Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh Liberalisme dalam Kultur Pemikiran Nahdliyyin

Oleh Moch Soim

Nahdlatul Ulama (NU) adalah jamiyah yang didirikan oleh para kiai pengasuh pesantren di Indonesia.
Tujuan didirikannya NU di antaranya adalah: a) memelihara, melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islam Ahlusunnah wal-Jamaah dengan mengikuti pola madzhab empat: Imam
Hanafi, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali, b) mempersatukan langkah-langkah para ulama dan
pengikut-pengikutnya, dan c) melakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta martabat manusia. Demikian
latar belakang berdirinya NU dalam perspektif keorganisasian, seperti ditulis dalam mukaddimah Aswaja
An-Nadhiyyah halaman 1.

Sementara itu, berdirinya NU secara ideologis dan teologis juga tidak dapat dilepaskan dari keprihatinan
para kiai pesantren terhadap masuknya ajaran-ajaran non Ahlusunah wal-Jamaah ke Indonesia yang
mulai mengancam akidah umat. Hadlratusysyaikh KH. Mohammad Hasyim Asy’ari dalam kitabnya
Risalah Ahlus-Sunnah wal-Jamâ‘ah menyebutkan beberapa aliran yang mulai masuk dan menyerang
kaum Muslimin di Indonesia sejak tahun 1330 H. Di antaranya adalah aliran Wahhabi dan gerakan
pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha.

Tidak dapat dipungkiri bahwa liberalisme merupakan upaya westernisasi atau pembaratan ideologi dan
ajaran Islam. Liberalisme ini lahir dari rahim pemikiran Muhammad Abduh dan Wahhabi. Gerakan
pemikiran Wahhabi yang membuka kran ijtihad seluas-luasnya telah menghilangkan otoritas para ulama
mujtahid sejak generasi salaf dan diganti dengan otoritas ijtihad individu tanpa memenuhi kriteria dan
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh para ulama.

Sementara Muhammad Abduh, dengan pemikirannya yang cenderung toleran terhadap peradaban dan
pemikiran Barat telah melahirkan tokoh-tokoh liberal angkatan pertama dalam Islam pada abad 19
Masehi seperti Qasim Amin, Thaha Husain, Muhammad Husain Haikal, Ali Abdirraziq dan lain-lain.
Melalui tangan-tangan mereka, wacana pemikiran kaum orientalis Barat yang anti Islam mulai masuk ke
dalam ranah pemikiran intelektual Muslim yang belajar di Mesir sejak pertengahan abad 20 yang lalu.
Tak ayal apabila di kemudian hari, liberalisme juga menyerang ranah pemikiran kaum intelektual warga
Nahdliyyin, yang seharusnya menjadi benteng ASWAJA.

Bahtsul Masail

Di antara tradisi keilmuan NU yang memiliki otoritas di kalangan warga Nahdliyyin adalah tradisi Bahtsul
Masail (mengkaji berbagai persoalan dari perspektif hukum Islam). Bahtsul Masail adalah suatu upaya
bersama untuk mencarikan jawaban hukum Islam terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat.
Selama ini, di kalangan ulama Nahdliyyin ada yang dikenal dengan istilah al-Kutub al-Mu‘tabarah, yaitu
kitab-kitab yang dianggap otoritatif yang menjadi pedoman dan rujukan para ulama dalam keputusan
Bahtsul Masail. Sebagaimana dimaklumi, tradisi Bahtsul Masail lahir dari rahim tradisi keilmuan para kiai
pesantren ketika mereka belajar di Makkah al-Mukarromah, dan kemudian mereka bawa ke tanah air,
lalu dikembangkan dalam organisasi NU yang mereka dirikan.
NU mengadakan Bahtsul Masail sejak jamiyah ini didirikan. Dalam kitab Ahkâmul Fuqahâ’, atau buku
Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Hasil Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-
2004), dijelaskan bahwa Bahtsul Masail di dalam jamiyah Nahdlatul Ulama pertama kali diadakan pada
21 Oktober 1926 di Surabaya. Kini hasil-hasil keputusan Bahtsul Masail tersebut telah dibukukan secara
lengkap sejak Bahtsul Masail pertama hingga Bahtsul Masail Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di
Makassar, Sulawesi Seelatan pada tahuan lalu. Persoalan yang dikaji dalam tulisan ini adalah,
mungkinkah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dipengaruhi oleh pemikiran liberal?

Liberalisme Gender

Untuk mengkaji pertanyaan di atas, tentang sejauh mana masuknya pengaruh liberalisme dalam ranah
Bahtsul Masail di kalangan Nahdlatul Ulama, di sini akan dicoba mengetengahkan keputusan Bahtsul
Masail Nandlatul Ulama dari masa ke masa, hingga maraknya pemikiran liberal di tengah-tengah
intelektual kaum Nahdliyyin, dengan mengangkat persoalan gender, atau berkaitan dengan ahkâmun-
nisâ’, hukum-hukum yang berkaitan dengan kaum perempuan.

1. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-8, 12 Muharam 1352 H/7 Mei 1933 M.133.

Wanita Mendatangi Kegiatan Keagamaan

Soal: Bagaimana hukum para wanita yang keluar dari rumahnya dengan berpakaian rapi dan memakai
wangi-wangian mendatangi rapat-rapat keagamaan yang tidak termasuk fardhu ‘ain? Haram, makruh,
ataukah sunnat? (Gresik).

Jawab: Hukumnya haram apabila berkeyakinan mendapat fitnah, walaupun tidak berpakaian rapi dan
tidak memakai wangi-wangian, atau tidak diizinkan suaminya atau sayidnya, dan termasuk doa besar.
Apabila tidak yakin, tetapi menyangka adanya fitnah, maka haram tetapi dosa kecil… (Ahkâmul-Fuqahâ’,
hlm. 127).

2. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-10, 10 Muharam 1354 H/7 Mei 1935 M.160.

Munculnya Perempuan untuk Pidato Keagamaan

Soal: Bagaimana hukumnya orang perempuan berdiri di tengah-tengah lelaki lain untuk pidato
keagamaan? Boleh ataukah tidak? (Ponorogo).

Jawab: Muktamar memutuskan bahwa berdirinya orang perempuan di tengah-tengah lelaki lain itu
haram, kecuali kalau bisa sunyi dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat
dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jâ’iz) karena suara orang perempuan itu bukan termasuk
aurat menurut qaul ashah. (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 154).

3. Hasil Keputusan Muktamar NU ke-16, 26-29 Maret 1946 M.273.

Perempuan Berpakaian Seragam Tentara


Soal: Bagaimana hukumnya orang perempuan berpakaian uniform seperti T.R.I (Tentara Republik
Indonesia) dan sampai di mana batas-batas perjuangan kaum wanita dalam pertempuran?

Jawab: Perjuangan perempuan dalam soal jika perang itu telah menjadi fardhu ‘ain atas mereka
(perempuan), maka tidak ada batas, yakni sama dengan laki-laki, begitu juga tentang latihannya. Hanya
saja pasti di tempat yang tersendiri dari orang-orang laki-laki, sebagaimana mestinya. Mereka diwaktu
latihan atau berjuang, boleh beruniform tentara wanita untuk meringankan gerakannya, asal saja
pakaian unifrom itu menutup aurat… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 279).

4. Hasil Keputusan Rapat Dewan Partai NU, Jumadil Ula 1381 H/25 Oktober 1961 M.309.

Perempuan Menjadi Kepala Desa

Soal: Bagaimana hukumnya perempuan menjadi kepada desa? Bolehkah atau tidak? (Fraksi NU DPRGR
Pusat).

Jawab: Sebenarnya mencalonkan orang perempuan untuk pilihan Kepala Desa itu tidak boleh, kecuali
dalam keadaan memaksa, sebab disamakan dengan tidak bolehnya orang perempuan menjadi hakim.
Demikianlah menurut madzhab Syafii, Maliki, Hanbali dan yang dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf.
Tetapi madzhab Hanafi memperbolehkan dalam urusan harta benda. Sedangkan Imam Ibnu Jarir
memperbolehkan dalam segala urusan dari apa saja… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 127).

5. Keputusan MUNAS Alim Ulama, tahun 1418 H/1997 M di Lombok.

Kedudukan Wanita dalam Islam

Pengaruh kultur yang masih bersifat patrilinear dan kenyataan pada tingkat perbandingan proporsional
antara laki-laki dan wanita ditemukan bahwa laki-laki (karena kondisi, sosial dan budaya) memiliki
kelebihan atas wanita. (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 626).

Kedudukan wanita dalam proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam
masyarakat majemuk ini… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 627).

6. Keputusan Muktamar ke-30, 21-27 Nopember 1999

Islam dan Kesetaraan Gender

Terdapat tiga bidang yang menjadi halangan terciptanya “hubungan gender” yang lebih adil, yaitu
bidang yang berkaitan dengan teologi (pandangan keagamaan), kebudayaan dan politik. Di bidang
teologi, terdapat penafsiran keagamaan terhadap ayat atau Hadis yang tidak sesuai dengan prinsip
keadilan gender, sebaliknya malah bias laki-laki. Dalam penafsiran ini, perempuan didudukkan pada
posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Sumber penafsiran ini antara lain adalah kata “qawwâmûna”
dalam surat al-Nisa’ [4]: 34, serta Hadis “lan yufliha qaumun wallau amrahum imra’atan”. Kedua ayat
dan Hadis itu ditasirkan menurut referensi Islam yang menegaskan kedudukan laki-laki yang lebih tinggi
dari perempuan. Dari sudut penafsiran ini pula, terdapat pemahaman mengenai dua wilayah yang
terpisah antara laki-laki dan perempuan… (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 649). Untuk itu, maka diperlukan
langkah-langkah berikut:

1. Menafsirkan ulang beberapa nuktah dalam pemahaman keagamaan.

Karena adanya perkembangan dalam masyarakat yang menuntut terciptanya keadilan gender, maka
penafsiran kembali paham keagamaan yang bias laki-laki merupakan keharusan yang tak bisa dielakkan.
Dalam kaitan ini, beberapa hal harus dilakukan:

a) Menggunakan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis untuk memahami ayat alQur’an atau
Hadis yang berkaitan dengan soal gender. Penafsiran-penafsiran dalam khazanah fikih yang bias laki-laki
hendaknya dilihat sebagai cerminan dari kondisi sosial tertentu yang masih mendudukkan laki-laki pada
posisi dominan.

b) Sesuai dengan prinsip keadilan gender serta prinsip umum Islam mengenai keadilan, maka
diskriminasi atas perempuan dalam posisi publik tidak bisa dibenarkan. Kepemimpinan perempuan
merupakan hak yang dimiliki perempuan, serta dengan hak yang sama juga dimiliki laki-laki. Ayat
“qawwâmûna” dalam an-Nisa’ [4]: 34 hendaknya diletakkan dalam konteks hubungan domestik dalam
rumah tangga, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghalangi hak perempuan atas posisi-posisi
publik.

c) Penafsiran atas ayat al-Qur’an dan Hadis yang berhubungan dengan gender tidak hanya dianggap
sebagai bagian dari “agama” itu sendiri, tetapi memerlukan ijtihad yang kedudukannya adalah relatif,
dan tergantung pada perkembangan masyarakat yang terus berubah. (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 650-651).

d) Dibutuhkan penafsiran agama yang lebih sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan gender
untuk mengatasi diskriminasi atas perempuan di berbagai sektor kehidupan. (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm.
651).

2. Merombak praktik-praktik politik yang mendiskriminasikan perempuan. Dalam kaitan ini, hal-hal yang
harus dilakukan adalah:

a) Membangun sistem sosial dan politik yang demokratis dan bebas dari diskriminasi gender, dengan
mengedepankan lima prinsip berikut: (a) persamaan (musawah atau equality), (b) keadilan (‘adâlah atau
justice), (c) kebebasan (hurriyyah atau freedom). (Ahkâmul-Fuqahâ’, hlm. 652).

Apabila kita menyimak keputusan di atas, terjadi perubahan yang cukup radikal dalam kultur pemikiran
Nahdlatul Ulama dalam Bahtsul Masail, yang semula pada masa-masa kiai sepuh dahulu, sangat
konsisten dengan al-Kutub al-Mu‘tabarah, kitab-kitab salaf yang otoritatif, sehingga tanpa malu-malu
dan dengan sangat tegas para kiai sepuh mengharamkan kaum perempuan untuk sekedar menghadiri
rapat-rapat yang tidak fardhu ‘ain, berpidato di depan kaum lelaki, menjadi kepala desa dan sesamanya.

Kini, sejak tahun 1997, tepatnya sejak Munas Alim Ulama di Lombok, sedikit demi sedikit, Nahdlatul
Ulama melangkah dengan pasti menuju liberalisme pemikiran, dan puncaknya terjadi pada Muktamar
30 di Kediri, di mana dengan tanpa malu-malu, Muktamar Nahdlatul Ulama mengajak warga Nahdliyyin
untuk mengusung ajaran kesetaraan gender dan menafsir ulang teks-teks keagamaan dengan pemikiran
yang ditransfer dari Barat.

Pertanyaannya di sini adalah, mungkinkah keputusan Munas Alim Ulama di Lombok tahun 1997 dan
Muktamar di Lirboyo tahun 1999 itu diluruskan, direvisi dan dikembalikan ke hasil Bahstul Masail para
kiai sepuh yang konsisten dengan al-Kutub al-Mu‘tabarah? Wallâhu a‘lam.

DAFTAR PUSTAKA

http://sidogiri.net/index.php/artikel/view/265

Anda mungkin juga menyukai