Anda di halaman 1dari 5

A.

Pendahuluan
Salah satu bencana yang terjadi baru-baru ini adalah gempa bumi di Pulau Lombok dengan tiga
skala besar gempa yaitu 6,4 M pada 29 Juli 2018, 7,0 M pada 9 Agustus 2018, dan 6,2 M pada
19 Agustus 2018. Seri gempa terdiri dari dari gempa pre shock, mainshock, dan gempa susulan
dengan jumlah gempa yang terjadi hampir 500 gempa sampai 10 Agustus 2018. Gempa tersebut
memberi dampak
1.033 orang terluka dan 270.168 orang terlantar. Gempa bumi juga mengakibatkan kerusakan
pada 67.875 rumah penduduk. Selain dampak fisik, gempa Lombok juga memberi dampak psikis
masyarakat Lombok. Masalah psikis akibat gempa Lombok adalah ketakutan gempa susulan,
kesulitan melupakan gempa, kecemasan, kegelisahan memikirkan gempa, ketakutan memasuki
rumah, dan mendengar suara menderu atau ketakutan saat Malam. Gempa Lombok juga
menimbulkan gejala post stress traumatic stress disorder (PTSD) yang dapat mengarah pada
kualitas hidup sebanyak 64,7% dari 88 responden yang diteliti oleh Fakultas Keperawatan
Universitas Diponegoro . Kualitas hidup adalah salah satu dampak psikis setelah bencana .
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kualitas hidup sebagai dampak dari tunawisma,
kecacatan, kehilangan anggota keluarga dan kondisi sosial ekonomi. Kualitas hidup pascabencana
anak-anak hingga orang dewasa juga dipengaruhi oleh perubahan kegiatan sehari-hari dan
pengalaman yang memengaruhi gejala mental, seperti gejala PTSD. Namun, ini akan meningkat
dengan perkembangan adaptasi mereka dan lamanya waktu setelah bencana
B. Tinjauan pustaka

Penelitian ini adalah penelitian komparatif dengan menggunakan desain cross-sectional. Subjek
penelitian ini adalah siswa di sekolah negeri sebagai siswa negeri dan siswa di pondok pesantren
sebagai siswa asrama di Kabupaten Lombok Utara. Kriteria inklusi adalah siswa yang berusia
15-18 tahun, tinggal di daerah bencana pascagempa, dan belajar di sekolah darurat atau pondok
pesantren darurat. Sampel adalah 85 siswa yang terdiri dari 40 siswa sekolah umum darurat dan
45 siswa sekolah asrama Islam darurat. Pengukuran kualitas hidup menggunakan KIDSCREEN-
27. Instrumen ini memiliki lima dimensi, yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan psikologis,
hubungan dengan orang tua dan kemandirian, dukungan sosial dan teman sebaya, dan lingkungan
sekolah. KIDSCREEN-27 memiliki 27 item. Kualitas hidup dikategorikan baik jika T score>
berarti T, maka Kualitas hidup dikategorikan buruk jika T skor <berarti T]. KIDSCREEN-27
telah diadaptasi dan α = 0,880 [16]. Penelitian ini dianalisis dengan analisis bivariat dan
multivariat dengan α <0,05. Penelitian ini telah memperoleh persetujuan etis dari Komisi Etik
Departemen Riset Kesehatan Poltekkes Kemenkes Mataram Nomor LB. 01.03 / 1.1 / 3086/2019.
Karakteristik responden Siswa asrama
Siswa umum

N % N %

Jenis kelamin

Pria 15 33.3 24 60

Perempuan 30 66.7 16 40

Total 45 100 40 100

Usia

15 tahun 15 33.3 12 5

16 tahun 19 42.2 5 12.5

17 tahun 11 24.5 16 40

18 tahun 0 0,0 15 37.5

19 tahun 0 0,0 2 5

Total 45 100 40 100

Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin bahwa sebagian besar
siswa asrama adalah perempuan (66,7%), sedangkan siswa umum adalah laki-laki (60%).
Karakteristik responden berdasarkan usia bahwa sebagian besar siswa asrama berusia 19 tahun
dan sebagian besar siswa umum berusia 17 tahun. Penelitian ini menunjukkan perbedaan kualitas
hidup siswa negeri di sekolah negeri dengan siswa asrama di pondok pesantren di Lombok Utara
setelah gempa bumi. Siswa di tingkat menengah atas dikategorikan sebagai komunitas usia
remaja. Remaja adalah kelompok masalah kesehatan mental yang mudah dan rentan setelah
bencana [17, 18]. Bencana alam memiliki dampak psikis negatif sehingga remaja ditandai dengan
peningkatan gejala yang terkait dengan depresi dan pemikiran tentang bencana yang telah terjadi
akan selalu membahayakan mereka. Beberapa penelitian baru-baru ini menyebutkan bencana
alam yang terkait dengan peningkatan peristiwa depresi, gangguan kecemasan, PTSD, terutama
pada anak-anak dan remaja. Bencana alam gempa bumi juga meningkatkan angka PTSD pada
remaja yang menjadi mediator penurunan kualitas hidup remaja

PTSD adalah kondisi traumatis atau stres yang dapat berkembang setelah terpapar peristiwa
traumatis seperti kekerasan seksual, kecelakaan, dan bencana yang mengancam jiwa. Saat ini,
bencana alam adalah penyebab paling umum dari kasus PTSD, seperti bencana gempa
bumi.Adapun pasca-gempa, dilaporkan bahwa kejadian PTSD adalah 10% hingga 47,3%. Hingga
10 tahun setelah gempa Wenchuan masih ditemukan angka PTSD pada remaja berusia delapan
tahun yang tinggal di daerah yang terkena gempa sebanyak 1,9% hingga 2,7%. Ini memberikan
peringatan bahwa anak-anak dan remaja perlu perhatian khusus pada dampak gempa bumi jangka
panjang.Sehingga bencana gempa bumi alami dapat meningkatkan angka PTSD pada remaja dan
menimbulkan trauma yang memiliki dampak mendalam pada kualitas hidup

Meja 2 . Kualitas hidup kos dan publik siswa

Kelompo Kualitas hidup


k Nilai-P
Baik
miskin
Sekolah
Berasrama 27 18
Sekolah P=
negeri 17 23 0,008

Tabel 2 menunjukkan kualitas rata-rata kehidupan siswa asrama lebih tinggi daripada siswa
publik setelah bencana gempa bumi. Analisis statistik menunjukkan bahwa P-value lebih kecil
dari α 0,05, sehingga dinyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kualitas hidup
siswa asrama dan siswa public

Ta ble 3. Hasil analisis o f setiap q kualitas hidup e dimensi di

Variabel ATAU 95% CI Nilai-P

Aktivitas fisik dan kesehatan 0,228 0,017-3,058 P = 0,265 Merasa terhadap

diri sendiri

Keluarga dan Waktu Luang

Teman

Lingkungan sekolah

Tabel 3 menunjukkan bahwa tiga nilai P lebih kecil dari α 0,05 dalam dimensi Merasa terhadap
diri sendiri, Teman, dan lingkungan sekolah. Ini menunjukkan hanya dimensi-dimensi yang
mempengaruhi perbedaan kualitas hidup bagi siswa asrama dan mahasiswa pascabencana gempa.
Perbedaan dalam kualitas hidup asrama dan siswa publik setelah bencana gempa juga dapat
disebabkan oleh faktor dukungan sebaya, keluarga dan lingkungan. Masa kanak-kanak hingga
remaja masih membutuhkan perhatian dan dukungan untuk mencapai kematangan fisik, psikis,
dan perkembangan sosial. Lingkungan sekolah menjadi lingkungan yang siswa anggap sebagai
keluarga baru dalam sosial dan menjadi salah satu faktor penentu kualitas hidup. Kualitas hidup
diartikan sebagai keadaan kemakmuran yang umumnya dan gigih untuk diidentifikasi melalui
pengalaman positif dan menghasilkan rasa kebahagiaan, ketenangan, dan kepuasan. Pengalaman-
pengalaman ini dapat ditemukan di keluarga, lingkungan, dan sekolah. Siswa yang tinggal di
asrama di sekolah yang sama dengan siswa yang tinggal bersama keluarga memiliki kualitas
hidup yang lebih rendah daripada siswa yang tinggal bersama keluarga mereka. Ini memperkuat
pendapat yang mengatakan bahwa semakin dekat seseorang dengan keluarganya, kualitas
hidupnya meningkat . Penelitian ini menunjukkan kualitas hidup siswa asrama lebih tinggi
daripada siswa publik pasca bencana gempa di Lombok Utara. Berdasarkan hasil statistik,
perbedaan kualitas hidup disebabkan oleh perasaan dukungan terhadap diri sendiri, faktor
pendukung teman dan lingkungan sekolah. Lingkungan di sekolah berasrama tidak hanya
memperhatikan lingkungan secara fisik tetapi lebih ke arah tujuan-praktik dan nilai-nilai agama
[25]. Hasil penelitian ini sesuai dengan [13] yang menyatakan bahwa siswa yang tinggal di
asrama memiliki kualitas hidup yang lebih baik daripada yang tidak di asrama. Situasi ini
menunjukkan bahwa lembaga pendidikan dengan lingkungan asrama yang baik akan dapat
meningkatkan kualitas hidup siswa yang belajar dan hidup.

C. Pembahasan

D. Kesimpulan
Perbedaan kualitas hidup antara siswa asrama dan siswa publik dipengaruhi oleh faktor
dukungan teman dan lingkungan sekolah. Kualitas hidup siswa asrama yang lebih tinggi di
Pondok Pesantren dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekolah atau gubuk-gubuk yang selalu
mempraktikkan nilai-nilai agama dan kebersamaan sesama siswa. Perubahan kualitas hidup
siswa sebagai remaja setelah bencana gempa bumi juga merupakan tantangan untuk selalu dapat
memberikan pencegahan yang menjadi faktor penting dalam fase pemulihan dan memiliki
dampak signifikan pada kesehatan mental jangka panjang.
E. Daftar pustaka

Anda mungkin juga menyukai