Disusun Oleh
Muhammad Husni Mubaroq (200201110012)
2020
PENDAHULUAN
Hadist mempunyai kedudukan sebagai sumber hukum islam kedua setelah Alquran.
Setiap muslim wajib berpedoman kepada keduanya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wasallam 1
ُ سنَّةَ َر
س ْولِ ِه َ ِكت: س ْكتُ ْم بِ ِه َما
ُ َاب هللاِ َو ِ ت ََر ْكتُ فِ ْي ُك ْم أَ ْم َر ْي ِن لَنْ ت
َّ َضلُّ ْوا َما تَ َم
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Hadist Rasul-Nya1.”
Alquran dan hadist, keduanya terkait erat dan tidak terpisahkan. Fungsi hadist terhadap
Alquran sangat penting. Pada dasarnya, hadistt memiliki fungsi utama sebagai menegaskan,
memperjelas dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada dalam AlquranKetetapan
dan kepastian-ketetapan dan kepastian yang ada di dalam al-Qur’an dan ketetapan dan
kepastian-ketetapan dan kepastian yang terdapat dalam hadist bukanlah ketetapan dan
kepastian-ketetapan dan kepastian yang terpisah. Dua ketetapan dan kepastian itu
berhubungan satu sama lain dan saling membutuhkan. Secara normatif, terdapat banyak
dalil yang menginformasikan bahwa pada dasarnya hadist adalah wahyu dari Allah.
Atas dasar ini, maka bayan hadist terhadap al-Qur’an itu hakekatnya adalah bayan wahyu
terhadap wahyu, atau penjelasan Allah terhadap firman-firmannya sendiri. Karena itu
sungguh kelirulah kalau seseorang mengaku muslim tetapi menolak al-Hadist dan
mencukupkan dirinya dengan al-Qur’an. Karena menolak hadist berarti menolak sebagian
wahyu yang disampaikan oleh Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang menolak
al-Hadist mau tidak mau akan memahami al-Qur’an dengan akalnya semata, padahal
pikiran kita itu andai dibandingkan dengan wahyu sangatlah jauh derajatnya. Sifat demikian
itu terlihat dengan jelas, terutama pada ketetapan dan kepastian-ketetapan dan kepastian
dalam bidang hukum, khususnya hukum-hukum ibadah yang merupakan bagian terpenting
dari agama Islam. Sementara itu, al-Qur’an memuat hukum-hukum yang mufasssal (terurai)
dan juz’i (terperinci). Namun, kebanyakan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an adalah
mujmal (universal ) dan kulli (menyeluruh). Karenanya, secara mutlak al-Qur’an
membutuhkan bayan (penjelasan). Artinya bayan ( penjelasan ) hadist disimpulkan sebagai
penjelas dan penjabaran daripada nash-nash Al-Qur’an. Yang mana hal tersebut akan kita
jabarkan dan jelaskan dalam penjelasan di bawah ini.
1
Faidul Qadir jilid 3 halaman, 240, hadits no 3282
PEMBAHASAN.
1. Bayan taqrir, yaitu bayan yang berfungsi menguatkan al-Qur’an. Sebuah Hadist
dikatakan menguatkan al-Qur’an adalah kalau ia mendatangkan sesuatu persis sama
dengan apa yang telah didatangkan oleh al-Qur’an. Sebagian ulama menyebut bayan
ini dengan bayan ta’kid.
2. Bayan tafsir, yaitu bayan yang berfungsi menjelaskan maksud al-Qur’an. Sebuah
Hadist dikatakan menjelaskan maksud al-Qur’an adalah kalau ia menerangkan
makna al-Qur’an, mentafsil mujmal al-Qur’an, menta`yin musytarak al-Qur’an,
mentakhsis keumuman al-Qur’an, atau mentaqyid kemutlakan al-Qur’an.
3. Bayan ziyadah atau bayan tasyri`, yaitu bayan yang berfungsi menambah ketetapan
dan kepastian
al-Qur’an. Bayan ini disebut juga dengan bayan tasyri`, yaitu bayan yang berfungsi
menetapkan hukum baru. Sebuah Hadist dikatakan menambah ketetapan dan
kepastian al-Qur’an, atau menetapkan hukum baru, adalah kalau ia menetapkan
suatu hukum yang
didiamakan atau tidak tersebut di dalam al-Qur’an.
4. Bayan nasakh atau bayan tabdil, yaitu bayan yang berfungsi menghapus atau
mengganti al-Qur’an. Sebuah Hadist dikatakan mengahapus atau mengganti al-
Qur’an adalah ketika ia mendatangkan suatu hukum yang bertentangan dengan
hukum yang mana hukum tersebutberada di dalam al-Qur’an.
B. Penjelasan Terhadap Macam-Macam Bayan Hadist dan Contohnya
1. Bayan Taqrir
Fungsi Hadist sebagai bayan taqrir berarti memperkuat isi dari Alquran.
Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim terkait perintah
berwudhu, yakni:
س ُك ْم
ِ س ُح ْوا بِ ُر ُء ْو ِ ِسلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َوأَ ْي ِد يَ ُك ْم اِلَى ا ْل َم َراف
َ ق َوا ْم ّ يَااَيُّ َهاالَّ ِذ يْنَ اَ َمنُ ْوااِ َذاقُ ْمتُ ْم اِلَى ال
ِ صلَو ِة فَا ْغ
َواَ ْر ُجلَ ُك ْم اِلَى ا ْل َك ْعبَ ْي ِن
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6).
Dengan penjelasan didalam Al-Qur’an yang mana tidak di jelaskan secara rinci apa sih
yang dimaksud oleh ayat tersebut, maka fungsi taqrir hadist disini adalah menjelaskan
kaifiyyat-kaifiyyat dimana penjelasan ayat Al-Qur’an tersebut kita mengenalnya
sebagai wudhu.
2. Bayan Tafsir
Fungsi hadist sebagai bayan tafsir berarti memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi
al Alquran yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan batasan-batasan
(persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak (taqyid).
Contoh hadist sebagai bayan tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SHALALLAHU
‘ALAIHI WASALLAM mengenai hukum pencurian.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah”
(QS. Al-Maidah: 38)
2
Mujam thabrani Awsath jilid 8 hal, 21. No 3139
Dalam Alquran, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan
memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi SHALALLAHU
‘ALAIHI WASALLAM memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan
tangan.
3. Bayan Tasyri’
Hadist sebagai bayan tasyri’ ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran
islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran. Biasanya Al Quran hanya menerangkan
pokok-pokoknya saja.
“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan
satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau hamba, laki-laki
atau perempuan.” (HR. Muslim)
Namun ada beberapa ulama yang memiliki pendapat khusus tentang pemberian
kepastian pendapat yang tidak ada dalam Al-Qur’an yaitu :
Sebagian ulama, antara lain al-Syatibi, berpendapat bahwa Hadist yang
menambah ketetapan dan kepastian al-Qur’an itu tidak ada. Karena itu mereka
menolak pendapat jumhur yang mengatakan al-hadits itu, selain berfungsi mentaqrir
dan manafsirkan al-Qur’an juga berfungsi menambah al-Qur’an. Sebuah H a d i s t
dikatakan menmbah al-Qur’an adalah kalau ia berdiri sendiri dalam menetapkan
hukum. Menurut jumhur, hadis-hadis di atas berdiri sendiri dalam menetapkan
hukum. Karena itulah maka mereka berpendapat bahwa Hadist yang
menambah al-Qur’an itu ada. Menurut al-Syatibi dan para pendukungnya, hadis-hadis
di atas sudah terkandung di dalam al-Qur’an. Karena itulah maka mereka
berpendapat bahwa Hadist yang menambah al-Qur’an itu tidak ada.
Sehubungan dengan pereselisihan pendapat dua golongan itu yang perlu diingat
adalah bahwa perselisiha pendapat mereka itu terbatas pada mandiri tidaknya hadis-
hadis di atas dalam menetapkan hukum, tidak sampai pada diterima tidaknya hadis-
hadis di atas sebagai hujjah. Seperti golongan pertama, golongan kedua pun
menerima hadis- hadis di atas dengan penuh ketundukan. Hanya saja alasan
penerimaan mereka berbeda dengan alasan penerimaan golongan pertama.
Golongan pertama menerima hadis-hadis di atas karena semua hadis itu menjadi
hujjah, karena kewajiban taat kepada Rasul itu mutlak, tidak terbatas. Sedang
golongan kedua menerima hadis-hadis di atas karena semua hadis itu sejatinya
sudah terkandung di dalam Al-Qur’an .
4. Bayan Nasakh
Fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di kalangan ulama.
Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh al-Qur’an dengan
segala hadits walaupun hadits ahad. Kelompok Hanafiyah berpendapat boleh menasakh
dengan hadist masyhur tanpa harus matawatir. Sedangkan para mu’tazilah
membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus mutawatir. Selain itu, ada juga
yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadist. Dalam bab ini saya pribadi
akan memberikan bab khusus tentang diterima atau tidaknya nasakh Al-Qur’an dengan
Hadist.
Untuk menjawab pertanyaan mana yang lebih membutuhkan apakah al-Qur’an lebih
membutuhkan Hadits/Sunnah ataukah Hadits/Sunnah lebih membutuhkan al-Qur’an, kita
harus merujuk kembali kepada al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44, yaitu;
َاس َمانُ ِّز َل إلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن َ َوأَ ْنزَ ْلنَا إلَ ْي.
ِ َّك ال ِّذك َر لِتُبَيِّنَ لِلن
“Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(QS. an-Nahl : 44)
Dalam ayat tersebut Allah SWT telah mengutus Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk
menjelaskan isi al-Qur’an. Penjelasan itu disampaikan Rasulullah kepada umatnya melalui
Hadits/Sunnah. Karena al-Quran adalah kalam Allah bersifat global, muthlak dan umum.
Maka Allah mengutus rasul untuk membacakan dan menerangkan ayat-ayatNya kepada umat
manusia agar mereka bisa mengerti dan mengikuti Rasulullah sebagai tauladan. Allah juga
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman kepadanya untuk patuh pada perintah
RasulNya.
Terlepas dari berbagai alasan atau dalil yang menunjukkan bahwa kedudukan Hadits/Sunnah
menempati posisi kedua setelah al-Quran dalam tertib sumber hukum Islam, yang jelas di
dalam al-Quran banyak ayat yang tidak dapat dijelaskan jika tidak ada penjelasan yang dapat
mengungkapkan makna yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dan yang bisa menjelaskan itu
adalah Rasul.
Pandangan klasik (ulama terdahulu) mengenai hubungan antara al-Quran dan Sunnah secara
ringkas dinyatakan dalam peribahasa, “Kebutuhan al-Quran terhadap Sunnah lebih besar
daripada Sunnah terhadap al-Quran.” Menurut mereka al-Quran tidak dapat berdiri sendiri.
Tanpa Sunnah yang bisa menjamin maknanya, yang memperjelas maksudnya, dan yang
melengkapi perintah-perintahnya, kitab ini tidak bisa dipahami.[ Dengan demikian jelaslah
bahwa al-Quran lebih membutuhkan Hadits/Sunnah daripada sebaliknya.
Meskipun demikian beberapa ulama juga berpendapat bahwa antara al-Quran dan Sunnah
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, bahwa sebagian ulama mengatakan bahwa pada
dasarnya Nabi tidak pernah menetapkan Sunnah tanpa sandaran al-Qur’an. Dalam buku
tersebut juga tertulis pendapat al-Syafi’i yang menyatakan bahwa Sunnah Nabi baik yang
berfungsi menjelaskan makna perintah Allah atau yang berfungsi legislasi tanpa nash al-
Qur’an, keduanya sama-sama mengikat dalam segala keadaan.Oleh karena itu, antara al-
Qur’an dan Sunnah memiliki hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengikat antara
satu dengan lainnya sebagai sumber hukum pertama dan kedua dalam Islam.
Daftar Pustaka
1. Al-bukhori, Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail, Ensiklopedia hadits2 ; shahih bukhari
2, Jakarta: Almahira cet. 1, 2012
2. Al-Qur’an dan terjemahanya. 2008. Departemen Agama RI. Bandung : Diponegoro
3. Danuri, Daelan M. Al-sunnah sebagai bayan Al-qur’an. Diakses pada tanggal 2,
Desember, 2020
4. Faidul Qadir jilid 3 halaman, 240, hadits no 3282, diakses di https://carihadis.com/
5. https://carihadis.com/
6. Mu’jam Thabrani Awsath,jilid 8 hal,21. No 3139
7. Nata, Abudin. Al-Qur’an dan Hadist, Cet.VII Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000
8. Susanti, Eneng. Fungsi hadist terhadap Al-qur’an. Media islam, bandung 2019