Anda di halaman 1dari 30

``

BUKU PETUNJUK
PRAKTIKUM PERPETAAN

OLEH :

Team Laboratorium Perpetaan

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN

INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA

0
``

2020

1
``

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perpetaan adalah bagian rendah dari ilmu Geodesi, yang merupakan suatu ilmu
yang mempelajari ukuran dan bentuk bumi dan menyajikannya dalam bentuk tertentu. Ilmu
Geodesi ini berguna bagi pekerjaan perencanaan yang membutuhkan data-data koordinat
dan ketinggian titik lapangan

Berdasarkan ketelitian pengukurannya, ilmu Geodesi terbagi atas dua macam, yaitu :

1. Geodetic Surveying, yaitu suatu survey yang memperhitungkan kelengkungan bumi


atau kondisi sebenarnya. Geodetic Surveying ini digunakan dalam pengukuran
daerah yang luas dengan menggunakan bidang hitung yaitu bidang lengkung
(bola/ellipsoid)
2. Plane Surveying, yaitu suatu survey yang mengabaikan kelengkungan bumi dan
mengasumsikan bumi adalah bidang datar. Plane Surveying ini digunakan untuk
pengukuran daerah yang tidak luas dengan menggunakan bidang hitung yaitu
bidang datar.

Dalam praktikum ini kita memakai Plane Surveying (Ilmu Ukur Tanah). Perpetaan
dianggap sebagai disiplin ilmu, teknik dan seni yang meliputi semua metoda untuk
pengumpulan dan pemrosesan informasi tentang permukaan bumi dan lingkungan fisik
bumi yang menganggap bumi sebagai bidang datar, sehingga dapat ditentukan posisi titik-
titik di permukaan bumi. Dari titik yang telah didapatkan tersebut dapat disajikan dalam
bentuk peta.

Dalam praktikum Perpetaan ini mahasiswa akan berlatih melakukan pekerjaan-


pekerjaan survey, dengan tujuan agar Perpetaan yang didapat dibangku kuliah dapat
diterapkan di lapangan, dengan demikian diharapkan mahasiswa dapat memahami dengan
baik aspek diatas.

2
``

Dengan praktikum ini diharapkan dapat melatih mahasiswa melakukan pemetaan


situasi teritris. Hal ini ditempuh mengingat bahwa peta situasi pada umumnya diperlukan
untuk berbagai keperluan perencanaan teknis atau keperluan-keperluan lainnya yang
menggunakan peta sebagai acuan.

1.2 Maksud dan Tujuan

1.2.1 Maksud Praktikum

Praktikum Perpetaan ini dimaksudkan sebagai aplikasi lapangan dari teori-teori


dasar Perpetaan yang didapatkan oleh praktikan di bangku kuliah seperti poligon, alat dan
penggunaannya, sampai pada pembuatan peta.

1.2.2 Tujuan Praktikum dan Alat-alat :

Praktek ini akan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk :


1. Mengerti alat-alat yang dipergunakan dalam pengukuran polygon dan tachimetri
dan jumlah alat yang diperlukan, yaitu :
 Alat Ukur Theodolith : 1 buah
 Statif : 1 buah
 Unting-unting : 1 buah
 Bak ukur : 2 buah
 Rol meter : 1 buah
 Patok : secukupnya
 Palu : 1 buah
 Payung : 1 buah
 Alat tulis/ Form ukur : 1 set
 Kompas : 1 set
3. Mampu mengenal komponen-komponen alat (instrument) Theodolith dan
memahami fungsinya.
4. Mahasiswa mampu mengatur atau menyetel alat theodolith dan centring alat di atas
patok dengan benar.

3
``

5. Mahasiswa mampu membidik dan membaca sudut horizontal dan sudut vertical
pada titik sasaran dengan alat theodolith.

4
``

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Pengenalan Theodolit

Theodolit adalah salah satu alat perpetaan yang digunakan untuk menentukan tinggi
tanah dengan sudut mendatar dan sudut tegak. Berbeda dengan waterpass yang hanya
memiliki sudut mendatar saja. Di dalam theodolit sudut yang dapat di baca bisa sampai
pada satuan sekon (detik). Theodolite merupakan alat yang paling canggih di antara
peralatan yang digunakan dalam survei. Pada dasarnya alat ini berupa sebuah teleskop yang
ditempatkan pada suatu dasar berbentuk membulat (piringan) yang dapat diputar-putar
mengelilingi sumbu vertikal, sehingga memungkinkan sudut horisontal untuk dibaca.
Teleskop tersebut juga dipasang pada piringan kedua dan dapat diputarputar mengelilingi
sumbu horisontal, sehingga memungkinkan sudut vertikal untuk dibaca. Kedua sudut
tersebut dapat dibaca dengan tingkat ketelitian sangat tinggi (Farrington 1997).
Theodolit juga bisa berubah fungsinya menjadi seperti Pesawat Penyipat Datar bila
sudut verticalnya dibuat 90º. Dengan adanya teropong pada theodolit, maka theodolit dapat
dibidikkan kesegala arah. Di dalam pekerjaan bangunan gedung, theodolit sering
digunakan untuk menentukan sudut siku-siku pada perencanaan / pekerjaan pondasi,
theodolit juga dapat digunakan untuk mengukur ketinggian suatu bangunan bertingkat.
Theodolit terbagi atas tiga bagian, yaitu bagian bawah, bagian tengah, dan bagian
atas.Bagian bawah terdiri dari skrup penyetel yang menyangga suatu tabung dan plat
yangberbentuk lingkaran. Bagian tengah terdiri dari suatu rambu yang dimasukkan ke
dalamtabung, dimana pada bagian bawah sumbu ini adalah sumbu tegak atau sumbu
pertama (S).Di atas Sdiletakkan lagi plat yang berbentuk lingkaran yang berjari-jari lebih
kecil daripadajari-jari plat bagian bawah. Pada dua tempat di tepi lingkaran dibuat alat
pembaca yangdisebut nonius (N0). Suatu nivo diletakkan pada atas plat nonius untuk
membuat sumbu tegaklurus. Bagian atas terdiri dari sumbu mendatar atau sumbu kedua
(S2), pada S2diletakkan platberbentuk lingkaran dan dilengkapi skala untuk pembacaan
skala lingkaran. Pada lingkaran tegak ini di tempatkan kedua nonius pada penyangga S2.

5
``

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ada dua perbedaan antara lingkaran mendatar
denganlingkaran vertikal. Untuk skala mendatar titik harus ikut berputar bila teropong
diputar pada S1 dan lingkaran berguna untuk membaca skala sudut mendatar.Sedangkan
lingkaran berskala vertikal baru akan berputar bila teropong diputar terhadap S2.
Pembacaan ini digunakan untuk mengetahui sudut miring.

2.2 MACAM / JENIS THEODOLIT

Macam Theodolit berdasarkan konstruksinya, dikenal dua macam yaitu:


1. Theodolit Reiterasi ( Theodolit sumbu tunggal )
Dalam theodolit ini, lingkaran skala mendatar menjadi satu dengan kiap, sehingga
bacaan skala mendatarnya tidak bisa di atur. Theodolit yang di maksud adalah theodolit
type T0 (wild) dan type DKM-2A (Kem)
2. Theodolite Repitisi
Konsruksinya kebalikan dari theodolit reiterasi, yaitu bahwa lingkaran mendatarnya
dapat diatur dan dapat mengelilingi sumbu tegak.

2.3 Tata cara pengukuran detil mengunakanTachymetri theodolit berkompas


Pengukuran detil cara tachymetri dimulai dengan penyiapan alat ukur (Theodolite)
titik ikat dan penempatan rambu di titik bidik. Setelah alat siap untuk pengukuran, dimulai
dengan perekaman data di tempat alat berdiri, pembidikan ke rambu ukur, pengamatan
azimuth dan pencatatan data di rambu BT, BA, BB serta sudut miring m. Tempatkan alat
ukur theodolite di atas titik kerangka dasar atau titik kerangka penolong dan atur sehingga
alat siap untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi alat di atas titik ini. Dirikan rambu di atas
titik bidik dan tegakkan rambu dengan bantuan nivo kotak. Arahkan teropong ke rambu
ukur sehingga bayangan tegak garis diafragma berimpit dengan garis tengah rambu.
Kemudian kencangkan kunci gerakan mendatar teropong. Kendorkan kunci jarum magnet
sehingga jarum bergerak bebas. Setelah jarum setimbang tidak bergerak, baca dan catat
azimuth magnetis dari tempat alat ke titik bidik. Kencangkan kunci gerakan tegak
teropong, kemudian baca bacaan benag tengah, atas dan bawah serta catat dalam buku
ukur. Bila memungkinkan, atur bacaan benang tengah pada rambu di titik bidik setinggi

6
``

alat, sehingga beda tinggi yang diperoleh sudah merupakan beda tinggi antara titik
kerangka tempat berdiri alat dan titik detil yang dibidik.
Kesalahan pengukuran cara tachymetri dengan theodolite berkompas
Kesalahan alat, misalnya:
1. Jarum kompas tidak benar-benar lurus.
2. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya.
3. Garis bidik tidak tegak lurus sumbu mendatar (salah kolimasi).
4. Garis skala 0° – 180° atau 180° – 0° tidak sejajar garis bidik.
5. Letak teropong eksentris.
6. Poros penyangga magnet tidak sepusat dengan skala lingkaran mendatar.

Kesalahan pengukur, misalnya:


a. Pengaturan alat tidak sempurna ( temporary adjustment ).
b. Salah taksir dalam pembacaan
c. Salah catat, dll. nya.

Kesalahan akibat faktor alam, misalnya:


a. Deklinasi magnet.
b. atraksi lokal.

2.4 Pengukuran Poligon


Cara membuat suatu polygon adalah cara pertama untuk menentukan tempat lebih
dari satu titik. Penentuan titik dapat dilakukan dengan beberapa cara:
a. Penentuan ralatif dengan menempatkan beberapa titik yang terletak di atas satu garis
lurus, maka empat titik-titik itu dapat dinyatakan dengan dengan jejak dari suatu titik yang
terletak di atas garis lurus itu pula. Titik-titik yang diambil sebagai dasar untuk
menghitung jarak-jarak dinamakan titik nol. Karena titik-titik dapatterletak di sebelah kiri
dan kanan titik nol (O)> maka kepada titik yang terletak di sebelah kanan titik nol (o)
diberi jarak dengan titik positif (+) dan titik yang terletak di sebelah kiri titik nol diberi
jarak dengan tanda negative (-). Buat skala dengan bagian yang sama (ke kiri dan ke

7
``

kanan) dengan satuan jarak 1 m, 10 m, atau 100 m, tergantung pada jarak-jarak harus
dinyatakan.

(B) 0 A

αAB = xa – xb
= (+20) – (-40)
= +60
Cara menentukan tempat titik-titik dengan menggunakan suatu titik nol pada garis harus
digunakan pada pengukuran daerah-daerah yang kecil.
b. Penentuan dengan koordinat kartesian (salib sumbu)
Hal ini digunakan apabila cara di atas titik tidak dapat dilakukan, karena titik-titik tidak
terdapat di suatu garis lurus. Sebagian besar penentuan tempat titik-titik ialah dua garis
lurus yang saling tegak lurus (salib sumbu).
n = bilangan bulat (belum tentu sama dengan banyaknya titik), harganya harus dicari
dengan memisahkan fβ = 0 dan harga n diambil bilangan bulat yang paling dekat dengan n
yang menghasilkan. Perumusan untuk polygon tertutup, rumus perataannya adalah :
∑β = (n – 2) 1800 + fβ
∑d sin α = (xa – xb) + fx
∑d cos α = (ya – yb) + fx

8
``

BAB III

PROSEDUR PRAKTIKUM

3.1 Petunjuk Umum dan Keselamatan Kerja

1. Baca dan pelajari petunjuk kerja ini


2. Penyetelan theodolith adalah pengaturan instrumen di suatu tempat ( bisa diatas
patok ) dengan centring dengan benar sampai memenuhi syarat untuk pengukuran
3. Perhatikan dan ingatlah macam-macam skrup penyetel dan cobalah bidik suatu
titik target.
4. Letak rencana titik polygon biasanya ditandai dengan paku tanpa baak ukur (rambu
ukur) harus tepat sasaran.
5. Jangan memutar skrup sebelum mengetahui kegunaannya.
6. Bekerjalah secara hati-hati dan sabar.
7. Bersihkanlah semua peralatan setelah selesai digunakan.
8. Pakailah pakaian kerja dan persiapan P3K
9. Hati-hatilah dalam penggunaan dan hindari kerusakan alat ukur theodolith dan
kelengkapannya.
10. Letakkan boks tempat alat ukur dekat/ dibawah alat ukur.

3.2 Langkah Kerja :


Perbedaan alat Waterpass dan Theodolit adalah pada alat theodolit didesain untuk
pengukuran sudut ( sudut horizontal dan sudut vertical) dengan teropong yang
dapatdigerakkan secara mendatar dan vertical (geleng dan angguk), sedangkan alat
Waterpoass hanya dapat dipakai untuk mengukur jarak dan beda tinggi dan teropongnya
tidak dapat digerakkan kearah vertical.

Bagian-bagian dari alat theodolit yaitu :


1. Lingkaran vertical
2. Cermin pengatur sinar diafragma

9
``

3. Skrup koinsiden
4. Cermin pengatur sinar lingkaran vertical
5. Skrup lingkaran vertical
6. Pengatur focus
7. Penyetel lingkaran utama
8. Mikroskop pembacaan
9. Lensa Okuler
10. Nivo tabung
11. Skrup penggerak teropong
12. Skrup reiterasi
13. Reflector kolimasi
14. Nivo kotak
15. Cermin pengatur sinar lingkaran horizontal
16. Sentering optis Skrup kiap
17. Skrup pengencang

10
``

11
``

Berdasar Tingkat Ketelitian :


1. Low Order Theodolit ( theodolit dengan ketelitian rendah)
2. Tipe T0 ( tidak teiliti/ ketelitian rendah sampai 20” )
3. Tipe T1 (agak teliti 20” – 5”)
4. Universal Theodolit : Tipe T2 ( teliti , sampai 1” )
5. Geodetic Theodolit : Tipe T3 ( teliti sekali, sampai 0,1 “)
Tipe T4 ( sangat teliti, sampai 0,01” )

3.2.1 Pengaturan alat Ukur Theodolith :


Sebelum alat theodolith digunakan, terlebih dahulu harus diperiksa dan dilakukan
pengaturan, meliputi :
1. Bagian2 alat pada theodolith apakah berfungsi dengan baik
2. Memenuhi syarat utama, yaitu :
 Garis jurusan nivo skala utama mendatar tegak lurus sumbu I
 Sumbu II telah tegak lurus sumbu I
 Garis bidik telah tegak lurus sumbu II (kalo belum ada kesalahan kolimasi/
kesalahan garis bidik
 Garis jurusan nivo skala tegak telah sejajar dengan garis indek skala tegak,
apabila belum alat tersebut mempunyai salah indeks.
3. Pengaturan tetap
 Mengatur sumbu I menjadi vertical :
 letakkkan theodolith diatas statif, usahakan kepala statif kira2 mendatar
 Letakkan nivo tabung skala mendatar sejajar dengan dua skrup kiap, dengan
kedua skrup kiap, gelembung nivo diketengahkan.
 Dengan sumbu I sebagai sumbu putar, putar nivo 180⁰
 Bila gelembung nivo tetap berada ditengah, putar nivo 90⁰ dan ketengahkan
gelembung nivo dengan skrup kiap ketiga , usahakan gelembung nivo tetap di-
tengah2 walaupun teropong diputar ke segala arah.
 Mengatur garis bidik (kolimasi) tegak lurus sumbu II :

12
``

 Cara pengaturan garis bidik , sbb :


 Tempatkan di depan theodolith (setelah sumbu I diatur tegak ) sejauh ± 25 m
unting2 yang digantungkan dengan benang (memakai statif). Arahkan teropong
ke benang unting2 dan perhatikan apakah benang diafragma tegak berimpit
dengan benang unting, bila tidak putarlah seluruh diafragma sehingga benang
diafragma tegak berimpit dengan benang unting2 (lihat gambar ……… )
 Tegakkan sebuah rambu berjarak ± 75 m di depan theodolith. Dlm posisi
teropong biasa dan kira2 mendatar arahkan teropong ke rambu (benang
diafrgma tegak tepat di tengah rambu). Kunci gerakan tegak teopong, tengahkan
gelembung nivo skala tegak dan catat bacaac sudut tegak dan bacaan benang
mendatar pada rambu. Misalkan bacaan sudut zenith = 89⁰ dan bacaan
rambunya X m.

Teropong diputar balik (posisi luar biasa) dan arahkan ke rambu bacaan sudut
4. Persyaratan Theodolit
Suatu alat theodolit harus memenuhi persyaratan2 sbb.:
a. Sumbu I harus tegak lurus dengan sumbu II
b. Garis bidik harus tegak lurus dengan sumbu II
c. Garis jurusan nivo skala tegak harus sejajar garis indeks skala tegak
d. Garis nivo skala mendatar harus tegak lurus sumbu I

Syarat pertama dapat dipenuhi dengan mengusahakan agar :


 Gelembung nivo yang terdapat pada lingkaran skala mendatar ditengah-tenagah
gelembung nivo akan tetap ditengah-tengah meskipun theodolit diputar-putar
mengelilingi sumbu tegak
Syarat kedua dan ketiga dipenuhi dengan menguji alat theodolit secara :
 Gantungkan unting-unting pada dinding, benang tergantung bebas (tidak menyentuh
dinding atau lantai)

13
``

 Setelah sumbu tegak diatur, sehingga benar2 tegak, garis bidik diarahkanke bagian
atas benang. Kunci skerup pengunci sumbu tegak dan lingkaran skala mendatar,
kemudian gerakkan garis bidik perlahan –lahan kebawah.
 Bila sumbu datar tegak lurus dengan sumbu tegak, dan garis bidik tegak lurus
dengan sumbu mendatar, maka garis bidik akan bergerak sepanjang benang unting-
unting.

Syarat keempat dipenuhi dengan menguji alat secara :


 Setelah syarat pertama, kedua dab ketiga dipenuhi, maka arahkan garis bidik ke titik
yang agak jauh, ketengahkan gelembung nivo lingkaran skala tegak.
 Baca lingkaran skala tegak, missal didapat bacaan sudut zenith (Z)
 Putar teropong 180⁰ kemudian dikembalikan garis bidik ke titik yang sama,periksa
gelembung nivo lingkaran skala tegak, ketengahkan bila belum terletak di tengah.
 Baca lingkaran skala tegak, misal z’ , bila bacaan z’ = 360-z , maka salah indeks
adalah NOL.

Pada Theodolith terdapat 2 (dua) Nivo yang harus diatur, yaitu Nivo piringan bawah dan
Nivo piringan atas

3.2.2 Menyetel alat Theodolith


1. Dirikan statif diatas titik/ patok sehingga kaki statif membentuk segitiga sama sisi
( kalau medannya datar ). Ketinggian tempat alat usahakan sesuai dengan
ketinggian si pembidik.
2. Pasang alat ukur theodolith, usahakan piringan sedatar mungkin dan kunci
secukupnya sehingga masih bisa / mudah untuk digeser-geser.
3. Pasang unting2 kira2 0,50 cm di atas titik/ patok di bawah alat.
4. Atur unting2 dengan menggeser alat ukur Theodolith diatas pelat level statif
sampai betul2 centring.
5. Atur nivo bawah (kotak/ mendatar) stabil ditengah-tengah, dengan cara
seimbangkan nivo tersebut antara kanan dan kiri dengan memutar skrup kaki

14
``

kanan - kiri bersama, memutar kedalam atau keluar. Putar teropong arah tegak
lurus dua kaki awal, atur skrup ketiga untuk seimbangkan nivo arah depan -
belakang. Check lobang sentring apakah tepat di tengah. Kalau belum kendorkan
skrup alat dengan piringan, geser alat sambil melihat dari lobang pengamatan
centring dan di arahkan tapat titik sentring.
6. Atur juga nivo atas (piringan atas) agar seimbang di tengah-tengah.
7. Setelah sentring, kencangkan pengunci piringan bawah.
8. Alat siap untuk diarahkan pada titik sasaran, kalau sudah dekat sasaran, kunci
piringan atas, tepatkan arah sasaran dengan skrup penggerak lembut. Baca sudut
vertical, baca sudut horizontal, baca rambu/ baak . Catat semua pembacaan sudut-
sudut dan (BA;BT;BB).
9. Kendorkan/ buka skrup piringan atas, putar arahkan pada titik sasaran lain ( searah
jarum jam), lakukan pengamatan seperti no 8. Catat semua pengamatan dan bacan-
bacaan.
10. Arahkan ke sasaran lain (titik / patok lain ), lakukan pengamatan dan pembacaan
seperti kegiatan diatas. Catat semua bacaan sudut dan bacaan rambu/ baak.
11. Pindahkan alat ke tempat lain ( titik polygon lain ), lakukan penyetelan alat,
pembacaan sudut dan bacaan rambu seperti kegiatan diatas. Usahakan diamati
sudut dalam antar titik-titik poligon.
12. Lakukan berulang-ulang pada lokasi titik-titik polygon lain, sehingga kerangka
titik-titik poligon tertutup.

15
``

BAB IV

PEMBUATAN PETA

4.1 Pengukuran Kerangka Peta

4.1.1 Kerangka horisontal


Sesuai dengan keadaan luas daerah yang akan dipetakan, maka kerangka peta yang
digunakan dalam praktikum adalah berupa poligon. Poligon dibagi menjadi poligon terbuka
dan tertutup. Dalam proses pembuatan kerangka horisontal poligon terbuka/tertutup
diikatkan pada titik pasti yang telah diketahui koordinatnya.

Pengukuran Kerangka Horizontal

Keterangan :
1,2,3,… : nomor titik
b1,b2,b3,… : sudut dalam poligon
a1, a2, a3,… : sudut luar poligon
a12,a23,a34,… : azimuth
Rumus-rumus yang harus dipenuhi:
1. Syarat sudut
Jumlah sudut dalam poligon : Sbd = (n – 2) x 180o
Jumlah sudut luar poligon : Sb = (n + 2) x 180o
Dengan :n = jumlah titik poligon

16
``

Sb = jumlah sudut poligon

2. Syarat sisi
Jumlah proyeksi pada sumbu y = Σ (d sin a) = 0
Jumlah proyeksi pada sumbu x = Σ (d cos a) = 0

3. Azimuth awal
Pengukuran azimuth didasarkan pada arah utara magnet bumi atau azimuthkompas.

4. Menghitung azimuth masing-masing titik


Untuk poligon sudut dalam a(n,n+1) = a(n – 1, n) + 180o - bd
Untuk poligon sudut luar a(n,n+1) = a(n – 1, n) - 180o + b
Dengan: n = nomor titik
a = azimuth
b = sudut luar/dalam poligon

Cara perhitungan poligon dilakukan menurut tetapan:


1. Menjumlahkan sudut dari sudut dalam atau luar yang diukur.
2. Menentukan besar penyimpangan (b) kemudian memberikan koreksi pada tiap titik.
3. Menghitung sudut jurusan didasarkan pada sudut poligon yang telah terkoreksi.
4. Menghitung proyeksi titik ke sumbu x dan y, yaitu d sin a dan d cos a.
5. Menentukan penyimpangan jumlah jarak proyeksi dan memberikan koreksi pada tiap-
tiap jarak tertentu

Dalam pemilihan titik detail harus disesuaikan dengan kondisi lapangan,, yaitu jangan
terlalu jarang maupun terlalu rapat. Jika titik terlalu jarang maka hasil peta situasi tidak
akan mencerminkan kondisi yang sebenarnya, namun jika terlalu rapat, kurang efisien.
Untuk daerah datar cukup diambil beberapa titik saja tetapi untuk tanah bergelombang
diambil titik efektifnya, untuk parit diambil data tentang kedalaman dan lebarnya.

17
``

Agar pengambilan titik detail lebih mudah, mengenai sasaran, maka titik tersebut dapat
dikelompokan sebagai berikut:
a. semua jalan (meliputi: jalan raya, jalan kecil, dll)
b. saluran-saluran air, batas sungai, batas pantai
c. jembatan, gardu listrik, tugu, monumen, dll
d. lapangan olahraga, lapangan terbang, persawahan, permukiman
e. kantor pemerintahan, kantor polisi, bank, pasar, toko, dll
f. batas-batas propinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, dll

Pada setiap pengukuran suatu titik detail, perhitungan jarak dan beda tinggi dilakukan
dengan cara tachimetri atau disesuaikan dengan alat yang digunakan, berikut Pengukuran
Menggunakan Theodolite

Pengukuran Beda Tinggi dengan Cara Tachimetri

Jd (jarak datar) = Jm cos m


= (BA – BB) x 100 x cos2 m

Beda tinggi = DH = ½ (BA – BB) x 100 sin 2m + i– BT


Dengan:
i = tinggi alat
BA = bacaan benang atas
BB = bacaan benang bawah
BT = bacaan benang tengah
m = sudut miring
z = sudut zenith = 90o - m
DH = beda tinggi antara titik A dan B
Jd = jarak datar
Jm = jarak miring

18
``

4.1.3 Data yang harus diukur

Data yang harus dicari tergantung dengan alat yang digunakan. Data yang perlu diukur
dalam kaitannya dengan pengukuran kerangka horisontal dengan menggunakan
theodolit adalah benang atas, benang bawah, benang tengah, azimuth, zenith, tinggi alat
dan sketsa pengukuran, sedangkan data yang perlu diambil untuk kerangka vertikal adalah
data dari penggunaan waterpass, yaitu benang atas, benang bawah, dan benang tengah.

4.2 Pengukuran Titik Detail

Titik detail adalah semua penampakan yang ada di muka bumi baik alamiah maupun
buatan manusia. Pada pengukuran ini tidak mungkin dilakukan secara lengkap dan
terperinci, oleh karena itu harus diambil titik detail seefektif mungkin yang dapat mewakili
dalam penggambaran peta situasi nantinya.

4.2.1 Cara-cara pengambilan titik detail


Dalam pengukuran titik detail dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
1. Pengukuran Titik Detail dengan Cara Memancar
Cara ini dipakai jika jarak antara titik pasti berdekatan. A dan B adalah titik pasti. Dari
gambar di atas pesawat diletakan di titik A lalu diambil a1, a2, a3,…, sedangkan arah
sumbu masing-masing menjauhi titik A, begitu juga titik B.

2. Pengukuran Titik Detail dengan Cara Melompat


Adakalanya kita mengalami kesulitan jika menggunakan metode memancar dalam
mengukur titik detail karena titik pasti berjauhan, sehingga diperlukan cara melompat.

3. Pengukuran Titik Detail dengan Cara Grid


Dilakukan dengan membuat grid-grid tiap jarak tertentu.

4.2.2 Data yang harus diukur

19
``

Data pengukuran titik detail yang diperlukan adalah azimuth, zenith, benang atas,
benang bawah, benang tengah, dan tinggi alat serta sketsa pengukuran titik tersebut. Data
tersebut digunakan untuk mencari jarak dan beda tinggi antara tempat alat didirikan dengan
titik detail yang diukur.

DATA LAPANGAN PRAKTIKUM PERPETAAN


POLIGON TERTUTUP (CONTOH)

Titik Pembacaan Pembacaan Skala Pembacaan Skala


Inst. Ket.
Obyek benang silang Vertikal Horizontal
0.84 0.84 X=434893
o o o o
Ti 0.69 0.69 89 43'20" 269 43'20" 276 48'00" 96 48'00" Y=9141896
0.54 0.54 Z=181
2.05 2.05
V 1.61 1.61 89o56'10" 269o02'40" 110o35'40" 290o38'00"
I 1.17 1.17
1.45 1.94 1.94
II 1.45 1.45 89o56'10" 270o03'50" 207o16'10" 27o19'10"
0.96 0.96
1.17
D1.01 0.95 89o23'40" 348o54'20"
0.73
2.00
D1.02 1.80 88o06'30" 346o22'40"
1.60
2.13 2.13
I 1.64 1.64 89o59'20" 269o19'30" 27o00'00" 206o58'10"
II 1.15 1.15
1.48 0.99 0.99
III 0.64 0.64 91o05'50" 268o57'10" 106o02'20" 286o\00'00"
0.29 0.29
1.69
D2.01 1.44 89o23'00" 279o59'40"
1.19
1.71
D2.02
1.44 89o12'30" 276o03'20"

20
``

1.17
1.73
D2.03 1.44 89o29'50" 288o50'20"
1.15
1.39 1.39
II 1.04 1.04 89o57'00" 270o02'40" 286o19'30" 106o\34'10"
III 0.69 0.69
1.53 2.08 2.08
IV 1.74 1.74 89o37'10" 270o22'40" 35o57'00" 215o\58'00"
1.40 1.40

1.42
D3.01 1.40 90o28'50" 157o06'50"
1.38
1.44
D3.02 1.40 89o19'10" 174o503'00"
1.36

2.14 2.14
III
1.80 1.80 89o52'30" 270o07'10" 215o23'10" 35o\27'30"
IV 1.46 1.46
1.46 1.08 1.08
V 0.90 0.90 90o42'40" 269o16'20" 25o14'30" 205o\17'10"
0.72 0.72
1.52
D4.01 1.50 89o57'50" 113o35'50"
1.48
1.53
D4.02 1.50 89o59'50" 150o00'00"
1.47
1.98 1.98
IV 1.80 1.80 89o36'50" 270o21'50" 205o00'00" 25o\06'10"
V 1.62 1.62
1.49 2.19 2.19
I' 1.75 1.75 89o43'50" 270o16'10" 290o00'00" 110o\46'10"
1.31 1.31
D5.01 0.96

21
``

0.90 90o37'50" 29o25'20"


0.84
1.97
1.90 86o44'00" 45o05'20"
D5.02 1.83

22
``

PERHITUNGAN POLIGON

I. PENGHITUNGAN JARAK

Dt =100 (Ba-Bb) cos2θ, dimana θ = sudut elevasi


1. I – Ti B = 100 (0.84-0.54) cos2 0o16’40” = 29.9993m
LB = 100 (0.84-0.54) cos2 -0o16’40” = 29.9993m
29.9993  29.9993
Koreksi = = 29.9993m
2
2. I – II B = 100 (1.94-0.96) cos2 0o03’50” = 97.9999m
LB = 100 (1.94-0.96) cos2 0o03’50” = 97.9999m
II – I B = 100 (2.13-1.15) cos2 0o00’40” = 97.9999m
2 o
LB = 100 (2.13-1.15) cos -0 40’30” = 97.9864m
97.9999  97.9999  97.9999  97.9864
Koreksi = = 97.9965m
4
3. II – III B = 100 (0.99-0.29) cos2 -1o05’50” = 69.9743m
LB = 100 (0.99-0.29) cos2 -1o05’50” = 69.9743m
III – II B 2
= 100 (1.39-0.69) cos 0 03’00” o
= 69.9999m
LB = 100 (2.13-1.15) cos2 0o02’40” = 69.9999m
69.9743  69.9743  69.9999  69.9999
Koreksi = = 69.9871m
4
4. II – III B = 100 (2.08-1.4) cos2 0o22’50” = 67.9970m
2 o
LB = 100 (2.08-1.4) cos 0 22’40” = 67.9970m
III – II B = 100 (2.14-1.46) cos2 0o07’30” = 67.9997m
LB = 100 (2.14-1.46) cos2 0o07’10” = 67.9997m
67.9970  67.9970  67.9997  67.9997
Koreksi = = 69.9984m
4
5. III – IV B = 100 (1.08-0.72) cos2 -0o42’40” = 35.9945m
LB = 100 (1.08-0.72) cos2 -0o43’40” = 35.9942m
IV – III B = 100 (1.98-1.62) cos2 0o23’10” = 35.9984m

23
``

LB = 100 (1.98-1.62) cos2 0o21’50” = 35.9985m


35.9945  35.9942  35.9984  35.9985
Koreksi = = 35.9964m
4

6. V–I B = 100 (2.19-1.31) cos2 0o16’10” = 87.9981m


LB = 100 (2.19-1.31) cos2 0o16’10” = 87.9981m
I–V B 2
= 100 (2.05-1.17) cos 0 03’50” o
= 87.9999m
LB = 100 (2.05-1.17) cos2 0o02’40” = 87.9999m
35.9945  35.9942  35.9984  35.9985
Koreksi = = 87.9990m
4
Σ Dt = 97.9965+69.9871+67.9984+35.9964+87.9990 = 359.9774m

II. PERHITUNGAN AZIMUTH


B p1 p 2  ( LB p1 p 2  180)  ( B p 2 p1  180)  LB p 2 p1
K=
4
Ditambah (+) 180o bila B/LB<180o
Ditambah (-) 180o bila B/LB>180o

1. I – Ti B = 276o48'00"
LB = 96o48'00"
276 o 48'00"180 o  96 o 48 ' 00"
K = =0o
2

2. I – II B = 207o16’30” II – I B = 27o00’00”
LB = 27o19’20” LB = 206o58’10”
207 o16'30"+(27 o19'20"+180 o ) + (27 o 00'00" + 180 o ) + 206 o 58'10"
KI - II =
4
=207o08’30”
KII - I = 207o08’30”- 180o
=27o08’30”

24
``

3. II – III B = 106o02’20” III – II B = 286o19’30”


LB = 286o LB = 106o34’10”
106 o 02'20"+(28 6 o - 180 o ) + (286 o19'30" - 180 o ) + 106 o 34'10"
KII - III =
4
=106o14’00”
KIII - II = 106o14’00”+ 180o
=286o14’00”

4. III – IV B = 35o57’00” IV – III B = 215o23’10”


LB = 215o58’00” LB = 35o27’30”
35 o 57'00"+(21 5 o 58'00"-180o ) + (215 o 23'10" - 180 o ) + 35 o 27'30"
KIII-IV =
4
=35o41’25”
KIV-III = 35o41’25”+ 180o
=215o41’25”
5. IV – V B = 25o14’30” V – IV B = 205o00’00”
LB = 205o17’10” LB = 25o06’10”
25 o14'30"+(20 5 o17'10"180 o ) + (205 o 00'00"  180 o ) + 25 o 06'10"
KIV-V =
4
=25o09’27.5”
KV-IV = 25o09’27.5”+ 180o
=205o09’27.5”

6. V–I B = 290o00’00” I–V B = 110o35’40”


LB = 110o46’10” LB = 290o38’00”
290 o 00'00"+(11 0 o 46'10"180 o ) + (110 o 35'40"  180 o ) + 290 o 38'00"
KV-I =
4
=290o29’57.5”
KI-V = 290o29’57.5”- 180o
=110o29’57.5”

25
``

III. PERHITUNGAN BEDA TINGGI


Δh = Dt tan θ + (Ti - Bt)

1. I – Ti B = 29.9993 tan 0o16’40” + (1.45-0.69) = 0.9064m


LB = 29.9993 tan -0o16’40” + (1.45-0.69) = 0.6146m
0.9064  0.6146
Δh1-Ti = = 0.76m
2
2. I – II B = 97.9999 tan 0o03’50” + (1.45-1.45) = 0.1093m
LB = 97.9999 tan 0o03’50” + (1.45-1.45) = 0.1093m
II – I B = 97.9999 tan 0o00’40” + (1.48-1.64) = -0.1409m
LB = 97.9864 tan -0o40’30” + (1.48-1.64) = -1.3144m
0.1093  0.1093  0.1409  1.3144
K = = 0.4185m
4
ΔhI-II = 0.4185m
ΔhI-II = -0.4185m
3. II – III B = 69.9743 tan -1o05’50” + (1.48-0.64) = -0.5002m
LB = 69.9743 tan -1o05’50” + (1.48-0.64) = -0.5002m
III – II B = 69.9999 tan 0o03’00” + (1.53-1.04) = 0.5511m
LB = 69.9999 tan 0o02’40” + (1.53-1.04) = 0.5443m
0.5002  0.5002  0.5511  0.5443
K = = 0.5239m
4
ΔhII-III = -0.5239m
ΔhIII-II = 0.5239m

4. III – IV B = 67.9970 tan 0o22’50” + (1.53-1.74) = 0.2416m


LB = 67.9970 tan 0o22’40” + (1.53-1.74) = 0.2383m
IV – III B = 67.9997 tan 0o07’30” + (1.46-1.80) = -0.1916m
LB = 67.9997 tan 0o07’10” + (1.46-1.80) = -0.1982m
0.2416  0.2383  0.1916  0.1982
K = = 0.2174m
4
26
``

ΔhIII-IV = 0.2174m
ΔhIV-III = -0.2174m
5. IV –V B = 35.9945 tan -0o42’40” + (1.46-0.9) = 0.1132m
LB = 35.9942 tan -0o43’40” + (1.46-0.9) = 0.1027m
V – IV B = 35.9984 tan 0o23’10” + (1.49-1.80) = -0.0674m
LB = 35.9984 tan 0o21’50” + (1.49-1.80) = -0.0814m
0.1132  0.1027  0.0674  0.0814
K = = 0.0912m
4
ΔhIV-V = 0.0912m
ΔhV-IV = -0.0912m
6. V –I B = 87.9981 tan 0o16’10” + (1.49-1.75) = 0.1538m
LB = 87.9981 tan 0o16’10” + (1.49-1.75) = 0.1538m
I–V B = 87.9990 tan 0o03’50” + (1.44-1.61) = -0.0619m
LB = 87.9990 tan 0o02’40” + (1.44-1.61) = -0.0917m
0.1538  0.1538  0.0619  0.0917
K = = 0.1153m
4
ΔhV-I = 0.1153m
ΔhI-V = -0.1153m

Catatan : bila beda tinggi dari I ke II positif (+), maka beda tinggi dari II ke I harus negative (-)
baik sebelum maupun sesudah dikoreksi, begitupun titik selanjutnya.

IV. PERHITUNGAN KETINGGIAN


1. HTi = 181m
ΔhTi-I = 0.76m, maka HI = 181-0.76 = 180.24m
2. HI = 180.24m
Δh1-II = 0.4185m, maka HII = 180.24+0.4185 = 180.6585m
3. HII = 180.6585m
ΔhII-III = -0.5239m, maka HIII = 180.6585-0.5239 = 180.1346m
4. HIII = 180.1346m
ΔhIII-IV = 0.2174m, maka HIV = 180.1346+0.2174 = 180.3520m

27
``

5. HIV = 180.3520m
ΔhIV-V = 0.0912m, maka HV = 180.3520+0.0912 = 180.4432m
6. HV = 180.4432m
ΔhV-I’ = 0.1153m, maka HI’ = 180.4432+0.1153 = 180.5585m
Jadi kesalahan beda tinggi (f(Δh)) = 180.5585-180.24 = 0.3185m

V. PERHITUNGAN KOREKSI KETINGGIAN

97.995
K1 = x 0,3185 = 0.0867m
359.9774

(97.995 + 69.9871)
K2 = x 0,3185 = 0.1486m
359.9774

(97.995 + 69.9871 + 67.9984)


K3 = x 0,3185 = 0.2088m
359.9774

(97.995 + 69.9871 + 67.9984 + 35.9964)


K4 = x 0,3185 = 0.2406m
359.9774

(97.995 + 69.9871 + 67.9984 + 35.9964 + 87.9990)


K5 = x 0,3185 = 0.3815m
359.9774

VI. PERHITUNGAN KETINGGIAN TERKOREKSI

I = 180.24m

II = 180.6585-0.0867 = 180.5718m

III = 180.1346-0.1486 = 179.9860m

IV = 180.3520-0.2088 = 180.1432m

V = 180.4432-0.2406 = 180.2026m

I’ = 180.5585-0.3185 = 180.24m (cocok)

28
``

Anda mungkin juga menyukai