Anda di halaman 1dari 38

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN

KEJADIAN THYFOID FEVER PADA ANAK DI UNIT RAWAT INAP


RUMAH SAKIT UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK TAHUN
2020

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Jenjang


Pendidikan Strata I STIK Muhammadiyah Pontianak

Oleh:

DEWI RIANTI
SNR19214014

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN REGULER B KHUSUS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
MUHAMMADIYAH PONTIANAK
TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam thyfoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya turunannya, Salmonella typhi
(Alba, 2016). Penularan demam thyfoid melalui fecal dan oral yang masuk ke
dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
(Mogasale, 2016). Demam thyfoid juga disebut sebagai penyakit infeksi
sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam thyfoid
ditandai dengan panas berkepanjangan yang diikuti dengan bakteremia dan
invasi bakteri Salmonella typhi sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch
(Soedarmo, et al., 2015).

Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan dengan angka kejadian


yang tinggi di dalam kehidupan saat ini. Angka kejadian pada penyakit
demam thyfoid setiap tahunnya meningkat. Menurut data statistik yang
diperoleh dari World Health Organisation (WHO), memperkirakan angka
insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian
akibat demam thyfoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia.
Sedangkan menurut laporan insidensi kasus demam typhoid di Indonesia
masih termasuk tinggi, yakni 81 kasus per 100.000 populasi per tahun.
Prevalensi thyfoid banyak ditemukan pada kelompok usia Sekolah (5 – 14
tahun) yaitu 1.9% dan terendah pada bayi (0.8%). Kelompok yang berisiko
terkena demam typhoid adalah anak – anak yang berusia dibawah usia 15
tahun (Ochiai, et al., 2008; Depkes RI, 2008).

Berdasarkan Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) tahun


2007 menjelaskan bahwa thyfoid terutama ditemukan pada kelompok umur
usia sekolah dan lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada perempuan
sedangkan berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia (2010) dari 10
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia
Demam Typhoid menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah kasus mencapai
41.081 pasien dan 274 diantaranya meninggal (Profil Kesehatan Indonesia,
2010). Data di Kalimantan Barat penyakit demam thyfoid masih merupakan
masalah kesehatan masuk dalam sepuluh penyakit terbanyak, yaitu pada
peringkat 3. Menurut data Surveilans Terpadu Penyakit Provinsi Kalimantan
Barat, untuk kasus thyfoid pada tahun 2012 sebanyak 9.979 kasus, dengan
sebaran penyakit di 12 kabupaten kota, 5 kota/kab dengan kasus thyfoid
terbanyak antara lain, Kabupaten Sanggau 2.914 (29,20%), Kabupaten
Sintang 2.434 (24,39%), Kota Pontianak 1.169 (11,17%), Kabupaten Melawi
1067 (10,69 %), dan Kabupaten Pontianak 632 (6,33 %). Di Kota Pontianak
jumlah penderita demam thyfoid setiap tahunnya terus meningkat. (Nurlaila
& Trisnawati, n.d.)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Survei Pendahuluan di Rumah


Sakit Universitas Tanjungpura, jumlah penderita demam tifoid anak yang di
rawat inap pada tahun 2019 adalah 60 penderita dari 469 pasien rawat inap
anak (12,79%). Pada tahun 2020 pada bulan januari penderita thyfoid fever
mencapai 20 penderita dari 48 pasien rawat inap atau 41,6 % dari angka
kejadian (Data RS Untan, 2019).

Penyakit ini memiliki karakteristik klinis demam tifoid pada anak usia
sekolah dengan infant dan usia <5 tahun berbeda. Pada anak usia sekolah di
awal telah menunjukkan berbagai gejala seperti demam, nyeri perut, malaise,
batuk, dan lain-lain. Pada infant dan <5 tahun, biasanya hanya menunjukkan
kondisi demam dan malaise serta diikuti diare yang sering disangka oleh
praktisi sebagai gejala infeksi virus atau gastroenteritis akut (Nelson, 2004).
Orang tua jarang menyadari bila anaknya mengalami demam tifoid, kondisi
demam yang lama pada anak tidak membuat orang tua untuk membawa
anaknya ke faskes terdekat terlebih dahulu, bahkan pemberian antibiotic
secara mandiri (tanpa resep) sehingga terjadi resistensi dan komplikasi dari
demam tifoid (Ahmad, et al., 2016; Parry, et al., 2011). Untuk mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut diharapkan ada pertisipasi keluarga dalam
mencegah hal ini terjadi terutama orang tua.

Dalam hal pencegahan tertular demam tifoid pada anak, sangat


dibutuhkan partisipasi orang tua dalam menjaga perilaku dan kebiasaan anak
terkait dengan faktor resiko untuk terjangkit demam tifoid tersebut. Teori
pembelajaran sosial menunjukkan bahwa perilaku orang tua menjadi contoh
bagi anak mereka sehingga mereka mengaplikasikannya kedalam pola yang
sama dengan prilaku kesehatan yang diturunkan kepada mereka. Oleh karena
itu, untuk menunjang perilaku positif orang tua untuk menjaga anak mereka
dari kebiasaan buruk seperti jajan sembarangan, sekaligus memberikan
pembelajaran mengenai pencegahan demam tifoid maka seharusnya
diperlukan pengetahuan yang baik dan benar tentang demam tifoid.

Pengetahuan menurut Notoadmojo (2010) menjelaskan bahwa segala


sesuatu yang didapatkan melalui panca indra seseorang, yaitu indra
penglihatan, pendengaran, perabaan, dan perasa. Untuk indra biasanya lebih
sering digunakan adalah indra pendengaran dan penglihatan yang dominan.
Pengetahuan itu sendiri sangat penting karena dengan adanya pengetahuan
yang baik diharapkan seleras juga dengan perilaku yang baik dalam
kehidupan sehari-hari seseorang untuk menjaga kehidupan menjadi sehat.
Oleh karena itu dari pengertian pengetahuan di atas maka seorang ibu
diharapkan memiliki pengetahuan yang baik terhadap penyakit demam tifoid,
mulai dari pengertian tanda gejala, penularan dan pencegahan terhadap
penyakit ini. Pengetahun memiliki tingkatan mulai dari tingkat pengetahuan
baik, cukup sampai dengan sedang. Tingkat pengetahuan itu sendiri
dipengaruhi oleh usia, tingkat pendidikan, pengalaman dan informasi yang di
dapat seseorang. Dari beberapa penelitian yang dilakukan beberapa peneliti
sebelumnya menjelaskan pengetahuan ibu tentang penyakit demam tifoid
seperti yang dilakukan oleh Rois Kurnia Saputra dkk (2017), menjelaskan
bahwa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya demam tifoid pada
mahasiswa adalah tingkat pengetahuan. Sedangkan menurut penelitian yang
dilakukan oleh Ade Putra (2012), menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan
ibu berpengaruh terhadap terjadinya demam tifoid. Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang
hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian Thyfoid Fever
pada anak di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Tanjungpura.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dikemukakan
sebelumnya maka peneliti menetapkan sebuah rumusan masalah sebagai
berikut : “Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan
kejadian thyfoid fever pada anak di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Universitas
Tanjungpura?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini memiliki tujuan umum yaitu mengidentifikasi
hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian thyfoid fever
pada anak di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Tanjungpura.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik responden.
b. Untuk mengetahui kejadian thyfoid fever.
c. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang penyakit thyfoid
fever di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Tanjungpura.
d. Untuk menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan
kejadian thyfoid fever pada anak di Unit Rawat Inap Rumah Sakit
Universitas Tanjungpura.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi
ilmiah serta pengembangan wawasan bagi ilmu keperawatan mengenai
hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian thyfoid fever
pada anak.

2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman peneliti
tentang hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian
thyfoid fever pada anak.
b. Bagi Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan praktek
keperawatan berbasis bukti. Perawat dapat menggunakan penelitian ini
sebagai dasar acuan untuk mengembangan intervensi keperawatan dan
memberikan edukasi mengenai pentingnya pengetahuan bagi ibu
dengan anak yang mengalami thyfoid fever.
c. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai publikasi ilmiah
berbasis bukti bagi Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah
Pontianak.
d. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar ilmiah dan
dapat menambah pengetahuan serta wawasan perawat dalam pelayanan
keperawatan terutama pada anak dengan thyfoid fever tentang
hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian thyfoid fever pada
anak.
e. Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dan sumber referensi
ilmiah bagi peneliti lain dalam mengembangkan penelitian-penelitian
terkait penyakit thyfoid fever dan pengetahuan ibu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid

1. Definisi

Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang

disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya

turunannya, Salmonella typhi (Alba, et al., 2016). Namun dapat

pula disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella typhi

B, dan Salmonella paratyphi C.

Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus

halus dengan gejala demam lebih dari satu minggu,

mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat menurunkan

tingkat kesadaran. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi

sistemik yang bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh

Salmonella typhi. Gejala klinis dari demam tifoid yaitu demam

berkepanjangan, bakterimia, serta invasi bakteri sekaligus

multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear dari hati,

limpa, kelenjar limfe, usus dan peyer’s patch (Soedarmo, et al,

2008).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang

disebabkan oleh kuman S. typhi pada saluran pencernaan dimana

faktor- faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah daya


tahan tubuh, higienitas, umur, dan jenis kelamin (Soegijanto,S,

2002). Gejala klinis demam thypoid disebut trias typhoid yang

terdiri dari demam lebih dari 7 hari naik turun, gangguan

pencernaan dan gangguan kesadaran. Selain itu, infeksi demam

tifoid ditandai dengan bakteriemia, perubahan pada sistem

retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses

dan ulserasi plaque peyeri di distal ileum.

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah

demam paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara

patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid

namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh

spesies Salmonella enteriditis sedangkan demam enterik dipakai

baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.

2. Etiologi
Penyebab yang sering terjadi yaitu faktor kebersihan.

Seperti halnya ketika makan di luar apalagi di tempat-tempat

umum biasanya terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana

bahkan hinggap di makanan. Lalat-lalat tersebut dapat

menularkan Salmonella thyphi dari lalat yang sebelumnya

hinggap di feses atau muntah penderita demam tifoid kemudian

hinggap di makanan yang akan dikonsumsi (Padila, 2013).

Demam tifoid disebabkan oleh kuman S.typhi yang

berhasil diisolasi pertama kali dari seorang pasien demam tifoid


oleh Gafrrkey di German pada tahun 1884. Mikroorganisme ini

merupakan bakteri gram negatif yang motil, bersifat aerob dan

tidak membentuk spora yang menghasilkan endotoksin sehingga

merusak jaringan usus halus (Soegijanto,S, 2002). S.typhi dapat

tumbuh pada semua media, dan pada media yang selektif bakteri

ini memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat

memfermentasi laktosa. S.typhi masuk ke tubuh manusia secara

fecal-oral, dan melalui alat/ makakanan yang terkontaminasi

(Soegijanto,S, 2002).

Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen, yaitu

(Anonymous, 2010) :

1. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida

dan bersifat spesifik grup

2. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein

berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies.

3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di

kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi

dapat menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O

serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis.

Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan

efektivitas vaksin. S.typhi menghasilkan endotoksin yang

merupakan bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari

antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid


A. Ketiga antigen di atas di dalam tubuh akan membentuk

antibodi aglutinin.

4. Outer Membrane Protein (OMP). Merupakan bagian dari

dinding sel terluar yang terletak di luar membran sitoplasma

dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan

lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier fisik

yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran

sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor

untuk bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar

terdiri dari protein purin, berperan pada patogenesis demam

tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam

mekanisme respon imun pejamu. Sedangkan protein non

purin hingga kini fungsinya belum diketahui secara pasti.

3. Patofisiologi
Bakteri yang tertelan melalui makanan akan menembus membran
mukosa epitel usus, berkembang biak di lamina propina kemudian masuk
ke dalam kelenjar getah bening mesenterium. Setelah itu memasuki
peredaran darah sehingga terjadi bakterimia pertama yang asimtomatis,
lalu bakteri akan masuk ke organ- organ terutama hati dan sumsum tulang
yang dilanjutkan dengan pelepasan bakteri dan endotoksin ke peredaran
darah sehingga menyebabkan bakterimiakedua. Bakteri yang berada di hati
akan masuk kembali ke dalam usus merangsang pelepasan sitokin
proinflamasi yang menginduksi reaksi inflamasi. Respon inflamasi akut
menyebabkan diare dan dapat menyebabkan ulserasi serta penghancuran
mukosa. Sebagian bakteri lainnya akan dikeluarkan bersama feses (Bula-
Rudas, et al., 2015)
Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh di atas normal
sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang
dipengaruhi oleh IL-1. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam
merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Demam merupakan bagian dari
respon fase akut terhadap berbagai rangsangan infeksi, luka atau trauma,
seperti halnya letargi, berkurangnya nafsu makan dan minum yang dapat
menyebabkan dehidrasi, sulit tidur, hipozinkemia, sintesis protein fase
akut dan lain-lain.Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa
peningkatan suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin
pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang, terutama
infeksi. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua
jenis yaitu pirogen eksogen dan endogen (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2006). Demam dikenal sebagai mekanisme yang boros energi
(setiap kenaikan suhu 10°C akan meningkatkan laju metabolisme sekitar
10%). Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua
jenis yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pada anak dan balita, demam
tinggi dapat menyebabkan kejang (Sherwood L, 2001). Dari suatu
penelitian didapatkan bahwa jumlah organisme yang dapat menimbulkan
gejala penyakit adalah sebanyak 105-106 organisme, walaupun jumlah
yang diperlukan untuk menimbulkan gejala klinis pada bayi dan anak
mungkin lebih kecil. Semakin besar dosis Salmonella Typhi yang tertelan
semakin banyak pula orang yang menunjukkan gejala klinis, semakin
pendek masa inkubasi tidak merubah sindrom klinik yang timbul (Dougan,
G., & Baker, S, 2014).

Salmonella typhi merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam


tubuh manusia.Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam
jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4
proses mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri
bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, bertahan hidup di aliran darah
dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keluarnya elektrolit
dan air ke lumen intestinal.Bakteri Salmonella typhi bersama makanan
atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut.Pada saat melewati
lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang mati.Bakteri yang
masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa
kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan
jejunum. Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat
bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai
folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa usus. Tukak
dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian mengikuti
aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi
sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ
hati dan limpa.Setelah periode inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari
habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai
hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum
terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus
atau dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati,
limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesenterika untuk melepaskan
produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel
hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid.
Penularan Salmonella typhi sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari
penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses.
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya (Cita, Yatnita Parama,
2011).
Pathway

4. Manifestasi Klinis
Penyakit Typhoid Fever (TF) atau masyarakat awam mengenalnya
dengan tifus ialah penyakit demam karena adanya infeksi bakteri
Salmonella typhi yang menyebar ke seluruh tubuh. Salmonella typhi (S.
typhi) merupakan kuman pathogen penyebab demam tifoid, yaitu suatu
penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang berlangsung
lama, adanya bacteremia disertai inflamasi yang dapat merusak usus dan
organ-organ hati. Gejala penyakit ini berkembang selama satu sampai dua
minggu setelah seorang pasien terinfeksi oleh bakteri tersebut. Gejala
umum yang terjadi pada penyakit tifoid adalah Demam naik secara
bertangga pada minggu pertama lalu demam menetap (kontinyu) atau
remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari, sakit
kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, konstipasi atau diare. Demam
merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Sakit kepala hebat
yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis,di sisi
lain S. Typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan
meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran
klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak
dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Pramita G Dwipoerwantoro,
2012).

5. Komplikasi
Komplikasi dapat lebih sering terjadi pada individu yang tidak
diobati sehingga memungkinkan terjadinya pendarahan dan perforasi usus
ataupun infeksi fecal seperti visceral abses (Naveed and Ahmed, 2016).
Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif yang menyebabkan
spektrum sindrom klinis yang khas termasuk gastroenteritis, demam
enterik, bakteremia, infeksi endovaskular, dan infeksi fecal seperti
osteomielitis atau abses (Naveed and Ahmed, 2016).

6. Penatalaksanaan
Terapi Farmakologis

Ciprofloxacin

Ciprofloxacin mempunyai mekanisme menghambat sintesis asam


nukleat sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Fluroquinolones yaitu
Ciprofloxacin direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk anak –
anak dan orang dewasa yang terinfeksi dengan resistensi sensitif dan
multi-obat, Salmonella typhi dan paratyphi (Upadhyay, et al., 2015)
Sefalosporin generasi ketiga yaitu Ceftriaxone menjadi penggunaan
alternatif untuk kasus seperti halnya resistensi multi-obat (resistensi
terhadap kloramfenikol, amoksisilin dan cotrimoxazole). Pada penelitian
prospektif India utara ada perkembangan bertahap resistensi terhadap
Fluroquinolones 4,4 % resistensi diamati pada Sparfloxacin, resistensi 8,8
% pada ofloxacin dan resistensi yang tinggi 13 % pada Ciprofloxacin
(Naveed and Ahmed, 2016). Golongan quinolon (ciprofloxacin) ini tidak
dianjurkan untuk anak-anak, karena dapat menimbulkan efek samping
pada tulang dan sendi, bila diberikan pada anak akan menggganggu
pertumbuhan tulang pada masa pertumbuhan anak(Tandi dan Joni, 2017).
Cefixime

Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel


mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Sefalosporin generasi ketiga yaitu
Cefixime oral (15-20 mg/kg/hari, untuk orang dewasa, 100-200 mg dua
kali sehari) telah banyak digunakan pada anak-anak dalam berbagai
daerah geografis diamati penggunaan Cefixime oral memuaskan. Namun,
dalam beberapa percobaan Cefixime menunjukan tingkat kegagalan dan
kekambuhan yang lebih tinggi daripada fluoroquinolones (Paul, 2017).
Amoksisilin

Amoksisilin mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding


sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Pada percobaan kombinasi
Kloramfenikol dan Amoksisilin mempunyai efek anti bakteri lebih lemah
dibandingkan dengan bentuk tunggal Kloramfenikol dalam menghambat
pertumbuhan bakteri Salmonella typhi (Friambodo, et al., 2017).
Kloramfenikol

Kloramfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis


protein sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Kloramfenikol masih
merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif,
murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral (Rampengan,
2013). Efek samping yang sangat berat yaitu anemia aplastik atau biasa
dikenal dengan depresi sumsum tulang dan jika diberikan pada bayi < 2
minggu dengan gangguan hepar dan ginjal, kloramfenikol akan
terakumulasi dengan darah pada bayi khususnya pada pemberian dosis
tinggi akan menyebabkan gray baby sindrom, serta dapat menghambat
pembentukan selsel darah (eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul
dalam waktu 5 hari sesudah dimulainya terapi, dari efek samping yang
timbul sehingga kloramfenikol memiliki persentase nomor dua
dibandingkan penggunaan golongan sefalosporin (Tandi dan Joni, 2017).
Walaupun penggunaan kloramfenikol memerlukan kehati-hatian, namun
penggunaannya masih lebih baik pada tifoid dibandingkan antibiotika lain
yang dilaporkan sudah resistensi, seperti ampisilin, amoksisilin,
kotrimoksasol, nalidixic acid, ciprofloxacin (Rampengen, 2013).
Tiamfenikol

Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein


sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Pilihan lain yang analog
dengan kloramfenikol, yang masih digunakan di Indonesia dan masih
dianggap efektif untuk menyembuhkan demam tifoid adalah tiamfenikol.
Efek samping hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang
daripada kloramfenikol (Rampengan, 2013).

Azitromisin

Azitromisin mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein


sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Golongan kuinolon dan
azitromisin hampir sama efikasinya dan aman untuk demam tifoid.
Namun azitromisin bisa digunakan sebagai alternatif, karena kuinolon
memiliki kontraindikasi seperti pada anak-anak, wanita hamil, dan
kejadian resisten kuinolon. Namun penggunaanya jika lebih dari 7 hari
tidak diperbolehkan karena penetrasi jaringan lebih kuat dan terakumulasi
di kantung empedu. Penggunaan azitromisin selama 5 hari ekuivalen
dengan penggunaan antibiotik lain selama 10 hari, penggunaan 7 hari
sama optimalnya dengan penggunaan antibiotik lain selama 14 hari
(Upadhyay, et al., 2015).

Ceftriaxone

Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding


sel mikroba (Sandika dan Suwandi, 2017). Bila dibandingkan dengan
intravena ceftriaxone (75 mg / hari; maksimum 2,5 g / hari) setiap hari
selama 5 hari, azitromisin oral (20 mg / kg / hari; maksimum 1000 mg /
hari) tercapai tingkat efikasi yang hampir serupa (97% vs. 94%). Tidak
terdapat pasien yang menggunakan azitromisin mengalami kekambuhan,
sedangkan beberapa kekambuhan diamati pada pasien yang menggunakan
ceftriaxone (Upadhyay, et al., 2015). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 364 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengendalian Demam Tifoid, penggunaan Ceftriaxone untuk terapi
demam tifoid disarankan digunakan selama 5 hari (Handayani, 2017).
Sifat dari obat ini yang menguntungkan yaitu dapat merusak spektrum
kuman dan tidak mengganggu sel manusia, bakteri spektrum luas,
penetrasi jaringan cukup baik, dan resistensi kuman masih terbatas.
Sementara pengobatan dengan golongan sefalosporin khususnya
ceftriaxon hanya membutuhkan 10 hari rawat inap di rumah sakit
dibandingkan dengan kloramfenikol selama 21 hari, sehingga obat
antibiotik sefalosporin ini lebih banyak digunakan (Tandi dan Joni, 2017).
Interaksi dengan Makanan

Ketika mengkonsumsi antibiotik direkomendasikan bersamaan


dengan air putih. Apabila dikonsumsi bersamaan dengan jus buah,
alkohol maupun produk susu seperti halnya mentega, yogurt, dan keju
dapat mengganggu proses absorpsi tubuh terhadap antibiotik. Rentang
waktu selama 3 jam setelah mengkonsumsi antibiotik barulah
diperbolehkan mengkonsumsi makanan dan minuman tersebut. Jus
anggur serta suplemen diet yang mengandung mineral seperti halnya
kalsium juga dapat mengurangi efek kerja antibiotik (Institute for Quality
and Efficiency in Health Care, 2017).

Resistensi Antibiotik

Pada negara-negara di asia tenggara 5% atau lebih dari strain


bakteri mungkin sudah resisten terhadap beberapa antibiotik (Sharma dan
Gandhi, 2015). Mikroorganisme dapat memperlihatkan resistensi terhadap
obatobatan melalui berbagai mekanisme. Suatu bakteri dapat menjadi
resisten terhadap suatu antibiotik diakibatkan (Dantas and Sommer,
2014).

a. Produksi enzim yang dapat menginaktivasi obat. Resistensi bakteri


terhadap golongan Penisilin seperti halnya amoksisilin dikarenakan
beberapa bakteri mampu memproduksi enzim ß laktamase. Enzim ini
berfungsi menghidrolisis cicin ß laktam dari Penisilin sehingga dapat
menghancurkan aktifitas antibiotiknya.
b. Perubahan area target yang menurunkan daya ikat antibiotik.
c. Menurunkan akumulasi antibiotik intraseluler dengan cara
menurunkan permaebilitas dan atau meningkatkan efluks aktif
antibiotik.
d. Pengembanagan jalur lain untuk menghindari reaksi yang dihambat
oleh antibiotik.
e. Peningkatan resistensi antibiotik juga terhadap bakteri Salmonella
typhi karena bakteri dapat bersifat resisten terhadap antibiotik karena
adanya mutasi kromosom ataupun karena pertukaran material genetik
melalui transformasi, transduksi dan konjugasi melalui plasmid.
Peningkatan atau kesalahan penggunaan antibiotik dalam bidang
klinik, penggunaan antibiotik dalam bidang molekular, dan
ketidakpatuhan pasien meminum obat (Sandika dan Suwandi, 2017).

Terapi Kortikosteroid

Dexamethasone

Dexamethasone merupakan salah satu obat kortikosteroid yang masuk


ke dalam kelompok glukokortikoid sintetik yang memiliki efek anti
inflamasi dan imunosupresif, yang mana hal tersebut mendorong semakin
dikembangkannya berbagai steroid sintetik dengan aktivitas anti inflamasi
dan imunosupresif (Katzung, et al., 2013). Pemberian glukokortikoid
direkomendasikan pada kasus demam tifoid berat (halusinasi, perubahan
kesadaran atau pendarahan usus). Hasil penelitian menunjukan penurunan
yang signifikan dalam mortalitas pada pasien demam tifoid berat (Sharma
dan Gandhi, 2015). Penggunaan kortikosteroid seperti Dexamethasone
yang tidak sesuai dengan indikasi yang jelas dapat menyebabkan
munculnya efek samping. Pemberian Dexamethasone pada ibu hamil
dapat beresiko kelahiran prematur, meningkatkan aliran darah arteri
uterina (Katzung, et al., 2013).

Penggunaan kortikosteroid memiliki cakupan yang luas, akibatnya


menyebabkan ketidaksesuaian dengan indikasi maupun dosis serta lama
pemberian. Penggunaan berlebih akan berakibat fatal bagi tubuh,
khususnya kerusakan organ dalam rentang waktu tertentu. Organ yang
dalam kerjanya banyak berhubungan dengan proses penyaringan darah
kemungkinan besar akan mengalami kerusakan seperti halnya hepar dan
ginjal. Jika jumlah Dexametasone sudah melebihi jumlah maksimal, maka
akan membuat hepar bekerja lebih keras. Kerja hepar yang berlebihan
akan merusak hepar dan menurunkan kinerjanya serta menyebabkan
nekrosis sel(Indayani, et al., 2015).

Terapi Non Farmakologis

Tirah baring

Tirah baring (bed rest) dilakukan pada pasien yang membutuhkan


perawatan akibat sebuah penyakit atau kondisi tertentu dan merupakan
upaya mengurangi aktivitas yang membuat kondisi pasien menjadi lebih
buruk. Petunjuk dari dokter akan diberikan berupa apa saja yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama bed rest. Semua itu tergantung
pada penyakit yang diderita pasien. Ada yang hanya diminta untuk
mengurangi aktivitas, ada yang memang benar – benar harus beristirahat
di tempat tidur dan tidak boleh melakukan aktivitas
apapun(Kusumastuti,2017). Tirah baring (bed rest) direkomendasikan bagi
pasien demam tifoid untuk mencegah komplikasi perforasi usus atau
perdarahan usus. Mobilisasi harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan
pulihnya kekuatan pasien(Sakinah dan Indria, 2016).

Diet Lunak Rendah Serat

Jenis makanan yang harus dijaga adalah diet lunak rendah serat
karena pada demam tifoid terjadi gangguan pada sistem pencernaan.
Makanan haruslah cukup cairan, kalori, protein, dan vitamin. Memberikan
makanan rendah serat direkomendasikan, karena makanan rendah serat
akan memungkinkan meninggalkan sisa dan dapat membatasi volume
feses agar tidak merangsang saluran cerna. Demi menghindari terjadinya
komplikasi pedarahan saluran cerna atau perforasi usus direkomendasikan
dengan pemberian bubur saring(Sakinah dan Indria, 2016).
Menjaga Kebersihan

Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan cukup berpengaruh pada


kejadian demam tifoid, untuk itu diperlukan kesadaran diri untuk
meningkatkan praktik cuci tangan sebelum makan untuk mencegah penularan
bakteri Salmonella typhi ke dalam makanan yang tersentuh tangan yang kotor
dan mencuci tangan setelah buang air besar agar kotoran atau feses yang
mengandung mikroorganisme patogen tidak ditularkan melalui tangan ke
makanan(Andayani dan Fibriana, 2018). Tangan harus dicuci dengan sabun
setidaknya selama 15 detik dibilas dan dikeringkan dengan baik(Upadhyay, et
al., 2015). Banyaknya tempat-tempat penjualan makanan yang belum
memenuhi syarat kesehatan di Indonesia, seperti tingkat kebersihan yang
buruk, berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus demam tifoid (Purba,
et al., 2016). Kebiasaan jajan makanan di luar rumah menjadi salah satu
faktor risiko penularan demam tifoid dapat terjadi ketika seseorang makan di
tempat umum dan makanannya disajikan oleh penderita tifus laten
(tersembunyi) yang kurang menjaga kebersihan saat memasak,
mengakibatkan penularan bakteri Salmonella typhi pada
pelanggannya(Paputungan, et al., 2016). Orang yang baru sembuh dari tifoid
masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih sampai 3
bulan setelah sakit dan dapat menjadi karier kronik bila masih mengandung
basil sampai 1 tahun atau lebih. Bagi penderita yang tidak diobati dengan
adekuat, insiden karier didilaporkan 5-10% dan kurang lebih 3% menjadi
karier kronik(Andayani dan Fibriana, 2018). Perlunya peningkatan hygiene
perorangan khususnya mencuci tangan dengan baik dan benar saat sebelum
makan, serta mengurangi kebiasaan jajan atau makan di luar penyediaan
rumah. Selain itu, bagi dinas terkait perlu memberikan penyuluhan kesehatan
tentang hygiene untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi
makanan yang dapat menyebabkan penyakit demam tifoid (Pramitasari,
2013).
7. Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan
terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang
baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini
menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain
strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para
pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid
(Sudoyo Aw, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, 2009).

B. Pengetahuan

1. Definisi
Pengetahuan dapat didefinisikan adanya penambahan informasi
pada diri seseorang setelah melakukan pengindraan terhadap suatu
objek. Secara otomatis, proses pengindraan sampai menghasilkan
pengetahuan dipengaruhi oleh persepsi dan intensitas perhatian
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh
melalui indra penglihatan dan indra pendengaran (Notoatmodjo, 2012).
Pengetahuan mendasari seseorang dalam mengambil sebuah keputusan
dan menentukan tindakan dalam menghadapi suatu masalah (Achmadi,
2013).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah


orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2014). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt
behaviour). Tingkat pengetahuan di dalam domain kognitif
mempunyai enam tingkatan (Notoatmodjo, 2014), yaitu:
1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang
telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan
tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik
dan seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkatan pengetahuan
yang paling rendah.
2. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu
kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang
diketahui, dan dapat mengintrepretasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atas materi dapat
mnejelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,
dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
3. Aplikasi (aplication) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi
real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi
atau pengguanaan hukum-hukum, metode, prinsip, dan sebagainya
dalam konteks atau yang lain.
4. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk
menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen-
komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan
untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis
adalah suatu bentuk kemampuan menyusun formulasi baru dari
formulasi-formulasi yang baru.
6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk
melakukan justfikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau
objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah
ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
menggunakan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi
materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
disesuaikan dengan tingkatantingkatan di atas.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengetahuan


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang,
yaitu:

Faktor Internal meliputi:

a. Umur Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan


seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja dari segi
kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari
pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini
sebagai akibat dari pengalaman jiwa (Nursalam, 2011).
b. Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experience is the best
teacher), pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman
merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan
cara untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab
itu pengalaman pribadi pun dapat dijadikan sebagai upaya untuk
memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara
mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam
memecahkan persoalan yang dihadapai pada masa lalu
(Notoadmodjo, 2010).
c. Pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin
banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya semakin
pendidikan yang kurang akan mengahambat perkembangan sikap
seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Nursalam,
2011).
d. Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya (Menurut
Thomas 2007, dalam Nursalam 2011). Pekerjaan bukanlah sumber
kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah
yang membosankan berulang dan banyak tantangan (Frich 1996
dalam Nursalam, 2011).
e. Jenis Kelamin Istilah jenis kelamin merupakan suatu sifat yang
melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikontruksikan secara sosial maupun kultural.

Faktor eksternal, meliputi :

a. Informasi
Menurut Long (1996) dalam Nursalam dan Pariani (2010)
informasi merupakan fungsi penting untuk membantu mengurangi
rasa cemas. Seseorang yang mendapat informasi akan
mempertinggi tingkat pengetahuan terhadap suatu hal.
b. Lingkungan
Menurut Notoatmodjo (2010), hasil dari beberapa
pengalaman dan hasil observasi yang terjadi di lapangan
(masyarakat) bahwa perilaku seseorang termasuk terjadinya
perilaku kesehatan, diawali dengan pengalaman-pengalaman
seseorang serta adanya faktor eksternal (lingkungan fisik dan non
fisik)
c. Sosial-Budaya
Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial
seseorang maka tingkat pengetahuannya akan semakin tinggi pula.

3. Cara Memperoleh Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2010) terdapat beberapa cara memperoleh
pengetahuan, yaitu:

Cara kuno atau non modern


Cara kuno atau tradisional dipakai untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah, atau metode
penemuan statistik dan logis. Cara-cara penemuan pengetahuan pada
periode ini meliputi:

a. Cara coba salah (trial and error)


Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan
dalam memecahkan masalah dan apabila kemungkinan tersebut
tidak bisa dicoba kemungkinan yang lain.
b. Pengalaman pribadi
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan.
c. Melalui jalan fikiran
Untuk memeperoleh pengetahuan serta kebenarannya
manusia harus menggunakan jalan fikirannya serta penalarannya.
Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang
dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran apakah yang
dilakukan baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan seperti ini biasanya
diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya.
Kebiasaan-kebiasaan ini diterima dari sumbernya sebagai
kebenaran yang mutlak.

Cara Modern

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan lebih


sistematis, logis, dan alamiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah”
atau lebih populer disebut metodologi penelitian, yaitu:

a. Metode induktif
Mula-mula mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-
gejala alam atau kemasyarakatan kemudian hasilnya dikumpulkan astu
diklasifikasikan, akhirnya diambil kesimpulan umum.
b. Metode deduktif
Metode yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu
untuk seterusnya dihubungkan dengan bagian-bagiannya yang khusus.

4. Kriteria Pengetahuan
Menurut Arikunto (2010) pengetahuan seseorang dapat diketahui
dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:

1. Baik, bila subyek menjawab benar 76%-100% seluruh pertanyaan.


2. Cukup, bila subyek menjawab benar 56%-75% seluruh pertanyaan.
3. Kurang, bila subyek menjawab benar <56% seluruh pertanyaan.

C. Batasan Usia Anak


Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sedangkan menurut definisi WHO, batasan usia anak adalah sejak anak di
dalam kandungan sampai usia 19 tahun. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak
yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal
20 Nopember 1989 dan diratifikasi Indonesia pada tahun 1990, Bagian 1 pasal
1, yang dimaksud Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun,
kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal.

Sedangkan pembagian kelompok umur anak yang dipakai dalam


program kesehatan kementrian kesehatan adalah sebagai berikut:

1. Bayi : Umur 0- < 1 tahun


2. Balita : Umur 0- < 5 tahun
3. Anak Balita : Umur 1- < 5 tahun
4. Anak Pra sekolah : Umur 5- < 6 tahun
5. Anak Remaja : Umur 10-18 tahun, dibagi menjadi pra remaja (10-
<13 tahun) dan Remaja (13- <18 tahun)
6. Anak Usia Sekolah : Umur 6- < 18 tahun.
D. Kerangka Teori

Thyfoid Fever pada


Pengetahuan Ibu anak

Faktor yang Etiologi :


mempengaruhi
Pengetahuan : - Faktor Kebersihan
- Bakteri Salmonella
Internal : (Umur, thyphi
Pengalaman,
Pendidikan, Pekerjaan)
Manifestasi Klinis :
Eksternal : ( Informasi,
Lingkungan, dan Sosisal - Demam
Budaya). - Sakit Kepala
- Nyeri Otot
- Anoreksia
- Mual, Muntah
- Konstipasi/ Diare

Komplikasi :

- Gastroenteritis
- Perforasi Usus
- Perdarahan
- Demam Enterik
- Infeksi Fecal

Penatalaksanaan :

Pencegahan : - Terapi
Farmakologis
Selalu menjaga - Terapi
kebersihan Kortikosteroid
- Terapi Non-
Farmakologis
E. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan peneliti terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan peneliti, yaitu :

Tabel 1. Keaslian Penelitian

Nama, Tahun Judul Metode Hasil Pebedaan

Rois Kurnia Hubungan Desain penelitian pada hasil uji chisquare didapatkan bahwa nilai PValue < Lokasi Penelitian,
Saputra, dkk pengetahuan, ini adalah α sehingga terdapat hubungan antara pengetahuan waktu penelitian,
(2017) sikap dan
kebiasaan deskriptif analitik dengan gejala demam thypoid pada mahasiswa fakultas variabel penelitian
makan dengan observasional kesehatan masyarakat UHO tahun 2016, dimana nilai
gejala demam
thypoid pada dengan pendekatan hubungan kedua variabel bernilai (phi=0,015). Hasil
mahasiswa cross sectional. uji chisquare didapatkan bahwa nilai PValue < α
fakultas
kesehatan sehingga terdapat hubungan antara sikap dengan gejala
masyarakat
Universitas halu demam thypoid pada mahasiswa fakultas kesehatan

oleo tahun 2017 masyarakat UHO tahun 2016, dimana nilai hubungan
kedua variabel bernilai (phi=0,013). Hasil uji
chisquare didapatkan bahwa nilai PValue < α
sehingga terdapat hubungan antara kebiasaan makan
dengan gejala demam thypoid pada mahasiswa fakultas
kesehatan masyarakat UHO tahun 2016, dimana nilai
hubungan kedua variabel bernilai (phi=0,046).

Ade Putra, Hubungan Antara Penelitian ini didapatkan 13 ibu (72,2%) dengan tingkat pengetahuan Lokasi Penelitian,
(2012) Tingkat Pengetahuan merupakan cukup-tinggi tentang demam tifoid yang memiliki anak waktu penelitian,
Ibu Tentang Demam penelitian dengan kebiasaan jajan yang jarang, dan 5 ibu (27,8%) variabel penelitian
Tifoid Terhadap observational yang memiliki anak dengan kebiasaan jajan sering. Pada
Kebiasaan Jajan Anak analitik dengan penelitian ini juga didapatkan 1 ibu (16,7%) yang
Sekolah Dasar desain cross memiliki tingkat pengetahuan kurang tentang demam
sectional study tifoid yang memiliki anak dengan kebiasaan jajan yang
jarang, dan 5 ibu (83,3%) yang memiliki anak dengan
kebiasaan jajan yang sering. Terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang demam
tifoid terhadap kebiasaan jajan anak sekolah dasar
(p=0,017, RP=3,0). Tidak ada hubungan yang bermakna
antara kebiasaan jajan anak dengan adanya ajakan teman
(p=0,4), nomina uang saku (p=0,2), dan jumlah tempat
jajan.
F. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataa tentatif atau jawaban sementara tersebut harus
di uji apakah benar (di terima) atau salah (di tolak) (Suryanto, 2011).

Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ha : Ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian thyfoid fever
pada anak di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Tanjungpura.

Ho : Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian thyfoid
fever pada anak di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Tanjungpura.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat langsung
diamati atau diukur, konsep hanya dapat diamati melalui konstruk atau yang
lebih dikenal dengan nama variabel. Kerangka konsep penelitian pada
dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati
atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan untuk dikembangkan atau
diacuhkan kepada tujuan penelitian yang telah dirumuskan, serta didasari oleh
kerangka teori yang telah disajikan dalam tinjauan kepustakaan sebelumnya.
Dengan adanya kerangka konsep akan mengarahkan kita untuk menganalisis
hasil penelitian (Notoatmodjo, 2012 : 100).

Kerangka konsep penelitian ini di buat berdasarkan tujuan


penelitian yaitu mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan
kejadian thyfoid fever pada anak di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Universitas
Tanjungpura. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini sebagai berikut :

Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independent (bebas) Variabel Dependen (terikat)

Tingkat pengetahuan ibu Kejadian Thyfoid Fever


tentang thyfoid fever pada anak

G. Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian non eksperimen
dengan rancangan penelitian korelasional dengan pendekatan cross sectional
yang pengukuran atau pengamatannya dilakukan secara simultan pada satu
saat (sekali waktu) (Hidayat, 2012). Tiap subjek penelitian hanya diobservasi
sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel
subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek
penelitian diamati pada waktu yang sama (Notoadmojo, 2012). Penelitian ini
bertujuan untuk mencari hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan
kejadian thyfoid fever pada anak di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Universitas
Tanjungpura.

H. Populasi dan Sample


1. Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik
tertentu yang akan diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari
saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek
tersebut (Hidayat, 2012). Peneliti menetapkan bahwa populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak dengan
penyakit demam tifoid yang dirawat di Rumah Sakit Universitas
Tanjungpura selama 1 tahun terakhir dengan jumlah 60 orang sesuai
dengan data yang diperoleh di Rumah Sakit Universitas Tanungpura.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau
sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat,
2012). Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan non probability sampling (sampel secara tidak acak) dengan
teknik total sampling. Total Sampling yaitu teknik pengambilan sampel
dimana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi yaitu 60 orang.
Adapun ketentuan atau kriteria sampel tersebut layak untuk
digunakan agar sesuai dengan tujuan penelitian yaitu :
2.1 Kriteria Inklusi
Karakteristik umum subjek penelitian pada populasi target dan sumber
(Riyanto, 2011). Kriteria dimana subjek penelitian mewakili sampel
penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat, 2011).
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :
a. Ibu yang mempunyai anak dengan demam tifoid yang di rawat di
Rumah Sakit Universitas Tanjungpura
b. Anak yang di rawat minimal 3 hari perawatan
c. Ibu yang bersedia untuk menjadi responden penelitian.
2.2 Kriteria Ekslusi
Kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili sampel karena
tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2011).
Kriteria ekslusi pada penelitian ini adalah :
a. Ibu yang tidak menyelesaikan proses tindakan perawatan
b. Ibu yang tidak bersedia menjadi responden penelitian.

I. Waktu dan Tempat


Waktu : Proses penelitian ini dari pembuatan proposal sampai penyusunan
laporan hasil penelitian berlangsung selama satu bulan.
Pengumpulan data responden akan dilaksanakan pada bulan
Februari 2020 dan maret 2020.

Tempat : Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Universitas


Tanjungpura Pontianak.

J. Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan uraian tentang batasan variable yang
dimaksud, atau tentang apa yang diukur. Definisi operasional pada penelitian
ini adalah sebagain berikut:

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur Ukur

VARIABEL DEPENDEN

1 Kejadian Demam tifoid Kuesioner Indeks Z-Score <4 s/d Ordinal


adalah penyakit Pemeriksa
Thyfoid >4
infeksi sistemik an Tubex
Fever pada yang bersifat akut Negatif : <4
yang disebabkan
TF
anak Positif : >4
oleh salmonella
typhi.

VARIABEL INDEPENDEN

2 Tingkat Hasil tahu dari Kuesioner Kategori : Ordinal


Angket/wa
pengetahua suatu pemikiran, 1. Baik (skor ≥12)
wancara
n ibu pemahaman dan 2. Sedang (skor
tentang informasi yang 10-11)
thyfoid didapat oleh 3. Buruk (skor ≤9)
fever tentang demam
tifoid. Dimulai
dari pengertian,
etiologi,
patofisiologi,
manifestasi klinis,
komplikasi,
penatalaksanaan,
dan pencegahan

K. Instrumen/ Alat Pengumpulan Data


Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan peneliti untuk
mengobservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena. Instrumen penelitian
ini dapat berupa : kuisioner (daftar pertanyaan), formulir observasi, formulir-
formuli lain yang berkaitan dengan pencatatan data dan sebagainya
(Notoadmojo, 2012). Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kuesioner.
Kuisioner merupakan alat ukur berupa angket atau kuisioner dengan
beberapa pertanyaan. Alat ukur ini digunakan bila responden jumlahnya besar
dan tidak buta huruf (Hidayat, 2012).

L. Prosedur Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi tahap
persiapan dan pelaksanaan.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiaan dalam penelitian ini meliputi
a) Peneliti mengajukan judul proposal dan fenomena terkait
kepada dosen pembimbing dan penguji
b) Melakukan uji etik
c) Mengurus surat permohonan izin ke Rumah Sakit Universitas
Tanjungpura Pontianak.
2. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:
a) Peneliti menemui responden ketempat penelitian (Rumah
SakitUniversitas Tanjungpura Pontianak) selama 3 hari
b) Memberikan informasi dengan jelas kepada responden
c) Menyerahkan kuesioner kepada responden untuk diisi

M. Rencana Analisa Data


Analisa data suatu penelitian ini menggunakan analisa univariat dan
analisa bivariat yaitu :

1. Analisa Univariat (Analisis Deskriptif)


Analisa univariat adalah analisis yang bertujuan untuk menjelaskan
atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian
(Notoadmojo,2012). Analisis univariat berfungsi untuk meringkas
kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan
data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna dan pengolahan
datanya hanya satu variabel saja, sehingga dinamakan univariat. Yang
termasuk analisis univariat tersebut adalah statistik deskriptif (Sujarweni,
2014). Analisis univariat dalam penelitian ini yaitu tingkat pengetahuan
ibu tentang kejadian demam tifoid pada anak.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat akan menghasilkan hubungan antara dua variabel
yang bersangkutan yaitu variabel dependen dan variabel independen
(Notoadmojo, 2012). Analisis bivariat berfungsi untuk mengetahui
hubungan antar variabel (Sujarweni, 2014), dengan tingkat kepercayaan
95% (α=0,05). Analisis bivariat dalam penelitian berbentuk uji hipotesis
korelasi person bila salah satu variabel berdistribusi normal. Jika salah
satu data tidak normal maka menggunakan uji korelasi sperman dengan
data non parametik (Dahlan, 2014). Korelasi antar variabel ordinal
dengan ordinal menggunakan uji sperman (Dahlan, 2014). Dalam
pengelolahannya peneliti dibantu oleh penggunakan perangkat komputer.

N. Etika Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu mengurus
surat permohonan izin penelitian ke STIK Muhammadiyah Pontianak, dan
mengajukan surat izin meneliti ke Rumah Sakit Universitas Tanjungpura
Pontianak. Untuk meyakinkan penelitian ini dilakukan uji etik pada Komite
Etik di STIK Muhammadiyah Pontianak. Setelah mendapatkan surat izin,
peneliti mulai melakukan penelitian dengan memperhatikan masalah etika
yang meliputi etika penelitian. Menurut Milton, 1999; dalam Notoatmojo
(2012) ada 4 prinsip etika penelitian :

1. Menghormati harkat dan martabat manusia Sebagai ungkapan peneliti


menghormati harkat & martabat subjek penelitian yaitu dengan
memberikan lembar persetujuan / inform consent kepada pasien subjek
penelitian. Setelah di berikan penjelasan, lembar persetujuan / inform
consent diberikan kepada pasien subjek penelitian. Jika subjek penelitian
bersedia di teliti maka subjek penelitian akan menandatangani lembar
persetujuan, namun jika subjek penelitian menolak untuk diteliti maka
peneliti tidak akan memaksa dan menghormati haknya.
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian Setiap orang
berhak untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada oreang lain.
Oleh sebab itu untuk menjaga kerahasiaan subjek penelitian, peneliti tidak
mencantumkan namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan
memberikan inisial pada masing-masing lembar tersebut. Data yang
diperoleh akan digunakan semata-matademi perkembangan ilmu
pengetahuan.
3. Justice / Keadilan & inklusivitas / keterbukaan Dalam penelitian ini,
peneliti selalu menjelaskan prosedur penelitian dan menjamin bahwa
semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang
sama.
4. Memperhitungkan manfaat & kerugian yang ditimbulkan Selama
penelitian, peneliti berusaha meminimalkan dampak yang merugikan bagi
subjek penelitian dengan menjalin komunikasi yang baik, rasa saling
percaya antara peneliti dan subjek penelitian.

Anda mungkin juga menyukai