Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217105

**Pembimbing

PERDARAHAN EPIDURAL

Andini Kartikasari, S.Ked* dr. Husny E. Taufik, Sp. Rad**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU RADIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

PERDARAHAN EPIDURAL

DISUSUN OLEH

Andini Kartikasari, S.Ked

G1A217108

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas

Bagian Ilmu Kedokteran Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi Program Studi

Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Jambi, Februari 2018

PEMBIMBING

dr. Husny E. Taufik, Sp. Rad

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Perdarahan Epidural”.Laporan ini
merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Radiologi RSUD Raden Mattaher Jambi.
Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Husny E. Taufik, Sp.Rad selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Case
Report Session ini.
Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Februari 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................3

DAFTAR ISI.................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 5

BAB II LAPORAN KASUS............................................................................7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 13

Anatomi Kepala...........................................................................................13

Fisiologi.......................................................................................................17

Perdarahan Epidural.....................................................................................19

BAB IV ANALISIS KASUS...........................................................................31

BAB V KESIMPULAN.................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 36

4
BAB I

PENDAHULUAN

Di negara-negara maju, cedera kepala merupakan sebab utama kerusakan


otak pada kaum muda, di negara berkembang seperti Indonesia, dengan
meningkatnya pembangunan yang diikuti oleh mobilitas masyarakat yang salah
satu seginya diwarnai dengan meningkatnya lalu lintas kendaraan bermotor yang
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas semakin sering dan korban cedera kepala
semakin banyak. Cedera kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai
dari lapisan kulit kepala atau tingkat paling ringan, tulang tengkorak, duramater,
vaskuler otak,, sampai jaringan otak itu sendir; baik berupa luka yang tertutup
maupun trauma tembus.1

Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) adalah sebuah proses


akumulasi darah di rongga antara duramater dan tulang. Perdarahan epidural bisa
terjadi di dalam cranium maupun di medulla spinalis. Angka insidensi perdarahan
epidural sekitar 2% dari penderita cedera kepala dan 2-15% pada cedera kepala
yang fatal. EDH dianggap sebagai sebuah komplikasi yang cukup serius dari
cedera kepala. Diagnosis yang cepat dan tepat dapat mempercepat
penatalaksanaan dan memperbaiki prognosis pasien. Di Amerika Serikat, EDH
merupakan 2 persen komplikasi dari cedera kepala. Kasus cedera kepala sendiri
terdapat 400.000 kasus per tahun. Kejadian ini meningkat seiring dengan
terjadinya kecelakaan lalulintas. Banyak terjadi pada usia produktif dan dewasa
muda.

EDH terjadi akibat benturan linier pada tulang cranium yang


menyebabkan lepasnya lapisan duramater dari tulang kepala dan robeknya
pembuluh darah akibat regangan. Terjadi perdarahan dan akumulasi dari darah
tersebut menyebabkan tekanan intracranial meningkat. Regio temporoparietal
merupakan daerah yang paling sering mengalami EDH dengan presentasi
sebanyak 66% dari keseluruhan kasus EDH.2

5
Kasus EDH sangat menarik dikarenakan angka kejadian yang cukup
tinggi, berbanding lurus dengan angka kejadian kecelakaan lalulintas. Namun
trauma selain kecelakaan lalulintas juga kerapkali menyebabkan EDH. Sebagai
dokter umum, merupakan sebuah tantangan untuk mendiagnosis dan memberikan
terapi secara cepat dan tepat, disamping mengambil keputusan untuk melakukan
rujukan ke dokter spesialis neurologi atau bedah saraf.

6
BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Athira Salsabila
Nomor RM : 876881
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : RT 011 Olak Kemang
Pekerjaan : Pelajar
II. Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri kepala

Riwayat Penyakit Sekarang


1 jam SMRS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan terbenturnya kepala. Pasien mengeluhkan nyeri kepala
hilang timbul yang disertai muntah yang menyembur. Selain itu, terdapat
luka lecet pada bagian lengan yang disertai nyeri pada luka. Kejang tidak
ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat alergi obat (-)
- Riwayat merokok (-)
- Riwayat sakit kuning (-)

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami gejala maupun penyakit yang sama.

7
III. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Kesadaran : Composmentis
GCS : 15 (E4M5V6)
Tekanan Darah : 100/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37°C

Keadaan Gizi
BB : 25 Kg

Pemeriksaan Kepala dan Leher


Mata :Pupil isokor, Konjuntiva Anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
THT :Deviasi septum nasal (-), sekret (-)
Leher :Pembesaran KGB (-)

Paru-paru
Inspeksi :Simetris kanan dan kiri, Jejas (-)
Palpasi :Fremitus taktil kanan dan kiri sama, nyeri tekan (-)
Perkusi :Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi :Vesikuler di kedua lapangan paru, ronki (-), wheezing (-)

Jantung
Inspeksi :Ictus Cordis di ICS IV Linea Midclavicularis Sinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba di ICS IV Linea Midclavicularis
Sinistra
Perkusi :Batas atas jantung ICS II Linea Parasternalis Sinistra, Batas
kiri jantung ICS III Linea Parasternalis Dextra, Batas kanan
jantung ICS IV Linea Midclavicularis Sinistra
Auskultasi :BJ I dan BJ II reguler, Murmur (-), Gallop (-)

8
Abdomen
Inspeksi :Cembung, striae (-), sikatriks (-)
Palpasi :Distensi abdomen (-) nyeri perut kanan atas dan bawah (-)
ascites (-) Hepatomegali (-)
Perkusi :Timpani
Auskultasi :Bising usus (+) normal

Ektremitas
Superior :Akral hangat, CRT< 2detik, pitting edema (-/-)
Inferior :Akral hangat, CRT< 2detik, pitting edema (-/-)

IV. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin
WBC : 13 (109/L)
RBC : 4,2
Hb : 11,5 g/dL
Ht : 33,4%
PLT : 211 (109/L)
PCT : 019%

9
Pemeriksaan CT-Scan Kepala (5 Februari 2018)

10
Expertise
Sulci dan gyri, system ventrikel dan cysterna menyempit.
Tak tampak midline shift/efek massa.
Tampak lesi hyperden bikonveks region parietal kiri supra tentorium.
CPA dan cerebellum normal.
Tulang-tulang kepala tak tampak kelainan.
Sinus ethmoidalis, frontalis dan sfenoidalis tak tampak kelainan.

Kesan:
Edema cerebri, perdarahan epidural region parietal kiri.
V. Diagnosis
Perdarahan Epidural
Diagnosis Banding
- Perdarahan Subdural
- Perdarahan Subarachnoid

11
VI. Penatalaksanaan
- Manitol
- Infus RL 15 tetes/menit
- Ranitidin 150 mg 3x1
- Ketorolac 10mg 3x1
- Penatalaksanaan luka

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Kepala3
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : 1.
Skin atau kulit 2. Connective tissue atau jaringan penyambung 3. Aponeuresis
atau galea aponeurotika 4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar 5.
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (perdarahan subgaleal).
Kulit kepala banyak memiliki pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan
akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama
pada bayi dan anak-anak.

b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di regio temporal sangat tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media
dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah
tempat lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang untuk bagian bawah
batang otak dan serebelum.

13
c. Meningen4
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu : dura mater, arakhnoid, dan pia mater. Dura mater adalah selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara dura
mater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah dura mater terdapat
lapisan kedua dari meningen yang tipis dan tembus pandang disebut selaput
arakhnoid. Lapisan ketiga adalah pia mater yang melekat erat pada permukaan
korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarachnoid.

14
d. Otak
Otak manusia terdiri darii serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu
lipatan dura mater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri
kiri terdapat pusat bicara manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga
pada lebih dari 85% orang kidal.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai
hemisfer dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik
dan pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik).
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja
dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus temporal kiri
bertanggung jawab dalam kemampuan penerimaan rangsang dam integrasi bicara.
Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

15
e. Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus (terletak di
atap ventrikel) dengan kecepatan produksi sebanyak 20ml/jam. CSS mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III akuaduktus dari
Sylvius menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistim ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subarachnoid yang berada diseluruh permukaan otak dan medulaa spinalis. CSS
akan di reabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dan menyebabkan
kenaikan tekanan intrakranial (hidrosefalus komunikans pasca trauma)

16
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri
dengan baatang otak (pons dan medulla oblongata) dan berjalan melalui celah
lebar tentorium serebeli yang disebut incisura tentorial. Nervus okulomotorius
(Nervus III) berjalan di sepanjang tepi tentorium, dan saraf ini dapat tertekan bila
terjadi herniasi lobus temporal, umumnya di akibatkan oleh adanya massa
supratentorial atau edema otak. Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi
melakukan konstriksi pupil mata berjalan pada sepanjang permukaan nervus
okulomotorius. Paralisis serabut-serabut ini yang disebabkan oleh penekanan
nervus III akan mengakibatkan dilatasi pupil oleh karena tidak adanya hambatan
aktivitas serabut simpatik.

17
II. Fisiologi
a. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan
kenaikan tekanan intracranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi
otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan
istirahat sebesar 10 mmhg. TIK lebih tinggi dari 20 mmhg, terutama bila
menetap, berhubungan langsung dengan hasil akhir yang buruk.

b. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intracranial harus selalu
konstan. Hal ini jelas karena rongga cranium pada dasarnya merupakan rongga
yang rigid, tidak mungkin mekar. Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan
darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam batas normal. Saat

18
pengaliran CSS dan darah intravascular mencapai titik dekompensasi, TIK secara
cepat akan meningkat.

c. Aliran Darah ke Otak (ADO)


ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gr
per menit. Pada anak, ADO bias lebih besar bergantung pada usianya. Pada usia 1
tahun ADO hamper sebesar dewasa, tapi pada usia 5 tahun ADO bisa mencapai
90 ml/100gr/menit, dan secara gradual akan menurun sebesar ADO dewasa saat
mencapai pertengahan sampai akhir masa remaja. Cedera otak berat sampai koma
dapat menurunkan 50% dari ADO dalam 6-12 jam pertama sejak trauma. ADO
biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari sebelumnya, tetapi pada penderita yang
tetap koma, ADO tetap dibawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah
trauma.
Terdapat bukti bahwa ADO yang rendah tidak dapat mencukupi
kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga akan mengakibatkan
iskemi otak fokal ataupun menyeluruh.
Pembuluh darah prekapiler normal memiliki kemampuan untuk
berkonstriksi ataupun dilatasi sebagai respon terhadap perfusi otak/TPO (CPP=
Cerebral perfusion pressure), yang secara klinis didefinisikan sebagai tekanan
darah arteri rata-rata dikurangi tekanan intracranial. CPP sebesar 50-150 mmHg

19
diperlukan untuk memelihara aliran darah otak tetap konstan (autoregulasi
tekanan). Konsekuensinya, otak yang cedera akan mengalami iskemia dan
infark sehubungan dengan penurunan ADO sebagai akibat cedera itu sendiri.
Keadaan iskemi awal tersebut akan dengan mudah diperberat oleh
adanya hipotensi, hipoksia, dan hipokapnia sebagai akibat hiperventilasi
agresif yang kita lakukan. Oleh karena itu, semua tindakan ditujukan untuk
meningkatkan aliran darah dan perfusi otak dengan cara menurunkan TIK,
memelihara kecukupan volume intrakranial, mempertahankan tekanan darah
arteri rata-rata (MAP= Mean Arterial Blood Pressure) dan memperbaiki
oksigenasi serta mengusahakan normokapnia.
Perdarahan dan lesi lain yang meningkatkan volume intrakranial
harus segera dievakuasi. Mempertahankan tekanan perfusi otak diatas 60 mmHg
sangat membantu untuk memperbaiki ADO (namun tekanan yang sangat tinggi
dapat memperburuk keadaan paru-paru). Sekali mekanisme kompensasi
terlewati dan terdapat peningkatan eksponensial TIK, maka perfusi otak akan
terganggu, terutama pada pasien yang mengalami hipotensi. Akhirnya akan
berkontribusi pada terjadinya cedera sekunder yang dapat terjadi pada
jaringan otak yang masih bertahan pada beberapa hari pertama setelah
cedera otak berat. Proses patofisiologi tersebut ditandai oleh proses inflamasi
progresif, permeabilitas pembuluh darah, dan pembengkakan jaringan otak, dan
kemudian peningkatan TIK yang menetap dan mengakibatkan kematian.

III. Perdarahan Epidural (EDH)


a. Definisi Perdarahan Epidural (EDH)
Perdarhan epidural adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau

20
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan perdarahan
epidural.
Perdarahan epidural sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan
biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih
besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom
berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah
tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.

b. Insiden dan Epidemiologi


Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan perdarahan
epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara internasional frekuensi
kejadian perdarahan epidural hampir sama dengan angka kejadian di Amerika
Serikat.
Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang memiliki
masalah berjalan dan sering jatuh. Sekitar 60 % penderita perdarahan epidural
adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2
tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia
kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.
Tipe- tipe :
1. Epidural perdarahan akut (58%) perdarahan dari arteri
2. Subacute perdarahan (31%)
3. Chronic perdarahan (11%) perdarahan dari vena6,7

c. Etiologi Perdarahan Epidural (EDH)


Kebanyakan perdarahan epidural ini disebabkan oleh adanya trauma atau
fraktur tulang kepala yang dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri

21
meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os temporal.

d. Patofisiologi EDH
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital.
Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh perdarahan akan
melepaskan durameter lebih jauh dari tulang kepala sehingga hematom bertambah
besar.
Perdarahan yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.
Dengan makin membesarnya perdarahan, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.

22
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut
interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
perdarahan epidural. Pada subdural perdarahan cedera primernya hamper selalu
berat atau epidural perdarahan dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid
interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami
fase sadar.8
Sumber perdarahan :
 Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
 Sinus duramatis
 Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan
vena diploica)

Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara


duramater dan lamina interna tulang pelipis.

Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater (3), Otak terdorong kesisi
lain (4)

23
e. Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah nyeri kepala dan kesadaran menurun
secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di
sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada
saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari
cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera
kepala. Gejala yang sering tampak :
 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Nyeri kepala yang hebat
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya
disfungsi rostrocaudal batang otak. Jika perdarahan epidural di sertai dengan

24
cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan
gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.8,9
f. Pemeriksaan Penunjang10
1. Foto polos

Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan


vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga
mungkin diamati. Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya
perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan
dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan
kranium yang lebih besar.

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural perdarahan. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi
yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media. Membedakan hematom epidural dan
hematom subdural sering sulit. Jika arteri meningea media terdesak kearah median
(ke dalam), maka diagnosis perdarahan epidural dapat ditegakkan.

Fraktur impresi dan linier pada tulang parietal, frontal dan temporal.

25
2. CT Scan

CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam


mendiagnosa perdarahan epidural akut. Ruang yang ditempati perdarahan epidural
dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada
garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin
muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar
mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.

CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu


hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam
hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap. Tanda densitas hematom
dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah
cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-
scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi
hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati
sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan
perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah.

Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana
konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat
disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional.
Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan
mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat
digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan


potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,
paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen
(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.

26
Terdapat pula garis fraktur pada area epidural perdarahan, Densitas yang tinggi
pada stage yang akut (60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari
pembuluh darah.

Gambar 1. Gambaran CT-Scan Perdarahan Epidural di Lobus Fronal kanan.

Gambar 2. Gambaran CT-Scan fraktur tulang frontal kanan di anterior sutura


coronalis.
3. MRI
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang
menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi.
MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis.

27
Gambar 3. Gambaran MRI Perdarahan Epidural.

g. Penatalaksanaan EDH
1. Penanganan darurat :
 Dekompresi dengan trepanasi sederhana
 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

2. Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan
intracranial dan meningkakan drainase vena.
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),
mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema
cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana
yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin
sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic
dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat
masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium
bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat
dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek
protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan
adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan

28
dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar
serum 3-4mg%.
3. Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
 Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
 Keadaan pasien memburuk
 Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak
ruang.8
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
 > 25 cc  desak ruang supra tentorial
 > 10 cc  desak ruang infratentorial
 > 5 cc  desak ruang thalamus
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang
signifikan :
 Penurunan klinis
 Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
 Tebal epidural perdarahan > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
h. Prognosis EDH
Prognosis tergantung pada :
 Lokasinya (infratentorial lebih jelek)
 Besarnya
 Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis perdarahan epidural biasanya baik,
karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar

29
antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada
pasien yang mengalami koma sebelum operasi.

BAB IV

ANALISA KASUS

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan

30
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer
ataupun permanen. Penyebab yang paling sering terjadi adalah kecelakaan motor,
jatuh, kekerasan, cedera olahraga, dan trauma tembus. Berdasarkan dari identitas
pasien, pasien merupakan perempuan yang baru mengalami kecelakaan lalu lintas.

Perdarahan epidural (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang


potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek
atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. EDH terjadi pada sekitar 2% pasien dengan
cedera kepala dan 5-15% dari pasien dengan cedera kepala yang fatal. Daerah
temporoparietal dan arteri meningeal media paling sering (66%) terlibat pada
kasus EDH. EDH jarang terjadi pada pasien usia kurang dari 2 tahun dan lebih
dari 60 tahun dikarenakan durameter menempel erat pada tabula interna.
Berdasarkan identitas, pasien berusia 8 tahun.

Pasien tidak mengalami adanya lucid interval. Kurang dari 20% pasien EDH
yang menunjukkan adanya lucid interval. Pasien juga merasakan adanya sakit
pada kepalanya pada sisi yang terkena benturan. Pasien juga mengalami muntah
menyembur. Gejala-gejala yang timbul tersebut sesuai dengan gejala peningkatan
tekanan intracranial. Dimana gejala-gejala peningkatan tekanan intracranial
adalah sebagai berikut[1] :

 Nyeri kepala
 Muntah proyektil
 Kejang
 Papil edema
 Penurunan kesadaran
 Pandangan ganda
 Trias Cushing : Tekanan darah tinggi, penurunan frekuensi nadi, dan pola
napas yang abnormal.

31
Pada pemeriksaan neurologi didapatkan GCS E4V5M6 pada saat pasien
pertama kali datang. Dengan GCS ini pasien sadar penuh dan digolongkan
mengalami cedera kepala ringan dalam klasifikasi cedera kepala. Glasgow Coma
Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif penurunan kesadaran dan
dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas :

a. Cedera kepala ringan : GCS 13 – 15


b. Cedera kepala sedang : GCS 9 – 12
c. Cedera kepala berat : GCS 3 - 8
Pada pasien ini juga tidak ditemukan adanya kelainan neurologis, seperti
hemiparesis, hipestesia, paresis nervus kranialis, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan adanya gambaran hiperdens pada


daerah epidural. Lesi hiperdens menggambarkan adanya perdarahan. Pada pasien
dapat disimpulkan terjadi lesi perdarahan pada epidural. Perdarahan merupakan
salah satu morfologi dari sebuah cedera kepala. Morfologi pada pasien ini adalah
sebuah lesi fokal intrakranium yaitu berupa perdarahan epidural. Dan secara
gambaran klinis pun terdapat gambaran perdarahan epidural. Gejala yang sering
tampak :

 Penurunan kesadaran, bisa sampai koma  dapat terjadi lucid interval


(20% pasien EDH)
 Nyeri kepala yang hebat
 Bingung
 Penglihatan kabur
 Susah bicara
 Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
 Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
 Mual
 Pusing
 Berkeringat

32
 Pucat
 Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Secara teori, prinsip penatalaksanaan pada cedera kepala tergantung dari
tingkat GCS pasien. Pasien tersebut memiliki tingkat kesadaran compos mentis
dengan GCS E4V5M6. Maka algoritma penatalaksanaan berdasarkan ATLS
adalah sebagai berikut :

1. Memastikan Airway, Breathing, dan Circulation dalam keadaan baik.


2. Pasien diposisikan dengan kepala ditinggikan 30 derajat.
3. Melakukan pemeriksaan fisik untuk menilai seberapa berat cedera kepala,
dan apakah ada cedera di bagian lain. Segera lakukan pembersihan luka
apabila terdapat luka, hentikan juga bila ada perdarahan.
4. Melakukan pemeriksaan radiologis pada pasien untuk menentukan apakah
ada kelainan organik intrakranial.
5. Menilai gejala peningkatan Intrakranial dengan mengobservasi pasien.
Didukung dengan hasil pemeriksaan radiologi, segera tentukan apakah
perdarahan intrakranial perlu segera di evakuasi oleh spesialis bedah saraf.
Indikasi operasi apabila perdarahan dengan volume >30cc atau adanya
midline shift.
6. Bila TIK tinggi, untuk menurunkan tekanan intrakranial dapnt
menggunakan diuretik yaitu manitol. Pemberian manitol dilakukan dengan
dosis 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit pertama dan dilanjutkan dengan
0,25-0,5 gram/kgBB habis dalam 24-48 jam. Osmolaritas harus dijaga agar
tidak melebihi 310 mOsm
7. Berikan neuroprotektor jika diperlukan, seperti golongan Asetilkolin
(Citicolin) atau Piracetam.
8. Berikan obat-obatan simtomatik untuk mengurangi gejala seperti sakit
kepala, pusing berputar, mual, dan lain-lain

Pada pasien, tatalaksana yang telah diberikan adalah :

33
1. Pada pasien ABC sudah aman, kemudian pasien diposisikan kepala lebih
tinggi.
2. Penatalaksanaan luka.
3. Pemeriksaan radiologi sudah dilakukan dan ditemukan EDH, maka
berikutnya pasien diobservasi untuk mencari tanda peningkatan TIK.
4. Dilakukan pemberian manitol. Pada tahap awal, pasien diberikan manitol
dengan dosis 250cc/15 menit, dilanjutkan dengan pemberian maintenance
yaitu dengan dosis 3x100cc, 2x100, 1x100. Hal ini tidak sesuai dengan
teori, namun pada praktik klinis, dosis tersebut diberikan untuk dosis
maintenance dan mengurangi gejala peningkatan TIK.
5. Obat obatan simptomatik diberikan yaitu Ketorolac dan Ranitidin

BAB V
KESIMPULAN

34
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala yang bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala
dapat menimbulkan perdarahan epidural dimana perdarahan terjadi di ruang antara
dura dan tulang tengkorak. Perdarahan epidural dapat disertai fraktur tulang
tengkorak atau tanpa fraktur. Robekan arteri meningen media atau cabangnya
memberikan gambaran perdarahan epidural.
Diagnosis epidural hematoma didasarkan gejala klinis serta pemeriksaan
penunjang seperti foto Rontgen kepala dan CT scan kepala. Penatalaksanaan
perdarahan epidural meliputi penatalaksanaan awal, penatalaksanaan berdasarkan
berat ringannya cedera, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan jika
diperlukan.
Prognosis epidural hematoma biasanya baik. Mortalitas pasien dengan
epidural hematoma yang telah dievakuasi mulai dari 16% - 32%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R dan Jong WD. Kepala dan Leher. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi
ke-2. Jakarta: EGC: 2005. Hal:337-43

35
2. Japardi Iskandar. Tekanan Tinggi Intrakranial. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah
Universitas Sumatera Utara. 2002. Digitized by USU digital library
3. Moore, Keith L.; Agur, Anne M. R. 2007. Essential Clinical Anatomy 3rd Edition.
Lippincott Williams & Wilkins: Toronto
4. Snell, Richard, 2007; Neuroanatomi Klinik, edisi kedua., EGC, Jakarta.
5. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penterjemah: Irawati,
Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
6. Acosta, Jose. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th ed. Saunders, An Imprint of
Elsevier
7. Schwartz, Seymour I.1998. Principles of Surgery Companion Handbook. The McGraw-
Hill Companies. United States of America.
8. Japardi Iskandar. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. Fakultas Kedokteran Bagian
Bedah Universitas Sumatera Utara. 2002. Digitized by USU digital library
9. Medscape Reference. Clinical Presentation of Epidural Hematome. Available at
(http://emedicine.medscape.com/article/824029-clinical#a0216) Accessed on March 11,
2014
10. Rasad, Sjahriar. Radiologi dDiagnostik. Edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit FKUI
11. Nuarta, Bagus. Ilmu Penyakit Saraf. In: Kapita Selekta Kedokteran, edisi III,
jilid kedua, cetakan keenam. Jakarta : Media Aesculapius. 54-59. 2004
12.

36

Anda mungkin juga menyukai