Anda di halaman 1dari 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Hipertensi

a. Pengertian

Hipertensi adalah terjadinya peningkatan tekanan darah secara

persisten dalam dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit

pada saat kondisi cukup istirahat /tenang dimana tekanan darah sistolik

lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg.

Peningkatan tekanan darah dalam jangka waktu yang lama dan tidak

dideteksi secara dini dapat menyebabkan gagal ginjal, penyakit jantung

koroner dan stroke (Kemenkes RI, 2014).

Menurut American Heart Association (2017) seseorang dinyatakan

menderita hipertensi apabila tekanan darah sistolik ≥130 mmHg dan

tekanan darah diastolik ≥80 mmHg, oleh karena itu dapat disimpulkan

bahwa hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan

tekanan darah dimana tekanan darah sistolik sama dengan atau diatas

≥130 mmHg dan tekanan diastolik sama dengan atau diatas ≥80 mmHg.

b. Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi menurut Joint National Committee on

Detection (JNC) 2007 meliputi :

1
1) Hipertensi Primer atau Hipertensi Esensial

Hipertensi primer yaitu hipertensi yang penyebabnya tidak

diketahui secara pasti. Hipertensi primer merupakan suatu

peningkatan persisten tekanan darah arteri yang dihasilkan oleh

ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal. Hipertensi

ini ditemukan pada 90% dari seluruh kasus hipertensi. Ada beberapa

faktor yang berhubungan dengan hipertensi primer meliputi: faktor

genetik, kelebihan asupan natrium, obesitas, dislipidemia, asupan

alkohol yang berlebih, kurang aktifitas fisik, dan defisiensi vitamin D.

2) Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial

Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang penyebabnya dapat

diidentifikasi. Ditemukan pada 10% kasus dari seluruh kasus

hipertensi. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hipertensi

sekunder meliputi penyakit ginjal primer, kontrasepsi oral, obat-

obatan (antidepresan, steroid), hiperaldosteronisme primer,

feokromonistoma, stenosis arteri renalis, koarktasi aorta. Hipertensi

sekunder adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua

selain hipertensi esensial.

Klasifikasi hipertensi menurut The seventh Report of the

JointNational Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and

Treatmentof High Blood Pressure (JNC-7) tahun 2013 untuk pasien

dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran tekanan

darah sebanyak duakali atau lebih.

2
Tabel 2.1 Kriteria penyakit hipertensi menurut JNC 7 Report

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah


Tekanan Darah Darah Sistol Diastol
(mmHg) (mmHg)
Normal <120 <80
Pre-Hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 ≥100
Sumber : (JNC 7, 2003)

c. Etiologi

Etiologi dari hipertensi terbagi dalam dua kelompok yaitu faktor

yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah

1) Faktor risiko yang tidak dapat diubah

Faktor risiko yang tidak dapat dirubah yang antara lain usia, jenis

kelamin dan genetik.

a) Usia

Insidensi hipertensi meningkat seiring pertambahan usia.

Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh

perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang

terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi

aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan

dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya

menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh

darah. Konsekuensinya aorta dan arteri besar berkurang

kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang

dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan

3
penurunan curah jantung, dan peningkatan tahanan perifer

(Smeltzer & Bare, 2012).

b) Jenis kelamin

Pria memiliki risiko menderita hipertensi pada usia diatas

45 tahun dibandingkan dengan wanita namun pria dan wanita

memiliki kemungkinan menderita hipertensi yang pada usia 55

tahun hingga 64 tahun. Wanita memiliki kemungkinan lebih

tinggi untuk menderita hipertensi dibandingkan pria pada usia

diatas 65 tahun (Maric, 2005). Hipertensi berdasarkan jenis

kelamin juga dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis dan

perilaku yang tidaksehat (Zuraidah et al., 2012)

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan

wanita, akan tetapi wanita pramenopause (sebelum menopause)

prevalensinya lebih terlindung daripada pria pada usia yang

sama. Wanita yang belum menopause dilindungi oleh hormon

estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density

Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi

merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses

aterosklerosis yang dapat menyebabkan hipertensi (Price &

Wilson, 2006).

c) Keturunan (genetik)

Faktor genetik juga berperan dalam terjadinya hipertensi

apabila seseorang yang mempunyai riwayat keluarga menderita

4
hipertensi maka risiko terkena penyakit hipertensi akan lebih

tinggi (CDC, 2013). Adanya faktor genetik pada keluarga

tertentu akan menyebabkan keluarga mempunyai resiko

menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan

kadar Sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium

terhadap Sodium, individu dengan orang tua yang menderita

hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk

menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai

keluarga dengan riwayat hipertensi (Anggraini, 2009).

2) Faktor resiko yang dapat diubah

a) Obesitas

Hipertensi pada orang yang obesitas memiliki risiko lima

kali lipat menderita hipertensi dari pada seseorang yang memiliki

berat badan normal. Penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-

33% memiliki berat badan diatas normal atau obesitas (Depkes,

2006).

b) Stres

Stres dapat menyebabkan hipertensi melalui saraf simpatis

sehingga dapat tekanan darah secara intermitten. Stres juga dapat

merangsang kelenjar anak ginjal untuk melepaskan hormon

adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat sehingga

dapat meningkatkan tekanan darah (Irza, 2009).

5
c) Merokok

Merokok dapat menyebabkan rusaknya lapisan endotel

pembuluh darah arteri sehingga bisa mengakibatkan

arteriosklerosis dan tekanan darah tinggi dikarenakan zat-zat

kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang masuk

ke dalam aliran darah (Anggraini et al., 2008).

d) Olahraga

Olahraga yang teratur dapat membantu menurunkan

tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan

(Depkes, 2006). Tekanan darah akan meningkat pada saat

melakukan olahraga namun jika dilakukan secara teratur tekanan

darah akan menurun. Olahraga teratur dalam jumlah sedang akan

lebih baik dibandingkan dengan olahraga berat hanya dilakukan

sekali saja (Beevers et al., 2002).

e) Konsumsi alkohol dan kafein

Konsumsi alkohol dan kafein berlebih yang terdapat dalam

minuman kopi, teh, soda akan meningkatkan resiko terjadinya

hipertensi. Mengkosumsi alkohol dapat meningkatkan aktivitas

saraf simpatis karena dapat merangsang sekresi corticotrophin

releasing hormone (CRH) yang bisa meningkatkan tekanan

darah

6
f) Konsumsi Garam Berlebihan

Konsumsi garam secara berlebihan dapat menyebabkan

penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan yang ada

di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan meningkatkan

volume dan tekanan darah (Irza, 2009). sedangkan mengkosumsi

kafein dapat menstimulasi jantung untuk bekerja lebih cepat

sehingga mengalirkan darah lebih banyak setiap detiknya

(Anggraini et al., 2008).

g) Hiperlipidemia / Hiperkolesterolemia

Kelainan metabolisme lipid (Iemak) didalam tubuh yang

ditandai dengan meningkatnya kadar kolesterol total, trigliserida,

low density lipoprotein (LDL) dan penurunan kadar high density

lipoprotein (HDL) dalam darah. Kolesterol adalah salah satu

faktor penyebab aterosklerosis yang dapat mengakibatkan

tingginya tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan

darah meningkat (Depkes, 2006).

d. Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat

vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke

korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis

di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam

bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke

7
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan

asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke

pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti

kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah

terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat

sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas

mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin, 2009).

Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang

pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga

terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla

adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi.

Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat

memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi

yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan

pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang

kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat,

yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks

adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus

ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor

ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Smeltzer, 2009).

Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan

struktural dan fungsional pada sistem pembuluh perifer

8
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia

lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas

jaringan ikat dan penurunan relaksasi otot polos pembuluh darah, yang

pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang

pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang

kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa

oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curah

jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2009).

Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi

yang kadang-kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah

periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang

menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di

aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat.

Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-

30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi

hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer

meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan

akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun

(Brunner & Suddarth, 2002).

Hipertensi pada lansia terjadi karena adanya perubahan struktural

dan fungsional pada sistem pembuluh perifer yang bertanggung jawab

pada perubahan tekanan darah. Perubahan tersebut meliputi

aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam

9
relaksasi otot polos pembuluh darah yang pada gilirannya menurunkan

kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya

aorta dan arteri besar kurang kemampuannya dalam mengakomodasi

volume darah yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan penurunan

curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Farrell & Dempsey,

2010).

10
Gambar 2.1 Bagan Pathway Hipertensi

11
e. Penatalaksanaan

1) Penatalaksanaan farmakologi

Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah

diuretik tiazid (misalnya bendroflumetiazid), beta‐bloker,

(misalnya propanolol, atenolol) penghambat angiotensin

converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis

reseptor angiotensin II (misalnya candesartan, losartan), calcium

channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alpha‐blocker

(misalnya doksasozin).Yang lebih jarang digunakan adalah

vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai,

guanetidin, yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.

Menurut (Gormer, 2007) kelas obat utama yang digunakan untuk

mengendalikan tekanan darah adalah

a) Diuretik tiazid

Diuretik tiazid adalah diuretik dengan potensi menengah

yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat

reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal,

meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga

mempunyai efek vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga

dapat mempertahankan efek antihipertensi lebih lama. Tiazid

diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi luas dan

dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu

1‐2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam,

12
sehingga obat ini cukup diberikan sekali sehari. Efek

antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis

tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun

diuresis meningkat pada dosis tinggi. Efek tiazid pada tubulus

ginjal tergantung pada tingkat ekskresinya, oleh karena itu tiazid

kurang bermanfaat untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

b) Beta-blocker

Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini

diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor

beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta‐2

banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan

otot lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung,

sedangkan reseptor beta‐1 juga dapat dijumpai pada ginjal.

Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak. Stimulasi reseptor

beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan

neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf

simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan

miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi.

Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan

penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system rennin‐

angiotensin‐aldosteron. Efek akhirnya adalah peningkatan

cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan

sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air.

13
Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis

semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah.

Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective

beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐

1, tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu

penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan

bronkhospasma harus hati‐hati. Beta‐blocker yang nonselektif

(misalnya propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta‐2.

Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal

sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsik), misalnya

acebutolol, bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas

adrenergik minimal (misalnya saat tidur) tetapi akan memblok

aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik meningkat

(misalnya saat berolahraga).

Hal ini menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada

siang hari. Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan

carvedilol, juga memblok efek adrenoseptor‐alfa perifer. Obat

lain, misalnya celiprolol, mempunyai efek agonis beta‐2 atau

vasodilator. Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal

tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat

yang diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan

beberapa kali dalam sehari sedangkan yang diekskresikan

melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang lebih

14
lama sehingga dapat diberikan sekali dalam sehari. Beta‐blocker

tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara

bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat

terjadi fenomena rebound.

c) ACE inhibitor

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi)

menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari

prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat pada darah,

pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak.

Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu

penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan

perifer.

Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan

menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐

aldosteron teraktivasi (misalnya pada keadaan penurunan

sodium, atau pada terapi diuretik) efek antihipertensi ACEi akan

lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi

kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi.

Penghambatan degradasi ini akan menghasilkan efek

antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa perbedaan pada

parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi

tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga

bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien akan

15
berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama ACEi harus

diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah

mendadak mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien

mempunyai kadar sodium rendah.

d) Antagonis Reseptor Angiotensin II

Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah

dan target lainnya. Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1

dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai respon farmakologis

angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan

aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat.

Fungsi reseptor AT2 masih belum begitu jelas. Banyak jaringan

mampu mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II

tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐

angitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan

pemberian antagonis reseptor angiotensin II mungkin

bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II

(AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi

AIIRA tidak mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal,

ACEi dan AIIRA dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal

bilateral dan pada stenosis arteri yang berat yang mensuplai

ginjal yang hanya berfungsi satu.

16
e) Calcium channel blocker

Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion

kalsium ke dalam sel miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi

jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan

menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan

propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas

vasodilatasi, interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh

darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada

ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya

nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan

benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat

vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya,

sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak

dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah

angina. Semua CCB dimetabolisme di hati.

f) Alpha-blocker

Alpha‐blocker (penghambat adrenoseptor alfa‐1) memblok

adrenoseptor alfa‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi

karena merelaksaasi otot polos pembuluh darah. Diindikasikan

untuk hipertensi yang resisten.

g) Golongan lain

Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil)

menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos

17
pembuluh darah. Antihipertensi kerja sentral (misalnya klonidin,

metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐2 atau

reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke

jantung, pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya

menurunkan tekanan darah.

2) Penatalaksanaa Non-farmakologi

Pengobatan non farmakologi yang utama terhadap hipertensi

adalah pembatasan garam dalam makanan, pengawasan berat badan,

dan membatasi minuman alkohol. Intervensi terhadap faktor di atas

dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi. Pengobatan ini akan

benar-benar berguna apabia tekanan darah diastol di antara 90-95

pada penderita hipertensi dengan usia kurang dari 50 tahun yang

tidak mempunyai faktor-faktor resiko kardiovaskuler lainnya seperti:

diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, laki-laki, riwayat keluarga,

kulit hitam, atau bukti-bukti adanya kerusakan dalam organ target.

Pengobatan non-farmakologi diberikan sebagai tambahan pada

penderita-penderita yang mendapat terapi dengan obat-obat.

(Suwarso, 2010).

a) Modifikasi Gaya Hidup

Penatalaksanaan nonfarmakologi yaitu modifikasi gaya

hidup dan terapi. JNC VII memberikan alur penanganan pada

pasien hipertensi yang paling utama adalah memodifikasi gaya

hidup, jika respon tidak adekuat maka dapat diberikan pilihan

18
obat dengan efektifitas tertinggi dengan efek samping terkecil dan

penerimaan serta kepatuhan pasien. (Farrell & Dempsey, 2010).

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat

penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan

bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien

dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan

gaya hidup. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien

pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat

mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-

pasien dengan tekanan darah prehipertensi. (He J, et.al., 2000).

Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat dapat

menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk

individu yang obesitas ; mengadopsi pola makan DASH (Dietary

Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan

kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan tidak banyak

mengkonsumsi alkohol. Pada sejumlah pasien dengan

pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat

antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat

membebaskan pasien dari menggunakan obat. (Hyman DJ et.al.,

2001).

b) Pembatasan Garam dalam Makanan

Pada beberapa orang dengan penyakit hipertensi, ada yang

peka terhadap garam (salt-sensitive) dan terdapat pula yang

19
resisten terhadap garam. Penderita hipertensi yang peka terhadap

garam cenderung akan menahan natrium, berat badan bertambah,

dan menimbulkan hipertensi pada diet yang tinggi garam.

Sebaliknya, untuk penderita yang resisten terhadap garam

cenderung tidak terdapat perubahan dalam berat badannya atau

tekanan darah pada diet garam rendah atau tinggi. Reaksi

terhadap garam ini menjelaskan mengapa beberapa orang yang

mempunyai penurunan tekanan darah yang tidak sesuai dengan

pembatasan garam dalam makanan, sedang pada orang lain

tekanan darah tetap tidak berubah. (Suwarso, 2010).

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa diet yang

mengandung 1600-2300 mg natrium/hari dapat menurunkan

tekanan darah sistolik sebesar 9-15 mmHg dan tekanan diastolik

sebesar 7-16 mmHg. Pembatasan garam sekitar 2000 mg

natrium/hari dianjurkan untuk pengelolaan diet pada kebanyakan

penderita hipertensi. (Suwarso, 2010).

Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal

2 gr garam dapur perhari dan menghindari makanan yang

kandungan garamnya tinggi. Misalnya telur asin, ikan asin, terasi,

minuman dan makanan yang mengandung ikatan natrium.Tujuan

diet rendah garam adalah untuk membantu menghilangkan retensi

(penahan) air dalam jaringan tubuh sehingga dapat menurunkan

tekanan darah. Walaupun rendah garam, yang penting

20
diperhatikan dalam melakukan diet ini adalah komposisi makanan

harus tetap mengandung cukup zat-zat gizi, baik kalori, protein,

mineral, maupun vitamin yang seimbang (Suwarso, 2010). Diet

rendah garam dibagi menjadi 3:

(1) Diet garam rendah I (200-400 mg Na)

Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan

edema, asites dan / atau hipertensi berat. Pada pengolahan

makanannya tidak ditambahkan garam dapur. Dihindari

bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya.

(2) Diet garam rendah II (600-800 mg Na)

Diet garam rendah II diberikan kepada pasien dengan

edema, asites, dan / atau hipertensi tidak berat. Pemberian

makanan sehari sama dengan diet garam rendah I. Pada

pengolahan makanannya boleh menggunakan ½ sdt garam

dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar

natriumnya.

(3) Diet garam rendah III (1000 – 1200 mg Na)

Diet garam rendah III diberikan kepada pasien dengan

edema dan atau hipertensi ringan. Pemberian makanan sehari

sama dengan diet garam rendah I. Pada pengolahan

makanannya boleh menggunakan 1 sdt garam dapur.

21
c) Diet rendah kolesterol dan lemak terbatas

Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol

darah tidak terlalu tinggi. Kadar kolesterol darah yang terlalu

tinggi dapat mengakibatkan terjadinya endapan kolesterol dalam

dinding pembuluh darah. Lama-kelamaan jika endapan kolesterol

bertambah akan menyumbat pembuluh nadi dan mengganggu

peredaran darah. Dengan demikian, akan memperberat kerja

jantung dan secara tidak langsung memperparah hipertensi

(Suwarso, 2010).

Diet ini bertujuan untuk menurunkan kadar kolesterol darah

dan menurunkan berat badan bagi penderita yang kegemukan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengatur diet lemak

antara lain sebagai berikut :

(1) Hindari penggunaan lemak hewan, margarin, dan mentega,

terutama makanan yang digoreng dengan minyak

(2) Batasi konsumsi daging, hati, limpa, dan jenis jeroan lainnya

serta sea food (udang, kepiting), minyak kelapa, dan santan

(3) Gunakan susu skim untuk pengganti susu full cream

(4) Batasi konsumsi kuning telur, paling banyak tiga butir dalam

seminggu.

Pembatasan asupan natrium dapat merupakan pengobatan

efektif bagi banyak pasien dengan hipertensi ringan. Diet rata rata

orang Amerika mengandung sekitar 200 meq natrium setiap

22
harinya. Diet yang dianjurkan untuk pengobatan hipertensi adalah

70-100 meq natrium setiap harinya, dapat dicapai dengan tidak

memberi garam pada makanan selama atau sesudah memasak dan

menghindari makanan yang diawetkan dengan kandungan

natrium besar. Kepatuhandalam pembatasan natrium dapat

ditentukan dengan mengukur ekskresi natrium urine setiap 24

jam, yang dapat memperkirakan masukan natrium sebelum dan

sesudah petunjuk untuk melakukan diet (Suwarso, 2010).

d) Olahraga

Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga

aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari

per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan

kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan

menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah.

Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan

berat badan. (Depkes, 2006).

e) Mengurangi Berat Badan

Insiden hipertensi meningkat 54 hingga 142% pada

penderita yang obesitas. Penurunan berat badan dalam waktu

yang pendek dalam jumlah yang cukup besar biasanya disertai

dengan penurunan tekanan darah. Beberapa peneliti menghitung

rata-rata penurunan tekanan darah sebesar 20,7 sampai 12,7

mmHg dapat mencapai penurunan berat badan rata-rata sebesar

23
11,7 kg. Terdapat hubungan yang erat antara perubahan berat

badan dan perubahan tekanan darah dengan ramalan tekanan

darah sebesar 25/15 mmHg setiap kilogram penurunan berat

badan. (Suwarso, 2010).

f) Pembatasan konsumsi alkohol dan merokok

Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan

kematian kardiovaskular. Kebiasaan merokok harus dikurangi

bahkan dihindari, karena keadaan jantung dan paru-paru

perokok tidak akan dapat bekerja secara efisien. Asap rokok

mengandung nikotin yang memacu pengeluaran zat-zat seperti

adrenalin yang dapat merangsang denyutan jantung dan tekanan

darah.

Asap rokok mengandung karbon monoksida yang memiliki

kemampuan jauh lebih kuat dari pada sel darah merah

(hemoglobin) untuk menarik atau menyerap oksigen, sehingga

menurunkan kapasitas darah merah untuk membawa oksigen ke

jaringan-jaringan termasuk jantung.

Merokok terus-menerus dalam jangka panjang berpeluang

besar untuk menimbulkan penyumbatan arteri di leher.

Penelitian Framingham Heart Study menemukan bahwa

merokok menurunkan kadar kolesterol baik (HDL). Penelitian

lain menunjukkan mereka yang merokok 20 batang atau lebih

per hari mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki

24
dan 14% untuk perempuan dibandingkan mereka yang tidak

merokok (Soeharto, 2004).

g) Manajemen stres

Berbagai cara untuk mengurangi stres antara lain melalui

pola makan yang sehat dan bergizi, memelihara kebugaran

jasmani, latihan pernapasan, melakukan aktivitas yang

menggembirakan serta berbagai macam relaksasi. Relaksasi

adalah suatu bentuk latihan untuk mengurangi stres, menurut

(Hartono, 2007) cara latihan relaksasi dibagi menjadi beberapa

kelompok yaitu:

(1) Relaksasi otot

Relaksasi otot bertujuan agar badan bisa rileks.

Relaksasi ini dilakukan dengan mencoba merasakan otot-

otot saat tegang dan kaku, dengan cara mengencangkan

otot-otot badan. Latihan dimulai dengan mengepalkan

tangan dan lengan kemudian mengendorkannya.

(2) Relaksasi dengan latihan pernapasan

Relaksasi dengan latihan pernapasan dapat mengurangi

ketegangan dengan cukup efektif dengan cara bernafaslah

dengan wajar, hiruplah udara melalui hidung dengan cukup

dalam, kemudian keluarkan menghembuskan napas secara

perlahan, bayangkanlah suatu kondisi yang positif, misal

tenang, sabar, rileks.

25
(3) Relaksasi dengan hipnosis/autosugesti

Metode relaksasi dengan hipnosis/autosugesti

dilakukan dengan cara bernapas pelan dan rileks. Tanpa

mengucapkan kata apa pun, kita cukup memusatkan

kesadaran/perhatian pada pengembangan perut dan

pengempisan paru saat mengeluarkan napas. Pada

prinsipnya, metode relaksasi dapat disesuaikan dengan

keyakinan masing-masing individu; dengan menggunakan

keyakinan itu secara teratur, maka akan didapatkan manfaat

sepenuhnya dari faktor keyakinan itu yang disebut efek

hipnosis/ autosugesti.

(4) Relaksasi dengan cara lain

Relaksasi dengan cara lain ini dapat dicapai dengan

beberapa kegiatan lain, tentunya kegiatan-kegiatan yang

ringan dan santai, misalnya bersiul/bernyanyi, jalan santai

dipagi hari, atau duduk santai menikmati pemandangan

alam di sore hari, dapat juga dengan melakukan kegiatan

penyaluran hobi misal melukis atau mendengarkan musik

ringan, pergi ke sungai atau danau untuk memancing,

duduk memancing selama dua atau tiga jam tidak banyak

gerak dan tanpa memikirkan persoalan-persoalan lain akan

26
menenangkan pikiran dan mengurangi stres. Meditasi dan

latihan yoga atau taichi jika dilakukan secara teratur, juga

dapat mengurangi ketegangan dan berfungsi sebagai latihan

relaksasi yang baik.

2. Isometric Handgrip Exercise

a. Pengertian

Latihan isometrik merupakan bentuk latihan statis yang terjadi bila

otot berkontraksi tanpa adanya perubahan pada panjang otot atau

pergerakan sendi yang terlihat. Latihan ini dapat dilakukan di mana saja,

intensitas dari ringan ke sedang, penggunaan alat relatife lebih murah dan

waktu yang diperlukan relatif lebih sedikit membuat latihan ini memiliki

potensial untuk kepatuhan pada klien (Carlson et al.,2014).

Latihan isometrik merupakan bentuk latihan static yang terjadi bila

otot berkontraksi tanpa adanya perubahan pada panjang otot atau pergerakan

sendi yang terlihat. Terdapat 2 jenis latihan isometrik yaitu: muscle setting

exercise dan latihan isometrik dengan tahanan. Muscle setting exercise

merupakan latihan isometric intensitas rendah dengan sedikit sedikit atau

tanpa tahanan sedangkan latihan isometrik dengan tahanan digunakan untuk

meningkatkan kekuatan otot bila terdapat nyeri gerak sendi (Basuki, 2008).

Isometric Handgrip Exercise merupakan latihan statis yang dilakukan

dengan menggunakan handgrip. Handgrip merupakan alat yang biasa

digunakan untuk mengukur kekuatan otot genggaman tangan. Handgrip juga

untuk mendeteksi gangguan mobilisasi fungsional (Basuki, 2008). Isometric

handgrip exercise merupakan sebuah kegiatan mencengkram dimana

27
kontraksinya terjadi pada bagian lengan bawah dan tangan, sehingga akan

menyebabkan perubahan dalam ketegangan otot tangan (Nurindra, Herman,

dan Yenita, 2011).

Gambar 2.2 Alat Hand Grip

b. Manfaat

Latihan isometrik handgrip dapat menurunkan reaktivitas

kardiovaskuler terhadap stresor psikofisiologis pada orang yang

menderita hipertensi (Badrov et al., 2013). Pada penelitian, 5 menit

setelah satu kali kontraksi bilateral handgrip terjadi peningkatan nadi

yang dapat diinterpretasikan sebagai perubahan keseimbangan

neurokardiak yaitu dengan meningkatnya respon vagal atau terjadinya

penurunan modulasi simpatik (Millar, MacDonald, Bray, & McCartney,

2009).

Latihan isometrik mengakibatkan penekanan otot pada pembuluh

darah yang akan menghasilkan stimulus iskemik dan menimbulkan

28
stimulus sehingga terjadi mekanisme shear stress (Guyton, A.C & Hall,

2008). Stimulus iskemik menginduksi peningkatan aliran arteri brakialis

untuk menurunkan efek langsung iskemia pada pembuluh darah tersebut.

Ketika tekanan dilepaskan, aliran darah pembuluh darah lengan bawah

membesar dikarenakan terjadinya dilatasi pada pembuluh darah distal

yang akan menginduksi stimulus shear stress pada arteri brakialis

(Mcgowan, Levy, Mccartney, & Macdonald, 2007). Mekanisme shear

stress menimbulkan pelepasan turunan Nitrit Oksid (NO)-endotelium

yang diproduksi oleh sel endotel sebagai vasodilator pembuluh darah

(Mcgowan et al., 2007). NO merupakan mediator kunci dari sel endotel

dimana sel endotel adalah bagian dalam lumen dari pembuluh darah yang

berada diseluruh tubuh dan memiliki peran penting sebagai penghubung

antara sirkulasi darah dan sel-sel otot polos pada pembuluh darah.

Sejumlah NO juga akan berdifusi ke dinding arteri dan vena (otot polos)

serta mengaktivasi enzim yang akan merangsang dan memicu untuk

terjadinya relaksasi pada otot yang memungkinkan pembuluh darah

membesar (peningkatan diameter pembuluh darah) yang mengakibatkan

darah menjadi lancar da terjadi penurunan tekanan darah (Widiastuti,

2010).

Penemuan terbaru menjelaskan bahwa terjadi peningkatan

kapasitas istirahat pada sistem produksi, pelepasan dan/atau penggunaan

NO-dilator memiliki kontribusi pada penurunan tekanan darah sistolik

setelah latihan. Selain itu stimulus hiperemia reaktif berkontribusi dalam

29
pelepasan substansi vasodilator lain termasuk prostasiklin dan metabolit

iskemik (Mcgowan et al., 2007). Dengan demikian, penurunan puncak

reaktivitas aliran darah hiperemia akan berpengaruh terhadap terjadinya

perubahan fungsi otot polos pembuluh darah dan menjadi dasar dalam

terjadinya perubahan struktur pembuluh darah sehingga menyebabkan

penurunan resistensi perifer (Mcgowanet al., 2007).

Berdasarkan hasil diatas, meskipun penurunan tekanan darah yang

didapatkan tidak terlalu besar, namun dilansir dari rilis media yang

diunggah pada laman PD PERSI, dikatakan bahwa penurunan tekanan

darah hingga 2 mmHg tekanan darah dapat mengurangi risiko kematian

akibat penyakit jantung koroner sebesar 7 % dan risiko kematian akibat

stroke sebesar 10% (Hellosehat, 2018) . Maka rerata penurunan tekanan

darah pada penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat yang baik

dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat hipertensi. Hal

lain yang dapat menyebabkan kecilnya frekuensi penurunan tekanan

darah adalah karena tingkat pengobatan responden yang sebagian besar

tidak teratur karena keteraturan minum obat anti hipertensi bisa menjadi

salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan atau penurunan

tekanan darah. Adanya penyakit lain juga dapat menghambat latihan

dalam penurunan tekanan darah.(Andri, Waluyo, Jumaiyah, & Nastashia,

2018)

Latihan isometrik selain terbukti menurunkan tekanan darah, latihan

ini juga bermanfaat untuk mencegah atrofi otot, membangun volume otot,

30
meningkatkan stabilitas sendi, serta mengurangi edema. Latihan dengan

menggunakan handgrip memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan

dengan menggunakan handgrip yakni jauh lebih sederhana, tidak

membutuhkan fasilitas atau ruangan yang banyak untuk melakukan latihan,

tidak memakan waktu yang banyak dan tidak terpengaruh oleh cuaca karena

dapat dilakukan di dalam ruangan. Kelemahannya lebih terfokus pada alat

yang hanya digunakan satu orang pada satu waktu (Owen et al, 2010).

c. Indikasi dan Kontraindikasi

Latihan isometrik ini secara tradisional tidak direkomendasikan

bagi klien dengan hipertensi, namun berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Owen, Wiles & Swaine (2010) terhadap efek jangka

pendek latihan isometrik menggunakan handgrip selama 10 menit atau

lebih yang dilakukan 3-4 kali seminggu terbukti menurunkan tekanan

darah baik sistol maupun diastol. Latihan ini dapat dilakukan pada pasien

hipertensi dengan tekanan darah yang terkontrol. Penerapan pada

penderita hipertensi berat dan gangguan jantung membutuhkan

pemantauan yang lebih ketat baik sebelum maupun pada saat latihan.

Tidak ada efek samping yang dilaporkan responden ketika dilakukan

IHG exercise. Alat handgrip sebaiknya tidak direkomendasikan pada

responden dengan arthritis di tangan, sindrome carpar tunnel, atau sindrom

nyeri lainnya, dimana alat tersebut dapat memicu timbulnya nyeri pada

mereka dengan aneurisme atau masalah katup mitral, dimana kenaikan awal

tekanan darah dapat dipicu dengan penggunaan alat bisa sangat berbahaya

(Abe & Bisognano, 2011).

31
d. Langkah-langkah dalam melakukan isometric handgrip exercise

menurut Mortimer & McKune (2011) antara lain:

1) Dalam keadaan duduk, melakukan kontraksi isometric (menggenggam

handgrip) dengan satu tangan selama 45 detik.

2) Kemudian membuka genggaman dan istirahat selama 15 detik.

3) Kembali melakukan kontraksi isometric (menggenggam handgrip)

dengan tangan yang lain selama 45 detik. (prosedur diulang, sehingga

masing-masing tangan mendapatkan 2 kali kontraksi, jumlah total durasi

selama latihan sebanyak 180 detik atau 3 menit). Dengan keluatan tarikan

30% - 40% kontraksi volunteer maksimal atau 20 kg beban tarikan

handgrip.

4) Pada saat melakukan genggaman disertai dengan latihan mengambil dan

menghembuskan nafas secara teratur.

5) Pengukuran tekanan darah setelah intervensi dilakukan setelah

istirahat 5 menit.

e. Mekanisme penurunan tekanan darah dengan latihan isometrik

Kontraksi Isometrik atau statis berbeda dari gerakan dinamis karena

tidak melibatkan kekuatan dan tanpa adanya perubahan panjang otot.

Penelitian awal dibidang isometric exercise berfokus pada perbedaan antara

isometrik dan olahraga dinamis. Salah satu perbedaan utamanya ialah insiasi

metabarorefleks dalam upaya untuk memulihkan aliran darah, karena

kontraksi isometrik mengganggu aliran darah bahkan pada tingkat intensitas

rendah. Aspek kedua yang lebih kontroversial adalah respon kardiovaskular

pada kontraksi isometrik, sering terbukti bertentangan dengan beberapa

32
populasi khusus. Respon tekanan darah dan denyut jantung terhadap latihan

isometrik dipengaruhi oleh kekuatan kontraksi, ukuran otot dan lamanya

waktu kontraksi. Sama halnya denga latihan kekuatan, respon

kardiovaskular ditandai dengan peningkatan cardiac output dan arterial

blood pressure (ABP) menghasilkan beban tekanan pada jantung dengan

sedikit perubahan pada tahanan perifer total (Millar et al, 2009).

Respon kardiovaskular sistemik terhadap latihan bergantung pada

jenis kontraksi yang dominan di otot, yakni isometric atau isotonic dalam

kaitannya dengan kinerja eksternal. Pada kontraksi isometrik, frekuensi

denyut jantung meningkat. Peningkatan ini tetap terjadi jika kontraksi otot

dicegah dengan pembesaran penghambatan neuron muscular secara lokal.

Hal ini juga terjadi hanya dengan berfikir tentang melakukan kontraksi otot

sehingga peningkatan tersebut mungkin terjadi akibat rangsangan psikis

pada medulla oblongata. Dalam beberapa detik setelah kontraksi isometrik

dimulai, tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat tajam. Isi sekuncup

tidak banyak berubah, aliran darah berkurang pada otot yang tetap

berkontraksi akibat kompresi pada pembuluh darahnya (Ganong, 2008).

Pada waktu permulaan melakukan latihan fisik terjadi peningkatan

denyut jantung yang menyebabkan terjadinya peningkatan curah. jantung

sehingga mengakibatkan meningkatnya tekanan darah. Peningkatan curah

jantung terjadi karena meningkatnya kebutuhan suplai oksigen dari otot-otot

yang bekerja. Denyut jantung yang terus bertambah seiring dengan

meningkatnya intensitas latihan akan mencapai batas maksimal dan tidak

meningkat lagi yang disebut sebagai steady state heart rate (Ganong, 2008).

33
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap penurunan tekanan

darah pada isometric handgrip exercise masih sulit dipahami, tetapi

berdasarkan penelitian termasuk di dalamnya adalah modulasi otonom

(Millar et al, 2009), perbaikan stres oksidatif (Peters et al, 2006), dan atau

terjadinya peningkatan fungsi endotel pembuluh resistensi (McGowan et al,

2007). Fungsi resistensi pembuluh darah endotel mungkin yang paling

berperan, mengingat pembuluh resisten ini terutama bertanggung jawab

untuk modulasi tekanan darah arteri dan terbukti telah berperan penting

dalam patogenesis kronis peningkatan tekanan darah atau hipertensi (Badrov

et al, 2013).

Menurut Kaplan (1998) salah satu faktor yang menentukan terjadinya

hipertensi adalah adanya kelainan pada sel endotel. Endotel merupakan sel

yang melapisi pembuluh darah yang akhir ini diketahui berperan sebagai

pengatur fungsi tonus otot polos pembuluh darah. Endotel menghasilkan

faklor yang bersifat relaksasi pembuluh darah (Endothelium-Derived

Relaxing Factors: EDRF), juga menghasilkan faktor yang bersifat kontraksi

pembuluh darah (Endothelium-Derived Contracting Factors: EDCF).

Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa yang bertindak sebagai EDRF

tersebut adalah nitric oksida (NO). Sedangkan yang bertindak sebagai

EDCF adalah endotelin-1 (ET-1), tromboxan A2, prostaglandin H2 dan

prostasiklin (Ganong, 2008).

Gangguan pada sel endotel disebabkan berbagai hal seperti shear

stress hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin

inflamasi dan hiperkolestrolemia, maka fungsi pengaturan menjadi abnormal

34
dan disebut sebagai disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi

ketidakseimbangan substansi vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi.

Disfungsi endotel adalah suatu keadaan yang ditandai dengan

ketidakseimbangan fungsi faktor-faktor relaksasi dan faktor-faktor kontraksi

yang diproduksi oleh endotel. Disfungsi endotel dapat merupakan penyebab

atau sebagai akibat penyakit pembuluh darah. Disfungsi endotel mengawali

terjadinya perubahan-perubahan struktur pembuluh darah. Hal ini

menunjukkan betapa pentingnya peranan endotel yang utuh dalam

memproteksi pembuluh darah (Dharma et al, 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan vasodilatasi yang

tergantung endotel terjadi pada penderita hipertensi esensial. Gangguan

vasodilatasi yang tergantung endotel terjadi pada penderita hipertensi

esensial ini dikarenakan penurunan ketersediaan nitrit oksid (NO). Nitrit

oksid (NO) merupakan Endhotel Derived Releasing Factor (EDRF) yang

bersifat sebagai vasodilator dan pelicin untuk mencegah perlekatan Low

Density Lipoprotein (LDL) dan sel-sel darah (Taddei et al, 2000).

Nitrit oksid merupakan suatu faktor vasodilator dari sel endotel pada

pembuluh arteri maupun pembuluh resisten. Nitrit oksid dapat menyebabkan

guanilil siklase dalam otot polos vaskuler tidak aktif, sehingga terjadi

akumulasi guanosin monofosfat sitosol (cGMP) dan relaksasi. Nitrit oksid

diproduksi oleh sel endotel dari asam amino L-arginin dalam suatu reaksi

yang dikatalisis oleh enzim nitrit oksid sintase (NOS). Sintesis NO dari

endotel vaskuler terjadi secara terus menerus untuk mempertahankan tonus

vaskuler (Ganong, 2008).

35
Penelitian yang dilakukan oleh Aziza et al (2011) tentang hubungan

endotelin-1 (ET-1) dengan hipertensi pada penduduk Yogyakarta diperoleh

data peningkatan ekspresi ET-1 pada subjek hipertensi lebih tinggi

dibandingkan dengan subjek prehipertensi dan normotensi. Selain itu, juga

diketahui bahwa pada pasien yang mendapat kaptopril teratur, ekspresi ET-1

pada subjek dengan tekanan darah terkontrol lebih rendah dibandingkan

pada subjek tekanan darah tidak terkontrol.

36
- Diuretik
- Angiotensin-converting
B. Kerangka Teori enzyme inhibitor (ACEI)
- Penghambat reseptor angiotensin II
Terapi Farmakologis (ARB)
- β- bloker
- Penghambat saluran kalsium
(Calcium Channel Bloker, CCB)

Terapi Non - Farmakologis


Modifikasi gaya hidup

- Konsumsi makanan sehat


Tekanan Darah - Menurunkan berat badan
Sistole (TDS) & - Mengurangi rokok
Tekanan Darah - Mengurangi alkohol
Diastole (TDD)

Faktor yang Kontraksi otot


mempengaruhi
tekanan darah - Aktivitas

- Usia Mekanisme shear stress


- Stress
- Medikasi
- Jenis kelamin
- Aktivitas fisik

Vasodilatasi pembuluh
darah

 Fungsi endotel
pembuluh resistensi
Pelepasan
turunan Nitrit Oksid
(NO)-endotelium
Penurunan tekanan
darah arteri

 Tekanan darah sistolik


dan diastolik

Gambar 2.3 Kerangka Teori


Sumber: McGowan, Visocchi, Faulkner & Wiley, 2007; Ganong,
2008;Black & Hawk, 2009; National Heart Foundation of
Australia, 2012; Izzo & Black, 1999; Perry & Potter, 2005.

37
C. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independent Variabel Dependent

Isometric Handgrip Exercise Tekanan darah Sistolik dan Diastolik

Variabel confounding
Usia
Jenis Kelamin Riwayat Hipertensi
Aktivitas Fisik
Obesitas
Riwayat Merokok
Pola Konsumsi (lemak, natrium dan kalsium)
Stres
Medikasi

Keterangan:
: Diteliti
: Tidak Diteliti
: Diteliti

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

38
D. Hipotesis

Hipotesis adalah pernyataan awal peneliti mengenai hubungan antara

variabel yang merupakan jawaban peneliti tentang kemungkinan hasil

penelitian (Dharma, 2011). Hipotesis pada penelitian ini adalah :

Ha :

Terdapat pengaruh bermakna isometric handgrip exercise terhadap perubahan

tekanan darah penderita hipertensi diwilayah kerja Puskesmas Bengkuring.

H0 :

Tidak terdapat pengaruh bermakna isometric handgrip exercise terhadap

perubahan tekanan darah penderita hipertensi diwilayah kerja Puskesmas

Bengkuring

39

Anda mungkin juga menyukai