Nurdana
ABSTRAK
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia saat ini didominasi oleh peternak rakyat yang
kemampuan produksi dan tingkat pendapatannya masih relatif rendah serta manajemen
pemeliharaan yang dilaksanakan juga masih bersifat tradisional. Tuntutan dan kepedulian
konsumen terhadap mutu dan keamanan susu mendorong adanya sebuah standarisasi tatalaksana
peternakan sapi perah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penerapan Good
Dairy Farming Practice (GDFP) dengan tingkat pendapatan peternak. Penerapan GDFP dianalisis
menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), perhitungan pendapatan dihitung
menggunakan metode Income Over Feed Cost (IOFC), dan analisis hubungan menggunakan
korelasi rank Spearman. Hasil analisis AHP menunjukan urutan prioritas penerapan GDFP oleh
peternak yaitu secara berurutan reproduksi, higien pemerahan, kesehatan ternak, nutrisi (pakan dan
air), kesejahteraan ternak, lingkungan, dan manajemen sosial ekonomi. Pendapatan peternak
berdasarkan IOFC pada skala usaha I sebesar Rp. 845.537/bulan, pada skala usaha II sebesar Rp.
1.391.134/bulan, dan pada skala usaha III sebesar Rp. 3.593.959/bulan. Hasil analisis korelasi
Spearman dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan nyata (P<0,05) antara
penerapan GDFP dan pendapatan peternak dengan koefisien korelasi sebesar 0,51 artinya hubungan
cukup berarti.
Kata Kunci : Good Dairy Farming Practice, Income Over Feed Cost.
ABSTRACT
Dairy farm in Indonesia has been dominated by smallholders. They both of milk production
and income under standar level and manage dairy traditionally. The demand of consumers need
milk quality and safety, therefore it drives a good practice management in dairy farm. This study
was held to find out the relationship between Good Dairy Farming Practice (GDFP) with level of
farmer income. The implementation GDFP was analyzed by Analytical Hierarchy Process (AHP),
the level of farmer income calculation used an Income Over Feed Cost (IOFC) method, and analysis
of relationship used rank Spearman corelation method. Result of the research showed respectively
the priority of GDFP are reproduction aspect, and followed by milking hygiene, animal health,
nutrition (feed and water), animal welfare, environment, and socio economic management. The
farmer income which is based on IOFC analysis were devide into three level of incomes such as
first scale is Rp. 845.537/mounth, second scale is Rp. 1.391.134/mounth, and third scale Rp.
3.593.959/mounth. The rank Spearman corelation indicated there are positive relationship between
GDFP and IOFC with 0,51 level of corelation (sufficient) and significant statistically (P<0,05).
Keywords : Good Dairy Farming Practice, Income Over Feed Cost.
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
PENDAHULUAN
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia saat ini didominasi oleh peternak rakyat yang
tergabung dalam koperasi peternak sapi perah. Salah satu koperasi peternak sapi perah di Jawa
Barat adalah Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan. Jumlah anggota koperasi
per januari 2015 sebanyak 3.420 orang dengan total populasi sapi perah 12.355 ekor. Selama kurun
waktu dua bulan yaitu dari bulan November 2014–Januari 2015 terjadi penurunan populasi sapi
perah sebanyak 582 ekor. Hal yang sama hampir terjadi diseluruh wilayah Jawa Barat dimana
Beternak sapi perah merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar peternak,
namun pada kenyataannya pendapatan dari usaha ini masih relatif rendah. Beberapa hasil penelitian
menunjukan bahwa keuntungan atau pendapatan yang diperoleh peternak sapi perah masih belum
optimal dan memungkinkan untuk ditingkatkan. Optimalisasi pendapatan peternak dapat dipelajari
melalui sudut pandang perbaikan manajemen usaha peternakan. Good Dairy Farming Practices
adalah suatu standarisasi usaha peternakan sapi perah. Aspek utama dalam GDFP yaitu reproduksi
ternak, kesehatan ternak, higien pemerahan, nutrisi (pakan dan air), kesejahteraan ternak,
Objek dalam penelitian ini adalah peternak sapi perah yang tergabung dalam anggota KPBS
Pangalengan dan memiliki sapi perah produktif. Penelitian dilaksanakan di Desa Margamukti
karena memiliko populasi sapi perah dan peternak paling banyak di KPBS Pangalengan. Desa
Margamukti terdiri dari lima Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) : Cipanas II, Los Cimaung I, Los
Cimaung II, Pangkalan, dan Rancamanyar. Lokasi penelitian ditentukan dengan cara memilih dua
TPK yang memiliki anggota (peternak) dan populasi ternak paling banyak yaitu Los Cimaung I dan
perhitungan rumus penentuan jumlah sampel, diperoleh jumlah total sebanyak 40 responden.
Jumlah sampel pada masing-masing TPK dan Skala Usaha dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Sampel Penelitian di TPK Los Cimaung I dan Los Cimaung II per Skala
Usaha
Skala Usaha TPK (orang) Total
Los Cimaung I Los Cimaung II
I 12 10 22
II 4 8 12
III 2 4 6
Jumlah 18 22 40
keputusan yang menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki dengan banyak
tingkatan yang terdiri dari tujuan, kriteria dan alternatif (Suyatno dkk., 2011). Analisis pendapatan
peternak dihitung menggunakan metode IOFC yaitu nilai yang didapat dari selisih penerimaan
usaha ternak sapi perah dengan biaya pakan yang dikeluarkan. Perhitungan IOFC terlepas dari biaya
lain yang belum diperhitungkan seperti upah tenaga kerja, fasilitas kandang, bibit dan lain
sebagainya yang tidak termasuk ke dalam kriteria yang diamati dalam biaya variabel. Hubungan
antara penerapan GDFP dengan Tingkat Pendapatan Peternak dianalisis menggunakan rank
Spearman.
Jawa Barat. Batas-batas admistratif Desa Margamukti, Utara dan Barat berbatasan dengan Desa
Pangalengan, Selatan berbatasan dengan Desa Sukamanah dan Timur berbatasan dengan Desa
banyak dipengaruhi oleh keberadaan KPBS Pangalengan, yang didirikan pada tanggal 22 Maret
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
1969. Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia peternak berkisar antara 19-59 tahun. Pada
setiap skala usaha persentase terbesar usia peternak berada pada selang usia 40-49 tahun. Hal ini
berarti sebagian besar peternak berada dalam usia produktif. Tingkat pendidikan formal yang
dicapai peternak pada skala usaha I lebih beragam bila dibandingkan skala usaha lainnya. Peternak
pada skala usaha II dan skala usaha III sebagian besar tingkat pendidikan formal yang dicapai
adalah Sekolah Dasar (SD). Usaha peternakan sapi perah pada umumnya tidak hanya memelihara
induk laktasi saja, tetapi juga memelihara sapi perah non produktif. Sapi perah yang non produktif
terdiri dari sapi kering, pedet, dan dara yang diperuntukan untuk replacement stock.
Menurut Kusnadi, dkk. (1983) bahwa dalam usaha pemeliharaan sapi perah yang ekonomis,
satu ekor sapi perah yang sedang berproduksi hanya dapat dibebani 0,40 Satuan Ternak (ST) sapi
perah yang belum produktif. Berdasarkan Tabel 9, pada skala usaha I satu ekor sapi produktif
dibebani 0,54 ST hal ini berarti komposisi pemeliharaan sapi perah pada skala usaha I tidak
ekonomis, sedangkan sapi produktif pada skala usaha II dan skala usaha III masing-masing dibebani
Good Dairy Farming Practice terdiri dari tujuh aspek, yaitu reproduksi, kesehatan ternak,
higien pemerahan nutrisi, kesejahteraan ternak, lingkungan, dan manajemen sosial ekonomi.
rataan tertinggi bila dibandingkan dengan skala usaha II dan skala usah I. Hasil ini sesuai dengan
hasil penelitian Sopiyana (2006) dimana tingkat tatalaksana peternakan pada skala usaha yang lebih
besar, nyata lebih tinggi diabandingkan dengan skala usaha yang lebih kecil. Berdasarkan
didapatkan urutan prioritas penerapan aspek-aspek GDFP oleh peternak. Urutan prioritas aspek-
Tabel 3. Prioritas Penerapan Aspek-aspek Good Dairy Farming Practice oleh Peternak per
Skala Usaha
Reproduksi Ternak
Efisiensi reproduksi adalah salah satu kriteria keberhasilan usaha peternakan sapi perah.
Pengetahuan dan pengalaman peternak mengenai zooteknis khususnya performa reproduksi sangat
berperan dalam mencapai tingkat efisiensi reproduksi. Rata-rata persentase penerapan GDFP aspek
Tabel 4. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Reproduksi
No Sub Aspek Skala Usaha (%)
Reproduksi I II III
1. Bangsa sapi perah yang dipelihara 100 100 100
2. Cara pemilihan bibit (seleksi) 77,56 84,90 91,67
3. Cara kawin 100 100 100
4. Pengetahuan birahi 100 100 100
5. Umur pertama beranak 100 100 100
6. Kawin pertama setelah beranak 66,67 66,67 66,67
7. Jarak kelahiran (calving interval) 100 100 100
8. Service per Conception (S/C) 66,67 66,67 66,67
Rata-rata 88,86 89,78 90,63
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
Sapi FH merupakan sapi perah yang tergolong sensitif terhadap temperatur dan kelembaban.
Pemeliharaan sapi FH pada ketinggian 561-750 m di atas permukaan laut dengan kisaran suhu
antara 22-310C memungkinkan terjadinya stres panas dan berpengaruh negatif terhadap
produktivitas (Sudrajad dan Adiarto, 2011). Kondisi lingkungan Pangalengan dengan suhu sebesar
16-200C, berada pada kisaran suhu nyaman untuk berproduksi susu bagi sapi FH. Penerapan GDFP
harus disertai dengan pelaksanaan seleksi untuk memilih sapi perah dengan kualitas genetik yang
baik. Program seleksi dasar yang dapat dilakukan oleh peternak rakyat adalah pemilihan bibit
Cara kawin yang dilakukan adalah seluruhnya secara Inseminasi Buatan (IB). Peternak
sudah mengetahui tanda-tanda birahi. Setelah mengetahui bahwa sapi birahi, peternak langsung
menghubini inseminator. Rata-rata umur beranak pertama 30 bulan. Interval kawin pertama setelah
beranak di lokasi penelitian sesuai dengan pendapat Toelihere (1993) yaitu rata-rata 90 hari pada
birahi ke tiga, tetapi menurut Sudono, dkk. (2005) sapi FH dapat dikawinkan kembali 40-60 hari
(birahi kedua) setelah melahirkan. Selang beranak di lokasi penelitian sesuai dengan pendapat
Izquierdo, dkk. (2008) dimana selang beranak berada pada kisaran 12-13 bulan, sedangkan sapi
perah di BBPTU mengalami gangguan reproduksi karena selang beranak lebih lama dari 400 hari
atau 13,30 bulan (Atabany, 2012). Rata-rata nilai S/C sapi FH di lokasi penelitian adalah 2-3.
Kesehatan Ternak
Manajemen program kesehatan ternak bertujuan untuk menjamin susu yang dihasilkan aman dan
layak dikonsumsi serta mengontrol penyakit ternak. Penerapan GDFP aspek kesehatan ternak yang
dijalankan oleh peternak pada setiap skala usaha disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Kesehatan
Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa 91,67% peternak menjamin bahwa sapi perah yang
dipelihara resisten terhadap penyakit. Performa peternak dalam mencegah masuknya penyakit ke
dalam peternakan rata-rata sebesar 72,85%. Biosecurity merupakan pencegahan dasar masuknya
suatu penyakit. Elemen dasar biosecurity antara lain isolasi, pembersihan dan desinfeksi serta
pengaturan lalulintas, dalam hal ini peternak lebih fokus terhadap kebersihan terutama kebersihan
kandang. Penerapan manajemen kesehatan ternak yang efektif oleh peternak rata-rata hanya sebesar
69,76% bila dibandingkan dengan sub aspek kesehatan ternak lainnya adalah yang paling rendah.
Hal ini disebabkan peternak mengesampingkan hal yang sangat penting dan mendasar yaitu catatan.
Sebagain besar peternak menggunakan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk
penerapannya rata-rata sebesar 85,73%. Hal yang harus diperhatikan dalam pengobatan yaitu waktu
henti obat. Peternak tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan waktu henti obat tetapi dokter
hewan dan paramedis selalu memberikan saran bahwa selama beberapa hari ke depan susu dari sapi
yang baru diobati harus dipisahkan. Hal tersebut guna mencegah adanya residu kimia pada susu.
Hasil penelitian Kusmaningsih dkk. (1996) hanya 14,28% peternak yang mengetahui waktu henti
obat dan sebanyak 8,16%. tidak menjual susu ke koperasi selama 2-5 hari setelah pengobatan.
Higien Pemerahan
Konsumen menuntut standar kualitas susu yang tinggi, di sisi lain susu adalah produk ternak
yang sangat peka terhadap berbagai cemaran/ kontaminasi baik itu dari mibroba ataupun zat-zat
lainnya. Penanganan susu yang pertama dan paling penting adalah pada saat proses pemerahan yang
dilakukan oleh peternak. Proses higieni pemerahan melingkupi pemerah, area pemerahan, peralatan
dan perlengkapan pemerahan, serta ternak sapi perah. . Penilaian aspek higien pemerahan disajikan
pada Tabel 6.
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
Tabel 6. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Higien
Pemerahan
Berdasarkan Tabel 15 bahwa rata-rata penerapan GDFP aspek higien pemerahan adalah
sebesar 85,02%. Lebih lanjut data memperlihatkan sebesar 89,80% peternak menjamin bahwa
proses pemerahan yang dilakukan tidak melukai ternak dan mencegah susu terkontaminasi. Dari 40
orang peternak 14 orang diantaranya mencelupkan puting atau dipping ke dalam desinfektan
sebelum atau sesudah pemerahan. Pemakaian larutan antiseptik dengan dosis 2 ml dilarutkan dalam
1 liter air sebelum pemerahan bertujuan untuk membersihkan puting dan mencegah terjadinya
Peternak membersihkan kandang dan memandikan sapi secara rutin sebelum pemerahan. Sebesar
85,02% peternak sudah melakukan penanganan susu pasca pemerahan dengan baik dan benar.
Peternak menyetor susu ke tempat pengumpulan susu atau TPK segera setelah pemerahan selesai.
Waktu yang ditempuh peternak untuk menyetor susu ke TPK kurang lebih berkisar 5-10 menit
Manajemen pemberian pakan pada sapi perah sangat mempengaruhi produksi susu. Nutrisi adalah
kunci utama produktivitas, kesehatan, dan kesejahteraan sapi perah. Salah satu permasalahan
pengembangan peternakan sapi perah di daerah adalah ketersediaan sumber pakan, terutama
hijauan. Biaya pakan pada peternakan ruminansia mencapai 65-80% dari total seluruh biaya
produksi. Berikut hasil penilaian GDFP aspek nutrisi (pakan dan air) pada setiap skala usaha
Berdasarkan Tabel 14 rata-rata persentase penerapan GDFP aspek nutrisi (pakan dan air)
sebesar 66,83% dan 74,92% peternak menjamin ketersediaan pakan dan air. Konsentrat utama yang
digunakan oleh peternak adalah konsentrat reguler (RC) dan pellet dengan kandung protein kasar
(PK) masing-masing 14% dan 17% yang diperoleh dari koperasi. Seluruh peternak pada skala usaha
II dan skala usaha III memperoleh rumput dengan cara menanam sendiri sedangkan pada skala
Sebesar 67,08% peternak menjamin kebutuhan pakan dan air baik secara kuantitas ataupun
kualitas. Sebanyak 47,85% peternak memberikan pakan kepada sapi berdasarkan usia, bobot badan,
periode laktasi, dan kebuntingan. Sebagian besar peternak menyimpan persedian pakan di area
dekat kandang, peternak tidak memiliki bangunan khusus yang diperuntukan untuk gudang pakan.
Area penyimpanan persediaan pakan tersebut memiliki ventilasi yang baik sehingga dapat
Kesejahteraan Ternak
Kesejahteraan ternak sangat berhubungan erat dengan kesehatan, yang juga merupakan aspek
GDFP. Penerapan kesejahteraan ternak memberikan efek positif terhadap produktivitas ternak.
Kebutuhan-kebutuhan dasar ternak yang menjadi fokus utama kesejahteraan ternak diantaranya
ternak bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan lingkungan, bebas dari rasa
sakit, cedera, dan penyakit, bebas dari cekaman dan tekanan, serta bebas bergerak dan berprilaku
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
normal. Kelima kebutuhan dasar seekor ternak tersebut dikenal dengan istilah five freedoms.
Berikut hasil penilaian GDFP aspek kesejahteraan ternak pada setiap skala usaha disajikan pada
Tabel 8.
Berdasarkan Tabel 17, rata-rata persentase penerapan GDFP aspek kesejahteraan ternak
sebesar 56,27%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa penerapan indikator five freedoms bebas
dari rasa lapar dan haus rata-rata sebesar 49,87%, nilai ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan
persentase penerapan indikator five freedoms lainnya. Hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil
peternak yang memberikan air minum secara adlibitum. Kebutuhan minum ternak hanya dicukupi
dari lolohan yang merupakan campuran dari pakan konsentrat yang dilarutkan dengan air hangat
ataupun air dingin. Penerapan indikator five freedoms ternak bebas dari ketidaknyamanan rata-rata
sebesar 67,67%. Sebagian besar peternak menggunakan kandang yang semi terbuka atau tanpa
dinding, dengan demikian ventilasi berjalan baik, temparatur tidak panas, dan sinar matahari dapat
masuk ke kandang.
Penerapan indikator five freedoms ternak bebas dari sakit, cedera, dan penyakit rata-rata
sebesar 93,06%. Pengobatan, kelahiran, pemasangan eartag dibantu oleh dokter hewan dan
paramedis sehingga dapat dijamin bahwa prosedurnya dilakukan dengan baik dan benar. Penerapan
indikator five freedoms ternak bebas dari cekaman dan tekanan rata-rata sebesar 71,78%. Proses
tatalaksana peternakan tidak menyebabkan cekaman dan ketakutan yang menimbulkan penderitaan
psikologis. Peternak harus memiliki kemampuan teknis beternak guna menghindari ternak
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
mengalami ketakutan selama proses pemeliharaan. Salah satu indikator dalam implementasi
kesejahteraan ternak adalah kemampuan atau pengetahuan peternak. Kemampuan dan pengetahuan
yang mutlak harus dimiliki oleh seorang peternak diantaranya mengenal ternak dalam keadaan sakit
atau tidak, mengenali tingkah laku ternak, melakukan pengobatan, menguasai manajemen secara
Lingkungan
Peternakan sapi perah dapat menyebabkan dampak lingkungan seperti emisi GRK,
perubahan iklim, pencemaran terhadap air, dan hilangnya unsur hara tanah. Pada umumnya
peternak tidak memahami dampak lingkungan tersebut. Penerapan GDFP aspek lingkungan dapat
Tabel 9. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Lingkungan
52,27%. Implementasi sistem peternakan ramah lingkungan adalah sebesar 39,40% hal ini
disebabkan peternak tidak mengetahui dan menerapkan sistem peternakan berkelanjutan. Penerapan
manajemen penanganan limbah sebesar 50,00%. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya peternak
tidak melakukan pengolahan limbah atau kotoran ternak, namun mengalirkannya ke suatu kolam
penampungan. Kotoran sapi di kolam penampungan dimanfaatkan oleh petani untuk digunakan
sebagai pupuk pada lahan tanaman pangannya. Beberapa peternak pada skala usaha III
memanfaatkan sendiri kotoran ternak sebagai pupuk kandang untuk digunakan pada kebun rumput
atau untuk dijual. Penggunaan pupuk kandang untuk kebun rumput hanya tambahan saja, pupuk
Sosial ekonomi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peternakan sapi perah. Penerapan
GDFP aspek manejemen sosial ekonomi dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Manajemen
Sosial Ekonomi
sebesar 48,56%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa implementasi manajemen SDM yang
efektif dan bertanggung jawab pada skala usaha I labih kecil bila dibandingkan dengan skala usaha
II dan skala usaha III. Hal tersebut dikarenakan pada skala usaha I mayoritas peternak tidak
memiliki pekerja atau staf dari luar, pekerjaan di kandang dibantu oleh keluarga (family worker)
dengan itu peternak beranggapan tidak perlu menerapkan social responsible karena pekerja
Jam kerja yang diberlakukan peternak sesuai dengan jobdesc yang diberikan apabila
diakumulasikan dalam satu hari pekerja bekerja rata-rata 8 jam, tetapi tidak memenuhi standar jam
kerja mingguan dimana dalam satu minggu minimal dalam satu hari mendapat libur. Semua
peternak pada skala usaha III memiliki pekerja (yang bukan pekerja keluarga) sehingga mereka
sangat mementingkan kesejahteraan para pekerja atau staf dengan pemberian bonus. Para peternak
beranggapan tidak perlu melakukan training kepada para pekerjanya kecuali kepada keluarganya.
Hanya sebagian kecil peternak yang menerapkan manajemen keuangan. Hal ini disebabkan
peternak hanya fokus terhadap aspek-aspek teknis yang berhubungan langsung dengan produksi.
Menurut Moran (2008) dengan mengetahui biaya produksi memungkin peternak pada skala usaha
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
kecil dapat meningkatkan keuntungannya dan sangat esensial untuk menjaga keberlangsungan
usaha.
Pendapatan peternak ditentukan oleh besarnya produksi dan harga jual susu. Biaya produksi
yang dikeluarkan seperti pengadaan pakan konsentrat, tenaga kerja, kesehatan ternak, dll juga
menentukan tingkat pendatan peternak. Dalam hal ini, perhitungan pendapatan menggunakan
analisis Income Over Feed Cost (IOFC). Penerimaan peternak atas penjualan susu dapat dilihat
Skala Usaha Setoran Susu Rata-rata Rata-rata Harga Susu Total Penerimaan
per Hari (liter/hari) (Rp/liter) (RP/bulan)
I 32 4.094 4.063.215
II 49 4.063 6.017.176
III 93 4.136 11.546.451
Rata-rata produksi susu per hari oleh masing-masing peternak antar skala usaha berbeda-
beda hal ini disebabkan jumlah kepemilikan sapi laktasi yang berbeda-beda pula. Harga susu
ditentukan oleh kualitas dan kebersihan susu untuk saat ini harga susu dapat mencapai Rp. 4.097,-
per liter yang merupakan harga tertinggi dan harga terendah mencapai Rp. 3.587,- per liter.
Pendapatan peternak atas biaya pakan yang dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 12.
Skala Total Penerimaan Total Biaya Pakan Total Biaya Pakan IOFC
Usaha (Rp/bulan) (Rp/bulan) (Rp/ST/hari)
I 4.063.215 3.334.969 27.320 845.537
II 6.017.176 4.626.042 28.555 1.391.134
III 11.546.451 10.434.492 30.569 3.593.959
Berdasarkan Tabel 12, total biaya pakan yang dikelurakan per Satuan Ternak (ST) per hari
adalah Rp. 28.815/ST/hari. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa semakin tinggi jumlah
kepemilikan sapi perah semakin tinggi pula biaya pakan yang dikeluarkan per ST. Berdasarkan
Tabel 12 rata-rata pendapatan peternak di lokasi penelitian adalah Rp. 1.943.543/bulan. Lebih lanjut
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
data memperlihatkan bahwa semakin tinggi skala usaha semakin tinggi pula tingkat pendapatan
yang diperoleh.
Hubungan Antara Penerapan Good Dairy Farming Practice dengan Tingkat Pendapatan
Peternak
Penelitian ini menguji hubungan antara penerapan GDFP dengan pendapatan peternak
dengan menggunakan korelasi Spearman. Berikut hasil analisis statistika disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Penerapan GDFP terhadap Pendapatan
Peternak
Berdasarkan Tabel 13, hasil uji korelasi Spearman menunjukan bahwa terdapat hubungan
yang nyata dan positif antara penerapan GDFP dengan pendapatan peternak, nilai koefisien korelasi
sebesar 0,51 (hubungan cukup berarti). Hal ini berarti semakin tinggi penerapan GDFP, maka
semakin tinggi pula tingkat pendapatan peternak. Dairy Farming Practice memiliki peran sangat
penting karena tidak hanya bertujuan untuk menjalankan usaha sapi perah dengan baik dan benar
sesuai prosedur tetapi juga menjaga agar sapi tetap sehat, menjamin terciptanya produk susu yang
aman dan sehat untuk dikonsumsi, serta meminimalisir dampak lingkungan. Pendapatan utama
peternak adalah penjualan susu yang dipengaruhi oleh produksi susu dan harga jual susu yang juga
dipengaruhi oleh kualitas susu. Peningkatan kuantitas dan kualitas susu merupakan salah satu
Kesimpulan
1). Penerapan GDFP pada peternakan sapi perah di KPBS Pangalengan pada skala usaha I
sebesar 62,69%, skala usaha II 67,43%, dan skala usaha III 73,50%.
Hubungan Antara Penerapan GDPF dengan Tingkat Pendapatan Peternak.............................Nurdana
2). Urutan prioritas penerapan GDFP pada skala usaha I : pertama aspek reproduksi, kedua
higien pemerahan, ketiga kesehatan ternak, keempat nutrisi (pakan dan air), kelima
kesejahteraan ternak, keenam lingkungan, dan ketujuh manajemen sosial ekonomi. Urutan
prioritas penerapan GDFP pada skala usaha II dan skala usaha III adalah sama : pertama
aspek reproduksi, kedua higien pemerahan, ketiga kesehatan ternak, keempat nutrisi (pakan
dan air), kelima kesejahteraan ternak, keenam sosial ekonomi, dan ketujuh lingkungan.
3). Pendapatan peternak berdasarkan IOFC pada skala usaha I sebesar Rp. 845.537/bulan, skala
4). Hubungan penerapan GDFP dengan tingkat pendapatan peternak adalah hubungan yang
positif dan signifikan pada taraf α = 5% dengan koefisien korelasi sebesar 0,51 artinya
hubungan cukup berarti. Koefisien korelasi masing-masing skala usaha : skala usaha I 0,39
Saran
1). Peternak yang tingkat penerapan GDFP masih di bawah rata-rata harus aktif dan terbuka
terhadap perubahan dan inovasi agar dapat menerapkan GDFP dengan baik dan benar.
2). Pihak koperasi atau Dinas Peternakan setempat harus aktif memberikan pemahaman dan
informasi perihal penerapan GDFP khususnya aspek kesejahteraan ternak, lingkungan, dan
manajemen sosial ekonomi yang persentase penerapannya masih rendah. Dalam hal ini,
pihak koperasi atau Dinas Peternakan setempat harus memanfaatkan seoptimal mungkin
para pengurus kelompok agar informasi yang disampaikan dapat segera terdistribusi secara
3). Bagi para kalangan akademisi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan
penerapan GDFP dengan tingkat pendapatan peternak pada setiap aspek GDFP untuk
Penulis mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Moch. Makin,
M. S. dan Achmad Firman, S. Pt., M. Si. yang telah meluangkan waktu, bimbingan, dorongan, dan
DAFTAR PUSTAKA
Suyatno, M. dan A. Sugiarto. 2011. Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Untuk
Pemilihan Gagasan Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Thesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.
Kusnadi, U., M.P.R. Soeharto dan M. SabraniI. 1983. Efisiensi usaha peternakan sapi perah yang
tergabung dalam koperasi D.I. Yogyakarta. Prosiding : Pertemuan Ilmiah Ruminansia
Besar. Puslitbang Peternakan, Bogor : 94-103.
Sopiyana, S. 2006. Analisis Penerapan Teknis Peternakan pada Berbagai Skala Usaha Peternakan
Sapi Perah di Kabupaten Garut Jawa Barat. Animal Production. Vol. 8, No. 3 : 216-225
Sudrajad, P. dan Adiarto. 2011. Pengaruh Stress Panas terhadap Performa Produksi Susu Sapi
Friesian Holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah baturaden.
Prosiding : Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011. Bogor : 341-346
Toelihere MR. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa.
Sudono A, Rosdiana RF, Setiawan BS. 2005. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Izquierdo, C.A., V.M.X. Campos, C.G.R. Lang, J.A.S. Oaxaca, S.C. Suares, C.A.C. Jimenez,
M.S.C. Jimenez, S.D.P. Betancurt, dan J.E.G. Liera. 2008. Effect of the offsprings on open
days in dairy cattle. J. Ani. Vet. Adv. 7: 1329-1331.
Atabany, A. 2012. Efisiensi Reproduksi dan Produksi Susu Sapi Friesian Holstein (FH) pada
Generasi Induk dan Generasi Keturunannya. Disertasi. IPB. Bogor.
Kusmaningsih, A., T. B. Murdianti, dan S. Bahri. 1996. Pengetahuan Peternak serta Waktu Henti
Obat dan Hubungannya dengan Residu Antibiotika pada Susu. Media Kedokteran Hewan12
(4) : 260-267.
Suwito, W. dan Andriani. 2012. Teknlogi Penanganan Susu yang Baik dengan Mencermati Profil
Mikroba Susu Sapi di Berbagai Daerah. J. Pascapanen 9(1) : 35-44.