Anda di halaman 1dari 20

CASE BASED DISCUSSION

“SYOK SEPTIK”
Diajukan guna memenuhi salah satu tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Bagian Oral Surgery

Oleh
RIZKI AULIA
19100707360804031

Dosen Pembimbing : drg. Andries Pascawinata, MDSc, Sp.BM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah laporan tugas yang

berjudul “Syok Septik” untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan

kepanitraan klinik modul 7 (Bedah Minor dan Kedaruratan Medis) dapat diselesaikan.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari, bahwa semua proses yang

telah dilalui tidak lepas dari bimbingan drg. Andries Pascawinata, MDSc, Sp. BM

selaku dosen pembimbing, bantuan dan dorongan yang telah diberikan berbagai pihak

lainnya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu.

Akhir kata penulis mengharapkan Allah SWT melimpahkan berkah-Nya kepada

kita semua dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat serta dapat memberikan

sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak yang memerlukan.

Padang, September 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh WHO (World Health Organization) pada

tahun 2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif pada

negara maju, dan insidensinya mengalami kenaikan. Setiap tahunnya terjadi 750.000

kasus sepsis di Amerika Serikat. Hal seperti ini juga terjadi di negara berkembang,

dimana sebagian besar populasi dunia bermukim. Kondisi seperti standar hidup dan

higienis yang rendah, malnutrisi, infeksi kuman akan meningkatkan angka kejadian

sepsis (Bataar O dkk, 2010).

Sepsis merupakan kondisi penyakit yang berat dan meningkatkan angka morbiditas.

Sepsis berat dan syok septik masih menjadi salah satu penyebab kematian pasien

intensif di dunia (Cepinskas dan Wilson, 2008).

Pada tahun 2004, WHO menerbitkan laporan mengenai beban penyakit global, dan

didapatkan bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab tersering dari kematian pada

negara berpendapatan rendah (Bataar O dkk, 2010). Keadaan sepsis merupakan

kombinasi patofisiologi infeksi dan perubahan fisiologi dengan peningkatan denyut

jantung, suhu tubuh, dan napas ( Artero dkk, 2012). Early goal directed therapy

(EGDT) adalah rekomendasi internasional untuk tata laksana sepsis berat dan syok
septik, dengan optimalisasi mean arterial pressure (MAP), central venous pressure

(CVP), urine output (OUP), dan central venous oxygen (SvO2), namun angka mortalitas

pada sepsis berat dan syok septik masih tinggi (Artero dkk, 2012).

Sampai saat ini sepsis dan syok septik masih merupakan tantangan besar bagi dunia

kedokteran. Seiring penjalanan sepsis menjadi syok septik, risiko kematian meningkat

secara signifikan. Setiap jam keterlambatan pemberian antibiotik telah terbukti

meningkatkan angka kematian syok septik sebesar 7,6% (Kumar dkk, 2006).

Kompleksnya patogenesis dan patofislogi sepsis melibatkan hampir semua jenis sel,

jaringan, dan sistem organ. Dalam makalah ini dibahas definisi, etiologi, dan

patogenesis/patofisiologi sepsis dan syok septik yang meliputi patogen penyebab infeksi

dengan faktor virulensinya, respon pejamu, respon inflamasi, sistem koagulasi yang

terganggu, dan disfungsi organ.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi syok septik?

2. Bagaimana gejala klinis syok septik?

3. Apa saja klasifikasi syok septik?

4. Apa pemeriksaan penunjang yang dilakukan?

5. Bagaimana terapi syok septik?

6. Bagaimana terapi syok septik dalam kedokteran gigi?

1.3 Tujuan umum

Mengetahui definisi, gejala klinis, dan penatalaksanaan dari syok septik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Syok Septik

Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung

dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah

yang memadai. Syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian

sel maupun jaringan (Nasroedin, 2007). Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang

menyebabkan berkurangnya aliran darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan

jantung atau gagal jantung), volume darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau

dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh darah (misalnya karena reaksi alergi atau

infeksi).

Syok septik merupakan sepsis dengan perfusi abnormal dan hipotensi (tekanan

darah sistolik <90 mmHg atau menurun >40 mmHg di bawah tekanan darah dasar

(baseline) pasien tersebut atau tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) selama sekurang-

kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, atau sepsis

yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap

≥90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata ≥70 mmHg. Peningkatan laktat serum menjadi

tanda hipoperfusi jaringan dan syok septik ( Levy dkk, 2001).

Definisi baru untuk sepsis dan syok septik telah direkomendasikan oleh SCCM/

ESICM dalam konsensus internasional ke-3 (Sepsis-3) pada tahun 2016. Sepsis didefi-

nisikan sebagai disfungsi organ yang meng-ancam jiwa, disebabkan oleh ketidakmam-
puan respon pejamu terhadap infeksi. Disfungsi organ dapat diidentifikasi seba-gai

perubahan akut sebagai konsekuensi infeksi yang dirumuskan dalam skor sequential

(sepsis-related) organ failure assessment (SOFA) ≥2 (Tabel 1). Pene-kanan pada

disfungsi organ yang mengan-cam jiwa konsisten dengan pandangan bahwa cacat

seluler mendasari kelainan fisiologik dan biokimia sistem organ spesi-fik. Skor SOFA

≥2 mencerminkan risiko mortalitas rata-rata 10% untuk pasien yang dirawat di rumah

sakit dengan tersangka infeksi. Syok septik merupakan bagian dari sepsis dengan

disfungsi peredaran darah dan selular/metabolik yang mendasari, dikaitkan dengan

peningkatan risiko kema-tian. Pasien syok septik dapat diidentifikasi secara klinis yaitu

sepsis dengan disertai hipotensi menetap yang membutuhkan vasopresor untuk

mempertahankan agar tekanan arteri rata-rata ≥65 mmHg dan konsentrasi laktat darah

>2 mmol/L (>18 mg/dL) meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat.

Risiko mortalitas pasien yang dirawat menjadi >40% (Singer dkk, 2016).

2.2 Etiologi

Masuknya mikroba ke aliran darah bukan merupakan sesuatu yang mendasar

terhadap timbulnya sepsis berat, karena infeksi lokal dengan penyebab bakteri yang

menghasilkan produk patogen seperti ekso-toksin, dapat juga memicu respon inflamasi

sistemik sehingga menimbulkan disfungsi organ di tempat lain dan hipotensi. Kultur

darah yang positif hanya ditemukan pada sekitar 20-40% kasus sepsis berat dan

persentasenya meningkat seiring tingkat keparahan dari sepsis, yaitu mencapai 40-70%

pada pasien dengan syok septik. Bakteri Gram negatif atau positif mencakup sekitar

70% isolat, dan sisanya ialah jamur atau campuran mikroorganisme. Pada pasien
dengan kultur darah negatif, agen penyebab sering ditegakkan berdasarkan kultur atau

pemeriksaan mikroskopik dari bahan yang berasal dari fokus infeksi (Munford, 2008).

Sepsis berat terjadi sebagai akibat dari infeksi yang didapat dari komunitas dan

nosokomial. Pneumonia ialah penyebab paling umum, mencapai setengah dari semua

kasus, diikuti oleh infeksi intra-abdominal dan infeksi saluran kemih. Staphylococcus

aureus dan Streptococcus pneumoniae ialah bakteri Gram positif paling sering,

sedangkan Escherichia coli, Klebsiella spp, dan Pseudomonas aerugi-nosa

predominan di antara bakteri Gram negatif (Angus dan Van, 2013).

2.3 Patofisiologi

Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti penurunan volume

intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan

metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen

sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik

atau syok (Rivers dkk, 2001).

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan

memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi,

dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi

dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma

sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-

sitokin seperti tumor nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin,

reactive oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan

eikosanoid (Nguyen dkk, 2006).


Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan

interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis.

Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai

koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses

trombosis dan inflamasi (Bernard dkk, 2001). Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi

akan turut memperkuat proses tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat

interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera

mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan

terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan dalam

terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global (Nguyen dkk, 2006).

Gambar 1. Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis, dan
fibrinolisis terhadap infeksi (Bernard dkk, 2001).

2.4 Gejala Klinis

Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia,

penurunan kesadaran, anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis
yang mendasari. Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan

untuk mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal ( Dries, 2014).

Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti penurunan volume

intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan

metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen

sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik

atau syok (Rivers dkk, 2001). Menurut Smeltzer, Bare, Hinkle, dan Cheever pada tahun

2010 menyebutkan gejala dari adanya syok septik diantara lainPeningkatan suhu karena

pirogenik, peningkatan metabolisme, denyut jantung meningkat, edema paru, oliguria,

asidosis metabolik karena penumpukkan asam laktat.

2.5 Pemeriksaan Penunjang pada Syok Septik

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada syok septik adalah pemeriksaan

laboratorium. Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik,

trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial,

penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin split, anemia,

penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan morfologi dan jumlah

neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan leukosit imatur, vakuolasi

neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle cenderung menandakan infeksi bakteri.

Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan perburukan sepsis.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada

stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum

terjadi suatu respons inflamasi.


Tes Laboratorium Temuan Keterangan
Hitung sel darah Leukositosis atau leukopenia Endotoksemia dapat
putih menyebabkan early
leukopenia.
Hitung pletelet Trombositosis atau Nilai tinggi awal dapat
trombositopenia dilihat sebagai respon
fase akut.
Level keratinin meningkat Doubling-menandakan
cedera ginjal akut
Level asam laktat Lactic acid > 4mmol/L (36 Mengindikasikan
mg/dL) hipoksia jaringan
Level enzim hepar Level alkaline phospatase, Mengindikasikan cedera
AST, ALT, bilirubin meningkat hepatoseluler akut yang
disebabkan hipoperfusi
Level serum fosfat hipofosfatemia Berkolerasi terbalik
dengan tingkat sitokin
proinflamasi
Level C-reaktif meningkat Respon fase akut
protein (CRP)
Level prokalsitonin Meningkat Membedakan SIRS yang
infeksius dan SIRS non
infeksius

2.6 Terapi

Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal,

vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol

sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif

(ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi (Mehta Y, Kochar G, 2017). Early

Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et al pada tahun 2001

merupakan komponen penting dalam protokol sebelumnya. Rivers et al mengevaluasi

efikasi dari EGDT pada 263 pasien dengan infeksi dan hipotensi atau kadar serum laktat

≥ 4 mmol/L yang dilakukan randomisasi dan diberikan resusitasi standar atau EGDT

(133 kontrol dengan 130 EGDT) di ruang IGD sebelum dipindahkan ke ruang ICU.

Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan terapi EGDT mendapatkan terapi cairan,
transfusi darah, dan inotropik lebih banyak dibandingkan grup kontrol. Kemudian,

selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah mendapatkan terapi EGDT, kelompok pasien

ini memiliki tingkat ScvO2 dan pH yang lebih tinggi dengan kadar laktat dan defisit

basa yang lebih rendah. Skor disfungsi organ lebih baik secara signifikan pada

kelompok pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan dengan masa inap rumah sakit yang

lebih singkat dan penurunan komplikasi kardiovaskular seperti henti jantung, hipotensi,

dan gagal nafas akut.

Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lainseperti

ARISE (Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe (Protocolized

Management in Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic Shock) dan

hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis Guideline dimana

pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena sentral tidak dilakukan lagi.

Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT telah

dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan kristaloid

minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan dihilangkannya target

EGDT yang statik (tekanan vena sentral), protokol ini menekankan pemeriksaan ulang

klinis sesering mungkin dan pemeriksaan kecukupan cairan secara dinamis (variasi

tekanan nadi arterial) (Howel, 2017).

Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol sebelumnya

merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan vena sentral secara

spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas untuk menentukan

respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini menekankan bahwa klinisi harus

melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan


dari pemberian cairan. Ketika status hemodinamik membaik dengan pemberian cairan,

pemberian cairan lebih lanjut dapat dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus

dihentikan apabila respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek lebih

lanjut. Maka dari itu, protokol ini telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke

arah terapi resusitasi yang fokus terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu

pemeriksaan dinamis untuk mengevaluasi respon dari terapi tersebut (Backer D,

Dorman T, 2017)

Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya penundaan penggunaan

antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan antibiotik, penggunaan

antibiotik berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber

penularan kuman (Howel, 2017).

2.7 Infeksi Odontogenik

Infeksi dental merupakan infeksi yang disebabkan patogen oral yang didominasi

beberapa spesies bakteri anaerob. Infeksi tersebut dibagi menjadi infeksi odontogenik

dan nonodontogenik. Mayoritas infeksi yang bermanifestasi pada region orofacial

adalah odontogenik. Infeksi odontogenik merupakan pemyakit yang paling umum dan

merupakan alasan mencari perawatan dental. Infeksi odontogenik pada umumnya

berasal dari perkembangan karies dental atau penyakit periodontal yang luas. Patogen

juga dapat masuk lebih dalam ke jaringan akibat trauma pada prosedur dental, seperti

jejak jarum selama pemberian anestesi lokal (Fehrenbach dan Herring, 1997; Fragiskos,

2007).

Infeksi odontogenik kebanyakan disebabkan oleh lebih dari satu spesies bakteri

normal yang ada di rongga mulut. Kira-kira terdapat 50% infeksi odontogenik yang
disebabkan bakteri anaerobik saja, 44% disebabkan kombinasi antara bakteri aerob dan

anaerob, serta hanya 6% yang disebabkan oleh bakteri aerob secara tunggal (Gregoire,

2010). Mikroorganisme yang mendominasi infeksi odontogenik antara lain,

Streptococcus milleri grup, Peptostreptococci, Prevotella, Porphyromonas,

Fusobacteria (Bagheri dkk., 2012).

Sepsis merupakan suatu sindroma yang dipicu oleh infeksi yang didefinisikan

sebagai adanya dua atau lebih gambaran inflamasi sistemik, seperti hipotermia,

lekositosis atau leukopenia, takikardia dan takipneu atau ventilasi permenit diatas

normal. Bila suatu organ mengalami kegagalan karena sepsis, maka sepsis tersebut

merupakan sepsis berat. Sepsis ditandai dengan Systemic Inflammatory Response

Syndrome (SIRS) adalah respon inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan

oleh berbagai insult klinis yang berat, seperti infeksi termasuk termasuk

yang berasal dari infeksi odontogenik (Wheleer dkk, 1999).

Infeksi odontogenik merupakan salah satu penyebab terjadinya sepsis di

regio leher dan kepala. Infeksi seringkali menyebar melalui spasia fasialis di

leher dan menyebabkan masalah pernafasan. Kondisi ini seringkali

menyebabkan morbiditas yang signifikan dan memerlukan perawatan rawat inap

yang cukup lama () TNF-α merupakan sel sitokin sinyal yang terlibat dalam prosses

inflamasi. Pada manusia, gen TNF- terletak di kromosom 6 lengan pendek dan

terdiri atas 4 ekson dan 3 intron. Polimorfisme gen TNF- memengaruhi transkripsi

dan fungsi gen yang akhirnya berpengaruh pada kepekaan penyakit termasuk sepsis

(Handley dkk, 2009).


Infeksi odontogenik merupakan infeksi yang bersumber dari gigi yang kemudian

menyebar serta mengakibatkan akumulasi sel inflamasi akut pada ruangan spasium

wajah. Menurut petersen (2003) spasium wajah adalah daerah berlapis fasia yang dapat

terisi atau ditembus oleh eksudat purulen. Daerah ini merupakan ruang potensial yang

tidak ada pada orang yang sehat, tetapi terisi selama infeksi. Beberapa diantaranya

mengandung struktur neurovaskular dan dikenal sebagai kompartemen. Sedangkan

bagian yang diisi oleh jaringan ikat jarang disebut celah. Spasium wajah yang langsung

terlibat pertama kali dikenal sebagai spasium wajah primer baik pada maksila maupun

mandibula. Sedangkan perluasan infeksi melebihi daerah spasium primer ini adalah ke

daerah spasium sekunder. Spasium wajah primer meliputi spasium primer maksila

(spasium kaninus, bukal, infratemporal) dan spasium wajah mandibula (spasium

submental, bukal, submandibular dan sublingual). Spasium wajah sekunder meliputi

spasium masseter, pterygomandibular, temporal superfisial dan dalam, spasium

faringeal, retrofaringeal, serta spasium prevertebra. Diagnosis infeksi odontogenik

ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, operatif serta radiografik (Handley dkk,

2009).

2.8 Penatalaksanaan Infeksi Odontogenik bagi Dokter Umum

Penatalaksanaan infeksi odontogenik meliputi :

1. Perawatan medikamentosa. Pada perawatan ini perlu diberikan antibiotik yang

tepat dan adekuat untuk meredakan infeksinya. Antibiotik yang efektif untuk

infeksi ini ialah golongan penisilin, eritromisin, klindamisin, cefadroxil,

metronidazol, dan tetrasiklin. Bila dicurigai kemungkinan adanya kuman


penyebab yang resisten terhadap penisilin, atau adanya kuman oportunistik atau

anaerob, maka perlu dipertimbangkan penggunaan antibiotik bukan golongan

penisilin. Pada infeksi odontogenik yang berat, disarankan untuk pemberian

antibiotik bakterisid dosis tinggi secara parenteral bila perlu dilakukan kultur

bakteri dan tes resistensi. Analgetik-antipiretik untuk mengurangi rasa sakit dan

demam, perlu jg diberikan terapi suportif seperti pemberian roborontia dan

makanan tinggi kalori dan tinggi protein untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Hospitalisasi dan konsultasi medik perlu dilakukan sesuai indikasi. Perbaikan

jalan nafas dan dehidrasi bila diperlukan.

2. Perawatan pembedahan pengeluaran pus dengan cara insisi dan drainase,

merupakan tindakan yang sangat penting dalam perawatan abses odontogenik.

Hal ini dapat mengurangi rasa sakit dan mempercepat penyembuhan. Insisi

dapat dilakukan bila pus telah terlokalisir di daerah permukaan, dan sudah ada

fluktuasi. Misalnya pada daerah intraoral telah mencapai permukaan gingiva dan

mukobukal fold sudah terangkat dan telah ada fluktuasi. Fluktuasi dilakukan

dengan cara palpasi bimanual. Dalam insisi dan drainase abses, perlu

mempertimbangkan waktu yang tepat.

3. Perawatan gigi penyebab. Gigi penyebab perlu dilakukan ekstraksi, bila tidak

memungkinkan ekstraksi gigi dilakukan setelah tanda-tanda infeksi reda, karena

bila dilakukan pada fase akut, maka dikhawatirkan akan terjadi penyebaran

infeksi, selain itu anestesi lokal menjadi kurang efektif, sehingga menimbulkan

rasa sakit yang akan menambah penderitaan pasien. Bila kasus infeksi terus

berlanjut secara cepat dan progresif, penjalaran infeksi telah mencapai ruang
facia, pasien sulit bernafas dan menelan, suhu tubuh meningkat dan terdapat

trismus kurang dri 1 cm, maka dokter gigi umum harus segera merujuk ke

dokter gigi spesialis bedah mulut.


BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Sepsis merupakan suatu sindroma yang dipicu oleh infeksi yang didefinisikan

sebagai adanya dua atau lebih gambaran inflamasi sistemik, seperti hipotermia,

lekositosis atau leukopenia, takikardia dan takipneu atau ventilasi permenit diatas

normal. Bila suatu organ mengalami kegagalan karena sepsis, maka sepsis tersebut

merupakan sepsis berat. Sepsis ditandai dengan Systemic Inflammatory Response

Syndrome (SIRS) adalah respon inflamasi sistemik yang dapat dicetuskan

oleh berbagai insult klinis yang berat, seperti infeksi termasuk termasuk

yang berasal dari infeksi odontogenik (Wheleer dkk, 1999).

Infeksi odontogenik merupakan salah satu penyebab terjadinya sepsis di

regio leher dan kepala. Infeksi seringkali menyebar melalui spasia fasialis di

leher dan menyebabkan masalah pernafasan. Kondisi ini seringkali

menyebabkan morbiditas yang signifikan dan memerlukan perawatan rawat inap

yang cukup lama () TNF-α merupakan sel sitokin sinyal yang terlibat dalam prosses

inflamasi. Pada manusia, gen TNF- terletak di kromosom 6 lengan pendek dan

terdiri atas 4 ekson dan 3 intron. Polimorfisme gen TNF- memengaruhi transkripsi

dan fungsi gen yang akhirnya berpengaruh pada kepekaan penyakit termasuk sepsis

(Handley dkk, 2009).

Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal,

vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol

sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif
(ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi (Mehta Y, Kochar G, 2017). Early

Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et al pada tahun 2001

merupakan komponen penting dalam protokol sebelumnya. Rivers et al mengevaluasi

efikasi dari EGDT pada 263 pasien dengan infeksi dan hipotensi atau kadar serum laktat

≥ 4 mmol/L yang dilakukan randomisasi dan diberikan resusitasi standar atau EGDT

(133 kontrol dengan 130 EGDT) di ruang IGD sebelum dipindahkan ke ruang ICU.

Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan terapi EGDT mendapatkan terapi cairan,

transfusi darah, dan inotropik lebih banyak dibandingkan grup kontrol. Kemudian,

selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah mendapatkan terapi EGDT, kelompok pasien

ini memiliki tingkat ScvO2 dan pH yang lebih tinggi dengan kadar laktat dan defisit

basa yang lebih rendah. Skor disfungsi organ lebih baik secara signifikan pada

kelompok pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan dengan masa inap rumah sakit yang

lebih singkat dan penurunan komplikasi kardiovaskular seperti henti jantung, hipotensi,

dan gagal nafas akut.


DAFTAR PUSTAKA

Angus DC, van der Poll T. Severe sepsis and septic shock. N Engl J Med. 2013;
369:840-51.
Artero A, Zaragoza R, Nogueira JM, 2012. Epidemiology of severe sepsis and septic
shock understanding a serious killer, Spain: Departement of Medicine and
Microbiology.
Bagheri, S.C., Bell, R.B., Khan, H.A., 2012, Current Therapy in Oral and
Maxillofaacial Surgery, Missouri: Elsevier Saunders, p. 1068, 1669, 1092,
1093.
Bataar O, Lundeg G, Tsenddorj G, Jochberger S, Grander W, Baelan I, et al.
Nationwide survey on resource availability for implementing current sepsis
guidelines in Mongolia. [Internet]. 2010
Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward better
care of patients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8): 807-8.
Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al.
Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for severe
sepsis. N Eng J Med. 2001; 344 (10): 699-709.
Cepinskas G, Wilson JX, 2008, Inflamatory respons in microvasculer endothelium in
sepsis: role of oxidants, Jurnal. Biochemi Nutr, Vol. 42, Hlm. 175-84.
Dries JD, editors. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount Prospect: Third
Printing; 2014.
Fehrenbach, M.J., Herring, S.W., 1997, Spread of Dental Infection, Practical Hygiene,
13-18.
T Handley, M Devlin, D Koppel, J McCaul. The sepsis syndrome in odontogenic
infection. JICS, 10(1), Januari 2009
Howell MD, Davis AM. Management of sepsis and septic shock. JAMA. 2017;
317(8): 847-8.
Kumar A, Roberts D, Wood KE, Light B, Parrillo JE, Sharma S, et al. Duration of
hypotension before initiation of effective antimicrobial therapy is the
critical determinant of survival in human septic shock. Crit Care Med.
2006;34:1589-96.
Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, et al. 2001
SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International sepsis definitions confe-rence.
Intensive Care Med. 2003; 29:530-8.
Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical Care TSS.
2017; 1(1): 3-5.
Munford RS. Severe sepsis and septic shock. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Baunwalda E, Hauser SL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principle of
Internal Medicine (17th ed). New York: Mc Graw Hill, 2008 p. 1695-
702.
Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al.
Severe sepsis and septic shock: review of the literature and emergeny
department management guidelines. Annals of Emergency Medicine.
2006; 48(1): 28-50.
Rivers, E, Nguyent B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al. Early goal
directed therapy in the treatmenr of severe sepsis and septic shock. N Eng J
Med. 2001; 345 (19): 1368-77.
Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M, et al. The
third international consensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3).
JAMA. 2016; 315:801-10.
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., Cheever, K. H. (2010). Brunner &
suddarth’s:Textbook of medical-surgical nursing, 12th edition. China:
Wolters Kluwer Health, Lippincott Williams & Wilkins.
Wheeler, AP, M.D., dkk : Treating Patients with Severe Sepsis, N Engl. J Med 1999,
340:207-14.

Anda mungkin juga menyukai