Anda di halaman 1dari 15

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP MALPRAKTEK

YANG DILAKUKAN OLEH APOTEKER


(Studi Pada Puskesmas Way Kandis Bandar Lampung)

DISUSUN OLEH :

Nama : Devy Yulia Veronika

Kelas : Tingkat III/Lokal A

Dosen Pengampu : Apt. Heriani. M.Farm.

PROGRAM STUDI FARMASI


POLITEKNIK KALTARA
TARAKAN
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebuah profesi yang ditempuh melalui pendidikan formal dalam

kelompoknya merupakan komunitas moral yang memiliki cita-cita dan nilai

bersama, akan mendapat tempat yang bermartabat dalam masyarakat bilamana

dalam kehidupan profesinya setiap insan profesi tersebut melaksanakan kode etik

yang telah mereka sepakati dengan konsisten, ilmu pengetahuan, keahlian yang di

milikinya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan

kesejahteraan rakyat.

Profesi Apoteker mempunyai ciri-ciri khusus dalam komunitasnya,

disatukan dengan latar belakang pendidikan yang sama, memiliki keahlian yang

sama, punya otoritas dalam profesinya, sehingga mempunyai kewenangan tertentu

dalam bidang kesehatan. Ciri khusus pertama profesi apoteker mempunyai sistim

nilai yang mengikat tingkah apoteker baik sesama kolega, sejawat maupun

terhadap anggota masyarakat. Ciri khusus yang kedua bersifat otonom memiliki

identitas tertentu, memiliki kelompok seprofesi (komunitas) yang disebut sistem

otonom. Sistem nilai akan melahirkan etika profesi apoteker dan sistim otonom

melahirkan standar profesi dan standar pelayanan profesi apoteker yang

digunakan sebagai pedoman dan memberi arah praktik kefarmasian.

Undang - Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU

No.36 tahun 2014) Pasal 66 ayat 1 bahwa Setiap tenaga kesehatan dalam

menjalankan praktik berkewajiban untuk memenuhi standar profesi, standar


pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional. Dalam menjalankan sistem

nilai dan sistem otonom sebagai profesi apoteker di Indonesia diwadahi dalam

suatu ikatan organisasi profesi yaitu Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Organisasi

ini di bentuk dengan tujuan diantaranya membina, menjaga dan meningkatkan

profesionalisme apoteker sehingga mampu menjalankan praktik kefarmasian

secara bertanggung jawab dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Di bidang kefarmasian pemerintah telah membuat peraturan perundangan

yang menyangkut bidang kefarmasian seperti Undang – Undang Nomor.36 tahun

2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No.36 tahun 2014 tentang tenaga

kesehatan, PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, dan peraturan-

peraturannya lainnya, dan apakah peraturanperaturan yang di buat oleh

pemerintah sudah memadai dan mampu menyelesaikan permasalahan jika terjadi

malpraktik oleh apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian.

B. Tujuan

1. Mengetahui bentuk pelanggaran/malpraktik apoteker dalam memberikan

pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian

2. Mengetahui Penyelesaian Kasus Malpraktek yang di Lakukan Oleh Apoteker

di Puskesmas Way Kandis Bandar Lampung

C. Manfaat

1. Agar mengetahui berbagai bentuk pelanggaran/malpraktik apoteker dalam

memberikan pelayanan kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian

2. Agar mengetahui bagaimana penyelesaian Kasus Malpraktek yang di lakukan

oleh Apoteker di Puskesmas Way Kandis Bandar Lampung.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Praktek Pelayanan Kefarmasian

Praktik Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan

maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Apoteker yang melaksanakan praktik kefarmasian wajib memiliki surat

izin Permenkes No.889/Menkes/Per/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan

Izin Kerja Tenaga Kefarmasian pasal 17 ayat (1) Setiap tenaga kefarmasian yang

akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat

tenaga kefarmasian bekerja yang sudah mempunyai izin dari pemerintah UU

No.36 tahun 2009 menyatakan praktik kefarmasian sedangkan dalam PP 51 tahun

2009 menyatakan pekerjaan kefarmasian, PP 51 tahun keluar sebelum dikeluarkan

UU Kesehatan No.36 tahun 2009, Namun PP 51 masih tetap berlaku sepanjang

tidak beretentangan dengan Undang-undang. Sehingga apoteker dapat berpraktik

atau melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas Kefarmasian. Sampai saat ini

belum ada Undang-Undang tentang praktik kefarmasian atau Peraturan

Pemerintah tentang praktik kefarmasian.


B. Kode Etik Apoteker

Kode Etik Apoteker Indonesia, sebagai berikut:

1. Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:

a. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik

di dalam lingkungan kerjanya.

b. Seorang Apoteker dalam ragak pengabdian profesinya harus bersedia

untuk menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.

c. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam

pembangunan Nasional khususnya di bidang kesehatan.

d. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan

profesinya bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan

kesehatan.

2. Kewajiban Apoteker terhadap teman sejawatnya:

a. Seorang Apoteker harus selalu menganggap sejawatnya sebagai saudara

kandung yang selalu saling mengingatkan dan saling menasehatkan untuk

mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik.

b. Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari setiap tindakan yang dapat

merugikan teman sejawatnya, baik moril atau materiil.

c. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk

meningkatkan kerja sama yang baik dalam memelihara, keluhuran

martabat jabatan, kefarmasian, mempertebal rasa saling mempercayai di

dalam menunaikan tugasnya.


3. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lainnya:

a. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk

meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan

menghormati sejawat yang berkecimpung di bidang kesehatan.

b. Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakannya atau

perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurang atau hilangnya

kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan.

c. Melihat kemampuan Apoteker yang sesuai dengan pedidikannya,

menunjukkan betapa pentingnya peranan Apoteker dalam meningkatkan

kesehatan masyarakat, yaitu dengan memberikan suatu informasi yang

jelas kepada pasien (masyarakat)

C. Penegakan Hukum Kasus Malpraktek Menurut Ketentuan Hukum yang

Berlaku

Penegakan hukum pada kasus malpraktek yang di lakukan oleh Apotker,

Rita Agustina menjelaskan apabila terjadi malpraktek harus di tinjau kejadian

malpraktek tersebut benar-benar terjadi karena salah obat yang mengarah pada

ranah pidana, atau kebutaan karena penyakit sehingga tidak ada kaitannya dengan

obat yang di berikan.

Penyelesaian Perselisihan perkara malpraktek yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan di jelaskan dalam Pasal 77, Pasal 78 dan Pasal 79 yaitu: Pasal 77

Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau

kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan. Pasal 78 Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga

melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian

kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian

tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar

pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 79 Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas

Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-

undangan. Sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku di atas, perkara

malpraktek yang terjadi telah di selesaikan secara non penal atau diluar

pengadilan seperti mediasi, negoisasi, kekeluargaan dan sebagainya yang mana

pada kasus malpraktek terjadi karena kelalaian yang di lakukan oleh tenaga

kesehatan. Adapun banyak keunggulan atau yang di dapatkan apabila

penyelesaian perkara menggunakan cara di luar pengadilan atau non penal. Erna

Dewi menjelaskan bahwa tenaga kesehatan mempunyai etika profesi sendiri

seperti ikatan dokter, ikatan perawat, ikatan bidan, ikatan apoteker dan masih

banyak lagi.

Hal tersebut cukup kuat selagi masih bisa di selesaikan di antara mereka

pihak yang berselisih maka mereka akan menyelesaikan perkara atau kasus

malpraktek di luar pengadilan walaupun sebenarnya kasus tersebut terdapat unsur

pidana nya. Apabila kasus malpraktek di selesaikan secara penal atau secara

hukum pidana akan memakan proses yang panjang baik itu waktu dan lain-lain

nya. Penyelesaian persoalan hukum melalui negoisasiatau di luar pengadilan

bersifat win-win solution dimana para pihak tidak ada yang menang dan kalah,
sehingga sengketa tidak berlangsung lama dan berlarut-larut serta dapat

memperbaiki hubungan antar para pihak yang bersengketa. Keuntungan

penyelesaian suatu sengketa dengan menggunakan negoisasiatau di luar

pengadilan sangat banyak diantaranya biaya murah, cepat, memuaskan para pihak

yang bersengketa karena bersifat kooperatif, mencegah menumpuknya perkara

dipengadilan, menghilangkan dendam, memperteguh hubungan silaturahmi dan

dapat memperkuat serta memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam

penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus

(Ajudikatif). Berdasarkan hasil uraian diatas penulis menganalisis bahwa

penegakan hukum kasus malpraktek yang di lakukan oleh apoteker pada

puskesmas Way Kandis Bandar Lampung di selesaikan secara non penal atau di

luar pengadilan

D. Penyelesaian Kasus Malpraktek yang di Lakukan Oleh Apoteker di

Puskesmas Way Kandis Bandar Lampung

Penyelesaian kasus malpraktek yang di lakukan oleh apoteker pada

puskesmas Way Kandis Bandar Lampung. Rita Agustina menjelaskan bahwa

korban sudah mengalami luka pada mata nya yaitu gangguan Ulkus Kornea atau

luka pada kornea mata korban, untuk awal-awal luka tersebut tidak terdeteksi.

Ulkus kornea adalah luka terbuka yang terbentuk pada kornea oleh berbagai

sebab, penyebab tersering adalah infeksi. Kelalaian medis adalah salah satu

bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang

paling sering terjadi.


Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja,

melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak

melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang

memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu

diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang perorang bukanlah

merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang

yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak hati-hati dan telah

mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.8 Dalam kasus malpraktek

penyelesaian sengketa medis secara negosiasi sangat beralasan dikarenakan tidak

semua permasalahan sengketa medis harus di selesaikan secara litigasi di

pengadilan.

Negosiasi dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam menyelesaikan

sengeketa medis dikarenakan beberapa alasan berikut :

a. Bahwa upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter merupakan upaya

penyembuhan yang didasarkan pada usaha yang maksimal dan ikhtiar

(inspanningverbintenis)

b. Ruang lingkup kesehatan untuk membuktikan dugaan perbuatan melanggar

(malpraktek kedokteran) bukanlah hal yang mudah namun harus dipelajari

dan di analisis terlebih dahulu setiap perbuatan buruk (adverse event)

c. Tidak semua adverse event identik dengan malpraktek kedokteran

Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatan kota Bandar

Lampung menerangkan bahwa upaya yang di lakukan oleh puskesmas Way

Kandis adalah merujuk korban ke dokter spesialis mata pada rumah sakit Graha
Husada Bandar Lampung, kemudian dokter spesialis mata pada rumah sakit Graha

Husada Bandar Lampung menyatakan bahwa tidak terjadi ada apa-apa terhadap

korban. Sengketa terjadi karena kurangnya komunikasi antara korban dan pihak

puskesmas way kandis, setelah korban diperiksa oleh dokter spesialis mata di

rumah sakit Graha Husada Bandar Lampung dan korban di beri obat. Tetapi tetap

tidak dibenarkan human error, adapun akan terjadi human error yang dilakukan

oleh apoteker karena overloadpasien, karena tenaga kesehatan dituntut untuk tidak

salah dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Rata-rata apoteker dalam melayani pasien hanya mampu 50 orang pasien

saja, untuk tingkat ketelitian nya. Apoteker mampu melayani pasien lebih dari 50

orang pasien tetapi akan terjadi kemungkinan semakin banyaknya error human.

Untuk itu pihak tenaga kesehatan menerapkan upaya pencegahan berupa gerakan

masyarakat cerdas menggunakan obat. Apoteker sudah diberikan surat peringatan

atas kejadian kasus malpraktek tersebut dan langsung secara keseluruhan dibuat

surat edaran guna mencegah terulangnya kasus serupa, yaitu dibuat lagi tanda

untuk membedakan mana untuk obat mata dan mana untuk obat untuk telinga.9

Bagi tenaga farmasi, mempelajari dan memahami obat dari segala sudut

merupakan hal yang biasa.

Mulai dari proses penelitian dan pengembangan suatu obat, teknologi

farmasi, ilmu farmakologi termasuk farmakokinetik dan farmakodinamik, kimia

farmasi, analisis farmasi, farmakognosi, dan sebagainya, merupakan ilmu yang

wajib diketahui oleh seorang tenaga farmasi, terutama apoteker atau farmasis.

Tapi bagi masyarakat awam kesehatan maupun profesi lain, termasuk tenaga
kesehatan non farmasi, belum tentu ilmu farmasi dapat dipahami dengan mudah.

Dalam hal ini terjadi ketidakseimbangan informasi (asymetri information) antara

pasien dengan tenaga kesehatan.

Padahal obat, merupakan suatu produk yang dikonsumsi hampir semua

orang sejak lahir hingga dewasa. Seringkali pada saat (terpaksa) mengonsumsi

obat, seseorang akan pasrah terhadap obat apapun yang diresepkan oleh dokter.

Atau dengan pengetahuan minim, masyarakat akan membeli dan menggunakan

obat bebas dengan dipandu oleh iklan atau promosi obat di berbagai media.

Perkembangan teknologi saat ini bahkan memudahkan masyarakat dalam

memperoleh obat melalui sistem online. Hal inilah yang belakangan mulai

meresahkan kalangan farmasi dan kesehatan, termasuk pemerintah. Terlepas dari

kemudahan akses masyarakat terhadap obat, maraknya penjualan obat melalui

online ini dapat menjadi masalah.

Untuk itu, Kementerian Kesehatan mempromosikan tagline “Tanya Lima

O”. Melalui tagline ini diharapkan masyarakat dapat lebih aktif lagi mencari

informasi tentang obat, baik kepada tenaga kesehatan khususnya tenaga farmasi,

maupun dari sumber informasi lainnya yang valid dan terpercaya, seperti kemasan

obat. “Tanya Lima O” merupakan 5 (lima) pertanyaan minimal yang harus

terjawab sebelum seseorang mengonsumsi obat merujuk pada kata “obat”, yaitu:

1. Obat ini apa nama dan kandungannya?

2. Obat ini apa khasiat/ kandungannya?

3. Obat ini berapa dosisnya?

4. Obat ini bagaimana cara menggunakannya?


5. Obat ini apa efek sampingnya?

Selain lima pertanyaan pada Tanya Lima O ini, masyarakat diharapkan

dapat bertanya hal lain yang diperlukan terkait dengan obat yang akan dan sedang

dikonsumsi. Pada obat bebas yang dapat diperoleh tanpa resep dokter, semua

informasi tersebut tercantum dengan jelas pada kemasan obat. Sedangkan pada

obat keras yang diperoleh dengan resep dokter, masyarakat dapat bertanya pada

dokter yang meresepkan atau pada apoteker pada saat menebus resep. Upaya yang

di lakukan oleh pihak puskesmas adalah dengan merujuk pasien ke rumah sakit

dan di periksa langsung oleh dokter spesialis mata, diberikan perwatan yang

intensif kemudian di obati sampai selesai dan sembuh.

Karena dalam kasus malpraktek perselisihan yang timbul akibat kelalaian

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penerima pelayanan kesehatan

harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar

pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Rita

Agustina menyatakan penyelesaian perkara malpraktek yang di lakukan oleh

apoteker di puskesmas way kandis sudah tepat, karena apoteker nya sudah

mendapat teguran dan sanksi sosial meskipun kebutaan tidak disebabkan dari efek

obat yang diberikan oleh apoteker kepada korban. Pihak puskesmas Way Kandis

memberikan bentuk tanggung jawab kepada korban berupa pengobatan sampai

selesai dan ditangani oleh dokter spesialis mata di rumah sakit Graha Husada

Bandar Lampung.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyelesaian terkait kasus malpraktek yang dilakukan oleh apoteker pada

puskesmas way kandis Bandar Lampung dilakukan melalui penyelesaian secara

kekeluargaan. Pihak korban selaku pihak yang dirugikan atas kelalaian dari

apoteker yang bertugas pada puskemas way kandis Bandar lampung tersebut

menyepakati penyelesaian masalah tersebut dilakukan secara negosiasi. Pada

negosiasi tersebut pihak yang bertanggung atas kelalaian yang dilakukan oleh

pihak puskesmas tersebut adalah Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. Hasil

negosiasi yang disepakati kedua belah pihak adalah bahwa pihak korban diberikan

fasilitas perawatan secara intensif dan segala biaya perawatan tersebut ditanggung

oleh pihak Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung selaku pihak yang

bertanggung-jawab pada puskesmas way kandis kota Bandar lampung.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1990, The Role Of The Pharmacist In Health Care System, Jakarta:

Airlangga. Dellyana, Shanti, 1998, Konsep Penegakan Hukum,

Yogyakarta: Liberty

Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan

Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI: Jakarta.

Hartono. 2010, Penyidikan dan penegakan hukum pidana melalui pendekatan

hukum progresif, Jakarta, Sinar Grafika.

Isvandyarie, Anny, 2005, Malpraktek dan Risiko Medik (Dalam Hukum Pidana),

Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Komalawati, Veronica, 1989, Hukum dan Etika Praktik Dokter, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Menkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun

2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Menteri Kesehatan Republik

Indonesia: Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 2003,AsasAsas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT

Refika Aditama.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi,

Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Menteri Kesehatan:

Jakarta.

Permenkes. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang

Tenaga Kesehatan.

Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.


Soekanto,Soerjono.2005.Faktor-faktor yang memengaruhi penegakan hukum.

Jakarta, PT Rajagrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai