Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat merupakan sikap atau pandangan hidup dan sebuah bidang terapan
untuk membantu individu untuk mengevaluasi keberadaannya dengan cara
yang lebih memuaskan. Filsafat membawa kita kepada pemahaman dan
pemahaman membawa kita kepada tindakan yang telah layak, filsafat perlu
pemahaman bagi seseorang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan
karena ia menentukan pikiran dan pengarahan tindakan seseorang untuk
mencapai tujuan.
Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik
bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta.
Sehingga untuk faham betul semua masalah filsafat sangatlah sulit tanpa
adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian
dari luasnya ruang lingkup filsafat
Sebagai calon pendidik kita perlu mempelajari apa itu Filsafat Ilmu yang
nantinya akan meneropong metode ilmu-ilmu khususnya dalam ilmu keislaman
agar kita memahami pemikiran yang berbeda dengan pemikiran kita yang pada
akhirnya akan melahirkan sikap teoleransi. Dalam makalah ini akan dibahas
tentang Filsafat Ilmu dan Ruang Kajiannya, baik Ontologi, Epistemologi
maupun Aksiologi. Namun sebelum membahas obyek-obyek Filsafat Ilmu
tersebut, alangkah baiknya terlebih dahulu akan dijelaskan tentang pengertian
Filsafat Ilmu.
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu filsafat ilmu ?
2. Apa saja ruang kajian filsafat ilmu?
C. Tujuan
1. Ingin mengatahui apa itu filsafat ilmu
2. Ingin mengetahui ruang kajian filsafat ilmu
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Ilmu


1. Pengertian Filsafat
Secara etimologis, kata filsafat berasal dari kata “philosophia” (bahasa
Yunani), diartikan dengan ‘mencintai kebijaksanaan’. Sedangkan dalam
bahasa Inggris kata filsafat disebut dengan istilah “philosophy”, dan dalam
bahasa Arab disebut dengan istilah “falsafah”, yang biasa diterjemahkan
dengan ‘cinta kearifan’.Istilah philosophia memiliki kara kata philien yang
berarti mencintai dan sophos yang berarti bijaksana. Jadi, istilah
philosophia berarti mencintai akan hal-hal yang bersifat bijaksana.
Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat dapat diartikan sebagai
cinta atau kecenderungan akan kebijaksanaan, atau cinta yang bijaksana,
atau dapat diartikan pula sebagai cinta secara mendalam akan kebijaksanaan
atau cinta sedalam-dalamnya akan kearifan atau cinta secara sungguh-
sungguh terhadap pandangan, kebenaran (love of wisdom or love of the
vision of truth). Sementara itu, secara terminologis filsafat dapat diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran
segala sesuatu. Sedangkan orang yang berusaha mencari kebijaksanaan atau
pecinta pengetahuan disebut dengan filsuf atau filosof.1
2. Pengertian Ilmu
Ilmu diambil dari bahasa Arab; “alima, ya’lamu, ‘ilman” yang berarti
mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris istilah ilmu
berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa Latin scienta dari bentuk
kata scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui.2
Kata ilmu (science) diartikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu, atau
dari pengetahuan. Menurut J.S Badudu ilmu adalah: Pertama, diartikan
1
Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011 ),
hlm. 3
2
Susanto, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: PT Bumi Akasara, 2011), hlm. 76
4

sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis;


contoh: ilmu agama, berarti tentang jaran agama atau teologi, ilmu bahasa
berarti pengetahuan tentang hal ikhwal bahasa atau tata bahasa, linguistik,
dan lain-lain. Kedua, ilmu diartikan sebagai kepandaian atau kesaktian.
Orang yang banyak memiliki ilmu pengetahuan mengenai suatu ilmu
disebut ilmuan atau orang yang ahli dalam bidang tertentu.
Sedangkan menurut Maufur, menjelaskan bahwa ilmu adalah sebagian
dari pengetahuan yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu, artinya
ilmu tentu saja merupakan pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu
ilmu.3
3. Pengertian Filsafat Ilmu
Definisi filsafat ilmu terdiri dari dua kata, yaitu kata filsafat dan ilmu.
Masing-masing memiliki makna yang berbeda dan hakikat yang berlainan.
Beberapa ahli telah memberikan definisi tentang filsafat ilmu ini,
diantaranya ialah:
a. A. Cornelius Benyamin, mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah
“that philosophic wich the systematic study of the nature of science,
especially of its metthods, its concepts and presuppotions, and its place
in the general scheme of intellectual discipliness”. Menurut Benyamin,
filsafat ilmu adalah studi sistematis mengenai sifat dan hakikat ilmu,
khususnya yang berkenaan dengan metodenya, konsepnya,
kedudukannya di dalam skema umum disiplin intelektual. Benyamin
lebih melihat sifat dan hakikat ilmu ditinjau dari aspek metode, konsep,
dan kedudukannya dalam disiplin keilmuan.
b. The Liang Gie merumuskan filsafat ilmu merupakan segenap pemikiran
reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi
kehidupan manusia. Bagi Gie, filsafat ilmu bukan hanya dipahami
sebagai ilmu untuk mengetahui metode dan analisis terhadap ilmu-ilmu
lain, tetapi filsafat ilmu sebagai usaha seseorang dalam mengkaji

3
Ibid., hlm. 45
5

persolan-persoalan yang muncul melalui perenungan yang mendalam


agar dapat diketahui duduk persoalannya secara mendasar, sehingga
dapat dimanfaatkan dalam kehidupan manusia.
c. Jujun S Suriasumantri menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan
suatu pengetahuan atau epistemologi yang mencoba menjelaskan
rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri.
Secara garis besar, Jujun menggolongkan pengetahuan menjadi tiga
kategori umum, yakni: 1) pengetahuan tentang yang baik dan yang
buruk, yang disebut juga dengan etika; 2) pengetahuan tentang indah
dan yang jelek, yang disebut dengan estetika atau seni; 3) pengetahuan
tentang yang benar dan yang salah, yang disebut dengan logika.
d. Menurut Beerling, filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri
mengenai ilmiah dan cara-cara memperoleh pengetahuan tersebut.
Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau
epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta
bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan
metodelogi.

Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang pengertian filsafat ilmu


dapat kiranya dirangkum dalam tiga telaah yang tercakup di dalam filsafat
ilmu. Ketiganya itu adalah sebagai berikut:4

a. Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan
oleh ilmu tertentu, terhadap lambang yang digunakan dan terhadap
struktur penalaran tentang sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis
ini dapat digunakan untuk mengkaji ilmu empiris dan yang juga ilmu
rasional , juga untuk membahas studi bidang etika dan estetika, studi
kesejarahan, antropologi, geologi, dan sebagainya. Dalam hubungan ini
yang terutama sekali ditelaah adalah ihwal penalaran dan teorinya.
b. Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar
konsep, sangka wacana, dan postulat mengenai ilmu dan upaya untuk
4
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Universitas Mutimedia
Nusantara , 2007), hlm. 46-47
6

membuka tabir dasar-dasar keemperisan, kerasionalan, dan


kepragmatisan. Aspek filsafat ini erat hubungannya dengan hal ihwal
yang logis dan epistimologis. Jadi, peran filsafat ilmu di sisni berganda.
Pada sisi pertama, filsafat ilmu mencakup analisis kritis terhadap
anggapan dasar, seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang, dan hukum.
Pada sisi yang lain filsafat ilmu mencakup studi mengenai keyakinan
tertentu, seperti keyakinan mengenai dunia ‘sana’, keyakinan mengenai
keserupaan di dalam alam semesta, dan keyakinan mengenai kenalaran
proses-proses alami.
c. Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang
beraneka macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas
mengenai ilmu tertentu.

Filsafat ilmu dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan yang


menyangkut hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah, seperti:
a) Implikasi ontologik-metafisisk dari citra dunia yang bersifat
ilmiah;
b) Tata susila yang menjadi pegangan penyelanggara ilmu;
c) Konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu dan sebagainya.
b. Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung permasalahan yang
bersangku
tan dengan hubungan ke dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang
menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta
mencapai tujuan ilmiah.

B. Ruang Kajian Filsafat Ilmu


1. Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat
sesuatu yang ada. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu
7

“taonta” yang berarti ‘yang berada’, dan logos berarti ilmu pengetahuan
atau ajaran tentang yang berada.5
Ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan
sebagai keberadaan). Atau bisa juga disebut ontologi sebagai ilmu tentang
“yang ada”. Yang dimaksud “ada” adalah dari dan akan ke mana ada itu.
Menurut istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang
ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret
maupun rohani/abstrak. Dua pengertian ini merambah ke dunia hakikat
sebuah ilmu. Ontologi membahas masalah ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu
ada asal-muasalnya. Ilmu itu ada yang nampak dan ada yang tidak nampak.
Dengan berfikir ontologi, manusia akan memahami tentang eksistensi
sebuah ilmu.6
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Gocleinus pada
tahun 1636 M. Untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat
metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolff membagi metafisika
menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika
umum adalah sebagai istilah dari ontologi. Dengan demikian metafisika
umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip
paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan
metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan
teologi. Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus
membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang
secara khusus membicarakan tentang Tuhan.

a. Objek Kajian Ontologi


Objek telaah ontologi adalah yang ada, yaitu individu, ada umum, ada
terbatas, ada tidak terbatas, ada universal, ada mutlak, termasuk kosmologi
dan metafisika dan ada sesudah kematian maupun sumber dari segala yang

5
Susanto, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 90
6
Ibid., hlm. 91
8

ada, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, pencipta dan pengatur serta penentu alam
semesta. Studi tentang yang ada, pada tataran filsafat pada umumnya
dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika
membahas yang da dalam konteks filsafat ilmu.
a) Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus dalam Suparman memeprkenalkan tiga tingkat abstraksi
dalam ontologi, yaitu abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi
metafisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu
objek; abstraksi bentuk mendeskripsikan metasifik mengenai prinsip
umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metafisik.
b) Metafisika
Metafisika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tentang hal-
hal yang sangat mendasar yang berada diluar pengalaman manusia.
Metafisika mengkaji segala sesuatu secara komprehensif. Menurut
Asmoro Achmadi dalam Susanto, metafisika merupakan cabang
filsafat yang membicarakan sesuatu yang bersifat ‘keluarbiasaan’ yang
berada di luar pengalaman manusia. Menurut Achmadi, metafisika
mengkaji sesuatu yang berada diluar hal-hal yang biasa berlaku pada
umumnya, atau hal-hal yang tidak alami, serta hal-hal yang berada di
luar kebiasaan manusia.
Metafisika berasal dari kata meta dan fisika, yang artinya meta ;
sesudah, selain atau dibalik sedangkan fisika berarti nyata atau alam
fisik. Dengan kata lain metafisika mengandung arti hal-hal yang
berada di belakang gejala-gejala yang nyata. Dari ilmu filsafat
metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat dibalik alam nyata.
Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata
tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap pancaindra.
Tafsiran pertama yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini
adalah bahwa terdapat wujud gaib dan wujud ini lebih tinggi atau lebih
kuasa dibandingkan dengan alam nyata. Animisme atau roh-roh yang
9

bersifat gaib terdapat pada benda seperti batu, pohon merupakan


contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme.
Paham naturalisme adalah paham yang menolak pendapat bahwa
terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural. Paham materisme
merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak
disebabkan oleh pengaruh kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan
yang terdapat, dalam alam itu sendiri.7
c) Asumsi
Pendapat yang telah didukung oleh beberapa teori dan fakta yang dapat
dibuktikan secara rasional. Berkenaan dengan pengkajian konsep-
konsep, pengandaian- pengandaian . dengan demikian, filsafat ilmu
erta kaitannya dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang
digunakannya, dan juga dengan perluasan serta penyusunan cara-cara
yang lebih dajeg dan lebih tepat untuk memperoleh pengetahuan.
b. Aliran-aliran dalam Ontologi
a) Aliran Monoisme
Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh
kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu
hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi maupun
berupa ruhani.
Paham monoisme terbagi dua aliran yaitu: Pertama, Paham
Materialisme menganggap bahwa sumber yang asal adalah materi
bukan rohani sering juga naturalisme. Kedua, Paham Idealisme
dinamakan juga spritualisme. Idealisme mengandung arti sesuatu yang
hadir dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa hakikat kenyataan
yang beranekaragam ini berasal dari ruh yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang.
Menurut Rapar dalam Susanto, aliran materialisme menolak hal-hal
yang abstrak. Bagi materialisme ada yang sesungguhnya adalah yang
keberadaannya semata-mata bersifat materialisme, realitas yang

7
Ibid., hlm. 93
10

sesungguhnya adalah alam kebendaan, sesuatu yang riil atau nyata.


Tokoh-tokoh aliran materialisme adalah Thales, anaximenes dan
anaximandris. Sedangkan aliran idealisme tumbuh dan berkembang
sejak masa Plato yang terkenal dengan pandangannya mengenai ide. Ide
bagi Plato tidak sama  dualisme ide yang dipahami orang pada saat ini.
Dasar pokok pemahaman ide dikemukakannya sebagai teori logika
kemudian meluas menjadi pandangan hidup dan menjadi dasar umum
ilmu dan politik sosial dan bahkan agama.8
b) Aliran Dualisme
Aliran dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan dua paham
yang saling bertentangan yaitu materialisme dan idealisme. Aliran
dualisme memandang bahwa alam terdiri dari dua macam hakikat
sebagai sumbernya. Aliran dualisme memandang paham yang serba dua
yaitu antara materi dan bentuk. Pengertian materi dalam pandangan
aliran dualisme, materi dalam arti mutlak adalah asas atau lapisan
bawah yang paling akhir dan umum. Tiap benda yang dapat diamati
disusun dari materi. Oleh karena itu materi mutlak diperlukan bagi
pembentukan segala sesuatu. Materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan.
Materi tidak dapat berwujud tanpa bentuk sebaliknya bentuk tidak dapat
berada tanpa materi. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari bentuk
dan materi.9
c) Aliran Pluralisme
Aliran pluralisme berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keselururhan dan
mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini
tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.10
d) Aliran Nikhilisme

8
Ibid., hlm. 96
9
Ibid., hlm. 97
10
Ibid., hlm. 97
11

Dalam aliran ini menyatakan bahwa dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Aliran ini tidak mengakui validitas alternatif
positif. Dalam pandangan nikhilisme, Tuhan sudah mati. Manusia bebas
berkehendak dan berkreativitas.11
e) Aliran Agnotisisme
Aliran ini menganut paham bahwa manusia tidak mungkin mengetahui
hakikat sesuatu dibalik kenyataannya. Manusia tidak mungkin memiliki
hakekat batu, air, dan api. Kemampuan manusia sangat terbatas dan
tidak mungkin tahu hakikat sesuatu yang ada. Paham agnotisisme
mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda
baik materi maupun hakikat rohani.12

2. Epistemologi
Secara etimologi, epistimologi berasalah dari bahasa Yunanai yaitu
terdiri atas kata episteme dan logos . episteme berarti pengetahuan atau
kebenaran, sedangkan logos berarti kata atau pikiran atau ilmu. Dengan
demikian, epistimologi dapat diartikan sebagai pikiran-pikiran tentang
pengetahuan atau kebenaran.13
Epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi
dasar, sifat-sifat dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu
penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini
epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan
menentukan ”kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa
yang patut ditolak.
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang
mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan fondasi, alat, tolok
ukur, keabsahan, validitas dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan
manusia. Epistemologi akan menunjukkan asumsi dasar ilmu, agar

11
Ibid., hlm. 98
12
Ibid., hlm. 98
13
Win Usuluddin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011 ),
hlm. 56
12

penelaahan filsafat ilmu tidak terpaku pada ragam objek material ilmu.
Pertanyaan filsafat bukan dipecahkan dengan penyeledikan empiris, tetapi
dipecahkan dengan penalaran.Dengan bantuan epistemologi akan
mendapatkan pemahaman hakiki tentang karakter dan objek ilmu14
a. Metode Kajian Epistemologi.
a) Metode Induktif
Induksi yaitu metode menyampaikan peryataan-pernyataan hasil
observasi dan disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.
Dalam metode induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan
dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau
logam dipanasi ia akan mengembang. Dari contoh tersebut bisa
diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang
disebut sintetik.
b) Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data
empiris diolah lebih lanjut dalam suatu sistem yang pernytaannya
runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya
perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada
penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut
mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-
teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan meneraokan secara
empiris kesimpulan-kesimpulan yang biasa ditarik dari teori tersebut.

b. Persyaratan Epistimologi
Suatu pengetahuan itu termasuk ilmu atau pengetahuan ilmiah apabila
pengetahuan itu dan cara memperolehnya telah memenuhi syarat tertentu.
Apabila syarat-syarat itu belum terpenuhi, maka suatu pengetahuan dapat
digolongkan ke dalam pengetauan lain yang bukan ilmu, walaupun bukan
termasuk filsafat. Dalam kaitan ini tidaklah tepat untuk spontan

14
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 2007), hlm. 46
13

menganggap kadar kebenaran pengetahuan yang bukan pengetahuan


ilmiah sebagai lebih rendah, karena berbagai syarat untuk dapat termasuk
pengetahuan ilmiah, yang akan dipaparkan berikut ini, merupakan syarat-
syarat terpenting bagi suatu pengetahuan untuk dapat tergolong ke dalam
ilmu atau pengetahuan ilmiah; syarat-syarat itu adalah dasar pembenaran,
sifat sistematis, dan sufat intersubjektif.
Ilmu harus memiliki dasar pembenaran, bersifat sistematis dan sistemik
serta bersifat intersubjektif. Ketiga ciri tersebut saling terkait dan
merupakan persyaratan bagi pengetahuan unutk disebut pengetahuan
ilmiah atau ilmu pengetahuan.persyaratan tersebut menurut Conny R.
Semiawan adalah sebagai berikut:
a) Dasar pembenaran menurut pengaturan kerja ilmiah yang diarahkan
pada perolehan derajat kepastian sebesar mungkin. Pernyataan harus
dirasakan atas pemahaman apriori yang juga didasarkan atas hasil
kajian empiris.
b) Semantik dan sistematis masing-masing menunjuk pada susunan
pengetahuan yang didasarkan pada penyeledikan imiah yang
keterhubungannya merupakan suatu kebulatan melalui komparasi dan
generalisasi secara teratur.
c) Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan tidak dirasakan atas intusi
dan sifat subjektif orang seorang, namun harus ada kesepakatan dan
pengakuan akan kadar kebenaran dari ilmu itu di dalam seyiap bagian
dan di dalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut, sehingga tercapai
intersubjektivitas.

Istilah intersubjektivitas lebih eksplisit menunjukkan bahwa pengetahuan


yang telah dieproleh seorang subjek harus melaui verivikasi oleh subjek-
subjek lain supaya pengetahuan itu lebih terjamin keabsahan dan
kebenarannya.

c. Aliran-aliran dalam Epistimologi


Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epitemologi, yaitu:
14

a) Rasionalisme
Aliran ini merupakan suatu aliran pemikiran yang menekankan
pentingnya peran akal atau ide sebagai bagian yang sangat menentukan
hasil keputusan atau pemikiran. Rasionalisme timbul pada masa
renaissance yang dipelopori oleh Rene Descrates, menurutnya
memperoleh kebenaran harus dimulai dengan meragukan sesuatu,
seseorang yang ragu berarti sedang berpikir, dan orang yang berpikir
yang berarti ada. Statemen Descrates yang popular adalah “cogito ergo
sum” (aku berpikir, maka aku ada). Kebenaran adalah apa yang jelas
dan terpilah-pilah, artinya bahwa ide-ide itu seharusnya dapat
dibedakan dari gagasan-gagasan yang lain.
b) Empirisme
Filsafat ini bersumber dari Aritoteles, yang mengatakan bahwa realitas
yang sebenarnya adalah terletak pada benda-benda konkret, yang dapat
diindera, bukan pada ide sebagaimana kata Plato. Jadi, menurut
Aristoteles, bahwa sumber ilmu pengetahuan ialah pengelaman
empiris.

3. Aksiologi
Secara etimologi, aksiologi berasal dari bahasa Yunaniyang terdiri dari
dua kata yaitu axios yang berarti layak atau pantas dan logos yang berarti
ilmu atau studi mengenai. Dari pengertian secara etimologis paling tidak ada
pengertian secara terminologis yaitu: Pertama, aksiologis merupakan
analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri,
asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu. Kedua,
aksiologi merupakan studi teori umum tentang nilai atau suatu studi yang
menyangkut segala yang bernilai.15
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang
umunya ditinjau dari sudut pandang kefisafatan. Aksiologi juga

15
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm.
82
15

menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam


menerapkan ilmu ke dalam praktis.16
Aksiologi ini penting karena pada kenyataannya tidak semua orang yang
memiliki penalaran tinggi selalu diikuti dengan perilaku yang baik. Bahkan
sebaliknya, semakin tinggi penalaran orang, kadang semakin tinggi pula
kemampuannya untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang
benar.
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini
maka pemenuhan kebutuhan manusia bia dilakukan secara lebih cepat dan
lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-
bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan
komunikasi. Namun dalam kenyataannya, ilmu tidak selamanya membawa
berkah. Malah sebaliknya, ilmu justru membawa malapetaka dan
kesengsaraan.
Sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya di jalan yang benar. Oleh karena itu,
dalam kaca mata aksiologi, ilmu tidak lagi bebas nilai. Artinya pada tahap-
tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan
moral suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan
bersama.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan
kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi
tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Oleh karena itu daya kerja aksiologi
ialah : Pertama, menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat
menemukan kebenaran yang hakiki, maka prilaku keilmuan perlu dilakukan
dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung.
Kedua, dalam pemilihan objek penelahaan dapat dilakukan secara etis yang
tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia,

16
Susanto, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 116
16

tidak mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang


bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik. Ketiga,
pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup
yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan,
kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuan-temuan universal. 17
a. Objek aksiologis
Aksiologis memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai
tinggi dari Tuhan. Misalnya nilai moral, nilai agama, nilai keindahan
(estetika). Aksiologi ini juga mengandung pengertian lEbih luas daripada
etika. Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat dua bagia umum dari
aksiologi dalam membangun filsafat ilmu ini, yaitu:
a) Etika
Samiawan dalam Susanto menjelaskan bahwa etika sebagai prinsip
atau standar perilaku manusia yang kadang-kadang disebut dengan
“moral”. Kegiatan menilai dibangun atas toleransi atau ketidakpastian
bahsa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan
zero tolerance. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama,
etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-
perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi
norma-norma kesusilaan manusia, dan memepelajari tingkah laku
manusia baik-buruknya.18
b) Estetika
Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat
indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk
suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat
dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan

17
http://hariszubaidillah.blogspot.co.id/2015/10/makalah-ontologi-epistemologi-dan.html, Diakses
Pada Tanggal 17/10/2017, Pada Pukul 21.55 WIB.
18
Susanto, Filsafat Ilmu, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm. 118
17

dengan kualitas dan pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu


pengetahuan ilmiah itu.
18

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Filsafat ilmu ialah bagian dari filsafat yang menjawab berbagai pertanyaan
mengenai ilmu. Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, kita dianjurkan
untuk mempelajari filsafat dengan berbagai macam cabang ilmunya.
Karena, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis dan menganalisa
sesuatu secara mendalam, ternyata sangat relevan dengan problematika
hidup dan kehidupan manusia. Dengan demikian, menggunakan analisa
filsafat, berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang sekarang ini,
akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan
masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi
kesejahteraan hidup manusia.
2. Ruang kajian filsafat ilmu ada 3 yaitu, Ontologi, Epitemologi, dan
Aksiologi
a. Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata,
yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan
atau ajaran. Maka ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang
keberadaan, term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf.
b. Menurut etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu yang sistematis, teori).
Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan
tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang
berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah
berlakunya pengetahuan itu.
c. Aksiologi membahas tentang masalah nilai. Istilah aksiologi berasal
dari kata axio dan logos, axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga,
19

dan logos artinya akal, teori, axiologi artinya teori nilai, penyelidikan
mengenai kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.
20

DAFTAR RUJUKAN

Bernadien, Win Usuluddin. Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2011.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Universitas
Mutimedia Nusantara , 2007

Susanto. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali


Press, 2015), hlm. 82

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas UGM. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, 2007.

. http://hariszubaidillah.blogspot.co.id/2015/10/makalah-ontologi-epistemologi-
dan.html, Diakses Pada Tanggal 17/10/2017, Pada Pukul 21.55 WIB.

Anda mungkin juga menyukai