Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Pola pikir manusia dari tahun ke tahun terus berkembang. Hal ini terwujud

dalam berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang pada dasarnya bertujuan untuk

meningkatkan taraf dan kualitas hidup manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu

dan teknologi mempengaruhi perkembangan ilmu kedokteran dan profesi

kedokteran.

Kemajuan tersebut selain menyebabkan peningkatan kualitas profesi

kedokteran, juga menyebabkan timbulnya aneka ragam permasalahan, antara lain

mahalnya pelayanan medik. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi terjadi

pula perubahan tata nilai dalam masyarakat, misalnya hal-hal yang dulu dianggap

wajar, dewasa ini dikatakan tidak wajar ataupun sebaliknya.

Masyarakat pun semakin kritis dalam memandang maalah yang ada,

termasuk pelayanan yang diberikan di bidang kesehatan. Masyarakat kini

menuntut agar seorang dokter atau suatu instansi kesehatan memberikan

pelayanan kesehatan yang lebih baik. Tidak jarang masyarakat merasa tidak puas

atas pelayanan kesehatan yang ada dan tidak tertutup kemungkinan seorang dokter

akan di tuntut di pengadilan.

Untuk menghindari hal-hal diatas, jelaslah bahwa profesi kedokteran

membutuhkan pedoman sikap dan perilaku tang harus dimiliki oleh seorang

dokter. Pedoman yang demikian dikenal dengan nama Kode Etik Kedokteran.

Untuk menjalankan dan mengamalkan kode etik tersebut seorang dokter juga

harus sudah dibekali dengan wawasan keagamaan yang kuat karena dalam ilmu

1
agama sudah tercakup pengetahuan mengenai moral dan akhlak yang baik antara

sesama manusia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lafal Sumpah Kedokteran Indonesia

Dalam Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran ke-2 di Jakarta

Desember 1981 oleh Departemen Kesehatan telah menyempurnakan Lafal

Sumpah Kedokteran Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

Demi Allah saya bersumpah/berjanji, bahwa:

1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan

perikemanusiaan.

2. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi

luhur jabatan kedokteran.

3. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan

bersusila, sesuai dengan martabat pejerjaan saya sebagai dokter.

4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan

kepentingan masyarakat.

5. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena

pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter.

6. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya

untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan,

sekalipun diancam.

7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.

3
8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak

terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan

kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam

menunaikan kewajiban terhadap penderita.

9. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat

pembuahan.

10. Saya akan memberikan kepada guru-guru dan bekas guru-guru saya

penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.

11. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya

sendiri ingin diperlakukan.

12. Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran

Indonesia.

13. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan kehormatan diri saya.

3.1 Kode Etik Kedokteran

Kep.Menkes RI 23 Oktober 1969 dan Kep.Menkes RI No.

434/Menkes/SK/X/1983 tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode

etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar pemandu sikap

dan perilaku. Dalam hal etik kedokteran, kode etik menyangkut dua hal

yang harus diperhatikan yaitu :

1. Etik jabatan kedokteran (medical ethis)

2. Etik asuhan kedokteran (ethics of medical care)

4
Etik jabatan kedokteran menyangkut permasalahan yang berkaitan

dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya serta

terhadap masyarakat dan pemerintahan. Sedangkan etik asuhan kedokteran

merupakan etik kedokteran untuk kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai

sikap dan tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi

tanggung jawabnya.

Kode Etik Kedokteran Menteri Kesehatan RI NO. 434

(Menkes/SK/X/1983) dan disusun dengan mempertimbangkan

International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan

landasan struktural UUD 1945. KODEKI ini mengatur hubungan antar

manusia yang mencakup kewajiban umum seorang dokter, hubungan

dokter terhadap pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya, dan

kewajiban dokter terhadap diri sendiri.

3.1.1 Hubungan Dokter dengan Pasien

Dalam hubungannya dengan malapraktik, unsur hubungan

dokter/pasien sangat penting (kode etik pasal 10, 11, 12, 13, 14) hubungan

dokter/pasien yang baik hanya dapat dicapai apabila masing-masing pihak

benar-benar menyadari hak dan kewajibannya, serta memahami peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Setiap tindakan medis memerlukan persetujuan antara dokter

dengan pasien. Persetujuan tindakan medis tersebut memerlukan

(Informed Consent) merupakan pernyataan persetujuan (consent) atau izin

5
dari pasien. Dalam penerapannya terdapat jenis-jenis persetujuan tindakan

medis yaitu :

 Informed Consent: Pernyataan persetujuan (consent) atau izin dari

pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan

(voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan

terhadapnya sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang

tindakan kedokteran yang dimaksud.

 Expressed Consent: Informed consent yang dinyatakan secara

eksplisit, baik itu dalam bentuk tertulis (written consent/tanda

tangan persetujuan) maupun dalam bentuk lisan (oral consent).

 Implied Consent: Informed consent yang diberikan secara implisit

(tersirat) oleh pasien dengan menarik kesimpulan dari sikap pasien

yang menyatakan persetujuan.

 Presumed Consnet: Informed consent yang diberikan secara

implisit dengan menarik kesimpulan dari sikap pasien yang tidak

melakukan penolakan. Pasien yang tidak menyampaikan penolakan

dianggap setuju dengan prosedur, karena prosedur tersebut

merupakan general knowledge. Contoh pasien yang datang ke IGD

karena luka di kaki lalu lukanya dibersihkan. Dianggap bahwa

pasien yang datang ke IGD pasti ingin dibersihkan lukanya. Dalam

hal ini, pasien tidak memberikan persetujuan secara eksplisit,

maupun tidak ada sikap setuju seperti mengangguk. Pasien juga

tidak memberikan penolakan, dengan demikian dianggap

6
pembersihan luka tersebut disetujui oleh pasien melalui presumed

consent.

Selain persetujuan adapula penolakan tindakan medis dari pasien

ke dokter dengan syarat bahwa dokter yang mengobati sudah menjelaskan

informasi tindakan medis yang diindikasikan. Hal ini yang disebut dengan

informed refusal.

Penolakan tindakan medis karena hakikatnya adalah hak asasi

seorang untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya.

Penolakan dinyatakan oleh pasien (refusal) setelah pasien diinformasikan

tentang resiko tindakan dan konsekuensi (informed). Penolakan tindakan

medis harus bersifat eksplisit tertulis (written) karena dalam hal terjadi

efek samping/komplikasi akibat tindakan medis tersebut (yang dinilai

dokter tersebut perlu dilakukan) tidak dilakukan atas kehendak pasien.

Apabila tindakan medis dilakukan tanpa persetujuan pasien maka

dapat dikenakan sanki-sanksi sebagai berikut:

1. Sanksi etik, mulai dari teguran lisan sampai dengan rekomendasi

pencabutan surat ijin praktik.

2. Sanksi administratif, dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis sampai

dengan pencabutan surat ijin praktik.

3. Sanksi disiplin, dapat berupa teguran lisan, tertulis, rekomendasi

pencabutan surat ijin praktik dan atau kewajiban mengikuti pendidikan

atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran.

4. Sanksi Perdata

7
Suatu tindakan medik terhadap seorang pasien tanpa memperoleh

persetujuan dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai

penyerangan atas hak orang lain atau perbuatan melanggar hukum.

Dalam hal ini dokter dapat menerima sanksi sebagaimana diungkapkan

dalam ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada

orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut’.

5. Sanksi Pidana

Suatu tindakan medik yang dilakukan oleh dokter tanpa persetujuan

pasien dapat dianggap melanggar peraturan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana pasal 351 mengenai penganiayaan. Menyentuh atau

melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat

dikategorikan sebagai “penyerangan” (assault).

3.1.2 Hubungan Dokter dengan Teman Sejawat

Etik kedokteran mengharuskan kepada setiap dokter untuk

memelihara hubungan baik dengan teman sejawat sesuai dengan makna

suatu kalimat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 15: “Saya akan

memperlakukan teman sejawat saya, sebagaimana saya sendiri ingin

diperlakukan”. Pasal lain adalah Pasal 16: “Setiap dokter tidak boleh

mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa persetujuannya”.

Terjadinya hubungan baik antara teman sejawat membawa manfaat pasien.

8
3.1.3 Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri

Setiap dokter berkewajiban memelihara kesehatannya supaya dapat

bekerja dengan baik (Pasal 20 KODEKI). Dan hendaklah senantiasa

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan mengikuti pendidikan

dokter berkelanjutan (Continuing Medical Edication). Berikut isi pasal-

pasal KODEKI:

a. Pasal 1: Setiap dokter wajib menjunjung tinggi dan menghayati

sumpah dokter.

b. Pasal 2: Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan

keputusan secara profesional.

c. Pasal 3: Seorang dokter tidak boleh dipengaruhi sesuatu yang

menghilangkan kebebasan dan kemandirian profesi.

d. Pasal 4: Seorang dokter wajib menghindarkan perbuatan yang

memuji diri.

e. Pasal 5: Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin

melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh

persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk

kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.

f. Pasal 6: Setiap dokter wajib berhati-hati dalam mengumumkan atau

menerapkan penemuan/pengobatan baru yang belum diuji

kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan

keresahan masyarakat.

9
g. Pasal 7: Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan

pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.

h. Pasal 8: Seorang dokter wajib dalam setiap praktik medisnya

memberikan pelayanan secara kompeten disertai kasih sayang.

i. Pasal 9: Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan

dengan pasien dan sejawatnya.

j. Pasal 10: Seorang dokter wajib menghormati hak pasien, teman

sejawatnya, tenaga kesehatan lain.

k. Pasal 11: Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya

melindungi hidup makhluk insani.

l. Pasal 12: Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib

memperhatikan keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (aspek

promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif) baik fisik maupun psiko-

sosial-kultural pasiennya.

m. Pasal 13: Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat lintas

sektoral di bidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib

saling menghormati.

n. Pasal 14: Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan

mempergunakan seluruh keilmuan dan keterampilannya untuk

kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu

pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia

wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian itu.

10
o. Pasal 15: Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasien

berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya, termasuk dalam

beribadah.

p. Pasal 16: Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang

diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu

meninggal.

q. Pasal 17: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai

suatu wujud tugas perikemanusiaan.

r. Pasal 18: Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya

sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

s. Pasal 19: Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman

sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan

prosedur yang etis.

t. Pasal 20: Setiap dokter wajib memelihara kesehatannya, supaya dapat

bekerja dengan baik.

u. Pasal 21: Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

3.1.4 Hubungan Dokter dengan Masyarakat

Dalam menjalankan profesi kedokteran harus berdasarkan pada

Principles-Based Ethicsa Prima Facie yang dikemukakan oleh

T.Beauchamp & Childress (1994) & Veatch (1989). Prima Facie terdiri

atas :

11
a. Benefience: prinsip berbuat baik

Pengertian dari benefience adalah prinsip di mana seorang dokter

melakukan suatu tindakan untuk kepentingan pasiennya, di mana

dokter memilih terapi yang paling baik dalam standar medis

terbaik.

b. Non-malefceance: prinsip tidak merugikan

Hal yang paling utama yakni dokter mengutamakan prinsip first,

do no harm. Dokter tidak melakukan tindakan yang membuat

pasien semakin memburuk. Interpretasi lain seperti dokter

melakukan tindakan penyelamatan nyawa (life-saving), seperti

operasi cito.

c. Autonomy: prinsip menghormati otonomi untuk melakukan atau

memutuskan apa yang dikehendaki terhadap dirinya sendiri.

Dokter menghormati harkat dan martabat manusia, terutama dalam

hak menentukan keputusannya sendiri. Pasien diberi hak untuk

mempertimbangkan dan berpikir secara logis, dan dokter

menghargai keputusan yang dibuat oleh pasien terhadap dirinya

sendiri.

d. Justice: prinsip keadilan

Justice memiliki pengertian tindakan yang memegang prinsip sama

rata, tidak membeda-bedakan pasien dalam status apapun. “Pasien

dalam keadaan yang sama, seharusnya mendapat perlakuan yang

12
sama”. Dokter menjungjung tinggi hukum dan menghormati hak

masyarakat.

3.1.5 Perikatan Dokter-Pasien

Perikatan dokter-pasien dapat berjalan baik karena adanya undang-

undang maupun karena perjanjian.

 Dalam situasi normal perikatan antara dokter dengan pasien

bersumber pada perjanjian.

 Kedatangan pasien ke tempat praktik dokter atau ke RS menunjukkan

adanya kehendak si pasien untuk mengadakan perikatan.

 Penerimaan oleh pihak dokter/RS menunjukkan adanya kesediaan

untuk mengadakan perikatan.

 Tindakan medis yang kemudian dilakukan menunjukkan bahwa

perikatan benar-benar telah terjadi.

3.1.6 Jenis-jenis Perikatan

Perikatan antara dokter dan pasien bisa berbentuk resultaats

verbintenis ataupun berbentuk inspanning verbintenis.

I. Resultaat verbintenis adalah perikatan yang didasarkan pada hasil

kerja (outcome) tertentu. Dalam perikatan ini, dokter dianggap telah

memenuhi perikatan apabila hasil kerja (outcome) yang dijanjikan

kepada si pasien telah dipenuhi.

II. Inspanning verbintenis adalah perikatan yang didasarkan pada usaha

yang sungguh-sungguh. Dalam perikatan ini, dokter dianggap telah

memenuhi perikatan apabila ia telah berupaya dengan sungguh-

13
sungguh untuk mengobati si pasien. Obyek perikatan adalah berupa

usaha sungguh-sungguh untuk kesembuhan pasien. Hubungan

perikatan ini sering disebut dengan istilah transaksi terapeutik.

3.1.7 Hak dan Kewajiban Dokter dan pasien

Hak dan Kewajiban Pasien :

I. Hak-Hak Pasien

 Hak pasien atas perawatan

 Hak untuk menolak cara perawatan tertentu

 Hak untuk memilih dokter yang merawat

 Hak atas informasi

 Hak untuk menolak perawatan tanpa izin

 Hak atas rasa aman

 Hak untuk mengakhiri perawatan

 Meminta pendapat dokter lain

 Mendapatkan isi rekam medis

2. Kewajiban Pasien

 Memberikan informasi secara lengkap dan jujur tentang

kesehatannya

 Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter

 Mematuhi ketentuan yang berlaku

 Memberikan imbalan jasa

Hak dan Kewajiban Dokter :

14
1. Hak-Hak Dokter

 Memperoleh perlindungan hukum

 Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan

prosedur operasional

 Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau

keluarganya

 Menerima imbalan jasa

2. Kewajiban Dokter

 Memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan SOP

 Merujuk pasien bila tidak mampu

 Menjaga rahasia pasien

 Melakukan pertolongan darurat

 Menambah dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran

4.1 Rekam Medis

Dalam peraturan Menteri Kesehatan Nomor

749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam Medis. Dalam penjelasan pasal

46 ayat (1) UU praktik kedokteran yang dimaksud dengan rekam medis

adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,

pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah

diberikan kepada pasien.

4.1.2 Rahasia Medis Menurut Hipokrates

15
Rahasia medis adalah segala sesuatu yang diketahui oleh karena

atau pada saat melakukan pekerjaan di bidang kedokteran.

Sanksi bagi yang membocorkan rahasia medis:

Pasal 322 KUHP :

(1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib

disimpannya karena jabatan atau pencahariannya baik yang sekarang

maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan atau denda pidana paling banyak enam ratus rupiah.

(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka

perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.

Pasal 112 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita

atau keterangan-keterangan yang diketahui harus dirahasiakan untuk

kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau

memberikan kepada negara asing, kepada seorang raja atau suku

bangsa, diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun.

5.1 Aspek Medikolegal

Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di luar

rumah sakit tidak tertutup kemungkinan timbulnya konflik. Konflik

tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan dengan pasien dan antara

sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi maupun antar profesi). Untuk

mencegah dan mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan norma

hukum yang mempunyai tolak ukur masing-masing.

16
5.1.1 Prinsip Kerja Medikolegal

A. Prinsip Kedokteran

1. Sumpah kedokteran, Etika kedokteran, Standar Operasional

Prosedur

B. Kebebasan Profesi

1. Obyektif Ilmiah, Impartial

2. Prosedural kedokteran

5.1.2 Prosedur Medikolegal

 Prosedur medikolegal adalah tata cara atau prosedur penatalaksanaan

dan berbagai aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk

kepentingan hukum.

 Secara garis besar prosedur medikolegal mengacu kepada peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa

bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.

5.1.3 Tugas Pokok Medikolegal

Tugas pokok medikolegal adalah membantu proses hukum melalui

pembuktian ilmiah kedokteran.

a. Dokumentasi Informasi/Prosedur

b. Dokumentasi Fakta

c. Dokumentasi Temuan

17
d. Analisis dan kesimpulan

e. Presentasi (Sertifikasi)

f. Masa Penyelidikan/Penyidikan

1. Pemeriksaan TKP

2. Analisis

g. Masa Penyidikan

1. Visum et Repertum

2. BAP Saksi Ahli

3. Keterangan Ahli

h. Di Persidangan

 Sebagai Saksi Ahli Pemeriksa:

- Menjelaskan Visum et Repertum

- Menjelaskan kaitan temuan VeR dengan barang bukti lain

- Menjelaskan segala sesuatu dari sisi ilmiah

I. Konfidensialitas Dokter

 Hindari: talk too soon, talk too much, talk too wrong person

5.1.4 Lingkup Prosedur Medikolegal

1) Pengadaan Visum et Repertum

2) Pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka

3) Pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan di

dalam persidangan

4) Hubungan Visum et Repertum dengan rahasia kedokteran

5) Tentang surat keterangan medik dan surat keterangan kematian

18
6) Kompetensi pasien menghadapi proses pemeriksaan penyidik

5.1.5 Dasar Pengadaan Visum et Repertum

1. Pasal 133 ayat 1 KUHAP

Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani

seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga

karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang

mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran

kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

2. Pasal 133 (2-3) KUHAP

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan

tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau

pemeriksaan bedah mayat.

(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter

pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh

penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang

memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang

dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

19
BAB III

ASPEK MEDIKOLEGAL

3.1. Aspek Medikologal Pada Kegawat daruratan

Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit

tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik, baik antara tenaga kesehatan

dengan tenaga kesehatan lain, atau dengan pasien, hal yang lebih khusus dalam

penangganan gawat darurat fase pra-rumah sakit, juga melibatkan unsur tenaga

non kesehatan..

3.1.1 Karakteristik Pelayanan Kegawat daruratan

Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat

berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik

khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan

pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum yang

berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. Beberapa hal yang perlu jadi

perhatian adalah

a. Periode waktu pengamatan / pelayanan relatif singkat

b. Perubahan klinis yang mendadak

c. Mobilitas yang tinggi

Hal-hal diatas yang mengakibatkan risiko dalam tindakan kegawat daruratan

yang beresiko kepada Kematian, tentunya pada hal ini mudah menyulut

20
konflik emosional yang terjadi antara pihak keluarga pasien dengan tenaga

kesehatan. (Harkutanto,2007).

3.1.2 Hubungan dokter dan pasien dalam keadaan gawat darurat.

Dalam keadaan yang bukan gawat darurat, hubungan dokter dan pasien

berdasarkan atas kesepakatan dari kedua belah pihak, pasien boleh memutuskan

untuk memilih dokter yang akan dimintai bantuan nya (azaz voluntarisme).

Demikian pula dalam pelayanan selanjutnya, kewajiban yang timbul pada dokter

berdasarkan apa yang terlah terjadi sebelum nya (pre-existing relationship).

Dalam keaadaan darurat hal ini tidak terjadi dan diberlakukan azaz khusus.

Theraupetic previllege adalahhak istimewa yang diberikan kepada dokter untuk

menetapkan jenis tindakan medik tanpa memberi informasi, jika ada kemungkinan

memberikan informasi malah memperburuk keadaan emosional pasien yang dapat

menghambat peengobatan dan perawatan selanjutnya”.

Bagi dokter sendiri sebagai tenaga kesehatan, dalam kondisi pasien yang

gawat darurat tetap harus menjunjung tinggi kode etik dalam memberikan

pelayanan kesehatan, hal ini dijelaskan dalam salah satu prinsip yaitu benefience (

melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), prinsip nya adalah melakukan

pertolongan darurat yang dibutuhkan pasien, kecuali bila ada rekan sejawat lain

yang lebih kompeten dan bersedia melakukannya, atau dengan fasilitas yang lebih

memadai.

21
3.1.3 Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kegawat

daruratan

Dalam peraturan perundang-undangan menyelamatkan nyawa pasien tidak

perlu persetujuan (inform consent), hal ini secara eksplisit tertuang dalam

ketentuan :

1. Pasal 45 ayat (1) undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik

kedokteran yang berbunyi “ Dalam menyelamatkan keadaan gawat

darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan

medis (Inform consent)” .dengan demikian dalam pelayanan medis yang

bersifat gawat darurat tidak diperlukan persetujuan medis.

2. Pasal 4 permenkes No. 290 tahun 2008 secara tegas ditentukan dalam 3

butir ayat.

a. Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak

diperlukan persetujuan medis (inform consent)

b. Keputusan untuk tindakan kedokteran sebagaimana yang dimaksud

pada ayat 1 diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat dalam

rekam medis

c. Dalam hal dilakukan nya tindakan kesehatan sebagaimana yang tertera

pada ayat 1, dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan

sesegera mungkin kepada pasien ketika sadar atau kepada keluarga

terdekat.

3. Pasal 32 ayat (1) undang undang No. 36 tentang kesehatan yang

menjelaskan “ Dalam keadaan gawat darurat, fasilitas pelayanan

22
kesehatan baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan

kesehatan pada penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan

terlebih dahulu

4. Pasal 32 ayat (2) yang berbunyi “Dalam keadaan darurat, fasilitas

layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak

atau memberi uang muka”.

3.1.4 Pengaturan penyelengaraan pelayanan gawat darurat

Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan

pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan izin rumah

sakit, dalam pelayanan kegawat daruratan tidak diperkenankan meminta uang

muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien

gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit,

terdapat dalam peraturan menteri kesehatan No. 159b/1988 tentang palayanan

rumah sakit, dimana pada pasal 23 telah disebutkan bahwa rumah sakit wajib

menyediakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari.

Yang terbaru, menurut permenkes No. 47 tahun 2018 tentang pelayanan

kegawat daruratan pasal 4 huruf a

a. Pelayanan kegawat daruratan meliputi penangganan kegawat daruratan

antara lain

a. Prafasilitas layanan kesehatan

b. Intrafasilitas layanan kesehatan

c. Antarfasilitas layanan kesehatan

23
b. Pelayanan kegawat daruratan sebagaimana yang dimaksud pada ayat

(1) dilakukan melalui sistem penanggulangan gawat darurat terpadu

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Kemenkumham,2018)

3.1.5 Masalah lingkup kewenangan personil dalam pelayanan gawat darurat

Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan

yang berkaitan dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan

gawat darurat. Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3

UU No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah

setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan

upaya kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi

kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena

tindakan yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil.

Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992

tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan

bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran

dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan

yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Ketentuan

tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang

tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan

24
pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau

membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan

medis yang mengandung risiko.

Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik

diatur dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan

bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan

kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan

yang bersangkutan, Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada

fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan

untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam

keadaan gawat darurat.

3.1.6 Masalah medikolegal pada penangganan pasien gawat darurat

Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat

meliputi hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan

pelayanan gawat darurat karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung

menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan

pengertian gawa darurat. Menurut The American Hospital Association (AHA)

pengertian gawat darurat adalah “An emergency is any condition that in the

opinion of the patient,  his family, or whoever assumes the responsibility of

bringing the patient to the hospital-require immediate medical attention. This

condition continues until a determination has been made by a health care

professional that the patient’s life or well-being is not threatened”.

25
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat

walaupun sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan

antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah sebagai

berikut : A true emergency is any condition clinically determined   to require

immediate medical care. Such conditions range from those requiring extensive

immediate care and admission to the hospital to those that are diagnostic

problems and may or may not require admission after work-up and observation.

Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi

pasien diselenggarakan lah triage. Tenaga kesehatan yang menangani hal tersebut

yang paling ideal adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa

tempat dikerjakan oleh perawat melalui standing order yang disusun rumah sakit.

3.1.7 Hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat

Di USA dikenal penerapan doktrin Good samaritan dalam peraturan

perundang-undangan hampir diseluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama

berlaku pada fase pra rumah sakit untuk melindungi pihak yang sukarela beritikad

baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan denikian seorang

pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan untuk kecederaan yang

dialaminya, terdapat dua syarat dari doktrin ini yang harus terpenuhi :

1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak

adannya harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh

kompensasi dalam bentuk apapun, bila penolong menarik biaya pada akhir

tindakannya, maka doktrin ini tidak berlaku

26
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan

yang dilakukan pihak penolong, hal yang bertentangan misalkan pihak

penolong melakukan sesuatu yang tidak penting atau demi kepentingannya

sendiri

Dalam hal pertanggung jawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga

kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau

pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa kekeliruan

tersebut menyebabkan kerugian atau cacat (proximate cause), namun jika tuduhan

kelalaian tersebut diberikan pada situasi gawat darurat maka perlu diberikan

pertimbangan beberapa faktor dan kondisi saat peristiwa tersebut terjadi, benar

atau tidaknya tindakan tenaga medis perlu diperhatikan pada kualifikasi dan

situasi yang sama pula.

Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien. Hal itu

telah diatur dalam hak pasien dalam UU No. 23/1992 tentang kesehatan pasal 53

ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/1989 tentang persetujuan

tindakan medis. Dalam keadaan darurat dimana harus dilakukan tindakan pada

pasien yang tidak sadar, tidak perlu persetujuan medis (Pasal 11 Peraturan

Menteri Kesehatan No. 585/1989) persetujuan tersebut diperoleh dalam bentuk

tertulis, yang mana lembar persetujuannya harus disimpan dalam berkas rekam

medik.

3.1.8 Kematian Pada Instalasi Gawat Darurat.

27
Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke

UGD (Death on Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara

Anglo-Saxon digunakan sistem koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang

tidak terduga (sudden unexpected death) apapun penyebabnya harus dilaporkan

dan ditangani oleh Coroner atau Medical Exaniner. Pejabat tersebut

menentukan tindakan iebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk

pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan

kematian (death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner.

Pihak rumah sakit harus menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal

dari tubuh jenazah (pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner

diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak

POLRI yang akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter

yang bertugas di UGD tidak boLeh menerbitkan surat keterangan kematian dan

menyerahkan permasalahannya path POLRI. Untuk Daerah Khusus Ibukota

Jakarta, sesuai dengan Keputusan KepalaDinas Kesehatan DKI Nomor 3349/1989

tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan kematian di

Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di wilayah DKI Jakarta yang telah

disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa

kematian rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada keluarga

untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim

ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan visum etrepertum.

Kasus yang tidak boleh diberikan surat keterangan kematian adalah:

28
1. meninggal pada saat dibawa ke UGD

2. meninggal akibat berbagai kekerasan

3. meninggal akibat keracunan

4. meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan Kematian

yang boleh dibuatkan

surat keterangan Kematiannya adalah yang cara kematiannya alamiah

karena. penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.

4.1.1 Malpraktik Medis

4.1.1.1 Pengertian malpraktik menurut para ahli

Malpraktek, terdapat dua istilah yang lazim dipakai dan didengar oleh

setiap kalangan bagi mereka terutama berkecimpung atau bahkan sedang

mengalami dan berurusan kondisi kesehatan fisik dan psikis seseorang. Dalam

masyarakat ketika seseorang mengalami penderitaan kesehatan sebagai akibat dari

pihak tenaga medis (kesehatan) seperti dokter, perawat ataupun petugas kesehatan

lainnya timbul kecenderungan menyebut dengan istilah telah terjadi “malpraktek”,

atau disambung dengan ikutan kata “medis”, jadilah sebutan istilah “malpraktik

medis.

Malpraktik dari sudut harfiah malapraktik atau malprtice atau malapraxis

artinya praktik yang buruk (bad practice). Atau praktik yang jelek, disebutkan

demikian karena menyimpang dari yang seharusnya. Yang dalam sudut pandang

kedokteran artinya adalah suatu praktik kedokteran yang buruk dan jelek, karena

salah atau menyimpang dari yang sebagaimana mestinya.

29
Ada beberapa pendapat dari para ahli atau doktrin yang memberikan

batasan pengertian serta makna istilah malpraktik medik atau medical malpractice

sebagai berikut :

1. Veronica Komalawati ; Malpraktek berasal dari kata “malpractice” yang

pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul

sebagai akibat adanya kewajiban yang harus dilakukan dokter. Dengan

demikian medical malpractice atau kesalahan dalam menjalankan profesi

medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik dalam menjalankan

profesinya.(Sudria dkk ,2017)

2. Danny wiradharma ; melihat dari sudut perikatan antara dokter dan pasien

yaitu dokter tersebut melakukan praktik yang buruk.

3. John D Blum sebagaimana dikutip oleh Hermien Hadiati Koeswadji ;

memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai “ a form of

professional negligence which measurable injury occurs to a plaintif

patient as a direct result of an act or ommision by the defendant

practitioner” ( bentuk kelalaian profesi medik dalam bentuk luka atau

cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan

gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter )

4.1.1.2 Unsur-unsur Malpraktik

Terdiri dari 4 unsur untuk membuktikan bahwa Malpraktik atau kelalian

terjadi yaitu:

1. Kewajiban (duty) : pada saat terjadinya cedera terkait dengan kewajiban

nya yaitu kewajiban mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya

30
untuk menyembuhkan atau setidaknya meringankan beban penderitaan

pasiennya berdasarkan standar profesi.

2. Tidak melaksanakan kewajiban ( Breach of the duty ) : pelanggaran

terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa

yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

3. Sebab akibat (Proximated caused) : pelanggaran akibat kewajibannya

mengakibatkan terkait atau cedera pada pasein.

4. Cedera (injury) : seseorang mengalami cedera atau kerusakan yang

dapat dituntut secara hukum.

4.1.1.3 Jenis Jenis Malpraktik

1) Ethical malpractice

Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara

umum tidak memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya

dengan pasien, namun hal ini akan mempengaruhi keputusan dokter

dalam memberikan tatalaksana yang baik, hal itu dapat menghasilkan

reaksi kontroversial yang dapat menimbulkan kerugian kepada dokter,

maupun kepada pasiej karena dokter telah melalaikan standar etika yang

ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan mengabaikan

standar etika yang ada umum nya hanya berurusan dengan komite

disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan dapat berupa

dibatasi untuk tindakan tertentu atau pencabutan status profesi.

2) Legal malpractice

a) Administrative malpractice

31
Apabila dokter melakukan pelanggaran terhadap hukum dan

administrasi negara yang berlaku, misal seperti menjalankan praktik

dokter tanpa lisensi atau izin praktek, menjalankan praktek dengan izin

atau lisensi yang sudah kadaluarsa.

b) Civil malpractice

Adalah suatu tipe malpraktek dimana dokter dalam melakukan

pengobatan berakibat kepada meninggalnya pasien namun dalam waktu

yang sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara negara tidak dapat

menuntut secara pidana tapi pihak pasien bisa menuntut secara perdata

dan meninga ganti rugi kepada dokter.

c) Criminal malpractice

Terjadi ketika seorang dokter yang menanggani sebuah kasus telah

melanggar hukum pidana yang terancam diberikan hukuman. Seperti

lalai dalam menggunakan obat, kesalahan dalam rekam medis,

mengunakan obat obatan yang ilegar, melanggar sumpah kode etik

dokter, pelecehan kepada pasien yang sadar maupun tidak sadar.

4.1.1.4 Undang undang Malpraktik

Dalam undang undang No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran

mengenai perbuatan yang dapat dipidana antara lain :

1. Melakaukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda register

pasal 75 ayat (1)

32
2. Melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktek (pasal

76)

3. Menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain seolah-oalh yang

bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (pasal 77)

4. Menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan

kepada masyarakat seolah olah memberikan kesan yang bersangkutan

adalah dokter atau dokter gigi (pasal 78)

5. Tidak memasang papan nama (79 huruf a)

6. Tidak memenuhi ketentuan sebagaimana pasal 51 (pasal 79 huruf c)

7. Korporasi atau perseorangan yang meperkerjakan dokter atau dokter

gigi tanpa surat izin praktek (pasal 80).

Ketentuan perbuatan yang dapat dipidana diatur juga dalam undang

undang No. 23 tentang kesehatan antara lain:

1. Melakukan tindakan tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi

ketentuan (pasal 80 ayat 1)

2. Melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam transplantasi

organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah (pasal 80 ayat 3)

3. Tanpa kewenangan atau keahlian melakukan transplantasi organ dan

jaringan tubuh (pasal 81 ayat 1 huruf a)

4. Tanpa kewenangan dan keahlian melakukan implan alat kesehatan

(pasal 81 ayat 1 huruf b)

5. Tanpa kewenangan dan keahlian melakukan bedah plastik dan

rekonstruksi (pasal 81 huruf c)

33
6. Mengambil organ dari donor tanpa kesepakatan dan persetujuan ahli

warisnya (pasal 82 ayat 2 huruf c)

7. Tanpa kewenangan dan keahlian melakukan pengobatan dan perawatan

(pasal 82 ayat 1 huruf a)

8. Tanpa kewenangan dan keahlian melakukan transfusi darah (pasal 62

ayat 1 huruf b)

9. Tanpa kewenangan dan keahlian melakukan implan obat (pasal 62 ayat

1 huruf c)

Pengaturan yang ada dalam undang undang hukum pidana (KUHP) yang

terkait Malpraktek Medis antara lain.

1. Menipu pasien (pasal 378)

2. Membuat surat keterangan palsu (pasal 263,267)

3. Abortus provokatus criminalis (pasal 299,348,349,350)

4. Melakukan kealpaan (culpa) yang mengakibatkan kematian atau luka

(pasal 359,360,361)

5. Melakukan pelanggaran kesopanan (pasal 290 ayat (1), 294 ayat (2),

pasal 285 dan 286)

6. Membocorkan rahasia pasien dengan pengaduan pasien (pasal 322)

7. Tidak memberikan pertolongan atau bantuan (pasal 351)

8. Memberikan atau membuat obat palsu (386)

9. Euthanasia (344).

34
BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Dalam memberikan pelayanan baik diluar dan didalam rumah sakit tidak

menutup kemungkinan terjadi pergeseran konflik antara dokter dengan dokter

ataupun dengan pasien, hal ini disebabkan oleh periode pelayanan yang relatif

singkat, perubahan klinis dan mobilitas yang tinggi. Tercantum dalam aturan dan

undang-undang jika dalam keadaan darurat, dokter diperbolehkan mengambil

tindakan tanpa melalu persetujuan terlebih dahulu, dengan tetap menjunjung

tinggi kode etik serta memperhatikan norma yang berlaku, untuk menghindari

sanksi dan pelanggaran yang akan terjadi kedepan nantinya.

Dokter harus memahmi kode etik dan mengikuti sumpah kedokteran yang

ditetapkan oleh badan organisasi atau pemerintah. Banyak nya isu yang harus

diperhatikan tentunya juga menjadi hal yang harus membuat dokter sebagai

tenaga medis untuk mempersiapkan diri, memahami kriteria pelayanan dan aspek

hukum yang berlaku, tentunya untuk menghindari malpraktik kedepannya.

Pasien berhak untuk mengajukan penuntutan jika terjadi kelalaian oleh

dokter, terkait dengan lisensi, obat-obatan yang merugikan atau tidak sesuai

prosedur, tundakan penganiayaan atau pelecehan oleh dokter di lapangan. Sanksi

dapag berupa penggantian materi oleh dokter, atau pencabutan lisensi, tergantung

pada tingkat dan golongan tindak pidana yang sesuai pasal dan ketetapan yang

berlaku.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Harkutanto, 2007, Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat,

Bagian ilmu kedokteran forensik dan medikolegal Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, jurnal; volume 57 No. 2, Jakarta

2. Dadang Gandhi,Saiful bahri, ,2017, Jurnal Hukum Replik, Fakultas

Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang, jurnal; volume 5,

Tangerang

3. Sukarman Purba, Astuti,2020, Etika Profesi;Membangun

Profesionalisme diri, Cetakan 1, Yayasan kita menulis, Medan.

4. Kemenkumham,2018

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2018/bn1799-2018.pdf

diunduh pada tanggal 26 pukul 08.00 wib

5. Isna D Fatatun, 2018, Penangganan Kegawat Daruratan Medik dalam

perspektif Negara Kesehahteraan; jurnal; Program studi Magister Ilmu

Hukum, Program Pasca Sarjana Hukum, Universitas Indonesia,

Jakarta.

6. Nur Rohim Yunus, 2018, Jurnal Cita Hukum, Fakultas sharia dan

Hukum Universitas syaid Hidayatullah Jakarta

7. Amalia Taufani, 2011, Tinjauan Yuridis Malpraktek Medis Dalam

Hukum Indonesia ; Jurnal; Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,

Surakarta.

36
8. Eriska Kurniati Sitio, 2016, Hukum Pidana dan Undang-Undang

Praktek Kedokteran Dalam menanggani Malpraktek, jurnal; Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Bali

9. Yukia K Wardani, M faqih,2017, Praktik Penerapan Peraturan Menkes

No. 290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran (inform

consent) pada pelayanan gawat darurat di rumah sakit, Jurnal;

Fakultas Hukum Universitas Lampung, Lampung.

10. Putu G Sudira, Wardani P, 2017, Ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal;Cetakan Pertama; Fakultas Kedokteran Universitas

Udayani, Bali.

11. Aflanie I, Nirmalasari N, Muhammad Hendy Arizal. Ilmu kedokteran

Forensik dan Medikolegal. 1st ed. Jakarta: Rajawali Pers ; 2019

37

Anda mungkin juga menyukai