Anda di halaman 1dari 25

SPIRITUAL LEADER:

Islamic Character Building Melalui


Program Budaya Sekolah Respect and Responsibility
di SDI Raudlatul Jannah

Disusun sebagai aplikasi dari Materi Spritual Leader


pada Pendidikan dan Pelatihan Calon Kepala Sekolah Angkatan ke – 2
Di Pusdiklat Al Hikmah Surabaya
Periode : 10 Oktober 2015 – 13 Februari 2016

NAMA : REPI SUYANTI, S.Pd.M.Pd.I


NO. PESERTA : 002-02-014
UNIT KERJA : SDI RAUDLATUL JANNAH SIDOARJO
PERGURUAN ISLAM RAUDLATUL JANNAH

PROGRAM PENYIAPAN CALON KEPALA SEKOLAH


KERJA SAMA PUSDIKLAT AL HIKMAH
DENGAN LPPKS INDONESIA
2016

PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa makalah Spiritual Leader ini beserta seluruh isinya
adalah benar-benar karya saya sendiri. Tidak ada bagian di dalamnya yang
merupakan plagiat dari karya orang lain dan saya tidak melakukan penjiplakan
atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan
yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap
menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian
ditemukan adanya pelanggaraan terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini,
atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Surabaya, 20 Januari 2016


Yang membuat pernyataan,

Repi Suyanti, S.Pd.M.Pd.I


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmad
dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat melaksanakan tugas pembuatan makalah
Spiritual Leader dengan judul Islamic Character Building Melalui Program Budaya
Sekolah Respect and Responsibility di SDI Raudlatul Jannah
Tugas ini dibuat penulis dengan tujuan agar menjadi program pengembangan
sekolah dalam mengantarkan siswa siswinya menjadi generasi yang dicintai oleh
Allah SWT. Pengambilan judul ini berangkat dari keprihatinan penulis akan semakin
rusaknya generasi muda dikarenakan kurangnya filter atas budaya-budaya yang tidak
Islami. Sehingga dengan adanya implementasi dari makalah ini, setidaknya ada
langkah/tindakan yang dapat mencegah generasi muda khususnya generasi Islam dari
kerusakan moral.
Kesempurnaan hanya Milik Allah, makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik senantiasa penulis harapkan untuk pembuatan makalah
selanjutnya. Semoga hasil makalah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat
untuk banyak pihak.
Sidoarjo, 9 Januari 2016

Penulis

Ucapan Terima Kasih


Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmad
dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat melaksanakan tugas pembuatan makalah
Spiritual Leader dengan judul Islamic Character Building Melalui Program Budaya
Sekolah Respect and Responsibility di SDI Raudlatul Jannah Waru Sidoarjo.
Alhamdulillah, tugas makalah spiritual Leadership ini dapat diselesaikan
dengan tepat waktu yang tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang
telah membantu memberikan bimbingan dan saran. Untuk itu dalam kesempatan ini,
peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-sebenarnya kepada:
1. Ustadz H. Nur Hidayat, M.M selaku Ketua Perguruan Islam Raudlatul Jannah
2. Ustadz Edi Kuntjoro, M.Pd selaku Ketua Pusdiklat Al Hikmah Surabaya
3. Sahabat terbaikku Alm. Ustadz Nur Kholiq, mantan Waka bidang Sarpras SDI
Raudlatul Jannag yang telah memberikan semangat dan inspirasi untuk
menyelesaikan semua tugas pada diklat LP2KS ini dengan baik. Semoga Allah
berimu tempat terbaik di sisiNya. Amin.
4. Teman-teman guru dan karyawan SDI Raudlatul Jannah yang menjadi inspirasi
dan selalu menyemangati.
5. Suami dan putriku tercinta, terima kasih atas motivasi dan dukungannya
sehingga penulis lebih semangat mengerjakan tugas ini.
6. Seluruh pihak yang membantu terlaksananya penulisan makalah ini.
Kesempurnaan hanya Milik Allah, makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu saran dan kritik senantiasa penulis harapkan untuk pembuatan makalah
selanjutnya. Semoga hasil makalah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat
untuk banyak pihak.

Sidoarjo, 09 Januari 2016


Penulis,

Repi Suyanti, S.Pd. M.Pd.I


DAFTAR ISI

Surat Pernyataan i
Kata Pengantar ii
Ucapan Terima Kasih iii
Daftar Isi iv
Daftar Tabel / Grafik v
Daftar Gambar vi

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Program Pengembangan Sekolah
D. Manfaat Program Pengambangan Sekolah
E. Kerangka Pikir Program Pengembangan Sekolah
F. Lokasi Program Pengembangan Sekolah
------pembatas halaman-----
BAB II KAJIAN PUSTAKA Spritual Leader
------pembatas halaman-----
BAB III PROGRAM PENGEMBANGAN SEKOLAH
A. Desain Program Pengembangan Sekolah
B. Langkah – Langkah Program Pengembangan Sekolah
C. Strategi Implementasi Program Pengembangan Sekolah
D. Indikator Keberhasilan
E. Faktor Pendukung Keberhasilan Program
------pembatas halaman-----
BAB IV APLIKASI PROGRAM
A. Rencana Jadwal dan Kalender Pelaksanaan Program Pengembangan Sekolah
B. Anggaran Biaya Pelaksanaan Program Pengembangan Sekolah
C. Sumber Daya Manusia yang Terlibat
D. Sarana dan Prasarana
------pembatas halaman-----
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
B. Rekomendasi
------pembatas halaman-----
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENYUSUN (dibuat narasi beserta foto)
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Konsep Dasar Pendidikan Karakter Islami adalah :
 Pengertian dan Tujuan
 Dasar pembentukan karakter manusia
 Urgensi pembentukan karakter bangsa
 Urgensi pembentukan karakter Islami

Apa Itu Karakter?

Karakter secara harfiyah berasal dari bahasa Latin “character”, yang berarti: watak,
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.

Secara istilah karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya di mana
manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri.
Jadi karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas
seseorang atau sekelompok orang.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan


Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat-istiadat.

Karakter = akhlak dan budi pekerti. Karakter bangsa identik dengan akhlak
bangsa/budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak
dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang
tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang
baik.

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah penanaman nilai esensial dengan  pembelajaran dan


pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami,
dan mengintegrasikan nilai yang menjadi core values ke dalam kepribadiannya.
Pendidikan karakter dalam grand desain pendidikan karakter, adalah proses
pembudayaan dan pemberdayaan nilai-nilai luhur dalam lingkungan satuan
pendidikan (sekolah), lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat

Pendidikan karakter dalam Islam dapat dipahami sebagai upaya penanaman


kecerdasan kepada anak didik dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jati dirinya, diwujudkan dalam interaksi
dengan Tuhannya, diri sendiri, antarsesama, dan lingkungannya sebagai manifestasi
hamba dan khalifah Allah

Manifestasi hamba dan khalifah-Nya

Sesuai dengan al-Dhariyat (51): 56; al-Bayyinah (98): 5;dan al-Baqarah (2): 30.
Maka hanya orang yang bertakwalah yang mampu menunjukkan sebagai pribadi
hamba dan khalifah Allah.
Jadi, tujuan pendidikan karakter Islami: menjadikan anak didik sebagai hamba dan
khalifah Allah yang berkualitas taqwa. Pekerjaan atau aktifitas taqwa meliputi semua
bidang mulai dari keyakinan hidup, ibadah, moralitas, aktifitas interaksi sosial, cara
berfikir, hingga gaya hidup.

Indikator orang berkualitas taqwa menurut al-Qur’an:


1.    Memiliki keyakinan yang membara dan kuat bahwa Allah berkuasa atas segala
sesuatu (QS. 2: 3)
2.    Memiliki perspektif jangka panjang. Kebiasaan memandang jauh ke depan sehingga
menjadi pribadi yang proaktif (QS. 59: 18)
3.    Memiliki obsesi dan cita-cita yang sangat tinggi. Berambisi menjadi orang yang
berilmu dan berharta untuk didayagunakan di jalan kebaikan untuk mencapi ridho
Allah (QS. 2: 218)
4.    Mempunyai speed dalam berprestasi; selalu mengejar mutu pada semua aspek
kepribadian; keunggulan dan kesempurnaan selalu menjadi standar dalam
meningkatkan kualitas diri, sehingga peluang besar menuju kesuksesan akan dapat
diraih (QS. 3: 153; QS. 5: 48)
5.    Selalu berobsesi menjadi yang terdepan. Siap memasuki medan kompetisi dalam
kebaikan secara sehat dan konstruktif. Dunia dijadikan sarana mengabdi dan
mendekat kepada Allah dan berbuat amal kebaikan kepada sesama. Orang yang
bertaqwa tidak layak bekerja, berusaha, berprestasi seadanya, tanpa greget, tanpa
target, dan tanpa kualitas unggul (QS. 5: 48; QS. 23: 61)
6.    Waktu-waktunya efektif dan produktif; membiasakan bekerja dengan tingkat
efesiensi, efektifitas, dan produktifitas tinggi. Meninggalkan segalaperkataan dan
tindakan yang tidak bermanfaat (QS. 23: 1 dan 3)
7.    Memiliki semangat kolektif dan kolaboratif. Kebersamaan, sinergi, dan harmoni
menjadi watak kehidupan sebagaimana alam ini diciptakan. Mewujudkan
keunggulan dalam kebaikan akan mudah diraih dengan kemampuan bekerjasama dan
tolong menolong dengan sesama (QS. 5: 3)

Dasar Pembentukan Karakter

Sifat dasar manusia yang diberikan Allah adalah sifat fujur (cenderung kepada
keburukan/kefasikan) dan sifat taqwa (cenderung kepada kebaikan), sebagaimana
QS. Al-Shams, 91: 7-8. kedua sifat inilah yang menjadi dasar pembentukan karakter
(nilai baik atau buruk). Nilai baik disimbolkan dengan nilai malaikat dan nilai buruk
disimbolkan dengan nilai setan. Karakter manusia adalah hasil tarik menarik antara
kedua nilai tersebut dalam bentuk energi positif dan negatif.

Energi positif berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan terhadap
Tuhan, sebaliknya energi negatif berupa nilai-nilai a moral yang bersumber dari
taghut (setan). Nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, penyucian dan
pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani).

Energi Positif, berupa:


1.    Kekuatan spiritual; iman, islam, ihsan, dan taqwa untuk mencapai ahsani taqwim
(makhluq etis dan kemanusiaannya yang hakiki)
2.    Kekuatan kemanusiaan positif; aqlu as-salim, qalbun salim, qalbun munib (hati yang
kembali, bersih, suci dari dosa), dan nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang).
Kesemuanya merupakan modal insani/SDM yang memiliki kekuatan luar biasa.
3.    Sikap dan perilaku etis (merupakan implementasi dari kekuatan spiritual dan
kepribadian manusia, berupa; istiqamah (integritas), ihlas, jihad, dan amal salih.

Energi positif ini dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter,
yi orang yang bertaqwa, berintegritas (nafsu mutmainnah), dan beramal shalih.
Aktualisasi orang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlaq
yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity
(kecakapan), dan competency yang bagus pula (profesional)

Energi Negatif; disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thaghut


(nilai-nilai destruktif) yang fungsinya sebagai pembusukan dan penggelapan nilai-
nilai kemanusiaan. Berupa:
1.    Kekuatan taghut; kufr, munafiq, fasik, dan shirik. Kekuatan yang menjauhkan
manusia dari ahsani taqwim menjadi makhluk yang serba material (asfala safilin)
2.    Kekuatan kemanusiaan negatif; pikiran jahiliyyah (pikiran sehat), qalbun marid (hati
sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (mati, tidak bernurani), dan nafsu al-lawwamah,
yang menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, seks,
dan kekuasaan (taghut).
3.    Sikap dan perilaku tidak etis (implementasi kedua kekuatan yang dapat melahirkan
konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya busuk. Meliputi: takabbur, hubb
ad-dunya (materialistik), zalim, dan a’mal as-sayyi`at (destruktif)

Akan melahirkan pribadi berkarakter buruk, yang puncak keburukannya meliputi


shirik, nafs lawwamah, dan a’mal sayyiat. Aktualisasinya melahirkan perilaku
tercela, yi orang yang berkepribadian tidak bagus (hipokrit, penghianat, dan
pengecut) dan tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.

Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa


1.    Memudarnya nasionalisme dan jati diri bangsa
2.    Merosotnya harkat dan martabat bangsa
3.    Mentalitas bangsa yang buruk
4.    Krisis multidimensional
5.    Degradasi moral perusak karakter bangsa

Memudarnya nasionalisme dan jati diri bangsa


Nasionalisme:  cinta tanah air, bangsa, dan negara; rela berjuang dan berkorban
untuk kejayaannya; ada heroisme, altruisme dan patriotisme; mengesampingkan
individualisme, hedonisme, dan sparatisme.

Indikator:
1.    Berkembangnya individualisme, hedonisme, terorisme dan sparatisme;
2.    untuk berebut menjadi pejabat/PNS/dll harus menyuap (bukan abdi negara, tapi
penghianat, bukan pejuang tapi pecundang);
3.    munculnya sparatisme, terorisme, dan berkembangnya ideologi trans-nasional yang
mengingkari paham kebangsaan, cinta tanah air dan negara;
4.    enggan memakai produksi dalam negeri.

Merosotnya harkat dan martabat bangsa


Indonesia sejatinya bangsa dan negara besar serta berpredikat positif, namun semua
itu sirna karena predikat baru yang negatif seperti terkorup, bangsa yang soft nation,
malas, sarang teroris, hilang keramah-tamahannya, banyak kerusuhan, banyak
bencana, dls.

Fenomena lain: “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa” atau menjadi
bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”. Faktanya, Indonesia
negara pengekspor kuli/babu/tenaga kasar/unskill terbesar (mendatangkan devisa,
tapi madharatnya lebih besar)

Mentalitas bangsa yang buruk

Indonesia memiliki modal/kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan
negara yang kuat; luas wilayah,jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya,
kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang
demokratis. Namun semua itu tak akan ada arti jika mentalitas bangsanya belum
terbangun dan belum berubah ke arah yang lebih baik. Mentalitas penghambat
tersebut di antaranya: malas, tidak disiplin, suka melanggar aturan, aji mumpung,
suka menerabas, dan nepotisme.

Media yang ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah pendidikan dan
keyakinan agama. Pendidikan? Pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-
sungguh dan sepenuh hati, bukan sekedar formalitas atau kepura-puraan. Pendidikan
agama yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar dan
akhlakul karimah, niscaya menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu
yang bermanfaat dengan amal shalihnya.

Krisis multidimensional

Permasalahan Indonesia: konflik sosial, sering mengedepankan kekerasan dalam


memecahkan masalah, praktik korupsi yang semakin canggih dan massif,
perkelahian antar pelajar-mahasiswa-warga-anggota dewan, pelanggaran etika dan
susila yang semakin vulgar, munculnya aliran yang dianggap sesat dan cara
peyelesaiannya yang cebderung menggunakan kekerasan, tindak kejahatan yang
mengancam ketentraman, praktek demokrasi liberal yang ekstrem dalam berbagai
aspek kehidupan yang bertabrakan dengan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa
Timur dan bangsa yang religius.

Sebagai bangsa muslim terbesar, masalahnya banyak muslim Indonesia yang belum
at home sebagai Bangsa Indonesia. Mereka tidak menerima negara pancasila, dan
tidak memiliki kemampuan dan keterampilan untuk hidup bersama dalam perbedaan.
Dampaknya masih kuat ekslusifitas, maraknya gerakan umat yang kontra produktif,
seperti terorisme, gerakan bawah tanah yang bertujuan mengganti bentuk negara,
berbagai bentuk pembangkangan dan perlawanan terhadap negara dan pemerintahan
yang sah. Akibatnya berangkai, sangat luas, dan kontra produktif bagi bangsa-negara
dan umat Islam sendiri.
Permasalahahn di bidang pendidikan…diperparah dengan tayangan televisi yang
sangat vulgar, life, dan tidak mengenal waktu tayang. Tindakan memfitnah,
memperolok, menghin, mengadu domba, pembunuhan karakter juga difasilitasi oleh
media.

Satu kata: Prihatin!


 Bagaimana kualitas generasi muda di amsa depan?
 Citra dan daya saing bangsa yang semakin rendah dan direndahkan
 Stigma muslim yang diidentikkan dengan teroris, anti intelektual, dan anti peradaban
 Krisis etika dan moral
 Bisa korupsi dianggap prestasi
 Penipuan dianggap lumrah asalkan tidak keterlaluan
 Hilangnya budaya malu (marwah)
 Jujur ajur
 Berbohong biasa
 Hilangnya keperawanan tidak lagi disesalkan
 Politik uang untuk membeli kekuasaan
 Berbudi bahasa yang santun dianggap kelemahan dan gak gaul
 Agama tidak lagi dipedomani sebagai akhlak melainkan sebagai alat kepentingan dan
kekuasaan, dan
 Bahasa kekerasan adalah bahasa kekuasaan dan ketertindasan
 Degradasi moral perusak karakter bangsa

Eksistensi, kemuliaan dan kejayaan suatu bangsa tergantung akhlaknya. Demikian


juga keterpurukan, kehinaan, dan kehancurannya.

Menurut psikolog dan ahli pendidikan AS, Thomas Lichona tanda-tanda degradasi
moral:
 Meningkatnya kekerasan pada remaja
 Penggunaan kata-kata memburuk
 Pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
 Meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas
 Kaburnya batasan moral baik-buruk
 Menurunnya etos kerja
 Rendahnya rasahormat kepada orang tua dan guru
 Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara
 Membudayanya ketidakjujuran
 Adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Urgensi Pendidikan Karakter Islami


1.    Umat muslim merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Baik-buruknya Indonesia
pasti berdampak pada muslim.
2.    Kesenjangan antara muslim cita dan muslim fakta
3.    Mengawinkan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Mengawinkan
ketiganya, seorang muslim akan memiliki tiga kesadaran: kesadaran ideal
(keislaman), kesadaran tempat (keindonesiaan), dan kesadaran waktu (kemodernan),
diharapkan muslim akan memiliki kearifan, kemuliaan, dan kejayaan.
4.    Etika dan moral Islam adalah moralitas agama yang mengarahkan manusia berbuat
baik antar sesamanya agar tercipta masyarakat yang baik dan teratur. Berislam yang
tidak membuahkan akhlak adalah sia-sia. Menurut Raghib al-Asfahani, etika Islam
berbentuk ethical individual social egoism dalam motivasi moral. Maksudnya, etika
sosial Islam tidak hendak memasung otoritas individu untuk sosial (paham
komutarianisme) atau mengorbankan sosial untuk individu (paham universalisme).
Etika Islam harus berlandaskan cita-cita keadilan dan kebebasan individu untuk
melakukan kebaikan sosial.

Kesenjangan antara muslim cita dan fakta


Dalam perspektif pembangunan, ada 3 kelompok muslim:
1.    Muslim berideologi Islam politik; menjadikan Islam iseologi politik, bertujuan
mendirikan negara Islam/khilafah islamiyyah, biasanya bersifat radikal, tidak merasa
menjadi Indonesia, sedikit kontribusinya bagi pembangunan, sebaliknya merongrong
kedaulatan RI
2.    Muslim mistik; disibukkan dengan urusan ritual keagamaan bahkan yang bersifat
mistik, tidak mempersoalkan keindonesiaan tetapi juga tidak memberikan kontribusi
yang berarti dan tidak juga membahayakan Negara
3.    Muslim moderat; muslim ideal karena berprinsip keseimbangan antara urusan dunia-
akhirat, selalu berusaha menjadi ummatan wasathan, di mana pun berada berusaha
memberi manfaat. Ciri muslim moderat: at home di Indonesia, mencintai, berjuang
dan rela berkorban untuk bangsa dan negara, dan memberi kontribusi bagi
pembangunan.

Ketiganya masih ada, bahkan muslimpolitik semakin menguat pasca reformasi.


Dalam konteks pembangunan karakter bangsa, diarahkan untuk menjadi muslim
moderat/ideal.

Karakter merupakan bagian tak terpisahkan dari individu. Erma Pawitasari, Kandidat
Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor seperti yang dilansir insistent.com
menerangkan bahwa karakter identik dengan akhlaq, yakni kecenderungan jiwa
untuk bersikap/bertindak secara otomatis. Karakter yang sesuai dengan ajaran Islam
disebut akhlaqul karimah atau akhlaq mulia (Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s
Theory of Virtue, 1975). Untuk meraih karakter ini, ada dua jalan yang bisa
dilakukan. Pertama, bawaan lahir sebagai karunia dari Allah SWT. Contoh dari
kategori ini ialah akhlak para nabi. Kedua, hasil usaha melalui pendidikan dan
penggemblengan jiwa (SM Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The
Middle Ages, 1988).

Untuk menciptakan generasi yang memiliki karakter akhlaqul karimah, ada enam
prinsip yang menjadi parameter pendidikan karakter yang baik. Keenam prinsip
tersebut antara lain:

1.    Menjadikan Allah Sebagai Tujuan


 Berbeda dengan masyarakat sekuler yang mengimani “ide ketuhanan”, umat Islam
mengimani Allah sebagai Tuhan yang wujud, sehingga ketaatan kepadaNya menjadi
mutlak. Masyarakat sekuler tidak ambil pusing apakah yang diimani benar-benar
wujud atau sekedar khayalan (Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran
Islam, 1993). Ide tersebut diimani karena memberikan pengaruh baik bagi manusia.
Meski demikian, konsep tersebut tidak mampu menjelaskan keajaiban yang dialami
Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu untuk menyembelih putranya.

Islam, disisi lain, mengajarkan agama sebagai penuntun dunia menuju keridhaan
Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah
kepada-Ku.”[QS. al-Dzaariyaat 56]. Untuk mencapai keridhaan Allah inilah,
manusia wajib menghiasi diri dengan akhlak mulia (Sherif, 1975).

2.    Memperhatikan Perkembangan Akal Rasional


Akal merupakan modal utama untuk mencapai iman dan keridhaan Allah. Mustahil
bagi manusia untuk meraih karakter yang mulia tanpa didasari pemahaman atas
perilaku-perilaku yang ada dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman dalam QS.
At-Tariq ayat 5 (yang artinya): Maka hendaklah manusia memperhatikan (sehingga
memikirkan konsekuensinya) dari apakah dia diciptakan?

Pada awal pendidikan, anak-anak memerlukan doktrinasi tentang perilaku yang baik,
maupun yang buruk.  Metode ini dipilih karena mereka belum mampu memahami
alasan pelarangan atau perintah tesebut. Sejalan dengan perkembangan kognitif
mereka, pendidikan karakter perlu memperhatikan alasan yang rasional. Rasulullah
Saw sering melakukan dialog dengan para sahabatnya dalam rangka mengasah
kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar dalam hadist berikut: “Apakah
pendapat kalian, jika sebuah sungai berada di depan pintu salah satu dari kalian,
sehingga ia mandi darinya sehari lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada
badannya?” Para sahabat menyahut, “Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada
badannya.” Nabi melanjutkan, “Demikianlah seperti shalat lima waktu, dengannya
Allah menghapus kesalahan-kesalahan.” [HR. Muslim]

3.    Memperhatikan Perkembangan Kecerdasan Emosi


Emosi merupakan karunia Allah SWT yang mempengaruhi manusia dalam
perilakunya. Pendidikan karakter yang baik hendaknya memperhatikan pendidikan
emosi, yakni bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik.
Kemampuan kognitif tanpa didukung dengan kecerdasan emosi menyebabkan
manusia bertindak diluar nilai-nilai akhlaq dan rasional. Rasulullah SAW
mencontohkan pembangunan kecerdasan emosi saat seorang pemuda datang
meminta ijin berzina. Beliau memberikan pertanyaan dan penjelasan yang
menyentuh faktor emosinya, menuntunnya pada pemahaman bahwa apa yang
dilakukannya akan menyakiti orang lain.

4.    Praktik Melalui Keteladanan dan Pembiasaan


Manusia merupakan peniru ulung. Tidak mengherankan jika pendidikan karakter
yang efektif selalu didasarkan pada keteladanan dan pembiasaan. Dalam mendidik
karakter umat Islam, Rasulullah menempatkan dirinya sebagai suri tauladan. Allah
SWT berfirman dalam QS. Al-ahzab ayat 21: Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

5.    Memperhatikan Pemenuhan Kebutuhan Hidup


Orang yang berkecukupan memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk
melakukan perbuatan yang tercela. Oleh karena itu, Islam memerintahkan negara
untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Rasulullah Muhammad Saw
bersabda: “Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya. Dan
barangsiapa mati meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka akulah
penanggungnya.”  (HR. Muslim).  Dengan adanya jaminan atas kebutuhan dasar
hidup, ummat dapat lebih terkondisikan untuk melakukan perilaku akhlaqul karimah.

6. Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas


Kurang efektifnya pendidikan karakter sering disebabkan oleh perbedaan prioritas
dalam memandang nilai. Dalam Islam, prioritas perbuatan dibagi menjadi
wajib,sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian moralitas, sama halnya dengan
perkara lain, juga didasarkan pada pembagian prioritas tersebut. Oleh karena itu,
penting bagi pendidik untuk mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum
mengajarkannya kepada murid-murid.

Demikian enam prinsip pendidikan karakter. Prinsip-prinsip tersebut perlu  dipenuhi


untuk menciptakan pendidikan karakter yang ideal dan sukses.

Perilaku negatif para siswa sekarang menuntut pendidikan untuk lebih


memperhatikan mereka, apakah murid yang tawuran itu ingin menunjukkan jati
dirinya sebagai manusia dan karena tidak tahu bagaimana cara menarik perhatian
orang lain, akhirnya menempuh cara instan dengan melakukan tawuran.

Coba kita cari akar permasalahan dari setiap kegiatan peserta didik tersebut lalu
mencari solusinya, agar mereka mencari perhatian dari prestasi diri dan prestasi
kegiatan yang mereka ikuti.

Untuk memiliki siswa dan peserta yang mempunyai karakter yang baik, atau dalam
agama islam biasa disebut dengan akhlaqul karimah tidak bisa dilihat hasilnya secara
langsung. Penerapan pendidikan karakter membutuhkan pembiasaan dan suri
tauladan dari orang tua, guru, masyarakat.

Pendidikan karakter islami harus memenuhi prinsip-prinsip islam dalam


penerapannya, Lalu apa prinsip pendidikan karakter Islami ?

1.    Percaya Kepada Allah SWT


Kepercayaan kepada allah harus ditanamkan ke dalam sanubari setiap peserta didik,
bahwa Allah SWT selalu mengawasi setiap langkah kita dan Dia akan memberikan
balasan dari setiap pekerjaan manusia. Barang siapa yang berbuat kebaikan akan
mendapatkan surga dan barang siapa yang akan melakukan kejahatan akan
dimasukkan ke dalam surga.
Apabila setiap peserta didik sudah merasa diawasi oleh Allah SWT dalam setiap
langkahnya, maka ia tidak akan berbuat perbuatan negatif karena takut hukuman dari
Allah SWT walaupun tidak ada manusia yang tahu. Agama Islam menuntun manusia
untuk menuju keridhoan Allah SWT. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribada kepada-Ku" (Q.S. Al-Dzaariyaat: 56).
2.    Memperhatikan Perkembangan Akal Manusia
Pelaksanaan dan penerapan pendidikan karakter akan berkurang nilainya apabila
peserta didik tidak mengetahui kenapa sholat harus dilakukan dan mengapa mencuri
itu dilarang kalau tidak memahami dan manfaat perintah dan larangan tersebut.
"Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa yang Dia ciptakan" (Q.S. Ath-
Thoriq : 5. Ayat tersebut memerintah manusia untuk selalu menggunakan akal
fikirannya untuk berfikir bukan ?

Untuk menumbuhkan dan merangsang peserta didik, seorang pendidik harus cerdas.
Bagaimana pendidik bisa memancing sifat kritis peserta didik, kalau dia sendiri tidak
tahu apa-apa.

3.    Memperhatikan Perkembangan Emosi Peserta Didik


Selain memperhatikan kecerdasan akal dalam memahami manfaat dari setiap
pekerjaan, seorang pendidik harus memahami emosi siswa. Pendidikan karakter yang
baik memperhatikan pendidikan emosi, yaitu bagaimana melatih emosi anak agar
dapat berperilaku baik. Penelitian menuntukkan bahwa program pendidikan karakter
yang efektif harus diserta dengan pendidikan emosi (Elias dkk, 2008;Kessler&Fink,
2008).

Pembangunan kecerdasan emosi sebagaimana Rasulullah SAW bersabda dalam


hadits qudsi yang artinya "Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku
mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku mendekatinya sedepa. Jika
ia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku mendekatinya dengan berlari". (Shahih
Bukhari)

4.    Pendidikan dengan Keteladanan dan Pembiasaan


Hidup dalam masyarakat yang menerapkan syariat islam merupakan langkah
pendidikan keteladanan dan pembiasaan karakter terbaik. 

Pendidikan karakter islam dapat menilik dan melihat kehidupan Rasulullah SAW.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT "Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu(yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".
(Q.S. Al-Ahzab :21)

5.    Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas


Dalam islam dikenal dengan prioritas hukum. Prioritas hukum terbagi dalam 5
(Lima) kategori yaitu : Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram.
Seorang pendidik harus selalu mengkomunikasikan setiap disiplin yang hendak
dijalankannya dengan peserta didik (Siswa) dan orang tua murid sehingga setiap
aturan sekolah dapat dipahami oleh semua warga sekolah.
Itulah prinsip pendidikan karakter islam dalam pandangan penulis untuk
mewujudkan pendidikan sekolah lebih memperhatikan masalah keagamaan dan
melandaskan setiap aturan dalam sekolah sesuai syariat islam.

Pendidikan Islam Berkarakter


Pendidikan merupakan suatu elemen penting didalam membangun peradaban
manusia kearah yang lebih baik. Melalui proses pendidikan manusia akan diajak
berfikir tentang hakikat dan tujuan ia diciptakan, tentang mengembangkan potensi
diri, memanfaatkan sumber daya hingga penyeimbangan hubungan antara manusia
dan alam pun akan dipelajari manusia melalui proses pendidikan.

Hal terpenting yang perlu kita dalami sebagai seorang tenaga kependidikan atau
calon tenaga kependidikan ialah bahwasannya pendidikan bukanlah sekedar proses
mendidik semata, namun lebih kompleks didalamnya terdapat sebuah proses
penanaman karakter, dimana melalui proses pembangunan karakter inilah yang
menjadi suatu tolak ukur bagi kita untuk menilai hasil dari suatu proses pendidikan.
Dengan pendidikan karakter inilah akan muncul ciri khas suatu bangsa dalam bentuk
jati diri, kebanggaan dan letak kehormatan bangsa tersebut dimata bangsa yang lain.

Dalam lingkup ajaran agama Islam, pendidikan karakter telah ditanamkan kepada
manusia sejak manusia tersebut diciptakan. Pendidikan karakter didalam pandangan
islam merupakan proses pendidikan yang lebih mengedepankan kualitas daripada
ahlak. Sebuah ahlak yang baik maka akan berbuah karakter yang baik, begitu juga
sebaliknya, pemupukan terhadap keburukan-keburukan ahlak akan menimbulkan
karakter yang dikenal sebagai jati diri juga akan buruk.

Pendidikan berkarakter bukanlah pendidikan yang sekadar pendidikan yang


berorientasi pada nilai atau hasil akhir, namun lebih menekankan pada proses
pendidikan tersebut, sementara hasil akhir hanyalah sebagai bahan evaluasi dari
keberhasilan dari proses pendidikan tersebut.

Jika kita membuat sebuah perbandingan tentang bagaimana pendidikan kita saat ini,
justru akan kita dapati bahwasannya pendidikan kita sangat jauh dari pada konsep
pendidikan berkarakter, sebab kita lebih menekankan agar peserta didik memperoleh
nilai setinggi-tinggi mungkin sementara tidak ada kontrol yang jelas bagaimana
upaya mencapainya. Oleh sebab itu, tidak jarang kita menemukan begitu banyak
kecurangan didalam proses pendidikan yang seharusnya tempat tersebut dijadikan
sebagai wadah menanaman karakter bagi siswanya.

Didalam sebuah kesempatan pada kegiatan National Summit dan peringatan hari Ibu
Presiden Republik Indonesia sempat menyinggung mengenai penekanan terhadap
pendidikan Karakter (Character Building) hal ini menunjukkan bahwasannya
pendidikan berkarakter merupakan suatu pola pendidikan yang sangat penting
dimana dari hasil pendidikan ini akan tercipta pribadi-pribadi dengan watak yang
unggul dan mulia dengan 5 asumsi sebagai berikut :

1. Manusia yang bermoral, berahlak dan berprilaku mulia.


2. Manusia yang cerdas dan rasional.
3. Manusia yang inovatif dan bergerak maju.
4.  Manusia yang berjiwa optimistis, dan
5. Manusia yang berjiwa patriotik, mencintai bangsa dan negaranya.
Hadirnya Islam hendaknya menjadi agen yang berada pada garda terdepan didalam
menyokong pembangunan karakter melalui pendidikan. Didalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah sudah jelas begitu banyak yang membahas tentang membangun karakter
umat islam yang unggul, berwibawa serta bernilai bagi orang lain.

Alasan Pentingnya Nilai Karakter Dalam Perangkat Pembelajaran

Pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam semua materi pembelajaran dilakukan


dalam rangka mengembangkan kegiatan intervensi. Substansi nilai sesungguhnya
secara eksplisit atau implisit sudah ada dalam rumusan kompetensi (SKL, SK, dan
KD) dalam Standar Isi (Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah), serta
perangkat kompetensi masing-masing program studi di pendidikan tinggi atau PNFI.
Yang perlu dilakukan lebih lanjut adalah memastikan bahwa pembelajaran materi
pembelajaran tersebut memiliki dampak instruksional, dan, atau dampak pengiring
pembentukan karakter.

Pengintegrasian nilai dapat dilakukan untuk satu atau lebih dari setiap pokok bahasan
dari setiap materi pembelajaran. Seperti halnya sikap, suatu nilai tidaklah berdiri
sendiri, tetapi berbentuk kelompok. Secara internal setiap nilai mengandung elemen
pikiran, perasaan, dan perilakiu moral yang secara psikologis saling berinteraksi.

Karakter terbentuk dari internalisasi nilai yang bersifat konsisten, artinya terdapat
keselarasan antar elemen nilai. Sebagai contoh, karakter jujur, terbentuk dalam satu
kesatuan utuh antara tahu makna jujur (apa dan mengapa jujur), mau bersikap jujur,
dan berperilaku jujur. Karena setiap nilai berada dalam spektrum atau kelompok
nilai-nilai, maka secara psikologis dan sosiokultural suatu nilai harus koheren dengan
nilai lain dalam kelompoknya untuk membentuk karakter yang utuh. Contoh:
karakter jujur terkait pada nilai jujur, tanggung jawab, peduli, dan nilai lainnya.
Orang yang berperilaku jujur dalam membayar pajak, artinya ia peduli pada orang
lain, dalam hal ini melalui negara, bertanggung jawab pada pihak lain, artinya ia
akan membayar pajak yang besar dan pada saatnya sesuai dengan ketentuan. Oleh
karena itu, bila semua pembayar pajak sudah berkarakter jujur, tidak perlu ada
penagih pajak, dan tidak akan ada yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri
dari prosedur pembayaran pajak. Proses pengintegrasian nilai tersebut, secara
teknologi pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut[1][12].
a.    Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP).
b.    Pengembangan nilai-nilai tersebut dalam silabus ditempuh antara lain melalui cara-
cara sebagai berikut:
1)   Mengkaji Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada pendidikan
dasar dan pendidikan memengah, atau kompetensi program studi pada pendidikan
tinggi, atau standar kompetensi pendidikan nonformal.
2)   Menentukan apakah kandungan nilai-nilai dan karakter yang secara tersirat atau
tersurat dalam SK dan KD atau kompetensi tersebut sudah tercakup di dalamnya.
3)   Memetakan keterkaitan antara SK/KD/kompetensi dengan nilai dan indikator untuk
menentukan nilai yang akan dikembangkan.
4)   Menetapkan nilai-nilai atau karakter dalam silabus yang disusun, dan mencantumkan
nilai-nilai yang sudah tercantum dalam silabus ke RPP.
5)   Mengembangkan proses pembelajaran peserta didik aktif yang memungkinkan
peserta didik memiliki kesempatan melakukan internalisasi nilai dan
menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai.
6)   Memberikan bantuan kepada peserta didik yang mengalami kesulitan untuk
internalisasi nilai mau pun untuk menunjukkannya dalam perilaku.

Dasar Pembentukan Karakter


Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan
dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter
manusia  merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif
dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis
religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu
berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut (Setan) [2][13]. Nilai-nilai
etis moral itu berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan pembangkitan
nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani). Energi positif itu berupa:

Pertama, kekuatan spiritual. Kekuatan spiritrual itu berupa îmân, islâm, ihsân dan
taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia
untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm);

Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat),
qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari
dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu merupakan
modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa.

Ketiga,  sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan implementasi
dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan
konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu
meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal saleh.

Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang
berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al-mutmainnah)
dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja
akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality
(integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang
bagus pula (professional).

Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu
disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai
destruktif). Kalau nilai-nilai etis berfungsi sebagai sarana pemurnian, pensucian dan
pembangkitan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati (hati nurani), nilai-nilai  material
(thâghût ) justru berfungsi sebaliknya yaitu pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai
kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari:

Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu  berupa  kufr (kekafiran), munafiq
(kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan) yang kesemuanya itu
merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan
kemanusiaannya yang hakiki (ahsani taqwîm) menjadi makhluk yang serba material
(asfala sâfilîn);

Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu  pikiran jahiliyah (pikiran sesat), 


qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak
punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa yang tercela) yang kesemuanya itu akan
menjadikan manusia menghamba pada ilah-ilah selain Allah berupa harta, sex dan
kekuasaan (thâghût).

Ketiga,  sikap dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang
kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis
(budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb
al-dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).

Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang
berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk, nafs
lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang bermental
thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela, yaitu orang
yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan pengecut) dan orang
yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.

Unsur-Unsur Karakter
Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan sosiologis perlu dibahas
dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri manusia. adapun unsur-
unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan[3][14].

Sikap seseorang akan dilihat orang lain dan sikap itu akan membuat orang lain
menilai bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian juga halnya emosi,
kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (Self Conception).
1)   Sikap
Sikap seseorang biasanya adalah merupakan bagian karakternya, bahkan dianggap
sebagai cerminan karakter seseorang tersebut. Tentu saja tidak sepenuhnya benar,
tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada dihadapannya
menunjukkan bagaimana karakternya.

2)   Emosi
Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai
dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis.

3)    Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis.
Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti
otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan
karakter manusia. jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan
memperkukuh hubungan denga orang lain.

4)   Kebiasaan dan Kemauan


Kebiasaan adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah
aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak
direncanakan. Sementara itu, kemauan merupakan kondisi yang sangat
mencerminkan karakter seseorang.

Ada orang yang kemauannya keras, yang kadang ingin mengalahkan kebiasaan,
tetapi juga ada orang yang kemauannya lemah. Kemauan erat berkaitan dengan
tindakan, bahakan ada yag mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang
merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.

5)   konsep diri (Self Conception)


Hal penting lainnya yang berkaitan dengan (pembangunan) karakter adalah konsep
diri. Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar,
tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Dalam proses konsepsi diri,
biasanya kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Citra
diri dari orang lain terhadap kita juga akan memotivasi kita untuk bangkit
membangun karakter yang lebih bagus sesuai dengan citra. Karena pada dasarnya
citra positif terhadap diri kita, baik dari kita maupun dari orang lain itu sangatlah
berguna.

Arah dan Metode Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Agama


Islam
Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap
anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh.
Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple
intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan
sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’,
tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb[4][15]. Tilâwah menyangkut kemampuan
membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual
quotient);  tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang
didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan
emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan
spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau
keterampilan (physical quotient atau adversity quotient)[5][16].

Gambaran di atas menunjukkan metode pembelajaran yang menyeluruh dan


terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan
berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal
dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah
bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan
memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.

Untuk mengembangkan kemampuan membaca, dikembangkan metode tilawah


tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat
fenomena. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal dikembangkan metode
ta’lîm, yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam
pendidikan akal ini sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki
pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-nya adalah anak
yang memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang
mampu mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi
dzikirnya untuk memahami fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya
untuk kepentingan kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang mampu
memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya yaitu ijtihad
(tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome dari
pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang saleh (waladun shalih).

Pendayagunaan potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan
melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan
mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada
guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.

Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan
empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan
sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan
seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan
seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang
baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan
persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.

Metode ta’dîb digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu (EQ) dalam
diri anak didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan
iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak
didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak
yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang
yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki
kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil (2004) mengatakan:
“Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang
pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya,
bukan karena kedudukan atau jabatannya”.

Metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih


berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam
pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan
damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-
mutmainnah), ulûl arhâm dan tazkiyah. Ulûl arhâm adalah orang yang memiliki
kemampuan jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi
perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya.
Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu
maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).

Metode tadlrîb (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik,


psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadlrîb adalah terbentuknya
fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya adalah terbentuknya anaknya yang
mampu bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid
adalah orang yang mampu memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan
tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.

Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih
bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi
pesan yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode
pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur
hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh.
Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) haruslah
mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter
taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode pembelajaran dikatakan
mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan
pembelajaran itu sendiri [6][17].

Tujuan Pendidikan Karakter dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam di


Indonesia

Tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang
menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW juga menegaskan
bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan
pembentukan karakter yang baik (good character).[7][18]

Tokoh pendidikan barat yang mendunia seperti Socrates, Klipatrick, Lickona, Brooks
dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang disuarakan nabi Muhammad
SAW, bahwa moral, akhlak atau karakter adaah tujuan yang tak terhindarkan dari
dunia pendidikan.

Begitu juga dengan Marthin Luther King menyetujui pemikiran nabi Muhammad
tesebut dengan menyatakan “Intelligence plus character, that is the true aim of
education”[8][19]. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan.
Selain itu, pendidikan karakter mempunyai tujuan sebagai berikut:
a.    Mengembangkan potensi dasar peserta didik agar ia tumbuh menjadi sosok yang
berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
b.    Memperkuat dan membangun perilaku masyarakat yang multikultur.
c.    Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Terlepas dari pandangan di atas, maka tujuan sebenarnya dari pendidikan karakter
atau akhlak adalah agar manusia menjadi baik dan terbiasa kepada yang baik
tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan dan latihan
yang dapat melahirkan tingkah laku sebagai sesuatu tabiat ialah agar perbuatan yang
timbul dari akhlak baik tadi dirasakan sebagai suatu kenikmatan bagi yang
melakukannya. Menurut Said Agil tujuan pendidikan adalah “membentuk manusia
yang beriman, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan
rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan
masyarakat.”

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam
perspektif pendidikan agama  Islam di Indonesia itu adalah: pertama, supaya
seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia
dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik
dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik, seseorang harus
membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian
setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut dengan
meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani
orang. Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau
akhlak atau karakternya rusak.[9][20]

Meskipun  dalam pelaksanaannya, tujuan dari pendidikan karakter itu sendiri dapat
dicapai apabila pendidikan karakter dilakukan secara benar dan menggunakan media
yang tepat. Pendidikan karakter dilakukan setidaknya melalui berbagai media, yang
di antarnya mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat
politik, pemerintah, dunia usaha dan media massa.

Kesimpulan
Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain
berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak.

Dasar pembentukan karakter itu adalah nilai baik atau buruk. Nilai baik disimbolkan
dengan nilai Malaikat dan nilai buruk disimbolkan dengan nilai Setan. Karakter
manusia  merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif
dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. adapun unsur-unsur tersebut adalah
sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan

Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai
pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah,
ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; Ta’lim
terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);
Tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang di dalamnya
ada asah, asih dan asuh; Ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional
(emotional quotient); Tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual
(spiritual quotient); Tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan
(physical quotient atau adversity quotient)

Tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan Islam di Indonesia itu
adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua,
supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa
terpelihara dengan baik dan harmonis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul majid, Dian andayani. 2010. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam.
Bandung: Insan Cita Utama
Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam
di Indonesia.  Jakarta: Prenada Media
Ahmad Zayadi, Abdul Majid. 2005. Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Amru Khalid. 2008. Tampil Menawan Dengan Akhlak Mulia. Jakarta: Cakrawala
Publishing
Aunillah. 2011. Panduan menerapkan pendidikan karakter disekolah. Jakarta: Trans
Media
Fadlullah. 2008. Orientasi Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media
Fatchul Mu’in. 2011. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media
http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-islam-
pendahulan/
Mochtar Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita . Kompas
Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
Saifuddin Aman. 2008. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. Jakarta: Al Mawardi Prima
Zubaedi. 2011. Design pendidikan karakter. Jakarta: Kencana

[10][1]Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-


dalam-perspektif-Islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012

[11][2] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek.


(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 323
[12][3] Mochtar Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita.  Kompas
[13][4] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam.
(Bandung: Insan Cita Utama, 2010),  hlm. 11
[14][5] Zubaedi. Design pendidikan karakter. (Jakarta: Prenada Media Group, 2011),
hlm. 19
[15][6] Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007),  hlm. 219
[16][7] Amru Khalid. Tampil menawan Dengan Akhlak Mulia. (Jakarta: Cakrawala
Publishing, 2008) , hlm. 37
[17][8] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam.
(Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 61
[18][9] Ahmad Zayadi, Abdul Majid. Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 178
[19][10] Ibrahim Bafadal dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-
dalam-uu-no-20-tahun-2003/ yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[20][11] Ulfiarahmi dalam
http://dikdas.kemdiknas.go.id/application/media/file/Policy%20Brief%20Edisi%204.
Yang diakses pada tanggal 01 April 2012
[1][12] Ulfiarahmi dalam http://wordpress.com/2010/12/20/pendidikan-karakter-dalam-uu-no-20-tahun-
2003/ yang diakses pada tanggal 01 april 2012

[2][13]Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-


islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012

[3][14] Fatchul Mu’in. Pedidikan karakter kontruksi teoritik dan praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), hlm. 168
[4][15] Fadlullah. Orientasi Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Diadit Media, 2008), hlm. 13
[5][16] Tobroni, Dalam http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektif-
islam-pendahulan/ diakses pada 06 Maret 2012
[6][17] Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa
dan Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 maret 2012
[7][18] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita
Utama, 2010), hlm. 29
[8][19] Abdul majid, Dian andayani. Pedidikan karakter dalam perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita
Utama, 2010), hlm. 29
[9][20] Saifuddin Aman. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. (Jakarta: Almawardi Prima, 2008), hlm. 25
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Reaksi:

Anda mungkin juga menyukai