan memberikan
manifestasi klinis berupa angina pectoris.12

Gambar 4. Komplikasi Hipertensi14


BAB III
KESIMPULAN

28
Hipertensi merupakan penyakit yang sangat umum ditemui dan dikenal sebagai
penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal.Faktor
risiko untuk terjadinya hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor yang dapat
dimodifikasi dan faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan faktor genetik.
Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi tergantung dari gaya hidup pasien.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal. Berdasarkan JNC VIII target tekanan darah adalah kurang
dari 140/90 mmHguntuk kelompok usia>40 tahun dan kurang dari 150/90 mmHg untuk
kelompok usia >60 tahun. Terapi untuk hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu terapi
farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi non farmakologis antara lain
mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan,
dapat dimulai sebelum atau bersama-sama dengan obat farmakologi. Untuk terapi
farmakologi beberapa golongan obat yang dapat dipakai antara lain ACE inhibitor,
angiotensin receptor blocker, beta blocker, penghambat kanal kalsium, dan diuretik tipe
thiazide. Penggunaan obat antihipertensi dapat dikombinasikan ataupun dengan
menaikkan dosis obat secara bertahap sampai mencapai target tekanan darah.Hipertensi
merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gagal jantung, gagal ginjal serta
penyakit serebrovaskular.

DAFTAR PUSTAKA

29
1. Yogiantoro, muhammad. Pendekatan klinis hipertensi. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi
B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta: Interna
Publishing: 2014. Hal 2259-2281.
2. Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; 2013.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Hipertensi Pada Penyakit Kardiovaskular Edisi I. Jakarta: PERKI; 2015.
4. Muhadi. JNC 8: Evidence-based Guideline Penanganan Pasien Hipertensi Dewasa.
CDK-236. 2016;43(1):54-9
5. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Konsensus penatalaksanaan hipertensi
Indonesia. 2019.
6. BPS. Sensus penduduk Indonesia 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia;
2015.
7. Departemen Kesehatan RI. Pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI; 2006.
8. Kaplan M. Norman. Hypertension in The Population at large In Clinical
Hypertension: Seventh Edition. Baltimore, Maryland USA: Williams & Wilkin;
1999.
9. Aaronson, Philip I. Ward, Jeremy P.T. At a Glance: Sistem kardiovaskular. Edisi ke-
3. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.
10. Murtagh J. John Murtagh’s General Practice. 6th Edition ed. United States:
McGraw-Hill Medical; February 1, 2011. p955-71
11. Dennison-himmelfarb C., Handler J. and Lackland D.T. 2014 Evidence-Based
Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the
Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8); 2014.
12. Cifu, A. S., & Davis, A. M. (2017). Prevention, Detection, Evaluation, and
Management of High Blood Pressure in Adults. JAMA, 318(21), 2132.
13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
14. Hennersdorf MG, Strauer BE. Hypertension and heart; 2006.

30

Anda mungkin juga menyukai