Anda di halaman 1dari 14

JOURNAL READING

Axonal variant of Guillain-Barré syndrome associated


with Campylobacter infection in Bangladesh

Disusun Oleh :
Agatha Nagrintya Gintings
2065050052
Dokter Pembimbing :
dr. Noer Hassiani Mercy Lumban Tobing, Sp. S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA


KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 30 NOVEMBER – 12 DESEMBER 2020
JAKARTA
Varian aksonal dari Guillain-Barre sindrom yang
terkait dengan Campylonacter infeksi di
Bangladesh
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : Campylobacter jejuni enteritis adalah infeksi bakteri
dominan sebelum Sindrom Guillain-Barre (GBS), poliradikuloneuropati yang
dimediasi oleh imun pasca infeksi akut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui fenotipe klinis GBS dan hubungannya dengan GBS infeksi C.jejuni
sebelumnya di Bangladesh.
METODE: Kami melakukan surveilans prospektif kasus-kontrol rumah sakit
termasuk 100 pasien yang memenuhi kriteria National Institute of Neurological
Disorders and Stroke untuk GBS dari 2006 sampai 2007 di daerah Dhaka
Bangladesh. Data klinis, elektrofisiologi, serologi, dan mikrobiologi rinci
diperoleh dengan follow-up selama 6 bulan.
HASIL: GBS mempengaruhi sebagian besar pria dewasa muda yang tinggal di
daerah pedesaan. Enam puluh sembilan persen dari pasien memiliki bukti klinis
dari infeksi sebelumnya. Gejala tersering adalah diare (36%). Mayoritas pasien
memiliki varian motorik murni (pure motor variant) dari GBS (92%) dengan
keterlibatan saraf kranial yang relatif jarang (30%).Dua puluh lima persen pasien
membutuhkan bantuan pernapasan. Studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa
67% pasien memiliki varian aksonal (axonal variant) dari GBS. Sebelas pasien
(14%) meninggal, dan 23 (29%) tetap cacat parah selama masa tindak lanjut
(follow-up). Serologi C.jejuni positif ditemukan dalam frekuensi tinggi yang
belum pernah terjadi sebelumnya yaitu 57% dibandingkan dengan 8% pada
kontrol keluarga dan 3% pada pasien kontrol dengan penyakit neurologis lain (p<
0,001). Infeksi C.jejuni secara bermakna dikaitkan dengan antibodi serum
terhadap gangliosida GM1 dan GD1a, neuropati aksonal, dan kecacatan yang
lebih besar.
KESIMPULAN: Kami melaporkan frekuensi yang sangat tinggi dari varian
aksonal sindrom Guillain-Barre di Bangladesh, terkait dengan infeksi
Campylobacter jejuni sebelumnya, cacat sisa yang parah, dan mortalitas tinggi.

GLOSARIUM

AFP = Kelumpuhan flaksid akut (acute Flaccid paralysis);

AIDP = Polineuropati demielinasi inflamasi akut (acute inflammatory demyelinating


polyneuropathy);

1
AMAN = Neuropati aksonal motorik akut (acute motor axonal neuropathy);

AMSAN = neuropati aksonal sensorik motorik akut (acute motor sensory axonal neuropathy);

BSMMU = Bangabandhu Sheikh Mujib Medical University;

DCH = Rumah Sakit Pusat Dhaka (Dhaka Central Hospita);

DMCH = Rumah Sakit Perguruan Tinggi Kedokteran Dhaka (Dhaka Medical College Hospital);

FC = Kontrol keluarga (Family Control);

GBS = Guillain-Barre Sindrom;

Ig = imunoglobulin;

IVIg = IV Imunoglobulin;

MRC = Dewan Riset Medis (Medical Research Council);

OND = penyakit neurologis lainnya (other neurologic diseases.).

Sindrom Guillain – Barre´ (GBS) adalah poliradikuloneuropati akut dan di


seluruh dunia merupakan penyebab paling sering dari paralisis flaksid akut (AFP),
dengan kejadian 1,2 hingga 2,3 per 100.000 orang per tahun. Spektrum patologis
GBS termasuk polineuropati demielinasi inflamasi akut (AIDP), neuropati
aksonal motorik akut (AMAN), dan neuropati aksonal sensorik motorik akut
(AMSAN). GBS adalah penyakit pascainfeksi, dan kira-kira dua pertiga pasien
melaporkan gejala sugestif penyakit infeksi sebelumnya. GBS terdiri dari berbagai
fenotipe yang berhubungan dengan tipe spesifik dari infeksi sebelumnya.
Campylobacter jejuni telah diidentifikasi sebagai jenis infeksi yang paling utama.
Infeksi C.jejuni berhubungan dengan motorik murni yang parah, varian aksonal
dari GBS dan dengan hasil yang buruk. Infeksi C.jejuni menginduksi produksi
antibodi reaktif silang terhadap gangliosida saraf yang berhubungan dengan
kerusakan saraf.
Mengingat peran penting infeksi C.jejuni dalam memicu GBS, kami
berhipotesis bahwa penyakit ini mungkin lebih sering terjadi di negara-negara
dengan insiden diare yang tinggi dan infrastruktur higienis yang buruk. Ada
kekurangan data tentang kejadian dan fenotipe klinis GBS di negara berkembang,
termasuk Bangladesh. Data kejadian AFP di Bangladesh tersedia melalui inisiatif
pemberantasan polio global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan surveilans
polio nasional. Tingkat kejadian AFP nonpolio saat ini 3,25 per 100.000 anak di
bawah usia 15 tahun. GBS dianggap bertanggung jawab atas sebagian besar kasus
AFP. Tujuan kami adalah untuk mengidentifikasi frekuensi infeksi C.jejuni
sebelumnya, fenotipe klinis, dan prognosis GBS dalam studi prospektif berbasis
rumah sakit.
METODE. Pasien dan desain studi. Kami melakukan studi kontrol kasus
prospektif dengan tindak lanjut (follow-up) selama 6 bulan termasuk 100 pasien
berikutnya dengan GBS yang dirawat di Dhaka Medical College Hospital

2
(DMCH), Bangabandhu Sheikh Mujib Medical University (BSMMU), dan Dhaka
Central Hospital (DCH) di Dhaka antara Juli 2006 dan Juni 2007. DMCH dan
BSMMU adalah rumah sakit medis tersier terbesar di Bangladesh. DCH adalah
salah satu rumah sakit nonpemerintah terbesar. Pada saat masuknya pasien yang
diduga didiagnosis GBS, ahli saraf (M.B.I) dari DMCH memeriksa pasien dalam
waktu 2 hari dan memvalidasi diagnosis klinis menggunakan kriteria National
Institute of Neurological Disorders and Stroke untuk GBS. Diagnosis akhir
dikonfirmasi oleh ahli saraf senior (Q.D.M.).
Data dikumpulkan mengenai usia, jenis kelamin, kejadian sebelumnya,
tanda dan gejala neurologis rinci, pengobatan, hari ke titik nadir, komplikasi,
durasi masuk, skor kecacatan GBS, dan skor jumlah Dewan Riset Medis (MRC)
pada poin standar (saat masuk dan 2 minggu, 4 minggu, dan 6 bulan setelah
masuk). Baik skor kecacatan GBS dan skor jumlah MRC memberikan indikasi
beratnya penyakit. Skor kecacatan GBS yang digunakan dalam penelitian ini
ditentukan oleh Hughes et al. Skor jumlah MRC didefinisikan sebagai jumlah skor
MRC dari 6 otot di tungkai atas dan bawah di kedua sisi, mulai dari 60 (normal)
hingga 0 (lumpuh). Kecepatan perkembangan ditunjukkan oleh jumlah hari dari
onset kelemahan hingga nadir, yang didefinisikan sebagai skor jumlah MRC
terendah. Hasil yang buruk didefinisikan sebagai tidak mencapai skor kecacatan
GBS 2 (berjalan sendiri) dalam waktu 6 bulan. Penelitian ini memiliki masa
tindak lanjut selama 6 bulan, selama pemantauan perkembangan penyakit dan
pengambilan sampel serum dilakukan pada titik waktu standar yang telah
ditentukan. Dua kontrol dipilih untuk setiap pasien: kontrol 1 adalah anggota
keluarga yang tinggal di rumah yang sama (kontrol keluarga [FC]); kontrol 2
adalah pasien dengan usia, jenis kelamin, dan hari yang sama yang dirawat di
bangsal yang sama dengan penyakit neurologis lain yang tidak terkait dengan
infeksi baru-baru ini (penyakit neurologis lainnya [OND]).
Persetujuan protokol standar dan persetujuan pasien. Persetujuan yang
diinformasikan diperoleh dari semua pasien dan kontrol. Protokol proyek telah
ditinjau dan disetujui oleh dewan peninjau kelembagaan dan komite etika di
Dhaka Medical College and Hospital, Bangladesh.
Klasifikasi elektrofisiologi. Elektrofisiologi diagnostik standar dilakukan antara
1 dan 4 minggu setelah onset kelemahan. Pasien diklasifikasikan menurut kriteria
yang telah ditetapkan sebagai memiliki AMAN, AMSAN, dan AIDP. Pasien yang
tidak memenuhi kriteria untuk salah satu subkelompok ini dikategorikan sebagai
tidak diklasifikasikan.
Kultur dan identifikasi Campylobacter. Sampel feses dikultur sesuai dengan
metode yang dijelaskan sebelumnya. Identifikasi dugaan Campylobacter
dilakukan dengan uji pewarnaan Gram, oksidase, dan hidrolisis hipurat dan
dikonfirmasi dengan PCR spesifik spesies C jejuni.
Campylobacter dan serologi anti-ganglioside. Serum yang diperoleh dari pasien
dengan GBS saat masuk rumah sakit dan serum dari kontrol FC dan OND yang

3
diperoleh pada titik waktu yang sama dibandingkan untuk serologi
Campylobacter dan anti-ganglioside. Antibodi serum terhadap C jejuni ditentukan
dengan ELISA tidak langsung untuk imunoglobulin (Ig) G dan dengan ELISA
kelas antibodi untuk antibodi IgM dan IgA. Metode ini dan kriteria skor positif
telah dijelaskan sebelumnya. Sera diuji untuk antibodi IgM dan IgG terhadap
ganglioside GM1, dan GD1a dengan ELISA menurut metode dan kriteria untuk
skor positif yang dijelaskan sebelumnya.
Analisis statistik. Perbedaan frekuensi berbagai infeksi antara pasien dengan
kontrol GBS dan OND diuji dengan uji McNemar, dan antara pasien dengan GBS
dan FC diuji dengan uji X2 tanpa koreksi kontinuitas atau dengan uji pasti Fisher.
Sehubungan dengan fitur klinis pasien dengan GBS, perbedaan proporsi antara
subkelompok diuji dengan uji X2 atau dengan uji pasti Fisher, dan perbedaan
median diuji dengan uji U Wilcoxon-Mann-Whitney. Regresi logistik bersyarat
digunakan untuk membandingkan rasio ganjil untuk hasil yang buruk antara
kategori faktor risiko. Tes dua sisi digunakan secara keseluruhan, dan p < 0,05
dianggap signifikan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Epi Info
versi 3.5.1 dan SPSS untuk Windows versi 11.5 (SPSS Inc. Chicago, IL).

HASIL. Demografi.Dari 100 pasien GBS yang dilibatkan, 57 berasal dari


DMCH, 25 berasal dari BSMMU, dan 18 berasal dari DCH. Karakteristik baseline
ditunjukkan pada tabel 1. Dalam kohort ini, pasien didominasi laki-laki dewasa
muda yang tinggal di pedesaan. Ada fluktuasi musiman dalam frekuensi pasien
dengan GBS yang dimasukkan dalam penelitian, dengan puncaknya antara Januari
dan Maret (gambar). Gejala klinis yang menunjukkan adanya infeksi dalam 4
minggu sebelum onset kelemahan dilaporkan pada 69% pasien; diare adalah
gejala anteseden yang paling sering (36%) (tabel 1).

Singkatan.
AIDP = polineuropati demielinasi inflamasi akut;
AMAN = neuropati aksonal akutemotor;
AMSAN = neuropati aksonal sensorik motorik akut;
GBS = sindrom Guillain-Barré;
MRC = Dewan Riset Medis;
unclassified = tidak memenuhi kriteria untuk AMAN, AMSAN, atau
AIDP.
a
Data dinyatakan sebagai no. (%) kecuali dinyatakan lain.
b
Umur dibagi menjadi 4 kategori; kelompok usia pertama di bawah 15
tahun berdasarkan surveilans paralisis flaksid akut, dan kelompok usia
lainnya dikelompokkan berdasarkan interval 15 tahun.
c
Gejala infeksi dalam 4 minggu sebelum timbulnya kelemahan.

4
d
Skor MRC didefinisikan sebagai penjumlahan 6 otot di tungkai atas dan bawah di kedua sisi,
mulai dari 60 (normal) hingga 0 (lumpuh).
e
Enam puluh empat pasien tersedia untuk elektrofisiologi

Gambaran klinis. Pada kebanyakan pasien, penyakit ini dimulai sebagai


kelemahan simetris yang progresif cepat pada ekstremitas bawah. Interval median
antara onset dan kelemahan maksimum adalah 8 hari, dengan rentang interkuartil
6 sampai 11 hari. Sebagian besar pasien memiliki varian motorik murni dari GBS
tanpa defisit sensorik (92%), seringkali tanpa keterlibatan saraf kranial (70%).
Lima puluh tiga pasien sudah terikat di tempat tidur (bed-bound patient, sangat
lemah dan tidak bisa lagi bergerak dengan mudah, mereka terkurung di tempat
tidurnya/ hanya terbaring di tempat tidur) saat masuk. Dua puluh lima persen
pasien membutuhkan ventilasi mekanis. Selama masa tindak lanjut, atrofi otot
diamati pada 38% pasien, yang muncul hanya di akhir perjalanan penyakit.
Pemeriksaan CSF dilakukan pada 78 kasus pada 2 sampai 10 hari setelah onset
kelemahan, menunjukkan jumlah sel rata-rata 2,6 sel/ µL (kisaran 0-15 sel/µL) dan
tingkat protein rata-rata 171 mg/dL (kisaran 45– 602 mg/dL). Semua pasien
kecuali satu memiliki peningkatan kadar protein CSF (40,0 mg/dL), dan semua
pasien memiliki jumlah sel normal (15 sel/µL) (tabel 1).
Infeksi Campylobacter sebelumnya. Lima puluh lima pasien dengan GBS (57%)
memenuhi serologi yang telah ditetapkan kriteria untuk infeksi C. jejuni baru-baru
ini (tabel 2). Proporsi ini lebih tinggi dari frekuensi serologi positif pada 2
populasi kontrol: 3% untuk OND (p < 0,001) dan 8% untuk FC (p < 0,001). Diare
dalam 4 minggu sebelum GBS dilaporkan pada 28 (51%) dari 55 pasien C.jejuni-
positif, yang lebih sering dibandingkan dengan 8 (19%) dari 42 C.jejuni-negatif
pasien (p < 0,01; tabel 3). Hubungan antara GBS di Bangladesh dan infeksi C
jejuni baru-baru ini didukung lebih lanjut oleh kultur C jejuni pada 10 pasien
dengan GBS. Antibodi anti-gangliosida serum (untuk GM1 dan GD1a) lebih
sering terjadi pada pasien dengan GBS dibandingkan dengan kontrol (56% vs 6%
FC dan 1% OND, p < 0,001; tabel 2). Pada pasien dengan GBS, antibodi terhadap
GM1 lebih sering (50%) dibandingkan GD1a (14%). Antibodi anti-gangliosida
adalah IgG (49%) atau IgM (31%) atau dari kedua subkelas (20%). Bukti
serologis untuk infeksi C jejuni baru-baru ini lebih sering ditemukan pada pasien
dengan GBS dengan antibodi anti-gangliosida (78%) dibandingkan dengan pasien
tanpa antibodi anti-gangliosida (26%) (p < 0,001; tabel 3). Tidak ada hubungan
antara serologi C.jejuni dan jenis kelamin, usia, derajat kecacatan keseluruhan
lengan, wajah, dan kelemahan bulbar pada puncak penyakit.

5
Klasifikasi elektrofisiologi. Pemeriksaan dan klasifikasi elektrofisiologi standar
dilakukan pada 64 dari 100 pasien dengan GBS mengikuti kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Mayoritas 67% pasien memiliki varian aksonal GBS
(56% AMAN dan 11% AMSAN), sedangkan 22% memiliki AIDP dan 11 % tidak
dapat diklasifikasikan (tabel 1). AMAN sepertinya lebih sering terjadi pada bulan
Januari hingga Maret. Diare sebelumnya lebih sering terjadi pada pasien dengan
GBS aksonal (50%) dibandingkan kasus demielinasi (28%). AMAN dan AMSAN
terjadi lebih sering pada kelompok C jejuni-positif (81%) dibandingkan pada
kelompok C jejuni-negatif (43%) (p < 0,001; tabel 3).
Faktor hasil dan prognostik. Hanya 23 (23%) dari 100 pasien dengan GBS
menerima pengobatan khusus dengan imunoglobulin IV (IVIg). Analisis hasil
dilakukan pada 79 pasien, karena 21 pasien mangkir. Hasil yang buruk, yang

6
didefinisikan sebagai tidak mencapai skor kecacatan GBS 2 dalam 6 bulan setelah
onset penyakit, ditemukan di 34 (43%). Pasien dengan hasil yang buruk mencapai
skor kecacatan GBS pada 6 bulan 3 dari 16 (20%) dan 4 dari 7 (9%), dan 11
(14%) meninggal. Delapan dari 11 pasien yang meninggal ini awalnya dirawat di
unit perawatan intensif karena gagal napas. Hasil analisis menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan antara kelompok IVIg dan kelompok tidak diobati (tabel 4).
Hasil yang buruk secara signifikan dikaitkan dengan skor kecacatan GBS saat
masuk, adanya diare sebelumnya, serologi positif untuk infeksi C jejuni baru-baru
ini, dan antibodi anti-GM1 / GD1a (tabel 4).

DISKUSI. Untuk mendapatkan gambaran rinci tentang fenotipe klinis dan


elektrofisiologi SGB dalam kaitannya dengan infeksi sebelumnya, kami
melakukan surveilans prospektif kasus kontrol rumah sakit di daerah Dhaka
Bangladesh. Mayoritas pasien adalah laki-laki, berusia kurang dari 30 tahun,
dengan motorik murni dan varian aksonal dari GBS yang parah dan tidak
menerima pengobatan khusus. Setelah 6 bulan masa tindak lanjut, 43% pasien
tidak dapat berjalan atau meninggal. Kami menemukan hubungan yang kuat
dengan infeksi C.jejuni sebelumnya, khususnya pada pasien yang didiagnosis
dengan AMAN. Penelitian kami menunjukkan bahwa C.jejuni sering
menyebabkan bentuk GBS aksonal yang parah pada dewasa muda di Bangladesh.
Demografi dan fenotipe GBS sangat bervariasi antara wilayah geografis yang
berbeda.
Di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat, GBS terjadi sedikit lebih sering
pada pria. Selain itu, usia rata-rata di wilayah ini adalah sekitar 50 tahun, dan
kejadiannya tidak menunjukkan fluktuasi musiman. Fenotipe utama di negara-
negara tersebut adalah bentuk sensorimotor dari AIDP yang terdapat pada
setidaknya 80% pasien. Sebaliknya, pasien dari China biasanya adalah pria muda
dari pedesaan. Di Cina, penyakit ini memiliki distribusi musiman dengan
puncaknya pada bulan-bulan musim panas. Menurut penelitian ini, varian yang
paling dominan adalah AMAN. Studi besar di Cina utara, Jepang, Pakistan, dan

7
Amerika Tengah dan Selatan menunjukkan bahwa bentuk aksonal dari sindrom
ini mencakup 30% hingga 47% kasus. Dalam penelitian kami, sebagian besar
kasus GBS adalah varian motorik murni (92%) dengan degenerasi aksonal
dominan (67%). Di Bangladesh, kejadian GBS tampaknya memuncak antara
bulan Januari dan Maret, terutama di subkelompok AMAN. Perbedaan geografis
dalam demografi dan fenotipe mungkin berhubungan dengan perbedaan paparan
agen infeksius tertentu atau terkit inang atau faktor lingkungan.
Ada berbagai argumen yang mendukung hipotesis bahwa C.jejuni
memainkan peran utama dalam patogenesis GBS di Bangladesh. Pertama, diare
adalah gejala yang paling sering dari infeksi sebelumnya. Kedua, 57% pasien
dengan GBS memiliki bukti serologis untuk infeksi C. jejuni baru-baru ini dengan
menggunakan tes yang dilaporkan sangat sensitif dan spesifik pada pasien dengan
GBS. Ketiga, C.jejuni diisolasi dalam spesimen tinja 10% pasien dengan GBS
dibandingkan dengan tidak ada pada kelompok kontrol. Keempat, pasien yang
berhubungan dengan C.jejuni biasanya memiliki antibodi anti-gangliosida serum,
yang mencerminkan respon imun reaktif silang yang terkenal dimana infeksi C.
jejuni dapat menyebabkan kerusakan saraf perifer. Kelima, hubungan yang tinggi
dengan Campylobacter juga dapat menjelaskan frekuensi tinggi varian motorik
murni dan aksonal dari GBS. Data ini dengan jelas menunjukkan bahwa lebih dari
separuh pasien dengan GBS di Bangladesh dipicu oleh infeksi C. jejuni. Studi dari
Belanda, Inggris, Meksiko, dan Jepang melaporkan infeksi C.jejuni sebelumnya
pada 26% hingga 41% pasien dengan GBS. Infeksi C.jejuni dilaporkan sering
terjadi pada pasien Cina dengan GBS, meskipun jika kriteria seropositif yang
ketat, sebanding dengan yang dijelaskan dalam penelitian kami, digunakan, hanya
24% kasus GBS yang terkait dengan Campylobacter. Sebuah studi baru-baru ini
dari Mesir juga melaporkan tingkat produksi antibodi yang lebih tinggi terhadap
Campylobacter dan gangliosida pada pasien dengan GBS, tetapi para peneliti ini
tidak menggunakan tingkat kepositifan yang telah divalidasi. Perbedaan dalam uji
diagnostik yang digunakan dalam berbagai penelitian ini menghambat
perbandingan frekuensi pasien terkait C.jejuni di negara-negara ini.
Usia rata-rata yang diamati dari 21 tahun dan jumlah pria yang lebih
banyak dalam penelitian kami merupakan minat khusus. Dalam penelitian yang
lebih besar dari Inggris dan Belanda, usia rata-rata adalah sekitar 50 tahun, dan
laki-laki sedikit lebih sering terlibat daripada perempuan. Data kami
mengkonfirmasi hasil analisis retrospektif dari 175 pasien dengan GBS dari
Pakistan. Usia rata-rata dalam penelitian itu adalah 23 tahun, dan 68% pasien
adalah laki-laki. Studi retrospektif dari Pakistan dan pengawasan prospektif kami
di Bangladesh ini adalah studi berbasis rumah sakit, dan bias seleksi mungkin
telah diperkenalkan, karena pemilihan preferensial pria di rawat inap bukanlah
fenomena yang tidak diketahui di negara berkembang.
Setelah tindak lanjut 6 bulan, sebagian besar pasien dalam kohort kami
meninggal (14%) atau tetap cacat parah (29%). Hal ini menunjukkan bahwa GBS
memiliki prognosis yang jauh lebih buruk di Bangladesh dibandingkan dengan

8
negara maju, di mana proporsi ini biasanya kurang dari 20% dan di mana usia
muda biasanya dikaitkan dengan prognosis yang baik. Prognosis yang buruk dapat
dijelaskan sebagian oleh tingginya frekuensi diare Campylobacter dan keparahan
penyakit saat masuk, 2 prediktor independen yang diketahui untuk prognosis
buruk, dan oleh tingginya frekuensi pasien yang tidak menerima pengobatan
khusus. Namun, 23 (23%) dari 100 pasien dengan GBS menerima pengobatan
khusus dengan IVIg. Sehubungan dengan hasil pada 6 bulan, tidak ada perbedaan
pada kelompok yang diobati dengan IVIg vs kelompok yang tidak diobati, dan
pengobatan IVIg juga bukan merupakan faktor prognostik. Penting untuk
diperhatikan bahwa karena penelitian ini tidak dirancang untuk membandingkan
hasil pengobatan, bias yang signifikan karena akses yang bervariasi ke pengobatan
mungkin telah terjadi. Juga, analisis hasil pengobatan kurang memiliki kekuatan
yang memadai. Dalam kohort pasien kami, kami memastikan bahwa infeksi C
jejuni dan keparahan penyakit keduanya terkait dengan hasil yang buruk. Status
gizi dan kesehatan yang buruk adalah faktor lain yang dapat mengganggu hasil
akhir.
Data kami sangat menunjukkan bahwa infeksi C.jejuni adalah pemicu
terpenting untuk varian AMAN dari GBS di Bangladesh dan terkait dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Studi berbasis populasi diperlukan
untuk menentukan kejadian GBS. GBS terkait C.jejuni tampaknya menjadi
penyebab dominan AFP setelah pemberantasan poliomielitis di Bangladesh.
Identifikasi terkait host dan faktor risiko mikroba yang berkontribusi pada
endemisitas tinggi GBS di Bangladesh sangat penting. Studi lebih lanjut juga
harus memungkinkan dampak dari penyakit dan beban penyakit untuk
diperkirakan.
PENGAKUAN
Penulis berterima kasih kepada ahli saraf yang merujuk pasien mereka kepada
kami; Prof.A.K.M Anwarullah dan Dr. Badrul Alam atas bantuan pendaftaran
pasien dari BSMMU dan DCH; Dr. Tazul Islam atas dukungan dan komentar dari
Direktorat Jenderal Kesehatan, GoB, Dhaka, Bangladesh; Tn. Hossain untuk
spesimen feses yang dikumpulkan; G. Ara dan Dr. N. Alam untuk analisis
statistik; dan Dr. N. Yuki yang mengkaji secara kritis naskah tersebut.
PENDANAAN STUDI
Didukung oleh International Center for Diarrheal Disease Research, Bangladesh,
(ICDDR, B) dan Pemerintah Bangladesh melalui IHPHNPRP. ICDDR, B
mengucapkan terima kasih atas komitmen Pemerintah Bangladesh terhadap upaya
penelitian Centre. ICDDR, B juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada para donor berikut, yang memberikan dukungan tak terbatas
untuk upaya penelitian Pusat: Badan Pembangunan Internasional Australia,
Pemerintah Republik Rakyat Bangladesh, Badan Pembangunan Internasional
Kanada, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda, Pembangunan Internasional Swedia

9
Badan Kerjasama, Badan Pengembangan dan Kerjasama Swiss, dan Departemen
Pembangunan Internasional, Inggris.

PENYINGKAPAN
Dr Islam melaporkan tidak ada pengungkapan. Dr. Jacobs menerima dukungan
penelitian dari Organisasi Belanda untuk Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Erasmus MC, Prinses Beatrix Fonds, dan GBS-CIDP Foundation
International. Dr. van Belkum menjabat sebagai dewan penasehat ilmiah untuk
Cepheid; dan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi dari European Journal of
Clinical Microbiology and Infectious Diseases, sebagai Editor Penerima dari
Journal of Microbiological Methods, dan di dewan editorial Microbial Drug
Resistance. Mohammad, Dr. Islam, Dr. Herbrink, dan Dr. Diorditsa melaporkan
tidak ada pengungkapan. Dr. Luby menerima dana untuk perjalanan dari Procter
& Gamble; menjabat sebagai Editor Bagian Jurnal Kesehatan, Kependudukan dan
Gizi; menerima dukungan penelitian dari Procter & Gamble, Universitas Johns
Hopkins, Wildlife Trust, dan Bill & Melinda Gates Foundation; dan menerima
tunjangan gaji dari CDC. Dr Talukder melaporkan tidak ada pengungkapan. Dr.
Endtz menjabat sebagai dewan editorial Journal of Clinical Microbiology

10
DAFTAR PUSTAKA
1. van Doorn PA, Ruts L, Jacobs BC. Clinical features, pathogenesis, and treatment
of Guillain-Barre´ syndrome. Lancet Neurol 2008;7:939 –950. 2
2. Kaldor J, Speed BR. Guillain-Barre´ syndrome and Campylobacter jejuni: a
serological study. BMJ 1984;288:1867– 1870.
3. Mishu B, Ilyas AA, Koski CL, et al. Serologic evidence of previous Campylobacter
jejuni infection in patients with the Guillain-Barre´ syndrome. Ann Intern Med
1993;118: 947–953.
4. Rees JH, Soudain SE, Gregson NA, Hughes RA. Campylobacter jejuni infection
and Guillain-Barre´ syndrome. N Engl J Med 1995;333:1374 –1379.
5. Ho TW, Mishu B, Li CY, et al. Guillain-Barre´ syndrome in northern China:
relationship to Campylobacter jejuni infection and anti-glycolipid antibodies.
Brain 1995;118: 597– 605.
6. Jacobs BC, Rothbarth PH, van der Meche´ FG, et al. The spectrum of antecedent
infections in Guillain-Barre´ syndrome: a case-control study. Neurology
1998;51:1110 – 1115.
7. Koga M, Ang CW, Yuki N, et al. Comparative study of preceding Campylobacter
jejuni infection in Guillain-Barre´ syndrome in Japan and The Netherlands. J
Neurol Neurosurg Psychiatry 2001;70:693– 695.
8. Sinha S, Prasad KN, Jain D, Pandey CM, Jha S, Pradhan S. Preceding infections
and anti-ganglioside antibodies in patients with Guillain-Barre´ syndrome: a
single centre prospective case-control study. Clin Microbiol Infect 2007; 13:334
–337.
9. Nachamkin I, Arzarte Barbosa P, Ung H, et al. Patterns of Guillain-Barre
syndrome in children: results from a Mexican population. Neurology
2007;69:1665–1671.
10. Yuki N, Yamada M, Sato S, et al. Association of IgG antiGD1a antibody with
severe Guillain-Barre´ syndrome. Muscle Nerve 1993;16:642– 647.
11. Jacobs BC, van Doorn PA, Schmitz PI, et al. Campylobacter jejuni infections and
anti-GM1 antibodies in Guillain-Barre´ syndrome. Ann Neurol 1996;40:181–187.
12. van der Meche´ FG, Visser LH, Jacobs BC, Endtz HP, Meulstee J, van Doorn PA.
Guillain-Barre´ syndrome: multifactorial mechanisms versus defined subgroups.
J Infect Dis 1997;176:S99 –S102.
13. Hadden RD, Karch H, Hartung HP, et al; Plasma Exchange/Sandoglobulin Guillain-
Barre´ Syndrome Trial Group. Preceding infections, immune factors, and
outcome in Guillain-Barre´ syndrome. Neurology 2001;56:758 –765.
14. Ogawara K, Kuwabara S, Mori M, Hattori T, Koga M, Yuki N. Axonal Guillain-
Barre´ syndrome: relation to antiganglioside antibodies and Campylobacter
jejuni infection in Japan. Ann Neurol 2000;48:624 – 631.
15. van Koningsveld R, Steyerberg EW, Hughes RA, Swan AV, van Doorn PA, Jacobs
BC. A clinical prognostic scoring system for Guillain-Barre´ syndrome. Lancet
Neurol 2007;6:589 –594.
16. Ang CW, Yuki N, Jacobs BC, et al. Rapidly progressive, predominantly motor
Guillain-Barre´ syndrome with antiGalNAc-GD1a antibodies. Neurology
1999;53:2122–2127.

11
17. Jacobs BC, Hazenberg MP, van Doorn PA, Endtz HP, van der Meche´ FG. Cross-
reactive antibodies against gangliosides and Campylobacter jejuni
lipopolysaccharides in patients with Guillain-Barre´ or Miller Fisher syndrome. J
Infect Dis 1997;175:729 –733.
18. World Health Organization. EPI Surveillance Bulletin 2008, Vol. 11, No. 5.
Available at: http://www.whoban. org/pdf/Oct-2008-Bulletin-English
%20Version.pdf.
19. Vaccine Preventable Disease Surveillance Bulletin. IVD 2008; Vol. 12, Week 21.
Available at: http://www.searo.
who.int/vaccine/linkfiles/MEAVPD/MEAVPD2007.pdf.
20. Rasul CH, Das PL, Alam S, Ahmed S, Ahmed M. Clinical profile of acute flaccid
paralysis. Med J Malaysia 2002;57: 61– 65.
21. Asbury AK, Cornblath DR. Assessment of current diagnostic criteria for Guillain-
Barre´ syndrome. Ann Neurol 1990;27:S21–S24.
22. Hughes RA, Newsom-Davis JM, Perkin GD, Pierce JM. Controlled trial
prednisolone in acute polyneuropathy. Lancet 1978;2:750 –753.
23. Hadden RD, Cornblath DR, Hughes RA, et al. Electrophysiological classification of
Guillain-Barre´ syndrome: clinical associations and outcome. Plasma
Exchange/San doglobulin Guillain-Barre´ Syndrome Trial Group. Ann Neurol
1998;44:780 –788.
24. Endtz HP, Ang CW, van Den Braak N, et al. Molecular characterization of
Campylobacter jejuni from patients with Guillain-Barre´ and Miller Fisher
syndromes. J Clin Microbiol 2000;38:2297–2301.
25. Talukder KA, Aslam M, Islam Z, et al. Prevalence of virulence genes and
cytolethal distending toxin production in Campylobacter jejuni isolates from
diarrheal patients in Bangladesh. J Clin Microbiol 2008;46:1485–1488.
26. Ang CW, Krogfelt K, Herbrink P, et al. Validation of an ELISA for the diagnosis of
recent Campylobacter infections in Guillain-Barre´ and reactive arthritis patients.
Clin Microbiol Infect 2007;13:915–922.
27. Kuijf ML, van Doorn PA, Tio-Gillen AP, et al. Diagnostic value of anti-GM1
ganglioside serology and validation of the INCAT-ELISA. J Neurol Sci
2005;239:37– 44.
28. van Koningsveld R, Van Doorn PA, Schmitz PI, Ang CW, Van der Meche´ FG. Mild
forms of Guillain-Barre´ syndrome in an epidemiologic survey in the
Netherlands. Neurology 2000;54:620 – 625.
29. Sedano MJ, Calleja J, Canga E, Berciano J. Guillain-Barre´ syndrome in Cantabria,
Spain: an epidemiological and clinical study. Acta Neurol Scand 1994;89:287–
292.
30. Larsen JP, Kvle G, Nyland H. Epidemiology of the Guillain-Barre´ syndrome in the
county of Hordaland, Western Norway. Acta Neurol Scand 1985;71:43– 47.
31. McKhann GM, Cornblath DR, Ho T, et al. Clinical and electrophysiological aspects
of acute paralytic disease of children and young adults in northern China. Lancet
1991;338:593–597.
32. McKhann GM, Cornblath DR, Griffin JW, et al. Acute motor axonal neuropathy: a
frequent cause of acute flaccid paralysis in China. Ann Neurol 1993;33:333

12
33. Paradiso G, Tripoli J, Galicchio S, Fejerman N. Epidemiological, clinical, and
electrodiagnostic findings in childhood Guillain-Barre´ syndrome: a reappraisal.
Ann Neurol 1999;46:701–707.
34. Shafqat S, Khealani BA, Awan F, Abedin SE. GuillainBarre´ syndrome in Pakistan:
similarity of demyelinating and axonal variants. Eur J Neurol 2006;13:662– 665.
35. Ang CW, Jacobs BC, Laman JD. The Guillain-Barre´ syndrome: a true case of
molecular mimicry. Trends Immunol 2004;25:61– 66.
36. Wierzba TF, Abdel-Messih IA, Gharib B, et al. Campylobacter infection as a
trigger for Guillain-Barre´ syndrome in Egypt. PLoS One 2008;3:e3674.

13

Anda mungkin juga menyukai