Anda di halaman 1dari 20

Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinis Senior/G1A217101/April 2018


**Pembimbing/ dr.Hj. Erni Zainuddin, Sp.Rad

Pencitraan Displasia Bronkopulmoner — Suatu


Pembaruan Multimodalitas
Enita Harianti, S.Ked *dr.Hj.Erni Zainuddin,Sp.Rad**

KEPANITERAAN KLINIS SENIOR


BAGIAN RADIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan jurnal yang berjudul “Pencitraan Displasia Bronkopulmoner — Suatu
Pembaruan Multimodalitas”.
Dalam kesempatan ini saya juga mengucapkan terima kasih kepada dr.Hj.Erni
Zainuddin, Sp.Rad sebagai dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu
selama di Kepaniteraan Klinik Bagian Radiologi.
Penulis menyadari bahwa laporan jurnal ini jauh dari sempurna, penulis
sedang dalam tahap pendidikan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
agar lebih baik kedepannya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan jurnal ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat menambah informasi dan pengetahuan kita.

Jambi, April 2018

Penulis

2
Pencitraan Displasia Bronkopulmoner — Suatu
Pembaruan Multimodalitas
Displasia bronkopulmoner adalah penyakit paru kronis tersering pada bayi dan
menjadi penyebab peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang signifikan.
Rontgen toraks dan Computed Tomography (CT) memberikan gambaran yang
cukup baik namun dengan berkembangnya teknologi pencitraan telah membuka
jalan dalam teknik pencitraan yang lebih baru termasuk penilaian struktur
pernapasan melalui Magnetic Resonance Imaging (MRI) paru, functional MRI
melalui ventilasi, perfusion MRI, serta teknik pencitraan kuantitatif dengan CT
dan MRI. Penemuan terbaru dari ultrasound juga telah dianjurkan untuk
diaplikasikan. Dengan semakin berkembangnya teknologi yang kompleks, maka
semakin penting pula untuk lebih mendalami pengetahuan tentang kemajuan
teknologi pencitraan dalam 5–10 tahun terakhir, khususnya mengenai keterbatasan
pada beberapa teknik yang saat ini sedang dilakukan penelitian secara intensif.
Ulasan ini bertujuan untuk membahas mengenai perkembangan teknologi yang
paling relevan dengan teknik pencitraan BPD, khususnya kemajuan dalam
teknologi CT, teknik post-processing dan kuantitatif pada CT; penilaian struktural
dengan MRI, pencitraan ventilasi dan perfusi paru dengan menggunakan kontras
serta teknik dekomposisi Fourier dan USG paru.

Displasia Bronkopulmoner (BPD)


Displasia bronkopulmoner adalah penyakit paru kronis tersering pada bayi
dan dilaporkan terjadi hingga 10,2 dan 24,8% bayi di Eropa yang lahir antara 24 +
0 dan 31 + 6 minggu kehamilan (1). Meskipun hanya terdapat 8% dari
keseluruhan populasi bayi lahir di Amerika Serikat, bayi prematur atau bayi berat
lahir rendah mencapai angka 47% dari jumlah anggaran pembelanjaan
pertahunnya dari seluruh kelahiran (2, 3).
Definisi klinis dari BPD berupa kebutuhan oksigen tambahan selama
minimal 28 hari pada bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan (4).
Bentuk klasik BPD ditunjukkan pada bayi prematur yang mendapatkan
oksigen melalui ventilasi mekanik dengan tekanan dan konsentrasi tinggi yang
terpapar secara berkepanjangan (5). Pada hasil temuan patologis didapatkan regio

3
berupa overinflasi maupun atelektasis, hipertrofi otot polos pada jalan napas,
metaplasia squamosa pada epitel saluran pernapasan, fibrosis peribronkial,
bronkiolitis obliteratif yang konstriktif, dan perubahan vaskular hipertensi
pulmonal (6).
Pemberian steroid pada antenatal yang telah meluas, penggunaan
ventilator bertekanan rendah, serta meminimalisir penggunaan oksigen
berkonsentrasi tinggi telah menyebabkan penurunan insidensi dari BPD klasik.
Namun, peningkatan angka kelangsungan hidup bayi dengan extremely preterm
(masa gestasi 24-26 minggu) dan bayi berat lahir rendah (<1.000 g) menyebabkan
munculnya varian baru dari BPD (7). Bayi dengan extremely preterm cenderung
merespon dengan baik terhadap pemberian surfaktan eksogen dan memerlukan
ventilasi mekanik bertekanan rendah dengan tingkat konsentrasi oksigen yang
rendah sampai sedang. Namun, bayi tersebut lebih rentan terhadap infeksi dan
edema paru dari shunt fisiologis (misalnya, duktus arteriosus persisten) yang
dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan alat bantu napas (8). Paru-paru
neonatus yang lahir pada usia kehamilan 24-28 minggu masih mengalami
perkembangan dan proses pematangan yang signifikan, bertransisi dari tahap
canalicular (pembentukan acini dan invasi kapiler ke mesenkim paru), berlanjut
menuju tahap saccular (pembentukan septum alveolar dari bronkiolus terminalis)
yang kemudian menuju fase alveolar pada usia kehamilan 32 minggu di mana
terbentuknya alveoli sejati yang pertama (9). Saat kelahiran dan inisiasi awal
dalam proses pertukaran gas akan mengganggu perkembangan ini, di mana suatu
penelitian menunjukkan adanya alveoli dengan jumlah yang lebih sedikit, lebih
besar dengan vaskularisasi yang berkurang pada paru-paru bayi prematur (10, 11).
Spesimen patologis menunjukkan adanya penurunan insidensi dari penyakit
saluran napas dan vaskular serta fibrosis intersisial yang lebih sedikit
dibandingkan dengan BPD dalam bentuk klasik yang lebih berat (12).
Dalam jangka panjang, di samping gangguan lain yang berkaitan dengan
prematuritas, BPD dapat menyebabkan rawat inap berulang karena infeksi saluran
pernapasan bawah, berkurangnya fungsi paru, obstruksi saluran napas yang berat,
dan hipertensi pulmonal dengan disfungsi jantung kanan (13, 14) disertai
gangguan neurologis dan kognitif yang dapat menyebabkan morbiditas lebih

4
lanjut (15). Menariknya, suatu penelitian baru-baru ini menunjukkan adanya
hubungan antara stenosis vena pulmonal (PVS) dengan 4,6% dari 213 pasien
kohort pada kelompok bayi dengan BPD, dan lebih sering terjadi pada bayi
dengan berat lahir rendah. Bayi dengan PVS mengalami tingkat mortalitas yang
lebih tinggi (16).

PERAN PENCITRAAN PADA BPD


Pada unit perawatan intensif neonatal (NICU), modalitas pencitraan yang
paling sering digunakan pada bayi prematur adalah radiografi toraks, yang dapat
memberikan penilaian secara keseluruhan dari apparatus pendukung (tabung
endotrakeal, arteri umbilikalis, kateter vena, dll.), gambaran parenkim paru
[perubahan derajat respiratory distress syndrome (RDS), edema dari shunting
persisten melalui duktus arteriosus persisten, dll.], dan komplikasi dari ventilasi
mekanik (pneumotoraks, emfisema interstisial pulmonal, dll.).
Gambaran radiografi toraks pada pasien BPD menunjukkan adanya
penebalan interstisial, hiperekspansi fokal maupun menyeluruh, dan juga
atelektasis (Gambar 1) (17). Computed tomography (CT) lebih sensitif dalam
mendeteksi kelainan pada BPD yang dapat terdeteksi pada lebih dari 85% pasien
BPD termasuk adanya regio dengan penurunan atenuasi, emphysema-like change,
opasitas linear dan subpleural, serta penebalan dinding bronkus (Gambar 2).
Selain itu, tingkat kelainan struktural pada CT telah terbukti berkorelasi dengan
tingkat keparahan klinis pasien BPD (18).
Terdapat banyak perkembangan dalam pencitraan thorak pada pediatrik
(bahkan pencitraan medis secara umum) selama 5–10 tahun terakhir yang
berpotensi besar untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang patogenesis
dan perubahan temporal dari suatu kondisi pernapasan seperti BPD, penelitian
lebih lanjut berupa pengobatan RDS dengan tujuan mengurangi perkembangan
penyakit BPD, dan pada studi follow-up jangka panjang mengenai penyakit
pernapasan kronis. Beberapa perkembangan yang lebih signifikan akan dibahas di
bawah ini.

5
Gambar 1. Rontgen toraks Gambar 2. Bagian CT aksial dapat dilihat
menunjukkan tanda interstisial melalui lobus atas pada lung window settings
kasar yang meluas, atelektasis, dan menunjukkan kekeruhan linear dan subpleural,
daerah hiperekspansi (terutama di penebalan dinding bronkus, dan area atenuasi
basal paru kiri), khas dari displasia rendah (indikasi penyakit saluran udara kecil)
bronkopulmoner. Perhatikan juga pada pasien dengan displasia bronkopulmonal.
konsolidasi lobus atas kanan dan
malposisi tabung NG.

EVOLUSI TEKNIK PENCITRAAN YANG RELEVAN PADA BPD


Computed Tomography
CT beresolusi tinggi dengan mode yang tradisional berupa “step and
shoot” mampu menghasilkan gambar dengan resolusi spasial tinggi yang tidak
berdekatan (interrupted) yang hanya dapat dilihat dalam suatu bidang anatomi
tunggal (aksial). Metode ini, pada sebagian besar telah diganti dengan akuisisi
spiral / volumetrik yang menghasilkan set data volumetrik terus menerus dengan
isotropic voxels (masing-masing voxel — pixel tiga dimensi — memiliki panjang
yang sama dalam sumbu x, y, dan z). Hal ini memungkinkan rekonstruksi data
pada berbagai bidang (multiplanar rekonstruksi) dan sangat penting untuk
kemajuan teknik postprocessing yang akan dibahas di bawah ini.
Kemajuan terbaru dalam teknologi CT telah menghasilkan kecepatan
rotasi tabung sinar-X CT yang lebih cepat (subsecond) dan detektor radiasi yang
lebih kecil dan lebih sensitif sehingga memberikan peningkatan yang signifikan
baik dalam resolusi temporal maupun spasial (19). Pemindai CT yang terbaru kini
disertai dengan single 320-row detector array, yang memungkinkan cakupan 16
cm pada sumbu z (panjang craniocaudal) dalam rotasi tabung yang tunggal. Suatu

6
susunan alternatif (dual source CT) terdiri dari dua tabung X-ray (bukan berupa
tabung tunggal tradisional) dengan dua arrays of detector banks yang dipasang
pada sudut 95° antara satu dengan yang lainnya dengan sedemikian rupa sehingga
dua set data spiral yang saling terkait terbentuk di sekitar pasien, dengan demikian
dapat memindai volume jaringan yang sama dengan waktu yang lebih singkat
sebagai sumber pemindai tunggal. Kedua metode ini memungkinkan seluruh
toraks bayi dapat dicitrakan dalam hitungan detik (19, 20). Kombinasi antara
rotasi tabung yang lebih cepat, jumlah detektor yang lebih banyak serta dual
source systems, di samping penggunaan peralatan untuk imobilisasi seperti
vacuum splints (Gambar 3) yang tujuannya untuk mengurangi efek gerakan tubuh
pasien anak sehingga tetap stabil, telah menimbulkan pergeseran paradigma
terhadap pencitraan toraks pada anak, dari scan yang membutuhkan anestesi
umum dan breath-holding manuevers, hingga ultrafast scan yang menghasilkan
gambaran dari kualitas diagnostik, dengan artefak gerakan napas dan jantung yang
minimal tanpa perlu sedasi ringan (21). Bahkan pada detak jantung yang tinggi
dan khas pada neonatus, high-pitch CT, setelah pemberian kontras intravena (IV)
telah terbukti mampu memperlihatkan struktur kecil yang bergerak cepat, seperti
vena pulmonal, dengan detail yang dapat diterima secara diagnostik. (22).

Gambar 3. Perangkat imobilisasi


vakum digunakan untuk
membatasi gerakan pasien.
Penggunaan alat ini, di samping
ultrafast, high-pitch CT, telah
secara signifikan mengurangi
penggunaan anestesi umum atau
sedasi untuk CT kardiotoraks di
institusi peneliti.

Telah diketahui bahwa beban radiasi CT toraks konvensional lebih besar


daripada radiografi toraks; namun kemajuan teknologi (termasuk modulasi tabung
rotasi terkini, detektor larik adaptif dan teknik rekonstruksi yang berulang),
bersamaan dengan program pengoptimalan dosis, telah mengurangi dosis radiasi

7
CT secara signifikan, dengan tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan
kualitas gambar diagnostik. Juga sedang diteliti mengenai kelayakan dosis
ultralow CT toraks dengan dosis yang setara dengan radiografi toraks. Shi et al
menunjukkan penurunan dalam dosis yang ekuivalen dari 0,89 hingga 0,61 mSv
yang secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kualitas
gambar yang dirasakan, dan hanya penurunan 14,8% dalam rasio sinyal terukur
dengan kebisingan ketika tegangan tabung dikurangi dari 80 hingga 70 kV (23).
Teknik postprocessing memainkan peran yang semakin penting dalam
pencitraan kardiotoraks. Rekonstruksi dasar ke beberapa bidang ortogonal
memungkinkan untuk memudahkan diferensiasi pembuluh paru dari nodul
parenkim. Dengan meningkatkan ketebalan irisan (average intensity projection)
dapat mengurangi noise pada gambar dalam pemeriksaan dosis rendah pada bayi
yang kecil. Gambaran proyeksi dengan intensitas maksimum dan minimum (MIP
dan MinIP) dapat lebih baik dalam menampilkan vaskulariasi dan pada daerah
dengan atenuasi rendah seperti daerah yang merangkap udara (24, 25). Gambaran
MinIP sangat tepat dalam menunjukkan area dengan atenuasi rendah yang dapat
bergantian dengan paru-paru yang atenuasinya yang lebih tinggi (variegate
mosaic attenuation) yang dapat dilihat pada pasien BPD dengan komponen
saluran udara yang kecil (Gambar 4).
Gambar 4. Proyeksi
intensitas minimum
dengan rekonstruksi CT
menunjukkan morfologi
jalan nafas dan daerah
atenuasi heterogen
(mosaik) pada anak
dengan displasia
bronkopulmoner.

Teknik postprocessing yang lebih canggih seperti teknik volume rendering


yang memungkinkan pembentukan gambar 3D paru dan saluran napas yang dapat
membantu dalam memberikan informasi pada tim medis bantuan napas maupun
pada keluarga pasien. Ada penelitian lebih lanjut yang sedang berlangsung tentang
pengaruh peran pengukuran CT kuantitatif terhadap volume paru-paru, penilaian

8
ketebalan dinding bronkus, dan kuantifikasi paru-paru dengan atenuasi rendah
yang abnormal sehingga memungkinkan tindakan yang lebih meyakinkan dan
dapat diaplikasikan pada penyakit parenkim saluran nafas dan paru (26).
Karena CT kuantitatif menjadi alat ukur yang lebih utama pada penyakit
saluran pernapasan, kebutuhan dalam standardisasi protokol menjadi suatu hal
yang penting, terutama karena bayi tidak dapat mengikuti instruksi pernapasan,
sehingga pemindaian yang diperoleh berupa fase-fase selama siklus pernafasan.
Upaya untuk mengatasi masalah ini, termasuk CT yang dipicu dengan spirometer,
telah digunakan di beberapa pusat spesialis (27, 28).

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Sebagai teknik pencitraan cross-sectional yang tidak bergantung pada
paparan radiasi pengion, MRI menjadi modalitas ideal untuk pencitraan cross-
sectional pada kalangan pediatrik. Namun, keterbatasan inheren yang signifikan
dari MRI konvensional sangat membatasi penggunaannya dalam pencitraan toraks
anak. Parenkim paru memiliki kepadatan proton yang rendah dan mengandung
banyak ikatan antara udara dan jaringan. Dengan demikian, parenkim paru
memberikan sinyal terhadap suatu kerusakan yang pesat dengan kadar yang
sangat rendah, menghasilkan gambaran parenkim paru dan semua jaringan sehat
pada sebagian besar saluran udara sentral dengan resolusi sangat rendah. Waktu
pemeriksaan yang lama memerlukan anestesi umum atau sedasi berat dan
menghasilkan artefak gerakan pernapasan dan jantung yang signifikan. Batasan
lebih lanjut dikarenakan lubang dari scanner dengan ukuran besar secara
keseluruhan dan lubang dalam yang cukup kecil; perlunya proses memindahkan
pasien bayi yang sedang sakit dari NICU ke pemindai MRI, dan kekuatan medan
magnet sehingga membatasi pemberian bantuan medis pada bayi yang dapat
diberikan tanpa menggunakan MRI khusus dan peralatan anastesi.
Teknik pernapasan dan ECG / denyut nadi yang lebih kuat, bersamaan
dengan rangkaian teknik denyut RF yang baru, dan pengambilan sampel serta
rekonstruksi telah secara signifikan meningkatkan visualisasi parenkim paru dan
saluran udara yang menghasilkan penemuan baru dalam penilaian struktur paru
melalui MRI. Urutan MRI yang lebih cepat seperti T2-HASTE (single shot half-

9
Fourier turbin spin echo) dan T1 3D gradient recalled echo with parallel imaging
algorthms (misalnya, autokalibrasi secara umum dari akuisisi parsial paralel) telah
digunakan dengan penemuan terbaru pada akuisisi radial [misalnya, Periodically
Rotated Overlapping ParallEL Lines with Enhanced Reconstruction
(PROPELLER)], yang kurang sensitif terhadap artefak gerakan pernapasan, dan
urutan echotime yang sangat singkat seperti Pointwise Encoding Time Reduction
with Radial Acquisition (PETRA) — sekuens pernapasan bebas dan tanpa suara,
sehingga dapat diperoleh data isometrik pada ukuran voxel submillimeter (30–32).
Sementara kemajuan signifikan dapat meningkatkan penilaian struktur
paru melalui MRI, resolusi spasial tetap relatif kecil terhadap CT (Gambar 5A, B)
[PETRA mencapai ukuran voxel 0,86 mm 3 dibandingkan dengan 0,2 mm3 dari CT
scan terbaru dan waktu akuisisi gambar tetap tinggi [8–12 menit untuk PETRA
(33), 7–10 menit untuk PROPELLER dalam memicu pernapasan yang
dibandingkan dengan sepersekian detik menggunakan CT]. MRI paru
bagaimanapun juga memiliki lebih banyak keuntungan dalam menghasilkan data
yang kuantitatif dan fungsional. Beberapa akuisisi mengikuti administrasi bahan
yang berbeda melalui IV (gadolinium chelate) memungkinkan studi tentang
perfusi regio paru dari waktu ke waktu (Gambar 6). Teknik yang lebih baru
memungkinkan pembentukan “maps” perfusi yang serupa tanpa administrasi dari
media kontras dan risiko terkait dengan adanya disfungsi ginjal (terutama yang
berhubungan dengan bayi prematur). Varian dari pelabelan spin arteri (ASL-
FAIRER Arterial Spin Labeling-Fow Sensitive Alternating Inversion Recovery
with An Extra Radiofrequency Pulse) teknik yang melibatkan penggunaan
“tagging” magnetik pada pasokan darah sebagai media kontras telah digunakan
untuk mempelajari aliran darah di regio paru tanpa membutuhkan administrasi
media kontras melalui IV (32). Teknik matematis kedua, dekomposisi Fourier,
memungkinkan pembentukan maps baik perfusi dan ventilasi, lagi-lagi tanpa
memerlukan administrasi kontras IV, dengan mengekstraksi (mengurai) sinyal
yang diperoleh melalui siklus pernafasan pada frekuensi pernafasan dan frekuensi
nadi, dan telah terbukti aman digunakan pada pasien anak dengan fibrosis kistik
(34).

10
Gambar 5. (A) Gambaran
coronal black blood SSFP
resonansi magnetik (MR) dan (B)
rekonstruksi koronal computed
tomography (CT) pada anak
dengan fibrosis kistik. Meskipun
resolusi spasial MRI relatif lebih
buruk dibandingkan dengan CT,
MRI mampu menunjukkan
kelainan saluran napas yang
kotor.

Gambar 6. (A) Pencitraan


resonansi magnetik angiogram
pada anak dengan displasia
bronkopulmonal menunjukkan
perfusi buruk dari lobus kanan
atas yang berhubungan dengan
penyakit saluran udara kecil yang
berat dan refleks vasokonstriksi.

11
12
Pencitraan ventilasi melalui MRI telah diteliti secara luas dengan gambar
resolusi tertinggi yang diperoleh melalui administrasi gas mulia yang
terhiperpolarisasi (biasanya He3 atau Xe129) Pencitraan ventilasi secara langsung
yang sama juga dapat melalui inhalasi gas-gas yang terflorinasi (misalnya, sulfur
hexafluoride dan hexafluoroethane) (36). Hal ini juga memungkinkan untuk
mengukur tingkat difusi gas-gas ini dengan menggunakan beberapa gambaran
diffusion-weighted yang diperoleh secara cepat dengan nilai B yang berbeada
untuk memberikan koefisien difusi “jarak pendek” yang jelas (37). Difusivitas
bebas dari He3 membuatnya ideal untuk digunakan dalam pencitraan ventilasi,
tetapi kelarutan Xe129 dan oksigen memungkinkan pencitraan tidak hanya pada
fase inhalasi tetapi juga pada jaringan dan darah, memberikan informasi lebih
lanjut yang dapat berguna pada seluruh proses pertukaran gas (38).
Oksigen memberikan efek paramagnetik yang tergantung pada konsentrasi
pada laju pemulihan T1 pada jaringan yang berdekatan. Pemetaan T1 secara cepat
melalui fip sudut rendah atau "FLASH" (Fast Low Angle Shot) diurutksn sebelum
dan pada saat beberapa konsentrasi oksigen yang terhirup sehingga menghasilkan
gambaran dari pengiriman oksigen (the oxygen transfer function-OTF) (39).
Ketersediaan oksigen yang siap pakai sebagai gas medis dan kurangnya
kebutuhan peralatan hiperpolarisasi yang mahal menjadikan penemuan ini sebagai
pilihan yang sangat menarik untuk pencitraan ventilasi MR. Kombinasi dari
denyut inversi dan single shot fast spin echo sequences, dengan pencatatan batas
pernapasan yang prospektif dan gambaran deformasi yang retrospektif, disisipkan
potongan 2D dengan pencitraan paralel dan rekonstruksi half-Fourier,
memungkinkan pencitraan seluruh paru yang diperkuat dengan oksigen pada
pasien dewasa dalam 8–13 menit (40)
Sementara banyak metode ventilasi / perfusi MRI yang disebutkan di atas
belum dilaporkan dalam konteks BPD, pengembangan unit 1,5 T MRI kecil yang
terpasang di unit neonatal Rumah Sakit Anak Cincinnati telah memungkinkan
beberapa studi pemanfaatan MRI dalam meneliti penyakit paru pada neonatal.
Studi tersebut mengidentifikasi volume "high signal lung" yang kadarnya secara
signifikan lebih tinggi pada pasien bayi dengan BPD daripada bayi prematur tanpa
BPD dan bayi cukup bulan. Namun, perlu dicatat bahwa hanya beberapa bayi

13
yang dilibatkan (enam prematur tanpa BPD, dan enam bayi dengan BPD) dan
bayi dengan BPD secara signifikan memiliki berat badan dan usia kehamilan lebih
rendah daripada bayi prematur non-BPD dan kelompok yang terlibat. Dan juga
"high signal" digambarkan sebagai sinyal di atas 45% dari sinyal rata-rata pada
dinding dada pasien tanpa menyebutkan perbedaan dari massa otot / komposisi
lemak antar kelompok. Penelitian juga mengasumsikan bahwa waktu relaksasi T1,
T2, dan T2* dari parenkim paru dan jaringan lunak pada dinding dada adalah
sama. Sementara pengukuran kuantitatif sinyal MRI pada neonatus sedang dalam
tahap awal dan harus ditafsirkan dengan hati-hati, kelompok ini menghasilkan
gambar kualitas diagnostik cross-sectional dari parenkim paru tanpa anestesi
umum atau sedasi, dengan bayi dipindai selama 1,5 jam dengan pernapasan bebas.
Dua bayi dengan BPD juga menjalani CT. Pada perbandingan penampang 3mm
CT dengan penampang 1 mm yang lebih konvensional, CT menunjukkan lebih
banyak daerah dengan perubahan seperti emfisema yang hiperlusen dan distorsi
bronkovaskular yang lebih berat daripada MRI (nilai struktur Ochiai BPD dengan
CT 12 vs 9 melalui MRI) (41).
Kemajuan yang sangat nyata didapatkan pada MRI paru, baik dalam hal
kemampuan pencitraan struktural dan kuantitatif / fungsional; Namun, penelitian
selanjutnya, khususnya mengenai reproduktifitas dan signifikansi klinis pada
ukuran kuantitatif / fungsional, masih harus dilakukan, sebelum MRI dapat
ditetapkan sebagai perawatan klinis rutin.

USG
Studi telah menyarankan peran USG dalam penilaian pada neonatus
prematur dengan RDS (juga dikenal sebagai hyaline membrane disease-HMD)
dalam memprediksi perkembangan BPD. Avni dkk. melaporkan hiperogenisitas
homogen dari apeks paru, mengaburkan gambaran diafragma pada USG
transhepatik / transplenik dalam pengaturan HMD dengan artefak hyperechoic
reverbation, melampaui yang diharapkan pada posisi diafragmatik. "HMD-
pattern" ini kemudian berubah menjadi "BPD-pattern" bergaris, daerah tidak
teratur dengan eko yang lebih rendah, terlihat pada hari ke 18 pada semua pasien
yang kemudian didiagnosis dengan BPD, dengan nilai prediktif negatif 95% (42).

14
Penelitian lebih lanjut oleh Pieper dkk. menunjukkan perubahan serupa dengan
nilai prediktif terbesar pada diagnosis BPD yang dicapai melalui USG pada hari
ke 9. Hal ini didapatkan dengan mengamati kasus positif palsu dengan "BPD
pattern" yang disebabkan oleh pneumonia lobus inferior bilateral (seperti yang
ditunjukkan melalui radiografi toraks) (43). Terlihat jelas, bahwa terdapat peran
spesifik USG paru-paru dalam memprediksi pengembangan BPD, bagaimanapun,
penampilan ini (pada dasarnya artefak) tidak dapat ditafsirkan secara terpisah, dan
USG secara keseluruhan bukanlah alternatif yang aman untuk radiografi toraks.
Komplikasi ventilasi mekanis seperti salah penempatan tabung dan saluran,
kebocoran udara (pneumotoraks, pneumomediastinum, dan emfisema intersisial
paru), dan patologi sentral yang tidak bersisian dengan permukaan pleura tidak
sepenuhnya dapat dilihat melalui USG. Namun, terdapat peranan potensial dalam
pengaturan studi penelitian longitudinal (seperti yang digunakan dalam Studi
Kesehatan Anak Drakenstein), khususnya di daerah yang sumber daya nya sedikit
(44).

KESIMPULAN
Meskipun banyak kemajuan signifikan dalam teknologi pencitraan,
terutama dalam CT dan MRI, radiografi toraks sederhana tetap menjadi landasan
pencitraan parenkim paru pediatrik, terutama pada neonatus yang mendapatkan
alat bantu kompleks di NICU. CT dapat digunakan untuk pertanyaan-pertanyaan
klinis tertentu, termasuk adanya patologi kompleks dan asosiasi prematuritas
terbaru dengan PVS.
Teknik CT dosis rendah dan ultralow yang baru telah membawa paparan
radiasi yang terkait dengan CT yang mirip dengan radiografi polos dan CT scan
yang lebih cepat telah mengurangi kebutuhan untuk anestesi umum dan
penggunaan sedasi dalam melakukan pencitraan pada anak-anak yang kecil.
Perbaikan pada pernapasan dan denyut nadi pada MRI bersamaan dengan
urutan dan teknik akselerasi yang lebih cepat telah secara signifikan
meningkatkan resolusi spasial MRI parenkim paru; Namun, resolusi tetap lebih
rendah daripada CT. Digabungkan dengan waktu pemeriksaan yang lama, peran

15
MRI pada pencitraan parenkim paru pediatrik tetap dominan sebagai alat
penelitian.
MRI ventilasi dengan gas mulia yang terhiperpolarisasi, gas-gas
terfluorinasi, oksigen, atau melalui dekomposisi Fourier membuat potensi yang
signifikan tetapi sekali lagi tetap menjadi alat penelitian saat ini.
Pencitraan kuantitatif dengan CT (perhitungan volume paru-paru, pengukuran
ketebalan dinding, dan pemetaan atenuasi rendah) dan MRI (OTF, kuantifikasi
sinyal regional) menunjukkan hasil yang signifikan, tetapi masih perlu ditafsirkan
dengan hati-hati. Dapat terlihat jelas bahwa jika pencitraan bergerak menjauh dari
penilaian struktural tradisional menuju penilaian kuantitatif, perawatan yang
signifikan harus diambil untuk membakukan teknik pemeriksaan baik di dalam
maupun di antara institusi. Ada risiko yang sangat nyata bahwa tanpa tingkat
standardisasi yang tinggi, teknik ini menjadi upaya buruk pada pencitraan
fungsional, pada resolusi spasial jauh di bawah pengobatan nuklir konvensional
tanpa korelasi klinis kuat yang tersusun.
USG telah menetapkan penggunaan niche dalam penilaian risiko neonatus
prematur dan dapat memandu perawatan masa depan bayi yang dianggap berisiko
lebih tinggi setelah beberapa minggu pertama kehidupan. Namun, harus dicatat
bahwa hal tersebut bukanlah pengganti potensial untuk radiografi polos seperti
yang disarankan oleh beberapa penulis (45), mengingat patologi sentral dan
komplikasi penting yang timbul dari aparatus pendukung yang salah tempat atau
kebocoran udara bisa benar-benar hilang hanya melalui USG.
Terlihat jelas bahwa kita sedang berada di persimpangan yang menarik
antara struktural yang konvensional dan penelitian yang kuantitatif serta
pencitraan fungsional, dengan banyak ruang untuk teknologi baru yang secara
signifikan dapat mempengaruhi masa depan pencitraan paru neonatal. Karena
teknologi secara bertahap semakin canggih dan kompleks diperkenalkan, hal ini
menjadi semakin penting untuk tetap up-to-date dengan kemajuan dan untuk
memahami secara detail dari masing-masing teknik. Teknik-teknik baru
membutuhkan validasi dalam kelompok besar pasien yang memperhatikan standar
protokol. Sementara itu, radiografi toraks telah umum digunakan.

16
KONTRIBUSI PENULIS
Pencitraan displasia bronkopulmonal — pembaruan multimodalitas. Semua orang
yang memenuhi kriteria penulis terdaftar sebagai penulis, dan semua penulis
menyatakan bahwa mereka telah cukup berpartisipasi dalam mengambil tanggung
jawab publik untuk konten, termasuk partisipasi dalam konsep, desain, analisis,
penulisan, atau revisi naskah. Kontribusi kepenulisan: Kategori 1, konsepsi dan
desain penelitian: TS, CO, MA; akuisisi data: TS, CO, MA; analisis dan / atau
interpretasi data: TS, CO, MA; Kategori 2, menyusun naskah: TS, CO, MA;
merevisi naskah secara kritis untuk konten intelektual penting: TS, CO, MA;
kategori 3, persetujuan versi naskah yang akan diterbitkan (nama-nama semua
penulis harus terdaftar): TS, CO, MA.

UCAPAN TERIMA KASIH


Semua orang yang telah berkontribusi secara substansial dalam pengerjaan naskah
ini (misalnya, bantuan teknis, menulis dan mengedit bantuan, dukungan umum),
tetapi yang tidak memenuhi kriteria untuk kepenulisan, diberi nama dalam Ucapan
Terima Kasih dan telah memberi izin untuk disebutkan namanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gortner L, Misselwitz B, Milligan D, Zeitlin J, Kollée L, Boerch K, et al. Rates of


bronchopulmonary dysplasia in very preterm neonates in Europe: results from the
MOSAIC cohort. Neonatology (2011) 99(2):112–7. doi:10.1159/000313024
2. Russell RB, Green NS, Steiner CA, Meikle S, Howse JL, Poschman K, et al. Cost of
hospitalization for pre-term and low birth weight infants in the United States. Pediatrics
(2007) 120:e1–9. doi:10.1542/peds.2006-2386
3. Barradas DT, Wasserman MP, Daniel-Robinson L, Bruce MA, DiSantis KI, Navarro
FH, et al. Hospital utilization and costs among preterm infants by payer: nationwide
inpatient sample, 2009. Matern Child Health J (2016) 20:808–18. doi:10.1007/s10995-
015-1911-y
4. Jobe AH. Bronchopulmonary dysplasia. Am J Respir Crit Care Med (2001) 163:1723–
9. doi:10.1164/ajrccm.163.7.2011060
5. Cherukupalli K, Larson JE, Rotschild A, Thurlbeck WM. Biochemical, clinical and
morphologic studies on lungs of infants with bronchopulmonary dysplasia. Pediatr
Pulmonol (1996) 22:215–29. doi:10.1002/ (SICI)1099-0496(199610)22:4<215::AID-
PPUL1>3.0.CO;2-L
6. Coalson JJ. Pathology of bronchopulmonary dysplasia. Semin perinatol (2006)
30:179–84. doi:10.1053/j.semperi.2006.05.004
7. Northway WH Jr. Bronchopulmonary dysplasia: twenty-five years later. Pediatrics
(1992) 89:969–73.
8. Rojas MA, Gonzalez A, Bancalari E, Claure N, Poole C, Silva-Neto G. Changing

17
trends in the epidemiology and pathogenesis of neonatal chronic lung disease. J Pediatr
(1995) 126:605–10. doi:10.1016/S0022- 3476(95)70362-4
9. Langston C, Kida K, Reed M, Thurlbeck WM. Human lung growth in late gestation
and in the neonate. Am Rev Respir Dis (1984) 129: 607–13.
10. Husain AN, Siddiqui NH, Stocker JT. Pathology of arrested acinar development in
postsurfactant bronchopulmonary dysplasia. Hum Pathol (1998) 29:710–7.
doi:10.1016/S0046-8177(98)90280-5
11. Hislop AA, Haworth SG. Pulmonary vascular damage and the development of cor
pulmonale following hyaline membrane disease. Pediatr Pulmonol (1990) 9:152–61.
doi:10.1002/ppul.1950090306
12. Jobe AJ. The new BPD: an arrest of lung development. Pediatr Res (1999) 46:641–3.
doi:10.1203/00006450-199912000-00007
13. Mourani PM, Ivy DD, Gao D, Abman SH. Pulmonary vascular effects of inhaled
nitric oxide and oxygen tension in bronchopulmonary dysplasia. Am J Respir Crit Care
Med (2004) 170(9):1006–13. doi:10.1164/ rccm.200310-1483OC
14. Eber E, Zach MS. Long term sequelae of bronchopulmonary dysplasia (chronic lung
disease of infancy). Thorax (2001) 56:317–23. doi:10.1136/ thorax.56.4.317
15. Baraldi E, Carraro S, Filippone M. Bronchopulmonary dysplasia: definitions and
long-term respiratory outcome. Early Hum Dev (2009) 85:S1–3.
doi:10.1016/j.earlhumdev.2009.08.002
16. Swier NL, Richards B, Cua CL, Lynch SK, Yin H, Nelin LD, et al. Pulmonary vein
stenosis in neonates with severe bronchopulmonary dysplasia. Am J Perinatol (2016)
33:671–7. doi:10.1055/s-0035-1571201
17. Griscom NT, Wheeler WB, Sweezey NB, Kim YC, Lindsey JC, Wohl ME.
Bronchopulmonary dysplasia: radiographic appearance in middle childhood. Radiology
(1989) 171:811–4. doi:10.1148/radiology.171.3.2717757
18. van Mastrigt E, Logie K, Ciet P, Reiss IK, Duijts L, Pijnenburg MW, et al. Lung CT
imaging in patients with bronchopulmonary dysplasia: a systematic review. Pediatr
Pulmonol (2016) 51:975–86. doi:10.1002/ppul.23446
19. Siemens UK. Available from:
https://www.healthcare.siemens.co.uk/computedtomography/ dual-source-ct/somatom-
force/technical-specifications (accessed June 7, 2017).
20. Toshiba EU. Available from: http://www.toshiba-medical.eu/eu/productsolutions/
computed-tomography/aquilion-one/# (accessed June 7, 2017).
21. Golan A, Marco R, Raz H, Shany E. Imaging in the newborn: infant immobilizer
obviates the need for anaesthesia. Isr Med Assoc J (2011) 13(11):663–5.
22. Sriharan M, Lazoura O, Pavitt CW, Castellano I, Owens CM, Rubens MB, et al.
Evaluation of high-pitch ungated pediatric cardiovascular computed tomography for the
assessment of cardiac structures in neonates. J Thorac Imaging (2016) 31(3):177–82.
doi:10.1097/RTI.0000000000000201
23. Shi JW, Xu DF, Dai HZ, Shen L, Ji YD. Evaluation of chest CT scan in lowweight
children with ultralow tube voltage (70kVp) combined with Flash scan technique. Br J
Radiol (2016) 89(1059):20150184. doi:10.1259/bjr. 20150184
24. Siegel MJ. Multiplanar and three-dimensional multidetector row CT of the thoracic
vessels and airways in the paediatric population. Radiology (2003) 229:641–50.
doi:10.1148/radiol.2293020999
25. Remy J, Remy-Jardin M, Artaud D, Fribourg M. Multiplanar and threedimensional
reconstruction techniques in CT: impact on chest diseases. Eur Radiol (2003) 8:335–51.
doi:10.1007/s003300050391
26. Washko GR, Parraga G, Coxson HO. Quantitative pulmonary imaging using
computed tomography and magnetic resonance imaging. Respirology (2012) 17:432–44.
doi:10.1111/j.1440-1843.2011.02117.x
27. Robinson TE, Goris ML, Zhu HJ, Chen X, Bhise P, Sheikh F, et al. Dornase alfa

18
reduces air trapping in children with mild cystic fibrosis lung disease: a quantitative
analysis. Chest (2005) 128(4):2327–35. doi:10.1378/chest.128. 4.2327
28. Bonnel AS, Song SM, Kesavarju K, Newaskar M, Paxton CJ, Bloch DA, et al.
Quantitative air-trapping analysis in children with mild cystic fibrosis lung disease.
Pediatr Pulmonol (2004) 38(5):396–405. doi:10.1002/ppul.20091
29. Mulkern R, Haker S, Mamata H, Lee E, Mitsouras D, Oshio K, et al. Lung
parenchymal signal intensity in MRI: a technical review with educational aspirations
regarding reversible versus irreversible transverse relaxation effects in common pulse
sequences. Concepts Magn Reson Part A Bridg Educ Res (2014) 43A(2):29–53.
doi:10.1002/cmr.a.21297
30. Puderbach M, Hintze C, Ley S, Eichinger M, Kauczor HU, Biederer J. MR imaging
of the chest: a practical approach at 1.5T. Eur J Radiol (2007) 64:345–55.
doi:10.1016/j.ejrad.2007.08.009
31. Ciet P, Serra G, Bertolo S, Spronk S, Ros M, Fraioli F, et al. Assessment of CF lung
disease using motion corrected PROPELLER MRI: a comparison with CT. Eur Radiol
(2016) 26(3):780–7. doi:10.1007/s00330-015-3850-9
32. Miller GW, Mugler JP III, Sá RC, Altes TA, Prisk GK, Hopkins SR. Advances in
functional and structural imaging of the human lung using proton MRI. NMR Biomed
(2014) 27(12):1542–56. doi:10.1002/nbm.3156
33. Dournes G, Grodzki D, Macey J, Girodet PO, Fayon M, Chateil JF, et al. Quiet
submillimeter MR imaging of the lung is feasible with a PETRA sequence at 1.5T.
Radiology (2015) 276(1):258–65. doi:10.1148/radiol.15141655
34. Bauman G, Puderbach M, Heimann T, Kopp-Schneider A, Fritzsching E, Mall MA, et
al. Validation of Fourier decomposition MRI with dynamic contrast-enhanced MRI using
visual and automated scoring of pulmonary perfusion in young cystic fibrosis
35. Fain S, Schiebler ML, McCormack DG, Parraga G. Imaging of lung function using
hyperpolarized helium-3 magnetic resonance imaging: review of current and emerging
translational methods and applications. J Magn Reson Imaging (2010) 32:1398–408.
doi:10.1002/jmri.22375
36. Ruiz-Cabello J, Barnett BP, Bottomley PA, Bulte JW. Fluorine (19F) MRS and MRI
in biomedicine. NMR Biomed (2011) 24:114–29. doi:10.1002/ nbm.1570
37. Saam BT, Yablonskiy DA, Kodibagkar VD, Leawoods JC, Gierada DS, Cooper JD,
et al. MR imaging of diffusion of (3)He gas in healthy and diseased lungs. Magn Reson
Med (2000) 44:174–9. doi:10.1002/ 1522-2594(200008)44:2<174::AID-
MRM2>3.0.CO;2-4
38. Kaushik SS, Freeman MS, Cleveland ZI, Davies J, Stiles J, Virgincar RS, et al.
Probing the regional distribution of pulmonary gas exchange through single- breath gas-
and dissolved-phase 129Xe MR imaging. J Appl Physiol (2013) 115:850–60.
doi:10.1152/japplphysiol.00092.2013
39. Arnold JF, Fidler F, Wang T, Pracht ED, Schmidt M, Jakob PM. Imaging lung
function using rapid dynamic acquisition of T1-maps during oxygen enhancement.
MAGMA (2004) 16:246–53. doi:10.1007/ s10334-004-0034-z
40. Dietrich O, Losert C, Attenberger U, Fasol U, Peller M, Nikolaou K, et al. Fast
oxygen-enhanced multislice imaging of the lung using parallel acquisition techniques.
Magn Reson Med (2005) 53:1317–25. doi:10.1002/ mrm.20495
41. Walkup LL, Tkach JA, Higano NS, Thomen RP, Fain SB, Merhar SL, et al.
Quantitative magnetic resonance imaging of bronchopulmonary dysplasia in the neonatal
intensive care unit environment. Am J Respir Crit Care Med (2015) 192(10):1215–22.
doi:10.1164/rccm.201503-0552OC
42. Avni EF, Cassart M, de Maertelaer V, Rypens F, Vermeylen D, Gevenois PA.
Sonographic prediction of chronic lung disease in the premature undergoing mechanical
ventilation. Pediatr Radiol (1996) 26:463–9. doi:10.1007/ BF01377203
43. Pieper CH, Smith J, Brand EJ. The value of ultrasound examination of the lungs in

19
predicting bronchopulmonary dysplasia. Pediatr Radiol (2004) 34:227–31.
doi:10.1007/s00247-003-1102-7
44. Zar HJ, Barnett W, Myer L, Stein DJ, Nicol MP. Investigating the early-life
determinants of illness in Africa: the Drakenstein Child Health Study. Thorax (2015)
70:592–4. doi:10.1136/thoraxjnl-2014-206242 45. Caiulo VA, Gargani L, Caiulo S,
Fisicaro A, Moramarco F, Latini G, et al. Lung ultrasound in bronchiolitis: comparison
with chest

Pernyataan Kepentingan Konflik: Para penulis menyatakan bahwa penelitian dilakukan


tanpa adanya hubungan komersial atau keuangan yang dapat ditafsirkan sebagai potensi
konflik kepentingan.

Peninjau, BE-W, dan editor penanganan menyatakan afiliasi bersama mereka, dan editor
penanganan menyatakan bahwa proses tersebut tetap memenuhi standar peninjauan yang
adil dan obyektif.

Hak Cipta © 2017 Semple, Akhtar dan Owens. Ini adalah artikel akses terbuka yang
didistribusikan di bawah ketentuan Lisensi Pengaitan Creative Commons (CC BY).
Penggunaan, distribusi atau reproduksi di forum lain diizinkan, asalkan penulis asli (s)
atau pemberi lisensi dikreditkan dan bahwa publikasi asli dalam jurnal ini dikutip, sesuai
dengan praktek akademis yang diterima. Tidak ada penggunaan, distribusi atau
reproduksi diizinkan yang tidak sesuai dengan ketentuan ini.

20

Anda mungkin juga menyukai