Anda di halaman 1dari 2

Mahar Politik Pilkada

Oleh: Amir Ilyas


Dosen Ilmu Hukum Unhas

No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Mungkin kita sudah jenuh dengan pameo
yang satu ini, saat setiap kali hajatan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota terhelat.
Begitu ramai diperbincangan para elit, misalnya bakal pasangan calon A menyetor
sejumlah uang ke Partai X guna mendapatkan tiket maju. Namun riuhnya uang yang mengalir
dari bawah hingga ke pucuk pimpinan partai itu, tak satupun yang terdeteksi dalam “radar”
penanganan temuan atau laporan pelanggaran pemilihan ke Bawaslu.
Mengapa begitu? Tentu secara kriminologis akan terurai dalam kesimpulan bahwa
betapa susah menembus kejahatan dalam dinding-dinding kekuasaan. Semacam particracy,
dimana hampir semua kekuasan (eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif) dikendalikan oleh
partai politik. Dengan kekuasan yang melimpah itu, maka menjadi sangat sulit menyeret
aktor-aktor dan oknum diantara mereka yang menjadi “makelar” mahar politik hingga ke
tingkat atas.
Saat yang sama, tidak perlu juga menimbulkan kepanikan luar biasa soal mengapa mahar
politik riuhnya yang minta ampun, namun jauh dari panggang penegakan hukum. Logika
sederhananya, mana mungkin anggota legislatif beserta dengan pemerintah mau
menciptakan undang-undang, ibarat senjata yang akan menghabisi tuannya sendiri.
Masih ingat dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2015 dahulu, sebagai perubahan
kedua dari UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Saat itu memang terdapat
larangan memberikan uang, materi lainnya atau janji dalam proses pencalonan, tetapi
menjadi pincang, selain kabur untuk dikualifisir sebagai pelanggaran administrasi pemilihan,
juga sama sekali tidak diletakkan sebagai perbuatan yang berimplikasi pidana. Barulah
kemudian melalui perubahan ketiga UU Pemilihan, yakni dengan UU Nomor 10 tahun 2016,
ada sanksi pidana untuk pelaku mahar politik.
Pada sesungguhnya dalam konteks perundang-undangan, tak bisa dilupakan pula bahwa
UU Pemilihan sendiri yang menjadi sebab atau penyumbang terbesar liarnya mahar politik
pilkada untuk dan saat detik-detik menjelang pendaftaran calon kepala daerah. UU
Pemilihan tidak predictiablity dalam rangka melakukan tindakan pre-emtif dan preventif
terjadinya mahar politik pilkada.
Yaitu dengan ditingkatkannya ambang batas dukungan calon perseorangan, sehingga
meniscayakan pencalonan melalui jalur partai politik lebih gampang bagi mereka yang
memiliki kekuatan finansial berlebih. Parahnya lagi, peningkatan ambang batas dukungan
calon perseorangan tersebut saat diajukan pengujian materil ke Mahkamah Konstitusi,
dianggap sebagai kebijakan hukum terbuka. Keluwesan MK hanya terlihat dengan melakukan
perubahan penentuan ambang batas tidak lagi berdasarkan jumlah penduduk, tetapi dengan
DPT terakhir daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan.
Pada sisi lain patologi mahar politik pilkada juga disebabkan klausula UU Pemilihan yang
menjadi faktor tunggal dan penentu pencalonan melalui jalur politik yaitu dengan tanda
tangan Sekjen dan ketua umum partai. Untuk pencalonan bupati misalnya, harus melalui tiga
tingkat, DPC, DPD, DPP parpol, yang kesemuanya itu turut ambil bagian, menangguk
keuntungan mahar politik dalam proses pencalonan kepala daerah. Belum lagi kalau parpol
bersangkutan terjadi dualisme kepemimpinan, maka setoran sudah dapat dipastikan jauh
lebih banyak, dimana partai berfungsi sebagai kendaraan, dua driver sekaligus.
Pada beberapa kasus, jumlah dan banyaknya kursi dari partai politik di DPRD tidak
selamanya menjadi faktor penentu “tiket” pencalonan kepala daerah bernilai mahal.
Keadaan-keadaan tertentu, dimana partai politik hanya memiliki satu kursi, tapi tinggal itu
satu-satunya yang dapat mencukupi dukungan pencalonan, mahar politiknya cenderung naik
berlipat dua kali.
Ada yang lebih unik lagi, seperti partai politik yang menjual “dua tiket untuk dua bakal
pasangan calon.” Dan praktik semacam ini, jelas bakal pasangan calon yang akan mendaftar
di KPU yang dirugikan. Saat partai politik memberikan dukungan ganda, maka didahulukan
bakal pasangan calon yang lebih awal melakukan pendaftaran di KPU. Tak ada sanksi
administrasi maupun sanksi pidana untuk parpol yang berlaku semacam itu, padahal dampak
hukum dan politiknya, nyata-nyata telah mencabut hak pilih bakal pasangan calon kepala
daerah.
Perlu terobosan hukum yang tentunya melalui perubahan regulasi secara terbatas ke
depannya. Bahwa pembelaan diri partai politik selama ini, bukan menerima mahar politik,
tetapi semacam sumbangan untuk partai, biaya survei, atau untuk kepentingan pembiayaan
saksi pada saat hari pemungutan suara nanti. Jika demikian pembelaan diri partai politik,
maka beralasan hukum kiranya kita menagih transparansi partai politik. Untuk menunjukkan
kepada publik, benarkah sumbangan dari bakal pasangan calon tersebut tercatat dalam
laporan keuangan partai. Pada saat yang sama, menjadi patut pula untuk bakal pasangan
calon tersebut menunjukkan catatan perihal uang yang diserahkannya itu ke partai
pengusung di dalam laporan dana kampanyenya.
Selanjutnya, Partai politik yang tidak mencatatkan dalam laporan keuangannya tentang
dana sumbangan itu, disanksi tidak dapat lagi menjadi partai pendukung atau pengusul bakal
pasangan calon kepala daerah pada periode pemilihan berikutnya. Demikian berlaku sama
juga untuk bakal pasangan calon yang tidak menuangkan sumbangannya itu ke parpol sebagai
laporan dana kampanye, dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai
pasangan calon kepala daerah.

Anda mungkin juga menyukai