Anda di halaman 1dari 32

KAJIAN ISLAM

1. Iman, Islam, Ihsan


2. Islam dan Sains
3. Islam dan Penegakan Hukum
4. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar
5. Fitnah Akhir Zaman

Disusun sebagai tugas terstruktur Mata Kuliah: Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh:

Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : JUMATRE
NIM : E1Q020027
Fakultas&Prodi : PENDIDIKAN FISIKA
Semester :1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
T.A. 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT atas selesainya tugas
ini yang mana tugas ini sebagai tugas akhir mata kuliah pendidikan agama islam.

Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
yang telah memberikan pedoman kepada kita yakni jalan yang sebenar-benarnya jalan
berupa ajaran agama islam yang begitu sempurna dan menjadi rahmat bagi alam
semesta.

Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidikan Agama Islam atas terselesaikannya
tugas ini.

Besar harapan saya tugas ini akan memberi manfaat dan digunakan sebagai pedoman
dalam mempelajari agama islam terutama dalam bidang studi agama islam. Saya selaku
penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tugas ini.

Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca khususnya
pada Dosen Bidang Studi ini. Demi kesempurnaan dalam membuat tugas (karya tulis)
pada waktu mendatang. Untuk itu saya selaku penulis mengucapkan terima kasih.

Penyusun, Mataram 14 Desember 2020

Nama : JUMATRE

NIM : E1Q020027

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii
I. Iman, Islam, Ihsan ............................................................................................. 1
II. Islam dan Sains .................................................................................................. 8
III. Islam dan Penegakan Hukum .............................................................................15
IV. Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar .................................19
V. Fitnah Akhir Zaman ........................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 29
LAMPIRAN

iii
BAB I

Iman, Islam, Ihsan

Tak sempurna agama seseorang bila tidak menyempurnakan iman, islam dan ihsan dalam
kehidupannya. Iman, islam dan ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah seseorang.
Keyakinan tersebut harus diwukudkan melalui pelaksanaan ke lima rukun islam. Dengan
demikian, beriman tanpa melaksanakan rukun islam adalah sia-sia. Setiap orang yang
mengaku beriman, semestinya juga melakukan rukun islam.

1. IMAN
a. Pengertian Iman
Definisi dari iman secara etimologi berasal dari bahasa arab amana-yukminu-imanan yang
artinya percaya. Sedangkan secara terminologi menurut jumhur ulama’ iman adalah at-
tasdiqu bil qolbi,al-qoulu bil lisan,wa al a’malu bil arkaan artinya membenarkan atau
dalam hati,mengucapkan atau mengikrarkan dengan lisan,mengamalkan dengan
perbuatan.
Iman sendiri sebenarnya adalah sebuah pembuktian terhadap penyerahan diri kepada
Tuhan yang maha esa (Allah) sebagai pencipta sekeligus penguasa mutlak semesta alam.
Dalam al-qur’an surat Al-hujarat potongan ayat 14, Allah Subhanallahu ta’ala berfirman
yang artinya : “Sesungguhnya orang yang sebenarnya beriman ialah orang yang percaya
kepada Allah dan Rasullnya.”
Hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepadanya kita memohon pertolongan.
Allah SWT. Berfirman:
ِ ُ‫ك نَ ْعبُ ُد َوإِيَّاكَ نَ ْست َِعين‬
َ ‫يَّا‬
Artinya:
“hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan.” Menurut hadis yang telah diriwayatkan oleh umar, secara khusus iman
berarti: “ memercayai Allah,para malaikat-Nya, kitab-kitabnya, para utusan-Nya, hari
akhir, dan mempercayai takdir baik dan buruk-Nya.
Dengan mempercayai Allah, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para rosul-Nya, hari
akhir atau hari kiamat, dan takdir Allah, sesungguhnya kita telah melaksanakan enem
rukun iman. Enam perkara yang menjadi rukun iman itu tidak cukup hanya dengan

1
dihafal. Namun, kita harus manpu mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya dengan memercayai Allah SWT., kita akan memiliki kesadaran bahwa setiap
perbuatan kita didunia akan mendapat balasannya yang setimpal nanti di akhirat .
perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya perbuatan yang buruk akan
dibalas pula dengan sesuatu yang buruk. Dengan percaya kepada para malaikat-Nya, kita
akan selalu menyadari disamping kita ada malaikatyang selalu mencatat dan mengawasi
semua yang klita lakukan. Dengan mempercayai adanya hari kiamat, maka kita akan
selalu mengingat adanya hari pembalasan yang pasti terjadi.

Diantaranya ciri-ciri orang beriman adalah sebagai yang diterangkat ayat berikut.
َ‫ت َعلَ ْي ِه ْم آيَاتُهُ زَ ا َد ْتهُ ْم إِي َمانًا َو َعلَى َربِّ ِه ْم يَتَ َو َّكلُون‬ ْ َ‫إِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُونَ الَّ ِذينَ إِ َذا ُذ ِك َر هَّللا ُ َو ِجل‬
ْ َ‫ت قُلُوبُهُ ْم َوإِ َذا تُلِي‬
Artinya: “ sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya pada mereka, bertambah
(kuat) imannya dan hanya kepada tuhan mereka bertawakal.”
            Keimanan adalah sesuatu yang harus terus-menerus harus kita pupuk agar tetap
kukuh dalam kehidupan kita. Jika hal itu tidak kita lakukan, tidak mustahil kadar dan
kualitas keimanan dalam diri kita akan menurun. Beriman tidak cukup hanya sekedar
ucapan. Beriman harus meliputi pembenaran dalam hati ( tashdiqbi al-qalbi), di ucapkan
dengan lisan (iqrar bi al-lisani), dan diamalkan dalam perbuatan nyata (‘amal bi al-
jawarih).
            Nabi muhammad saw. Menjelaskan bahwa kadar keimanan seseorang bisa
bertambah dan berkurang. Tidak mustahil orang yang dipandang saat ini memiliki kadar
keimanan yang tinggi sewaktu saat akan melakukan perbuatan yang akan mengurangi
kadar keimanan tersebut.tidak mustahil juga seseorang yang dipandang jahat.suatu saat
akan berubah menjadi orang baik.
b)  Penjelasan definisi iman
Membenarkan dengan hati
“Membenarkan dengan hati” maksudnya adalah menerima kebenaran atas segala sesuatu
yang di sampaikan dan di ajarkan oleh rasulullah salallahu alaihi wasalam serta rasul
sebelumnya.
Allah Subhanallahu ta’ala berfirman :

 ‫ َءا َمنُ ٓو ۟ا‬  َ‫ٱلَّ ِذين‬ ‫ َويَ ْزدَا َد‬ ‫ب‬ ۟ ‫ َكفَر‬  َ‫لِّلَّ ِذين‬ ً‫فِ ْتنَ ۭة‬  ‫إاَّل‬ ‫ ِع َّدتَهُ ْم‬ ‫ َج َع ْلنَا‬ ‫ َوما‬  ًۙ‫م ٰلَٓئِ َك ۭة‬  ‫إاَّل‬ ‫ٱلنَّار‬ ‫ب‬
۟ ُ‫أُوت‬  َ‫ٱلَّ ِذين‬  َ‫لِيَ ْستَ ْيقِن‬ ‫ُوا‬
َ َ‫ ْٱل ِك ٰت‬ ‫وا‬ َ ‫أَصْ ٰ َح‬ ‫ َج َع ْلنَٓا‬ ‫َو َما‬
ِ َ َ ِ ِ
2
  َ‫ َك ٰ َذلِك‬  ۚ ‫ َمثَاًۭل‬ ‫بِ ٰهَ َذا‬ ُ ‫ٱهَّلل‬ ‫أَ َرا َد‬ ‫ َما َذٓا‬  َ‫ َو ْٱل ٰ َكفِرُون‬  ٌ‫ض‬ ُ َّ
ۭ ‫ َّم َر‬ ‫قُلوبِ ِهم‬ ‫فِى‬  َ‫ٱل ِذين‬ ‫ َولِيَقُو َل‬  ۙ َ‫ َوٱل ُم ْؤ ِمنُون‬ ‫ب‬
۟ ُ‫أُوت‬  َ‫ٱلَّ ِذين‬ ‫َاب‬
ْ َ َ‫ ْٱل ِك ٰت‬ ‫وا‬ َ ‫يَرْ ت‬  ‫ َواَل‬  ۙ‫إِي ٰ َم ۭنًا‬
‫لِ ْلبَ َش ِر‬ ‫ ِذ ْك َر ٰى‬  ‫إِاَّل‬ ‫ ِه َى‬ ‫ َو َما‬  ۚ‫هُ َو‬  ‫إِاَّل‬ ‫ك‬ َ ِّ‫ َرب‬ ‫ ُجنُو َد‬ ‫يَ ْعلَ ُم‬ ‫ َو َما‬  ۚ‫يَ َشٓا ُء‬ ‫ َمن‬ ‫ َويَ ْه ِدى‬ ‫يَ َشٓا ُء‬ ‫ َمن‬ ُ ‫ٱهَّلل‬  ُّ‫ضل‬
ِ ُ‫ي‬

Artinya : “Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan
tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-
orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan supaya orang
yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan
orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya
ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah
dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah menyesatkan
orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia
sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” ( QS.AL-Mudatsir :
31 )
Mengucapkan dengan lisan
“mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan” maksudnya adalah menyatakan dengan
lisan bahwa dirinya beriman kepada allah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat
yaitu “Asyhaduallah Ilaha Illallah Wa Asyhaduanna Muhammad Rasulullah” yang artinya
( Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah ).
Di riwayatkan Imam Muslim dari abu hurairah Radhiallaahu anhu,ia berkata bahwasanya
Rasulullah salallahu alaihi wasalam bersabda :”Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau
enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan “LA ILAHA ILLALLAHU”
dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan,
sedang rasa malu (juga) salah satu cabang dari iman.”(HR.Muslim)[2]
 Mengamalkan dengan perbuatan
“Mengamalkan dengan perbuatan” maksudnya adalah sesuatu yang di yakininya dalam
hati dan yang di ikrarkannya dengan lisan di implementasikan dengan perbuatan sebagai
bukti bahwa dirinya benar-benar beriman kepada allah. Mengamalkannya dengan ibadah-
ibadah yang di perintahkan allah kepadanya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Allah subhanallahu ta’ala berfirman :

ً ‫َّر ْز‬
‫ِم‬žٌٌِ ‫ق َك ِر ْي‬ َ ِ‫أُوْ لَئ‬, ‫ َِِن‬žَ ْ‫صاَل ةَ َو ِم َّما َرزَ ْقنَا هُ ْم يُ ْنفِقُو‬
ِ ‫ك هُ ُم ْال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ َحقا‌ ً لَهُ ْم د ََر َجاة ِع ْن ِد َربِّ ِه ْم َو َم ْعفِ َرةٌ و‬ َّ ‫اَلَّ ِد ْينَ يُقِ ْي ُموْ نَ ال‬
Artinya : “Orang-orang yang mendirikan sholat dan yang menafkahkan sebagian dari
rezeki yang kami berikan kepada mereka.Itulah orang yang beriman dengan sebenar-
3
benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan
ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
Ulama’ terdahulu yang biasa di kenal saat ini dengan sebutan Ulama’ salaf
menggolongkan amal termasuk dalam kategori pengertian Iman.Oleh sabab itu Ulama’
salaf menganggap dan meyakini bahwa iman dapat bertambah dan berkurang atas sesuatu
yang di lakukannya.
 Bertambah dan berkurangnya iman
Dalam masalah bertambah dan berkurangnya iman dapat di ketahui dari segi amal
perbuatan meskipun hanya terkadang sedikit salah menilainya,kita dapat mengetahui
bertambahnya iman bila seseorang mengerjakan hal-hal yang baik atau menjauhi
perbuatan yang buruk, dan sebaiknya apabila seseorang melakukan perbuatan yang
menentang syari’at atau perbuatan yang dilarang oleh allah maka imannya telah meredup
dan berkurang.
Ulama’ salaf membenarkan tentang adanya bertambah dan berkurangnya iman.dan
mereka menguatkannya dengan dalil-dalil yang telah di sebutkan di atas.
 Rukun-rukun iman
Ada 6 rukun iman yang harus tertanam dan yang kita imani dalam hati. Enam rukun
tersebut adalah yang paling utama dan menjadi inti dari cabang-cabang iman dan
hukumnya wajib kita imani, sebagaimana yang telah di sebutkan dalam Sabda rasulullah
di atas. Adapun enam rukun tersebut ialah :
Pertama : Iman kepada Allah subhanallahu ta’ala
Kedua : Imana kepada malaikat-malaiktNya
Ketiga : Iman kepada kitab-kitabNya
Kempat : Iman kepada rasul-rasulnya
Kelima : Iman kepada hari akhir (Kiamat)
Kenam : Iman kepada Qada’ dan qadar.
2.      ISLAM
Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun menurut
syari’at (terminologi), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:
Pertama: Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka pengertian
Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu’ (cabang), juga seluruh
masalah ‘aqidah, ibadah,  perkataan dan perbuatan.

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:


4
ِ ‫ت هَّللا‬ َ ‫اختَلَفَ الَّ ِذينَ أُوتُوا ا ْل ِكت‬
ِ ‫َاب إِاَّل ِمن بَ ْع ِد َما َج? ا َء ُه ُم ا ْل ِع ْل ُم بَ ْغيً??ا بَ ْينَ ُه ْم ۗ َو َمن يَ ْكفُ? ْ?ر ِبآيَ??ا‬ ْ ِ ‫إِنَّ الدِّينَ ِعن َد هَّللا ِ اإْل‬
ْ ‫ساَل ُم ۗ َو َما‬
‫ب‬ِ ‫س????????????????????????????????????????????????????ا‬ َ ‫س???????????????????????????????????????????????????? ِري ُع ا ْل ِح‬ َ َ ‫فَ????????????????????????????????????????????????????إِنَّ هَّللا‬
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang
telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara
mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat
perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
ِ ‫ساَل ِم ِدينًا فَلَن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوه َُو فِي اآْل ِخ َر ِة ِمنَ ا ْل َخ‬
َ‫اس ِرين‬ ْ ِ ‫وَ َمن يَ ْبت َِغ َغ ْي َر اإْل‬
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia
termasuk orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]
Menurut Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulllah, definisi Islam adalah:
‫سالَ ُم ِهللِ ِبالت َّْو ِح ْي ِد َو ْا ِإل ْنقِيَا ُد لَهُ باِلطَّا َع ِة َوا ْلبَ َرا َءةُ ِمنَ الش ِّْر ِك َوأَ ْهلِ ِه‬ ْ ‫ َ ْا ِإل‬:‫سالَ ُم‬
ْ ِ ‫ست‬ ْ ‫ ْا ِإل‬.
“Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh
kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.”
Kedua: Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang dimaksud
Islam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri dan
hartanya , baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan dengan amal
hati.
Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

ْ َ‫اب آ َمنَّا ۖ قُل لَّ ْم تُؤْ ِمنُوا َو ٰلَ ِكن قُولُوا أ‬


ُ ‫سلَ ْمنَا َولَ َّما يَد ُْخ ِل اإْل ِ ي َمانُ فِي قُلُ??وبِ ُك ْم ۖ َوإِن ت ُِطي ُع??وا هَّللا َ َو َر‬
‫س?ولَهُ اَل يَلِ ْت ُكم‬ ُ ‫ت اأْل َع َْر‬
ِ َ‫قَال‬
َ ‫ِّمنْ أَ ْع َمالِ ُك ْم‬
‫ش ْيئًا ۚ إِنَّ هَّللا َ َغفُو ٌر َّر ِحي ٌم‬
“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka),
‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum
masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.’” [Al-Hujuraat: 14]
Tidak diragukan lagi bahwa prinsip agama Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh
setiap muslim ada tiga, yaitu;
(1) mengenal Allah Azza wa Jalla
(2) mengenal agama Islam beserta dalil-dalilnya
(3) mengenal Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mengenal agama Islam adalah landasan yang kedua dari prinsip agama ini dan padanya
5
terdapat tiga tingkatan, yaitu Islam, Iman dan Ihsan. Setiap tingkatan mempunyai rukun
sebagai berikut:
Islam memiliki lima rukun, yaitu:
1.    Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya
Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan
Allah.
2.    Menegakkan shalat.
3.    Membayar zakat.
4.    Puasa di bulan Ramadhan
5.    Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.

Kelima rukun Islam ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam

َ‫ َوت َُح َّج ا ْلبَيْت‬، َ‫ض??ان‬ ُ َ‫ َوت‬،َ‫ َوتُؤْ تِ َي ال َّزكاَة‬،َ‫صالَة‬


َ ‫ص ْو َم َر َم‬ ُ ‫ش َه َد أَنْ الَ إِلهَ إِالَّ هللاُ َوأَنَّ ُم َح َّمداً َر‬
َّ ‫ َوتُقِ ْي َم ال‬،ِ‫س ْو ُل هللا‬ ْ َ‫سالَ ُم أَنْ ت‬
ْ ‫ْا ِإل‬
َ ‫ستَطَعْتَ إِلَ ْي ِه‬
ً‫سبِ ْيال‬ ْ ‫إِ ِن ا‬.
“Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan
shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah
jika engkau mampu menuju ke sana.
Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :

َ‫ض?ان‬ َ ‫ َو‬،‫ َوإِ ْيتَا ِء ال َّز َكا ِة‬،‫صالَ ِة‬


َ ‫ص? ْو ِم َر َم‬ ُ ‫ش َها َد ِة أَنْ الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ َوأَنَّ ُم َح َّمدًا َر‬
َّ ‫ َوإِقَ ِام ال‬،ِ‫س ْو ُل هللا‬ ٍ ‫سالَ ُم َعلَى َخ ْم‬
َ :‫س‬ ْ ‫بُنِ َي ْا ِإل‬
ِ ‫و َح ِّج ا ْلبَ ْي‬.
‫ت‬ َ
“Islam dibangun atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak
diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menunaikan
haji ke Baitullah.”

3.      IHSAN
Ihsan berasal dari bahasa yang artinya berbuat baik/ kebaikan. Sedangkan menurut istilah
yaitu perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang dengan niat hati beribadah kepada
Allah SWT.
Para ulama menggolongkan Ihsan menjadi 4 bagian yaitu:
1.      Ihsan kepada Allah
6
2.      Ihsan kepada diri sendiri
3.      Ihsan kepada sesama manusia
4.      Ihsan bagi sesama makhluk

Untuk menelusuri ihsan secara mendalam maka terlebih dahulu manusia harus kembali
menyadari posisinya serta mandat yang diberikan Allah SWT kepadanya sebagai khalifah
Allah. Sebagai khalifah, maka hendaknya ia menjadi hamba yang setia sebagaimana
tujuan penciptaannya. Begitu pula tugas di bumi, ia harus memakmurkan bumi ini. Kedua
tugas tersebut tidak boleh diabaikan sebab dapat mencelakakan manusia sendiri. Allah
SWT berfirman; Telah ditimpakan kehinaan (krisis) kepada mereka (manusia) di mana
saja berada, kecuali bagi mereka yang baik hubungannya dengan Allah dan kepada
sesama manusia.
Al - Ghazali mengemukakan bahwa orang yang mau berhubungan langsung dengan Allah
maka harus terlebih dahulu memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia. Untuk
mengenal Allah SWT maka sebelumnya perlu mengenal diri sendiri, karena pada diri
sendiri setiap manusia ada unsur ketuhanan. Sementara cara untuk mengenal diri adalah
dengan mengetahui proses kejadian manusia itu sendiri.
Ihsan memiliki satu rukun yaitu engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seakan
akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu dalam kisah jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Jibril
Alaihissallam ketika ia bertanya tentang ihsan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab:

َ‫أَنْ تَ ْعبُ َد هللاَ َكأَنَّكَ ت ََراهُ فَإِنْ لَ ْم تَ ُكنْ ت ََراهُ فَإِنَّهُ َي َراك‬.

“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka bila engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.”

Tidak ragu lagi, bahwa makna ihsan secara bahasa adalah memperbaiki amal dan
menekuninya, serta mengikhlaskannya. Sedangkan menurut syari’at, pengertian ihsan
sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

َ‫أَنْ تَ ْعبُ َد هللاَ َكأَنَّكَ ت ََراهُ فَإِنْ لَ ْم تَ ُكنْ ت ََراهُ فَإِنَّهُ يَ َراك‬.
7
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu.”

Maksudnya, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan ihsan dengan


memperbaiki lahir dan batin, serta menghadirkan kedekatan Allah Azza wa Jalla, yaitu
bahwasanya seakan-akan Allah berada di hadapannya dan ia melihat-Nya, dan hal itu akan
mengandung konsekuensi rasa takut, cemas, juga pengagungan kepada Allah Azza wa
Jalla, serta mengikhlaskan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan memperbaikinya
dan mencurahkan segenap kemampuan untuk melengkapi dan menyempurnakannya
Tanda-tanda seseorang mukmin menjadi seorang mukhsin yaitu:
1. Selalu mengingat Allah
2. Senang berbuat kebaikan
3. Meninggalkan hal-hal yang tidak berguna
4. Istiqomah

8
BAB II

Islam dan Sains

Perkembangan ilmu pengetahuan saat ini sangatlah maju, sudah banyak dikembangkan
teknologi-teknologi modern disemua aspek kehidupan. Namun dibalik semua itu ternyata
Islam memiliki peran besar didalamnya. Sebelum ilmu pengetahuan tersebut di temukan,
di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan tentang ilmu-ilmu tersebut.
         Dapat diambil contoh dari disiplin ilmiah yang dihasilkan oleh para ilmuwan muslim
di bidang astronomi, yaitu bidang yang berhubungan dengan peredaran benda-benda
langit, para ilmuan melakukan penelitian hingga begitu lama dan mendapatkan jawaban
tentang benda-benda langit, mereka mengatakan bahwa semua peredaran benda-benda
langit dapat dihitung dengan rumus-rumus. Sedangkan hal ini telah diterangkan oleh Allah
S.W.T dalam Al-Qur’an sebelum mereka lahir. “Matahari dan bulan beredar menurut
perhitungan,” (Q.S Ar-Rahman 55 : 5).
Kemudian fungsi langit sebagai atap yang dituliskan dalam Al-Qur’an “(Dialah) yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang
menurunkan air (hujan)dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan)itu buah-buahan
sebagai rezeki untukmn. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan
bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah 2 : 22). Allah S.W.T telah
menjelaskan di dalam ayat diatas tentang langit. Hal ini kemudian diteliti selama bertahun-
tahun oleh ilmuwan dan mereka mendapatkan jawaban serta kesimpulan bahwa langit
melindungi manusia dari terpaan angin matahari (melalui medan magnet bumi), dari sinar
ultraviolet (melalui atmosfer), dari kejatuhan benda angkasa seperti meteor dan batu
angkasa (melalui atmosfer), menahan gas-gas yang diperlukan bagi kehidupan (melalui
gravitasi bumi), serta mempertahankan suhu bumi tetap hangat (melalui efek rumah kaca).
Dari dua kasus diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya dalam Al-Qur’an telah
9
banyak tanda-tanda keilmuan yang dapat digali oleh manusia. Namun, pada saat ini
banyak orang beranggapan bahwa penemuan-penemuan tersebut adalah penemuan-
penemuan baru yang diciptakan oleh para ilmuwan, padahal sebenarnya, itu bukanlah
penemuan baru yang diciptakan oleh manusia, melainkan kekuasaan Allah S.W.T yang
baru ditemukan kemudian dipelajari secara terus-menerus oleh manusia hingga
terpecahkanlah penemuan tersebut.
Dunia Islam yang diterangi oleh cahaya Al-Qur’an pernah mencapai masa keemasan di
bidang sains, teknologi dan filsafat tepatnya dibawah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa
sekitar abad ke-8 sampai ke-15. Masa keemasan itu ditandai oleh berkembangnya tradisi
intelektual dan kuatnya spirit pencarian serta pengembangan ilmu pengetahuan yang
diawali dengan translasi massif atas karya-karya tulis para filsuf Yunani kuno. Dalam
rentang masa keemasan ini, lahirlah para ilmuwan besar dan masyhur, seperti Al-Biruni
(Fisika dan Kedokteran), Jabir ibn Hayyan (Kimia), Al-Khawarizmi (Matematika), Al-
Kindi (Filsafat), Al-Razi (Kimia dan Kedokteran), dan juga Al-Bitruji (Astronomi). Selain
itu, juga ada Ibn Haitsam (Teknik dan Optik), Ibn Sina (Kedokteran), Ibn Rusyd (Filsafat),
dan Ibn Khaldun (Sejarah dan Sosiologi).
Nama-nama tersebut merupakan nama-nama besar yang telah sangat terkenal sejak lama.
Sejarah ilmu pengetahuan terus menguak nama-nama sarjana muslim pada masa
keemasan peradaban Islam. Abu Al-Wafa’ Al-Buzjani yang memiliki nama lengkap Abu
Al-Wafa’ Muhammad ibn Muhammad ibn Yahya ibn Ismail ibn Abbas Al-Buzjani (1.940
M) adalah pencetus rumus sinus, kosinus, sekan kosekan. Sebelum Ibn Haitsam, Dunia
Islam telah memiliki ahli optik pencetus hukum pembiasan cahaya, yaitu Ibn Sahl atau
Abu Sad Al-Ala ibn Sahl (1.940 M, w. 1000 M). Al-Dinawari yang mempunyai nama
lengkap Abu Hanifah Ahmad Ibn Dawud Dinawari lahir pada 828 M di kota Dinawar,
menulis kitab Al-Nabat (Buku Tumbuh-Tumbuhan) yang membahas 637 jenis tanaman,
tahap demi tahap sejak tumbuh hingga mati.
         Ilmuwan Muslim tidak hanya memelopori bidang sains dan kedokteran, tetapi juga
bidang teknik dan rekayasa. Abbas Qasim ibn Firnas atau Ibn Firnas adalah sarjana
pertama yang membuat percobaan penerbangan. Pada tahun 825, Ibn Firnas menggunakan
satu set sayap dari kain yang dibentangkan dengan kayu melompat dari menara Masjid
Agung Cordova. Percobaannya terus diperbaiki dan ia berhasil terbang secara terkendali.
         Syaikh Rais Al-Amal Badi Al-Zaman Abu Al-‘Izz ibn Ismail ibn Al-Razzaz Al-
Jazari adalah sarjana pertama yang mengambangkan robotika pada abad ke-13. Robot

10
pertama Al-Jazari berbentuk perahu dan diapungkan di danau dengan ditumpangi empat
robot pemain musik.
         Para sarjana muslim tersebut menjadi jembatan dan perantara bagi kemajuan ilmu
pengetahuan di dunia modern saat ini. Dari Dunia Islamlah, ilmu pengetahuan mengalami
transmisi, diseminasi, dan proliferasi ke dunia Barat yang mendorong munculnya zaman
pencerahan (Renaisans) di Eropa. Melalui Dunia Islam, Barat mendapat askes untuk
mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan modern. Singkat kata, tanpa peran
sarjana muslim klasik, tidak mungkin disaksikan telepon, mesin fax, televisi, mobil,
komputer, pesawat yang mampu mengengkut jamaah haji dengan cepat, maupun pesawat
ulang-alik Challenger atau Soyuz.
Islam dan Sains Modern
        Sains adalah produk manusia seperti halnya musik, film, lukisan, patung, bangunan
dan banyak lagi lainnya. Begitu mendengar alunan suara musik, seseorang dapat langsung
mengenali apakah ia adalah jenis musik keroncong, dangdut, pop, jaz, rock, klasik atau
lainnya. Demikian pula bila melihat film, lukisan, patung atau bangunan, seseorang juga
dapat segera mengidentifikasi tipe apa objek yang dilihatnya. Bahkan orang dapat
mengenali lebih jauh, misalkan musik pop yang didengarnya kategori menghibur, indah,
dan mendidik atau murahan, sekedar bunyi, cengeng atau seronok.
Secara sederhana sains dapat dikatakan sebagai produk manusia dalam menyibak realitas.
Terkait dengan pengertian ini, sains menjadi tidak tunggal atau dengan kata lain akan ada
lebih dari satu sains, dan sains satu dengan sains yang lain dibedakan pada apa makna
realitas dan cara apa yang dapat diterima untuk mengetahui realitas tersebut.
        Setiap bangunan ilmu pengetahuan atau sains selalu berpijak pada tiga pilar utama,
yakni pilar ontologis, aksiologis dan epistemologis. Dimana ketiga pilar tersebut harus
jelas dibangun dari prinsip tauhid yang tersari dalam kalimat la ilaha illallah  dan
terdeskripsi dalam arkanul iman dan arkanul islam.
Perbedaan 3 pilar sains Islam dan Modern :

 Pilar Ontologis, dalam Sains Islam yakni hal yang menjadi subjek ilmu, Islam harus
menerima realitas material maupun nonmaterial sebagaimana dikatakan dalam Q.S Al-
Haqqah ( 69 : 38-39 )

11
“Maka Aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, dan demi apa yang tidak kamu
lihat.”  (Q.S Al-Haqqah 69 : 38-39)
Hal yang menjadi subjek ilmu adalah makhluk dimana makhluk tidak dibatasi oleh yang
material dan terindra, tetapi juga yang imaterial. Tatanan ciptaan atau makhluk terdiri atas
tiga keadaan fundamental, yaitu keadaan material, psikis dan spiritual. Namun
dalam Sains Modern hanya menerima realitas materi dan pikiran, dan keduanya
dipandang sebagai dua substansi yang sepenuhnya berbeda dan terpisah.                                                        
Ø    Pilar Aksiologis, dalam Sains Islam yakni terkait dengan tujuan dibangun atau
dirumuskannya ilmu pengetahuan. Tujuan utama ilmu pengetahuan Islam adalah
dikenalkannya Sang Pencipta melalui pola-pola ciptaan-Nya, sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S Ali Imran ( 3 : 191 )

“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya
Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha suci Engkau,
lindungilah kami dari azab neraka”.
Namun, dalam Sains Modern, tujuannya telah bergerak menuju deisme. Yakni
kepercayaan bahwa Tuhan memulai alam semesta dan kemudian membiarkannya berjalan.
Hal ini terbukti ketika ilmuwan bernama Leplace membuat buku tentang alam semesta
dan tidak pernah menyebut Sang Pencipta.
  Pilar Epistemologis, yakni pilar terpenting dalam ilmu pengetahuan dimana didalamnya
mencangkup penjelasan serta pertanyaan, bagaimana kita dapat mencapai pengetahuan
tersebut. Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad S.A.W sekaligus
merupakan sumber intelektualitas dan spiritual Islam. Ia merupakan pijakan bukan hanya
bagi agama dan pengetahuan spiritual, melainkan juga semua jenis pengetahuan. Manusia
memiliki fakultas pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat untuk memperoleh

12
pengetahuan. Namun meski demikian, sumber dari segala sumber tidak lain adalah Tuhan
yang maha mengetahui. Salah satu sumber pengetahuan adalah Al-Qur’an. Meski bukan
kitab sains, Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai petunjuk bagi ummat manusia secara
keseluruhan sebagaimana dinyatakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 185

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai


petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda”.
(Q.S. Al-Baqarah 2 : 185)
Dalam ayat tersebut jelas bahwa Al-Qur’an dapat dijadikan kontruksi ilmu pengetahuan.
Namun dalam Sains Modern Al-Qur’an bukanlah apa-apa, bahkan mereka mengabaikan
dan menyangkal segala aspek metafisik, spiritual dan estetis jagat raya. Eddington dan
Whitehead menyatakan dengan tepat bahwa sains modern adalah jenis pengetahuan yang
dipilih secara subjektif karena hanya berurusan dengan aspek-aspek realitas alam semesta
yang dapat dipelajari oleh metode ilmiah.
Sains modern dibangun hanya dengan satu metodologi, yakni metodologi ilmiah yang
didalamnya terkandung unsur logika, observasi dan eksperimentasi. Sehingga ketika
mereka tidak melihat bukti secara nyata, mereka tidak akan menganggapnya ada dan
malah akan menganggap bahwa hal tersebut tidak masuk akal karena tidak dapat
dilogikakan.
        Logika bukanlah khas sains modern. Jauh sebelumnya, para ilmuwan dan filsuf
muslim senantiasa menggunakan logika dan memandangnya sebagai suatu bentuk hikmah,
13
bentuk pengetahuan yang sangat diagungkan Al-Qur’an. Di dalam penggunaan logika di
kalangan sarjana muslim, terdapat istilah burhan, istilah yang menunjukkan metode ilmiah
demonstrasi atau bukti demonstratif. Al-Ghazali menyatakan bahwa istilah mizan  yang
biasa diterjemahkan sebagai timbangan, merujuk antara lain pada logika. Artinya, logika
adalah timbangan yang dengannya manusia menimbang ide-ide dan pendapat-pendapat
untuk sampai pada penilaian yang benar.
        Seperti halnya logika, observasi dan eksperimentasi sudah tersebar luas di kalangan
sarjana muslim jauh sebelum masa. Sejarah ilmu pengetahuan modern sering
menyebutkan bahwa peralihan dari pendekatan metafisis silogistik Aristotelian dalam
tradisi Yunani ke observasi dan eksperimen terjadi pada masa renasains Eropa dan
ditandai oleh Novum Organon (Logika baru) dari Francis Bacon. Penyelidikan yang
cermat dan jujur akan mengakui bahwa observasi dan eksperimen telah menjadi bagian
dari aktivitas yang tak terpisahkan dari para sarjana muslim enam atau tujuh abad
sebelumnya.
        Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa para sarjana muslim klasik bukan hanya
sekedar penerjemah dan penerus tradisi dan pola pemikiran Yunani. Para ilmuwan muslim
juga memberi kontribusi yang signifikan bagi ilmu pengetahuan, yakni observasi dan
eksperimen.
        Dalam tataran ini epistemologi sains Islam adalah epistemologi sains modern plus
atau diperluas, yakni plus penerimaan wahyu sebagai sumber informasi dan plus
metodologi yang tidak tunggal atau kemajemukan metodologi seperti penerimaan
metode ta’wil.
        Metode terakhir ini terkait dengan upaya penyingkapan realitas lebih tinggi, yang
hanya mungkin pikiran tercerahkan oleh cahaya iman dan disentuh oleh keberkatan yang
tumbuh dari wahyu karena ruh ditiupkan kepada yang menginginkannya. Bagi ilmuwan
muslim adalah hal yang niscaya untuk sering berdoa dan meminta pertolongan Tuhan
dalam memecahkan masalah-masalah ilmiah maupun filosofisnya. Karena itu, dapat
dimengerti mengapa penyucian jiwa dipandang sebagai bagian yang terpadu dari
metodologi pengetahuan Islam.

14
BAB III
Islam dan Penegakan Hukum
Penegakan hukum saja tidaklah cukup tanpa tegaknya keadilan. Karena tegaknya keadilan
itu diperlukan guna kestabilan hidup bermasyarakat, hidup berbangsa dan bernegara. Tiap
sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian dari masyarakat bisa
mengakibatkan.
usaknya kestabilan bagi masyarakat keseluruhan, sebab rasa keadilan adalah unsur fitrah
kelahiran seseorang sebagai manusia.
Kepastian hukum akan tercapai jika penegakan hukum itu sejalan dengan undang-undang
yang berlaku dan rasa keadilan masyarakat yang ditopang oleh kebersamaan tiap individu
di depan hukum (equality before the law). Bahwa hukum memandang setiap orang sama,
bukan karena kekuasaan dan bukan pula karena kedudukannya lebih tinggi dari yang lain.
Persamaan setiap manusia sesuai fitrah kejadiannya:
“Manusia itu adalah umat yang satu, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi
kabar gembira dan peringatan dan beserta mereka Dia turunkan kitab dengan membawa
kebenaran, supaya kitab itu memberi keputusan antara manusia tentang apa yang mereka
perselisihkan (QS.2:213).
Penegakan Hukum
Terdapat beberapa faktor yang dapat mendukung tegaknya hukum di suatu Negara antara
lain: Kaidah hukum, Penegak hukum, Fasilitas dan Kesadaran hukum warga Negara.
Dalam pelaksanaannya masih tergantung pada sistem politik Negara yang bersangkutan.
Jika sistem politik Negara itu otoriter maka sangat tergantung penguasa bagaimana kaidah
hukum, penegak hukum dan fasilitas yang ada. Adapun warga Negara ikut saja kehendak
penguasa (lihat synopsis). Pada sistem politik demokratis juga tidak semulus yang kita
bayangkan. Meski warga Negara berdaulat, jika sistem pemerintahannya masih berat pada
eksekutif (Executive heavy) dan birokrasi pemerintahan belum direformasi, birokratnya
masih “kegemukan” dan bermental mumpung, maka penegakan hukum masih mengalami
kepincangan dan kelambanan (kasus “hotel bintang” di Lapas).
15
Hukum dan Keadilan Dalam Islam
Menurut M. Natsir (demokrasi dibawah hukum cet.III, 2002) adalah suatu penegasan, ada
undang-undang yang disebut Sunnatullah yang nyata-nyata berlaku dalam kehidupan
manusia pada umumnya. Perikehidupan manusia hanya dapat berkembang maju dalam
berjama’ah (Society).
Semua anggota masyarakat berkedudukan sama di hadapan hukum. Jadi di hadapan
hukum semuanya sama, mulai dari masyarakat yang paling lemah sampai pimpinan
tertinggi dalam Negara.
“Dan janganlah rasa benci kamu kepada suatu golongan menyebabkan kamu tidak
berlaku adil. Berlaku adilah, karena itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah karena sesungguhnya Allah amat mengetahui apa yang kamu
kerjakan”(QS.5:8).
“Dengarlah dan taatilah sekalipun andaikata yang menjalankan hukum atasmu
seseorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis selama dijalankannya hukum
Allah Swt”. (H.R.Buchori dari Anas).
Hukum Islam di Indonesia pada dekade terakhir sangat menggembirakan dikarenakan
banyak faktor, Menurut Ahmad Azhar Basyir rasa keberagamaan di kalangan kaum
muslim menunjukkan kecenderungan meningkat, sehingga kesadaran akan aktivitas dan
kewajiban melaksanakan ajaran Islam yang diyakini sebagai curahan rahmat kasih sayang
Allah kepada semesta alam pun meningkat pula. Hukum Islam merupakan bagian integral
ajaran Islam yang tidak mungkin bisa dilepas atau dipisahkan dari kehidupan kaum
muslim, atas dasar keyakinan keislamannya. Oleh karenanya, kaum muslim akan
mengalami ketenteraman batin dalam kehidupan beragama, jika hukum Islam menjadi
landasan dan tatanan hidup mereka, yang memperoleh dukungan penuh dari negara,
dengan dikukuhkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini Negara Republik
Indonesia, dengan Pancasila sebagai falsafah dasar negara dan UUD 1945 sebagai dasar
konstitusionalnya, bukan saja hanya dimungkinkan, bahkan merupakan keharusan
konstitusional yuridis. Pengembangan masuknya unsur-unsur hukum Islam dalam
peraturan perundang-undangan dalam rangka pembangunan hukum nasional selalu
terbuka jalannya, sejalan dengan keharusan konstitusional yuridis. Persoalannya adalah
bagaimana caranya agar ketentuan hukum Islam itu dapat dipahami, disadari dan
dirasakan sebagai alternatif yang mendatangkan rahmat bagi seluruh bangsa Indonesia
yang notabene mayoritas menganut agama Islam, yang oleh ajaran agamanya diwajibkan
tunduk kepada hukum Islam.
16
Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksaan hukum (legal
policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang mencakup
bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang
ada di belakang pembuatan dan pengakan hukum itu. Politik hukum Islam merupakan
strategi dalam memperjuangkan hukum Islam dan pelaksanaannya melalui sistem hukum
dan sistem peradilan di kawasan tertentu. Di beberapa kawasan yang paling menonjol
adalah dalam bidang hukum keluarga. Sebab hukum keluarga dirasakan sebagai garda
terdepan dalam pembinaan masyarakat muslim yang diawali dari pembentukan keluarga
sakinah. Pembinaan masyarakat muslim yang paling awal berasal dari keluarga, dengan
asumsi bahwa keluarga yang sejahtera dan berhasil membina seluruh anggotanya akan
memberikan kontibusi kepada kemajuan di tengah masyarakat serta dalam komunitas
yang lebih besar.
Aksioma mengatakan bahwa hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik
tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula. Roscue Pound telah lama
berbicara tentang “law as a tool of social engineering” sebagai keinginan tentu wajar jika
ada upaya untuk meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena
dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungikepentingan
masyarakatnya akan menjadi relevan.
Pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan
karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Philipe Nonet dan Philip Selznick
(1978) pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat tertentu dapat
mempengaruhi pola penegakan hukumnya, dikatakannya bahwa masyarakat yang baru
dilahirkan harus menujukkan dan membuktikan dirinya bisa menguasai keadaan,
menguasai anggotannya dan menciptakan ketertiban sebagai komitmen politiknya yang
utama280. Bahwa keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi produk hukum, untuk
kasus Indonesia, seperti halnya lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kedua
undang-undang tersebut sama-sama lahir pada masa pemerintahan Orde Baru, tetapi
hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan negara dan agama
yang melatar belakangi keduanya berada dalam suasana yang berbeda.
Undang-undang perkawinan lahir dalam keadaan politik konflik dan curiga terhadap umat
Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 lahir ketika hubungan
pemerintah dan umat Islam sedang melakukan saling akomodasi. Tentang periode
hubungan “Islam dan Negara” atau hubungan antara “pemerintah dan umat Islam”, Affan
17
Gaffar menulis bahwa pada awal dasawarsa 1970-an sampai akhir tahun 1980-an
hubungan keduanya adalah saling curiga dan konflik. Sedangkan sejak akhir tahun 1980-
an sampai sekarang saling melakukan akomodasi.
Hukum Islam merupakan bagian integral ajaran Islam yang tidak mungkin bisa dilepaskan
atau dipisahkan dari kehidupan kaum muslim, atas dasar keyakinan keislamannya.
Sehingga kaum muslim akan mengalami ketentraman batin dalam kehidupan beragama.
Hukum Islam menjadi landasan dan tatanan hidup yang memperoleh dukungan penuh dari
negara. Sebagaimana dikukuhkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Beberapa hukum Islam
benar-benar telah diangkat dalam peraturan perundangundangan. Dengan perjuangan
politik konstitusionalisme yang tidak pernah pudar, selama umat Islam ada di bumi
nusantara. Dimana ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang hadir di mana-
mana (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa di mana kehadiran
Islam selalu memberikan panduan moral yang benar bagi tindakan manusia, termasuk
dalam berbangsa dan bernegara.
Implementasi Hukum Islam dalam Politik Konstitusionalisme tercermin dalam bentuk
peraturan perundangan-undangan yang mencerminkan Islam sebagai penyeleksi terhadap
keberadaan peraturan perundang-undangan yang berkembang di Indonesia. Baik di tingkat
legislatif pusat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilah Rakyat Daerah (DPRD). Kekuatan Islam akan selalu memberikan
kontrol terhadap subtansi atau materi peraturan perundang-undangan yang ada, selama
tidak bertentangan dengan nilai serta norma Islam, maka peraturan perundangan tersebut
akan direkomendasi oleh kekuatan Islam, sebaliknya bila ada peraturan perundang-
undangan yang bertentangan dengan syariat Islam, kekuatan Islam akan meluruskan sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran Islam.

18
BAB IV
Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar

Tidak diragukan lagi bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah upaya menciptakan
kemaslahatan umat dan memperbaiki kekeliruan yang ada pada tiap-tiap individunya.
Dengan demikian, segala hal yang bertentangan dengan urusan agama dan merusak
keutuhannya, wajib dihilangkan demi menjaga kesucian para pemeluknya.
Persoalan ini tentu bukan hal yang aneh karena Islam adalah akidah dan syariat yang
meliputi seluruh kebaikan dan menutup segala celah yang berdampak negatif bagi
kehidupan manusia.
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan amal yang paling tinggi karena posisinya sebagai
landasan utama dalam Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara
mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (Ali
Imran: 110)
Jika kita perhatikan dengan saksama, sebenarnya diutusnya para rasul dan diturunkannya
Al-Kitab adalah dalam rangka memerintah dan mewujudkan yang ma’ruf, yaitu tauhid
yang menjadi intinya, kemudian untuk mencegah dan menghilangkan yang mungkar, yaitu
kesyirikan yang menjadi sumbernya.
Jadi, segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala yang disampaikan melalui rasul-Nya
adalah perkara yang ma’ruf. Begitu pula seluruh larangan-Nya adalah perkara yang
mungkar. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar
ini sebagai sifat yang melekat dalam diri nabi-Nya dan kaum mukminin secara
menyeluruh.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
19
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, serta taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa,
Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Siapa pun meyakini bahwa kebaikan manusia dan kehidupannya ada dalam ketaatan
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal
tersebut tidak akan sempurna tercapai melainkan dengan adanya amar ma’ruf nahi
mungkar. Dengan hal inilah umat ini menjadi sebaik-baik umat di tengah-tengah manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali Imran: 110)
Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kewajiban bagi tiap-tiap muslim yang memiliki
kemampuan. Artinya, jika ada sebagian yang melakukannya, yang lainnya terwakili.
Dengan kata lain, hukumnya fardhu kifayah.
Namun, boleh jadi, hukumnya menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak ada
lagi yang menegakkannya. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Amar ma’ruf
nahi mungkar menjadi wajib ‘ain bagi seseorang, terutama jika ia berada di suatu tempat
yang tidak ada seorang pun yang mengenal (ma’ruf dan mungkar) selain dirinya; atau jika
tidak ada yang dapat mencegah yang (mungkar) selain dirinya. Misalnya, saat melihat
anak, istri, atau pembantunya, melakukan kemungkaran atau mengabaikan kebaikan.”
(Syarh Shahih Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah
fardhu kifayah. Namun, terkadang menjadi fardhu ‘ain bagi siapa yang mampu dan tidak
ada pihak lain yang menjalankannya.”
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah mengemukakan hal yang
sama, “Ketika para da’i sedikit jumlahnya, kemungkaran begitu banyak, dan kebodohan
mendominasi, seperti keadaan kita pada hari ini, maka dakwah (mengajak kepada
kebaikan dan menjauhkan umat dari kejelekan) menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang
sesuai dengan kemampuannya.”
Dengan kata lain, kewajibannya terletak pada kemampuan. Dengan demikian, setiap orang
wajib menegakkannya sesuai dengan kemampuan masing-masing. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
20
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta taatlah
dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang siapa dijaga dirinya dari
kekikiran, mereka itulah orang yang beruntung.” (at-Taghabun: 16)
Kemampuan, kekuasaan, dan kewenangan adalah tiga hal yang terkait erat dengan proses
amar ma’ruf nahi mungkar. Yang memiliki kekuasaan tentu saja lebih mampu dibanding
yang lain sehingga kewajiban mereka tidak sama dengan yang selainnya.
Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar tidak wajib bagi tiap-tiap
individu (wajib ‘ain), namun secara hukum menjadi fardhu kifayah. Inilah pendapat yang
dipegangi mayoritas para ulama, seperti al-Imam al-Qurthubi, Abu Bakar al-Jashash, Ibnul
Arabi al-Maliki, Ibnu Taimiyah, dan lain-lain rahimahumullah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫ك أَضْ َعفُ اإْل ِ ي َم‬
‫ان‬ َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬
“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka cegahlah dengan
tangannya. Jika belum mampu, cegahlah dengan lisannya. Jika belum mampu, dengan
hatinya, dan pencegahan dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no.
70 dan lain-lain)
Syarat dan Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar
Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita agar kita beribadah dan menjalankan ketaatan
kepada-Nya sebaik mungkin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(Dialah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2)
Amar ma’ruf nahi mungkar adalah ibadah, ketaatan, dan amal saleh. Karena itu, harus
dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan agar menjadi amalan saleh yang diterima.
Al-Imam Fudhail Ibnu Iyadh rahimahullah mengemukakan bahwa suatu amalan meskipun
benar tidak akan diterima jika tidak ada keikhlasan, begitu pun sebaliknya. Keikhlasan
berarti semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan kebenaran berarti harus
berada di atas sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para penegak amar ma’ruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan dan memenuhi
beberapa syarat berikut.
Syarat pertama: Ilmu dan pemahaman sebelum memerintah dan melarang.
21
Apabila tidak ada ilmu, dapat dipastikan yang ada adalah kebodohan dan kecenderungan
mengikuti hawa nafsu. Padahal siapa saja yang beribadah kepada Allah subhanahu wa
ta’ala tanpa ilmu, maka kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih dominan daripada
kebaikan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar, ilmu yang harus dimiliki meliputi
tiga hal, antara lain: Mengetahui yang ma’ruf dan yang mungkar serta dapat membedakan
antara keduanya; Mengetahui dan memahami keadaan objek yang menjadi sasarannya;
serta mengetahui dan menguasai metode atau langkah yang tepat dan terbaik sesuai
dengan petunjuk jalan yang lurus (ketentuan syariat). Tujuan utamanya adalah supaya
tercapai maksud yang diinginkan dari proses amar ma’ruf nahi mungkar dan tidak
menimbulkan kemungkaran yang lain.
Syarat kedua: Lemah lembut dalam beramar ma’ruf dan bernahi mungkar.
Penyambutan yang baik, penerimaan, dan kepatuhan adalah harapan yang tidak mustahil
apabila proses amar ma’ruf nahi mungkar selalu dihiasi oleh kelembutan.
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan dalam sabdanya:
ِ ‫ْطي َعلَى ْال ُع ْن‬
ُ‫ف َو َما اَل يُ ْع ِطي َعلَى َما ِس َواه‬ ِ ‫ق َويُ ْع ِطي َعلَى الرِّ ْف‬
ِ ‫ق َما اَل يُع‬ َ ‫ق يُ ِحبُّ ال ِّر ْف‬
ٌ ‫إِ َّن هللاَ َرفِي‬
“Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai sikap lemah lembut dalam tiap urusan.
Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepada sikap lemah lembut sesuatu yang
tidak akan diberikan kepada sikap kaku atau kasar dan Allah subhanahu wa ta’ala akan
memberikan apa-apa yang tidak diberikan kepada selainnya.” (HR. Muslim “Fadhlu ar-
Rifq” no. 4697, Abu Dawud “Fi ar-Rifq” no. 4173, Ahmad no. 614, 663, 674, dan 688,
dan ad-Darimi “Bab Fi ar-Rifq” no. 2673)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
ُ‫ع ِم ْن َش ْي ٍء إِاَّل َشانَه‬ َ ‫إِ َّن ال ِّر ْف‬
ُ ‫ق اَل يَ ُكونُ فِي َش ْي ٍء ِإاَّل زَ انَهُ َواَل يُ ْن َز‬
“Tidaklah sikap lemah lembut itu ada dalam sesuatu, melainkan akan menghiasinya, dan
tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut dari sesuatu, melainkan akan menghinakannya.”
(HR. Muslim no. 4698, Abu Dawud no. 2119, dan Ahmad no. 23171, 23664, 23791)
Al-Imam Sufyan ibnu Uyainah rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh beramar ma’ruf
dan bernahi mungkar selain orang yang memiliki tiga sifat: lemah lembut, bersikap adil
(proporsional), dan berilmu yang baik.”
Termasuk sikap lemah lembut apabila senantiasa memerhatikan kehormatan dan perasaan
manusia. Oleh karena itu, dalam beramar ma’ruf nahi mungkar hendaknya
mengedepankan kelembutan dan tidak menyebarluaskan aib atau kejelekan. Kecuali,
mereka yang cenderung senang dan bangga untuk menampakkan aibnya sendiri dengan
22
melakukan kemungkaran dan kemaksiatan secara terang-terangan. Sebab itu, tidak
mengapa untuk mencegahnya dengan cara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Siapa yang menasihati saudaranya dengan
sembunyi-sembunyi, sungguh ia benar-benar telah menasihatinya dan menghiasinya.
Siapa yang menasihati saudaranya dengan terang-terangan (di depan khalayak umum),
sungguh ia telah mencemarkannya dan menghinakannya.” (Syarh Shahih Muslim)
Syarat ketiga: Tenang dan sabar menghadapi kemungkinan adanya gangguan setelah
beramar ma’ruf nahi mungkar.
Gangguan seolah-olah menjadi suatu kemestian bagi para penegak amar ma’ruf nahi
mungkar. Oleh karena itu, jika tidak memiliki ketenangan dan kesabaran, tentu kerusakan
yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada kebaikan yang diinginkan.
Al-Imam ar-Razi rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang beramar ma’ruf nahi
mungkar itu akan mendapat gangguan, maka urusannya adalah bersabar.
Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengemukakan bahwa para rasul adalah
pemimpin bagi para penegak amar ma’ruf nahi mungkar. Allah subhanahu wa ta’ala telah
memerintah mereka semua agar bersabar, seperti firman-Nya:
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang
memiliki keteguhan hati, dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk
mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, merasa seolah-olah tinggal (di
dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada
yang dibinasakan, selain kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala).”
(al-Ahqaf: 35)
“Dan karena Rabbmu, bersabarlah!” (al-Mudatstsir: 7)
“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Rabbmu, karena sesungguhnya
engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu ketika
engkau bangun.” (at-Thur: 48)
Allah subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan wasiat Luqman kepada putranya dalam
firman-Nya:
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu,
sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Luqman: 17)
Seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya sebagai
penyampai kebenaran. Padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan kebenaran. Oleh
karena itu, ia pasti akan mendapat gangguan, dan itu menjadi cobaan serta ujian baginya.
23
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan,
‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-
orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti
mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-‘Ankabut: 2—3).

HUKUM AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR


Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur’an dan As-
Sunnah serta Ijma’ para Ulama. Dalil Al Qur’an Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. ‫َو ْلتَ ُكن‬
ِ ‫“ ِّمن ُك ْم أُ َّمةُُ يَ ْد ُعونَ إِلَى ْال َخي ِْر َويَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬Dan hendaklah ada
َ ِ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُمن َك ِر َوأُوْ الَئ‬
َ‫ون‬žž‫ك هُ ُم ْال ُم ْفلِ ُح‬
di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung“.
[Al-Imran/3:104]. Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,”Maksud dari ayat ini,
hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan perkata ini”[2] Dan firman-Nya. ‫ُكنتُ ْم‬
ِ ž‫وْ نَ ع َِن ْال ُمن َك‬žžَ‫ُوف َوتَ ْنه‬
ِ‫ونَ بِاهلل‬žžُ‫ر َوتُ ْؤ ِمن‬ž ْ َ‫أْ ُمرُون‬žžَ‫اس ت‬
ِ ‫بِال َم ْعر‬ ْ ‫ ِر َج‬ž‫ َر أُ َّم ٍة أُ ْخ‬ž‫“ َخ ْي‬Kamu adalah umat yang
ِ َّ‫ت لِلن‬
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari
yang mungkar, dan beriman kepada Allah“. [Al-Imran/3 :110]. Umar bin Khathab berkata
ketika memahami ayat ini,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk
umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”[3] Dalil Sunnah Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم‬
ِ ‫“ يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذلِكَ أَضْ َعفُ ا ِإلي َم‬Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah
‫ان‬
dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka
dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman“. [HR Muslim]. Sedangkan Ijma’ kaum
muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya: Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau
berkata, “Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar,
tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”[4] Abu Bakr al- Jashshash, beliau
berkata,”Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan kewajiban amar ma’ruf nahi
mungkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur’an, lalu dijelaskan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah
berkonsensus atas kewajibannya”[5] An-Nawawi berkata,”telah banyak dalil-dalil Al
Qur’an dan Sunnah serta Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi
mungkar”[6] Asy-Syaukaniy berkata,”Amar ma’ruf nahi mungkar termasuk kewajiban,
pokok serta rukun syari’at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan
24
tegak kejayaannya”. Jelaslah kewajiban umat ini untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.

BAB V

Fitnah Akhir Zaman

Fitnah merupakan kata serapan dari Bahasa Arab yang artinya cobaan, atau ujian1 .
Berasal dari kata fa-ta-na yang berarti membakar. Dalam kitab al-Ta’rifat Abi al-Hasan
al-Jarjani mendefinisikan fitnah sebagai sesuatu yang dapat menjelaskan pribadi manusia,
apakah ia baik atau jahat. Sebagaimana dijelaskan ketika membakar emas, niscaya akan
mengetahui emas itu asli atau palsu. Di dalam kamus Bahasa Arab Hibbany fitnah
disebutkan dalam beberapa makna seperti kesesatan, kekufuran, keelokan yang memikat
hati, batu ujian, cobaan, aib, noda, dan kegilaan. Sedang dalam Kamus al-Munawwir
disebutkan makna ftnah yaitu memikat, menggoda, membujuk, menyesatkan, gila,
menyimpang dan masih banyak kata yang mempunyai padanan makna fitnah lainnya.
Hal yang senada diungkapkan pula oleh Abdul Mudjib bahwa fitnah merupakan aktivitas
menyebarkan berita tanpa kebenaran, yang pada hakikatnya bertujuan untuk merugikan
orang lain. Artinya, di Indonesia makna fitnah menjadi implisit mengikat dan lebih sempit.
padahal makna fitnah lebih umum daripada itu. Hal ini Allah sebutkan langsung dalam
QS. Al-Anfaal(8) : 28 ْ
‫ج ٌر َع ِظيٌن َ َ ٍُد أ َّى ََّّلالَ ِ ٌْع َ َّأ ٌَةٌ ّْْ ّ?الُد ُ ْكن فِتْ َ ُ ُ ْكن َّأ ْ َْهال َ َوا أَ ّ?ًًَّ َ ُْوا أ َّا ْع َل‬
Dan ketahuilah bahwa hartamu anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Alah ada pahala yang besar.
Jika memandang kepada al-Quran, Allah menjadikan harta dan anak-anak sebagai bagian
dari nikmat yang Ia beri, oleh sebab itu keduanya bisa memberikan efek terlena, dan
menjadi ujian kehidupan. Ibnu Katsir menambahkan bahwa Allah menganugerahkan
keduanya, untuk mengetahui apakah hambanya akan bersyukur dan menjadikannya
semakin patuh dan taat kepada-Nya, atau sebaliknya. Kemudian al-Zamakhsyari juga
25
menafsirkan dalam tafsir al-Kasyaf, harta dan juga keturunan adalah sebagai fitnah, karena
dua hal ini merupakan sebab seseorang jatuh ke dalam jurang fitnah, yaitu dosa dan siksa.
Selain itu pula Zamakhsyari menjelaskan keduanya adalah ujian dari Allah untuk
mengetahui dan menguji kualitas iman seseorang, apakah akan terus menjaga keduanya
atau malah sebaliknya.
Dari hal ini fitnah kemudian tidak hanya berkonotasi negatif. Pada dasarnya masyarakat
hanya mengenal istilah yang dipakai pada umumnya. Oleh karena itu pemikiran seperti ini
sudah seharusnya diluruskan, karena masih banyak di antara masyarakat awwam yang
mengartikan fitnah sebagai tuduhan, seperti halnya ketika ada seseorang yang
menyampaikan kabar yang tidak benar mengenai seorang yang lain, maka hal inilah yang
difahami sebagai fitnah. Peristiwa seperti ini pernah terjadi pada zaman Rosul, yaitu
musibah yang pernah menimpa Aisyah ra., fitnah ini bermula dari Abdullah bin Ubay bin
Salul, yang mengatakan bahwa Aisyah telah berzina dengan Shafwan ibn Mu‟attal
sewaktu tertinggal oleh rombongan dari peperangan Bani Mustalliq. Kabar ini kemudian
menyebar ke seluruh kota Madinah dan tidak sedikit dari kaum Mukminin yang
membenarkan tanpa mencari tau fakta yang sebenarnya terjadi. Hal seperti ini yang
kemudian menjadi lumrah difahami masyarakat. Padahal dalam perkembangan literatur
sejarah, term fitnah sudah digunakan sejak masa khulafaurrasyidin yaitu Pembunuhan
khalifah Utsman bin Affan, pada peristiwa fitnah al-Akbar (fitnah besar) pertama.
Kemudian tidak berhenti di situ fitnah besar dikalangan sahabat terjadi kembali antara
Muawwiyah dan khalifah Ali bin Abi Thalib, setelah terjadinya tahkim.
Dari beberapa penjelasan di atas, makna fitnah ternyata kian kompleks, dan sedikit ada
perbedaan sesuai dengan konteks yang terjadi. Maka dari itu alQuran menyebutkan kata
fitnah yang sangat banyak dan dengan konteks yang berbeda, Selain harta dan anak, al-
Qur’a@n juga menyebut dosa syirik dan kekufuran sebagai fitnah hal ini tercantum dalam
QS. Al-Baqarah(2) : 193
ْ
َ‫ت ْْا فَ َل ُع ْد َّا َى اِ ِ فَا ِء ٍى ْاً َّتَ ُكْ َى ال ِّدي ُي ِّلِ َّل ٌَةٌ ْن َحتَّى ا َل تَ ُكْْ َى فِتْ ُُْ ُ ا ِل ِوي َي َّقَاتِل‬
َِ ََِ? ‫علَى الظَّ ّا َل‬
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu
hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orangorang yang zalim.
Menurut hadis yang menjelaskan ayat tersebut, yang dimaksud adalah syirik dan
kekufuran. Di beberapa hadis lain yang disebutkan rasul di antaranya adalah :
“bersegeralah kamu beramal shaleh sebelum menemui fitnah (ujian berat terhadap iman)
seumpama panjangnya waktu malam yang sangat gelap. Seseorang yang masih beriman
26
di waktu pagi, kemudian di waktu petang dia sudah menjadi kafir,atau seseorang yang
diwaktu petang masih dalam keadaan beriman, kemudian pagi harinya dia sudah menjadi
kafir. Ia telah menjual agama dengan sedikit perhiasan duniawi.
Hadis di atas ternyata sesuai dengan konteks masyarakat saat ini, di mana banyak orang
berbondong-bondong memperebutkan duniawi seperti beras, sembako, makanan,
minuman tapi dengan syarat harus keluar dari agama. Hal ini sesuai dengan hadis di atas,
karena banyak orang yang kemudian menjual keimanannya hanya karena urusan duniawi.
Padahal semua itu adalah fitnah. Jika manusia sadar dan faham makna fitnah tidak hanya
sebatas tuduhan, mungkin hal seperti ini akan bisa diminimalisir. Oleh karena itu kajian
mengenai makna fitnah yang sebenarnya perlu diperdalam kembali. Al-Quran menyebut
kata fitnah di 24 surat yang berbeda seperti alBaqarah, Ali Imran, al-An’Am, al-A’raf, al-
Nisa, al-Maidah, al-AnfaL, al-Taubah, al-Isra, Thaha, al-Anbiya, al-Hajj, al-Nur, al-
Furqan, al-Ankabut, al-Ahzab, al-Saffat, al-Zumar, al-Zariyat, al-Qomar, al-Hadid, al-
Mumtahanah, al-Tagabun, dan al-Mudasir. Beberapa ulama di Indonesia seperti M.
Quraisy Shihab menafsirkan kata fitnah lebih umum dari biasanya, di dalam tafsirnya
dikatakan bahwa bencana alam seperti sunami, gempa, longsor dan bencana lain yang
menimpa suatu daerah merupakan fitnah karena jika didefinisikan sebagai musibah maka
hal ini kurang tepat, lebih lanjut Quraisy Shihab menafsirkan bahwa musibah terjadi
karena adanya kesalahan manusia. Sedangkan bencana alam menimpa siapapun baik yang
bersalah maupun tidak. Selanjutnya, banyak mufassir Indonesia yang juga menafsirkan
term fitnah ini. Salah satunya adalah Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka),
Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan berkebangsaan Indonesia, yang aktif
menulis dan menghasilkan banyak karya. Al-Azhar adalah salah satu karya tafsirnya yang
terkenal sangat monumental karena dipandang sebagai tafsir yang luas akan ilmu
pengetahuan, wajar saja tafsir ini sering disebut tafsir terbaik pada masanya, 19 karena
Hamka menafsirkan suatu ayat dari berbagai sudut pandang baik keagamaan maupun non
keagamaan. Selain dari pada karya tafsir, Hamka juga terkenal dengan banyak karya sastra
lainnya, sama halnya dengan Sayyid Quthb yang juga seorang ulama dan sastrawan, wajar
saja kalau Hamka banyak mengutip dan menjadikan Sayyid Quthb (dalam tafsir Fi Zilal
al-Qur’an) sebagai referensinya dalam menyusun tafsir al-Azhar. Kedua tokoh ini
memiliki kesamaan baik pada latar belakang penulis, maupun pada karya tafsirnya. Oleh
karena itu, maka penulis tertarik untuk meneliti perbandingan antara tafsir al-Azhar yang
bernuansa Nusantara dengan tafsir Fi Zilal al-Qur’an yang bernuansa timur tengah. Dari
perbedaan tersebut maka akan dapat ditemukan perbedaaan dari segi penafsiran, di mana
27
Hamka adalah sebagai tokoh yang mewakili Indonesia, yang memaknai kata fitnah dengan
lebih khusus, sedangkan Sayyid Quthb lebih fleksibel dan memiliki ideologi khusus dalam
penafsirannya.

SIMPULAN

Islam merupakan ajaran yang memberikan petunjuk hidup manusia sepanjang masa dan di
mana pun. Fungsi ajaran Islam tersebut menempatkan Islam sebagai agama yang relevan
bagi siapa pun, di mana pun berada dan kapan saja. Pertanyaan yang timbul adalah;
bagaimana ajaran Islam bersumber pada wahyu al-Qur’an yang diturunkan 15 abad yang
lalu tetap relevan dengan kehidupan manusia yang bersifat dinamis? Wahyu adalah ajaran
Islam yang normatif yang bersifat mutlak dan abadi, sedang kehidupan manusia bersifat
relatif dan terikat dengan waktu dan lokasi. Untuk dapat mendekatkan kehidupan manusia
yang relatif kepada wahyu yang mutlak diperlukan penelitian dan pengkajian terhadap
Islam. penelitian Islam tidak berarti mempertanyakan keberadaan wahyu sebagai sumber
ajaran Islam, melainkan mengkaji pemahaman terhadap Islam dan fenomena yang terjadi
dari agama Islam itu yang senantiasa berkembang.
Islam sebagai ajaran (wahyu) memang bersifat normatif yang memiliki kebenaran
universal dan mutlak, namun ketika ajaran-ajaran Islam yang normatif tersebut
berinteraksi dengan konteks zaman (sejarah) dan pemahaman manusia, maka Islam
memuat aspek yang bersifat relatif dan temporal. Karena itu, terjadi perbedaan antara
ajaran yang terkandung di dalam teks (naskah) dengan pemahaman manusia terhadap
naskah maupun manifestasinya dalam konteks historis, atau antara das sein dan das sollen.
Perbedaan ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk, baik dari konteks zaman (waktu)
maupun tempat.

28
DAFTAR PUSTAKA
https://muslim.or.id/425-islam-iman-ihsan.html
https://republika.co.id/berita/qcjm5u366/islam-iman-dan-ihsan-tak-bisa-dipisahkan
https://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/intelektual/article/download/811/606
https://core.ac.uk/download/pdf/327227879.pdf
https://bkmattaqwa.uma.ac.id/2019/10/16/nikmat-islam-iman-dan-ihsan-dalam-beribadah-
kepada-allah-subahanahu-wa-taala/
https://akademisi12.blogspot.com/2016/06/makalah-imanislam-dan-ihsan.html
https://jurnalilmiyah.blogspot.com/2018/03/islam-dan-sains-modern.html
https://sumsel.kemenag.go.id/files/sumsel/file/dokumen/peradabanislam.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/37120-ID-hubungan-sains-dan-agama-
rekonstruksi-citra-islam-di-tengah-ortodoksi-dan-perkem.pdf
https://www.jurnalfai-uikabogor.org/index.php/mizan/article/download/122/38
https://core.ac.uk/download/pdf/34212332.pdf
https://asysyariah.com/kewajiban-amar-maruf-nahi-mungkar-2/
http://kambing.ui.ac.id/onnopurbo/library/library-
islam/knowledge/AmarMa'ruf_NahiMunkar.pdf
https://almanhaj.or.id/7735-hukum-amar-maruf-nahi-mungkar.html
http://digilib.uinsgd.ac.id/20510/4/4_bab1.pdf

29

Anda mungkin juga menyukai