Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat tradisional di Indonesia sangat besar peranannya dalam pelayanan kesehatan
masyarakat di Indonesia, sehingga obat tradisional sangat berpotensi untuk dikembangkan.
Indonesia kaya akan tanaman obat-obatan, yang mana masih belum dimanfaatkan secara
optimal untuk kesehatan. Indonesia diketahui memiliki keragaman hayati terbesar kedua di
dunia setelah Brasil (Notoatmodjo, 2007).
Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang perlu terus dilestarikan dan
dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan sekaligus untuk meningkatkan
perekonomian rakyat. Obat tradisional ini tentunya sudah diuji bertahun-tahun bahkan
berabad-abad sesuai dengan perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia, (Notoatmodjo,
2007).
Penelitian obat tradisional Indonesia mencakup penelitian obat herbal tunggal maupun
dalam bentuk ramuan. Jenis penelitian yang telah dilakukan selama ini meliputi penelitian
budidaya tanaman obat, analisis kandungan kimia, toksisitas, farmakodinamika, formulasi
dan uji klinik. Tanaman obat dan obat tradisional yang akan digunakan dalam pelayanan
kesehatan harus memenuhi persyaratan mutu dan memiliki bukti ilmiah atas khasiat dan
keamananya, merupakan ketentuan universal yang dimiliki hampir di setiap negara (Ardianto,
2011).
1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian


Bukti ilmiah terkait khasiat dan keamanan jamu melalui penelitian dan
pengembangan. Saintifikasi Jamu dipandang sebagai upaya terobosan untuk mempercepat
penelitian jamu pengobatan tradisional. Dan mengetahui rasionalisasi obat tradisional.
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Obat Tradisional


Obat Tradisional adalah obat yang dibuat dari bahan atau paduan bahan-bahan yang
diperoleh dari tanaman,hewan atau mineral yang belum berupa zat murni. Obat tradisional
adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan
mineral,sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Ditjen POM,1999).

Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dan bahan-bahan tersebut, yang
secara traditional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Hal ini sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990, tentang Izin Usaha
Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional. Perkembangan selanjutnya obat
tradisional kebanyakan berupa campuran yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sehingga
dikenal dengan obat herbal atau obat bahan alam Indonesia. Obat Herbal atau Obat Bahan
Alam Indonesia adalah obat tradisonal yang diproduksi oleh Indonesia dan berasal dari alam
atau produk tumbuhan obat Indonesia.
Bentuk obat tradisional yang banyak dijual dipasar dalam bentuk kapsul, serbuk, cair,
simplisia dan tablet, seperti gambar berikut ini :

Gambar 2.2 Bentuk Kemasan Obat Tradisional di Pasaran Bentuk-bentuk sediaan ini saat ini
sudah semakin aman dan terstandarisasi serta dikemas dengan baik untuk menjaga keamanan
dari sediaan atau produk sediaan atau simplisia tanaman obat tradisional tersebut seperti
gambar berikut ini:
2.2 Pengembangan Obat Tradisional atau Obat Bahan Alam Indonesia
Pemeliharaan & Pengembangan Pengobatan tradisional sebagai warisan budaya
bangsa (ETNOMEDISINE) terus ditingkatkan dan didorong pengembangannya melalui
penggalian, penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan termasuk
budidaya tanaman obat tradisional yang secara medis dapat dipertanggungjawabkan Dalam
hal ini dapat di formulasikan menjadi 5 hal fokok yang harus diperhatikan yaitu:
1. Etnomedicine,
2. Agroindustri tanaman obat,
3. Iftek kefarmasian dan kedokteran,
4. Teknologi kimia dan proses,
5. Pembinaan dan pengawasan produksi atau pemasaran bahan dan produk obat tradisional.
ETNOMEDICINE Etnomdisine merupakan warisan turun temurun dari nenek
moyang yang harus dikembangkan, dikaji secara ilmiah dan dicatat /didokumentasikan sebaik
mungkin sebelum mengalami kepunahan atau hilang. Adapun Etnomedicine yang digunakan
sebagai acuan adalah :
1. Cabe Puyang warisan nenek moyang,
2. Ayur weda,
3. Usada Bali,
4. Atlas tumbuhan obat Indonesia (Dalimarta),
5. Tumbuhan Obat Indonesia (Hembing), dan
6. Tumbuhan Berguna Indonesia (Heyne). Pengobatan tradisional banyak disebut sebagai
pengobatan alternatif.
Menurut pendapat Organisasi Kesehatan Dunia (W.H.O) ada bareneka-macam jenis
pengobatan tradisional yang bisa dibedakan lewat hal cara-caranya. Perbedaan ini dijelaskan
sebagai terapi yang „berdasarkan cara-cara‟ seperti terapi spiritual atau metafisik yang terkait
hal gaib atau terapi dengan ramuan atau racikan. Jenis terapi yang kedua „berdasarkan obat-
obatan‟ seperti jamu dan pengobatan herbal.
Pengobatan alternative adalah pengobatan pengganti yang dicari orang ketika
pengobatan modern tidak mampu menangani seluruh masalah kesehatan. Menurut buku
„Spiritual Healing‟ disebutkan bahwa ditengarai hanya sekitar 20% penyakit saja yang bisa
ditangani melalui pengobatan modern sisanya belum diketahui obatnya, karena itulah maka
pengobatan alternatif menjadi pilihan kembali karena manusia membutuhkan jawaban atas
obatnya.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan dan Instansi terkait mengupayakan
pembangunan berkelanjutan di bidang kesehatan khususnya dalam hal obat tradisional atau
obat bahan alam Indonesia perlu dikembangkan secara tepat sehingga dapat dimanfaatkan
pada pelayanan kesehatan masyarakat yang baik dan benar.
Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990, tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan
Pendaftaran Obat Tradisional, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.760/MENKES/PER/IX/1992 tentang Fitofarmaka, UU RI No. 23 tahun 1992,
pengamanan terhadap obat tradisional dimana penjabaran dan Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor: HK.00.05.4-2411 tang-gal 17 Mei
2004 tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan alam Indonesia.
Dalam Keputusan Kepala Badan POM yang dimaksud dengan Obat Bahan Alam
Indonesia adalah Obat Bahan Alam yang diproduksi di Indonesia. Selanjutnya disebutkan
dalam Keputusan Kepala Badan POM tersebut, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim
penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan
secara berjenjang menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Jamu;
2. Obat Herbal Terstandar;
3. Fitofarmaka.

 Jamu
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam
bentuk serbuk seduhan atau cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi
penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat
dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat
yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 – 10 macam bahkan lebih. Golongan ini
tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti
empiris. Jamu yang telah digunakan secara turunmenurun selama berpuluh-puluh tahun
bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung
untuk tujuan kesehatan tertentu.
Jamu bisa diartikan sebagai obat tradisional yang disediakan secara tradisional,
tersedia dalam bentuk seduhan, pil maupun larutan. Pada umumnya, jamu dibuat berdasarkan
resep turun temurund dan tidak melalui proses seperti fitofarmaka. Jamu harus memenuhi
beberapa kriteria, yaitu:

 Aman
 Klaim khasiat berdasarkan data empiris (pengalaman)
 Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku

Sebuah ramuan disebut jamu jika telah digunakan masyarakat melewati 3 generasi.
Artinya bila umur satu generasi rata-rata 60 tahun, sebuah ramuan disebut jamu jika bertahan
minimal 180 tahun. Inilah yang membedakan dengan fitofarmaka, dimana pembuktian
khasiat tersebut baru sebatas pengalaman, selama belum ada penelitian ilmiah. Jamu dapat
dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar atau fitofarmaka dengan syarat bentuk
sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses pembuatan yang terstandarisasi.
 Obat Herbal Terstandar (OHT)
Obat Herbal Terstandar (OHT) juga tidak sama dengan fitofarmaka. Obat Herbal
Terstandar (OHT) adalah obat tradisional yang berasal dari ekstrak bahan tumbuhan, hewan
maupun mineral. Perlu dilakukan uji pra-klinik untuk pembuktian ilmiah mengenai standar
kandungan bahan yang berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat, standar
pembuatan obat yang higienis dan uji toksisitas akut maupun kronis seperti halnya
fitofarmaka.Dalam proses pembuatannya, OHT memerlukan peralatan yang lebih kompleks
dan berharga mahal serta memerlukan tenaga kerja dengan pengetahuan dan keterampilan
pembuatan ekstrak, yang hal tersebut juga diberlakukan sama pada fitofarmaka. Obat Herbal
dapat dikatakan sebagai Obat Herbal Terstandarisasi bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Aman
2. Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik
3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
4. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
Indonesia telah meiliki atau memproduksi sendiri OHT dan telah telah beredar di
masyarakat 17 produk OHT, seperti misalnya diapet®, lelap®, kiranti®, dll. Sebuah herbal
terstandar dapat dinaikkan kelasnya menjadi fitofarmaka setelah melalui uji klinis pada
manusia.
 Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan jenis obat tradisionalyang dapat disejajarkan dengan obat
modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar dan khasiatnya telah dibuktikan
melalui uji klinis. Fitofarmaka dapat diartikan sebagai sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji klinis bahan
baku serta produk jadinya telah di standarisir (BPOM. RI., 2004 ).
Ketiga golongan atau kelompok obat tradisional tersebut di atas, fitofarmaka
menempati level paling atas dari segi kualitas dan keamanan. Hal ini disebabkan oleh karena
fitofarmaka telah melalui proses penelitian yang sangat panjang serta uji klinis yang detail,
pada manusia sehingga fitofarmaka termasuk dalam jenis golongan obat herbal yang telah
memiliki kesetaraan dengan obat, karena telah memiliki clinical evidence dan siap di
resepkan oleh dokter. Obat Herbal dapat dikatakan sebagai fitofarmaka apabila obat herbal
tersebut telah memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Aman
2. Klaim khasiat secara ilmiah, melalui uji pra-klinik dan klinik
3. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
4. Telah dilakukan standardisasi bahanbakuyang digunakan dalam produk jadi.
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya
telah di standarisasi. Pada dasarnya sediaan fitofarmaka mirip dengan sediaan jamu-jamuan
karena juga berasal dari bahan-bahan alami, meskipun demikian jenis sediaan obat ini masih
belum begitu populer di kalangan masyarakat, dibandingkan jamu-jamuan dan herba
terstandar. Khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya dan efektif daripada
sediaan jamu-jamuan biasa, karena telah memiliki dasar ilmiah yang jelas, Dengan kata lain
fitofarmaka menurut ilmu pengobatan merupakan sediaan jamu-jamuan yang telah tersentuh
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
2.3 Peraturan Perundang-undangan dalam Obat Tradisional
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan dan Instansi terkait selalu
mengawasi pengembangan Obat Traddisional mulai dari bahan baku, proses pembuatan,
proses pengemasan dan pemasarannya agar masyarakat terhindar dari efek negatif Obat
Tradisional dengan mengeluarkan Peraturan Perundangundangan baik itu berupa UU, PP dan
Intruksi atau Keputusan Bersama diantaranya yaitu :
1. RENSTRA Kementrian Kesehatan RI dengan PP 17/1986 tentang Kewenangan
Pengaturan Obat Tradisional di Indonesia
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 246/Menkes/Per/V/1990, Izin Usaha Industri
Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional
3. Undang Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 760/MENKES/PER/IX/1992 tentang Fitofarmaka
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 761/MENKES/PER/IX/1992 tentang Pedoman
Fitofarmaka
6. GBHN 1993 tentang Pemeliharaan & Pengembangan Pengobatan tradisional sebagai
warisan budaya bangsa (ETNOMEDISINE).
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat
Tradisional
8. PP No. 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
9. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 56/Menkes/SK/I/2000 tentang Pedoman
Pelaksanaaan Uji Klinik Obat Tradisional.
10. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/PER/VI/2000 tentang Pengertian
Obat Tradisional
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 381/2007 tentang Kebijakan Obat
Tradisional Nasional (KONTRANAS)
12. Undang Undang No.36/2009 tentang Kesehatan Pengobatan Tradisional
13. Peraturan Pemerintah RI No. 51/2009 tentang Sediaan Farmasi : obat (modern/sintetik),
bahan obat, obat tradisional dan kosmetik
14. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/2010 tentang Saintifikasi Jamu
15. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 88/2013 tentang Rencana Induk Pengembangan
Bahan Baku Obat Tradisional.
Untuk menjalankan program Saintifikasi Jamu tersebut, berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1334 tahun 2010 dibentuklah Komisi Nasional Saintifikasi Jamu
(Komnas SJ). Tugas dan wewenang Komnas SJ adalah:
a) Membina pelaksanaan Saintifi kasi Jamu
b) Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu
c) Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan saintifikasi jamu
(metodologi penelitian jamu)
d) Mengusulkan kepada Kepala Badan Litbangkes bahan jamu, khususnya segi budi
daya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan, yang layak digunakan untuk
penelitian
e) Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta
organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang
produksi jamu
f) Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek penelitiannya
g) Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifi kasi jamu
h) Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik, hukum
dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang memerlukannya
i) Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen, penentuan
dan pelaksanaan silabus dan kurikulum serta sertifi kasi kompetensi
j) Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian pelayanan termasuk
perpindahan metode/upaya antara kuratif dan non kuratif hasil penelitian pelayanan
praktik/ klinik jamu
k) Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan
rujukan pelayanan jamu kepada Menteri melalui Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
l) Membina Komisi Daerah Saintifikasi Jamu di Provinsi atau Kabupaten/Kota
m) Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program Saintifikasi Jamu
kepada Menteri.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa tujuan program Saintifikasi Jamu adalah


menyediakan bukti ilmiah tentang manfaat dan keamanan jamu, khususnya terkait dengan
penggunaan jamu untuk komunitas. Sudah disadari banyak pihak, bahwa Jamu secara
turun temurun sudah digunakan untuk memelihara kesehatan dan mengobati penyakit,
namun belum didukung bukti ilmiah yang terstruktur terkait khasiat dan keamanannya.
Juga sudah diuraikan di depan bahwa pengobatan tradisional termasuk Jamu,
menggunakan paradigma naturalistik, yang mengobati pasien sebagai pribadi yang utuh
(body-mind-spirit), dan berusaha memperbaiki ketidakseimbangan fisik, mental, spiritual,
dan lingkungan secara simultan. Dengan demikian, penelitian dan pengembangan Jamu
haruslah berbeda dengan penelitian dan pengembangan obat modern.
Obat modern dikembangkan melalui pencarian dan identifikasi senyawa kimia baru
yang belum pernah digunakan pada manusia. Oleh karena itu, tahapan pengembangan obat
baru selalu dimulai dengan pencarian senyawa baru yang berpotensi obat, kemudian
dilakukan uji pre-klinik (uji in-vitro dan uji in-vivo mencari profil farmakokinetik,
farmakodinamik, dan toksisitas), barulah kemudian diujikan pada manusia melalui
berbagai tahapan uji klinik, yakni uji klinik fase 1, fase 2, dan fase 3. Uji klinik fase 1
pada dasarnya bertujuan untuk melihat profil farmakologis (farmakokinetik dan
farmakodinamik) dan toksisitas pada manusia (human pharmacology and toxicity). Uji
klinik fase 2 bertujuan untuk melihat efek terapeutik awal dan keamanan (therapeutic
exploratory). Uji klinik fase 3 bertujuan untuk melihat efektivitas dan keamanan
(therapeutic confirmatory) (Lee et al, 2006). Setelah uji klinik fase 3 menunjukkan
efektivitas yang baik untuk indikasi tertentu dan aman, barulah obat dapat dipasarkan
(dengan persetujuan Badan POM). Dengan kata lain, untuk jamu turun temurun boleh
dikatakan aman untuk digunakan. Oleh karena itu, tahapan uji klinik jamu turun temurun
dibedakan dengan formula jamu baru. Saintifikasi Jamu mengusulkan tahapan pembuktian
manfaat dan keamanan jamu baik untuk formula turun temurun maupun formula baru
adalah sebagaimana Gambar 2.
Guna mendapatkan data dasar tentang jenis tanaman, ramuan tradisional, dan
kegunaan ramuan tersebut, tahap pertama penelitian dalam program Saintifikasi Jamu
adalah dengan melakukan studi etnomedisin dan etnofarmakologi pada kelompok etnis
masyarakat tertentu. Dari studi etnomedisin dan etnofarmakologi ini diharapkan dapat
diidentifikasi jenis tanaman, bagian tanaman yang digunakan,
ramuan tradisional yang dipakai, serta indikasi dari tiap tanaman maupun ramuan,
baik untuk tujuan pemeliharaan kesehatan maupun pengobatan penyakit. Data dasar
ini menjadi sangat penting sebagai “bahan dasar” pembuktian ilmiah lebih lanjut.

Data dasar hasil studi etnomedisin dan etnofarmakologi ini tentunya perlu
dikaji oleh para ahli farmakologi herbal untuk dilakukan skrining guna ditetapkan
jenis tanaman dan jenis ramuan yang potensial untuk dilakukan uji manfaat dan
keamanan. Untuk formula yang sudah turun temurun dan terbukti aman, maka dapat
langsung pada tahap uji klinik fase 2 (WHO-TDR, 2005). Komnas SJ sepakat untuk
uji klinik fase 2 dalam rangka melihat efikasi awal dan keamanan, cukup
menggunakan pre-post test design (tanpa pembanding). Apabila pada uji klinik fase 2
membuktikan efikasi awal yang baik, maka dapat dilanjutkan uji klinik fase 3, untuk
melihat efektivitas dan keamanannya pada sampel yang lebih besar, pada target
populasi yang sebenarnya. Desain uji klinik fase 3 Jamu ini sebaiknya menggunakan
randomized trial meski tanpa ketersamaran (open label randomized trial). Sebagai
pembanding (kontrol) bisa menggunakan obat standar bila Jamu dipakai sebagai
terapi alternatif, atau Jamu on-top (sebagai terapi tambahan) pada obat standar, bila
Jamu dipakai sebagai terapi komplementer. Hasil akhir uji klinik Saintifikasi Jamu
adalah Jamu Saintifik, yang menunjukkan bahwa Jamu uji mempunyai nilai manfaat
dan terbukti aman. Apabila perusahaan farmasi akan mengembangkan Jamu Saintifik
menjadi produk fitofarmaka, maka perusahaan farmasi berkewajiban untuk mengikuti
tahapan pengembangan fitofarmaka sesuai dengan peraturan yang berlaku. Untuk
formula jamu baru (bukan turun-temurun), maka tahapan uji klinik sebagaimana obat
modern tetap harus diberlakukan, yakni uji pre-klinik, uji klinik fase 1, fase 2, dan
fase 3. Namun demikian, uji untuk melihat profil farmakokinetik (absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi) tidak perlu dilakukan, baik pada uji pre-klinik maupun uji
klinik fase 1. Hal ini dikarenakan ramuan jamu berisi banyak zat kimia (bisa ratusan)
sehingga tidak mungkin untuk melacak absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
semua komponen zat kimia tersebut dalam tubuh hewan coba maupun tubuh manusia
(WHO-TDR, 2005).
Dengan demikian, untuk formula baru yang belum diketahui profil
keamanannya, maka harus dilakukan tahapan uji klinik yang runtut, mulai uji pre-
klinik, uji klinik fase 1, uji klinik fase 2, dan uji klinik fase 3. Bila uji klinik fase 3
menunjukkan efektivitas yang memadai dan aman, maka formula tersebut dapat
digunakan di pelayanan kesehatan formal. Bentuk sediaan yang dapat dipakai sebagai
bahan uji pada program Saintifikasi Jamu adalah jamu tradisional, ramuan simplisia
kering (untuk dijadikan jamu “godhogan”), Obat Herbal Terstandar, ekstrak dalam
bentuk tanaman tunggal, campuran ekstrak tanaman, dan bentuk sediaan lainnya,
yang tujuan akhirnya adalah untuk mendapatkan bukti ilmiah tentang manfaat dan
keamanan jamu, baik untuk tujuan promotif, preventif, kuratif, paliatif, maupun
rehabilitatif.

2.4 Rasionalisasi Obat Tradisional


Penggunaan obat herbal dalam dunia kedokteran semakin terlihat nyata, produsen dan
peneliti kefarmasian semakin bersemangat untuk menemukan khasiat dan zat murni obat baru
yang berasal dari herbal. Sediaan obat herbal pun dibuat semakin exclusive dan menarik,
sehingga layak jika digunakan sebagai terapi modern yang tepat sasaran.Masyarakat dan
medis mulai melirik kebaradaan obat herbal karena adanya kepercayaan obat herbal lebih
aman karena telah terbukti kemanannya selama bertahun-tahun. Selain itu juga disebabkan
karena adanya keputusasaan terhadap penggunaan obat modern yang tidak didapatkan efek
yang diinginkan, bahkan tidak jarang menimbulkan permasalahan yang baru.
Penelitian obat herbal mempunyai peran yang sangat besar untuk menentukan
ketepatan penggunaan suatu sediaan. Hasil uji penelitian merupakan bukti ilmiah yang dapat
digunakan sebagai dasar terapi. Meskipun demikian sebelum memberikan terapi herbal
sebaiknya dokter meresepkan dengan beberapa pertimbangan.
Berdasarkan fungsinya tujuan terapi herbal dibagi menjadi dua, yaitu :

1.    TERAPI KOMPLEMENTER
Terapi komplementer merupakan terapi herbal yang digunakan sebagai terapi penyerta yang
mendukung terapi primer, tanpa mengubah fungsi obat kimia sebagai terapi utama pasien.
Biasanya digunakan untuk terapi yang membutuhkan tambahan obat untuk tercapai hasil
yang diharapkan.

2.    TERAPI ALTERNATIF


Terapi alternatif merupakan terapi herbal yang digunakan sebagai pengganti terapi primer.
Biasanya sering digunakan untuk mengatasi gangguan penyakit kronis.
Pada akhirnya dari berbagai macam pengalaman dan penelitian dapat difahami bahwa
obat herbal  secara signifikan semakin memberikan manfaat dalam dunia pengobatan. Obat
herbal tidak lagi dianggap sebelah mata sebagai obat kuno, tetapi mampu disejajarkan dengan
obat modern. Perlu dukungan dari berbagai pihak agar terapi herbal dapat dikembangkan
sebagai warisan kekayaan Indonesia.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari tulisan terkait program Saintifikasi Jamu ini dapat kita simpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Jamu, sebagai obat tradisional asli Indonesia, telah digunakan secara turun
temurun oleh nenek moyang bangsa Indonesia dari generasi ke generasi dan
dirasakan manfaatnya baik untuk memelihara kesehatan maupun mengobati
penyakit, namun belum mempunyai bukti ilmiah yang kokoh terkait khasiat dan
keamanannya.
2. Terdapat tuntutan yang semakin kuat agar modalitas jamu dapat digunakan dan
diintegrasikan dalam sistem pelayanan kesehatan formal.
3. Saintifi kasi Jamu adalah upaya terobosan dalam rangka mempercepat
penelitian di sisi hilir, yakni pengujian terkait manfaat dan keamanan jamu untuk
upaya promotif, preventif, kuratif, paliatif, dan rehabilitatif, dengan membentuk
jejaring dokter yang mampu melaksanakan penelitian berbasis pelayanan.
4. Saintifi kasi Jamu berupaya mengembangkan Body of Knowledge sistem
Pengobatan Tradisional Indonesia (termasuk jamulogi) ke arah kedokteran
integratif dengan pendekatan terapi secara holistik.
5. Metodologi penelitian Saintifikasi Jamu dalam menguji manfaat dan keamanan
jamu menggunakan pendekatan holistik, sehingga luaran klinis tidak saja diukur
dengan ukuran objektif (hasil laboratorium dan pengukuran) namun juga dengan
ukuran subjektif (self-responded outcome, skor penyakit, dan kualitas hidup).
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai