Anda di halaman 1dari 10

Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2.

Juni 2016 (73-82)

PENGARUH SUHU PENGERINGAN TERHADAP KARAKTERISTIK TEPUNG LABU


KUNING (Cucurbitae Moschata ex. Poir) BESERTA ANALISIS FINANSIALNYA

I Gusti Ayu Dharmapadni1 , Bambang Admadi H2, I Wayan Gede Sedana Yoga2
1
Mahasiswa Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UNUD
2
Dosen Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UNUD
Email: ayudarmapadni@hotmail.com1
Email koresponden: bambang.admadi@unud.ac.id2

ABSTRACT

This study aims to 1) Determine the effect of drying temperature on the characteristics of
pumpkin flour 2) Determine the best temperature to produce the best characteristics pumpkin
flour 3) Determine the financial feasibility of flour pumpkin. This research is designed using a
laboratory scale randomized block design with treatments that drying temperature (50, 60, 70,
and 80) ˚C and 3 grouping processing time. The best treatment is determined by the effectiveness
of the test, followed by analysis of financial. The resut showeds that drying temperature of the
flour pumpkin had very significant effect on yield, water content, ash content, protein content, fat
content, carbohydrate content and levels of beta carotene. Pumpkin flour best treatment is
temperature 60˚C with characteristics: yield of 22.00%, 14.51% water content, ash content of
5.79%, 1.07% protein content, and fat content 1.19%, carbohydrate content 82.02% and beta
carotene levels of 2295.81 g / 100g. Pumpkin flour production costs with the best treatment
Rp.166.780.400 a year and price was Rp.41.063/ kg, Break Event Point analysis of 2.241,77 kg a
year, Return on Investment of 35.06%, and Pay Back Period of 2,85 years so it is feasible to run
the bussines.

Keywords: characteristics, drying temperature, flour pumpkin.

PENDAHULUAN

Produk olahan labu kuning yang masih banyak ditemui adalah produk olahan labu kuning
basah, yang cenderung umur simpannya pendek, mengingat potensi gizi dan ketersediaan labu
kuning di Indonesia yang besar, maka perlu dilakukan upaya pengolahan labu kuning sehingga
memiliki umur simpan lebih lama. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan
mengolahnya menjadi tepung. Pengolahan labu kuning menjadi tepung mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan buah segarnya, yaitu sebagai bahan baku fleksibel untuk industri
pengolahan lanjutan, daya simpan lebih lama karena kadar air yang rendah, tidak membutuhkan
tempat yang besar dalam penyimpanannya, dan dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat,
protein dan vitamin.

73
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

Pengolahan labu kuning menjadi tepung memerlukan beberapa tahapan. Salah satu
tahapan proses pengolahan tepung adalah pengeringan yaitu proses mengeluarkan atau
menghilangkan sebagian air dalam suatu bahan (Winarno, 1997). Menurut Muchadi et al. 1997
pengeringan merupakan salah satu cara untuk mengawetkan bahan pangan yang mudah rusak
atau busuk. Tujuan pengeringan yaitu untuk mengurangi kandungan air dalam bahan sehingga
dapat menghambat pertumbuhan mikroba maupun reaksi yang tidak diinginkan. Keberhasilan
pengeringan sangat tergantung pada beberapa faktor, salah satunya suhu pengeringan. Suhu
pengeringan yang terlalu rendah akan menyebabkan kegagalan dalam pengeringan yang
berdampak pada pembusukan bahan. Sementara itu suhu pengeringan yang terlalu tinggi
menyebabkan pencoklatan bahan akibat karamelisasi, oleh karena itu suhu pengeringan yang
o
tepat perlu dicari. Mohamed dan Hussein (1994) mengatakan bahwa suhu pengeringan 40 C –
o
60 C pada pengeringan wortel dapat mempertahankan kandungan asam askorbat, sifat rehidrasi
wortel yang dikeringkan dan juga mempertahankan kandungan karoten dan warna wortel kering.
o o
Merujuk dari refrensi diatas, maka penelitian ini menggunakan suhu 50 C – 80 C dalam
pengeringan labu kuning untuk mencari suhu pengeringan terbaik. Proses pengolahan atau
pembuatan tepung labu kuning perlu dikaji secara finansial untuk mengetahui kelayakannya
dalam produksi secara komersial.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh suhu pengeringan
terhadap karakteristik tepung labu kuning sekaligus mengetahui suhu terbaik tepung labu kuning
dan mengetahui kelayakan secara finansial dari tepung labu kuning.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Pangan Teknologi Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Udayana. Waktu pelaksanaan penelitian bulan Juli hingga
Desember 2014.

Alat
Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu oven, slicer, nampan, pisau,
talenan, baskom, nyiru, mesin penepung (diskmill), alat pengayak, corong pemisah, timbangan
analitik, unit protein kjedhal, unit ekstraksi soxhlet, unit peralatan analisis kadar abu.

74
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku dan bahan kimia.
Bahan baku yaitu labu kuning jenis bokor dengan warna oranye yang diperoleh dari Pasar
Badung di Kota Denpasar.

Rancangan percobaan
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
o
perlakuan suhu pengeringan yaitu (50, 60, 70, dan 80) C dan pengelompokkan 3 waktu proses.
Model matematis RAK yang digunakan adalah sebagai berikut .

Keterangan :
i = Perlakuan Pengeringan ke- 1,2,3,...n = Pengaruh perlakuan ke-i
j = Kelompok ke1,2,3,...n = Pengaruh kelompok ke j
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan = pengaruh acak pada perlakuan ke-i
kelompok ke-j dan ke-j
µ = rerata umum

Apabila perlakuan berpengaruh nyata terhadap variabel yang diamati maka dilanjutkan
dengan uji BNT (Harsojuwono et al., 2011).

Pelaksanaan percobaan
Proses pembuatan tepung labu kuning diawali dengan proses pencucian labu kuning lalu
dipisahkan bagian kulit dan daging buahnya, selanjutnya daging buah labu kuning dipotong/diiris
setebal 1 mm. Selanjutnya dimasukkan dalam oven dengan blower pada suhu sesuai
perlakuan(50˚, 60˚, 70˚, 80°C) selama 12 jam dengan laju udara 5 ± 0,1 m³/menit. Setelah bahan
kering dilakukan proses penepungan menggunakan mesin penepungan yang dilengkapi dengan
alat ayakan ukuran sesuai perlakuan 60 mesh.

Variabel Yang Diamati


Adapun variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu rendemen tepung labu kuning,
kadar air dengan metode oven (AOAC,1990), kadar abu dengan metode pemijaran (Sudarmadji
et. al., 1996), kadar lemak (Sudarmadji,1996), kadar karbohidrat (by difference) total karoten
dengan spectrofotometer (Apriantono et. al., 1989), kadar protein (Metode Kjeldahl).
Karakteristik tepung labu kuning dilakukan dengan uji efektivitas (De Garmo et. al., 1984).

75
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

Analisis finansial dilakukan terhadap tepung labu kuning dengan karakteristik terbaik (Anon,
2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap rendemen tepung labu kuning. Nilai rata-rata rendemen tepung labu
kuning dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rendemen Tepung Labu Kuning
Perlakuan Kadar rendemen (% bb)
o
Tepung labu kuning suhu 50 C
o
22,84 a
Tepung labu kuning suhu 60 C 22,00 bc
o
Tepung labu kuning suhu 70 C 22,22 b
o
Tepung labu kuning suhu 80 C 21,91 c
Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-
rata menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rendemen tepung labu kuning berkisar antara 21,91%
sampai 22,84%. Pada suhu 50˚C selama 12 jam pengeringan dengan laju udara 5 ± 0,1 m³/menit
menghasilkan rendemen tepung labu kuning tertinggi dibandingkan lainnya hal ini disebabkan
karena suhu pengeringan yang digunakan tergolong rendah sebesar 50˚C, sehingga menyebabkan
kandungan air yang teruapkan lebih sedikit dan mengakibatkan rendemen yang dihasilkan tinggi.
Perbedaan tinggi dan rendahnya rendemen suatu bahan pangan sangat dipengaruhi oleh
kandungan air suatu bahan pangan. Hal ini diperkuat oleh Ramelan et al., (1996) yang
menyatakan bahwa, suhu merupakan salah satu faktor penentu dalam proses pengeringan. Selain
itu sifat bahan yang dikeringkan seperti kadar air awalan ukuran produk akan mempengaruhi
proses pengeringan.

Kadar Air
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kadar air tepung labu kuning. Nilai rata-rata kadar air tepung labu
kuning dapat dilihat pada Tabel 2.

76
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

Tabel 2. Kadar air Tepung Labu kuning


Perlakuan Kadar air (% bb)
o
Tepung labu kuning suhu 50 C 17,83 a
o
Tepung labu kuning suhu 60 C 14,51 b
o
Tepung labu kuning suhu 70 C 11,49 c
o
Tepung labu kuning suhu 80 C 9,9 d
Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar air tepung labu kuning berkisar antara 9,90%
sampai 17,83%. Kadar air tertinggi diperoleh dari tepung labu kuning dengan suhu 50˚C yaitu
17,83% sedangkan kadar air terendah diperoleh dari tepung labu kuning dengan suhu 80˚C yaitu
9,90% karena semakin tinggi suhu yang digunakan maka semakin rendah kadar air yang di
hasilkan. Jumlah kadar air yang terdapat pada bahan sangat penting untuk mempertahankan daya
simpan bahan tersebut.

Kadar Karbohidrat
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap kadar karbohidrat tepung labu kuning. Nilai rata-rata kadar karbohidrat
tepung labu kuning dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karbohidrat Tepung Labu Kuning
Perlakuan Kadar karbohidrat (% bb)
o
Tepung labu kuning suhu 50 C
o
75,38 c
Tepung labu kuning suhu 60 C 82,02 b
o
Tepung labu kuning suhu 70 C 85,61 a
o
Tepung labu kuning suhu 80 C 82,53 b
Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-
rata menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat nilai rata-rata kadar karbohidrat tepung labu kuning
berkisar antara 85,61% sampai 75,38%. Kadar karbohidrat tertinggi diperoleh dari tepung labu
kuning dengan perlakuan suhu 70˚C yaitu 85,61%. Adapun hasil kadar karbohidrat dipengaruhi
oleh kadar protein, kadar air, kadar abu dan kadar lemak, yang dikarenakan perhitungan kadar
karbohidrat menggunakan metode by difference.

77
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

Total Karoten
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap total karoten tepung labu kuning. Nilai rata-rata total karoten tepung
labu kuning dapat dilihat di Tabel 4.
Tabel 4. Total Karoten Tepung Labu Kuning
Perlakuan Kadar total karoten (µg/100 g)
o
Tepung labu kuning suhu 50 C 2353,2 a
o
Tepung labu kuning suhu 60 C 2295,81 a
o
Tepung labu kuning suhu 70 C 681,73 b
o
Tepung labu kuning suhu 80 C 2381,9 a
Keterangan: huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata
menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05).

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat nilai rata-rata total karoten tepung labu kuning
berkisar antara 2381,90 µg/100g sampai 2353,20 µg/100g. Kadar karoten tertinggi diperoleh dari
tepung labu kuning dengan suhu 80˚C yaitu 2381,90µg/100g. Hasil penelitian menunjukkan beta
karoten yang dihasilkan oleh masing-masing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang
begitu nyata. Hal ini sejalan oleh apa yang ditemukan oleh Desty (2013), Suhu yang rendah
dengan waktu yang lama dan suhu yang tinggi dengan waktu yang singkat memberikan pengaruh
kerusakan karoten seperti yang terjadi pada suhu 70˚C.

Uji Efektifitas
Uji efektifitas bertujuan untuk menentukan tepung labu kuning dengan perlakuan
terbaik. Dalam uji efektifitas digunakan nilai dari variabel yang diamati yaitu kadar rendemen,
kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar beta karoten.
Hasil uji efektifitas menunjukan bahwa jumlah nilai hasil (Nh) sebesar 0,68 adalah
perlakuan dengan suhu 60˚C. Hal ini berarti perlakuan suhu 60˚C merupakan perlakuan terbaik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya, dengan karakterisktik kadar rendemen 22,00%, kadar
air 14,51%, kadar abu 5,79%, kadar protein 1,07%, kadar lemak 1,19%, kadar karbohidrat
82,02% dan kadar beta karoten 2295,81µg/100g.

Analisis Finansial
Analisis financial adalah kegiatan untuk menilai sejauh mana manfaat yang dapat
diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan usaha. Hasil analisis digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam mengambil keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan

78
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

usaha (Anon, 2011). Berdasarkan hasil pengujian secara obyektif dan subyektif, tepung labu
kuning yang dapat diterima adalah tepung labu kuning dengan perlakuan suhu 60˚C.

a. Kebutuhan Modal Awal


Dalam usaha mendirikan usaha pembuatan tepung labu kuning pada awal pendiriannya
memerlukan modal yang disebut investasi awal. Modal keseluruhan diperoleh dari
menjumlahkan modal awal dengan modal kerja (biaya produksi) Biaya modal awal, modal kerja
dan keseluruhan modal dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel.5 besarnya investasi untuk usaha tepung labu kuning
Investasi Jumlah (Rp)
Dana modal tetap 31.920.000
Dana modal kerja / tahun 110.760.000
Keseluruhan 142.680.000
b. Biaya Tetap dan Biaya Variabel
Biaya tetap dan biaya variabel dibedakan berdasarkan perilaku biaya. Biaya tetap dan
biaya variabel memiliki perbedaan yang berbanding terbalik. Ketika unit yang diproduksi tinggi,
biaya variabel menjadi tinggi dan biaya tetap per unit menjadi rendah. Sedangkan ketika unit
yang diproduksi rendah, biaya variabel menjadi rendah dan biaya tetap per unit menjadi tinggi.
Memperhatikan perilaku biaya menjadi hal yang penting sebelum produksi dengan tujuan untuk
dapat memperkirakan total biaya yang dikeluarkan. Dari data yang telah dikumpulkan biaya
tetap yang didapat adalah penyusutan dari aktiva yang dipakai, sedangkan biaya variabel adalah
yang berkaitan dengan bahan baku dan penggunaan bahan pendukung. Adapun biaya variabel
dan biaya tetap disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6.Biaya tetap (FC), Biaya Variabel (VC), dan Total biaya produksi (TC)
No Uraian Koponen Kerja Biaya (Rp)
1 Biaya Tetap
Tenaga Kerja 3 Orang 36.000.000
Penyusutan 5.936.000
Pengangkutan Bahan Baku dan Produk 3.000.000
Pengembakian Modal 47.084.400
Total 92.020.400
2 Biaya Variabel
Labu Kuning 72.000.000
Plastik 1.200.000
Listrik 1.200.000
Air 360.000
Total 74.760.000
Total Biaya Produksi 166.780.400

79
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

c. Harga Pokok Dan Harga Jual


Harga pokok tepung labu kuning ditentukan dengan membagi total biaya produksi
dengan jumlah produksi pada tahun yang sama. Kapasitas produksi yang dihasilkan dari usaha
tepung labu kuning per tahun adalah sebesar 5.280 kg. Tujuan dari pendirian suatu usaha adalah
untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan yang diinginkan dari usaha pembuatan tepung labu
kuning diasumsikan sebesar 30 persen dari harga pokok. Harga jual dihitung berdasarkan harga
pokok ditambah keuntungan (q). Harga pokok dan harga jual per kg tepung dapat dilihat pada
contoh perhitungan harga pokok dan harga jual dengan q = 30% adalah sebagai berikut.
Harga pokok dan harga jual tepung labu kuning/kg serta total penjualan dapat dihitung
dengan rumus :

a) Harga Pokok (HP) =

= Rp. 31.587/ kg
Harga jual tepung labu kuning dengan q = 30%
b) Harga Jual (P)= (Rp. 31.587 x 30%) + Rp. 31.587
= Rp. 9.476 + Rp. 31.587
= Rp. 41.063/kg

d. Break Event Point


Break event point merupakan salah satu perhitungan analisis keuangan yang penting
untuk dilakukan. Dengan mengetahui nilai break event point maka dapat dilakukan forecasting
atas jumlah unit yang diproduksi, keuntungan atau kerugian yang potensial terjadi dan
perencanaan keuangan di periode mendatang. Rumus yang digunakan sebagai berikut:

Q BEP =

= 2.241,77 kg

80
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

e. Return On Investment

ROI usaha tepung labu kuning dengan q = 30% sebesar 35,06%. Menurut Susanto dan
Saneto (1994), suatu penanaman modal dikatakan menguntungkan apabila ROI minimum untuk
suatu usaha lebih besar daripada ROI yang sudah ditentukan sesuai dengan jenis usaha dan besar
kecilnya resiko yang ditanggung.

f. Pay out time


Pay out time atau pay back period merupakan jangka waktu kembalinya investasi yang
telah dikeluarkan. Pengembalian modal usaha pembuatan tepung labu kuning sebesar 2,85 tahun.
hal ini sudah sesuai dengan kriteria nilai ekonomis proyek (Susanto dan Saneto, 1994), dimana
disebutkan untuk industri pengolahan hasil pertanian diharapkan nilai POT lebih kecil dari 10
tahun atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun.

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik tepung labu
kuning beserta analisis usahanya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1) Perlakuan pengeringan terhadap tepung labu kuning berpengaru nyata terhadap rendemen,
kadar air, kadar abu, kadar protein,kadar lemak, kadar karbohidrat dan kadar beta karoten.
2) Perlakuan terbaik adalah tepung labu kuning dengan perlakuan suhu 60˚C, dengan
karakteristik rendemen 22,00%, kadar air 14,51%, kadar abu 5,79%, kadar protein 1,07%,
kadar lemak 1,19%, kadar karbohidrat 82,02% dan kadar beta karoten 2295,81 µg/100g.
3) Biaya produksi per tahun untuk memproduksi tepung labu kuning dengan perlakuan terbaik
dan tingkat keuntungan 30% dengan harga jual sebesar Rp.41.063/kg, analisis Break Event
Point sebesar 2.241,77 kg per tahun, Return On Invesment sebesar 35,06%, Pay Out Time
sebesar 2,85 Tahun sehingga usaha ini layak untuk dijalankan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka saran yang dapat disampaikan
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai umur simpan dari tepung labu kuning dan kadar
vitamin dari tepung labu kuning agar sesuai dengan SNI.

81
Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN: 2503-488X, Vol. 4. No. 2. Juni 2016 (73-82)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2011. Analisis kelayakan flexi personal info services untuk segmen corporate di
kota bandung. Diakses Tanggal 11 Oktober 2013.

AOAC. 1990. Official Methods of Analisis. Association of Official Analitycal Chemist.


AOAC. Washington DC. USA

Apriyantono, A,D. Fardiaz, N.C.Puspitasari, Sedarawati, S.Budiyanto, 1989. Petunjuk


Laboratorium Analisis Pangan. IPB. Press, Bogor
th
De Garmo, E.P.,W.G. Sulivan dan J.R. Canada. 1984. Engineering Economy (7 ed.). Macmillan
Publishing Company, New York, p. 264-265.

Desty. 2013. Kajian Retensi Karoten Biskuit Berbasis Stearin pada Berbagai Suhu Pemanasan.
MIPAUNTAD. Palu

Harsojuwono,B,A. I.W.Arnata. dan G.A.K.D.Puspawati. 2011. Rancangan Percobaan Teori dan


Aplikasi SPSS dan Excel. Lintas Kata.Malang.

Mohammed, S. dan R. Hussein,1994. Effect of Low Temperature Blanching, Cysteine-HCl


N-acetyl-L-Cysteine, Na-Metabisulphit and drying temperature on the firmness and
nutrient content of dried carrots. J. Food Proc and Pres.18:343-348.15.

Ramelan, A.H., N. H. R. Parnanto dan Kawiji. 1996. Fisika Pertanian. UNS-Press.

Sudarmadji, S. B. Haryono., dan Suhardi, 1996. Analisa Bahan Makanna dan Pertanian. Liberty
Yogykarta Bekerjasama Dengan Pusat Antar Universitsa Gadjah Mada, Yogyakarta.

Susanto, T dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pemgolahan Hasil Pertanian. PT. Bina Ilmu,
Surabaya.

Winarno, F.G., 1997. Pangan, Gizi, dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

82

Anda mungkin juga menyukai