Anda di halaman 1dari 20

Nilai Kerja dalam Tinjauan Ekonomi Islam

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis Islam

Dosen Pengampu : Dr. Nafis Irkhami, M.Ag., M.A.

Disusun Oleh:
1. FRISCILIA JUNIKE ARYAWATI 63010180133
2. EVI MUJAROVAH 63010180149
3. ANGGRAENI TRI ZULQITA 63010180150
4. SAFINA HIDAYAH 63010180157

PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, dan tak lupa shalawat serta salam senantiasa kita panjatkan kepada
panutan alam, Nabi Muhammad SAW, kami bersyukur telah meyelesaikan makalah “Nilai
Kerja dalam Tinjauan Ekonomi Islam”. Makalah ini di buat untuk melengkapi tugas dari
Dosen Pengampu Mata Kuliah Etika Bisnis Islam Bapak Dr. Nafis Irkhami, M.Ag., M.A.
Penulis menyadari bahwa kami tidak mampu menyelesikan makalah ini tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini izinkan kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang secara materiil maupun moril memberikan bantuan demi
terselesaikannya makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Nafis
Irkhami, M.Ag., M.A. selaku dosen Etika Bisnis Islam di IAIN Salatiga, dan tidak lupa
kepada kedua Orang tua yang selalu memberi dukungan.

Akhirnya kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
semoga bisa dipergunakan dengan baik. Kami mengharap kritik dan saran yang membangun
dari pembaca.

Salatiga, 05 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

A. Latar Belakang......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3

A. Pengertian Bekerja................................................................................................... 3
B. Dasar Hukum Bekerja............................................................................................. 4
C. Prinsip-Prinsip Bekerja............................................................................................ 5
D. Urgensi Kerja Dalam Ekonomi Islam..................................................................... 6
E. Motivasi Kerja......................................................................................................... 8
F. Nilai-Nilai dalam Bekerja........................................................................................ 11
G. Nilai Kerja dalam Tinjauan Ekonomi Islam............................................................ 13

BAB III PENUTUP........................................................................................................... 17

A. Kesimpulan.............................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai agama wahyu telah melahirkan suatu sistem ekonomi holistik yang
dikenal dengan sistem ekonomi Islam. Selain agama Islam tidak ada agama lain di dunia
yang melahirkan sistem ekonomi. Sistem-sistem ekonomi yang ada di dunia selain sistem
ekonomi Islam tidak lahir dari agama tetapi lahir dari paham-paham tertentu. Seperti sistem
ekonomi kapitalis lahir dari paham kapitalisme, sistem ekonomi komunis lahir dari paham
komunisme, dan sistem ekonomi sosialis lahir dari paham sosialisme. Berbeda dengan
bangunan sistem ekonomi lain yang materialistik, bangunan sistem ekonomi Islam meliputi
aspek material dan spritual. Pandangan Sistem ekonomi Islam juga bukan hanya menjangkau
dunia tapi juga akhirat yang tidak pernah tersentuh oleh sistem ekonomi lain. Karena
bangunan dan pandangan sistem ekonomi Islam komprehensip dan universal maka sistem
ekonomi Islam adalah sistem ekonomi holistik.

Salah satu unsur penting ekonomi yang mendapat perhatian besar berbagai sistem
ekonomi tidak terkecuali sistem ekonomi Islam adalah dunia kerja. Karena dapat dimaklumi
bahwa kerja merupakan pendorong utama aktivitas perekonomian baik secara mikro maupun
secara makro. Secara mikro kerja merupakan sarana bagi setiap manusia untuk dapat tetap
bertahan hidup. Dimana dengan bekerja seseorang akan dapat memenuhi dan mencukupi
kebutuhan hidupnya. Semangat dan kemampuan atau keterampilan kerja seseorang juga akan
menentukan tingkat kesejahteraannya ( hayyatan thayyibah ). Disamping itu bekerja akan
meneguhkan fitrah dan martabat kemanusiaannya dihadapan Allah. Dan lebih dari itu,
dengan bekerja seseorang telah menjadi bagian dari siklus rezeki ( sunnatullah ), yaitu
memberi nilai dan mafaat kepada sesama manusia ( alturistik ).

Sistem Ekonomi Islam tidak sekedar memandang kerja sebagai pendorong utama
aktivitas perekonomian, tapi lebih dari itu kerja merupakan perbuatan mulia dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan bersama. Bekerja merupakan perintah Allah SWT dan menjadi
sunnah Rosulullah SAW. Sehingga segala bentuk pengangguran, termasuk meminta-minta
merupakan perbuatan tercela. Dengan demikian bekerja dalam sistem ekonomi Islam
merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim sebagai kewajiban syara` dan dipandang
sebagai bentuk ibadah bagi yang melakukannya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian bekerja?
2. Apa dasar hukum bekerja?
3. Apa prinsip-prinsip bekerja?
4. Apa urgensi kerja dalam ekonomi islam?
5. Apa saja motivasi kerja?
6. Apa nilai-nilai dalam bekerja?
7. Apa nilai kerja dalam tinjauan ekonomi Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian bekerja.
2. Untuk mengetahui dasar hukum bekerja.
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip bekerja.
4. Untuk Mengetahui urgensi kerja dalam ekonomi islam.
5. Untuk mengetahui motivasi kerja.
6. Untuk mengetahui nilai-nilai dalam bekerja.
7. Untuk mengetahui nilai kerja dalam tinjauan ekonomi Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bekerja

Bekerja berasal dari kata kerja. Dalam kamus bahasa Indonesia kerja mengandung
makna kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat)-nya makan dan minum saja.
Menurut Magnis dalam Anogara, pekerjaan atau bekerja adalah kegiatan yang direncanakan.
Sementara bekerja menurut Hegel dalam Anogara adalah kesadaran manusia.

Menurut al-Kharsani, bekerja adalah sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang


sebagai profesi, sengaja dilakukan untuk mendapatkan penghasilan. Bekerja dapat juga
diartikan sebagai pengeluaran energi untuk kegiatan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk
mencapai tujuan tertentu. Bekerja adalah melakukan suatu pekerjaan (perbuatan); berbuat
sesuatu: ia~di perkebunan.

Menurut Tamara, tidak semua aktivitas manusia dapat dikategorikan sebagai bentuk
pekerjaan. Karena di dalam makna pekerjaan mengandung tiga aspek yang harus dipenuhinya
secara nalar, sebagai berikut :

1. Aktivitas yang dilakukan karena ada dorongan tanggung jawab (motivasi)


2. Apa yang dilakukan tersebut dilakukan karena kesengajaan, sesuatu yang
direncanakan, karenanya terkandung di dalamnya suatu gabungan antara rasa dan
rasio.
3. Sesuatu yang dilakukan, karena adanya sesuatu arah dan tujuan yang luhur,
secara dinamis memberikan makna bagi dirinya, bukan sekedar kepuasan biologis
statis, akan tetapi suatu komitmen atau keinginan yang kuat untuk mewujudkan
apa yang diinginkan agar dirinya mempunyai arti.

Dalam perspektif Islam, bekerja tidak sekedar kegiatan yang dilakukan dalam
mengumpulkan materi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Akan
tetapi, bekerja merupakan implementasi dari aqidah dan juga merupakan bagian dari ibadah.
Dengan demikian, dalam perspektif ekonomi Islam seorang laki-laki dewasa dan baligh ia
harus gesit dalam bekerja. Dan bekerja merupakan kewajiban kepada Allah SWT.

3
Bekerja merupakan aktifitas yang dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup baik dirinya sendiri maupun orang-orang yang menjadi tanggungannya. Oleh karena
itu, Islam sangat benci dan memerangi sikap malas dan meminta-minta.

B. Dasar Hukum Bekerja


Banyak dalil yang menjelaskan tentang bekerja baik bersumber dari al-Quran
maupun hadits, sebagai berikut:
1. Dalil dari al-Qur’an

Perintah bekerja telah Allah SWT wajibkan semenjak nabi yang pertama, Adam as
sampai nabi yang terakhir, Muhammmad SAW. Perintah ini tetap berlaku kepada semua
orang tanpa membeda-bedakan pangkat, status dan jabatan seseorang. Berikut ini akan di
nukilkan beberapa dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang kewajiban bekerja :

َ َ‫َو َج َع ْلنَا ٱلنَّه‬


‫ار َم َعا ًشا‬
Artinya: “Dan kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” QS. an-Naba’ : (11).

ٰ
َ ِ‫ض َو َج َع ْلنَا لَ ُك ْم فِيهَا َم ٰ َعي‬
َ ‫ش ۗ قَلِياًل َّما تَ ْش ُكر‬
‫ُون‬ ِ ْ‫َولَقَ ْد َم َّكنَّ ُك ْم فِى ٱأْل َر‬
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan
kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. amat sedikitlah kamu bersyukur”
(QS. al-A’raaf : (10).

۟ ‫وا ِمن فَضْ ِل ٱهَّلل ِ َو ْٱذ ُكر‬


‫ُوا‬ ۟ ‫ُوا فِى ٱأْل َرْ ض َوٱ ْبتَ ُغ‬
۟ ‫صلَ ٰوةُ فَٱنتَ ِشر‬
َّ ‫ت ٱل‬ ِ ُ‫فَإِ َذا ق‬
ِ َ ‫ضي‬
ِ
َ‫ت ُ ْفلِحُون‬ ‫ٱهَّلل َ َكثِيرًا لَّ َعلَّ ُك ْم‬
Artinya: “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS.
al-Jumu’ah : (10).

4
Dari beberapa dalil al-Quran di atas terlihat jelas dan dapat dipahami bahwa bekerja
merupakan bentuk ikhtiar yang harus dilakukan oleh seorang hamba (manusia), dan dengan
bekerja bukanlah merupakan sebab seseorang mendapatkan rezki dari Allah SWT, karena
setiap makhluk yang diciptakan sudah dijamin rezkinya oleh Allah SWT.

Kemudian, bekerja merupakan sebab terjadi perpindahan kepemilikan harta di antara


manusia, yang dibenarkan oleh syara’, sehingga bekerja merupakan salah satu bentuk ibadah,
dan melalui aktivitas tersebut, dapat menghapus menghapus dosa, serta sebagai sarana bagi
hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, ketika seseorang
memilih untuk tidak bekerja (malas), tanpa disadari ia telah melakukan suatu tindakan yang
dibenci oleh syara’ (Allah SWT).

2. Dalil dari as-Sunnah


Bila ditelusuri, banyak hadits yang membahas dan menerangkan serta
memerintahkan tentang wajibnya bekerja, di antaranya di sabda Nabi SAW :

َ ‫ار; ( أَ َّن َر ُجلَ ْي ِن َح َّدثَاهُ أَنهَُّ َما أَتَيَا َرس‬


‫ُول هَّللَا ِ صلى هللا عليه‬ ِّ ‫َوع َْن ُعبَ ْي ِد هَّللَا ِ ب ِْن َع ِد‬
ِ َ‫ي ْب ِن اَل ِْخي‬
َّ‫ َواَل َح ظ‬,‫ "إِ ْن ِش ْئتُ َما‬:‫ال‬ َ َ‫ فَق‬,‫ فَ َرآه َمُا َج ْل َد ْي ِن‬,‫ص َر‬
َ َ‫ب فِي ِه َما اَ ْلب‬ َّ ‫وسلم يَسْأَاَل نِ ِه ِمنَ اَل‬
َ َّ‫ فَقَل‬،‫ص َدقَ ِة‬
‫ َوالنَّ َسائِ ُّي‬,َ‫ َوأَبُو دَا ُود‬,ُ‫ب" ) َر َواهُ أَح َْم ُد َوقَوَّاه‬ ٍ ‫ي ُم ْكت َِس‬ ٍّ ‫ َواَل لِقَ ِو‬,‫فِيهَا لِ َغنِ ٍّي‬
Artinya: Dari Ubaidillah Ibnu Adiy Ibnu al-Khiyar Radliyallaahu 'anhu bahwa dua
orang menceritakan kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam untuk meminta zakat pada beliau. Lalu beliau memandangi mereka, maka
beliau mengerti bahwa mereka masih kuat. Lalu beliau bersabda: "Jika kalian mau, aku beri
kalian zakat, namun tidak ada bagian zakat bagi orang kaya dan kuat bekerja." (HR. Abu
Dawud).
Dengan teramat jelas dan gamblang betapa Allah SWT dan Rasul-Nya
memerintahkan seseorang untuk bekerja. Bekerja adalah sebuah ibadah yang disejajarkan
dengan amalan jihad fisabilillah, bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri
dan keluarga, akan tapi ia sebagai manesfesto penghambaan dan ketaatan seseorang kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya.

C. Prinsip-Prinsip Bekerja
Ada lima prinsip bekerja yang perlu diperhatikan, yakni :
1. Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada nikmat
Allah SWT

5
َ ‫وا‬ªªُ‫ت ۚ ا ْع َمل‬
‫ ٌل ِم ْن‬ª‫ ْكرًا ۚ َوقَلِي‬ª‫آل دَا ُوو َد ُش‬ ٍ ‫يَا‬ª‫اس‬ ٍ ‫د‬ªُ‫ب َوق‬
ِ ‫ُور َر‬ ْ ª‫ا ٍن َك‬ªªَ‫ل َو ِجف‬ª
ِ ‫ال َج َوا‬ª َ ª‫يب َوتَ َماثِي‬ ِ ‫يَ ْع َملُونَ لَهُ َما يَ َشا ُء ِم ْن َم َح‬
َ ‫ار‬
‫ي ال َّش ُكو ُر‬َ ‫ِعبَا ِد‬

Artinya: “ Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari
gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti
kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk
bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.
”(TQS. Saba’ [34] : 13)23

2. Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil, yakni kehidupan yang
baik di dunia dan di akhirat.
3. Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki, yaitu kuat dan dipercaya.

Al-qawiyy merujuk kepada reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki


kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual). Sementara al-amiin, merujuk
kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.

4. Kerja keras.

Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil.
Kita dapat meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal kata
“gagal” (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda).

5. Kerja dengan cerdas.

Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap


sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.

D. Urgensi Kerja Dalam Ekonomi Islam

Islam memandang kemuliaan seseorang dari ketaqwaannya kepada Allah bukan dari
pekerjaan, penghasilan, dan kekayaannya. Ketaqwaan hanya dapat dihasilkan manakala
seseorang beriman dan beramal sholeh. Sehingga Islam dikenal dengan dinun ‘amaliyyun
yang berarti agama yang kaya amal berupa pengamalan-pengamalan ajarannya baik mahdhah
maupun ghairu mahdhah.

Ajaran-ajaran Islam pada dasarnya meliputi tiga aspek perbuatan, yaitu perbuatan
hati, perbuatan lisan, dan perbuatan anggota badan. Dimana setiap muslim dalam

6
mengamalkan ajaran-ajaran Islam dituntut untuk memperhatikan tiga aspek perbuatan
tersebut. Seperti ajaran sholat misalnya, terdiri dari perbuatan hati berupa niat, perbuatan
lisan berupa ucapan, dan perbuatan anggota tubuh berupa gerakan. Begitu juga dengan ajaran
kerja, Islam menekankan perlunya niat dalam bekerja. Karena niat merupakan pembeda suatu
perbuatan dipandang sebagai ibadah atau hanya suatu kegiatan biasa yang hampa nilai
spritual. Kerja juga memerlukan tindakan atau aktivitas, baik yang dilakukan oleh lisan,
anggota badan, maupun akal.

Secara fitrah manusia dilahirkan dengan memiliki banyak kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan dan keinginan dapat terpenuhi makala seseorang dengan sungguh-sungguh
bekerja atau berusaha. Tanpa adanya usaha, kebutuhan dan keinginan seseorang tersebut sulit
dapat terpenuhi. Bekerja sebagai sarana memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia
tersebut, pada awalnya mungkin terpaksa namun kemudian bekerja bisa menjadi suatu
kebutuhan bahkan suatu kebanggaan. Maka sangat rasional jika Islam memandang bekerja
sebagai kewajiban setiap orang muslim secara syar`i. Karena bekerja dipandang sebagai suatu
usaha merealisasikan kemaslahatan baik bagi individu maupun masyarakat di dunia dan
akhirat.

Islam memberikan keleluasaan kepada umatnya dalam berusaha, selama tidak


menyimpang dari prinsip-prinsip syariat. Dunia kerja dalam Islam meliputi semua usaha yang
bersifat membangun yang meliputi seluruh industri dalam bidang pengolahan, perakitan,
perdagangan, pertanian, perkebunan, perikanan, dan pelayanan. Semua jenis pengabdian
kemanusiaan, keterampilan, kecerdasan, pemikiran, dan kesusastraan masuk dalam kategori
pekerjaan. Dari Sa’id bin Umair dari pamannya ia berkata, Rasulullah SAW pernah ditanya,
“Pekerjaan apa yang paling utama ?”. Beliau menjawab, “Setiap pekerjaan yang baik (halal)”.

Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat
menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, maka Allah
SWT mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain itu, orang yang bekerja, berusaha untuk
mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri secara halal dan baik guna membiayai
kebutuhannya sendiri ataupun kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya. Dalam Islam
orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Dengan demikian Islam memberikan
apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam
mencari nafkah. Bahwa Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk

7
memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja
atau berdoa mengharap rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun
demikian, tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan
pertolongan Allah SWT. Karena akan menimbulkan rasa sombong, angkuh dan bangga atas
dirinya.

Nabi Muhammad SAW dan para sahabat adalah pekerja keras. Bahkan Nabi
Muhammad SAW dan sebagian sahabatnya merupakan saudagar-saudagar kaya. Dimana
kekayaan yang mereka miliki digunakan bukan sekedar untuk kepentingan mereka namun
lebih banyak digunakan untuk pengembangan dan penyebaran syiar Islam.

E. Motivasi Kerja

Perilaku seseorang dimulai dengan dorongan tertentu/motivasi. Dapat diyakini bahwa


pada dasarnya setiap manusia memiliki motivasi untuk pekerjaan. Motivasi adalah sesuatu di
dalam diri manusia yang memberi energi, yang mengaktifkan dan menggerakkan ke arah
perilaku untuk mencapai tujuan tertentu (Barnes, 1996 dalam Rivai, 2003: 89). Motivasi kerja
yang tinggi dari setiap karyawan sangat diperlukan guna peningkatan produktivitas
perusahaan. Orang yang mempunyai motivasi tinggi akan terpacu untuk bekerja lebih keras
dan penuh semangat karena mereka melihat pekerjaan bukan sekedar sumber penghasilan
tetapi untuk mengembangkan diri dan berbakti untuk orang lain. Oleh karena itu motivasi
penting sebagai dorongan seseorang dalam menghasilkan suatu karya baik bagi diri sendiri
maupun bagi perusahaan. Dengan demikian motivasi mengacu pada dorongan yang baik dari
dalam atau dari luar diri seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan
kegiatan pencapaian tujuan (Daft, 2002: 91).

Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan suatu
konsep yang mendorong individu untuk mengarahkan perilakunya pada pencapaian tujuan
organisasi dimana yang menjadi pendorong adalah keinginan dan kebutuhan individu. Untuk
dapat memotivasi seseorang ada empat hal yang perlu dipahami dan dilakukan (Lefton, 1997
dalam Rivai, 2003: 90) yaitu:

a. Pelajari apa kebutuhan yang dapat dipahami dan apa yang tidak dapat dipahami
orang.
b. Harus dapat membantu orang bagi tercapainya tujuan kerja perusahaan.

8
c. Hubungan ini perlu ada kejelasan, sehingga orang tahu apa yang sesuai untuk
perusahaan.
d. Upayakan bahwa setiap orang mempunyai komitmen yang tinggi.

Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena kebutuhan dan


keinginan setiap karyawan dalam perusahaan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini
berbeda karena setiap anggota suatu perusahaan adalah unik secara biologis maupun
psikologis dan berkembang atas dasar proses belajar yang berbeda pula. Dengan pemahaman
tersebut maka dapat dikemukakan aspek-aspek yang terkandung dalam motivasi kerja (Rivai,
2003: 90), yakni:

a. Cenderung bertanggung jawab.


b. Senang membahas kasus yang menantang.
c. Menginginkan prestasi yang lebih baik.
d. Suka memecahkan masalah.
e. Senang menerima umpan balik atas hasil karyanya.
f. Senang berkompetisi untuk mencapai hasil yang optimal.
g. Senang membahas kasus-kasus sulit.
h. Melakukan segala sesuatu dengan cara yang lebih baik dibandingkan dengan orang
lain.

Motivasi kerja dalam Islam:

1. Memenuhi Kebutuhan Hidup

Setiap perbuatan yang dilakukan manusia tentu mempunyai dorongan atau motivasi.
Diantara motivasi bekerja dalam Islam adalah untuk menutupi kebutuhan hidup manusia baik
untuk dirinya, keluarga maupun orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup terdapat skala prioritas yang harus menjadi
perhatian, yaitu: dharuriyah (primer), hajjiyah (sekunder) dan tahsiniyyah (tersier). Dengan
skala perioritas tersebut seseorang akan mengerahkan segenap kemampuan kerjanya untuk
keperluan dharuriyah. Sistem ekonomi Islam menghendaki segenap faktor produksi, yaitu:
sumber daya manusia, sumber daya alam, modal dan manajemen diarahkan untuk terlebih
dahulu memenuhi segenap kebutuhan dharuriyah. Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi
kelangkaan kebutuhan pokok dan terwujudnya stabilitas pasar serta tercipnya harga yang adil.

9
Ketika segenap faktor produksi lebih diarahkan untuk kebutuhan tahsiniyyah maka dalam
pandangan ekonomi Islam kemungkinan besar terjadi inflasi.

2. Meneguhkan Syariat Islam

Seorang muslim juga memiliki motivasi kerja yang lebih kuat, yaitu meneguhkan
syariat Islam. Setiap usaha keras yang disertai kesesuaian niat, ucapan dan tindakan dengan
syariat Islam disebut jihad fisabilillah. Seseorang yang menggunakan segenap
kemampuannya baik yang bersifat jasmani maupun rohani, untuk mendapatkan karunia
Allah, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga yang menjadi
tanggungannya, dengan senantiasa mematuhi syariat Islam, maka sesungguhnya ia sedang ber
jihad fi sabilillah. Dan usaha yang dilakukannya secara tidak langsung menjaga
kehormatannya. Karena jika seorang muslim meminta-minta maka dipandang tercela
dihadapan Allah dan hina dipandang manusia.

3. Meraih Cinta Allah SWT

Selanjutnya motivasi kerja seorang muslim adalah meraih cinta dari Allah SWT.
Dicintai Allah SWT merupakan puncak kedekatan hamba atas Penciptanya. Untuk meraih
cinta Allah SWT seorang muslim dituntut untuk menggunakan setiap kemampuan dan
kesempatan yang ada untuk dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Dengan demikian
ia telah menggunakan karunia Allah untuk mendapatkan karunia Allah yang lain. Ia
melakukan perbutan baik untuk menghasilkan kebaikan yang lain. Setiap muslim akan
bekerja dengan sungguh-sungguh mengoptimalkan kemampuan dan memaksimalkan
kesempatan demi tersedianya kebutuhan hidup baik bagi dirinya maupun orang lain.

4. Menambah Nilai Manfaat

Seiring dengan semakin berkembang ilmu pengetahuan manusia, jenis pekerjaan


juga semakin bertambah banyak. Penemuan-penemuan hasil penelitian tentu selalu akan
diusahakan untuk dicoba dan diproduksi. Dimana setiap detil produk dapat memperluas
lapangan kerja. Mulai dari input produksi atau faktor produksi, proses produksi, dan
pemasaran hasil produksi. Dinamika dunia kerja tersebut dalam Islam diapresiasi, bahwa
setiap orang memiliki kecenderungan dan cara mendapatkan rezeki dari Allah SWT.
Sehingga apapun jenis pekerjaannya yang menghasilkan manfaat dan maslahat dipandang
pekerjaan yang boleh dilakukan

10
F. Nilai-Nilai dalam Bekerja
1. Tauhidi

Bekerja dalam ekonomi islam tidak sekedar menampakkan kegigihan dan keuletan
seseorang dalam mendapatkan karunia Allah SWT, namun juga merupakan pancaran nilai
keimanan atau ketauhidannya kepada Allah SWT.

Pada dasarnya Islam memandang pekerjaan yang dilakukan seseorang merupakan


amanah, yang akan dimintai pertanggung jawabannya. Implementasi jujur dan amanah dalam
bekerja diantaranya adalah dengan tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya,
tidak curang, obyektif dalam menilai, dan sebagainya. Aspek lain terkait tauhid adalah tidak
boleh melanggar prinsip-prinsip syariah dalam pekerjaan yang dilakukannya. Maksud dari
tidak melanggar prinsip syariah ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama, dari sisi dzat
atau substansi dari pekerjaannya, seperti memproduksi tidak boleh barang yang najis, haram,
menyebarluaskan kerusakan, mengandung unsur riba, perjudian, penipuan, dan segala bentuk
kedzoliman baik bagi dirinya maupun orang lain. Kedua, dari sisi penunjang yang tidak
terkait langsung dengan pekerjaan, seperti melalaikan sholat, suap menyuap, dan membuat
fitnah dalam persaingan. Bekerja juga harus memperhatikan adab dan etika sebagai seorang
muslim, seperti etika dalam berbicara, menegur, berpakaian, bergaul, makan, minum,
berhadapan dengan customer, rapat, dan sebagainya. Bahkan akhlak atau etika ini merupakan
ciri kesempurnaan iman seorang mu’min.

Dalam bekerja terkadang seseorang dihadapkan dengan adanya syubhat atau sesuatu
yang meragukan dan samar antara kehalalan dengan keharamannya. Seperti unsur-unsur
pemberian dari pihak luar, yang terdapat indikasi adanya satu kepentingan tertentu. Atau
seperti bekerja sama dengan pihak-pihak yang secara umum diketahui kedzliman atau
pelanggarannya terhadap syariah. Dan syubhat semacam ini dapat berasal dari internal
maupun eksternal. Inilah ujian keimanan atau ketauhidan dalam bekerja.

Aspek lain yang juga sangat penting diperhatikan adalah masalah ukhuwah
islamiyah antara sesama muslim. Jangan sampai dalam bekerja atau berusaha melahirkan
perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin. Rasulullah SAW sendiri mengemukakan
tentang hal yang bersifat prefentif agar tidak merusak ukhuwah Islamiyah di kalangan kaum
muslimin. Pekerjaan yang diberkahi Allah SWT. adalah pekerjaan yang halal, menghasilkan
manfaat, tidak menimbulkan atau mendatangkan kerusakan, kehancuran, keonaran, dan
penderitaan, dilaksanakan dengan tenang (tidak tergesa-gesa), bekerja secara bertahap sesuai

11
dengan perjalanan waktu, dilandasi sifat ikhlas, tawakal dan sabar, dan selalu berharap ridha
Allah SWT.

Adapun sifat-sifat yang perlu diperhatikan dalam bekerja adalah kesabaran (self-
control), agresif, dan membina jiwa yang kokoh (spiritual quotient), kerja keras (execution),
disiplin atau ketepatan manajemen waktu (time management) dalam kehidupan sehari-hari,
keakuratan (accounting) dan pengelolaan sumber daya (resources)., kebesaran Tuhan
(thinking big) yaitu dengan selalu mengingat ciptaan-ciptaan Allah serta hikmah di balik
ciptaan-Nya.

2. Taabudi

Bekerja dalam ekonomi Islam dipandang sebagai bentuk amal sholeh dan akan
mendapatan balasan dari Allah SWT. Dengan demikian dalam Islam bekerja bernilai ibadah.

Setiap yang dikerjakan anak manusia, dipastikan akan diberitakan atau dilaporkan
apa adanya dan Allah dipastikan akan memberikan balasan terhadap amal perbuatan, baik
yang berhubungan dengan prestasi kerja duniawi (bermotifkan ekonomi) maupun yang
berhubungan dengan nilainilai ukhrawi. Jika kerjanya baik, maka akan mendapatkan imbalan
yang baik, dan sebaliknya, manakala perbuatannya buruk maka akan mendapatkan imbalan
yang buruk pula.25 Di Akhirat imbalan pekerjaan yang baik adalah Surga dan imbalan
pekerjaan yang buruk adalah neraka. Oleh karena itu untuk memdapatkan imbalan Surga
senantiasa bekerja dengan penuh ketaatan dan selalu mengingat Allah SWT.

3. Takafuli

Nilai takafuli adalah sikap tanggungjawab sosial setiap muslim kepada saudaranya.
Islam menekankan bahwa kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi
kemudahan orang lain yang mendapat jasa atau tenaganya. Islam menempatkan setiap
manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu
disebabkan bahwa bekerja tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan pekerja itu sendiri, namun
juga bermanfaat bagi orang lain. Nilai takafuli ini mendorong setiap muslim untuk berusaha
menutupi kebutuhan muslim lainnya Di samping itu, segenap hasil usaha setiap muslim yang
dikonsumsi oleh dirinya dan orang lain dipandang sodaqoh yang mempunyai nilai pahala
disisi Allah SWT.

4. Taawuni

12
Islam memberi pedoman kepada para pihak terkait dalam dunia kerja bahwa untuk
saling tolong menolong dan bantu membantu ( taawun ) dalam menghasilkan manfaat. Tidak
ada atasan atau bawahan dalam dunia kerja. Pengusaha dan pekerja sama saling
membutuhkan. Maka tidak heran jika Islam banyak mengenalkan konsep kerjasama ini.
Dalam jual beli ada konsep murabahah, dalam produksi ada konsep musyarakah dan
mudharabah. Dan dalam pertanian ada konsep muzaraah, mukhabarah dan musaqah.

G. Nilai Kerja dalam Tinjauan Ekonomi Islam


Hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja dalam sistem ekonomi makro Islami
berangkat dari urgensi dan fakta keterbatasan waktu sebagaimana ditegaskan dalam berbagai
ayat. Penawaran tenaga kerja pada umumnya dihitung dengan jam kerja yang ditawarkan.
Oleh karena itu analisis permasalahan ini berangkat dari bagaimana individu mengalokasikan
waktunya untuk bekerja dan berekreasi. Waktu adalah salah satu anugerah Allah yang
memiliki keterbatasan mutlak. Artinya, bila waktu itu tidak digunakan dengan sebaik-
baiknya, maka ia tidak akan kembali lagi (tidak ada perpanjangan waktu).
Teori ekonomi konvensional menawarkan model menejemen alokasi waktu dengan
menggunakan analisis pareto optimum. Azas ini mengajarkan bahwa seorang homo
economicus untuk memanfaatkan waktu yang dimilikinya dengan mempertimbangkan
“profesionalitas.” Contoh aplikasi prinsip ini adalah; seorang pengusaha rental mobil yang
profesional semestinya tidak menyervis atau mencuci sendiri mobil-mobil yang
disewakannya. Waktunya yang dialokasikan untuk menyervis maupun mencuci akan jauh
lebih menghasilkan profit bila digunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting terkait
denganpengembangan usaha rental mobil.
Azas pareto optimum akan menjadi semacam tuntutan atau bahkan kewajiban di era
globalisasi sekarang. Rumah tangga di kotakotabesar tidak akan bertahan hidup dengan baik
dan layak bila suami-istri tidak bekerja. Daripada menggunakan waktunya untuk bersih-
bersih rumah, mengurusi dapur, atau mencuci pakaian, lebih baik seorang istri bekerja di luar
rumah. Sebagian dari gaji yang diperolehnya dengan bekerja di luar rumah bisa digunakan
untuk mengupah seseorang mengerjakan urusan-urusan rumah tangga. Dalam sistem
kompetitif seperti ini, maka ada golongan masyarakat tertentu –yang pada umumnya
berpendidikan rendah dan unskill–yang akan terlemahkan oleh sistem (mustadz’afin).

13
Kenyataan empiris menunjukkan bahwa eksistensi kaum miskin dan tertindas
(mustadz’afin) seperti gelandangan, pengangguran (unemployment), dan golongan
termarjinalkan lainnya
di dunia modern tidak hanya menunjukkan krisis ekonomi dan politik, namun mengambil
nilai-nilai positif yang bermanfaat untuk diadaptasikan atau diintegrasikan ke dalam kerangka
Islam tanpa harus mengurangi nilai-nilai normatif yang ada.
Pendekatan Islam haruslah jelas-jelas bersifat ideologis dan berorientasi pada nilai-
nilainya. Konsep pembangunan senantiasa terikat oleh kondisi budaya, sosial dan politik
setempat. Pembangunan dalam Islam mempunyai pengertian khusus dan unik. Beberapa
aspek pembangunan seperti keadilan sosial dan hak asasi (social justice and human rights),
mempunyai persamaan dengan konsep Barat, di samping tentu saja banyak hal yang berbeda.
Pembahasan di atas menunjukkan urgensi untuk menggali konsep- konsep yang
bersumber dari Islam sendiri dalam memecahkan persoalan ekonomi. Langkah pertama yang
harus dilakukan adalah membangun dasar-dasar Ilmu Ekonomi Islam untuk melakukan
transformasi ekonomi masyarakat Muslim. Harus diakui bahwa proyek ilmu ekonomi Islam
dan Islamisasi ilmu ekonomi telah menjadi obor terdepan bagi proyek Islamisasi ilmu.
Bahkan para penggiat perbankan dan keuangan Islam juga telah berhasil mengukuhkan
terwujudnya sistem keuangan Islam secara global dan diakui eksistensinya dalam percaturan
ekonomi di dunia saat ini.
Upaya-upaya pembangunan fondasi keilmuan tersebut mengingatkan kembali
mengenai pentingnya penggalian pandanganpandangan mendasar (worldview) yang khas
Islam. Sebagaimana telah dikemukakan pada bab dua, worldview tersebut lahir dari adanya
konsep-konsep Islam yang mengkristal menjadi kerangka berfikir (mental framework). Islam
pada hakekatnya merupakan panduan pokok bagi manusia untuk menjalani aktifitas
kehidupannya, baik itu aktifitas ekonomi, politik, hukum maupun sosial budaya. Islam
memiliki kaidah-kaidah, prinsip-prinsip atau bahkan beberapa aturan spesifik dalam
pengaturan detil hidup dan kehidupan manusia.
Kegelisahan Khursid Ahmad tentu berangkat dari realitas yang terjadi dan melingkupi
negeri-negeri Muslim. Di mana hampir sebagian besarnya memiliki sumber daya yang luar
biasa tetapi keadaan ekonominya tetap tak berkembang, standar hidup rakyatnya masih
rendah. Ketimpangan dalam distribusi kekayaan, ketidakseimbangan dalam wilayah
geografis, kesenjangan antara sektor ekonomi dan sosial, juga terjadi ketimpangan antara
pusat industri dan daerah pertanian. Selain itu, mereka juga mengalami ketergantungan yang

14
luar biasa sebagai pengaruh berkepanjangan dari warisan hubungan ekonomi kolonial sebagai
prototipe pola hubungan ”pusat-pinggiran” (center-periphery relationship).
Terjadi paradoks dalam dunia Islam ketika mereka menggunakan prototipe
pertumbuhan sebagai pola pembangunan yang dirancang pakar dan praktisi Barat yang
kemudian ditawarkan kepada perencana negara Muslim melalui diplomasi internasional,
tekanan ekonomi, infiltrasi intelektual dan berbagai cara lainnya. Dari berbagai kajian
evaluasi kebijakan pembangunan dan kinerja ekonomi negara-negara Muslim menunjukkan
bahwa strategi imitasi telah gagal dalam menciptakan kesejahteraan. Semua bukti
menunjukkan bahwa usaha pembangunan selama ini masih jauh dari nilai-nilai Islami.
Pemecahan persoalan-persoalan pelik yang dihadapi negeri-negeri Muslim harus
dimulai dengan pemantapan kerangka berpikir. Dengan kata lain, kerangka berpikir menjadi
basis untuk menjawab persoalan-persoalan di atas. Dalam kerangka berfikir tersebut harus
dicanangkan sebuah premis baru bahwa pembangunan ekonomi dalam kerangka ilmu
ekonomi pembangunan Islami berakar pada kerangka nilai yang ada dalam al-Qur’an dan as-
Sunah. Model-model perekonomian kapitalis dan sosialis serta derivasinya memang bukan
merupakan ideal type, namun tidak ada salahnya apabila kita juga mengalami krisis spiritual.
Dalam pola kehidupan yang terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan, dan materi, kaum
mustadz’afin telah terstigma sebagai manusia yang secara moral mengalami degenerasi. tidak
berdaya, dan sering mengalami kegagalan dalam berbagai hal.
Pola kehidupan rumah tangga di era globalisasi sebagaimana tergambar dalam contoh
di atas pada akhirnya akan menciptakan “kehampa-maknaan hidup.” Kebutuhan-kebutuhan
kelekatan emosional dalam keluarga tergantikan dengan kelekatan materiil. Suami- istri yang
berprinsip pareto optimum akan mempercayakan pengasuhan dan pendidikan anaknya
kepada pembantu rumah tangga atau tempat penitipan anak. Sejak kecil anak-anak modern
telah diajari dengan konsep materialisme. Kebutuhan-kebutuhan jasmani (fisik) boleh jadi
telah tercukupi dengan baik, namun kebutuhan-kebutuhan ruhani (spiritual, psikologis)
mungkin masih sangat kurang. Kondisi-kondisi seperti inilah yang menjadikan proses
inserting ethics menjadi lebih sulit dilakukan.

15
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Bekerja berasal dari kata kerja. Dalam kamus bahasa Indonesia kerja mengandung
makna kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat)-nya makan dan minum saja.
Menurut Magnis dalam Anogara, pekerjaan atau bekerja adalah kegiatan yang direncanakan.
Sementara bekerja menurut Hegel dalam Anogara adalah kesadaran manusia.

Banyak dalil yang menjelaskan tentang bekerja baik bersumber dari al-Quran Seperti
QS. an-Naba’ ayat 11, QS. al-A’raaf ayat 12, QS. al-Jumu’ah ayat 13 maupun hadits dari
Nabi Muhammad SAW.

Ada lima prinsip bekerja yang perlu diperhatikan yaitu pertama kerja, aktifitas,
‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada nikmat Allah SWT. Kedua
seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil, yakni kehidupan yang baik di
dunia dan di akhirat. Ketiga, dua karakter utama yang hendaknya kita miliki, yaitu kuat dan
dipercaya. Keempat, kerja keras. Kelima, kerja dengan cerdas.

Urgensi kerja dalam ekonomi Islam adalah orang yang bekerja dikategorikan jihad fi
sabilillah. Dengan demikian Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka
yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah. Bahwa Islam senantiasa
mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak
dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa mengharap rezeki datang dari
langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun demikian, tidak dibenarkan pula terlalu
mengandalkan kemampuan diri sehingga melupakan pertolongan Allah SWT. Karena akan
menimbulkan rasa sombong, angkuh dan bangga atas dirinya.

Motivasi kerja dalam Islam yaitu, memenuhi kebutuhan hidup, meneguhkan syariat
Islam, meraih cinta Allah Swt, menambah nilai manfaat.Sedangkan nilai-nilai dalam bekerja
yaitu tauhidi, taabudi, takafuli, taawuni.

16
DAFTAR PUSTAKA

Nafis Irkhami. (2014). Islamic Work Ethics:Membangun Etos Kerja Islami. STAIN Salatiga
Press

Toto Tamara. (1994). Etos Kerja Pribadi Muslim. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

Eef Saefullah (2014). Bekerja Dalam Persfektif Ekonomi Islam. Jurnal ekonomi Islam. 5

Ahmad. (2016). Bekerja dan Berusaha dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jurnal Ekonomi
Bisnis. 5

17

Anda mungkin juga menyukai