Dosen Pengampuh:
Disusun Oleh:
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT yang telah memberikan
segala nikmat dan karuniaNya kepada kita semua sehingga pada kesempatan yang
berbahagia ini penulis bisa menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
dalam rangka sebagai penilaian Ujian Akhir Semester (UAS), program studi Teknik
Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Mataram.
Sholawat dan Salam semoga ALLAH limpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan
sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan
merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta. Serta
memberikan tauladan terbaik bagi umatnya sehingga penulis bisa meniru kegigihan dan
kesungguhan beliau dalam berjuang.
Terima kasih saya sampaikan atas bimbingan Bapak Dr.Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos
sebagai dosen pengampuh mata Kuliah Pendidkan Agama Islam. Tak ada yang bisa
penulis berikan selain doa dan rasa terima kasih yang tulus kepada bapak..
Selain itu penulis juga sadar bahwa pada tugas ini dapat ditemukan banyak sekali
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan masukan yang berguna seperti saran atau kritik dari para pembaca.
Penulis juga berharap bahwa tugas ini akan sangat bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya dan menambah pengetahuan bagi kita semua.
HALAMAN COVER................................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................ iii
Bab 1 Iman, Islam, Ikhsan..................................................................................... 1-8
A. Pendahuluan................................................................................................ 1
B. Pengertian Iman........................................................................................... 3
C. Penjelasan Definisi Iman.............................................................................. 3
D. Bertambah dan Berkurangnya Iman............................................................. 5
E. Pengertian Islam........................................................................................... 5
F. Rukun Islam.................................................................................................. 7
G. Pengertian Ikhsan......................................................................................... 8
H. Hubungan antara Iman, Islam dan Ikhsan.................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
53
LAMPIRAN
Bab 1
IMAN, ISLAM, IKHSAN
A. Pendahuluan
Iman, Islam, dan Ihsan adalah pokok-pokok ajaran Islam. Trilogi Iman-Islam-Ihsan
disebut juga Akidah-Ibadah-Akhlak.
Iman adalah kepercayaan atau keyakinan. Islam adalah pelaksanaan atau pembuktian
keyakinan. Ihsan adalah etika dalam keyakinan dan pengamalannya.
Pelaku iman disebut Mukmin. Pelaksana Islam disebut Muslim. Pengamal Ihsan disebut
Muhsin.
Trilogi dan pengertian Iman, Islam, dan Ihsan disebutkan langsung Rasulullah Saw
dalam sebuah hadits shahih berikut ini:
Dari Umar r.a. ia berkata: ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Saw suatu hari,
tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan
berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak
ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi Saw lalu menempelkan kedua lututnya
kepada kepada lututnya (Rasulullah Saw) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan
aku tentang Islam?"
Maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah
(Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah,
engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika
mampu."
Kemudian dia berkata: “Anda benar!“.
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia
bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman“.
Lalu beliau bersabda: "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik
maupun yang buruk."
Kemudian dia berkata: “Anda benar“.
Kemudian dia berkata lagi: “Beritahukan aku tentang Ihsan“.
Lalu beliau Saw bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihat engkau.”
Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”.
Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “.
Dia berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya “. Beliau bersabda: “Jika seorang
hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan
dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan
bangunannya."
Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah)
bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”.
Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “Dia adalah
Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian (Islam)“.
(Riwayat Muslim Hadits Arba’in No. 2. Hadis ini diriwayatlan juga oleh Bukhari, Abu
Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah, Ahmad bin Hambal).
Manusia yang beruntung adalah manusia yang memiliki agama,karna dengan agama
manusia memiliki nilai dan aturan untuk menjalani hidup dengan sebaik-
baiknya.Presiden Indonesia yang ke-4 di kenal dengan bapak pluralisme mengatakan
bahwa “semua agama benar” dan perkataan beliau benar adanya bila di tinjau secara
horizontal (sesama makhluk) dan di nilai dalam kehidupan di dunia saja.memang
faktanya benar,tidak ada agama yang membolehkan manusia berbuat sewenang-
wenangnya dan merugikan orang lain seperti ,mencuri,berzina,memperkosa,menindas
dan lain sebagainya.semua agama mengajarkan manusia untuk berbuat baik kepada
manusia dan alam sekitarnya.akan tetapi bila di tinjau secara vertikal (antara makhluk
dan pencipta) islam lah yang paling benar).
Dalam ayat al-quran Tuhan (allah) telah menjelaskan kepda kita bahwa agama yang
paling baik disisi-Nya adalah agama islam,dalam surat Al-imran ayat 19 Telah di
jelaskan,Allah Subhnallah Wa Ta’ala berfirman :
سلَم
َ ِ اِنَّ الَّ ِديْنَ عِ ْن َدهللا آإْل
Islam adalah agama yang paling sempurna,agama yang menunutun kehidupan
pemeluknya secara rinci dan jelas.karna islam datang untuk meluruskan agama-agama
terdahulu yang di ajarkan oleh rasul-rasul sebelumnya yang telah di simpangkan dan
menjadi pelengkap ajaran-ajaran rasul sebelumnya.Islam adalah pembenaran,islam
menuntun hidup manusia kepada kebaikan dalam segala aspek kehidupan,tetapi
banyak manusia yang tidak mengetahui dan menyadarinya.
Ada tiga pilar penting agama islam yang manusia harus diketehui
Untuk menuju kehidupan yang tidak hanya menciptakan kebaikan dan kebenaran, akan
tetapi juga untuk menuju kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat,yaitu iman,
islam dan ihsan.
Iman, Islam dan ihsan memiliki makna masing-masing dan saling bersangkut paut karna
memiliki kesamaan di antaranya, yang dimana ketiga pilar tersebut adalah cara utama
untuk menuju kehidupan yang bahagia di dunia maupun di akhirat
B. Pengertian Iman
Definisi dari iman secara etimologi berasal dari bahasa arab amana-yukminu-
imanan yang artinya percaya. Sedangkan secara terminologi menurut jumhur ulama’
iman adalah at-tasdiqu bil qolbi,al-qoulu bil lisan,wa al a’malu bil
arkaan artinya membenarkan atau dalam hati,mengucapkan atau mengikrarkan dengan
lisan,mengamalkan dengan perbuatan.
Iman sendiri sebenarnya adalah sebuah pembuktian terhadap penyerahan diri kepada
Tuhan yang maha esa (Allah) sebagai pencipta sekeligus penguasa mutlak semesta
alam.
Dalam al-qur’an surat Al-hujarat potongan ayat 14,Allah Subhanallahu ta’ala berfirman
yang artinya : “Sesungguhnya orang yang sebenarnya beriman ialah orang yang
percaya kepada Allah dan Rasullnya.”
إِي ٰ َم ۭ ًنا َءا َم ُن ٓو ۟ا َٱلَّذِين َو َي ْزدَا َد ب َ ٱ ْل ِك ٰ َت وا ۟ َك َف ُر َلِّلَّذِين ِف ْت َن ۭ ًة إِاَّل عِ َّد َت ُه ْم َج َع ْل َنا َو َما ۙ َم ٰ ٓلَئِ َك ۭ ًة إِاَّل ار
۟ أُو ُت َٱلَّذِين َلِ َي ْس َت ْيقِن وا َ ص ٰ َح
ِ ٱل َّن ب ْ َأ َج َع ْل َنٓا َو َما
ُ ٱهَّلل ُّ ُيضِ ل َك ٰ َذلِ َك ۚ َم َثاًۭل بِ ٰ َه َذا ُ ٱهَّلل أَ َرا َد َما َذٓا َ َوٱ ْل ٰ َكفِرُون ض
ٌ ۭ َّم َر قُلُوبِ ِهم فِى َٱلَّذِين َ َولِ َيقُول ۙ َ َوٱ ْل ُم ْؤ ِم ُنون ب َ ٱ ْل ِك ٰ َت وا ۟ أُو ُت َٱلَّذِين اب
َ َي ْر َت َواَل ۙ
ش ِر َ لِ ْل َب ِذ ْك َر ٰى إِاَّل ه َِى َو َما ۚه َُو إِاَّل َر ِّب َك َ ُج ُنود َي ْع َل ُم َو َما ۚشٓا ُء َ َي َمن َو َي ْهدِى شٓا ُء َ َي َمن
Artinya : “Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan
tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-
orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan supaya orang
yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan
orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya
ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah
dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah menyesatkan
orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia
sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” ( QS.AL-Mudatsir :
31 )
Mengucapkan dengan lisan
“mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan” maksudnya adalah menyatakan dengan
lisan bahwa dirinya beriman kepada allah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat
yaitu “Asyhaduallah Ilaha Illallah Wa Asyhaduanna Muhammad Rasulullah” yang artinya
( Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah ).
Di riwayatkan Imam Muslim dari abu hurairah Radhiallaahu anhu,ia berkata
bahwasanya Rasulullah salallahu alaihi wasalam bersabda :”Iman itu tujuh puluh
cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan “LA
ILAHA ILLALLAHU” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran)
dari tengah jalan, sedang rasa malu (juga) salah satu cabang dari iman.”(HR.Muslim)[2]
Mengamalkan dengan perbuatan
“Mengamalkan dengan perbuatan” maksudnya adalah sesuatu yang di yakininya dalam
hati dan yang di ikrarkannya dengan lisan di implementasikan dengan perbuatan
sebagai bukti bahwa dirinya benar-benar beriman kepada allah. Mengamalkannya
dengan ibadah-ibadah yang di perintahkan allah kepadanya dan menjauhi larangan-
larangan-Nya.
Allah subhanallahu ta’ala berfirman :
أ ُ ْو َل ِئ َك ُه ُم ا ْل ُم ْؤ ِم ُن ْونَ َحقا ً لَ ُه ْم دَ َر َجاة ِع ْن ِد َر ِّب ِه ْم َو َم ْعف َِرةٌ َّو ِر ْزقً َك ِر ْي ٌٌِـِم, صاَل َة َو ِم َّما َر َز ْق َنا ُه ْم ُي ْن ِف ُق ْو َـ َِِن
َّ اَ َّل ِديْنَ ُي ِق ْي ُم ْونَ ال
Artinya : “Orang-orang yang mendirikan sholat dan yang menafkahkan sebagian dari
rezeki yang kami berikan kepada mereka.Itulah orang yang beriman dengan sebenar-
benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan
ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
Ulama’ terdahulu yang biasa di kenal saat ini dengan sebutan Ulama’ salaf
menggolongkan amal termasuk dalam kategori pengertian Iman.Oleh sabab itu Ulama’
salaf menganggap dan meyakini bahwa iman dapat bertambah dan berkurang atas
sesuatu yang di lakukannya.
.
D. Bertambah dan Berkurangnya Iman
Dalam masalah bertambah dan berkurangnya iman dapat di ketahui dari segi amal
perbuatan meskipun hanya terkadang sedikit salah menilainya,kita dapat mengetahui
bertambahnya iman bila seseorang mengerjakan hal-hal yang baik atau menjauhi
perbuatan yang buruk, dan sebaiknya apabila seseorang melakukan perbuatan yang
menentang syari’at atau perbuatan yang dilarang oleh allah maka imannya telah
meredup dan berkurang.
Ulama’ salaf membenarkan tentang adanya bertambah dan berkurangnya iman.dan
mereka menguatkannya dengan dalil-dalil yang telah di sebutkan di atas.
Rukun-rukun iman
Ada 6 rukun iman yang harus tertanam dan yang kita imani dalam hati. Enam rukun
tersebut adalah yang paling utama dan menjadi inti dari cabang-cabang iman dan
hukumnya wajib kita imani, sebagaimana yang telah di sebutkan dalam Sabda
rasulullah di atas. Adapun enam rukun tersebut ialah :
Pertama : Iman kepada Allah subhanallahu ta’ala
Kedua : Imana kepada malaikat-malaiktNya
Ketiga : Iman kepada kitab-kitabNya
Kempat : Iman kepada rasul-rasulnya
Kelima : Iman kepada hari akhir (Kiamat)
Kenam : Iman kepada Qada’ dan qadar.
E. Pengertian Islam
Defenisi dari secara etimologi berasal dari bahasa arab aslama-yuslimu-islaman yang
artinya pasrah, atau tunduk. Sedangkan secara terminology yaitu agama yang berisi
ajaran tauhid menyerah diri serta tunduk kepada Tuhan Allah maha Esa yang di bawa
nabi Muhammad Salallahu alaihi wasalam untuk menunjukkan jalan yang lurus kepada
ummatnya.
KH Endang Saifuddin Anshari mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan
tentang agama Islam, lalu menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan
pengertian Islam, bahwa agama Islam adalah:
1. Wahyu yang diurunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan
kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.
2. Suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur segala perikehidupan
dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan: dengan Tuhan,
sesama manusia, dan alam lainnya.
3. Bertujuan: keridhaan Allah, rahmat bagi segenap alam, kebahagiaan di dunia
dan akhirat.
4. Pada garis besarnya terdiri atas akidah, syariatm dan akhlak.
5. Bersumberkan Kitab Suci Al-Quran yang merupakan kodifikasi wahyu Allah SWT
sebagai penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya yang ditafsirkan oleh Sunnah
Rasulullah Saw. Wallahu a'lam.
Orang-orang yang telah islam atau orang yang telah memeluk agama islam di
sebut muslim. Orang-orang yang telah memeluk agama islam berarti dia telah
memasrahkan dirinya kepada allah dan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Dan orang tersebut telah terbebani hukum (mukallaf).
Nama “Islam” bagi agama ini diberikan oleh Allah Subhanallahu ta’ala sendiri. Dia juga
menyatakan hanya Islam agama yang diridhai-Nya dan siapa yang memeluk agama
selain Islam kehidupannya akan merugi di akhirat nanti. Islam juga dinyatakan telah
sempurna sebagai ajaran-Nya yang merupakan rahmat dan karunia-Nya bagi umat
manusia, sehingga mereka tidak memerlukan lagi ajaran-ajaran selain Islam.Ini
membuktikan bahwa islam adalah agama yang peling benar, dan hal ini telah di jelaskan
dalam Al-qur’an surat Al-imran ayat 19.
F. Rukun Islam
1) Mungucapkan Syahadat
Mengucapkan syhadat ( س ْول ُ هللا ْ َش َه ُد اَنْ إَل ِالَ َه ِااَّل هللا َوا
َّ ش َه ُد اَنَّ محمد
ُ الر ْ َا ) adalah sesuatu yang
harus dilakukan oleh orang islam maupun orang yang menghendaki masuk islam. Karna
syahadat adalah sebuah kesaksian diri bahwa tiada tuhan yang berhak di sembah
kecuali Tuhan (Allah) yang maha Esa, dan Nabi Muhammad Salallahu alaihi wasalam
adalah utusan-Nya.
2) Mendirikan Sholat
Mendirikan sholat adalah salah satu bentuk cara berhubungan vertikal secara langsug
dari seorang hamba kepada Allah subhanallahu Ta’ala.
3) Menunaikan Zakat
Menunaikan zakat adalah salah satu perintah Allah kepada hambanya untuk membagi
hartanya kepada orang-orang yang tidak mampu. Sehingga rasa kepedulian antara
sesama manusia terwujud. Kesolidaritasan da saling tolong menolong akan semakin
kuat ikatannya.
4) Melaksanakan Puasa
Puasa adalah salah satu perintah tuhan yang sebagia besar manusia mampu
melaksanakannya. Rasa lapar dan haus, menahan hawa nafsu adalah bentuk
kepedulian atau kesetaraan semua manusia. Puasa mengajarkan kita bagaiman
rasannya lapar dan haus, agar kita peduli kepada manusia yang kelaparan dan tidak
mampu.
5) Menunaikan Haji
Haji adalah perintah Allah yang dimana keharusan pelaksananya adalah bagi orang-
orang yang mampu saja untuk menunaikannya. Haji adalah ajang tempat memper erat
ukhuwah atau persaudaraan antara ummat muslim se dunia.
G. Pengertian Ikhsan
Defenisi ihsan secara etimologi berasal dari bahasa arab (isim masdar) ahsana-
yuahsinu-ihsanan berarti baik atau penuh perhatian. Sedangkan secara terminologi
ihsan adalah menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya, atau setidaknya kita
selalu merasa di awasi oleh-Nya.
Ihsan sendiri merupakan usaha untuk selalu melakukan yang lebih baik, yang lebih
afdhal, dan bernilai lebih sehingga seseorang tidak hanya berorientasi untuk
menggugurkan kewajiban adalah beribadah, melainkan justru berusaha bagaimana
amal ibadahnya diterima dengan sebaik-baiknya oleh Allah. SWT. Karena dia akan
merasa diawasi oleh Allah, maka akan terus timbul dihatinya tuntutan untuk selalu meng
upgrade amal perbuatannya dari yang kurang baik menjadi yang baik, dari yang sudah
baik, terus berusaha untuk yang lebih baik demi diterimanya amal perbuatan mereka.
Sebagai contoh, seseorang yang melakukan sholat, cukup dengn melakukan syarat dan
rukun sholat saja, tanpa harus khusu’ maupun khudu’. Orang itu sudah tidak dituntut
lagi kelak karena dia sudah melakukan kewajibannya walaupun hanya sebatas
menggugurkan kewajiban belaka. Beda dengan orang yang muhsin (ihsan), maka dia
akan melakukan sholat tersebut dengan sesempurna mungkin, dia tidak hanya
memperhatikan syarat dan rukun saja, melainkan adab dalam sholat, kekhusyu’an,
khudu’, dan hal-hal yang dapat menghalangi sampainya ibadah tersebut sampai kepada
hadroh sang kholiq.
Ihsan memiliki potensi untuk menjuhkan kita dari sifat buruk di hati atau bisa di sebut
penyakit hati seperti; sombong, riya’, hasud, dengki dan lain sebagainya. Ihsan juga
salah satu cara agar bagaimana Allah menerima ibadah-ibadah kita.
Bab 2
ISLAM DAN SAINS
A. Pendahuluan
Hubungan Islam dan Sains tidak lepas dari kemajuan dan kemunduran sains dalam
peradaban Islam. Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan penafsiran ilmiah
sejak generasi pertama sampai abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka
sebagai pelopor Ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia, umat Islam telah menjadi
pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama dalam
sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i
berdasarkan percobaan yang kemudian berkembang menjadi applied science atau
technology.
Islam mendorong ummatnya untuk selalu berupaya mengembangkan sains seperti
tercantum dalam QS Al-'Alaq: 1-5 :
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang
mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca baik teks tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu tidak menjelaskan
apa yang harus dibaca, karena Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja
selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra'
berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-
tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil,
objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan lanjut dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami,
tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka dipeliharalah
kami dari siksa neraka.”
Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan membaca
dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta. Dalam ayat ini,
Allah menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan bumi. Langit yang
melindungi dan bumi yang terhampar tempat manusia hidup. Juga memperhatikan
pergantian siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda
kebesaran Allah SWT.
Kemudian islam juga menempatkan orang yang beriman, berilmu dan beramal shalih
pada derajat yang tinggi, seperti dalam Q.S. Al-Mujadilah: 11 :
Artinya : "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Saling membantu dalam kesusahan demi tercapainya tujuan hidup bersama merupakan
hal yang sangat mulia, hal tersebut merupakan karakter daripada islam itu sendiri,
menjadikan Ikatan Kebersamaan Umat Islam kemudian menjadikannya sebagai batu
lompatan demi tercapanya tujuan hidup bersama.
2. Toleransi
Sesungguhnya sikap toleransi dalam Islam sangat nampak pada setiap perintah dan
larangannya. Bahkan sampai kedetailnya, maka seharusnyalah sikap ini menjadi
kebangkitan baru untuk mengubah suatu bangsa menjadi bangsa yang bisa saling
bertoleransi apalagi dalam hal ilmu. Berbagi ilmu itu tidaklah sulit, tidak akan rugi, malah
akan mendapatkan wawasan baru dan juga teman-teman tentunya yang akan sangat
berterimakasih karna telah diajarkan. Dengan saling bertoleransi tentu tidak akan
teriolasi dari orang-orang karna kita mau berbagi apa yang kita punya untuk membantu
mereka, tidakkah itu baik,..??? Dan mungkin ada dari setiap orang yang diajarkan akan
membalas kebaikan yang telah kita diberikan.
Ketika sains dan teknologi mengalami proses sekularisasi, dikosongkan dari nilai-nilai
ketuhanan, seperti sains Barat pada umumnya, maka tujuan akhir dari sains itu ialah
semata-mata manfaat (nafiyyah), baik yang bersifat fisik – seperti kenikmatan,
keindahan, dan kenyamanan – maupun kepuasan intelektual dan kebanggaan.
Sedangkan ukuran manfaat itu bersifat relatif, dan sangat sulit dipenuhi secara hakiki.
Karena itu, perkembangan sains cenderung sangat liar. Seorang dokter yang ahli
rekayasa genetik, misalnya, mungkin belum merasa memperoleh manfaat dan
kepuasan sebelum berhasil melakukan clonning, dan mendistorsi proses penciptaan
manusia secara konvensional.
2. Prinsip Keseimbangan Prinsip dasar lainnya yang digariskan oleh al-Qur’an adalah
keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, spiritual dan material.
Prinsip ini dibahas secara luas dan mendalam di dalam al-Qur’an dengan mengambi
berbagai bentuk ungkapan. Manusia disusun oleh Allah dengan susunan dan ukuran
tertentu, lalu diperuntukkan bumi ini dengan kehendak-Nya untuk memenuhi kebutuhan
susunan yang membentuk manusia itu. Dengan demikian, al-Qur’an menghendaki
terwujudnya keseimbangan yang adil antara dua sisi kejadian manusia (spiritual dan
material) sehingga manusia mampu berbuat, berubah dan bergerak secara seimbang.
3. Prinsip Taskhir Taskhir juga merupakan prinsip dasar yang membentuk pandangan
al-Qur’an tentang alam semesta (kosmos). Dan, tidak dapat dipungkiri, manifestasi
prinsip ini ke dalam kehidupan riil manusia harus ditopang oleh ilmu pengetahuan. Alam
semesta ini (langit, bumi, dan seisinya) telah dijadikan oleh Allah untuk tunduk kepada
manusia. Allah telah menentukan dimensi, ukuran, dan sunnah-sunnah-Nya yang
sesuai dengan fungsi dan kemampuan manusia dalam mengelola alam semesta secara
positif dan aktif. Tetapi, bersamaan dengan itu, al-Qur’an juga meletakkan nilai-nilai dan
norma-norma yang mengatur hubungan antara manusia dan alam semesta. Oleh sebab
itu, al-Qur’an sangat mengecam ekspoitasi yang melampaui batas. Prinsip taskhir yang
ditopang oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan metodologinya merupakan faktor
kondusif bagi manusia dalam membangun bentuk-bentuk peradaban yang sesuai
dengan cita-cita manusia dan kemanusiaan.
4. Prinsip Keterkaitan antara Makhluk dengan Khalik Prinsip penting lainnya adalah
keterkaitan antara sistem penciptaan yang mengagumkan dengan Sang Pencipta Yang
Maha Agung. Ilmu pengetahuan adalah alat yang mutlak untuk memberikan penjelasan
dan mengungkapkan keterkaitan itu. Ilmuwan-ilmuwan Muslim klasik telah
menghabiskan sebagian besar umurnya untuk mengadakan pengamatan dan penelitian
terhadap fenomena alam dan akhirnya mereka sampai kepada kesimpulan yang pasti
dan tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya di balik semua realitas yang diciptakan
(makhluk) pasti ada yang menciptakan. Proses penciptaan yang berada pada tingkat
sistem yang begitu rapih, teliti, serasi, tujuannya telah ditentukan, dan keterikatannya
terarah, pastilah bersumber dari kehendak Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa, dan Maha
Mengatur. Berdasarkan empat prinsip di atas, maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan
(sains dan teknologi) merupakan kebutuhan dasar manusia yang Islami selama manusia
melakukannya dalam rangka menemukan rahasia alam dan kehidupan serta
mengarahkannya kepada Pencipta alam dan kehidupan tersebut dengan cara-cara yang
benar dan memuaskan.
A. Pendahuluan
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat dewasa ini, mendesak
diadakan suatu pengaturan hukum untuk menata dan mengendalikan aktivitas
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk maksud tersebut,
dibutuhkan pula ketajaman visi bagi penentu dalam kebijakan politik (decision
maker) dalam merancang dan membentuk politik yang sesuai budaya hukum
masyarakat. Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (a tool of social
engineering) perlu diberdayakan sedemikian rupa sehingga dapat terwujud
supremasi hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam kaitan ini terdapat
perbedaan dengan pandangan aliran hukum positif yang menganggap hukum
tidak lain hanya kumpulan peraturan, tujuan hukum tidak lain dari sekedar
menjamin terwujudnya kepastian hukum, karena aliran tersebut hanya melihat
hukum dari segi apa yag seharusnya (das sollen), dan bukan pada kenyataan
(das sein).1 Aliran hukum positif di atas banyak mempengaruhi pemikiran para
penguasa (pemerintah), sehingga kadang mereka terlalu optimis bahwa semakin
banyak peraturan akan semakin menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Namun dalam kenyataan, masih ditentukan adanya penyimpangan dalam bentuk
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kondisi tersebut untuk jangka panjang
dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan
lembaga-lembaga hukum. Bahkan dewasa ini muncul kesan di masyarakat,
hukum hanya sebagai simbol belaka. Kesan (image) tersebut disebabkan karena
supremasi hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Oleh sebab
itu, penegakan hukum merupakan masalah yang sangat didambakan
masyarakat Indonesia dewasa ini. Dambaan atas penegakan dalam makna
supremasi hukum bukan sesuatu yang begitu gampang, karena supremasi
hukum tidak mungkin tercapai hanya dengan undang-undang belaka, tetapi
harus diperhatikan fenomena-fenomena hukum (Achmad Ali, 1999), yaitu: (a)
substansi hukum (b) struktur hukum (c) dampak dari undang-undang (cultural).
Karena itu, maka supremasi hukum bukan hanya pada pembuatan undang-
undang (law in books), tetapi pada penerapan hukum (law in action). Law in
action menjadi kebutuhan menuju pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Dalam
hal ini “kepastian hukum” menjadi prasyarat dalam negara hukum. Dengan
demikian, maka prasyarat terwujudnya supremasi hukum adalah konsistensi
antara law in books dan law in action. Dalam kaitan itu, Roscoe Pound (Satjipto,
1986: 266), menyatakan bahwa: “Bagi para ahli hukum yang beraliran
Sosiologis, perlu lebih memperhitungkan dari fakta-fakta sosial dalam
pekerjaannya, apakah itu pembuat hukum, ataukah penafsir hukum atau
penerap hukum. Ia harus memperhitungkan secara pandai fakta-fakta sosial
yang harus diserap dalam hukum yang nantinya akan menjadi sasaran
penerapannya. Pound menganjurkan agar perhatian lebih diarahkan kepada
efek-efek yang nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin hukum.
Kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya, karena aitu fungsi hukum
adalah “a tool of social engineering”. Dalam hukum Islam, telah menjadi prinsip
keharusan adanya law in books dan law in action, yakni Al-Qur’an dan Hadits
dijadikan sebagai dasar hukum fundamental, sedang penjabarannya dalam
bentuk action telah diatur dalam fiqih, yaitu ketentuan yang mengatur perilaku
dan kenyataan hidup dalam masyarakat melalui metode ijtihad.
2. Rumusan Hukum
Salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia adalah
rumusan hukum itu sendiri, lemahnya suatu rumusan hukum menjadi salah satu
kendala untuk mencapai supremasi hukum. Kualitas suatu peraturan tidak
hanya dilihat dari segi substansinya, tetapi juga harus dilihat dari segi struktur
dan budayanya. Hukum tidak hanya dibuat tanpa mempertimbangkan untuk apa
peraturan itu dibuat? Untuk siapa peraturan itu? Dimana peraturan itu
diterapkan? Indonesia sebagai negara bekas jajahan Hindia Belanda, berakibat
sebagian besar rumusan peraturannya masih merupakan pengaruh hukum
produk Hindia Belanda. Sebagai akibat tersebut peraturan yang dibuat oleh
pembuat hukum di Indonesia (pemerintah) masih dipengaruhi politik hukum
Hindia Belanda yang melihat tujuan aturan hukum yang yang bersifat
intrumental Rumusan hukum yang bersifat simbolis tidak mungkin mempunyai
dampak positif untuk mencapai supremasi hukum, sebab hukum mempunyai
pengaruh yang besar terhadap tingkah laku masyarakat, sebagaimana yang
dikemukakan Joseph (dalam Ahmad Ali).6 Pengaruh aturan hukum terhadap
sikap warga masyarakat tergantung pula untuk tujuan apa aturan hukum
bersangkutan dibuat, yang pada dasarnya dapat dibedakan pada dua tujuan
yaitu:
a. Tujuan aturan hukum yang bersifat simbolis, yaitu tidak tergantung pada
penerapannya agar aturan hukum tadi mempunyai efek tertentu. Misalnya
larangan untuk meminum minuman keras, efek simbolis aturan hukum itu ada
kalau warga masyarakat sudah yakin bahwa meminum minuman keras, tidak
jadi soal, yang penting ia sudah mengetahui bahwa perbuatannya salah.
b. Tujuan aturan hukum yang bersifat instrumental, suatu aturan hukum yang
bersifat instrumental apabila tujuan terarah pada suatu sikap perilaku konkrit,
sehingga efek hukum tadi akan kecil sekali apabila tidak diterapkan dalam
kenyataannya. Jadi suatu aturan hukum mengenai larangan meminum minuman
keras barulah mempunyai efek instrumental jika warga masyarakat berhenti
minum minuman keras, tanpa memperdulikan apakah ia berhenti karena salah
ataukah ia berhenti karena merasa takut dikenakan sanksi hukum.
Memperhatikan 2 sifat tujuan aturan hukum diatas, maka rumusan hukum harus
memuat nilai-nilai politik hukum dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat
bangsa Indonesia yang mempunyai kemajemukan budaya, agama dan etnik.
Rumusan hukum harus mampu mengendalikan unsur-unsur yang mempunyai
pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Salah satu contoh rumusan hukum
yang lemah dan tidak bersifat instrumental adalah UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, pada Pasal 2 ayat (1) ditetapkan bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilaksanakan berdasarkan agamanya dan kepercayaannya. Dari
rumusan pasal tersebut dipahami bahwa perkawinan antara pihak yang berbeda
agama tidak dibenarkan. Namun dalam kenyataan masih terjadi perkawinan
antar agama, kenyataan tersebut disebabkan rumusan hukumnya tidak jelas
apa yang dimaksudkan “berdasarkan agamanya dan kepercayaannya”.
Rumusan kalimat tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda
para penegak hukum.
https://id.wikipedia.org
C. Alternatif Pendekatan
Berkenaan dengan tiga faktor sebagai kendala utama yang dihadapi bangsa
Indonesia dalam menegakkan hukum, untuk mencapai supremasi hukum, telah
menjadi penyebab terpuruknya Indonesia, baik di bidang ekonomi maupun di
bidang politik dan sosial. Untuk mengantisipasi keterpurukan tersebut, maka
alternatif yang dapat dipertimbangkan adalah “pendekatan agama dan moral”.
Satu-satunya jalan untuk mengantisipasi tiga kendala yang dikemukakan di atas
adalah kembali pada dasar agama dan moral. Agama dan moral (aqidah dan
akhlaq) tidak dapat terpisah dalam pengamalan hukum, karena agama tanpa
moral tidak dapat dilaksanakan dengan baik, sebaliknya moral tanpa agama
tidak akan dapat terkendali. Dengan kata lain, perlunya keseimbangan antara
zikir, fikir dan amaliyah. Sebab dengan agama akan terbentuk kualitas moral
(moral intelligent) seseorang seperti sabar, jujur, adil, berani, bertanggung jawab,
ikhlas. Selanjutnya melalui moral tersebut mendorong seseorang untuk
melaksanakan perintah Allah SWT, secara baik dan benar sebagai pengabdian
kepada-Nya, karena dengan demikianlah seseorang dapat mengendalikan diri
dari segala pengaruh kehidupan materialistik, yang mendorong untuk melakukan
pelanggaran hukum. Karena itu, melalui pendekatan agama dan moral
seseorang dapat memotivasi dirinya untuk menjauhi segala perbuatan yang
bertentangan dengan ajaran agama seperti korupsi, kolusi, nepotisme,
membunuh, memberontak, minum-minuman keras dan merusak lingkungan.
Dalam Al-Qur’an, Tuhan meletakkan dasar-dasar penegakan hukum,
sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa firman-Nya seperti Surah
AnNisa ayat 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan bila menetapkan keputusan
hukum antara manusia hendaklah kamu tetapkan dengan adil. Dengan itu Allah
telah memberikan pengajaran dengan sebaik-baiknya kepadam tentang
pelaksanaan amanat dan keadilan hukum. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat”. Surah An-Nisa’ ayat 135 yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu yang benar-benar menegakkan
keadilan, menjadi saksi (dalam menegakkan keadilan) karena Allah, walaupun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu atau kerabatmu, jika ia kaya atau
miskin, maka Allah lebih utama (tahu) atas (kemaslahatan) keduanya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sehingga kamu tidak berlaku adil. Dan
jika kamu memutarbalikkan keadilan atau menolak menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan”.
Mencermati makan yang terkandung pada ayat diatas, maka ayat 58 adalah
dasar kejujuran untuk menegakkan hukum yakni kepada siapa hukum itu
ditujukan, sedang pada ayat 135 adalah dasar keberanian penegak hukum untuk
menetapkan hukum tanpa melihat siapa yang dihukum. Namun untuk
menegakkan keberanian dalam pelaksanaan hukum, harus ditunjang dengan
sifat sabar, sebab pada dasarnya orang yang bersabar dalam menegakkan
kebenaran dari Allah akan dilindungi oleh Allah SWT. Sebagaimana ditegaskan
dalam firman-Nya surah Al-Baqarah ayat 153 yang artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, mintalah pertolongan dalam menghadapi musibah dengan sikap
tabah dan mengerjakan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang yang
bersabar”. Bersabar menurut ayat diatas adalah tolak ukur keberhasilan
seseorang dalam melaksanakan tugas dan aktifitasnya. Kesabaran merupakan
“sejata untuk mencapai suatu kebenaran dan kesuksesan”. Untuk itu Sayyidinah
Ali bin Abi Thalib R.A. yang artinya: “Sabar adalah bagian dari iman, merupakan
kepala dari tubuh”. Dari ungkapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib R.A. diatas,
dijadikan sebagai landasan masing-masing pihak bahwa kesabaran adalah salah
satu sifat termulia dan merupakan sumber keberanian dan kejujuran, sedangkan
kejujuran dan keberanian adalah inti dari penegakan hukum dalam arti
supremasi hukum. Tegasnya, penegakan hukum dapa tercapai jika dalam
pelaksanaannya dilandasi nilai-nilai agama dan moral, walaupun masyarakat
Indonesia miskin jika agama dan moral baik, tidak akan berbuat kejahatan,
katakanlah lebih baik krisis ekonomi daripada krisis agama dan moral. Sebab
pelanggaran seseorang terhadap hukum tidak hanya karena faktor sanksi atau
hukuman, tetapi yang utama adalah faktor konsekuensi (dosa). Tepatlah apa
yang dikatakan H. Hartono Mardjono dalam persepsi mengenai penegakan
hukum tanggal 6 Maret 2000 yang menyatakan bahwa “supremasi hukum tidak
dapat terwujud karena tidak ada keberanian dan kejujuran pada penegak hukum
seperti: Jaksa, hakim, polisi. Lebih lanjut beliau menyatakan “sapu kotor tidak
mungkin dapat membersihkan lantai kotor".
D. Pandangan Hukum Islam Tentang Keadilan Dalam Penegakan Hukum
Sejak awal, syariat Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali
kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syariat Islam dicanangkan
demi kebahagiaan manusia, lahirbatin; duniawi-ukhrawi, sepenuh-nya
mencerminkan maslahat. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap nas,
seperti dipromosikan oleh faham ortodoksi, telah membuat prinsip maslahat
hanya sebagai jargon kosong, dan syariat―yang pada mulanya adalah
jalan―telah menjadi jalan bagi dirinya sendiri.34 Hukum haruslah didasarkan
pada sesuatu yang tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu
sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus
diperjuangkan: maslahat, keadilan. Dengan demikian, jelas bahwa yang
fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam adalah maslahat, maslahat
manusia universal, atau -dalam ungkapan yang lebih operasional- “keadilan
sosial”. Tawaran teoritik (ijtihadi) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung
dengan nas atau pun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya maslahat
kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk
mengambilnya dan kemudian merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoritik
apa pun dan yang bagaimana pun, yang secara meyakinkan tidak mendukung
terjaminnya maslahat, lebih-lebih yang membuka kemungkinan terjadinya
kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah fasid, dan umat Islam secara orang
perorang atau bersama-sama terikat untuk mencegahnya.
Tawaran kaidah yang lebih menekankan pada substansi, yaitu maslahat-
keadilan, bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum harus
diabaikan. Ketentuan legal-formaltekstual yang sah, bagaimana pun, harus
menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak
ingin menjadi anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama, haruslah disadari
sedalam-dalamnya bahwa patokan legal-formal dan tekstual hanyalah
merupakan cara bagaimana cita maslahat―keadilan itu diaktualisasikan dalam
kehidupan nyata. Ini berarti bahwa ketentuan formal-tekstual, yang bagaimana
pun dan datang dari sumber apa pun, haruslah selalu terbuka dan atau diyakini
terbuka untuk, kalau perlu, diubah atau diperbarui sesuai dengan tuntutan
maslahat, cita keadilan. Hukum Islam dalam melihat keadilan ini
menggambarkannya sebagai suatu perintah yang lebih tinggi karena tidak hanya
memberikan hak dari setiap orang tapi juga sebagai rahmat, dan berlaku adil
dianggap sebagai langkah menuju ketakwaan. Dalam QS. Al-Maidah (5): 8
dikatakan (terjemahnya): “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”36 Dari ayat ini tergambar bahwa dalam
menetapkan hukum tidak boleh berat sebelah ataupun melakukan kecurangan
dalam memutuskan suatu perkara karena adanya intervensi pihak tertentu.
Semua manusia adalah sama dihadapan hukum. Perlakuan yang sama antara
pihak yang berperkara sangat fundamental dalam Islam, sehingga Islam
menuntut kepada penegak hukum untuk mempertahankan hal itu pada setiap
kasus yang ditanganinya, walaupun seorang pejabat atau kepala Negara sekali
pun, harus diperlakukan sama dengan rakyat biasa.37 Jika seorang hakim
memberi penghormatan atau keistimewaan yang tidak perlu dan perlakuan
khusus kepada kepala Negara/pejabat, maka tidak ada keadilan yang bisa
diharapkan darinya.
Bab 4
Kewajiban Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Mungkar
A. Pendahuluan
Amar ma’ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat
Islam yang akan mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah
kedepankan penyebutannya dari iman dalam firman-Nya,
َ ب لَ َك
ان ِ هلل َولَ ْو َءا َم َن أَهْ ُل ْال ِك َتا
ِ ون ِبا َ اس َتأْ ُمر
َ ُون ِب ْال َمعْ رُوفِ َو َت ْن َه ْو َن َع ِن ْالمُن َك ِر َو ُت ْؤ ِم ُن ْ ُكن ُت ْم َخي َْر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َج
ِ ت لِل َّن
َ ُون َوأَ ْك َث َر ُه ُم ْال َفاسِ ق
ون َ َخيْرً ا لَّ ُه ْم ِّم ْن ُه ُم ْالم ُْؤ ِم ُن
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik“. [Ali Imron :110]
Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin
dengan hal ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah
bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada
musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai
Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa.
Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka
keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan
memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut
(kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah
mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu
memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-
lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama
Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk
menanti di sini saja”. [Al-Maidah : 21-24]
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ال ِذي َْن َي َّت ِبع ُْو َن الرَّ س ُْو َل ال َّن ِبيَّ األُمِّي الذِيْ َي ِجد ُْو َن ُه َم ْك ُت ْوبًا عِ ْندَ ُه ْم فِيْ ال َّت ْو َرا ِة َو ْاإلِ ْن ِجي ِْل َيأْ ُم ُر ُه ْم ِب ْال َمعْ ر ُْوفِ َو َي ْن َها ُه ْم
ْ ض ُع َع ْن ُه ْم إِصْ َر ُه ْم َو ْاألَ ْغالَ َل الَّتِي َكا َن
ت َعلَي ِْه ْم َفالَّ ِذي َْن َ ِث َو َي َ ت َوي َُحرِّ ُم َعلَي ِْه ُم ْال َخ َبائ َّ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َو ُي ِح ُّل َل ُه ُم
ِ الط ِّي َبا
َ صر ُْوهُ َوا َّت َبع ُْوا ال ُّن ْو َر الَّذِيْ أَ ْن َز َل َم َع ُه أ ُ ْولَ ِئ
ك ُه ُم ْال ُم ْفلِح ُْو َن َ َءا َم ُن ْوا َو َع َزر ُْوهُ َو َن
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an),
mereka itulah orang-orang yang beruntung“. [Al- A’raaf : 157).
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan orang-orang yang selalu
mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, bahkan
memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Al-Imron:104]
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali Imran:104]
Mereka mengatakan bahwa kata ْ مِنdalam ayat ِم ْن ُك ْمuntuk penjelas dan bukan
untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
َ َوأ ُ ْوالَ ِئ
َ ك ُه ُم ْال ُم ْف ِلح
mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu: ُون
Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang melakukan
amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya
fardhu ‘ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib ‘ain
juga. Karena dalam kaedah disebutkan:
ٌَما الَ َي ِت ُّّم ْال َوا ِجبُ إِالَّ ِب ِه َفه َُو َوا ِجب
Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu
itu hukumnya wajib.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
َ ب لَ َك
ان ِ هلل َولَ ْو َءا َم َن أَهْ ُل ْال ِك َتا
ِ ون ِبا َ اس َتأْ ُمر
َ ُون ِب ْال َمعْ رُوفِ َو َت ْن َه ْو َن َع ِن ْالمُن َك ِر َو ُت ْؤ ِم ُن ْ ُكن ُت ْم َخي َْر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َج
ِ ت لِل َّن
َ ُون َوأَ ْك َث َر ُه ُم ْال َفاسِ ق
ون َ َخيْرً ا لَّ ُه ْم ِّم ْن ُه ُم ْالم ُْؤ ِم ُن
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik“. [Ali Imran :110]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan syarat bergabung
dengan umat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma’ruf nahi mungkar dan
iman. Padahal bergabung kepada umat ini, hukumnya fardu ‘ain.
Sebagaimana firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung“. [Ali Imran:104]
Mereka mengatakan bahwa kata ْ مِنdalam ayat ِم ْن ُك ْمuntuk menunjukkan
sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu kifayah. Imam Al
Jashash menyatakan,”Ayat ini mengandung dua makna. Pertama, kewajiban
amar ma’ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika telah
dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena kewajiban”.
Ibnu Qudamah berkata,”Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar
ma’ruf nahi mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain”.
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
ِ ون ِل َي ْن ِفرُوا َكآ َف ًة َفلَ ْوالَ َن َف َر مِن ُك ِّل فِرْ َق ٍة مِن ُه ْم َطآ ِئ َف ٌة ِل َي َت َف َّقهُوا فِي ال ِّد
ين َو ِليُن ِذرُوا َق ْو َم ُه ْم إِ َذا َر َجعُوا َ ان ْالم ُْؤ ِم ُن
َ َو َما َك
َ إِلَي ِْه ْم لَ َعلَّ ُه ْم َيحْ َذر
ُون
Baca Juga Apa Yang Dimaksud Dengan Hikmah “Tidak sepatutnya bagi
orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya“. [At-Taubah : 122] Hukum tafaquh
fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak
semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan
menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan
seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.
Syeikh Abdurrahman As Sa’diy menyatakan,”Sepatutnya kaum muslimin
mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum
mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-
sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan
kemanfatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu,
yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya”
3. Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena
orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti
mengetahui hukum-hukum syari’at, tingkatan amar makruf nahi mungkar,
cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga
dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu
akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah
kema’rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.
4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
الز َكا َة َوأَ َمر ُْوا ِب ْال َمعْ ر ُْوفِ َو َن َه ْوا َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوهلِل ِ َعاقِ َب ُة ِ ْالذي َْن إِنْ َم َّك َّنا ُه ْم فِيْ ْاألَر
َّ ض أَ َقام ُْوا ال
َّ صالَ َة َو َءا َتوُ ا ِّ
ْاألُم ُْو ِر
A. Pendahuluan
Perbincangan mengenai hadis-hadis malḥamah (bentuk tunggal dari malāhim
yang berarti perang besar) telah banyak dilakukan oleh ulama-ulama dahulu
maupun saat ini. Hanya saja, pola yang digunakan tidaklah sama. Para
pengumpul hadis seperti Imam al-Bukhārī melakukannya secara parsial,
begitu juga Imam Muslim serta sebagian imam hadis lain hanya
meriwayatkan beberapa saja dari yang mereka miliki. Seperti Imam Bukhārī,
imam Muslim dan lainnya memasukkan pembahasan al-fitan pada bab- bab
akhir kitabnya.
1. Adapula yang hanya menghimpun hadis-hadis terkait fitnah dan
perang besar dengan model penulisan yang berbeda dengan al-Jāmi’ atau al-
Sunan, seperti Kitāb al-Fitan karya Nu’aim bin Ḥammād al-Marwazī (w. 228
H), alSunan al-Wāridah fī al-Fitan wa Ghawāiluhā wa al-Sā’ah wa Ashrātuhā
karya Abū ‘Amr ‘Utsmān al-Dānī (w. 444 H), al-Nihāyah fī al-Fitan wa al-
Malāḥim karya Ibn Katsīr (w. 774 H), Kitāb al-Qanā’ah fī Mā Yuḥsan al-Iḥāṭah
bihī min Asyrāṭ al-Sā’ah karya al-Sakhāwī (w. 902 H). Beberapa kitab di atas
ditulis secara khusus dan hanya memuat hadis-hadis akhir zaman saja.
Kitab-kitab tersebut lebih spesifik menyoal hadis-hadis akhir zaman
dibandingkan dengan kitab alJāmi’ maupun al-Sunan karena pada dasarnya
berbeda dalam orientasi penulisannya. Ulama kontemporer, Ṣalāḥ al-Dīn bin
Aḥmad al-Idlibī banyak mengkritik hadis-hadis malḥamah atau hadis-hadis
akhir zaman secara umum dari sisi kualitas sanad. Ia menuliskan kritiknya
dalam kitabnya Aḥādīth Faḍāil al-Syām Dirāsah Naqdiyyah. Meski terkesan
bahwa ia hanya berupaya mengkritik hadishadis Syam, namun hadis-hadis
Syam juga termasuk bagian dari lokasi perang besar, dan banyak peristiwa
akhir zaman.
2. Banyak hadis-hadis terkait hal ini faktanya diriwayatkan oleh Ka’b
al-Aḥbār, Wahb bin Munabbih dan lain sebagainya yang banyak
meriwayatkan hadis-hadis Israiliyyat. Pendapat ini sebelumnya juga
disampaikan oleh Rasyīd Riḍā dalam tafsir al-Manār.
3. Penulisan sejarah dalam Islam pada dasarnya beragam, di
antaranya ada yang hanya mengisahkan tentang sejarah hidup Rasulullah
Saw dan kitab ini masuk ke dalam kategori kitab sīrah, adapula sejarah yang
hanya mencatat peperangan pada masa Rasul maupun sahabat dan orang-
orang setelah mereka, kitab semacam ini masuk ke dalam kategori kitab
maghāzī.
4. Penulisan sejarah semacam ini berbeda dengan penulisan sejarah
masa depan dalam potret malāḥim, hal ini dikarenakan hadis-hadis dalam
kitab-kitab sejarah telah berakhir periodesasinya. Tidak ada kemungkinan
untuk merangkai kembali kisahkisahnya, meskipun tidak menutup
kemungkinan beberapa peristiwa dalam sejarah tersebut masih akan didaur
ulang bagian-bagiannya oleh umat Islam sepanjang sejarah. Pembahasan
tentang hadis-hadis akhir zaman terkesan digampangkan, dan layaknya
melempar dadu jika melihat fenomena yang berkembang. HT atau Hizbut
Tahrir misalnya, menggunakan dalil tentang khilafah merujuk kepada hadis-
hadis prediktif tentang akan munculnya kekhilafahan sesudah Nabi Saw. Atau
ISIS yang banyak ditemukan menggunakan hadis-hadis masa depan dalam
majalah mereka. Seperti ISIS yang mengutip hadis yang bersumber dari Abī
Dardā’ tentang keberkahan negeri Syam sebagai benteng terkuat,
ْ ا َل َ لَّم َ س َ و ِ ه: ق ال ُ ُوم َق ت: ق ّ ا ْلُْدِري ٍ يد ِ ع َ ِأَب س ْ َن ع َّل َ وُ ل ِهلال ص ُ س َ اَل ر َ َّس، ِ َ اَل
ظلم األَر ُْ ُث َ ق ً اان َ ُ ْدو ع َ ا و ً ْ ُض
َّ : لَي َ ع ُ ى اَ ّ¶َّّلل َ ئ ِ ل َ ّ¶ََّ ت َ ْتت َ ُ ح ة َ اع ع ْ ن ِ م ٌ ل ُ َج ر ُ ُج َيْر اَل
ِ
ُ َ ً اان، . َلؤ ََْ¶ْ َي ْ ن َ َ ْدا ًل م ع َ ًطا و ْ س ِ ا ق َ ه َ ْت ئ ِ ل ُ ا م َ َكم- أَو َ ُ ْت، ِت ْ ي َ ِل ب ْ أَه ْ ن ِ م ْ ِت
ظلم ُْ ً ْدو ع َ ا و
“Dari Abu Sa’īd al-Khudrī, Rasulullah Saw bersabda: “Hari kiamat tidak akan
terjadi sampai bumi akan penuh dengan kezaliman dan permusuhan: lalu
akan keluar dari keturunanku atau dari ahli baitku yang akan mengisi dunia ini
dengan keadilan, sebagaimana dulunya diisi dengan kezaliman dan
permusuhan.” 38 Situasi selanjutnya yang akan muncul sebagaimana
kesimpulan yang diperoleh Yāsir adalah akan dibangunnya Baitul Maqdis dan
akan hancur atau robohnya Yatsrib. Ini didasarkan kepada riwayat Mu’āẓ bin
Jabal.
ِ َّّ¶ّ َوُ ل ا
» ا َ ر َ ِس خ ِ ْد ق-صلى هلال عليه وسلم- لل ُ س َ اَل ر َ اَل ق َ ٍل ق َ ب َ ِن ج ْ ب ِ اذ َ ع ُ م ْ َن ُب ع
َ َ ِت ْالم ْ ي َ ُن ب ا َ ر ْ ُم ع َ َب ي ِر ْ ث َ ف ِ ة َ م َ ْلح َ ْالم ُ وج ُ ر ُ َخ و ِ ة َ م َ ْلح َ ْالم ُ وج ُ ر ُ َب خ ِر ْ ث
ُب ي ا َ ر َ َخ و ُ ْح ت َ ف َ َ و َّة ي ِ ين ْطِ َطن ْ ُس ق ُ ْح ت ِ ين ْطِ َطن ْ ُس ِل ْالق ال َّد َّجا ُ وج ُ ر ُ خ ِ َّة ي
.»
“Dari Mu’āẓ bin Jabal berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Makmurnya Baitul
Maqdis, kehancuran Yatsrib, dan kehancuran Yatsrib munculnya perang
besar, munculnya perang besar kemenangan atas Konstantinopel,
kemenangan atas Konstantinopel tanda keluarnya Dajjal.”39 Menurut Yāsir
kemenangan atas Konstatinopel yang pernah diraih oleh umat Islam tidak
menunjukkan atas batalnya riwayat di atas. Hal itu disebabkan karena
fenomena yang ada bersifat parsial. Tidak ada tanda-tanda yang lain yang
muncul seperti munculnya al-Mahdī, kehancuran Yatsrib dan lain sebagainya.
Dengan demikian, menurut Yāsir akan ada kemenangan atas Konstantinopel
untuk kedua kalinya. Tahapan selanjutnya adalah munculnya perpecahan
antara orang-orang muslim dan nasrani yang menyebabkan perang besar
yang dijanjikan. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abū
Hurairah.
ق َ ََّ ّ¶ت ي َ ُ ح ة َ َّساع-صلى هلال عليه وسلم- لل ُ س َ أَ َّن ر َ ة َ ر ْ ي َ ر ُ ِأَب ه ْ َن ن َِزل ال ْ اَل » َ ع
ِ َّّ¶ّ ََول ا
ال ُ ُوم َق ت ُ ا َل وم ُّ ِق ر ا َ ْم ِبألَع ْ ن ِ م ِ ة َ ين ِ د َ ْالم َ ن ِ ْ ٌش م ي َ ْ ج ِهم ْ لَي ِ إ ُ ُج َ ْخر ي َ ف َ ِق اب َ ِد
ب ْ أَو ِ ُّ َ خ اف َص َذا ت ِ إ َ ف ٍ ذ ِ ئ َ م ْ و َ ِض ي ْ ِل األَر ْ اِر أَه َ ي وا ُّ ل َ ُ خ وم ُّ ِت الر ا َل َ وا ق ُوُ ل ق
لل َ َون الَو ُ م ِ ل ْ ُس ْالم ُكِ ََّّ¶ّ ف ْ م ُ ْله ِ ات َ ُق َّنا ن ِ ا م ْ و َ ب َ س َ ين ِ َْ َني الَّذ ب َ ا و َ ن َ ن ْ ي َ ب ا. َ َ ي
َ ف َ ن ِ ان َ ْو ِخ َْ َني إ ب َ و ْ م َ ت ْ ق ُ ي َ ا و ً د َ أَب ْ ِهم ْ لَي.َ ن ْ ي َ ى ب ِ ّل َ ا َل ُُن ْ لُ َو ُنم ِ ات َ ق ُ ي َ ا
لل َ ْد ن ِع ِ اء َ د َ شه ال ُّ ُ َضل ْ أَف ْ م ُ ُه ث ُلُث ُ ل َ ُ و
ِ َّّ¶ّ َع ُ ُب اَ ّ¶َّّلل ُو ت َ ي ث ُ ُل ٌث ا َل ُ ِزم َ ْه ن َ ي َ ف ا
َس ت ْ قِ طن ْ ُس َون ق ُ ِح ت َ ت ْ ف َ ي َ ا ف ً د َ أَب ُ ْ َون ن َ ت ْ ف ُ ي ُث ا َل الث ُّ ُل ُ ح ِ ت َ ت ْ ف َ ي
ِ َ ي ْ م ُ ا ه َ َم ن ْ ي َ ب َ ف َ َّة ي ِ ين ِ ط ِبل ْ م ُ َه وف ُ ي ُ ُوا س لَّق َ َ ْد ع ق َ م ِ ائ َ ن َ َون ْالغ ُ م ُ ِهم ي
ِ ف ْ ي ُكم ِ ل ْ ِف أَه ْ َ ُكم لَف َ َْد خ ق َ يح. َ ُون ت ْ َّزي َ ي
َس َّن ْالم ِ ُن إ ْ َطا ال َّشي وا ال ِ ف َ اح َ ْذ ص ِ إ
َّشأْ ُ اء َ َذا ج ِ إ َ ف ٌ ل طِ َ َك ِب ِ َذل َ َون و ُ ج ُ ْخر ا َ َم ن ْ ي َ ب َ ف َ َج ر َ َ خ م ِت ال َ يم ِ ْذ أُق ِ َف إ ُو
دون ل ُّ ِ ع ُ ي ْ م ُ َّم أَ َ ه ف َ َي ْ ر َ م ُ ْن ى اب َ يس ِ ُزل ِع ْ ن َ ي َ ُ ف َ ِ وون ال ُّ ُّ َ ُس ِل ي ا َ ت ِ ْلق َ صف
ِ َّّ¶ّ َو ة ُ َّصا َل ُّ َد ع ُ آه َ َذا ر ِ إ َ ف ْ م ُ ه ُ َكه َ َر ت ْ لَو َ ف ِ اء َ ِف ْالم ُ ْلح ُب ْال ِم ُذو َ ا ي َ َب َكم َذا ا
ُ لل ُ ا َل لُه
.« َ ت ْ ق َ ي ْ ن لَكِ َ َك و ِ ل ْ ه َ ََّ ّ¶ت ي َ َب ح َْْ َ¶ذا ن ُ ا ََّّ ّ¶لل ُ ه َ م َ د ْ ِهم ي ِ ُ َْي ف ِ ه ِ د َ ي ِ ب ِ ه ِ ت َ ب ْ ر
ِف ح
“Dari Abū Hurairah, Rasulullah Saw bersabda: “Hari kiamat tidak akan terjadi
hingga bangsa Romawi turun menuju Dābiq, mereka dihadapi oleh sebuah
tentara dari Madinah, mereka adalah sebaik-baik penduduk bumi saat itu....
dan pada akhirnya mereka memenangkan Konstatinopel....” 40 Kekuasaan
al-Mahdī berakhir dengan munculnya Dajjal begitu pula dengan ‘Isa bin
Maryam. Ini dapat disimpulkan dari banyak riwayat di antaranya adalah yang
menyebut bahwa Nabi ‘Isa nanti akan menjadi makmum bagi al-Mahdī, yang
diriwayatkan dari Jābir bin ‘Abd Allāh.
ْ ُ س أَ َّنه ِ ْ َْي زب و ا ُّل ُ ِّن أَب َ ََْ¶ْ ب اَل أَخ ق ِ َّّ¶ّ َس ق َ ي ا
ِ َ ُ لل ِ د ْ ب َ ع َ ْن ب َ ر ِ اب َ َ ج ع ِ َ ت ال َّنِبَّ ع ُوُ ل
ِ ِ وُ ل َ ُ ق َ ي » ْ ن ِ ٌ م َة ف ِ ا ُل َطائ َ َز ت ا َل ِ ة َ ام َ ي ِ ْالق ِ م ْ و َ َل ي ِ إ َ ِرين-صلى هلال عليه وسلم-
َ َ َي ْ ر َ م ُ ْن ى اب َ يس ِ ُزل ِع ْ ن َ ي َ ف- اَل َّ َّ¶ِمَِّت ي ق- ُ َظاه ّ ق َ لَى ا ْل َ لُ َون ع ِ ات َ ق ُ أ
- ف َ ِ َلن ّ َل اَل. إ ق َ ي َ ا. ُ اء َ ر َ ٍض أُم ْ ع َ لَى ب َ ع ْ ْ َض ُكم ع َ َّن ب ِ ُوُ ل ا َل. -صلى هلال عليه وسلم
ِ ََّّ¶ّ « ص َ َع ت ْ م ُ ه ُ ْي ِ ُوُ ل أَم ق َ ي َ ف ا.
لل َ ة َ ْكِرم َ ت َ َّمة اأ ُل ِ ه ِ ذ َ ه
“Dari Jābir bin ‘Abdillah, saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Umatku
senantiasa berperang di jalan kebenaran dan mereka memenangkannya
sampai hari kiamat. Kemudian ‘Isa As turun. Pemimpin umat Islam saat itu
meminta ‘Isa untuk menjadi imam, namun ‘Isa mengatakan tidak. Di antara
kalian terdapat pemimpin sebagai wujud dari penghormatan Allah kepada
umatnya.”41 Setelah kemenangan atas Konstatinopel, maka muncullah Dajjal
sebagaimana disebutkan dalam riwayat di atas dan di dalam banyak riwayat
lain. Salah satunya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ummul
Mukminin Hafsah.42 “ إمنا َيرج الدجال من غضبة يغضبهاSesungguhnya Dajjal akan
keluar dari sebuah kemarahan yang memancing kemarahannya.” 43 Akhir
dari cerita Dajjal ini nantinya berada di tangan Nabi ‘Isa As, itulah mengapa
‘Isa diturunkan di samping untuk alasan-alasan lain seperti sebagai Imam
yang adil, memecahkan salib dan lain sebagainya.44 Hadis yang
diriwayatkan oleh Khudzaifah bin Usaid menggambarkan situasi yang terjadi
ketika Dajjal keluar.